Anda di halaman 1dari 13

Suatu Tinjauan Singkat

Sastra Using: Dari Kidung Sritanjung Sampai


Puisi Isun Lare Using

Oleh: Dwi Pranoto

“Nama Using diberikan pada orang Blambangan oleh para pendatang . . . Orang
Blambangan sendiri menyebut dirinya orang Jawa Asli. Nama paling tepat untuk
mereka adalah orang Blambangan”. (John Scholte: 1927)

Pada umumnya berbagai kalangan meletakkan Sritanjung, Sang Satyawan, dan


Sudamala sebagai contoh paling awal dari karya sastra Using. Tiga karya sastra Jawa
masa pertengahan berbentuk kidung itu dianggap sebagai karya sastra Using
berdasarkan pernyataan P.J. Zoetmulder dalam karya besarnya Kalangwan yang
berbunyi, “ Tempat asal-usul prototipe jenis ini (kidung Sritanjung dan Sudamala)
hendaklah kita cari di Banyuwangi . . .”.1 Selain itu Ensiklopedi Indonesia (1987)
juga menyebut sastra aliran Banyuwangi dengan contohnya Sritanjung dan Sang
Satyawan. Apa yang membuat ketiga naskah sastra dari masa Blambangan itu
dimasukkan sebagai sastra Using adalah adanya anggapan bahwa kebudayaan Using
yang tumbuh di Banyuwangi merupakan kelanjutan dari kebudayaan Blambangan.

Dalam Kalangwan Zoetmulder menyebut kidung Sritanjung dan Sudamala


mempunyai perbedaan dengan kidung-kidung lainnya yang terutama pada tidak
adanya latar belakang keraton atau sifat kerakyatannya. Penuturan lisan
bagaimanapun memainkan peran besar pada penulisan dua naskah yang isi ceritanya
sesungguhnya telah dikenal pada masa Majapahit. Ketiadaan latar belakang keraton
dalam dua kidung tersebut sangat mungkin dipengaruhi oleh keadaan tempat dan

1 P.J. Zoetmulder, Kalangwan, Penerbit Djambatan, Jakarta 1983 (hal. 540)


zaman dimana dua kidung itu disalin. Blambangan, meskipun mempunyai rentang
masa yang cukup panjang sebagai kerajaan Hindu terakhir di Jawa, merupakan
wilayah yang tak sudah mengalami peperangan hebat dari masa Majapahit sampai
pendudukan kompeni Belanda. Ketakstabilan politik berkepanjangan diikuti oleh
peperangan terus-menerus, baik sebab internal berupa perebutan tahta dan sebab
eksternal berupa serbuan kerajaan-kerajaan dari Bali dan Mataram, menyebabkan
pusat pemerintahan atau kraton berpindah-pindah. Disamping itu, pengambilan
bentuk kidung dalam penulisan Sritanjung dan Sudamala yang menurut Zoetmulder,
“Bila dipandang dari sudut sastra, maka kidung-kidung pada umumnya dengan jelas
memperlihatkan kekurangan-kekurangan’,2 seolah mengonfirmasi pendapat I Made
Sudjana dalam Nagari Tawon Madu (2001) yang menyatakan Blambangan tidak
pernah mengalami masa keemasan, zaman kertayuga yang sesungguhnya, dimana
berkembang seni sastra dan kebudayaan pada umumnya. Atau setidaknya sastra pada
masa Blambangan tidak tumbuh dan berkembang dengan maksimal di dalam tembok
kraton.3

Berbeda dengan Zoetmulder yang menilai kidung sebagai karya sastra lebih rendah
dibandingkan dengan kakawin jika ditinjau dari unsur interinsik sastra. Dalam kajian
pendek mengenai naskah Kidung Sritanjung berhuruf Arab pegon yang tersimpan di
museum Banyuwangi, Suripan Sadi Hutomo justru mengaku menemukan keindahan.
Bahkan dalam naskah tersebut ia menemukan dua versi puisi tembang yang khas
(tidak terdapat dalam macapat) yakni puisi wukir dan mahisa langit. Suripan Sadi
Hutomo menggolongkan kidung Sritanjung sebagai sastra Jawa Pasisiran yang
bersifat dinamis dan demokratis.4

2 Ibid. hal. 511

3 Sejumlah budayawan Banyuwangi menolak pendapat jika kesusastraan Blambangan secara jumlah
dan mutu kurang. Hasan Ali dalam makalah Bahasa dan Sastra Using di Banyuwangi untuk Sarasehan
Bahasa dan Sastra Daerah Jawa Timur di Tulungagung tahun 1993 , dengan berlandas pada pernyataan
B. R. Anderson mengenai abad kegelapan Jawa tahun 1500 – 1750 karena peperangan, pembuangan,
perampokan, pembantaian, dan kelaparan yang menyebabkan serba terbatasnya pengetahuan akan
kebudayaan Jawa Kuno, menduga sebagian besar karya sastra aliran Banyuwangi hancur karena
peperangan berkepanjangan dari tahun 1316 – 1772 di Blambangan.

