Anda di halaman 1dari 15

Wawancara dengan James C.

Scott

Egalitarianisme, Pengajaran Kerja-lapang


dan Kalistenik Anarkis
Oleh Diego Palacios Cerezales, Diogo Duarte, Jose Manuel Sobral dan Jose Neves

Analise Social, 2006, XLVIII (2.0), 2013

ISSN ONLINE 2182-1999

EDICAO E PROPRIEDADE
Instituto de Ciencias Sociais da Universidade de Lisboa. Av. Professor Anibal de Bottencourt, 9
1600-189 Lisboa Portugal – analise. social@ics.ul.pt
WAWANCARA

Egalitarianisme, Pengajaran Kerja-lapang


dan Kalistenik Anarkis
Wawancara dengan James C. Scott Oleh Diego Palacios Cerezales, Diogo Duarte, Jose
Manuel Sobral dan Jose Neves

James C. Scott adalah Profesor Kepala Ilmu Politik dan Antropologi di Universitas Yale di mana ia
bertanggungjawab untuk Program dalam Kajian-kajian Agraria. Penulis buku-buku fundamental
tentang lapangan-lapangan kajian Agraria dan Gerakan-gerakan Sosial (tapi beresonansi luas dalam
bidang-bidang ilmu sosial lain), yakni The Moral Economy of the Peassant: Rebellion and Subsistence
in Southeast Asia (1977), Weapons of the Weak Everyday Forms of Peassant Resistance (1985), dan
Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts (1990), Scott akhir-akhir ini juga
menerbitkan The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia (2009).
Karyanya telah menjadi sumber utama inspirasi bagi kami dan karena itu kami mengundangnya
untuk mengunjungi Portugal guna mendiskusikan sejumlah elemen-kunci penelitian-penelitiannya.

Percakapan berikut bertempat di Lisbon, April 2012, diikuti banyak mahasiswa dan peneliti baik dari
Portugal maupun Spanyol. Percakapan awalnya diarahkan oleh pertanyaan kami sendiri dan
kemudian dibuka untuk diskusi, menerima beberapa pertanyaan dari hadirin. Subyek diskusi berkisar
dari ikutserta Scott dalam Gerakan Perestroika dalam Ilmu Politik sampai kritiknya mengenai Negara
dan konsep modernisme-tinggi (lihat Seeing like a State – How Certain Schemes to Improve the
Human Condition Have Failed, buku Scott 1998). Percakapan juga termasuk suduat pandangnya
mengenai perlawanan dan kaitannya dengan sumbangsih oleh para penulis seperti, diantaranya, E.P.
Thompson, Michel Foucault, dan Pierre Clastres. Akhirnya, kita juga mendiskusikan kemungkinan
suatu “arus-balik anarkis” dalam ilmu-ilmu sosial dan mengenali hukum Scott tentang kalistenik
anarkis, dan beberapa petunjuk mengenai buku barunya, Two Cheers for Anarchism: Six Easy Pieces
on Autonomy, Dignity, and Meaningful Work and Play (2012). 1

1
James C. Scott mengunjungi Portugal untuk ikutserta dalam kegiatan penelitian proyek FCT “The Making of
State Power in Portugal 1890-1986” (PTDC/HIS-HIS/104166/2008). Disamping dukungan finansial daro FCT,
kunjungan Scott juga mendapat tunjangan dari dukungan finansial FLAD.
*

PEWAWANCARA (PWW)

Mari kita awali dengan beberapa pertanyaan perihal formasi akdemis awal anda, yang mana, sejauh
kami tahu, lebih langsung berhubungan dengan Ilmu Politik. Jadi, Bagaimana bisa anda masuk
Antropologi dan bagaimana Antropologi memasuki tempat penting dalam karya anda?

JAMES C. SCOTT (JCS)

Terimakasih. Aku tersanjung sekaligus ngeri karena jumlah orang di sini dan juga karena perubahan
tempat acara. Ruangan lainnya kecil dan nyaman dan yang ini ruangan yang mengintimidasi. Karena
struktur hirarkisnya, aku merasa aku hendak mengoperasi beberapa pasien dan mencangkok ginjal.
Jadi, ruangan memerlukan sesuatu yang lebih penting dariku daripada yang aku harus sampaikan
dan aku ingin kalian semua tahu bahwa kalian semua dapat panjang umur dan hidup bahagia tanpa
mendengarkanku. Aku dididik sebagai ilmuwan politik dan pertanyaan mengenai bagaimana aku
menjadi seorang antropolog, seorang antropolog gadungan, tumbuh dari karyaku mengenai para
petani gurem. Aku menulis sebuah buku berjudul Moral Economy of the Peasant – Rebellion and
Subsistence in Southeast Asia sudah lama lalu [1977], buku utama pertamaku, didasarkan
sepenuhnya pada sumber-sumber perpustakaan dan karya arsip. Setelah aku menerbitkannya,
orang-orang bertanya padaku di mana aku lakukan kerja-lapangku dan faktanya aadalah aku tidak
melakukan kerja-lapang. Jadi, aku malu bahkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.
Karena aku putuskan untuk membaktikan karierku pada titik ini untuk mempelajari para petani
gurem, aku pikir bahwa, bila aku akan melakukannya, aku perlu menghabiskan dua tahun atau lebih
di sebuah desa petani gurem, sehingga setiap saat aku tergoda untuk membuat suatu generalisasi
besar, aku punya sebuah tempat nyata yang aku pahami dan sehingga aku dapat menguji
generalisasi-generalisasi . Jadi, aku menghabiskan dua tahun di sebuah desa Melayu, hasilnya adalah
Weapons of the Weak, seperti yang kalian tahu. Faktanya aku adalah seorang pembelot, seorang
desertir dari pasukan para ilmuwan politik dan aku secara formal tidak pernah dididik sebagai
seorang antropolog. Sekitar limabelas tahun lalu, saat aku memberikan ceramah kecil di Toronto,
posternya menyebut “James Scott, antropolog sosial dari Yale”. Itu adalah pertamakali seseorang
keliru menyebutku sebagai seorang antropolog dan aku sangat bangga, aku simpan poster kecil itu.
Itu seperti seseorang yang ingin diterima sebagai anggota suatu suku dan ditolak dan kemudian,
akhirnya, aku punya momen yang aku dapat telah lalui, seperti kita katakan, sebagai seorang
antropolog. Aku selalu mengiri Antropologi dan aku lebih bahagia dalam suku ini daripada
sebelumnya dalam suku Ilmu Politik.
PWW Dalam analisa anda, seperti yang kita telah diskusikan, pemahaman orang-orang terhadap
situasi mereka sendiri, pandangan-dunia mereka, adalah sangat penting. Apakah anda piikir
ada sesuatu yang biografis dalam relevansi ini? Apakah ini merefleksikan ideal-ideal
demokrasi yang anda disosialisasi dalam diri anda?

