DWI PRANOTO
022511469
JEMBER
2015
1
LEMBAR IDENTITAS
NIM : 022511469
2
3
PENGANTAR PENULIS
Seperti sebagian besar orang Banyuwangi yang lahir tahun 1970-an, saya
beranggapan bahwa Using dan Blambangan adalah sama. Artinya, Blambangan
adalah nama kerajaan dan Using adalah identitas penduduknya. Oleh karenanya
Using sebagai identitas penduduk asli Banyuwangi tidak lagi perlu dipertanyakan.
Seolah-olah secara alamiah penduduk asli Banyuwangi adalah Using.
Namun kira-kira pada akhir 1990-an pandangan saya tersebut terguncang ketika
bertemu dengan dua orang Banyuwangi yang sudah tua, yang sebenarnya rumah
tinggal mereka hanya sepelemparan batu dari rumah saya. Kedua orang itu adalah
Akhmad Aksara, budayawan Banyuwangi, dan Endro Wilis, pengarang lagu
daerah Banyuwangi angkatan pertama. Mereka berdua menolak disebut orang
Using dan begitu marah ketika saya menyebut orang Banyuwangi adalah orang
Using. Akan tetapi penjelasan kedua orang tua tersebut tidak memuaskan saya.
Setelah kejadian itu saya bertanya ke banyak penduduk Banyuwangi yang sudah
berusia lanjut. Sebagian besar dari mereka menyatakan bahwa Using baru mulai
populer pada tahun-tahun 1980-an. Namun penjelasan mereka tentang mengapa
baru tahun 1980-an Using mulai populer juga tidak memuaskan saya. Karena itu
kemudian saya berupaya mencari penjelasannya pada artikel-artikel, buku-buku,
dan makalah-makalah.
4
Using yang menjadi subyek tulisan ini adalah salah satu titik perhatian saya yang
sudah berlangsung lama. Pertanyaan mengapa Using, yang pada masa lalu adalah
penghinaan, sebagai identitas penduduk asli Banyuwangi mendapat penerimaan
luas baik di kalangan warga Banyuwangi sendiri, kalangan luar Banyuwangi, dan
para peneliti menjadi pemicu awal dari upaya saya.
Dalam tulisan ini saya berupaya mencari penjelasan untuk pertanyaan saya.
Berupaya melihat Using dalam kaitannya dengan berbagai peristiwa sejarah,
budaya, dan politik. Melakukan ikhtiar pemaknaan atas kaitan-kaitannya guna
memahami motif pembentukan identitas Using.
Dalam proses ini saya sangat berterima kasih kepada almarhum Akhmad Aksara
dan almarhum Endro Wilis yang bukan saja telah banyak membagi pengetahuan
dan pengalamannya yang panjang, lebih dari itu, telah membangunkan
kegelisahan saya. Tentu saya juga berhutang terima kasih pada sekian banyak
sarjana, seniman, budayawan, akademisi, yang karya-karyanya menjadi batu
tumpu untuk tulisan ini. Saya juga berterima kasih kepada anak saya Tualang dan
Terang yang telah menjadi pendorong, dan istri saya Hanny yang mau membaca
dan memeriksa tulisan ini.
5
DAFTAR ISI
Abstrak 7
BAB 3. Pembahasan 15 - 20
Tinjauan Pustaka 23
6
ABSTRAK
Identitas Using bukan jatuh dari langit atau bersifat alamiah, melainkan dibentuk
melalui proses panjang yang melibatkan kekuasaan. Proses pembentukan dan
pemasyarakat identitas Using tidak dapat dilepaskan dari konflik dan kekerasan
budaya. Konflik dan kekerasan budaya dalam pembentukan identitas Using
dilegitimasi dengan argumentasi mengembalikan keaslian dan watak patriotisme-
heroik yang digali dan ditafsir dari sejarah Kerajaan Blambangan masa lalu.