4 Suripan Sadi Hutomo, Tembang Mahisa Langit? Orang Banyuwangi Masih Ada yang Ingat?,
Surabaya Post, 10 Maret 1984.
Penilaian Suripan Sadi Hutomo mengenai Kidung Sritanjung yang disebutnya bersifat
dinamis dan demokratis sedikit banyak mengingatkan pada penilaian John Scholte
(1927) mengenai Gandrung. Ketika membandingkan Gandrung dengan tarian Jawa
dalam Gandroeng van Banjoewangi John Scholte menyatakan, “. . .Gandrung
maupun penari-penari rakyat, dan oleh karenanya mereka bukan pembawa cap dari
etiket kekratonan yang mempunyai ciri untuk selalu menekan dan menghaluskan
segala ekspresi vital serta juga untuk melambat-lambatkan gerakan-gerakannya
hingga terkuasai secara estetis tetapi kadang-kadang menyebabkan kehilangan
penghayatan dari hakekatnya . . .”.

Disamping ketiga naskah Bahasa Jawa Pertengahan itu syair dalam gending-gending
kuno Seblang dan Gandrung juga dimasukkan sebagai sastra Using. Berbeda dengan
Sritanjung, Sudamala, dan Sang Satyawan yang mempunyai bentuk naskah (tertulis),
syair-syair kuno Seblang dan Gandrung merupakan sastra lisan yang dinyanyikan
dengan iringan instrument musik tradisonal tertentu dan merupakan bagian dari tradisi
ritual dan seni tari. Syair-syair kuno Seblang dan Gandrung baru mendapatkan
bentuk tertulisnya setelah seorang Belanda pada paruh pertama abad XX, Ottolander,
dikabarkan mendokumentasikannya secara tertulis.

Beberapa kalangan, terutama pengkaji dan pemerhati di kalangan orang-orang


Banyuwangi, sangat membanggakan syair gending-gending kuno Seblang. Mereka
menyebut syair tersebut melampaui zaman, mendahului puisi-puisi modern yang
bebas. Hasan Ali, pemelihara dan penjaga kebudayaan Using yang ulet dan selalu
didengar dan diikuti pernyataannya, dengan mengambil contoh salah satu gending
Seblang, Padha Nonton, mengatakan, “Ketika para pujangga Angkatan Lama dan
Pujangga Baru masih berleha-leha dengan pepatah-petitih, pantun, gurindam,
talibun, sonata dll., yang kemudian ‘diterjang’ oleh Chairil Anwar dan teman-
temannya se-Angkatan ’45, justru dalam kesusastraan Using sudah ada Padha
Nonton . . . yang dalam bentuk dan isi sama dengan yang dimaui oleh Chairil
Anwar”.5

Namun, seperti kebanyakan sastra lisan yang penyebarannya dari generasi ke generasi
berikutnya berlangsung secara tutur, syair gending-gending Seblang juga rentan
mengalami pengurangan, penambahan, dan penyimpangan kata-katanya. Kita tidak
pernah tahu apakah syair yang sampai pada generasi hari ini tidak mengalami
‘kerusakan’ dibandingkan dengan syair yang ada pada masa sebelumnya. Hal yang
jelas pada masa kini terdapat beberapa varian gending-gending Seblang. Sebagai
contoh, teks syair Padha Nonton dalam tulisan Hasan Ali berbeda dengan teks yang
ada pada semacam buku informasi yang sangat mungkin ditulis oleh panitia
penyelenggara Seblang Bakungan yang berjudul Upacara Adat Seblang. Pada teks
yang ditulis Hasan Ali syair Padha Nonton terdiri dari empat bait sementara dalam
buku Upacara Adat Seblang hanya memuat dua bait syair Seblang yang dalam tulisan
Hasan Ali dijadikan dalam satu bait.