JCS Aku belum memikirkan pertanyaan itu. . . Aku dapat menceritakan pada kalian mengenai
keberkaitan tapi aku tak yakin kisahnya hakiki. Kita semua menceritakan kisah mengenai diri
kita sendiri. Izinkan aku memulai jawaban dengan suatu kisah yang aku sangat senangi, oleh
Jean-Paul Sartre. Aku kira dalam L’Être et le néant (Being and Nothingness), ia menciptakan
situasi yang mana seorang lelaki menghadapi suatu pilihan apakah tetap tinggal bersama
ibunya yang sakit atau pergi bersama istrinya yang pergi untuk kerja. Ia tidak tahu apa yang
harus dilakukan: ada sedua kewajiban yang ia pikul. Tapi harinya tiba, sama seperti saat hari
pemogokan tiba dan orang-orang harus memutuskan untuk ikut mogok atau tetap tinggal di
pabrik. Bagaimanapun, saatnya tiba dan katakan saja, lelaki itu memutuskan untuk tinggal
bersama ibunya yang sakit. Argumen Sartre adalah bahwa kelak ia akan dapat memberimu
suatu kisah tentang mengapa ia adalah sejenis laki-laki yang mau tinggal bersama ibunya
yang sakit. Ini tidak menjelaskan mengapa ia lakukan apa yang ia lakukan, ini hanya berarti
bahwa ia harus menciptakan suatu kisah kelak untuk memahami dirinya sendiri. Dengan cara
yang sama orang-orang menunjukan hubungan dalam karyaku yang aku tak yakin benar-
benar hakiki tapi aku akan ceritakan kisah yang sesuai untuk pertanyaanmu. Aku bersekolah
di suatu sekolah Quaker. Aku tak tahu apakah kalian tahu banyak mengenai Quaker, tapi
secara historis Quaker adalah sekte protestan yang keras yang tumbuh dalam Perang Sipil
Inggris. Mereka menolak untuk menyebut “Sir”, “Ma’am” atau “Mr.”, mereka menolak
melepas topi, mereka memanggil setiap orang dengan nama depannya. Ini adalah sejenis
egalitarianisme linguistik, bila kalian suka. Dan mereka adalah suatu sekte radikal. Pemimpin
pertama Quaker diingkari, secara prinsip, dalam reaksi Cromwellian. Di sekolah di mana aku
tumbuh ada banyak pengelak wajib militer dari Perang Dunia Kedua, para lelaki baya yang
memilih masuk penjara daripada bertempur dalam ketentaraan. Sebagaimana kalian dapat
bayangkan, ini bukan suatu hal populer untuk diperbuatdan begitulah aku mempunyai,
dalam arti itu, teladan dipenjelang ku para lelaki yang memilih masuk penjara dan yang
mampu tegak berdiri dalam suatu kerumunan banyak orang dan menjadi seorang minoritas.
Aku pikir Quaker mengajariku bagaimana tegak berdiri dalam suatu kerumunan orang
banyak dan menjadi yang minoritas. Quaker dapat melakukannya seraya mencintai musuh
mereka; aku tidak dapat melakukannya. Aku hanya dapat tegak berdiri sebagai seorang
minoritas, justru dengan marah. Jadi, aku tidak punya jiwa Qiuaker tulen. Tapi Quaker punya
suatu hal lain, yang mana berada pada pusat doktrin mereka mengenai “cahaya Tuhan dalam
setiap manusia”, entah seorang pengemis atau seorang budak. Quaker bertanggungjawab
atas reformasi penjara, untuk apa yang disebut rel-kereta bawahtanah yang membawa para
budak ke Kanada melalui suatu pengambilalihan areal-areal pertanian sepanjang jalan utara,
sehingga mereka dapat melarikan diri. Mereka bertanggungjawab untuk sebagian besar
pendidikan bagi para Pribumi Amerika. Ada semacam “pekan-kerja” Quaker yang mana kita
akan menghabiskan sepekan di tengah-tengah mereka yang sangat termiskin di Philadelphia.
Ini semacam perjalanan pengusiran yang Quaker berikan padaku dan itu sangat
mempengaruhi. Aku tidak tumbuh besar dalam keluarga Quaker, karena kedua orangtuaku
ateis. Aku kemudian sempat menjadi seorang Quaker walaupun hari ini aku tidak
mempraktikan Quakerisme. Sekolah itu luar biasa mempengaruhiku. Ayahku meninggal saat
aku sembilan tahun dan jadi sekolah menjadi semacam orangtua pengganti bagiku. Tapi,
sekali lagi, ini adalah suatu kisah yang aku ceritakan dan ini sebenar setiap kisah yang aku
mau kisahkan pada kalian. Tapi aku tidak benar-benar yakin ini berkaitan.

