Anda di halaman 1dari 5

Subyek, Abnormalitas, Gaya

Oleh: Dwi Pranoto

Beberapa tahun lalu, mungkin pada paruh akhir 90-an.Tapi aku masih ingat persis
kejadiannya: Di seruang pamer, Balai Budaya, lukisan-lukisan tergantung di keempat
sisi dindingnya – seorang kawan sedang memamerkan lukisan, etsa, woodcut, sepekan
penuh di situ. Saat itu siang, atau mungkin juga masih pagi. Aku ada di sana, kunjungan
yang kedua setelah pembukaan pada malam hari yang tidak mengenakan. Aku sedang
mengamat-amati sebuah lukisan ketika dua orang masuk ruang pamer. Mereka
bergerak perlahan, mengamati lukisan-lukisan berurutan semulai pintu masuk. Aku
belum beranjak saat dua orang pengunjung itu bergerak mendekat di tempatku berdiri
mengamati sebuah lukisan: latar biru dingin seperti dibiar meleleh dan sebuah gelas
kosong yang mengesankan kesendirian, keterpencilan. Aku menoleh saat mereka
sampai di tempatku, aku merasa telah menghalangi mereka. Salah seorang dari
mereka, yang bertubuh agak pendek dan sedikit gemuk dengan kacamata di wajahnya
lantas bertanya padaku apakah pelukisnya seorang homoseksual?
Saat itu aku tak menjawabnya secara langsung. Karena, sekiraku, aku sangat
mengenal orientasi seksual pelukis yang sedang pameran saat itu.Tapi pertanyaan
pengunjung itu hari ini mengingatkanku betapa diperhitungkannya hubungan antara
karya seni dengan pembuatnya, antara gaya dengan pembuat gaya.
Di sebuah jurnal digital, Paralaks, tulisan Gunawan Mohamad yang dikirimkan 27 Maret
2008, S.T.A., Sebuah Prosa mengutip sebuah paragraf S.Takdir Alisyahbana dalam
Kebangkitan Puisi Baru Indonesia. Demikian S. Takdir Alisyahbana menggambarkan
kelahiran sebuah puisi: Segala perasaan yang timbul di dalam kalbu berombak dan
beralun melalui berjuta-juta jalan yang halus memenuhi seluruh tubuh; sampai kepada
bahagian badan yang sekecil-kecilnya menurut terayun dan terbuai dalam ombak dan
alun perasaan itu dan amat gaibnya terbayanglah ia ke dunia lahir pada perubahan
detikan jantung, pada lekas lambatnya nafas, pada turun naiknya suara dan pada
perubahan air muka. Dari paragraf S. Takdir yang disebut Gunawan Mohamad sebagai
bergemuruh tersebut segera terbayang hubungan rapat tak tercerai serupa dua sisi
mata uang antara puisi dan penyairnya. Puisi merupakan suatu ekspresi langsung jiwa
sang penyair. Namun, Gunawan Mohamad rupanya keberatan dengan penggambaran
asal-usul yang poetik tersebut. Melalui Julia Kristeva, Gunawan Mohamad menyatakan,
“Kini kita tahu, transparansi (atau keselarasan) semacam itu sebenarnya tak terjadi”.
Sebab, menurut Gunawan, antara gejala yang terjadi dalam tubuh dan bahasa yang
dihasilkan (ditulis), atau dari semiotik menuju simbolis, seharusnya ada penapis. Jika
memahami proses semiotik menjadi simbolis menurut Julia Kristeva, jelaslah apa yang
dimaksud penapis ini adalah rasionalisasi untuk membangun sintaksis yang logis.
