Anda di halaman 1dari 25

DARI BLAMBANGAN KE USING:

KONFLIK DAN KEKERASAN BUDAYA

DALAM PEMBENTUKAN IDENTITAS USING DI BANYUWANGI

DWI PRANOTO

022511469

JEMBER

2015

1
LEMBAR IDENTITAS

JUDUL : DARI BLAMBANGAN KE USING:


KONFLIK DAN KEKERASAN BUDAYA
DALAM PEMBENTUKAN IDENTITAS
USING DI BANYUWANGI

NAMA : DWI PRANOTO

NIM : 022511469

NO. TELPON : 085655654427

ALAMAT EMAIL : dwi1pranoto@gmail.com

ALAMAT LENGKAP : PERUMAHAN BUMI TEGAL BESAR


BLOK BA NO.28 RT.03 RW.18,
LINGKUNGAN KARANGANYAR,
KELURAHAN TEGAL BESAR,
KECAMATAN KALIWATES, KABUPATEN
JEMBER

2
3
PENGANTAR PENULIS

Seperti sebagian besar orang Banyuwangi yang lahir tahun 1970-an, saya
beranggapan bahwa Using dan Blambangan adalah sama. Artinya, Blambangan
adalah nama kerajaan dan Using adalah identitas penduduknya. Oleh karenanya
Using sebagai identitas penduduk asli Banyuwangi tidak lagi perlu dipertanyakan.
Seolah-olah secara alamiah penduduk asli Banyuwangi adalah Using.

Namun kira-kira pada akhir 1990-an pandangan saya tersebut terguncang ketika
bertemu dengan dua orang Banyuwangi yang sudah tua, yang sebenarnya rumah
tinggal mereka hanya sepelemparan batu dari rumah saya. Kedua orang itu adalah
Akhmad Aksara, budayawan Banyuwangi, dan Endro Wilis, pengarang lagu
daerah Banyuwangi angkatan pertama. Mereka berdua menolak disebut orang
Using dan begitu marah ketika saya menyebut orang Banyuwangi adalah orang
Using. Akan tetapi penjelasan kedua orang tua tersebut tidak memuaskan saya.

Setelah kejadian itu saya bertanya ke banyak penduduk Banyuwangi yang sudah
berusia lanjut. Sebagian besar dari mereka menyatakan bahwa Using baru mulai
populer pada tahun-tahun 1980-an. Namun penjelasan mereka tentang mengapa
baru tahun 1980-an Using mulai populer juga tidak memuaskan saya. Karena itu
kemudian saya berupaya mencari penjelasannya pada artikel-artikel, buku-buku,
dan makalah-makalah.

Dalam artikel-artikel, buku-buku, dan makalah-makalah juga tidak ada penjelasan


yang memuaskan tentang Using. Akan tetapi saya menemukan bahwa istilah
Using baru digunakan pada abad 20, dan istilah Using tidak digunakan oleh
penduduk asli Banyuwangi untuk dirinya sendiri, melainkan oleh orang luar. Pada
akhirnya secercah cahaya menerangi pencarian saya ketika saya membaca
makalah sejarah Sri Margana yang menyebut istilah Using yang diberikan kepada
orang Banyuwangi adalah suatu stigmatisasi.

4
Using yang menjadi subyek tulisan ini adalah salah satu titik perhatian saya yang
sudah berlangsung lama. Pertanyaan mengapa Using, yang pada masa lalu adalah
penghinaan, sebagai identitas penduduk asli Banyuwangi mendapat penerimaan
luas baik di kalangan warga Banyuwangi sendiri, kalangan luar Banyuwangi, dan
para peneliti menjadi pemicu awal dari upaya saya.

Dalam tulisan ini saya berupaya mencari penjelasan untuk pertanyaan saya.
Berupaya melihat Using dalam kaitannya dengan berbagai peristiwa sejarah,
budaya, dan politik. Melakukan ikhtiar pemaknaan atas kaitan-kaitannya guna
memahami motif pembentukan identitas Using.

Dalam proses ini saya sangat berterima kasih kepada almarhum Akhmad Aksara
dan almarhum Endro Wilis yang bukan saja telah banyak membagi pengetahuan
dan pengalamannya yang panjang, lebih dari itu, telah membangunkan
kegelisahan saya. Tentu saya juga berhutang terima kasih pada sekian banyak
sarjana, seniman, budayawan, akademisi, yang karya-karyanya menjadi batu
tumpu untuk tulisan ini. Saya juga berterima kasih kepada anak saya Tualang dan
Terang yang telah menjadi pendorong, dan istri saya Hanny yang mau membaca
dan memeriksa tulisan ini.

5
DAFTAR ISI

Pengantar Penulis 4–5

Abstrak 7

BAB 1. Pendahuluan 8-9

BAB 2. Tinjauan Pustaka 10 - 14

BAB 3. Pembahasan 15 - 20

BAB 4. Simpulan dan Saran 21 – 22

Tinjauan Pustaka 23

6
ABSTRAK

Identitas Using bukan jatuh dari langit atau bersifat alamiah, melainkan dibentuk
melalui proses panjang yang melibatkan kekuasaan. Proses pembentukan dan
pemasyarakat identitas Using tidak dapat dilepaskan dari konflik dan kekerasan
budaya. Konflik dan kekerasan budaya dalam pembentukan identitas Using
dilegitimasi dengan argumentasi mengembalikan keaslian dan watak patriotisme-
heroik yang digali dan ditafsir dari sejarah Kerajaan Blambangan masa lalu.
Konflik yang berlangsung dalam proses pembentukan identitas Using berkait erat
dengan peristiwa konflik politik tahun 1965. Sementara kekerasan budaya
terselenggara melalui kampanye kultural yang masif dan berlangsung terus-
menerus dalam waktu yang lama. Melalui proses pembentukan budaya istilah
Using mengalami definisi ulang dan bergeser jauh dari makna stigmatisasi pada
masa Blambangan silam ke makna yang berwatak patriotisme-heroik pada
Banyuwangi masa kini.