PWW The Moral Economy of the Peasant memicu debat sengit dalam kajian petani gurem dan,
terutama, antara anda dan Samuel Popkin, yang menulis sebuah buku untuk membanrah
tesis anda. Terminologi-terminologi debat tersebut tidak sepenuhnya baru, dan mengulangi
beberapa diskusi lama antar pandangan-pandangan antropologi yang bertentangan
mengenai pentingnya budaya guna memahami ekonomi untuk argumen-argumen yang lebih
bermanfaat. Debat tersebut sangat relevan dengan ekonomi dan sudut-sudut pandang
antropologis mengenai individu dan sosial, tapi juga punya kemaknaan epistemologis yang
dalam. Apakah anda pikir ini diskusi yang masih berarti saat ini dan, jika demikian, dengan
cara apa anda pikir bahwa terminologi-terminologi debat ini telah berubah sejak itu?

JCS Bagi diantara kalian yang mungkin telah membaca The Rational Peasant – The Political
Economy of Rural Society in Vietnam-nya Samuel Popokin [1979] dan buku pertamaku The
Moral Economy of the Peasant, ini mungkin berarti. Hal yang menyesalkanku mengenai
debat tersebut adalah penyebutan bukuku The Moral Economy of the Peasant, yang mana
disarankan pada beberapa orang bahwa aku pikir para petani gurem adalah altruis, bersedia
untuk membaringkan hidup mereka bagi sesama mereka dan ini adalah “satu untuk semua
dan semua untuk satu”, semacam komunitas komunis primitif. Tapi aku menyatakannya
sangat jelas bahwa para petani gurem, sebagaimana aku pahami, berperilaku sangat-sangat
rasional dan bahwa mereka ingin melindungi diri mereka sendiri terhadap dampak paling
buruk dari kekurangan pangan dengan pengaturan-pengaturan sosial yang memberikan
suatu jaminan terhadap dampak yang paling buruk. Dalam hal ini, aku mempunyai suatu
gambaran para petani gurem yang benar-benar rasional yang beroperasi dalam kondisi-
kondisi yang sangat sulit guna memastikan bahwa masalah-masalah pasokan pangan mereka
tidak mengakibatkan paceklik dan kelaparan. Aku pikir bukuku adalah suatu kajian mengenai
kaum petani gurem yang rasional. Manakala Samuel Popkin menyebut bukunya The Rational
Peasant, ini menyiratkan bahwa aku punya suatu teori yang gila atau kaum tani altruistik.
Aku pikir ini sangat pintar; ini misrepresentasi debat dan, tentu saja, seperti yang kalian
siratkan, dua buku tersebut lantas dianggap sebagai semacam “kembar setan” dalam banyak
ruang kelas dan aku pikir ini adalah ruang kelas yang berhasil sebagai pengajaran debat,
walaupun aku pikir judulnya mengarahkan pada banyak kesalahpahaman. Pertanyaannya
adalah apakah perdebatan ini sahih pada hari ini, aku kira jawabannya ya, artinya, bahwa
dalam Ekonomi dan Ilmu Politik gagasan Individu yang memaksimalkan agen berada tepat di
pusat Ekonomi Neoklasik dan banyak Teori Pilihan Rasional dalam Ilmu Politik.

Walaupun aku pikir Teori Pilihan Rasional mempunyai hal-hal penting yang mengajari kita,
pokok dalam The Moral Economy of the Peasant adalah pengaturan yang mungkin telah
mempunyai suatu basis rasional, lama kelamaan, bila bernilai dan menjadi lazim,
memerlukan semacam nilai moral, sehingga manakala dirusak dan dilanggar, reaksinya
bukan hanya kehilangan pangan atau pendapatan, tapi suatu reaksi yang mempunyai nada
moral terhadap pelanggaran semacam kontrak sosial. Kalian tidak dapat menghitung, aku
kira, untuk kegusaran, kemarahan, dan kegeraman petani gurem, kecuali kalian menghitung,
bila kalian mau, surplus kegeraman yang melampaui apa yang diturunkan secara rasional.
Dan nampak padaku bahwa kita dapat katakan ini tentang segala hal pilihan kita, kendatipun
banyak orang berbicara dalam semacam kosakata neoklasik mengenai relasi-relasi personal
(dalam bahasa Inggris dan bahasa Inggris Amerika, orang akan mengatakan “Aku banyak
berinvestasi padanya” dan “Aku harus memangkas kerugianku”, dan sebagainya). Ini
kosakata yang menjadi hegemonik sementara faktanya kita tahu tak seorangpun membuat
pilihan seperti ini yang tidak dimasukan dengan suatu penanaman kombinasi yang
menerima gagasan mengenai apa yang wajar, adil, lazim, tradisional dalam kobtrak sosial,
disamping kalkulasi rasional, yang mana mendapat tempat tapi bukan tempat yang
hegemonik dalam pembuatan keputusan kita mengenai apapun.

PWW Anda telah mengkritik gagasan bahwa bawahan mematuhi tatanan yang ada karena mereka
menerima ideologi dominan. Tapi dalam karya Anda, Anda terutama membahas bentuk-
bentuk dominasi yang berkaitan dengan perbudakan, kepemilikan, kelas, dan kekuasaan
politik. Tidakkah Anda pikir bahwa beberapa tipe ketaksetaraan diterima secara lebih luas,
seperti yang berkait dengan pememilikan kebudayaan atau modal pendidikan? Dan tidakkan
ini berarti bahwa mereka yang kurang atau tidak punya akses pada hal-hal tersebut
mempercayai pentingnya modal-modal tersebut?