Konflik yang berlangsung dalam proses pembentukan identitas Using berkait erat
dengan peristiwa konflik politik tahun 1965. Sementara kekerasan budaya
terselenggara melalui kampanye kultural yang masif dan berlangsung terus-
menerus dalam waktu yang lama. Melalui proses pembentukan budaya istilah
Using mengalami definisi ulang dan bergeser jauh dari makna stigmatisasi pada
masa Blambangan silam ke makna yang berwatak patriotisme-heroik pada
Banyuwangi masa kini.
Kata kunci
Identitas, Using, pembentukan, proses, konflik, kekerasan budaya, legitimasi,
argumentasi, keaslian, patriotisme-heroik, sitigmatisasi, Blambangan,
Banyuwangi.
7
BAB 1. PENDAHULUAN
Saat ini tidak ada angka pasti mengenai berapa banyak jumlah orang Using, dan
tidak juga diketahui dengan pasti persebarannya. Namun dalam laporan Badan
Pusat Statistik (BPS) 2010 Using telah diklasifikasikan sebagai kelompok etnik
tersendiri yang sejajar dengan Jawa dan Dayak. Institute Southeast Asian Studies
(ISEAS) Working Paper#1 (2014) hanya menyebut bahwa Using diklasifikasikan
sebagai kelompok etnik tersendiri karena berbeda.
Pada paruh pertama tahun 1990-an sampai awal 2000-an di Banyuwangi terjadi
silang pendapat mengenai penggunaan Using sebagai identitas etnik dan budaya
orang asli Banyuwangi. Silang pendapat tersebut melibatkan aktivis-aktivis
8
kebudayaan yang bernaung, setidaknya, dalam dua lembaga yang berbeda, Dewan
Kebudayaan Blambangan (DKB) dengan Pusat Studi Budaya Banyuwangi
(PSBB). DKB yang merupakan pendukung utama penggunaan istilah Using
sebagai identitas orang Banyuwangi dimotori oleh Hasan Ali. Sementara dari
kelompok PSBB penentang paling keras penggunaan istilah Using adalah Ahmad
Aksara dan Endro Wilis. Polemik tersebut banyak berlangsung dalam diskusi-
diskusi atau sarasehan-sarasehan yang sayangnya tidak terdokumentasi dengan
baik.
Tulisan ini diharapkan dapat menutup celah dalam kajian mengenai Using dengan
menyajikan data-data, analisa, dan kesimpulan mengenai bagaimana identitas
Using dikonstruksi. Melalui pelacakan dan pembongkaran motif-motif
pengonstruksian tulisan ini diharapkan dapat meluruskan asumsi yang
berkembang di kalangan masyarakat dan peneliti mengenai hubungan Using dan
Blambangan. Atau paling tidak menjadi bacaan altenatif mengenai Using. Pada
akhirnya tulisan ini semoga dapat menjadi bahan rujukan bagi Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi untuk menyusun dan menentukan kebijakan sosio-
kultural dan pariwisata di Banyuwangi.
9
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Blambangan
Sampai saat ini para ahli belum bersepakat mengenai makna dari kata
Blambangan. Sebagian ahli berpendapat Blambangan mempunyai makna dari kata
“Bala Buangan” yang bersumber pada spekulasi bahwa masyarakat Blambangan
adalah orang-orang yang melarikan diri pada saat runtuhnya Majapahit. Sebagian
lagi menyatakan bahwa Blambangan berasal dari kata “lambwang” yang
mempunyai makna pinggir. Hal ini didasarkan pada letak geografis Blambangan
yang berada pada pinggiran kerajaan Majapahit atau Mataram. Sementara sisanya
menduga Blambangan berasal dari kata “blambang” yang bermakna genangan air,
10
karena kondisi alam Blambangan pada masa lalu, terutama daerah pantai, yang
berrawa-rawa.
11
yang menjadi garis merah dari sejumlah penggambaran orang Blambangan di atas
adalah bahwa semua sarjana Belanda tersebut, baik eksplisit maupun implisit,
menyatakan orang Blambangan adalah orang pribumi atau asli dengan perawakan
fisik yang kuat dengan karakter setengah biadab.