Kata kunci
Identitas, Using, pembentukan, proses, konflik, kekerasan budaya, legitimasi,
argumentasi, keaslian, patriotisme-heroik, sitigmatisasi, Blambangan,
Banyuwangi.

7
BAB 1. PENDAHULUAN

Sebagian masyarakat Indonesia, terutama Jawa Timur, mengenal penduduk


Banyuwangi sebagai masyarakat Using. Istilah Using tersebut melekat pada
tradisi, kesenian, kuliner, dan terutama bahasa yang dipraktikan oleh penduduk
asli Banyuwangi. Sebagian ahli berpendapat bahwa kebudayaan Banyuwangi
yang ada saat ini adalah warisan dari kerajaan Blambangan yang merupakan
benteng terakhir budaya Hindu di Jawa setelah runtuhnya Majapahit.

Saat ini tidak ada angka pasti mengenai berapa banyak jumlah orang Using, dan
tidak juga diketahui dengan pasti persebarannya. Namun dalam laporan Badan
Pusat Statistik (BPS) 2010 Using telah diklasifikasikan sebagai kelompok etnik
tersendiri yang sejajar dengan Jawa dan Dayak. Institute Southeast Asian Studies
(ISEAS) Working Paper#1 (2014) hanya menyebut bahwa Using diklasifikasikan
sebagai kelompok etnik tersendiri karena berbeda.

Sebagian besar peneliti menganggap identitas Using diturunkan langsung dari


masa Blambangan. Padahal, jika mencermati dokumen-dokumen sosial yang
tersimpan dalam produk-produk budaya dan kronik-kronik lama sejarah, semisal
syair-syair kuno Seblang dan Gandrung serta Babad Blambangan dan Babad
Bayu, dapat dipastikan tidak ditemukan satupun istilah Using untuk menyebut
masyarakat Blambangan atau masyarakat Banyuwangi asli. Di dalam syair lama,
sebelum tahun 1970, lagu-lagu daerah Banyuwangi yang dikarang oleh Mohamad
Arief, Mahfud, dan Endro Wilis juga tidak ditemukan istilah Using. Istilah Using
untuk menyebut masyarakat Blambangan atau masyarakat Banyuwangi asli baru
ditemukan pertama kali pada paruh pertama abad 20 dalam tulisan sarjana
Belanda Pigeaud, De Stoppelaar, dan John Scholte.

Pada paruh pertama tahun 1990-an sampai awal 2000-an di Banyuwangi terjadi
silang pendapat mengenai penggunaan Using sebagai identitas etnik dan budaya
orang asli Banyuwangi. Silang pendapat tersebut melibatkan aktivis-aktivis

8
kebudayaan yang bernaung, setidaknya, dalam dua lembaga yang berbeda, Dewan
Kebudayaan Blambangan (DKB) dengan Pusat Studi Budaya Banyuwangi
(PSBB). DKB yang merupakan pendukung utama penggunaan istilah Using
sebagai identitas orang Banyuwangi dimotori oleh Hasan Ali. Sementara dari
kelompok PSBB penentang paling keras penggunaan istilah Using adalah Ahmad
Aksara dan Endro Wilis. Polemik tersebut banyak berlangsung dalam diskusi-
diskusi atau sarasehan-sarasehan yang sayangnya tidak terdokumentasi dengan
baik.

Bagaimana kemudian istilah Using sebagai identitas masyarakat asli Banyuwangi


yang baru muncul pada abad 20 dapat mempunyai hubungan dengan Blambangan
yang bahkan sudah runtuh sebelum istilah Using itu muncul? Tulisan ini akan
berupaya mengkaji bagaimana identitas Using yang tak terpisahkan dengan
sejarah Blambangan dikonstruksi. Menguraikan proses dan menemukan dorongan
atau motif pengonstruksian identitas Using.

Tulisan ini diharapkan dapat menutup celah dalam kajian mengenai Using dengan
menyajikan data-data, analisa, dan kesimpulan mengenai bagaimana identitas
Using dikonstruksi. Melalui pelacakan dan pembongkaran motif-motif
pengonstruksian tulisan ini diharapkan dapat meluruskan asumsi yang
berkembang di kalangan masyarakat dan peneliti mengenai hubungan Using dan
Blambangan. Atau paling tidak menjadi bacaan altenatif mengenai Using. Pada
akhirnya tulisan ini semoga dapat menjadi bahan rujukan bagi Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi untuk menyusun dan menentukan kebijakan sosio-
kultural dan pariwisata di Banyuwangi.

9
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Bab Tinjauan Pustaka ini pertama-tama menyajikan upaya menelusuri


penggunaan dan makna istilah Blambangan dan Using yang terdokumentasi
dalam karya-karya beberapa penulis. Penelusuran ini berguna untuk memberikan
kejernihan pada subyek tulisan. Kemudian, tentu saja, akan disajikan pembahasan
teori mengenai konflik dan kekerasan budaya sebagai landasan kerja dalam tulisan
ini.