JCS Aku kira pertanyaanmu tepat dan penting. Dalam The Moral Economy of the Peasant,
Weapons of the Weak and Domination and the Arts of Resistance, aku memilih dengan
sengaja, secara seksama, situasi-situasi yang di dalamnya terjalin hubungan-hubungan biner
yang kuat (sahaya dan majikan, budak dan tuan, petani gurem dan tuan tanah, paria dan
brahmana) sebagian karena ada kepustakaan yang membuatku memahami kedua sisi biner
tersebut. Ini memperlihatkan padaku bahwa manakala kalian memiliki, katakanlah, barang
prestise yang bernilai seperti kemakmuran atau pendidikan yang, setidaknya secara
mendasar, dapat dicapai oleh semua, maka ini jauh lebih mudah untuk melegitimasi
perbedaan. Tentu, pada Republik Revolusi pasca-Prancis Modern mitologinya adalah bahwa
perbedaan-perbedaan yang eksis didasarkan pada kriteria meritokratis: prestasi, pendidikan,
gelar, keterampilan, dan sejenisnya. Dalam hal ini, dan ini adalah cara yang sangat kasar
untuk memahami demokrasi kontemporer, namun ini juga suatu titik tolak yang bagus,
dalam kehidupan politik Barat neoliberal yang diorganisir untuk keuntungan bagi 15% atau
20% yang berada di puncak dari distribusi pendapatan. Mereka mengontrol legeslasi, uang,
partai-partai dan semacamnya. Muslihat dalam suatu pemilihan adalah meyakinkan 30%
berikutnya untuk takut pada 50% yang berada di dasar daripada cemburu pada 20% yang
berada di puncak. Ini adalah sihir perdukunan pada setiap pemilihan. Ini tidak selalu berhasil,
tapi untuk sebagian besarnya ini berhasil karena, seperti Gramsci pahami, kuntungan-
keuntungan posisional untuk menanamkan pengaruh kemakmuran di media, dan sejenisnya,
mempunyai suatu kekuasaan besar untuk meyakinkan mereka yang 30% bahwa posisi
mereka juga lemah. Dalam hal ini, kebermungkinan pelegitimasian perbedaan-perbedaan
dalam peluang-peluang hidup, dan penghargaan untuk hal tersebut, dalam demokrasi
sekular modern jauh lebih besar dari yang ada dalam sistem yang aku analisa dalam karyaku.
Ini seperti ilmiahisme pertengahan, suatu permainan internal. Aku sebenarnya berpikir
bahwa air pasang telah menyerang pemodelan formal dan kuantitatif semata-mata dan
pilihan rasional bekerja, sebagian karena “gerakan Perestroika”, tapi tidak hanya karena itu.
Ada yang lebih menekan pada tekhnik-tekhnik kualitatif, dan sehingga, aku tak secara umum
optimis, tapi aku pikir ombak telah memuncak untuk pemodelan formal semata-mata dan
kerja kuantitatif semata-mata.

PWW Karya anda menghubungkan dirinya sendiri pada dua warisan yang kerap mengkhususkan:
warisan E.P. Thompson dan warisan Foucault, yaitu kajiannya mengenai governmentality,
kekuasaan, dan perlawanan. Dan, untuk menyatakannya secara mudah dan secara terbuka:
Apa yang pemikiran Foucault tersebut berikan pada persepektif-perspektif anda yang
Thompson tidak berikan? Dan apa anda pikirkan mengenai pemikiran bersama seduanya?

JCS Pertanyaan itu memerlukan sehari penuh simposium mengenai E.P. Thompson dan
mengenai Foucault, tapi kita tak punya waktu untuk itu. Disamping The Great
Transformation-nya Karl Polanyi, The Making of the English Working Class-nya E.P Thompson
mungkin hal paling penting yang aku baca ketika aku seorang sarjana yang masih muda: Aku
dapat mengingat kursi dan ruangan yang di mana aku duduk seraya membacanya, ini sangat
terkenang. Bagiku, argumen bahwa kesadaran kelas adalah suatu produk perjuangan kelas
daripada perjuangan kelas adalah suatu produk dari kesadaran kelas, adalah pemikiran yang
brilian. Ini bukan seolah-olah ada suatu kelas yang sadar proletariat yang kemudian
memutuskan untuk berjuang tapi bahwa, faktanya, suatu perasaan kekelasan keluar dari
perjuangan-perjuangan menuntut upah, menuntut, seperti yang ia katakan, jatah biskuit dan
hal-hal kecil. Dari hal tersebut, suatu perasaan tentang siapa kita dan apa yang sedang kita
perjuangkan, muncul kesadaran kelas. Ini, seperti yang ia katakan, syarat terakhir dari relasi
kelas, bukan yang pertama. Aku pikir ini mengarahkan orang yang mau mempelajari kelas
mengenai mikro-politik perjuangan-perjuangan pada level dasar. Bagiku, itu adalah contoh
pertama mengenai seseorang yang telah melakukannya dengan cara yang meyakinkan yang
aku ingin teladani dalam karyaku sendiri. Foucault betul-betul hal yang sangat berbeda dari
apa-apa yang telah kita bicarakan. Aku kira, karya Foucault paling penting bagiku adalah
Discipline and Punishment. Tidak dapat dibayangkan aku dapat menulis Seeing Like a State –
Betapa skema-skema tertentu untuk meningkatkan kondisi manusia telah gagal tanpa suatu
gambaran usaha Foucault. Ia tidak menggunakan kata legibiltas, yang mana aku gunakan
dalam Seeing Like a State, tetapi, dalam suatu artian, ia mempunyai suatu teori legibiltas
yang aku pinjam sangat banyak. Jadi, Aku banyak berhutang pada Foucault. Satu hal – dan
aku duga tak seorang akan mencelanya sebagai orang mati – tapi satu hal yang aku kritik dari
Foucault adalah karena ia terus menjanjikan suatu teori perlawanan yang ia tidak pernah
wujudkan. Katakanlah, ia benar-benar meyakinkan mengenai dampak-dampak kapiler
kekuasaan, legibilitas, kontrol, cara kekuasaan bekerja pada level-level mikro. Ia kemudian
terus mengatakan perlawanan dapat dipahami dengan cara yang persis sama, tapi ia tidak
pernah cukup bergerak untuk mengisi sisi lain yang ia janjikan. Aku yakin ia sudah, ia telah
mengajariku banyak hal. Aku terus menunggu. Bersama setiap buku baru yang ia terbitkan,
aku membayangkan, “Ini, ini akan mengajariku mengenai perlawanan!”. Aku kira ia sangat
memesona dan sangat brilian dalam menggambarkan dampak-dampak mikro kekuasaan
sehingga ia tidak pernah ke mana-mana untuk mengerjakan banyak hal guna menganalisa
perlawanan dengan cara yang sama.