Para ahli sepakat bahwa Using berasal dari kata “sing” yang berarti “tidak” atau
“bukan”. Akan tetapi penjelasan mengapa istilah using digunakan untuk menyebut
orang Blambangan atau penduduk asli Bannyuwangi belum memuaskan.
Pendapat yang umum mengenai pemakaian istilah Using tersebut diasalkan pada
kosa kata “sing” yang terdapat pada bahasa yang digunakan oleh orang
Banyuwangi asli. Ada penjelasan yang menyatakan Using digunakan oleh orang
Jawa untuk menyatakan bahwa mereka berbeda dengan orang asli Banyuwangi.
Jadi Using mempunyai makna “belum atau tidak Jawa”. Sementara Sri Margana
(2011), berdasar pada penelitian tahun 1930 yang dilakukan orang Belanda yang
menyebut dirinya “insider”, menyatakan bahwa Using berasal dari bahasa Bali
yang mempunyai konotasi “bukan manusia”. Hal ini merujuk pada penduduk
Blambangan masa lalu yang beragama Hindu namun tidak mengenal kasta seperti
pada Hindu Bali. Penduduk Blambangan tidak termasuk dalam kasta-kasta Hindu
Bali bahkan paria sekalipun. “’Wong Using’ berarti ‘bukan manusia’, dan bagi
kesadaran diri sesorang ini tentu saja ‘di bawah segala sesuatu’” (“insider” dalam
Margana 2011).
Pada umumnya para ahli mempunyai pendapat yang sama bahwa orang Using
adalah orang Blambangan tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Namun Sri Margana
(2011) berdasar pada laporan penelitian yang dilakukan oleh “insider” mencoba
melakukan analisa siapa sebernarnya yang disebut orang Using tersebut. Menurut
Margana, dengan pertimbangan sejarah politik dan kultural, orang Using adalah
orang Blambangan dan orang Blambangan peranakan Bali. Berbeda dengan
12
Margana, Bernard Arps (2009) yang melihat fenomena Using/Osing sebagai
identitas ethnolinguistik dan kultural yang bibitnya muncul pada tahun 1970-an
justru berpendapat bahwa budaya Using memanggil semua warga Banyuwangi
apapun latar etniknya. “As a consequence, people living in Banyuwangi, if they
want to be Banyuwangi people, if they want to belong there, have to be Osing in
some way or other”. Tentu saja ada perbedaan konteks antara pendapat Margana
dan Arps. Margana menganalisa Using dalam konteks sejarah politik dan kultural
serta dalam perspektif orang Bali pada abad 18. Sedangkan Arps menganalisa
Using sebagai fenomena kontemporer yang mendapatkan status khusus karena
dipilih oleh para pegiat budaya dan pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Namun,
perbedaan ini menjadi petunjuk awal bagaimana Using mengalami perubahan
makna dalam konteks sosial-budaya.
13
bahwa masyarakat sosial terbagi dalam kelompok-kelompok yang bersaing untuk
menguasai sumber-sumber sosial dan sumber-sumber ekonomi. Tatanan sosial
ditegakkan melalui dominasi, dimana kelompok atau kelas penguasa melalui
kontrol sosial melakukan pemaksaan suatu konsensus. Menurut Antonio Gramsci
(1971) konsensus tersebut sebagian besarnya dicapai melalui hegemoni kultural.
14
BAB 3. PEMBAHASAN
15
ciptaannya. Kemarahan Endro Wilis ini terkekspresikan dalam catatan yang ia
tulis di bawah lembar kertas syair lagu karangannya Mbok Irat. Dalam lembar
syair dan notasi lagu yang menceritakan kekhawatirannya mengenai gawatnya
situasi 1965 di Banyuwangi, pada saat itu ia berdinas di ketentaraan di Kalimantan
ketika pecah konflik Indonesia – Malaysia, Wilis menulis,
“Syair aslinya sudah dihancurkan oleh kawan yang . . . (diganti total tanpa idzin!) /
tidak bisa menghargai hak pribadi orang lain. / Maka sekarang saya buat sya’ir
baru ini dan saya nyatakan bahwa sya’ir yang di luar ini adalah pelanggaran!!”.