2.1 Blambangan

Para ahli anthropologi, arkeologi, dan sejarah berpendapat bahwa nama


Blambangan telah disebut-sebut dalam sejumlah kronik sejarah pada masa
kerajaan. Pigeaud dalam Darusuprapta (1993) menduga nama Balumbungan yang
disebut dalam Negarakretagama karya Prapanca pada abad 14 dapat ditafsir
sebagai Blambangan. Sementara Abdul Choliq Nawawi (1993) disamping
menyebut Balumbungan dalam Negarakretagama juga menyatakan Baranbanan
dalam Babad Buleleng secara etimologis mungkin dapat berubah menjadai
Balambangan dan akhirnya menjadi Blambangan.

Sampai saat ini para ahli belum bersepakat mengenai makna dari kata
Blambangan. Sebagian ahli berpendapat Blambangan mempunyai makna dari kata
“Bala Buangan” yang bersumber pada spekulasi bahwa masyarakat Blambangan
adalah orang-orang yang melarikan diri pada saat runtuhnya Majapahit. Sebagian
lagi menyatakan bahwa Blambangan berasal dari kata “lambwang” yang
mempunyai makna pinggir. Hal ini didasarkan pada letak geografis Blambangan
yang berada pada pinggiran kerajaan Majapahit atau Mataram. Sementara sisanya
menduga Blambangan berasal dari kata “blambang” yang bermakna genangan air,

10
karena kondisi alam Blambangan pada masa lalu, terutama daerah pantai, yang
berrawa-rawa.

Seperti kajian sejarah mengenai Blambangan yang sangat jarang, sebagaimana


dinyatakan Sri Margana (2012), begitupun dengan kajian mengenai penduduk,
masyarakat, atau orang Blambangan. Informasi mengenai masyarakat atau orang
yang menghuni ujung timur Jawa pada masa kerajaan Blambangan tidak pernah
menjadi kajian intensif tersendiri. Sumber-sumber kolonial hanya menyebut
secara sekilas mengenai orang Blambangan. Tulisan Dr. F. Epp (1849) mengenai
geografi dan geonosi yang berjudul Banyuwangi menyebut orang-orang
Blambangan “berhati baik, manusia-manusia alam yang belum rusak, sangat kuat
dalam memahami keindahan tetapi mereka juga percaya sekali pada tahayul dan
tidak berpengalaman, bodoh kekanak-kanakan”. Dr. Epp juga menyebut orang
Blambangan mempunyai perawakan yang baik, kulitnya tidak terlalu hitam dan
tidak mengalami cacat yang disebabkan oleh penyakit. Sementara Roorda van
Eysinga (1850) dalam tulisannya mengenai ilmu bumi dan tempat-tempat di
residensi Besuki dan Banyuwangi bahkan menyebut orang Blambangan sebagai
setengah biadab. Tahun 1636, menurut van Eysinga, sejumlah besar orang
Blambangan dibawa sebagai tawanan ke Mataram untuk dijadikan budak. Di
Mataram mereka digolongan ke dalam kelas tersendiri dari orang-orang Paria.
Pada paruh pertama abad 20 buku Hukum Adat Blambangan (2009) karya Dr. De
Stoppelaar menyatakan orang-orang Blambangan mempunyai badan yang kuat,
bersikap bebas dalam pergaulan, terampil, dan jujur. Dalam buku yang menyebut
orang Blambangan sebagai Osinger-Javanen tersebut Stoppelaar juga menyatakan
bahwa orang-orang Blambangan bukan petani yang baik, namun penjelajah hutan
yang baik dan pemburu yang gagah berani. Orang Blambangan pada masa itu
enggan untuk bekerja di perkebunan-perkebunan milik pemerintah kolonial
Belanda. Hampir senada dengan Stoppelaar, John Scholte (2009) dalam
penelitiannya mengenai Gandrung, Gandroeng van Banjoewangi, menyebut
keturunan Blambangan adalah suku bangsa yang gagah fisiknya, berkepribadian,
berpegang kuat pada adat istiadat namun mudah menerima peradaban baru. Apa

11
yang menjadi garis merah dari sejumlah penggambaran orang Blambangan di atas
adalah bahwa semua sarjana Belanda tersebut, baik eksplisit maupun implisit,
menyatakan orang Blambangan adalah orang pribumi atau asli dengan perawakan
fisik yang kuat dengan karakter setengah biadab.

2.2 Istilah Using/Osing

Para ahli sepakat bahwa Using berasal dari kata “sing” yang berarti “tidak” atau
“bukan”. Akan tetapi penjelasan mengapa istilah using digunakan untuk menyebut
orang Blambangan atau penduduk asli Bannyuwangi belum memuaskan.
Pendapat yang umum mengenai pemakaian istilah Using tersebut diasalkan pada
kosa kata “sing” yang terdapat pada bahasa yang digunakan oleh orang
Banyuwangi asli. Ada penjelasan yang menyatakan Using digunakan oleh orang
Jawa untuk menyatakan bahwa mereka berbeda dengan orang asli Banyuwangi.
Jadi Using mempunyai makna “belum atau tidak Jawa”. Sementara Sri Margana
(2011), berdasar pada penelitian tahun 1930 yang dilakukan orang Belanda yang
menyebut dirinya “insider”, menyatakan bahwa Using berasal dari bahasa Bali
yang mempunyai konotasi “bukan manusia”. Hal ini merujuk pada penduduk
Blambangan masa lalu yang beragama Hindu namun tidak mengenal kasta seperti
pada Hindu Bali. Penduduk Blambangan tidak termasuk dalam kasta-kasta Hindu
Bali bahkan paria sekalipun. “’Wong Using’ berarti ‘bukan manusia’, dan bagi
kesadaran diri sesorang ini tentu saja ‘di bawah segala sesuatu’” (“insider” dalam
Margana 2011).