Tidak menutup kemungkinan syair gending-gending Seblang pada mulanya


diciptakan menurut guru lagu dan guru wilangan tertentu mengingat gending-gending
Seblang merupakan sastra lisan yang ditembangkan. Namun, karena perjalanannya
yang panjang hingga sampai pada saat ini melalui tuturan dari mulut ke mulut
mengakibatkan syair gending-gending Seblang mengalami ‘kerusakan’ baik dalam
ketepatan menembangkannya apalagi penyalinannya menjadi teks tulis. Problem pada
gending-gending Seblang ini mengingatkan pada hilangnya kemampuan
mengartikulasikan tembang wukir dan tembang mahisa langit dalam naskah
Sritanjung berhuruf pegon yang disinyalir oleh Suripan Sadi Hutomo. Problem ini
juga terjadi pada pendarasan Mocoan yang menurut salah seorang pendarasnya di
daerah Kemiren sesungguhnya ia tidak tahu menembangkannya dengan tepat dan
terpaksa menembangkannya dengan versi macapat walaupun sesungguhnya seringkali
kekurangan atau kelebihan satu sampai beberapa baris.

5 Hasan Ali, Bahasa dan Sastra Using di Banyuwangi, makalah untuk Sarasehan Bahasa dan Sastra
Daerah Jawa Timur di Tulungagung, 13-14 Nopember 1993
Hampir menjadi kesepakatan bersama di kalangan para pengkaji dan pemerhati sastra
Using bahwa naskah Sritanjung, Sudamala, Sang Satyawan, gending-gending kuno
Seblang dan Gandrung merupakan hasil karya sastra Using pada masa Blambangan,
walaupun istilah Using sendiri baru muncul pada paruh pertama abad XX. Istilah
Using yang digunakan untuk menyebut masyarakat Banyuwangi muncul pada tahun
1926 ketika Stoppelaar menggunakan istilah Blambangers atau Oesingers dalam
Blambangansche Adatrecht. Tahun 1927 John Scholte dalam Gandroeng van
Banjoewangi menyatakan nama Using digunakan pada orang Blambangan oleh para
pendatang, sedangkan orang Banyuwangi sendiri menyebut dirinya sebagai orang
Jawa asli.

Sebelum dirintis sebagai identitas budaya pada tahun 1970-an dan mulai
memantapkan statusnya pada tahun 1990-an melalui kampanye masif dan
tersistematis, bagi masyarakat Banyuwangi penyebutan Using kepada diri mereka
adalah suatu penghinaan. Bernard Arps dalam Osing Kids and the banners of
Blambangan, Ethnolinguistic identity and the regional past as ambient themes in an
East Javanese town yang dimuat dalam Wacana Vol.11 No.1 (April 2009) menyatakan
tahun 1974 di majalah berbahasa Jawa, Mekar Sari, Paman Goplang memperingatkan
jika anda mau berlaku sopan hendaklah jangan menyebut masyarakat Banyuwangi
sebagai Wong Using yang bagi mereka itu adalah julukan yang melecehkan.
Sementara Endro Wilis, salah seorang pengarang lagu-lagu Banyuwangian ‘modern’
angkatan pertama, mengatakan bahwa istilah Using melumpuhkan jiwa, maksudnya
istilah Using merupakan hasil rekadaya orang luar sejak zaman VOC untuk
menghancurkan mental dan moral masyarakat Blambangan yang terkenal keras
kepala dan tak mau tunduk begitu saja terhadap upaya penindasan6. Tiga puluh tahun
sebelum ‘nasehat’ Paman Goplang, seorang peneliti Belanda yang menyebut dirinya
sebagai ‘insider’ dalam laporannya menyatakan bahwa Using diambil dari istilah Bali
‘sing’ untuk menyatakan masyarakat Blambangan adalah ‘bukan manusia’7. Sampai

6 Endro Wilis, Istilah ‘Using’ adalah Racun yang Melumpuhkan Jiwa, Lembar Kebudayaan 10, Maret
2010.
sekarangpun sebutan Using ditolak oleh beberapa orang tua (75-an ke atas) di
Banyuwangi.