16
Dalam konteks Using, pesan Presiden Soeharto kepada Bupati Supaat untuk
mengembalikan kesenian Banyuwangi pada keasliannya mempunyai dua tujuan
sekaligus, yakni merevitalisasi nilai-nilai budaya daerah sekaligus kampanye anti
komunis. Pencarian keaslian ini kemudian menjadi proyek pembentukan identitas
Using yang upaya pertamanya adalah menegaskan perbedaan kebudayaan
Banyuwangi dari kebudayaan-kebudayaan lain melalui bahasa. Dalam dalam Arps
(2010) buku Selayang Pandang Blambangan memuat suatu tekad untuk
menjadikan ragam tuturan yang digunakan orang Banyuwangi menjadi bahasa,
“Sesungguhnya dialek Jawa-Osing bukanlah dialek tetapi sudah dapat disebut
sebagai bahasa, yaitu BAHASA OSING”. Bahasa dalam pembentukan identitas di
sini menjadi elemen penting yang berperan sebagai penanda dengan fungsi
menjadi media ekspresi kultural yang khas dan sekaligus menjadi batas etnisitas.
17
ditafsir sebagai ekspresi heroik. Selanjutnya watak patriotisme-heroik ini terus
direproduksi melalui syair-syair lagu daerah seperti Isun Lare Using dan Umbul-
Umbul Blambangan. Penemuan heroisme ini penting untuk menciptakan
kebanggaan terhadap identitas Using. Kebanggan adalah elemen afektif penting
dalam identitas seperti dinyatakan oleh Amartya Sen (2007), “Rasa memiliki
identitas bukan hanya bisa menjadi sumber lahirnya kebanggaan dan kebahagiaan,
melainkan pula sumber tumbuhnya kekuatan dan kepercayaan diri. Karakter
patriotisme-heroik juga, dengan mengikuti Johan Galtung, digunakan sebagai alat
legitimasi atau pembenaran untuk tindakan-tindakan kekerasan budaya. Berkait
dengan kebanggaan ini Hasan Ali dengan sengit mendebat segala pernyataan yang
menyatakan bahwa produk kebudayaan Blambangan rendah, yang salah satunya
adalah pernyataan dari I Made Sudjana yang mengatakan bahwa Blambangan
tidak pernah mencapai zaman keemasan yang sering dihubungkan dengan
berkembangnya seni sastra dan kebudayaan pada umumnya. Dalam buku
Kalangwan, P.J. Zoetmulder (1983) juga mengatakan bahwa kidung Sudamala
dan Sritanjung yang diduga berasal dari masa Blambangan memiliki mutu sastra
yang rendah. Dalam membela produk-produk kebudayaan Blambangan yang
diwarisi Using Hasan Ali (1993) dalam makalah Bahasa dan Sastra Using di
Banyuwangi Bahasa dan Sastra Using di Banyuwangi berdalih bahwa hasil-hasil
kebudayaan Blambangan musnah karena perang berkepanjangan yang
berkecamuk tahun 1316 – 1772. Di samping itu ia juga mengangkat mutu syair-
syair kuno Seblang dengan menyatakan ,
“Ketika para pujangga Angkatan Lama dan Pujangga Baru masih berleha-leha dengan
petatah-petitih, pantun, gurindam, talibun, sonata dll., yang kemudian ‘diterjang’ oleh
Chairil Anwar dan teman-temannya se-Angkatan ’45, justru dalam kesusastraan Using
sudah ada Padha Nonton . . . yang dalam bentuk dan isi sama dengan yang dimaui oleh
Chairil Anwar”.