Pada umumnya para ahli mempunyai pendapat yang sama bahwa orang Using
adalah orang Blambangan tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Namun Sri Margana
(2011) berdasar pada laporan penelitian yang dilakukan oleh “insider” mencoba
melakukan analisa siapa sebernarnya yang disebut orang Using tersebut. Menurut
Margana, dengan pertimbangan sejarah politik dan kultural, orang Using adalah
orang Blambangan dan orang Blambangan peranakan Bali. Berbeda dengan

12
Margana, Bernard Arps (2009) yang melihat fenomena Using/Osing sebagai
identitas ethnolinguistik dan kultural yang bibitnya muncul pada tahun 1970-an
justru berpendapat bahwa budaya Using memanggil semua warga Banyuwangi
apapun latar etniknya. “As a consequence, people living in Banyuwangi, if they
want to be Banyuwangi people, if they want to belong there, have to be Osing in
some way or other”. Tentu saja ada perbedaan konteks antara pendapat Margana
dan Arps. Margana menganalisa Using dalam konteks sejarah politik dan kultural
serta dalam perspektif orang Bali pada abad 18. Sedangkan Arps menganalisa
Using sebagai fenomena kontemporer yang mendapatkan status khusus karena
dipilih oleh para pegiat budaya dan pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Namun,
perbedaan ini menjadi petunjuk awal bagaimana Using mengalami perubahan
makna dalam konteks sosial-budaya.

2.3 Teori Konflik dan Kekerasan Kultural

Keterkaitan antaran kebudayaan dengan praktik mempertahankan penguasaan atas


sumber-sumber sosial dan sumber-sumber ekonomi berlandas pada pernyataan
Karl Marx dan Frederick Engels. Dalam Terry Eagleton (2002), Marx dan Engels
menyatakan dalam German Ideologi:
“Produksi ide, konsep dan kesadaran pertama-tama langsung terangkai dengan
hubungan material antar manusia, bahasa kehidupan nyata. Pemahaman,
pemikiran, hubungan sprititual antara manusia muncul sebagai rembesan langsung
terhadap perilaku material manusia”.

Produk-produk kebudayaan oleh karenanya selalui mempunyai fungsi politik.


Bagi kelas penguasa fungsi politik dari kebudayaan tersebut diarahkan untuk
pencapaian konsensus. Suatu ikatan sosial yang terbentuk bukan dengan nilai-nilai
bersama, namun dengan pemaksaan yang dilakukan oleh tangan-tangan penguasa.

Teori konflik menekankan peran koersi dan kekuasaan untuk menghasilkan


tatanan sosial. Teori ini bertumpu pada pemikiran Karl Marx yang berpandangan

13
bahwa masyarakat sosial terbagi dalam kelompok-kelompok yang bersaing untuk
menguasai sumber-sumber sosial dan sumber-sumber ekonomi. Tatanan sosial
ditegakkan melalui dominasi, dimana kelompok atau kelas penguasa melalui
kontrol sosial melakukan pemaksaan suatu konsensus. Menurut Antonio Gramsci
(1971) konsensus tersebut sebagian besarnya dicapai melalui hegemoni kultural.

Guna mempertahankan konsensus atau “kondisi produksi”, menurut Louis


Althusser (1971), kelas penguasa mengopreasionalkan apa yang ia sebut sebagai
Aparatus Ideologis Negara (Ideological State Apparatuses atau ISA) dan Aparatus
Represif Negara (Repressive State Apparatuses atau RSA). Jika RSA melakukan
pemaksaan atau kekerasan lebih secara fisik, ISA melakukan pemaksaan atau
kekerasan dengan menanamkan ideologi kelas penguasa melalui propaganda.
Dalam menanamkan ideologi kelas penguasa atau dominan ISA oleh Althusser
dibagi menjadi ISA pendidikan, ISA Agama, ISA komunikasi, ISA kebudayaan.
Dalam hal ini ISA kebudayaan berfungsi untuk mempertahankan dan memelihara
dominasi dengan menggunakan simbol-simbol kebudayaan. Jadi ISA, sejalan
dengan pemikiran Pierre Bourdieu, mempertahankan dan memelihara dominasi
dengan mengonstruksi kenyataan sebagai landasan integrasi sosial melalui
kekuatan simbolik. Kenyataan yang dikonstruksi oleh ISA adalah kenyataan
ideologis yang dalam pengertian marxian tumbuh dari kesadaran palsu melalui
persepsi yang dimanipulasi. Kekerasan budaya, oleh karenanya merupakan
serangkaian proses bagaimana kelas dominan dengan kekuatan simbolik
memaksakan suatu konsensus atau mempertahankan kondisi produksi melalui,
seperti dinyatakan oleh Johan Galtung dalam Wijaya Herlambang (2013),
kebudayaan yang mencermahi, mengajarkan, mengecam, mengarahkan dan
mengaburkan. Elemen penting dari teori kekerasan budaya Galtung adalah
legitimasi yang berfungsi sebagai alat pembenar dari tindakan-tindakan kekerasan
kultural yang dilakukan. Bingkai kerja ini akan menjadi landasan diskusi untuk
melacak dan menerangi proses perubahan makna ini, yang melibatkan praktik
kekerasan budaya dan terjadinya konflik, seturut dengan pembentukan identitas
budaya Using.