Awal munculnya Using sebagai identitas kultural dan ‘bahasa’ daerah di Banyuwangi
tak bisa dilepaskan dari kebijakan kultural rezim Orde Baru yang pada akhir tahun 60-
an atau awal 70-an kewalahan menghadapi perilaku menyimpang anak-anak muda
yang dianggap akibat dari pengaruh Barat. Salah satu kasus penyimpangan perilaku
anak muda paling bejat dan yang paling disorot dan tak pernah diungkap tuntas
sampai hari ini adalah kasus pemerkosaan gadis penjual telur di Solo, Sumarijem,
yang dilakukan oleh anak salah seorang bangsawan keraton Surakarta dan anak salah
seorang pahlawan revolusi yang terkenal dengan peristiwa Sum Kuning. Keprihatinan
terhadap perilaku menyimpang anak muda yang dianggap karena pengaruh Barat ini
melahirkan tindakan represif terhadap kalangan anak muda yang salah satu contohnya
yang menggelikan adalah pelarangan rambut gondrong yang dilakukan secara
sistematis oleh Orde Baru8. Pada sisi lain Orde Baru menggalakan penggalian kembali
nilai-nilai tradisi melalui pelestarian dan revitalisasi kesenian-kesenian daerah9.
Penggalakan kembali kesenian daerah di Banyuwangi, setelah melewati periode ‘bisu’
beberapa tahun sesudah peristiwa ’65 dan masa ‘pembersihan’, mendapatkan
momentumnya ketika Presiden Soeharto meminta Bupati Banyuwangi, Djoko Supaat
Selamet, menghidupkan kembali kesenian daerah Banyuwangi setelah ia
menyaksikan seni angklung Banyuwangi pada kunjungannya ke Tapanrejo,
Banyuwangi, pada tahun 1970. Sejak itu seni budaya Banyuwangi bergairah dan
perjalanan panjang menegakkan Using sebagai identitas kultural daerah dimulai.

7 Sri Margana, Melukis Tiga Roh: Stigmatisasi dan Kebangkitan Historiografi Lokal di Banyuwangi,
makalah untuk Konferensi Nasional Sejarah IX, Jakarta, 5 – 7 Juli 2011

8 Aria Wiratma Yudhistira dalam Dilarang Gondrong! (Marjin Kiri, 2010) melalui penelusuran berita-
berita, wawancara, artikel, dan editorial di media massa cetak dan elektronik yang terbit di Indonesia
pada akhiran tahun 60-an sampai pertengahan 70-an; instruksi-instruksi aparat pemerintah;
mengungkapkan bagaimana Orde Baru secara sistematis ‘memerangi’ pengaruh budaya Barat (flower
generations) di Indonesia yang salah satu kehadirannya secara simbolik ditandai dengan trend rambut
gondrong di kalangan anak muda di Indonesia.

9 Pembangunan Taman Mini Indonesia Indah tahun 1971 yang merupakan miniatur dari rumah-
rumah tradisional yang ada di seluruh provinsi di Indonesia (kebudayaan-kebudayaan daerah yang ada
di Indonesia) adalah ekspresi simbolik yang monumental dari kebijakan menoleh kembali ke nilai-nilai
lokal.
Periode pertama penegakan identitas ke-usingan, seperti pesan Soeharto kepada
Bupati Supaat, adalah membersihkan jejak-jejak komunis pada kesenian-kesenian
Banyuwangi seraya membangun dan mengembangkan nilai-nilai ideal tertentu. Novi
Anoegrajekti mencatat pada laporan penelitiannya mengenai upaya-upaya untuk
‘memperbaiki’ peran, perangai, dan fisik tokoh antagonis Minakjinggo yang
merupakan identifikasi karakter Using dalam seni drama Damarwulan yang populer
di masyarakat.10 Pembersihan jejak-jejak komunis dilakukan dengan pembungkaman
dan ‘mempertobatkan’ seniman-seniman Banyuwangi serta penyensoran, pelarangan,
dan pendiskriditan karya-karya seni yang dianggap subversif. Hampir seluruh lagu-
lagu M. Arief ‘menghilang’ dari masyarakat karena cap komunis. Sementara Genjer-
genjer, salah satu lagu karya M. Arief yang dipuji oleh Nyoto dan memperoleh
popularitas nasional pada masa Orde Lama, digambarkan sebagai lagu pengiring
tindakan bejat dan keji dalam film G.30 S./PKI karya Arifin C. Noer yang menjadi
film wajib tayang di TVRI setiap memperingati hari Kesaktian Pancasila. Seniman
lain semasa M. Arief, Endro Wilis, terpaksa menghapus namanya pada lagu-lagu
ciptaannya yang di’kasetkan’. Sementara salah satu lagu karyanya, Selendang Abang
diganti tanpa sepengetahuannya menjadi Selendang Sutro karena ‘Abang’ (merah)
identik dengan komunis. Pada periode yang disebut oleh Bernard Arps, dalam
kajiannya tentang ethnolinguistik Using11, masa persiapan transformasi ini terjadi
perubahan besar dalam karakter dan semangat penciptaan syair lagu-lagu
Banyuwangian. Tidak ada lagi syair-syair bertema kerakyatan yang disemangati oleh
keberpihakan dan perlawanan terhadap penindasan dan penghisapan seperti yang
dengan jelas terbaca pada syair lagu Nelayan ciptaan Endro Wilis dan Emas-emas
ciptaan M. Arief. Sebagai gantinya muncul syair-syair dengan tema asmara, nasehat
untuk hidup rukun, dan bahkan kampanye pembangunan.

