Anda di halaman 1dari 13

Refleksi Sosial sebagai Tendensi Politik dalam Sastra1

Dwi Pranoto

Kurang lebih tujuh puluh tahun lalu, Armijn Pane menulis begini, “Politik itu bagi seniman
dan pudjangga bukanlah sarat, melainkan sudah dengan sendirinja ada padanja”. Dengan kata
lain, politik secara otomatis melekat pada diri seniman dan sastrawan, baik ia dengan secara
sadar memilih maupun tidak. “Kalau dia bilang, dia tidak mau berpolitik, karena dengan
sengadja mendjauhkan politik. Itulah politik!”, kata Armijn Pane pada alinea sebelumnya.
Ketakterhindaran berpolitik tersebut dikarenakan kerja sastrawan senantiasa berkait-kelindan
dengan masyarakat. Bagi Armijn Pane ada dua sikap yang dapat diambil oleh sastrawan
dalam kaitan ini; apakah ia mau jadi buntut masyarakat yang hanya peduli pada keplokan
masyarakat dan honorarium besar, atau jadi pelopor yang berperan sebagai penganjur
masyarakat. Menjadi penganjur masyarakat bukan berarti sastrawan belaka membawa atau
merefleksikan suara, semangat, pikiran jiwa masyarakat. Tapi sastrawan harus menggodok
penyaring semua itu dengan api cita-cita (saya menafsirkannya sebagai tendensi politik).2

Paragraf di atas membawa kita pada problem apakah dengan menyatakan suatu tendensi
politik dengan begitu tak penting lagi bentuk estetik dalam karya sastra yang bertendens? Jika
kita menjawab “ya” pada pertanyaan tersebut maka kita menyatakan bahwa puisi esai yang
ditulis oleh Denny JA yang dengan gamblang menunjukan kebertendensannya melalui rupa-
rupa keberpihakan pada hak asasi manusia adalah karya sastra yang secara politis tepat.

1
Disampaikan pada Diskusi Sastra & Politik, 20 Maret 2018, di Gedung KAUJE Universitas Jember. Sebagian
dari tulisan ini dicuplik dari “Puisi-puisi Halim Bahriz: Penyingkapan Reproduksi Otentisitas dalam Manufaktur
Kultural Kapitalisme Lanjut” yang direncanakan dimuat sebagai kata pengantar dalam buku antologi puisi
tunggal Halim Bahriz yang segera diterbitkan.
2
Paragraf pertama ini bisa dikatakan sebagai tafsir dan komentar terhadap tulisan Armijn Pane, “Seniman,
Pudjangga dan Masjarakat”, dalam E. Ulrich Kratz (penyunting), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad
XX, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford
Foundation, 2000. Saya sengaja mengabaikan pemilahan hirarkis antara seniman dan pujangga yang dilakukan
Arijn Pane dalam artikelnya tersebut, bukan saja hal ini akan dapat memicu perdebatan berlarut-larut yang
melibatkan ego sektoral dalam lapangan kesenian, tapi juga karena untuk tujuan tulisan ini.

1
Namun Walter Benjamin menjawab permasalahan ini dengan menyatakan bahwa tendensi
politik dalam karya sastra hanya tepat secara politis jika secara literer juga tepat.3

Hubungan, kedudukan dan fungsi sastra dalam masyarakat sosial adalah persoalan yang tidak
mudah. Hal yang bukan belaka berkenaan bagaimana karya sastra ditafsir atau dimaknai
melalui isi atau pernyataan verbalnya. Oleh karena karya sastra merupakan cara khusus
memandang dunia yang berarti bentuk persepsi tertentu, hal ini juga bersangkut paut dengan
cara memandang dunia yang dibentuk oleh mentalitas tertentu yang dengannya masyarakat
mengalami dirinya dalam hubungan sosial. Dengan demikian karya sastra merefleksikan
masyarakat melalui dan dalam hubungan dengan ideologi pada zamannya. Sebagai produk
estetik, hubungan karya sastra dengan ideologi bukan hanya terletak pada isi, tapi juga pada
bentuk estetiknya.

Menganggap karya sastra merefleksikan masyarakat hanya melalui isi bakal melulu
melahirkan telaah-telaah sastra yang bersifat vulgar. Menganggap karya sastra secara
langsung atau transparan merefleksikan masyarakat berarti mereduksi fungsi karya sastra
belaka sebagai dokumen sosial. Isi dan bentuk dalam karya sastra sebagai suatu kesatuan
hubungan yang khas dengan demikian diabaikan. Bagi Hegel, dalam Lectures on Aesthetic4,
bentuk adalah manifestasi dari isi, yakni ide keindahan atau ide absolut, yang berjuang dan
mewujud. Bentuk mendapatkan prinsip-prinsipnya dari ide yang dimanifestasikannya,
sebaliknya isi hanya mewujud dalam bentuk yang sesuai dan memadai; bentuk yang tak
sempurna lahir dari muatan yang tak sempurna. Pada setiap zaman perkembangan seni selalu
mendapatkan bentuk yang sesuai dengan isi yang mereka manifestasikan. Pada tahap awal
perkembangan, ide gagal menemukan bentuk yang memadai sebab ide menemukan dirinya
sendiri dalam fenomena alam dan kehidupan manusia, berkonfrontasi dengan dunia luar.
Dengan sia-sia ide berjuang memanifestasikan diri keluar dengan konsepsi-konsepsi
penyamaran dan tidak jelas. Pada tahap klasik isi mencapai keharmonisan bentuk. Kebajikan
alam ‘mengijinkan’ ide menggenggam realitasnya sendiri sebagai spirit yang menentukan
dirinya sendiri untuk menemukan esensi dalam bentuk luarnya yang sepenuhnya tepat.
Sedangkan pada masa modern, era romantisme, spirit ‘tumbuh’ melampaui bentuk-bentuk