PWW Kajian-kajian Agraria adalah bagian penting dari karya Anda dam Anda bahkan
bertanggungjawab untuk pengorganisasian suatu seminar penting mengenai tema ini di Yale
untuk lebih dari satu dekade. Kami ingin mengetahui pemikiran-pemikran Anda tentang
peningkatan jumlah paten bibit dan tanaman dan, terutama, bagaimana kau melihat
fenomena macam ini dalam cahaya suatu karya seperti Seeing Like a State?

JCS Aku tidak menganggap aku punya segala yang lebih waskita untuk mengatakan mengenai hal
ini daripada kalian semua, mungkin. Aku belum mengerjakan suatu kajian khusus mengenai
itu, meskipun aku punya sejumlah siswa yang tertarik pada Monsanto dan Genetically
Modified Organisms (GMO). Usaha yang bermula di Pengadilan Amerika tahun 1970-an
untuk mematenkan bentuk-bentuk kehidupan yang adalah semacam pengandangan
kebersamaan, suatu pengandangan botanis dan kekayaan organik di dunia, yang di dalamnya
kalian kemudian dapat mengambil suatu komposisi organis dan dengan mengubah satu asam
amino kamu dapat mematenkan bentuk kehidupan ini dan menggugat siapapun yang
melanggar paten tersebut. Sejarah pemilikan adalah perluasan imperial untuk pemilikan
dengan mengandangkan hal-hal yang kau tak pernah imajinasikan sebagai subyek dari relasi
pemilikan. Sebagai misal, upaya privatisasi pasokan air, paten bentuk-bentuk baru
kehidupan, penyedotan darah dari kelompok-kelompok pribumi guna mematenkan enzim-
enzim tertentu yang mereka miliki dan orang lain tak punya. Ini nampak menjadi perbatasan
terkahir dari hubungan pemiilikan. Dengan suatu cara, yakni, pemusnahan suatu
kebersamaan alami yang kita semua seharusnya mempunyai hak-hak yang setara dan tak
harus menjadi subyek klaim-klaim pemilikian pribadi yang monopolistik.

PWW Pada hari ini nampak ada semacam kembalinya gagasan dan prinsip anarkis. Hal ini mungkin
lebih kasatmata pada level politis/aktivis tapi juga pada level ilmu pengetahuan. Judul dan
subjudul buku terakhir Anda berbicara mengenai ini: The Art of Not Being Governed – An
anarchist history of upland Southeast Asia. Dan kita juga dapat menyebut karya kolega
Amerika dan antropolog Anda, David Greaber, sebagai misal, dengan Fragments of an
Anarchist Anthropology-nya. Impilkasi-implikasi dalam ilmu-ilmu sosial macam apa yang
dapat kita harapkan dari semacam “kembalinya anarkis”. Akankah ada suatu implikasi pada
level metodologi, epistemologi, etik, gaya penulisan?

JCS Juga suatu pertanyaan yang menarik karenanya aku pikir aku mungkin punya sesuatu untuk
aku tambahkan. Pada permulaan upayaku untuk memahami revolusi-revolusi kaum tani
gurem, aku menyadari bahw hampir semua revolusi yang aku pelajari justru menciptakan
Negara yang lebih kuat yang mampu menyejahterakan dirinya sendiri dengan menghisap
rakyatnya dengan lebih menindas dan menyeluruh dibanding kan Negara yang
digantikannya. Karenanya tumbuh perasaan sedih dan murung jika membaca sejarah-sejarah
revolusi yang menciptakan Negara-Negara yang lebih kuat dan kerap lebih menindas.
Seorang kawanku pernah berkata, “Kau tahu, ketika revolusi menjadi negara saat itulah ia
menjadi musuhku”. Aku pikir ini adalah pengamatan yang tepat. Jadi, aku dengan sendirinya
mengatakan hal-hal yang sebelumnya mereka ujarkan, aku menyadari dalam kepalaku,
“Suara-suara seperti apa yang seorang anarkis akan katakan”. Dan demikianlah: dua titik
membuat sebuah garis dalam geometri, tapi manakala titik ketiga, keempat, kelima, dan
keenam semuanya menoktah pada garis yang sama , kalian harus memberi perhatian. Jadi,
aku putuskan untuk mengajarkan tentang Anarkisme di Yale dan telah berjalan selama tiga
tahun, yang mana, seperti kalian dapat bayangkan, membawa semua calon sarjana berjejal
dalam satu ruangan. Jika kalian menjatuhkan sebuah bom di atas ruang kelasku, kau akan
sudah memusnahkan seluruh calon sarjana di Universitas Yale dalam sekali tiup. Kami
bersama-sama membaca anarkis klasik yang kalian semua sudah ketahui. Tapi aku putuskan
aku akan mencoba menulis dengan cara berbeda dari yang aku telah tulis secara historis,
yang mana adalah suatu cara yang benar-benar dorongan batin. Jadi, aku putuskan untuk
mencoba suatu bentuk tulisan yang berbeda, suatu gaya tulisan yang longgar dan lebih
mudah.