14
BAB 3. PEMBAHASAN

Pembentukan identitas Using berlangsung dalam proses panjang yang benihnya


muncul bersamaan dengan awal perjuangan memposisikan bahasa Using sebagai
“bahasa” pada tahun 1970. Awal proses pembentukan identitas Using juga tidak
dapat dipisahkan dengan kebijakan politik nasional pada masa awal pemerintahan
Orde Baru yang sedang gencar mengkampanyekan faham anti komunis. Peristiwa
paling menentukan dalam proses ini adalah kunjungan Presiden Soeharto ke
Tapanrejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi. Pada kunjungan tersebut
Soeharto dihibur dengan sajian tari-tarian daerah dan kesenian angklung
Banyuwangi. Soeharto terkesan dan bertanya apakah jenis kesenian ini juga
digunakan oleh PKI?. Bupati Banyuwangi pada saat itu, Joko Supaat Selamet
yang mendampingi Soeharto mengiyakan. Lantas Presiden Soeharto berpesan
kepada Bupati Supaat agar kesenian tersebut dikembalikan pada “asli”nya. Pesan
Presiden Soeharto tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Bupati Supaat dengan
menyusun buku Selayang Pandang Blambangan yang merupakan upaya
menghimpun data sejarah dan etnografis Blambangan. Bupati Supaat juga
mengeluarkan Surat Keputusan Bupati SK No. um/1698/50 tertanggal 19 Mei
1970 untuk mengatur keberadaan kesenian daerah. Keputusan Bupati ini menjadi
landasan legal untuk melakukan upaya mengembalikan keaslian kesenian-
kesenian Banyuwangi yang direpresentasikan dengan tindakan-tindakan sensor,
pelarangan, kodifikasi kesenian-kesenian Banyuwangi. Produk kesenian paling
parah terkena SK tersebut adalah lagu-lagu daerah Banyuwangi yang diciptakan
oleh penggubah-penggubah yang dianggap komunis. Lagu-lagu Mohamad Arief
dan Endro Wilis tak lagi dinyanyikan oleh warga Banyuwangi. Sebelum lagu-
lagunya menghilang M.Arief lebih dulu “dihilangkan” paksa dan sampai hari ini
tidak diketahui nasibnya. Sementara Endro Wilis yang sempat merasakan
dinginnya lantai penjara Lowokwaru, Malang, harus meredam rasa marah karena
sejumlah syair lagu karangannya, setelah melalui sensor, mengalami perubahan.
Ketika dikasetkan nama Endro Wilis sendiri harus dihilangkan dari lagu-lagu

15
ciptaannya. Kemarahan Endro Wilis ini terkekspresikan dalam catatan yang ia
tulis di bawah lembar kertas syair lagu karangannya Mbok Irat. Dalam lembar
syair dan notasi lagu yang menceritakan kekhawatirannya mengenai gawatnya
situasi 1965 di Banyuwangi, pada saat itu ia berdinas di ketentaraan di Kalimantan
ketika pecah konflik Indonesia – Malaysia, Wilis menulis,

“Syair aslinya sudah dihancurkan oleh kawan yang . . . (diganti total tanpa idzin!) /
tidak bisa menghargai hak pribadi orang lain. / Maka sekarang saya buat sya’ir
baru ini dan saya nyatakan bahwa sya’ir yang di luar ini adalah pelanggaran!!”.

Pada tahun 1970-an lagu-lagu daerah Banyuwangi mengalami perubahan besar.


Syair-syair yang ditulis pada awal tahun 1970-an dan sesudahnya tak lagi berisi
kritik dan keberpihakan pada yang tertindas seperti pada sebelum 1965. Bernard
Arps (2009) menulis “Pada awal 70-an, di bawah bupati pertama masa Orde Baru,
genre musik Banyuwangi dibangkitkan lagi – dengan suatu konteks politik yang
berbeda secara radikal dan tanpa ‘Genjer-genjer’. . .”.

Tahun 1970-an barangkali merupakan suatu periode penting dalam kebijakan


politik kebudayaan Orde Baru. Pada masa itu, disamping berlangsung kampanye
masif anti komunis, pemerintah juga direpotkan dengan apa yang mereka sebut
sebagai westernisasi. Pengaruh budaya barat (hippies) yang ditandai dengan gaya
hidup anak muda yang suka teler dan berrambut gondrong tersebut dianggap
membahayakan negara karena meracuni anak muda dengan obat-obatan terlarang,
sex bebas, dan – paling penting – mendorong anak muda untuk bersikap tidak
hormat kepada orang tua. Hal yang terakhir menjadi paling penting, menurut Aria
Wiratma Yudhistira (2010), karena akan merusak hubungan orang tua (bapak)
dengan anak yang merupakan idealisasi simbolik dari hubungan pemerintah
(presiden sebagai bapak) dan rakyat (sebagai anak). Guna membendung pengaruh
westernisasi, pemerintah melakukan sejumlah kebijakan politik kultural yang
diantaranya adalah merevitalisasi nilai-nilai budaya daerah, seperti yang secara
monumental disimbolkan dengan pembangunan Taman Mini Indonesia Indah
(TMII) hingga razia rambut gondrong yang menggelikan.

16
Dalam konteks Using, pesan Presiden Soeharto kepada Bupati Supaat untuk
mengembalikan kesenian Banyuwangi pada keasliannya mempunyai dua tujuan
sekaligus, yakni merevitalisasi nilai-nilai budaya daerah sekaligus kampanye anti
komunis. Pencarian keaslian ini kemudian menjadi proyek pembentukan identitas
Using yang upaya pertamanya adalah menegaskan perbedaan kebudayaan
Banyuwangi dari kebudayaan-kebudayaan lain melalui bahasa. Dalam dalam Arps
(2010) buku Selayang Pandang Blambangan memuat suatu tekad untuk
menjadikan ragam tuturan yang digunakan orang Banyuwangi menjadi bahasa,
“Sesungguhnya dialek Jawa-Osing bukanlah dialek tetapi sudah dapat disebut
sebagai bahasa, yaitu BAHASA OSING”. Bahasa dalam pembentukan identitas di
sini menjadi elemen penting yang berperan sebagai penanda dengan fungsi
menjadi media ekspresi kultural yang khas dan sekaligus menjadi batas etnisitas.