Proses semiotik menuju simbolis ini, rasionalisasi, bagi Kristeva merupakan suatu
“pendewasaan” yang dibentuk dengan paksaan oleh norma-norma semacam
identifikasi jenis kelamin, pemisahan umum dan pribadi dan sebagainya. Namun,
bahasa tak benar-benar menghapus seluruh akar semiotiknya dan penyair
menggemaulangkan masa pra-oedipus itu dengan mengangkat yang tak sadar
tersebut. Dengan cara ini Kristeva memisahkan dan sekaligus menghubungkan antara
yang “normal” dan yang “poetik”. Bahwa bahasa puisi yang diperoleh dengan
membangkitkan yang tak sadar akan selalu bersifat laten. Merongrong dan
mengacaukan tatanan bahasa yang rasional, mapan, dan otoriter.
Pernyataan S. Takdir tersebut pertama-tama mesti dipahami sebagai upaya S. Takdir
mempertentangkan posisi dan watak Puisi Baru terhadap Puisi Lama. Demi upayanya
memunculkan subyek individu (modernitas) dalam Puisi Baru, S. Takdir menolak sama
sekali karakter-karakter dan bentuk-bentuk formal Puisi Lama. Bentuk-bentuk gurindam
dan pantun melambangkan kehadiran masa silam, bentuk-bentuk yang dibekukan oleh
tradisi, mati sebagai cetakan-cetakan atau formula-formula yang membuat sastrawan
belaka sebagai mesin pabrik. S. Takdir menghendaki individualisme mencahayai Puisi
Baru dengan otentitas. Dengan begitu kehadiran puisi adalah kehadiran subyek,
kehadiran gaya poetik adalah kehadiran sukma dan pikiran penyair.
Namun, tak sejak mula gaya sastra dianggap sebagai cerminan dari jiwa
pengarangnya. Plato dan Aristoteles menyatakan gaya – lexis – sebagai komponen
ujaran yang dimanipulasi. Dengan begitu kemampuan seni berbahasa atau retorik
bergantung pada pelatihan dan ketrampilan. Gaya merupakan suatu ornamen atau
dekorasi bahasa. Gaya sastra tak lebih sebagai baju untuk melindungi makna di
baliknya, ornamen luar yang secara tekhnis merupakan kombinasi dari pilihan kata-kata
semakna. Dengan begitu gaya bernilai netral.
Gaya sastra muncul sebagai representasi subyek atau pengarang pada abad sembilan
belas. Sebagai baju, gaya bukan lagi berfungsi untuk melindungi makna di baliknya.
Namun, kini ia adalah seibarat baju basah yang melekati badan dan menunjukan lekuk-
lekuk bentuk tubuh. Topeng adalah wajah itu sendiri, kata Susan Sontag. Kemunculan
gaya sebagai cerminan subyektifitas pada abad sembilan belas bersamaan dengan
munculnya gay sebagai spesies tersendiri dengan orientasi seksual kelamin sejenis.
Michel Foucault dalam The History of Sexuality memaparkan praktik seksual sodomi
telah berlangsung sepanjang sejarah umat manusia namun ia baru muncul sebagai
gaya hidup pada abad sembilan belas. Kemunculan gaya sastra yang eksperimental
dan mencerminkan subyektifitas pengarang berkait erat dengan kemunculan gay atau
homoseksual sebagai gaya hidup tersendiri. Jika mengikuti Freud kita akan mendapati
bahwa abnormal tongues atau gaya eksperimental yang obskur dan dipenuhi oleh
metafor-metafor personal merupakan ekspresi pemberontakan terhadap represi nilai-
nilai normal masyarakat. Gaya eksperimental mengungkapkan suatu perlawanan
terhadap sistem masyarakat normal, seperti seks yang dirumahtanggakan dan
pendeskriditan perilaku-perilaku menyimpang – gaya seks lain – dengan menyebutnya
abnormal atau tak waras. Pada titik ini pernyataan Julia Kristeva bahwa munculnya
bahasa poetik (tak normal) mengantisipasi gerakan revolusioner dalam tatanan
masyarakat menemui konteksnya.