10 Novi Anoegrajekti, Etnografi Sastra Using: Ruang Negosiasi dan Pertarungan Identitas, Makalah
2010

11 Bernard Arps, Terwujudnya Bahasa Using di Banyuwangi dan Peranan Media Elektronik di
Dalamnya (Selayang Pandang, 1970-2009), dalam Mikihiro Moriyama dan Manneke Budiman ed.,
Geliat Bahasa Selaras Zaman, 2010
Syair gending-gending Banyuwangian yang diciptakan pada masa 70-an seperti
hendak ‘memurnikan’ kembali ciri khas sastra lisan Banyuwangi. Berbeda dengan
syair lagu-lagu Banyuwangian yang diciptakan sebelum ’65 yang lebih lugas, syair
lagu-lagu tahun 70-an, terutama yang diciptakan Andang C.Y dan Basir Noerdian,
lebih sering menggunakan wangsalan, basanan, dan paribasan yang merupakan gaya
puitik khas sastra lisan Using.

Pada tahun 80-an ketika industri rekaman mengalami booming pertama, irama
angklung Banyuwangi tergeser oleh irama yang lebih mirip dangdut yang kemudian
lebih dikenal sebagai kendang kempul. Watak industri yang mau merengkuh audiens
(konsumen) yang luas, tak hanya berdampak pada mulai mendominasinya irama
kendang kempul pada lagu-lagu yang diciptakan pada masa itu, namun juga
berdampak pada gaya penulisan syair-syairnya. Gaya puitik basanan, wangsalan, dan
paribasan dalam syair lagu-lagu kehilangan popularitasnya dan digantikan oleh
keterusterangan yang nyaris vulgar. Pada masa ini, bersama pasang naik industri
rekaman lagu-lagu kendang kempul, mulai terjadi ‘integrasi’ besar-besaran penduduk
pendatang ke dalam masyarakat Using.

Pada tahun 80-an ini muncul puisi tulis Using dengan penyair-penyairnya seperti
Slamet Utomo, Pomo Martadi, dan Uun Haryati. Contoh bagus puisi Using 80-an ini
adalah Sisik Melik karya Uun Haryati.

Sisik Melik12

Melik-melik cunduke lare cilik


perawan cilik kang dikudang dadi sisik melik
wangine sak ara-ara
dadi kudangane wong sak desa
Kembang menur semembur sing ana kang nandur
Kembang melati diwanti-wanti hang ati-ati

12 Udharasa, Kumpulan Puisi using, 2010


Sekar tanjung wong kabeh padha njunjung
Kaya dibombong atine wong tuwek meromong
karepe wis gumantung ring nduwur mega
Sisik melik nyandhinge ndara wedana
Sekar taji tekane dipuji-puji
Nyatane duh eman
Sisik melik wis kadhung ana kang methik
dienggo tamba duh kakang
ngumbar hawa, nggiring kepaling
kelara-lara, kabare sing ana teka
Eluh mili emak bapak mung kari ndunga
pedhut gancanga ilang
wong sak desa milu kelangan
dijaluk mong siji, tetep gandholana
landhung pikir, kencenga iman