Malalui upaya memposisikan tuturan Using sebagai bahasa proyek pembentukan


identitas etnik dimulai. Perjuangan kebahasaan, yang kemudian mendapatkan
landasan akademiknya dalam disertasi Suparman Herusantosa yang berpijak pada
pandangan emik, lantas berlanjut pada upaya kodifikasi kebahasaan, mencari
karakteristik dan asal-usul yang digali dari peristiwa-peristiwa penting sejarah,
menginventaris dan menafsir produk-produk kultural, dan tentu saja, kampanye di
ruang publik serta pendidikan. Usaha-usaha kodifikasi bahasa Using dilakukan
melalui sarasehan-sarasehan, diskusi-diskusi. Puncak dari kodifikasi tersebut
adalah penerbitan buku Kamus Bahasa Using (2002), Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Using (2002), dan Tata Bahasa Baku Bahasa Using (2002), yang
ketiganya disusun oleh budayawan Banyuwangi paling gigih dan otoritatif, Hasan
Ali, dan diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Dari sekian
penggalian peristiwa sejarah Blambangan sebagai asal-usul historis Using
kemudian ditemukan Perang Bayu sebagai peristiwa historis paling ikonik. Watak
patriotisme-heroik orang Blambangan yang digali dari Perang Bayu tersebut
menjadi karakteristik utama dari identitas Using. Sebagai konsekwensinya,
produk-produk kebudayaan kuno Blambangan, seperti Seblang dan Gandrung

17
ditafsir sebagai ekspresi heroik. Selanjutnya watak patriotisme-heroik ini terus
direproduksi melalui syair-syair lagu daerah seperti Isun Lare Using dan Umbul-
Umbul Blambangan. Penemuan heroisme ini penting untuk menciptakan
kebanggaan terhadap identitas Using. Kebanggan adalah elemen afektif penting
dalam identitas seperti dinyatakan oleh Amartya Sen (2007), “Rasa memiliki
identitas bukan hanya bisa menjadi sumber lahirnya kebanggaan dan kebahagiaan,
melainkan pula sumber tumbuhnya kekuatan dan kepercayaan diri. Karakter
patriotisme-heroik juga, dengan mengikuti Johan Galtung, digunakan sebagai alat
legitimasi atau pembenaran untuk tindakan-tindakan kekerasan budaya. Berkait
dengan kebanggaan ini Hasan Ali dengan sengit mendebat segala pernyataan yang
menyatakan bahwa produk kebudayaan Blambangan rendah, yang salah satunya
adalah pernyataan dari I Made Sudjana yang mengatakan bahwa Blambangan
tidak pernah mencapai zaman keemasan yang sering dihubungkan dengan
berkembangnya seni sastra dan kebudayaan pada umumnya. Dalam buku
Kalangwan, P.J. Zoetmulder (1983) juga mengatakan bahwa kidung Sudamala
dan Sritanjung yang diduga berasal dari masa Blambangan memiliki mutu sastra
yang rendah. Dalam membela produk-produk kebudayaan Blambangan yang
diwarisi Using Hasan Ali (1993) dalam makalah Bahasa dan Sastra Using di
Banyuwangi Bahasa dan Sastra Using di Banyuwangi berdalih bahwa hasil-hasil
kebudayaan Blambangan musnah karena perang berkepanjangan yang
berkecamuk tahun 1316 – 1772. Di samping itu ia juga mengangkat mutu syair-
syair kuno Seblang dengan menyatakan ,

“Ketika para pujangga Angkatan Lama dan Pujangga Baru masih berleha-leha dengan
petatah-petitih, pantun, gurindam, talibun, sonata dll., yang kemudian ‘diterjang’ oleh
Chairil Anwar dan teman-temannya se-Angkatan ’45, justru dalam kesusastraan Using
sudah ada Padha Nonton . . . yang dalam bentuk dan isi sama dengan yang dimaui oleh
Chairil Anwar”.

Guna meletakkan kebanggaan dalam identitas Using dilakukan apa yang disebut
praktik pengaburan. Wacana patriotisme-heroik yang dikampayekan secara masif
melalui syair-syair lagu, spanduk-spanduk di ruang publik, direproduksi sebagai
teks dalam hasil-hasil penelitian-penelitian, majalah-majalah dan surat kabar,

18
telah melubuk dalam pikiran serta perasaan publik dan menenggelamkan tafsir
lain atas peristiwa sejarah dan produk-produk budaya. Padahal Perang Bayu
bukan hanya melibatkan orang Blambangan dan Kompeni Belanda, namun orang
Blambangan, Jawa, Bugis, China, Bali, dan Inggris pada satu pihak dan Belanda,
Blambangan, Madura, dan Jawa pada pihak lain. Perang Bayu sendiri meletus
karena dipicu oleh perebutan tahta kerajaan antar keluarga. Demikian juga dengan
ritual Seblang dan Gandrung yang menurut Akhmad Aksara adalah upacara Butha
Yadnya dan sejak awal kelahirannya di kesatrian prajurit Bali di Blambangan
adalah tari pergaulan pengisi waktu senggang. Dalam hal ini wacana heroisme
menjadi dominan karena mendapat dukungan dari pemerintah yang sejak awal
memainkan peran menentukan dalam mengembalikan keaslian kesenian
Banyuwangi seraya menggalakkan kampanye anti komunis. Apa yang perlu
dicamkan sekali lagi di sini adalah gagasan awal keaslian yang ditujukan untuk
membersihkan pengaruh komunis.