Suatu karya seni pada prinsipnya dapat direproduksi, begitu kata Walter Benjamin
dalam The Work of Art in The Age of Mechanical Reproduction. Patung-patung dapat
direproduksi secara masal melalui teknik cetak lilin, lukisan-lukisan direproduksi melalui
tekhnik foto. Namun, bukan hanya secara material karya seni dapat direproduksi. Gaya
atau style juga dapat direproduksi melalui duplikasi tekhnik stilistiknya. Benjamin
menyatakan bahwa reproduksi telah mengosongkan karya seni dari aura atau
kekeramatan. Jika pada tahun 1936, menurut Benjamin, tekhnik reproduksi
menceraikan karya seni dari basis spiritual di awal kelahiran seni. Di masa sekarang
reproduksi gaya telah mengosongkan gaya dari subyektifitas. Fredric Jameson
menyatakan pengarang-pengarang dan seniman-seniman hari ini tak lagi menemukan
gaya dan dunia baru. Mereka seudah ditemukan, yang tersisa hanyalah merakit
kombinasi-kombinasi yang terbatas. Reproduksi tekhnik stilistik bentuk-bentuk
eksperimental pada akhirnya menormalisasi (menetralkan) abnormalitas subyek
pengarang. Gaya tak lagi mencerminkan otentisitas subyektif pengarang. Gaya kembali
menjadi ornamen dekoratif dari isi, kembali menjadi lexis. Wajah telah dilepaskan dari
topeng. Subyek telah dibunuh. Seperti maklumat Roland Barthes, pengarang telah mati.
Gaya atau yang poetik hanyalah perangkat bagi pesan pemaknaan hal-hal, bukan
makna itu sendiri.
Pudarnya ideologi representasi bukan saja menuntun kita pada jurang kehampaan.
Namun membuka suatu hamparan kekhalayakan: dari abu kematian tubuh individu
borjuis lahirlah khalayak ramai. Kematian bukanlah akhir, ia semacam batu tapal
permulaan babak duplikasi besar-besaran perilaku hedonis borjuis. Sosok-sosok
anggun, berkuasa, kharismatis, pendeknya individu otentik boleh berakhir, namun
perburuan kenikmatan terus berbiak. Pengumbaran hasrat tubuh yang pada masa lalu
merupakan lirisme subversif, pada hari ini menjadi hal yang encer dan dangkal.
Abnormalitas bukan lagi suatu hal yang diperjuangkan. Abnormalitas telah dinormalkan
melalui reproduksi bentuknya: alangkah Toni Blank Show ditonton tanpa risih. Tidak
seperti pada masa jaya individu borjuis ketika abnormalitas merepresentasikan dirinya
sendiri sebagai ungkapan perlawanan terhadap yang normal dan sampai ke khalayak
sebagai hal mengganggu. Hari ini celoteh dan gaya skizofernia Toni Blank menjadi
tontonan hiburan. Ia tidak merepresentasikan dirinya sendiri sebagai subyek yang
direpresif. Sebaliknya lebih melayani hasrat khalayak untuk melihat yang aneh;
khalayak menikmati tubuh depresif yang telah dijinakan, demi memuaskan hasrat
kekerasan yang tersembunyi. Toni Blank Show merupakan contoh bagus dari
normalisasi abnormalitas. Toni Blank merepresentasikan bagaimana, seperti dikatakan
Slavoj Žižek, menyamar dengan mengenakan selubung yang “asli”. Toni Blank Show
merupakan bentuk pastiche yang nyaris sempurna; yang asli menirukan keasliannya
sendiri.