3
Walter Benjamin, “The Author as Producer” dalam New Left Review I/62, July-August 1970. Terutama pada
paragraf 1 – 4.
4
G.W.F Hegel, Bernard Bosanquet & WM Bryant (trans.), Hegel’s Lectures on Aesthetic, The Journal of
Speculative Philosophy, 1886. Diunduh dari http://www.sophia-
project.org/uploads/1/3/9/5/13955288/hegel_aesthetics.pdf

2
klasik. Isi menenggelamkan bentuk. Apa yang bisa dicamkan dari pelajaran estetika Hegel
adalah bahwa bentuk bukan sepenuhnya atau belaka dilahirkan oleh kreativitas pengarang.
Tidak semata-mata seperti dikatakan Budi Darma bahwa bentuk adalah cara pengarang
menulis. Bentuk harus menampung isi yang berubah-ubah sepanjang sejarah. Bentuk
mengalami perubahan karena isi mengalami perubahan. Walaupun bentuk ditentukan oleh isi
namun bukan berarti bentuk sepenuhnya dapat dipahami melalui muatannya atau sebaliknya.
Sebagaimana suatu penyederhanaan vulgar yang menganggap isi sebagai satu-satunya yang
bernilai dalam karya sastra. Pengutamaan bentuk sebagai satu-satunya yang bernilai dalam
karya sastra akan juga membawa pada vulgaritas ‘penyelewengan isi’

Problem yang muncul dalam hubungan antara isi dan bentuk adalah ketika bentuk tak lagi
memadai bagi muatannya. Bentuk diusangkan oleh perubahan isi. Walaupun bentuk selalu
merupakan bentuk dari isinya, namun hal yang mesti diingat adalah isi-lah yang berjuang
memanifestasikan dirinya keluar sebagai bentuk. Ada suatu ‘jeda’ dimana perubahan isi
belum diikuti oleh perubahan bentuk. Dalam hal ini hubungan isi dan bentuk mengalami
relasi timbal-balik dimana bentuk merespon perubahan isi dengan menyesuaikannya.
Namun, aksi balik dari bentuk bisa jadi tertangguhkan sebagaimana praktik-praktik
formalisme patologis yang menjauh dari isi atau ‘menyelewengkan isi’. Hubungan antara isi
dan bentuk kemudian menjadi dialektik dimana bentuk dapat berreaksi balik terhadap isi dan
sebaliknya.

Bagi Hegel isi, dalam hal ini ide absolute tidak berubah. Isi yang tidak berubah ini saya sebut
ISI. Namun ISI tidak selalu dapat mewujudkan dirinya keluar sebagai muatan dari bentuk
sebelum ISI menjadi isi, yakni isi yang dilahirkan oleh fenomena alam dan kehidupan
manusia yang berubah di setiap zaman. Bagi kaum Marxis, yang memotong ide absolut
Hegel yang idealis, mereka langsung masuk dalam isi sebagai muatan yang berubah
mengikuti kondisi material masyarakat, dalam model produksi. Dengan begitu hubungan isi
dan bentuk diletakkan dalam wilayah konkrit.

Namun, karya seni tidak begitu saja langsung mengekspresikan realitas. Sebagai produk
artistik yang material, karya seni memanifestasikan isi (kondisi isi material masyarakat)
melalui bentuk yang diproduksi oleh model produksi artistisik tertentu. Dengan begitu karya
seni memiliki wilayah otonom relatif dalam produksi artistik. Oleh karenanya, dari pada
mengajukan pertanyaan fungsi karya sastra dalam hubungannya dengan kondisi material

3
masyarakat, Walter Benjamin dalam Author as Producer lebih mengajukan pertanyaan
hubungan karya sastra dalam hubungannya dengan produksi sastra. Karya sastra beroperasi
terhadap realitas melalui refleksi dari refleksi. Artinya, dengan mengikuti Althusser, karya
sastra beroperasi terhadap realitas melalui atau dalam struktur persepsi estetik, atau ‘ideologi’
estetik5.
*