Banyuwangi, 23 Januari 1986

Hasan Basri menyatakan puisi Uun Haryati ini “. . .pekat dengan metafor alam,
diksinya lebih setia pada kosa kata klasik, kaya akan hiasan basanan dan wangsalan,
persajakannya lebih mengalun, nuansa magisnya sangat terasa”.13 Namun jika
diperhatikan secara seksama puisi Sisik Melik tersebut sesungguhnya puisi yang
langsung atau terang benderang. Hanya terdapat beberapa kiasan seperti ‘sisik melik’
yang berarti kembang desa atau primadona dan ‘pedhut’ (mendung) yang berarti
derita, yang itupun sebenarnya lazim digunakan jika tidak dapat disebut kilse.
Sementara diksi-diksi seperti ‘kembang melati’, ‘kembang menur’, ‘sekar tanjung’,
‘sekar taji’ bukanlah perumpamaan dan fungsinya hanyalah untuk ‘kembangan’ dan
menyesuaikan permainan bunyi, aliterasi dan asonansi, yang merupakan ciri puitik
dominan dalam puisi ini. Beberapa baris puisi Sisik Melik yang repetitif seperti
hendak meneladani tradisi puitik pada syair gending-gending Seblang dan Gandrung
yang kuno meski tanpa kepelikan perumpamaan-perumpamaan yang berlapis. Puisi
karya Uun Haryati ini tentu sangat kontras jika dibandingkan dengan syair lagu-lagu
kendang kempul yang banyak menyerap diksi-diksi Jawa kulonan.

Tahun 1990-an merupakan periode paling menentukan bagi pertumbuhan dan


perkembangan sastra Using. Setelah Sarasehan Bahasa Using pertama tahun 1990

13 Hasan Basri, Sekilas Tentang Sastra Using Banyuwangi (hal. 12), Makalah untuk Sarasehan
Pemanfaatan Potensi Kebahasaan dan Kesastraan dalam Rangka Pembinaan dan Pembangunan
Bahasa dan Sastra Daerah, 20 Juni 2010.
mulai dilakukan usaha-usaha kodifikasi bahasa Using yang diikuti dengan
memasukan pelajaran bahasa Using di sekolah SD sampai SLTA, penerbitan brosur-
brosur, bulletin dan buku berbahasa Using. Pada periode ini peran Hasan Ali, yang
pada tahun 1970 adalah salah seorang yang ikut andil dalam penyusunan buku
Selayang-pandang Blambangan pesanan Bupati Supaat guna menghimpun data
historis dan etnografis Banyuwangi, menjadi tokoh sentral dalam perkembangan
bahasa dan budaya Using secara umum. Ia bukan hanya berhasil meyakinkan bahwa
bahasa Using bukanlah salah satu dialek bahasa Jawa tetapi bahasa tersendiri yang
sejajar dengan bahasa Jawa berdasar disertasi Suparman Herusantosa (1987). Ia juga
mengintrodusir dan memberikan standar penafsiran atas syair gending-gending
Seblang dan Gandrung. Walaupun sebenarnya tanpa data-data yang meyakinkan,
namun tafsir perjuangan gerilya atas Seblang dan Gandrung menjadi tafsir yang
diterima luas. Sifat heroik tafsir Hasan Ali ini mempunyai arti penting guna
memberikan landasan positif untuk mengonstruksi Using sebagai identitas sosio-
kultural Banyuwangi.14

Pada tahun 1990-an ini juga ditandai oleh Setya Yuwana Sudikan mulai tumbuhnya
apa yang disebutnya sebagai puisi Indonesia yang diekspresikan dalam bahasa Jawa
dialek Using. Ia menyebut puisi Isun Lare Using karya Adji Darmadji yang termuat
dalam antologi puisi using berjudul Juru Angin sebagai tonggak pembaharu puisi
Using. “Pembaharuan yang dibawa Adji bukan sekedar pada aspek pola persajakan,
rima, majas, dan diksi, melainkan total sampai pada aspek tipografi, nuansa, dan
makna utuh puisi”,15 terang Sudikan. Padahal Isun Lare Using karya Adji Darmadji
tersebut hanyalah puisi ‘pubertas’ pemberontakan yang bukan hanya gagap
mengekspresikan diksi-diksi Using, bahkan susunan-susunan perumpamaan
metaforalnya sangat kacau balau. Berbeda dengan puisi Fauzi Abdullah, Dadia Wis,
yang lebih berhasil mengadopsi puisi lirik modern Indonesia.