Guna meletakkan kebanggaan dalam identitas Using dilakukan apa yang disebut
praktik pengaburan. Wacana patriotisme-heroik yang dikampayekan secara masif
melalui syair-syair lagu, spanduk-spanduk di ruang publik, direproduksi sebagai
teks dalam hasil-hasil penelitian-penelitian, majalah-majalah dan surat kabar,
18
telah melubuk dalam pikiran serta perasaan publik dan menenggelamkan tafsir
lain atas peristiwa sejarah dan produk-produk budaya. Padahal Perang Bayu
bukan hanya melibatkan orang Blambangan dan Kompeni Belanda, namun orang
Blambangan, Jawa, Bugis, China, Bali, dan Inggris pada satu pihak dan Belanda,
Blambangan, Madura, dan Jawa pada pihak lain. Perang Bayu sendiri meletus
karena dipicu oleh perebutan tahta kerajaan antar keluarga. Demikian juga dengan
ritual Seblang dan Gandrung yang menurut Akhmad Aksara adalah upacara Butha
Yadnya dan sejak awal kelahirannya di kesatrian prajurit Bali di Blambangan
adalah tari pergaulan pengisi waktu senggang. Dalam hal ini wacana heroisme
menjadi dominan karena mendapat dukungan dari pemerintah yang sejak awal
memainkan peran menentukan dalam mengembalikan keaslian kesenian
Banyuwangi seraya menggalakkan kampanye anti komunis. Apa yang perlu
dicamkan sekali lagi di sini adalah gagasan awal keaslian yang ditujukan untuk
membersihkan pengaruh komunis.
Pemasyarakat identitas Using telah dimulai pada tahun 1980-an dan pencapai
puncaknya pada tahun 1990-an sampai 2000-an. Pemasyarakatan identitas Using
di ruang publik disebut oleh Bernard Arps (2009) sebagai ambient themes. Dalam
hal ini bahasa dan budaya Using disebarluaskan ke masyarakat melalui siaran-
siaran radio, spanduk-spanduk himbauan, penggunaan tokoh-tokoh sejarah lokal
sebagai nama-nama jalan dan sarana umum, pendirian patung-patung simbol
kedaerahan seperti penari gandrung, naga berkepala manusia, dan macan putih.
Maraknya simbol-simbol kedaerahan ini tak terlepas dari Surat Keputusan Bupati
No. 173 tanggal 31 Desember 2002 mengenai penetapan Gandrung sebagai
maskot pariwisata. Kampanye kultural semacam ini, atau interplasi atau
pemanggilan dalam istilah Althusser (1971), yang dilakukan terus menerus dan
berlangsung lama telah membuat Using menjadi kultur dominan di Banyuwangi.
Sementara, kampanye yang lebih sistematis dan struktural berlangsung di ruang-
ruang kelas sekolah melalui pengajaran bahasa Using sebagai muatan lokal.
19
Kampanye hegemonik ini, yang tidak hanya memanggil penduduk asli, tapi
sekaligus penduduk pendatang yang sebenarnya mempunyai latar kultural dan
identitas berbeda, telah memicu beberapa konflik terbuka dalam masyarakat.
Berkait dengan pendirian patung karakter Gandrung di halaman pelabuhan
Ketapang, misalnya, telah menimbulkan protes penolakan masyarakat bernuansa
agama. Begitupun dengan rencana pendirian patung karakter Gandrung raksasa di
Watu Dodol mendapat tentangan dari sejumlah anggota DPRD dengan alasan
agama juga. Dalam koran Radar Banyuwangi juga pernah dimuat kritik bernuansa
agama dan pengecaman atas etnis tertentu terhadap hiasan ular berkepala karakter
wayang di atap pondopo rumah dinas Bupati Banyuwangi oleh tokoh kelompok
pemuda keagamaan. Hal paling misterius adalah lenyapnya patung-patung
karakter gandrung, Minakjinggo dan Dayun, serta binatang mitologi Macan Putih
di beberapa tempat di Banyuwangi dalam satu malam.