Baiklah, kita memulainya lagi dari sini; manakala manusia modern berupaya merangsek
masuk ke dalam dan berkehendak, meruntuhkan komunalitas yang mengeram di dalam
“puisi”. Tahun 1930-an, setidaknya masa itu dengan jelas mengungkapkan kemauan-
kemauan yang meluap untuk dengan sengaja menyingkirkan komunalitas beserta segala
kaidah dan gaya yang menandakan representasi simboliknya. Bersama dengan itu kelisanan,
betapapun mungkin otentitasnya rusak oleh pengulangan-pengulangan, yang selalu
mensyaratkan tatap muka langsung dalam tindak-tutur sesungguhnya telah ditanggapi sebagai
wujud lain yang menangguhkan perjumpaan dengan orang lain sejak mesin cetak dan
kemelekhurufan meradak dalam kalangan orang banyak. Sudah barang tentu pada masa itu
kelisanan kerap sudah kehilangan lidah dan kerongkong yang sebenarnya dan digantikan oleh
lambang-lambang fonografis yang tak lagi membutuhkan telinga untuk menangkap pola
bunyinya, melainkan mata. Pujangga Baru, yang digelegaki hasrat Takdir Alisjahbana untuk
menghadirkan Barat dalam wajah manusia individual modernnya, menyajikan upaya-upaya
susah payah untuk lepas dari ikatan kaidah-kaidah apa yang menjadi perangkat estetika puisi
lama, bersama bayangan perikatan sosialnya yang hadir dalam mode mute tatanan grafis
aksara, pada kebebasan puitik romantik. Meskipun pada akhirnya upaya-upaya tersebut
sebagian besarnya menghasilkan puisi baru yang beroperasi menggunakan perangkat estetika
puisi lama Barat6 dan kebebasan puitik romantik yang kedua kakinya terjerat pola

5
Louis Althusser, “Surat tentang Seni: Sebagai Jawaban untuk André Daspre”, dalam Filsafat sebagai Senjata
Revolusi, Resist Book, 2007. Pada halaman 267-268 Althusser menulis begini, “Baik Balzac maupun
Solzhenitsyn sama-sama tak menghadirkan buat kita pengetahuan apapun mengenai dunia yang mereka
deskripsikan. Mereka hanya membuat kita bisa ‘melihat’, ‘menangkap’, atau ‘merasakan’ realitas ideologi
dunia yang mereka deskripsikan. Ketika kita membicarakan ideologi, kita harus tahu bahwa ideologi-lah yang
masuk ke dalam eksistensi manusia”. Mengenai ideologi seni (secara longgar saya sebut ideologi estetik) baca
halaman 271-272, “Penciptaan dianggap sebagai sebuah bahasa ‘yang spontan’, namun kita tahu dari Marx
dan Lenin bahwa setiap bahasa ‘yang spontan’ pada hakekatnya merupakan sebuah bahasa yang bersifat
ideologis, kendaraan bagi sebuah ideologi, dalam hal ini ideologi seni dan ideologi tentang aktivitas penciptaan
efek-efek estetik”.
6
Untuk soal ini baca, Armijn Pane, “Kesoesastraan Baroe II” dalam E. Ulrich Kratz (penyusun), Sejarah Sastra
Indonesia Abad XX, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The
Ford Foundation, 2000, terutama halaman 33 dan 35.

4
perulangan7 semirip metrum puisi lama yang hendak bergegas ditinggalkan. Betapapun,
dalam hal ini, tak terwujudnya apa yang semungkinnya bisa dinilai sebagai kegagalan atau,
mungkin lebih tepatnya, ketaktuntasan dalam pembaharuan estetika seturut semangat
renaisans yang memusat pada individulitas modern. Pada pokok ini kita telah menyaksikan
berkas-berkas gagasan yang didorong oleh keindividualitasan untuk meninggalkan perangkat
estetik yang menjadi buah dari kaidah-kaidah tindak-tutur lisan yang berfungsi dalam
perikatan sosial yang menyokongnya. Walaupun individualitas yang dimaksud lebih
ditekankan belaka sebagai kehadiran kedirian beserta segala pemerasaan dan permenungan
terhadapnya dengan bermenjelangkan khalayak tanpa mengindahkan penangguhan relasi
sosial nyata dalam serial sirkulatif tulis-baca yang bertumpu pada mesin cetak dan
kemelekhurufan. Dengan cara seperti ini persalinan dari komunalitas menjadi individualitas
seibarat mengganti kata ganti pada teks tulis.

Operasi mesin cetak dan kemelekhurufan (latin) yang meluas menempatkan puisi dalam
posisi dan fungsi sosial yang berbeda dari sebelumnya. Mesin cetak dan kemelekhurufan
(latin) membawakan suatu elan sosio-kultural tertentu dari tanah asalnya yang mendesak
tatanan sosio-kultural tempatan di mana masa jaya kelisanan pernah berlangsung di
dalamnya. Dalam hal ini proses produksi dan penyebarannya beserta spesialisasi kerja yang
membentuk hubungan produksi8, yang telah sejak awal mengabrasi anonimitas karya sastra
lisan, menjalankan peran penting dalam gelombang invasif diam-diam terhadap “privilege”
komunal sebagai produsen, distributor, dan konsumen puisi lisan. Pujangga Baru , dengan
STA sebagai lokomotifnya, pada dasarnya hanya memberikan penegasan akan terjadinya
jetlag estetika (meminjam cultural lag-nya William Fielding Ogburn9) yang mengikuti