Dadia Wis16

14 Baca Novi Anoegrajekti, Kontestasi dan Representasi Identitas Using, dalam Humaniora, No.1
Februari 2011 dan Etnografi Sastra Using: Ruang Negosiasi dan Pertarungan Identitas, Makalah 2010

15 Drs. Setya Yuwana Sudikan, M.A., Sastra Using di Banyuwangi (hal.23), makalah untuk Seminar
Bahasa Using

16 Ibid., (hal. 24)


Sakehe koma jejer negeri lakon
Saya adoh mang-mang nrawang
Ring wates garis plawangan
Isun lungguh nganggur dhewekan
Kantru-kantru nulih pecake cekapah
Ngitung-ngitung cekapah langkah
Awang uwung nggelari ati sun gerayang
Apa wis jaya pama gegableg tangan dalan
Atawa nggadug ring panggonan?
Sun liwati baen kaya watu ngglundhung
Kang arep teko
Dadia wis!
Kabeh sun gantung ring dhuwur kana

Surabaya Pos Minggu, 1 Juni 1992

Sastra Using bagaimanapun tak begitu saja berkait dengan Blambangan sebagai masa
lalu Banyuwangi yang terus menerus diungkap sebagai zaman yang gilang gemilang.
Lahirnya istilah sastra Using merupakan suatu hasil konstruksi kultural yang
bersamanya kekuasan memainkan peran dominan untuk mewujudkannya. Pengaruh
kebijakan Orde Baru dan kehendak untuk menegakkan identitas kedaerahan
merupakan faktor penting yang melandasi munculnya sastra Using, selain faktor
industri komersial yang banyak mempengaruhi pada periode 1980-an.

Pada akhirnya harus diakui tulisan yang serba terbatas ini tidak dapat membahas
semua sastra yang dilisankan dan dituliskan di Banyuwangi. Misalnya, prosa lisan
yang melimpah dan tradisi berpantun di tengah masyarakat Banyuwangi yang
mempunyai ciri tertentu (basanan, wangsalan, paribasan) tidak mempunyai
kesempatan untuk diketengahkan di sini. Tentu merugikan, namun hal ini tak
terhindarkan.

*****
Daftra Pustaka

- Aria Wiratma Yudhistira, Dilarang Gondrong!, Tangerang: Marjin


Kiri, 2010

- Bernard Arps, Osing Kids and the banners of Blambangan,


Ethnolinguistic identity and the regional past as ambient themes in an East
Javanese town, dalam Wacana Vol.11 No.1 (April 2009)

- Terwujudnya Bahasa Using di Banyuwangi dan


Peranan Media di Dalamnya, dalam Mikihiro Moriyama dan Manneke
Budiman Ed., Geliat Bahasa Selaras Zaman, Tokyo University for Foreign
Languange, 2010

- Endro Wilis, Istilah ‘Using’ adalah Racun yang Melumpuhkan Jiwa,


Lembar Kebudayaan 10, Maret 2010.

- Hasan Ali, Bahasa dan Sastra Using di Banyuwangi, makalah untuk


Sarasehan Bahasa dan Sastra Daerah Jawa Timur di Tulungagung, 13-14
Nopember 1993

- Hasan Basri, Sekilas Tentang Sastra Using Banyuwangi, Makalah


untuk Sarasehan Pemanfaatan Potensi Kebahasaan dan Kesastraan dalam
Rangka Pembinaan dan Pembangunan Bahasa dan Sastra Daerah, 20 Juni
2010.

- P.J. Zoetmulder, Kalangwan, Penerbit Djambatan, Jakarta 1983

- Setya Yuwana Sudikan, M.A., Sastra Using di Banyuwangi, makalah


untuk Seminar Bahasa Using

- Sri Margana, Melukis Tiga Roh: Stigmatisasi dan Kebangkitan


Historiografi Lokal di Banyuwangi, makalah untuk Konferensi Nasional
Sejarah IX, Jakarta, 5 – 7 Juli 2011

- Suripan Sadi Hutomo, Tembang Mahisa Langit? Orang Banyuwangi


Masih Ada yang Ingat?, Surabaya Post, 10 Maret 1984.
- Ikhwan Setiawan, Transformasi Masa Lalu dalam Nyanyain Masa
Kini: Hibridasi dan Negosiasi Lokalitas dalam Musik Populer Using, dalam
Kultur, September 2007

- Novi Anoegrajekti, Kontestasi dan Representasi Identitas Using, dalam


Humaniora, No.1 Februari 2011

- Etnografi Sastra Using: Ruang Negosiasi dan


Pertarungan Identitas, Makalah 2010

Anda mungkin juga menyukai