Aku menulis sebuah buku yang akan terbit empat sampai lima bulan lagi berjudul Two cheers
for Anarchism!, bukan tiga, tapi dua tempik buat Anarkisme. Bukan tentang sejarah
pemikiran anarkis atau gerakan-gerakan anarkis. Kalian tak akan mempelajari apapun
tentang hal tersebut dari buku ini. Ini adalah suatu upaya untuk memahami bagaimana jiwa
atau kepekaan anarkis yang mungkin dapat membantumu memahami kesetaraan dan
potensi-potensi kebebasan pada tiap institusi sosial. Anarkisme berarti mutualitas tanpa
hirarki, kerjasama dan koordinasi tanpa hirarki, bukan kekacauan tapi jenis tertentu tatanan.
Dan juga, Aku berusaha membahas mengenai apa itu arena bermain anarkis, monumen
anarkis, situasi kerja anarkis, atau menyerupai kampung halaman masyarakat lama anarkis,
dan bagaimana kalian dapat mengevaluasi institusi-institusi dalam hal tingkat kebebasan dan
otonomi yang mereka selaraskan dengan masyarakat, dan penghargaan mereka untuk
beragam cita-cita masyarakat dan kebutuhan-kebutuhan perubahan mereka, alih-alih
memanipulasi identitas dan hasrat masyarakat tersebut. Aku berusaha mengeluarkan,
adalam artian, bagaimana suatu kepekaan anarkis mungkin dapat membantu kita
mengevaluasi institusi-institusi.

Aku akan ngomong satu hal lain. Aku memulai buku dengan apa yang aku sebut, dengan
lancang, Scott’s law of anarchist calisthenics. Aku di Jerman Timur setahun pada 1991,
setelah tembok Berlin runtuh, aku bekerja di sebuh desa kaum tani gurem selama enam
pekan guna meningkatkan bahasa Jermanku karena aku tak mau duduk di dalam Goethe
Institute dengan para remaja. Pada satu pekan, karena para kaum tani gurem Jerman Timur
tempat aku numpang takut padaku dan aku bosan dengan mereka, aku putuskan untuk
memberikan liburan pada mereka dariku dan sekaligus meliburkan diriku sendiri dari
mereka. Jadi, aku pergi ke kota Neubrandenburg dan untuk enam pekan, menunggu kereta
yang akan membawaku kembali ke desa, di depan stasiun kereta aku lihat lampu merah. Saat
itu petang dan mutlak tak ada lalang lalu lintas. Dataran Mecklenburg rata: Kalian dapat
melihat sejauh delapan kilometer pada tiap arah dan tidak ada kendaraan yang menjelang.
Tapi ada 60 orang jerman menunggu lampu berganti. Lampu diatur untuk siang hari, aku kira.
Itu memakan waktu lima sampai enam menit, dan semua orang Jerman itu menunggu lampu
berganti, dan karena aku merasa percaya diri sebab kalimat bahasa Jerman terakhirku
berfungsi, aku jalan menyeberang dan diomeli. Dan apabila kalimat bahasa Jermanku gagal,
dan ini kerap terjadi, aku menunggu saja bersama mereka sampai lampu berganti. Marah
pada diri sendiri karena menunggu, aku menemukan Scott’s law of anarchist calisthenics,
yang berbunyi seperti ini: Suatu hari dalam hidupmu, kau akan terpanggil untuk melanggar
hukum besar dan segala sesuatunya akan tergantung pada ini. Berpikir mengenai gerakan
hak-hak sipil, melaga kebebasan, melanggar hukum-hukum pelawatan di Afrika Selatan,
penangkapan-penangkapan sipil dalam demonstrasi. Jika kalian ingin bersiap untuk hari
besar itu, segala sesuatunya akan bergantung pada hal ini, dan kalian, karenanya harus tetap
di sasana dan menggembleng diri. Dan jadim kalian harus, setiap dua atau tiga hari,
melanggar hukum kecil, sehingga kalian siap ketika momen besar menjelang dan kalian dapat
melanggar hukum besar. Dan kemudian aku melanjutkan dengan menjelaskan bahwa di
abad 20 setiap episode utama perubahan struktural di Amerika Serikat berasal dari gangguan
ekstra-perlementer di luar sirkuit-sirkuit normal politik-politik legeslatif. Ini adalah semacam
tragedi bahwa semua institusi demokratis tersebut, yang dianggap menjadi kendaraan-
kendaraan penerjemahan dan perubahan untuk kehendak-kehendak rakyat, sesungguhnya
tidak berfungsi di negeriku sejak pergantian abad, kecuali jika mereka disertai oleh banjir bah
besar kekacauan yang tidak dapat dijinakkan. Perubahan-perubahan besar tersebut hanya
terjadi sebagai suatu akibat dari gangguan-gangguan, yang mana dapat mengarah pada lain
hal, konsekwensi yang lebih buruk, tapi mereka nampak menjadi suatu kebutuhan walau
kondisinya tak mencukupi untuk perubahan struktural berskala besar.

PWW Secara umum Anda membahas tindakan negara dengan sangat kritis. Tapi, seperti yang Anda
tahu, setelah Perang Dunia Kedua dan dalam konteks Perang Dingin, negara-negara Barat,
dan demokrasi sosial terutama, memainkan suatu peran kunci dalam mendemokratisasi
masyarakat dan dengan – walaupun tak banyak – menekan ketimpangan-ketimpangan.
Negara Kesejahteraan diserang oleh Konservatif sejak tahun-tahun Reagan-Thatcher dan
Anda menemukan para pendukungnya pada Kaum Kiri.