Pemasyarakat identitas Using telah dimulai pada tahun 1980-an dan pencapai
puncaknya pada tahun 1990-an sampai 2000-an. Pemasyarakatan identitas Using
di ruang publik disebut oleh Bernard Arps (2009) sebagai ambient themes. Dalam
hal ini bahasa dan budaya Using disebarluaskan ke masyarakat melalui siaran-
siaran radio, spanduk-spanduk himbauan, penggunaan tokoh-tokoh sejarah lokal
sebagai nama-nama jalan dan sarana umum, pendirian patung-patung simbol
kedaerahan seperti penari gandrung, naga berkepala manusia, dan macan putih.
Maraknya simbol-simbol kedaerahan ini tak terlepas dari Surat Keputusan Bupati
No. 173 tanggal 31 Desember 2002 mengenai penetapan Gandrung sebagai
maskot pariwisata. Kampanye kultural semacam ini, atau interplasi atau
pemanggilan dalam istilah Althusser (1971), yang dilakukan terus menerus dan
berlangsung lama telah membuat Using menjadi kultur dominan di Banyuwangi.
Sementara, kampanye yang lebih sistematis dan struktural berlangsung di ruang-
ruang kelas sekolah melalui pengajaran bahasa Using sebagai muatan lokal.

19
Kampanye hegemonik ini, yang tidak hanya memanggil penduduk asli, tapi
sekaligus penduduk pendatang yang sebenarnya mempunyai latar kultural dan
identitas berbeda, telah memicu beberapa konflik terbuka dalam masyarakat.
Berkait dengan pendirian patung karakter Gandrung di halaman pelabuhan
Ketapang, misalnya, telah menimbulkan protes penolakan masyarakat bernuansa
agama. Begitupun dengan rencana pendirian patung karakter Gandrung raksasa di
Watu Dodol mendapat tentangan dari sejumlah anggota DPRD dengan alasan
agama juga. Dalam koran Radar Banyuwangi juga pernah dimuat kritik bernuansa
agama dan pengecaman atas etnis tertentu terhadap hiasan ular berkepala karakter
wayang di atap pondopo rumah dinas Bupati Banyuwangi oleh tokoh kelompok
pemuda keagamaan. Hal paling misterius adalah lenyapnya patung-patung
karakter gandrung, Minakjinggo dan Dayun, serta binatang mitologi Macan Putih
di beberapa tempat di Banyuwangi dalam satu malam.

20
BAB 4. SIMPULAN DAN SARAN

Identitas Using tidak jatuh dari langit, melainkan hasil dari konstruksi sosio-
budaya. Pembentukan identitas Using tidak dapat dilepaskan dari kampanye anti
komunis Pemerintah Orde Baru. Berlandas pada Surat Keputusan Bupati
Banyuwangi, SK No. um/1698/50 tertanggal 19 Mei 1970 untuk mengatur
keberadaan kesenian daerah, tindakan-tindakan penyensoran, pemilihan, dan
pengarahan merupakan langkah pertama untuk terciptanya kondisi,
mengembalikan keaslian produk-produk budaya Banyuwangi, yang diperlukan
dalam pembentukan identitas Using. Apa yang dimaksud dengan mengembalikan
keaslian produk-produk budaya Banyuwangi yaitu mengembalikan produk-
produk budaya seperti pada masa Blambangan. Akan tetapi maksud sebenarnya
dari mengembalikan keaslian adalah melakukan tafsir atau pemaknaan yang
sesuai dengan karakteristik identitas Using yang diidealkan. Dengan demikian
tindakan untuk mengembalikan keaslian tak berbeda dengan melakukan
manipulasi atau pengaburan. Pengaburan, yang merupakan manifestasi dari
legitimasi, paling jelas adalah perubahan dari istilah Using. Istilah Using yang
pada masa lalu merupakan stigmatisasi, penghinaan, berubah menjadi heroisme
yang membanggakan.

Pemasyarakatan Using sebagai identitas etnik masyarakat Banyuwangi dilakukan


secara sistematis melalui pendidikan di sekolah-sekloah lewat pengajaran muatan
lokal. Sedangkan kampanye masif di ruang publik dilakukan melalui siaran lagu-
lagu darerah Banyuwangi lewat stasiun-stasiun radio, melalui perubahan nama-
nama jalan dan bangunan-bangunan umum dari tokoh nasional ke tokoh-tokoh
pahlawan lokal, melalui himbauan-himbauan berbahasa Using pada spanduk-
spanduk, dan pendirian patung-patung telah memicu munculnya penentangan dari
sejumlah elemen masyarakat. Dengan demikian pembentukan identitas Using
dalam prosesnya tidak dapat dilepaskan dari konflik politik, dan kekerasan budaya
yang masif dan terus-menerus.