7
Dr. Keith Foulcher dalam Pujangga Baru: Kesusastraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942, Sugiarta
Sriwibawa (penerjemah) dan Ajip Rosidi (penyunting), menyatakan dalam hal. 58, “ . . . terdiri atas
pengulangan baris-baris yang tersusun dengan pola tertentu. Bentuk “bebas” atau yang susunannya
ditentukan alam perasaan yang hendak diungkapkan, dapat dikatakan benar-benar tidak ada dalam sajak
Pujangga Baru”
8
Saya berhutang banyak kepada pemikiran Walter Benjamin tentang bagaimana tekhnologi reproduksi
mempunyai pengaruh pada dinamika bentuk estetik yang berinteraksi timbal balik dengan hubungan produksi.
Lihat “The Work of Art in The Age of Mechanical Reproduction” dalam Illuminations, Harry Zohn (penerjemah)
dan Hannah Arendt (editor), Shocken Books, New York, 2007 dan “The Author as Producer”, dalam New Left
Review , I/62, July – August 1970.
9
William Fielding Ogburn membagi evolusi kultural berkait dengan penemuan tekhnologi menjadi empat
tahap: penemuan, akumulasi, penyebaran, penyesuaian. Culutral lag dapat terjadi antara tahap penyebaran
dan penyesuaian di mana penyebaran tekhnologi baru pada wilayah yang tidak sama tingkat kulturalnya
dengan wilayah asal penemuan menimbulkan ketidakseimbangan pada sistem kultural. Lihat, William Fielding
Ogburn, On Culture and Social Change: Selected Papers, ed. Otis Dudley Duncan, University of Chicago Press,
1964, hal. 21 – 32.

5
penemuan tekhnologi produksi puisi. Tahun 1930-an seperti mempersiapkan suatu kondisi
kultural untuk kedatangan nabi puisi, penyihir dunia puisi Indonesia, Chairil Anwar.

Penghadiran individualitas kedirian yang meluap dalam puisi dengan begitu rupa menerjang
sisa-sisa endapan kaidah estetik kelisanan di mana komunalitas bertahan sebagai bayangan di
permukaan air yang bergolak. Paling tidak, jika secara kasar membabakannya, 1920an –
1930-an – 1940an merupakan serial paling nyana dari tahapan keruntuhan organ-organ
komunalitas hingga menyungkurkan tubuh organiknya – etnis – di penjelang kaki kebangsaan
yang mewujud. Tentu saja, di sini kita berbicara mengenai proses yang berkait dengan
pengambilalihan produksi wacana (tulisan) dari pengendalian resmi elit ekolonial oleh para
elit pengusaha partikelir yang mengimplikasikan perubahan pada kaidah-kaidah penulisan
secara umum, cara berbahasa, dan, sudah pasti, tema, yang membasis pada kepemilikan
mesin cetak. Pengendalian politik yang menyasar stabilitas secara umum guna menjamin
berjalannya sistem kolonial yang beroperasi dalam relasi kekuasaan kolonial dengan elit
lokal, bagaimanapun, menghendaki terjaganya keajegan pola-pola sosio-budaya bersama
norma dan nilai yang mengarahkan atau menggerakkannya. Dengan demikian prinsip-prinsip
komunalitas tertentu sedapat mungkin ditahan dan direproduksi melalui mesin cetak,
sebagaimana para sarjana kolonial kisaran abad 19 sampai awal abad 20 mengidentifikasi,
mengumpulkan, membakukan dan menstabilkan karakteristik sosio-budaya dalam kajian-
kajian ethnografis kelompok-kelompok masyarakat nusantara sebagai bagian dari
penyempurnaan proyek survey manusia sebagai tenaga produksi untuk melengkapi survey
kadastral. Pada sisi lain, yang kemudian berhadapan secara bertentangan, kekuatan partikelir
yang tumbuh pesat dalam bisnis percetakan/penerbitan yang sejak mula belaka
mengindahkan laba dengan menyasar ceruk besar golongan jelata yang baru saja memandang
dirinya sebagai bagian dari dunia kemelekhurufan latin, yang bukan berasal dan bukan bagian
kaum elit tradisional, sebagai pasar potensial yang terus membesar. Tahun 1940-an,
bersamaan dengan kedatangan balatentara Jepang yang mengakibatkan kocok-ulang
kelompok elit, “bacaan liar” mendapatkan momentumnya untuk melakukan mobilitas
vertikal. Kebijakan pengutamaan bahasa Indonesia tanpa mengindahkan varian hirarkis,
Melayu Tinggi dan Melayu Rendah10 yang berkembang pada masa kolonial Belanda,
10
Armijn Pane dalam Produksi Film Tjerita di Indonesia: Perkembanganja sebagai Alat Masjarakat, Badan
Musjawarat Kebudajaan Nasional, 1953, pada hal. 8 menyatakan bahwa tumbuhnya journalistik dan
persuratkabaran pada akhir abad 20 yang memicu akulturasi, perpaduan antara gaya bahasa sastra Melayu
kuno dan gaya pemberitaan barat, menimbulkan cerita-cerita secara baru seperti Tjerita si Tjonat (1900) dan
Tjerita Njai Dasima (1896). Dua cerita tersebut adalah contoh dari penggunaan Melayu Rendah (Melayu
Tionghoa) dalam karya sastra dan dianggap tidak mempunyai nilai sastra. Gaya bahasa yang dikembangkan

6
membuka peluang ekspresi puitik menemukan kemungkinan-kemungkinan perluasan
tertentu. Sementara represi keras Jepang mendorong pergolakan sosial-politik masuk ke
dalam gelanggang kedirian individual yang meluap-luap. Lalu, tanpa mengucapkan selamat
tinggal dunia puisi Indonesia keluar dari komunalitas.