JCS Aku sendiri pasti akan membela Negara Kesejahteraan melawan serangan neoliberal.
Bagaimanapun, kita tidak boleh berpikir Negara Kesejahteraan sebagai sekedar produk dari
suatu pemerintah yang jinak dan murah hati. Sesungguhnya Negara Kesejahteraan adalah
produk dari perjuangan-perjuangan yang menciptakannya keping demi keping. Jika kau
berpikir mengenai, katakanlah, New Deal (Kebijakan Baru yang dijalankan oleh Presiden
Roosevelt untuk mengatasi Depresi tahun 1930-an) di Amerika Serikat, legislasi sosial adalah
hasil dari kerusuhan, yang membuat Franklin Roosevelt berpaling pada aspek-aspek
perubahan struktural yang kita tahu disebut New Deal. Itu bukan suatu pengakuan oleh para
elit bahwa rakyat membutuhkan Negara Kesejahteraan. Itu adalah, jika kalian mau, suatu
reformas kontra-revolusioner, guna menjegal apa yang nampak seperti situasi revolusioner.
Dalam arti yang sama, dan ini hal aneh untuk mengatakannya, alih-alih aku rindu Perang
Dingin. Pada puncaknya Barat di Dunia Ketiga dan di Amerika Latin mendorong reforma
agraria, karena mereka takut pengambilalihan komunis di Amerika Latin, sebagian Afrika,
Asia Tenggara, atau Vietnam. Reforma agraria adalah suatu upaya mengatasi komunis untuk
redistribusi egalitarian untuk komoditas paling penting bagi kaum tani gurem: tanah. Sejak
1989, aku menantang kalian untuk menemukan dokumen Bank Dunia atau IMF yang
membahas secara serius mengenai reforma agraria. Begitu momen Blok Sosialis sirna,
reforma agraria tidak pernah dikemukakan lagi.

PWW Anda berbicara mengenai nostalgia. Kembali pada gagasan ini yang kadangkala dalam E.P.
Thompson dan dalam karya Anda muncul, dan ini bisa jadi dikritisi atau tidak, suatu nostalgi
atau kritik romantik modernisasi. Sebagai misal, dalam Seeing Like a State, Anda entah
mengapa tak menghargai – aku tahu kalau ini bukan kata yang pantas – proyek urban sebuah
kota seperti Brasilia dan memberikan pujian pada sebuah kota seperti Bruges. Bukankah ada
resiko kalau keterpikatan romantik Anda akhirnya mengidealkan suatu pabrik urban kota-
kota seperti Bruges?
JCS Ya. Aku mencoba menggunakan Bruges sebagai misal suatu kota yang tumbuh lebih kurang
secara organik tanpa rencana terpusat pun, sebagaimana juga Damascus atau Fez: hampir
tidak ada jalanan bersudut siku-siku, gang-gang yang ada biasanya hasil dari jalansetapak-
jalansetapak dan lintasan-lintasan dari periode sebelumnya, dan demikianlah kalian
mendapatkan bentuk urban yang di dalamnya ada suatu kesatuan fungsi dan tiadanya
rencana terpusat menyeluruh. Penggunaanku atas Bruges bukan untuk memuji hubungan-
hubungan sosial pada awal kota, sebagai egalitarian dan wajar, tapi untuk memberikan suatu
misal dari suatu kota yang tumbuh yang secara mendasar berbeda dari kota-kota
pencerahan seperti Chicago, Philadelphia, atau Brasilia, yang mana direncanakan dari atas.
Alasan aku menggunakan Brasilia, sesungguhnya, karena direncanakan oleh para arsitek
sayap kiri (Lucio Costa dan Oscar Niemeyer), yang punya keyakinan komunis dan suatu
gagasan tentang apa yang rakyat butuhkan dalam hal “begitu banyak” irama dan ruang
persegi, “begitu melimpah” udara, air, jendela, cahaya matahari. Tentu ini adalah sebuah
kota administratif untuk para administratur, tapi mereka pikir mereka sedang merencanakan
untuk, jika kalian suka, kesejahteraan rakyat. Apa yang menarik adalah bahwa rakyat yang
mereka rencanakan adalah rakyat abstrak. Mereka mungkin sebagaimana masyarakat di
Togo, Afrika Selatan, Laos atau Kamboja. Mereka tidak mempunyai sejarah, selera dan nilai.
Itu adalah perencanaan abstrak untuk manusia abstrak dengan kebutuhan-kebutuhan
manusiawi yang abstrak. Tidak ada, dalam artian, historisitas mengenainya, tidak pernah
menyentuh dasar. Sebagai hasilnya, kota yang benar-benar tak berhasil. Ada suatu penyakit
psiko-analitis yang didiagnosa sebagai brasilites, karena orang-orang yang pindah dari Sao
Paulo dan Rio ke Brasilia terjangkit suatu depresi klinis, karena hanya ada kerja dan
apartemenya. Aku tak bermaksud mengumbulkan pengaturan-pengaturan tradisional hanya
karena itu adalah pengaturan-pengaturan tradisional. Mereka menyandikan ketaksetaraan-
ketaksetaraan akbar, keluarga patriarkal, segala macam bentuk, jika kalian suka, penindasan
bahasa daerah. Tapi aku memaksudkan untuk membandingkannya dengan Negara yang
diamanati rencana-rencana modernis tinggi yang, bagiku terlihat, bahkan lebih sulit untuk
mengubah dan menjebol.

PWW Mungkinkah memikirkan mengenai suatu proyek politik yang tak bakal secara hakekat
menjadi sangat terstandarisasi, seperti yang terjadi dengan para utopia rasionalis
pembangunan modernis tinggi sebagaimana kau memapaparkannya?