21
Tulisan ini tentu jauh dari sempurna. Keterbatasan waktu dan halaman, dan pasti,
kemampuan penulis, membuat tulisan ini tidak dapat menyajikan semua data-data
yang relevan dan analisa yang lebih tajam. Oleh karenanya perlu penelitian yang
lebih luas dan mendalam untuk meyempurnakan tulisan ini. Hal serius apa yang
terlewatkan dalam tulisan ini adalah mulai tumbuhnya benih-benih fanatisme
dalam identitas Using di kalangan angkatan muda yang terekspresi dalam
sejumlah diskusi dan sarasehan pada tahun-tahun belakangan dengan mulai
munculnya pernyataan yang mengecam penelitian-penelitian yang dilakukan oleh
akademisi yang bukan orang Banyuwangi. Identitas, kata Amartya Sen (2007),
adalah sumber lahirnya kebanggaan dan kebahagian, serta sumber lahirnya
kekuatan dan kepercayaan diri, oleh karena potensinya tersebut identitas bisa jadi
senjata untuk memusnahkan orang lain. Pada konteks lain Martin Suryajaya,
dalam tulisan kritiknya atas pembentukan identitas subyektif karya Slavoz Zizek,
kurang lebih menyatakan identitas budaya adalah produk dari pandangan
idealisme yang tidak menjangkar pada realitas material. Oleh karenanya,
kebijakan sosio-kultural yang diambil pemerintah, tertutama berkait dengan
kepentingan pariwisata, hendaknya menghindar dari pengistimewaan salah satu
bentuk budaya atau etnis tertentu dalam masyarakat yang dapat memicu konflik
dan kekerasan budaya di masyarakat.

22
DAFTAR PUSTAKA

Ali, H. (1993, November). Bahasa dan Sastra Using di Banyuwangi. Makalah


pada Sarasehan Bahasa dan Sastra Daerah Jawa Timur di Tulungagung,
13-14 November 1993.
Althusser, L., Ben Brewster (Trans.). (1971). Ideology and Ideological State
Apparatuses (Notes towards an Investigations). Lennin and Philosophy
and Other Essays. New York: Monthly Review Press.
Ananta, A., dkk. (2014). A New Classification of Indonesia’s Ethnic Groups
(Based on 2010 Population Cencus). Singapore: Institute of Southeast
Asian Studies (ISEAS).
Arps, B. (2009, April). Osing Kids and the banners of Blambangan, Ethnoliguistic
identity and the regional past as ambient themes in an East Javanese
town. Wacana, Vol.11 (N0.1), 1 – 38.
Arps, B., Mikihiro M. & Manneke B. (Eds). (2010). Terwujudnya Bahasa Using
di Banyuwangi dan Peranan Media Elektronik di Dalamnya (Selayang
Pandang 1970 – 2009). Geliat Bahasa Selaras Zaman: Geliat Bahasa-
Bahasa di Indonesia Pasca-Orde Baru. Research Institute for Language
and Culture of Asia and Africa (ILCAA). Tokyo of University of Foreign
Studies. P. 225 – 248.
Darusuprapta (1993, November). Babad Blambangan: Kajian Historiografi
Tradisional. Makalah pada Seminar Sejarah Blambangan di Kabupaten
Banyuwangi tanggal 9 – 11 November 1993.
Eagleton, T, Roza Muliati dkk (Pen.). (2002). Marxisme dan Kritik Sastra.
Yogyakarta: Sumbu.
Epp, F, Dr., Setiawan, P. B. (Pen.). (1994). Banyuwangi. Foto copy naskah
tulisan tangan. Tidak diterbitkan.
Eysinga, R.v., Setiawan, P. B. (Pen) (1994). Residensi Besuki dan Banyuwangi.
Foto copy naskah tulisan tangan. Tidak diterbitkan.
Herlambang, W. (2013). Kekerasan Budaya Pasca 1965. Tangerang: Marjin Kiri.

23
Margana, S. (2012). Ujung Timur Jawa, 1763-1813: Perebutan Hegemoni
Blambangan. Yogyakarta: Pustaka Ifada.
Margana, S. (2011). Melukis Tiga Roh: Stigmatisasi dan Kebangkitan
Historiografi Lokal di Banyuwangi. Makalah pada Konferensi Nasional
Sejarah IX di Jakarta, 5 – 7 Juli 2011.
Scholte, J., Setiawan, P.B. (Pen.). (2009). Gandroeng van Banjoewangi.
Banyuwangi: Pusat Studi Budaya Banyuwangi.
Sen, A., Susanto, A. (2007). Kekerasan dan Ilusi Tentang Identitas. Tangerang:
Marjin Kiri.
Stoppelaar, D. J. W., Setiawan, P.B. (Pen.). (2009). Hukum Adat Blambangan.
Banyuwangi: Pusat Studi Budaya Banyuwangi.
Sudjana, I. M. (2001). Nagari Tawon Madu. Kuta-Bali: Larasan Sejarah.
Yudhistira, A. W. (2010). Dilarang Gondrong! : Praktik Kekuasaan Orde Baru
Terhadap Anak Muda Awal Tahun 1970-an. Tangerang: Marjin Kiri.
Zoetmulder, P. J. (1983). Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang.
Jakarta: Djambatan

24
Biodata Penulis

Dwi Pranoto, lahir di Banyuwangi 4 Februari 1973. Sedang kuliah di Fakultas


Ilmu Sosial dan Politik, jurusan Sosiologi, di Universitas Terbuka. Sekarang
bertempat tinggal di Perumahan Bumi Tegal Besar Blok BA-28, Jember. Menulis
artikel di media masa nasional dan lokal. Buku-bukunya yang sudah terbit, antara
lain, Piramid (novel terjemahan) (2011), Tangerang: Marjin Kiri; Hantu, Api,
Butiran, Abu: Sepilihan Puisi (2011), Yogtakarta: Gress Publishing. Artikel-
artikelnya juga dimuat dalam buku Membicarakan Seni dan sastra Banyuwangi
(2014), Denpasar: Pustaka Larasan; Jagat Osing (2015), Banyuwangi: Rumah
Budaya Osing; Reaktualisasi Pancasila: Menyoal Identitas, Globalisasi, dan
Diskursus Negara-Bangsa (2015), Yogyakarta: Ombak.

25

Anda mungkin juga menyukai