Tahun 1930-an, sekali lagi ini berdasarkan perhitungan kasar, sedimen komunalitas dalam
seni puisi, yang berupa kaidah-kaidah puitik semacam metrum dan rima tertentu, mulai
tergerus bersama dengan datangnya kemelekhurufan dan mesin cetak. Namun demikian,
semangat Pujangga Baru yang menggelegak untuk segera meninggalkan puisi lama belaka
dapat terbaca dalam isi tanpa disertai ketepatat literer. Dengan datangnya Chairil-lah,
individualitas yang kemunculannya tak terpisahkan dari pembagian kerja (spesialisasi) dalam
produksi sastra yang tumbuh bertumpu pada mesin cetak dan kemelekhurufan
terartikulasikan melalui diksi sehari-hari yang dikomposisikan secara lugas, menghancurkan
metrum dan rima puisi lama yang merefleksikan kaidah-kaidah puitik komunalitas dan
menggantikannya dengan irama yang merepresentasikan otentisitas subyektif. Objektifikasi
baru puitik dengan penggunaan diksi sehari-hari membentuk watak ke-massa-an puisi-puisi
Chairil berpalun dengan gelora semangat kebangsaan masa itu.

Pada akhirnya, kita tahu, warisan paling digaris-bawahi sepanjang abad dua puluh dari
Chairil Anwar adalah otentisitas subyektif. Hampir semua produk puisi, tentu ada
pengecualian, menjadi pengikut-penerus Chairil meskipun kondisi hubungan produksi yang
berbasis pada mesin cetak mengalami “pencanggihan” dengan makin terspesialisasinya
tenaga produksi. Penyair/sastrawan makin jauh dari peran sebagai produsen yang
menentukan tekhnik dan isi puitik. Disadari atau tidak, tekhnik dan isi puisi bertumpu pada
kenyataan tentang mesin cetak sebagai piranti bisnis yang dimiliki oleh kelas tertentu dan
buku puisi/sastra sebagai produk komoditas. Selera estetik bergantung pada selera kelas
pemilik dan kekuasaan yang mengatur produksi sastra sebagai operasi bisnis. Pada sisi lain,
diksi-diksi Chairil di bawah terang cahaya hari ini menjauh dari sehari-hari, terdengar jauh
dan nostalgis. Oleh karenanya, produk puisi pada seperempat akhir abad 20 hingga hari ini
mengalami depolitisasi dan terasing dari khalayak. Otentisitas yang seharusnya menjadi
jaminan bagaimana pengalaman kebertubuhan individual yang berrelasi dengan dunia luar

Balai Pustaka dan Pujangga Baru berbeda dengan gaya bahasa tersebut, meskipun tidak menutup
kemungkinan adanya keterpengaruhan. Gaya bahasa Melayu Rendah inilah yang banyak digunakan dalam
karya-karya yang dikategorikan sebagai “bacaan liar”. Hal ini berimplikasi luas pada pembabakan “resmi” atau
pembagian angkatan dalam sejarah sastra Indonesia modern.

7
terungkapkan, di luar persoalan keberlaluan waktu real dalam praktik berbahasa, telah
bergerak sebagai semacam lembaga ideologis yang menjauhkan tubuh dari teks yang
memerihalkannya. Hal ini tampaknya merefleksikan secara paralel bengkoknya kebijakan
teknokratif rezim Suharto. Depolitisasi rezim Suharto atas tubuh yang telah dirintis sejak
penghancuran kelompok Lekra menggiring individualitas ke dalam ruang interior
“spiritualitas” dan/atau melayani norma dan nilai tertentu yang menumpu ideologisasi di
mana relasi dengan dunia luar diredam atau dikendalikan, sebagian besarnya, melalui
makanisme swa-sensor dari semacam gejala formalisme-romantik yang patologis. Pernyataan
paling jelas dari hal ini adalah bagaimana Subagyo Sastrowardoyo melarikan ekspresi
individualitasnya pada upaya-upaya mencapai kesadaran penuh kedirian sendiri11.
Pemutusan, atau lebih tepatnya pengendalian, relasi praktik puitik terhadap dunia luar
semacam ini, dengan cara bagaimanapun ia dipersepsikan, pada dasarnya adalah
“memasung” pencerapan inderawi pada suatu perangkat puitik tertentu. Respon atas tubuh
yang ditundukan melalui depolitisasi mencari jalan keluar teramannya dengan menarik masuk
kedirian ke dalam cangkang spiritualisasi estetik di mana Kredo Mantra Sutardji Calzoum
Bahri merupakan varian paling radikalnya.

Hari ini masa jaya mesin cetak besar mengalami kemunduran bersama munculnya mesin
cetak meja sederhana yang dapat dimiliki oleh siapapun yang memudahkan siapapun untuk
mencetak buku puisi dan jaringan internet yang menyediakan media bagi siapapun untuk
menggunggah puisi-puisinya. Hubungan produksi yang bersumbu pada mesin cetak yang
dicirikan dengan spesialisasi tenaga kerja diguncang oleh serba praktis dan efisiennya proses
produksi di mana seorang penyair dapat merangkap sebagai editor, redaktur, penata letak,
sampai penjual. Pada konteks film, dalam tulisan Suatu Hari Kita Hanya Akan Mengenang
Seluloid, Ugeng T. Moetidjo menandaskan berakhirnya masa kejayaan estetika film borjuis
dengan munculnya kamera video, “Siapa saja kini dengan gampang boleh melayangkan
pandangan dengan kamera di tangan menyusuri serbaneka pelosok-pelosok peristiwa
dengan kadangkala menemukan kejutan pada kejadian yang terlalu biasa”12. Kedengarannya
seperti mantra Do It Yourself kaum Punk, namun tanpa perlawanan dan skandal yang
sesungguhnya.