20
BAB 4. SIMPULAN DAN SARAN
Identitas Using tidak jatuh dari langit, melainkan hasil dari konstruksi sosio-
budaya. Pembentukan identitas Using tidak dapat dilepaskan dari kampanye anti
komunis Pemerintah Orde Baru. Berlandas pada Surat Keputusan Bupati
Banyuwangi, SK No. um/1698/50 tertanggal 19 Mei 1970 untuk mengatur
keberadaan kesenian daerah, tindakan-tindakan penyensoran, pemilihan, dan
pengarahan merupakan langkah pertama untuk terciptanya kondisi,
mengembalikan keaslian produk-produk budaya Banyuwangi, yang diperlukan
dalam pembentukan identitas Using. Apa yang dimaksud dengan mengembalikan
keaslian produk-produk budaya Banyuwangi yaitu mengembalikan produk-
produk budaya seperti pada masa Blambangan. Akan tetapi maksud sebenarnya
dari mengembalikan keaslian adalah melakukan tafsir atau pemaknaan yang
sesuai dengan karakteristik identitas Using yang diidealkan. Dengan demikian
tindakan untuk mengembalikan keaslian tak berbeda dengan melakukan
manipulasi atau pengaburan. Pengaburan, yang merupakan manifestasi dari
legitimasi, paling jelas adalah perubahan dari istilah Using. Istilah Using yang
pada masa lalu merupakan stigmatisasi, penghinaan, berubah menjadi heroisme
yang membanggakan.
21
Tulisan ini tentu jauh dari sempurna. Keterbatasan waktu dan halaman, dan pasti,
kemampuan penulis, membuat tulisan ini tidak dapat menyajikan semua data-data
yang relevan dan analisa yang lebih tajam. Oleh karenanya perlu penelitian yang
lebih luas dan mendalam untuk meyempurnakan tulisan ini. Hal serius apa yang
terlewatkan dalam tulisan ini adalah mulai tumbuhnya benih-benih fanatisme
dalam identitas Using di kalangan angkatan muda yang terekspresi dalam
sejumlah diskusi dan sarasehan pada tahun-tahun belakangan dengan mulai
munculnya pernyataan yang mengecam penelitian-penelitian yang dilakukan oleh
akademisi yang bukan orang Banyuwangi. Identitas, kata Amartya Sen (2007),
adalah sumber lahirnya kebanggaan dan kebahagian, serta sumber lahirnya
kekuatan dan kepercayaan diri, oleh karena potensinya tersebut identitas bisa jadi
senjata untuk memusnahkan orang lain. Pada konteks lain Martin Suryajaya,
dalam tulisan kritiknya atas pembentukan identitas subyektif karya Slavoz Zizek,
kurang lebih menyatakan identitas budaya adalah produk dari pandangan
idealisme yang tidak menjangkar pada realitas material. Oleh karenanya,
kebijakan sosio-kultural yang diambil pemerintah, tertutama berkait dengan
kepentingan pariwisata, hendaknya menghindar dari pengistimewaan salah satu
bentuk budaya atau etnis tertentu dalam masyarakat yang dapat memicu konflik
dan kekerasan budaya di masyarakat.
22
DAFTAR PUSTAKA
23
Margana, S. (2012). Ujung Timur Jawa, 1763-1813: Perebutan Hegemoni
Blambangan. Yogyakarta: Pustaka Ifada.
Margana, S. (2011). Melukis Tiga Roh: Stigmatisasi dan Kebangkitan
Historiografi Lokal di Banyuwangi. Makalah pada Konferensi Nasional
Sejarah IX di Jakarta, 5 – 7 Juli 2011.
Scholte, J., Setiawan, P.B. (Pen.). (2009). Gandroeng van Banjoewangi.
Banyuwangi: Pusat Studi Budaya Banyuwangi.
Sen, A., Susanto, A. (2007). Kekerasan dan Ilusi Tentang Identitas. Tangerang:
Marjin Kiri.
Stoppelaar, D. J. W., Setiawan, P.B. (Pen.). (2009). Hukum Adat Blambangan.
Banyuwangi: Pusat Studi Budaya Banyuwangi.
Sudjana, I. M. (2001). Nagari Tawon Madu. Kuta-Bali: Larasan Sejarah.
Yudhistira, A. W. (2010). Dilarang Gondrong! : Praktik Kekuasaan Orde Baru
Terhadap Anak Muda Awal Tahun 1970-an. Tangerang: Marjin Kiri.
Zoetmulder, P. J. (1983). Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang.
Jakarta: Djambatan
24
Biodata Penulis
25