Abnormalitas tidak absen pada masa sekarang. Abnormalitas sebagai “spirit” yang
menampakan diri pada gaya atau style (sastra/seni), sebagai otentisitas individu yang
dilandasi oleh persepsi diri dan pandangan mengenai dunia yang khas barangkali telah
pudar atau mungkin malah laip. Bersama surutnya masa jaya individu borjuis,
sekelompok kaum istimewa, ekspresi material abnormalitas – bentuk estetik / gaya –
belaka selongsong. Abnormalitas telah menjadi tiruan gaya abnormalitas yang dirakit
dari kombinasi-kombinasi terbatas yang telah tersedia. Ini adalah momen kemunculan
pastiche. Menurut Fredric Jameson, dalam Postmodernism and Consumer Society, saat
ini adalah momen munculnya tiruan dari yang aneh atau gaya khas, penggunaan suatu
topeng stilistik, ujaran dalam suatu bahasa mati: tapi ini adalah praktik netral atau
semacam mimikri, tanpa motif tersembunyi parodi, tanpa rangsang satiris, tanpa tawa,
tanpa menyisa perasaan laten bahwa ada suatu yang normal yang dibandingkan
dengan apa yang sedang ditirukan adalah komik.
Gaya-gaya abnormalitas hari ini bukanlah gaya-gaya abnormalitas pada masa jaya
modernisme klasik yang berifat skandal, menantang, mengejutkan secara seksual.
Menyerang kehidupan kelas menengah yang mapan dengan kasar, menghina selera
baik, adab kesopanan dan pikiran sehat. Karya-karya James Joyce, Samuel Beckett
yang pada masanya begitu memuakkan dan membingungkan sekarang telah
dinormalkan, direproduksi dan menjadi klasik. Bahkan bentuk yang dianggap paling
kasar dan penuh serangan pada masa sezaman kini, seperti punk rock, telah diterima
secara luas dan berhasil secara komersial. Di sinilah kita menjadi maklum kenapa novel
Saman dan Larung yang membeberkan penyimpangan-penyimpangan seksual atau
perilaku abnormal secara blak-blakan berhasil memperoleh sukses komersial,
setidaknya reputasi baik. Pada akhirnya bentuk-bentuk atau gaya-gaya abnormal yang
kosong representasi subyektif itu menjadi majal daya revolusifnya.
Kembali lagi ke STA di atas; kini kita tahu kenapa semangat individualistis yang
digembar-gemborkan S. Takdir dengan kata-kata yang berbaris menderap menyerbu
untuk menghancurkan bentuk-bentuk puisi lama tak kunjung melahirkan puisi baru yang
secara radikal berbeda dari pantun, gurindam atau seloka. Pilihan kata atau diksi yang
digunakan untuk membangun bahasa puisi pun begitu kuat menghujamkan dirinya
pada bahasa puisi yang berbunga-bunga – walaupun sebagian besar karya puisi baru
(Pujangga Baru) tak lagi menggunakan majas yang berlapis seperti pada pantun.
Sebab subyek yang semayam dalam karya-karya Pujangga Baru adalah subyek yang
terkendali, subyek yang hendak rasional. Gaya yang digunakan dalam puisi-puisi S.
Takdir semirip praktik retorika dimana gaya estetik belaka baju bagi isinya. Gaya poetik
yang tidak lahir dari suatu subyek yang digelorkan hasrat tubuh yang hendak
menghisap tandas nikmat badani. Namun, subyek yang mau merengkuh rasionalisme
modern, subyek pembangunan. Semangat yang menggelorakan S. Takdir adalah
adalah semangat zaman baru, modernisme, yang berada di luar tubuh. Berbeda
dengan subyek pada puisi-puisi Chairil Anwar yang liar, bohemian, penuh hasrat untuk
mereguk tandas-tandas nikmat badani (seks). Oleh karenanya bahasa poetik Chairil
Anwar berbeda sangat tegas dengan Pujangga Baru. Puisi-puisinya bersifat ofensif
terhadap tatanan masyarakat pada masa itu; melabrak nilai agama, kepatutan
seksualitas, melanggar konvensi sastrawi yang berlaku, juga menyimpan kekecewaan
yang mendalam pada peri kehidupan khalayak banyak. Pendeknya revolusioner.
Namun, kita hidup berbeda zaman dengan Chairil, hari ini subyek telah dikosongkan,
abnormalitas telah dinormalisasi, dan gerakan revolusioner seperti suatu hal yang
mustahil. Benarkah mustahil?

* * *

Anda mungkin juga menyukai