11
Lihat Subagio Sastrowardoyo, “Catatan tentang Simphoni”, dalam Pamusuk Eneste (editor), Proses Kreatif:
Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang, PT. Gramedia Jakarta, 1983.
12
http://jurnalfootage.net/v4/suatu-hari-kita-hanya-akan-mengenang-seluloid/

8
Kerusakan sempadan antara seni tinggi dan rendah, sastra dan bukan sastra, mengakhiri
hegemoni elitis dalam seni. Lepasnya kesenian dari tangan segelintir elit borjuasi seolah
membuka gerbang ‘demokratisasi’ seni. Bukan saja siapa saja kini bisa menjadi seniman atau
pengarang, begitupun dengan bentuk-bentuk estetik yang merembes dan dirembesi oleh
bentuk-bentuk biasa dari benda-benda sehari-hari atau barang-barang komersial. Di dinding-
dinding restoran Pizza Hut misalnya tergantung cetakan-cetakan lukisan gaya pop art serupa
Warhol. Sementara di galeri-galeri seni dipajang barang-barang sehari-hari, baik dengan
sedikit modifikasi ataupun dalam bentuk utuh dengan muatan ‘masa lalu’. Kondisi
‘kekacauan’ ini digambarkan oleh Fredric Jameson dengan pemasangan kaca besar tembus
pandang pada dinding-dinding hotel-hotel berbintang masa kini yang seolah menyatukan
antara ruangan dalam hotel dengan pedestarian dan jalan raya; berkebalikan dengan era
sebelumnya yang menggunakan kaca gelap seperti kacamata rayban yang hanya tembus
pandang dari dalam, sementara tatapan dari luar akan memantulkan kembali pemandangan
luar.13 Sejajar dengan hilangnya citra elitis pada tokoh-tokoh elit seperti pada figur majikan
Microsoft, Bill Gates, yang dikatakan Slavoj Zizek14 tak berbeda dengan orang kebanyakan.
Runtuhnya estetika modern dan matinya individualitas unik sebagai basis penciptaannya,
bersama bangkitnya kekhalayakan, melenyapkan batas sempadan antara seni tinggi dan
rendah, sastra dan bukan sastra. Lebih ekstrim lagi, produk seni telah terintegrasi sepenuhnya
ke dalam barang komoditas dan siapapun dapat menjadi seniman atau pengarang. Inilah
momen kapitalisme lanjut; keseragaman terlipat ke dalam kemajemukan, tepat dimana
pertentangan-pertentangan politik dijinakkan. Seperti kemunculan pastiche yang menurut
Fredric Jameson merupakan tiruan-tiruan atau parodi kosong15, perkembangan estetika
sampai pada jalan buntu. Matinya individualitas unik yang mengakhiri pandangan tentang
dunia dan pengalaman khas membawa reka-artistik belaka mengombinasikan gaya-gaya yang
telah tersedia. Hal ini paralel dengan kebangkitan identitas etnis tanpa teritorial secara
geografis, tanpa norma dan nilai tertentu yang sungguh-sungguh mengikat dan
mengintegrasikan semua anggotanya. Situasi sosial yang direfleksikan dalam puisi-puisi

13
Fredric Jameson, “Postmodernism and Consumer Society” dalam The Cultural Turn: Selected Writings on the
Postmodern 1983 – 1998, Verso, 1998. Untuk pembahasan mengenai arsitektur postmodern lihat hal. 10 – 16.
14
Slavoj Zizek, dalam Multiculturalism or the Cultural Logic of Multinational Capitalism?, New Left Review,
I/225, September – October 1997, menyatakan bahwa Bill Gates lazim merayakan ruang-siber sebagai
terbukanya masa depan “friction-free capitalism” yang mana sifat antagonistik relasi sosial dalam hubungan
produksi secara ilusif dilenyapkan dalam ruang interaksi timbal-balik yang “friction-free” di mana partikularitas
posisi sosial partisipan dilenyapkan.
15
Fredric Jameson, “Postmodernism and Consumer Society” dalam The Cultural Turn: Selected Writings on the
Postmodern 1983 – 1998, Verso, 1998. Untuk pembahasan pastiche lihat hal.4.

9
Nirwan Dewanto melalui penggunaan diksi-diksi yang arkaik dan metrum puisi lama16, diksi-
diksi usang anakronik yang pada dasarnya telah kehilangan fungsinya, kecuali sebagai gaya
vintage sebagaimana sepeda gazelle yang dipajang di dinding cafe.
*

Walter Benjamin dalam The Author as Producer menyatakan bahwa karya sastra tak
berhubungan atau tak merefleksikan kehidupan sosial secara langsung. Karya sastra
berhubungan dengan kehidupan sosial melalui cara produksi karya sastra yang membentuk
relasi produksi tertentu. Bagi Benjamin, surat kabar, yang kemunculan dan pertumbuhannya
tak terpisahkan dengan tekhnologi (re)produksi mesin cetak, telah mengubah hubungan
antara penulis dan pembaca. Rubrik opini dalam surat kabar, sebagai misal, telah
memberikan peluang kepada pembaca untuk berperan sebagai penulis. Garis sempadan yang
memisahkan antara penulis dan pembaca dengan begitu menjadi runtuh. Dalam konteks
sastra, rubrik sastra dalam surat kabar juga membuka peluang bagi pembaca untuk menjadi
penulis sastra dan pengulas karya sastra. Namun kita tahu, surat kabar punya mekanisme
penapis yang diperankan oleh redaktur, sehingga tak semua tulisan yang dikirimkan ke
redaksi surat kabar dapat dimuat.

The Author as Producer ditulis saat surat kabar berada pada masa tumbuh-mekarnya. Hari
ini tekhnologi (re)produksi yang membasis pada media internet telah mengusangkan
tekhnologi (re)produksi berbasis mesin cetak. Pencapaian tekhnologi hari ini telah mengubah
cara (re)produksi karya sastra. Perusahaan percetakan dan penerbitan, yang sebelumnya
mengusai produksi karya sastra, yang mengoperasikan mesin cetak besar yang mahal dan
membutuhkan beragam spesialisasi kerja, hari ini terus digerogoti oleh mesin cetak sederhana
yang bukan hanya efisien dalam segi biaya tapi juga tak membutuhkan banyak tenaga kerja.
Kondisi ini membuat siapapun dapat mencetak dan menerbitkan karya sastra, baik dengan

16
Buku kumpulan puisi Nirwan Dewanto; Jantung Lebah Ratu, Gramedia Pustaka Utama, 2008 dan Buli-Buli
Lima Kaki, Gramedia Pustaka Utama, 2010; saya kira banyak menghimpun contoh puisi Nirwan Dewanto yang
menggunakan diksi-diksi arkaik. Sementara Enin Supriyanto dalam komentar sokongan pada Jantung Lebah
Ratu memuji Nirwan Dewanto dalam menggunakan bentuk gurindam, pantun, dan haiku dengan kecermatan
rima dan birama, dan kelincahan bertutur. Apa yang dinyatakan Enin tersebut mengingatkan saya pada
perdebatan di Facebook bertahun lalu yang dipicu oleh penjajaran Utan Kayu dengan Pujangga Baru yang
dinyatakan Saut Situmorang. Dari segi bentuk saya kira Saut tak keliru. Namun demikian, diksi-diksi yang
digunakan atau dikomposisikan oleh para penyair Pujangga Baru jauh lebih gamblang, bahkan kerap klise,
dibanding dengan diksi-diksi yang digunakan oleh Nirwan Dewanto yang, saya kira, dengan sengaja
mengomposisikan diksi-diksi lama untuk menimbulkan efek defamiliarisasi atau penjarakan.

10
membayar – jika ingin mengurangi resiko kerugian bisa dengan cara print on demand –
maupun mencetaknya sendiri dengan mesin cetak meja dan menerbitkannya. Hal ini
berdampak pada peran redaktur dan editor naskah yang tak lagi menjadi sentral dalam
menyeleksi naskah. Sementara itu, media internet dengan website dan blog yang dapat
dimiliki secara pribadi mengubah cara produksi sastra secara lebih radikal. Pengunggahan
karya sastra pada website atau blog pribadi pada dasarnya adalah mencetak dan menerbitkan
karya sastra secara paperless dan sekaligus mendistribusikannya langsung pada para
pembaca. Pada hari ini siapapun bisa jadi sastrawan.

Peran redaktur nyaris kehilangan otoritasnya, jika tidak runtuh sama sekali, dalam
(re)produksi karya sastra berbasis mesin cetak sederhana dan media internet. Prosedur
penyaringan dalam penerbitan karya sastra telah jebol. Pada sisi lain, jika memandang karya
sastra sebagai produk yang mendatangkan keuntungan, pengusaha percetakan dan penerbitan
harus menyesuaikan cara produksi jika tak ingin terkapar dalam persaingan. Dalam hal ini,
pengusaha atau perusahaan meminimalkan peran redaktur, jika tidak meniadakan sama
sekali, untuk menjalin hubungan langsung dengan penulis. Saat ini penulis/sastrawan bukan
lagi belaka sebagai produsen sastra. Para sastrawan seringkali mau menyediakan dirinya
sebagai distributor, pedangang eceran, dan bahkan pembeli karyanya sendiri. Perubahan
relasi produksi pada cara produksi sastra ini secara mendalam mempengaruhi relasi sosial
dalam lapangan kesusastraan secara umum di mana karya sastra tercakup sepenuhnya sebagai
barang komoditi. Peran redaktur dan kritikus, berbekal citraan otoritas masa lalu yang kian
memudar, bukan lagi sebagai penjaga mutu suatu karya sastra, tapi lebih sebagai agen
advertensi yang mempromosikan karya sastra tertentu. Kasus Denny JA yang bersedia
menjadi penyair, distributor, dan pedagang eceran, sangat mungkin tak bakal muncul pada
masa jaya mesin cetak besar di mana redaktur dan kritikus memiliki otoritas yang besar lagi
kuat.

Munculnya puisi esai dengan segala klaim kepeloporan dan penabalan angkatan sastranya
yang disokong oleh kritikus, redaktur, sastrawan, dan kalangan akademis mencerminkan
rusaknya sistem sosial kesusastraan Indonesia. Denny JA memainkan politik sastra dengan
secara kasar mengabaikan bentuk estetik sebagai bagian integral dari tendensi politik. Bukan
saja puisi esai karya Denny tidak tepat secara literer dalam menyuarakan isi politiknya
(inipun bajakan), dan oleh karena itu juga tidak tepat secara politis. Lebih dari itu, mobilisasi
massa untuk menggalang dukungan terhadap puisi esai yang dilakukan Denny, paralel

11
dengan sebagaian besar perilaku politikus. Paling penting dari semua itu, Denny menyebut
apa yang dilakukannya itu sebagai pilihan tindakan yang disediakan dalam alam demokrasi.
Saya kira demokrasi dalam sastra yang dimaksud Denny, sekali lagi, paralel dengan
demokrasi yang dimaksud oleh sebagian besar politikus hari ini yang terjun ke dunia politik
tanpa memahami perjuangan politik sebagai perjuangan untuk mengupayakan kebajikan
bersama/umum. Demokrasi sebagai kategori ideologi, dalam artian marxian, menanamkan
tipuan kenyataan dalam persepsi masyarakat untuk menciptakan kondisi sosial yang
diperlukan guna melegitimasi penindasan dan penghisapan demi kepentingan kekuasaan.
*

Tak dapat dihindari, sastra, sebagai karya seni, selalu berada dalam suatu tradisi estetik di
mana relasinya dengan tradisi tersebut menyingkapkan bagaimana ia berhubungan dan
bersikap terhadap realitas sosial sebagai hal yang direfleksikan dalam karya seni di mana,
dengan cara tertentu, bentuk estetiknya dikonstruksi dengan bertumpu pada hubungan
produksi. Tekhnologi (re)produksi sastra hari ini tidak hanya telah membangkrutkan otoritas
kritikus, redaktur, dan akademisi sebagai penjaga mutu sastra. Lebih dari itu, tekhnologi
(re)produksi sastra menggiring otentisitas subyektif sastrawan pada gigir jurang maha dalam
bersama tergulingnya “aku” dari kedudukan pusat penafsiran. Lalu, kemanakah perginya
segala otoritas itu? Mungkin kita seibarat seorang astronot yang ditendang ke luar dari kapal
luar angkasa hingga mengapung tak tentu dalam ruang nir-gravitasi maha luas oleh sesuatu
semacam program komputer Hal 9000 dalam film 2001: A Space Odyssey (1968) karya
Stanley Kubrick. Tampaknya, segala otoritas itu kini lesap dalam program dan jejaring
birokrasi korporasi kapitalisme lanjut yang semakin canggih.

Pada paragaraf terakhir, agar tulisan ini dapat menghindar dari ketakpastian-ketakpastian
yang memuramkan akan nasib sastra dalam kaitannya dengan politik, ada baiknya kita kutip
pernyataan optismistik Ismail Kadare yang menyiratkan masa depan kesusastraan secara
provokatif dalam suatu wawancara dengan Shusha Guppy:
. . . mereka katakan bahwa sastra kontemporer sangat dinamis karena dipengaruhi oleh
sinema, televisi, kecepatan komunikasi. Tapi yang benar adalah sebaliknya! Bila kamu
bandingkan teks Yunani kuno dengan kesusastraan hari ini, kamu akan menemukan bahwa
sastra klasik beroperasi pada wilayah yang sangat luas, melukis pada kanvas yang jauh lebih
besar, dan punya suatu ukuran keakbaran secara tak terbatas – sebuah huruf bergerak di antara
langit dan bumi, dari suatu kadewatan ke fana, dan kembali lagi, sama sekali secara nirwaktu!
Kecepatan tindakan, visi kosmis pada satu setengah halaman dalam buku kedua Iliad tak

12
mungkin ditemukan dalam penulis modern. Kisahnya sederhana: Agamemnon telah berbuat
sesuatu yang menggusarkan Zeus, hingga menyebabkannya menjatuhkan hukuman baginya.
Ia memanggil seorang pembawa pesan dan memerintahnya terbang ke bumi, mencari jendral
Yunani bernama Agamemnon, untuk memasukan mimpi palsu dalam kepalanya. Pembawa
pesan tiba di Troya, mendapati Agamemnon tidur, menuangkan mimpi palsu ke dalam
kepalanya bak cairan, lantas kembali ke Zeus. Pada pagi hari Agamemnon memanggil para
perwiranya dan berkata pada mereka bahwa ia mendapat mimpi indah dan bahwa mereka
akan menyerang orang-orang Troya. Ia menderita kekalahan yang menghancurkan. Semua itu
hanya satu setengah halaman! Suatu hal yang melintas dari otak Zeus ke otak Agamemnon,
dari langit ke bumi. Penulis hari ini mana yang dapat membikinnya? Misil-misil balistik tak
secepat itu!17

*****

17
“Ismail Kadare, The Art of Fiction No 153”, dalam The Paris Review, Issue 147, Summer 1998, terjemahan
cuplikan oleh saya.

13

Anda mungkin juga menyukai