JSC Aku ragu apakah aku dapat lulus menjawab pertanyaan itu, dalam artian bahwa aku tak
cakap meramalkan masa depan atau pemikiran utopia. Satu hal yang aku dapat katakan
adalah bahwa kita belaka dapat memahami mengapa orang-orang sekarang mempelajari
Anarkisme, yang telah menghilang dari kajian-kajian akademik selama 30 – 40 tahun, dengan
dua pengamatan. Pertama adalah bahwa bentuk-bentuk sosialis dari negara-pelopor
modernisasi dan program-program egalitarian terbukti gagal atau buruk. Kedua adalah
bahwa, ragam kerusuhan yang kalian lihat tidak distruktur atau diorkestrasi oleh gerakan-
gerakan sosial terorganisir, partai-partai sayap kiri dan sejenisnya. Mereka adalah ledakan
kemurkaan dan kegeraman, seperti dalam indignados, lihatlah di pinggiran Paris, kerusuhan-
kerusuhan ghetto tahun 1960-an di Amerika Serikat, dan lihatlah gerakan Occupy Wall
Street. Seseorang harus memperhitungkan perubahan bentuk tindakan publik, yang mana
aku juga akan memasukan Arab Spring. Apa yang menarik bagiku adalah bahwa ada gerakan-
gerakan yang mengambil tempat saat sayap kiri Persaudaraan Islam memutuskan ingin
mempersekutukan dirinya sendiri dengan gerakan-gerakan tersebut. Ini sangat terlambat
dalam permainan: mereka tidak memicunya dan, malahan, berdiri menyisih. Jadi, jika kita
ingin memahami bentuk empiris protes terkini, ini nampak lebih seperti kelompok-kelompok
kecil yang bersekutu karena ketetanggaan. Ada bentuk anarkis padanya. Aku sedang
bertengkar dengan penerbitku tentang sampul buku Two cheers for anarchism . . . Meraka
akan menang dan aku kalah. Tapi sampul yang aku suka, yang mana tidak akan kalian lihat,
adalah grafiti sesungguhnya yang di dalamya seseorang menulis “Sebarkan Anarki” pada
tembok dan tulisan itu dicoret silang oleh seorang lain yang di bawahnya menulis “Jangan
gurui apa yang aku lakukan!”. Aku katakan pada penerbitku ini akan menjadi sampul yang
berhasil. Dan apa lagi cara yang lebih baik dari memulai sebuah buku dengan gelak tawa!
Dalam setiap kasus, mereka tidak membeli ini, tapi mengutipnya, fragmentasi protest
kekinian.

(Kemudian ruang diskusi dibuka. Untuk seterusnya, pertanyaan-pertanyaan diajukan peserta)

PST Karya James Scott sangat penting untuk memahami di mana kaum tani gurem hari ini,
terutama setelah meninggalkan pedesaan dan tiba di kota. Di sini kaum tani gurem
mengalami perjumpaan baru, mungkin hubungan baru, menghadapi kerangka-kerangka baru
dominasi dan perlawanan. Jadi, aku ingin tahu pendapat James Scott mengenai bagaimana
karyanya dapat digunakan untuk memahami gerakan terkini kaun tani gurem lama dan baru.
Aku juga hendak mengundang James Scott untuk berpikir mengenai etik dan
pertanggungjawaban, tidak hanya ilmuwan-ilmuwan sosial, tapi ilmu umum mengenai karya
mereka sendiri. Terima kasih.

JSC Aku belum mengkaji migrasi dan kaum tani gurem yang pindah ke kota-kota, meski aku
paham, tentu, alangkah lazimnya migrasi semacam ini. Aku kira alasan mengapa aku tergoda
Antropologi adalah etos kerja-lapangnya, yakni, gagasan bahwa kewajiban pertama sebagai
seorang etnograf adalah berusaha, sesungguhnya, dengan cara awam dan terbuka guna
memahami dunia kehidupan orang lain; dunia kehidupan yang tidak akrab denganmu. Aku
bayangkan kajian-kajian migrasi, yang padanya aku punya rasa hormat paling besar, adalah
kajian-kajian yang di dalamnya tidak hanya mengkaji kaum tani gurem di kota (generasi
pertama dan kedua), tapi juga perpindahan ulang-alik di antaranya, katakanlah di Amerika
Serikat. Para pekerja Meksiko yang pulang kembali ke Oaxaca setiap liburan. Dalam artian,
bagi banyak kaum tani gurem alasan untuk pindah ke kota seperti penjarahan atau operasi
perompakan untuk memperoleh sumber-sumber guna memperkuat kampung halaman
mereka. Satu buku yang hebat tentang hal ini adalah Cultural Disenchantments, mengenai
para pekerja kaum tani gurem Friuli, di Italia. Argumennya adalah bahwa masyarakat
tersebut bukan kaum tani gurem dalam perjalanan mereka untuk menjadi pekerja, mereka
adalah para pekerja kaum tani gurem. Mereka telah bermigrasi dari Friuli selama 500 tahun,
pergi ke Italia Utara, Amerika Serikat, dan pulang kembali sewaktu-waktu. Mereka karar di
antara kategori kaum tani gurem dan pekerja. Aku kira, dalam istilah komitmen etis, batu
pijak keberangkatan adalah pemahaman dunia kehidupan dari khalikah siapapun yang kalian
ditarik ke dalam curahan cahaya atau pencerahan. Perkakas konseptual yang kau rakit untuk
itu adalah tertentu untuk setiap masalah. Maksudnya, ketika kamu mengajukan pada dirimu
sendiri suatu pertanyaan yang berhasil – yang mana dua pertiga dari penelitian – perkakas-
perkakas akan mengikuti pertanyaan tersebut, daripada mendahuluinya. Ada beberapa ilmu
sosial yang memberimu kotak perkakas dan mengirimmu keluar agar kamu dapat
menggunakan perkakas-perkakas tersebut pada sembarang masyarakat. Aku menyarankan
sebaliknya: kamu mengajukan pertanyaan penting dan kemudian bertanya “perkakas apa
yang akan membantuku untuk memahami masalah ini?”, daripada memulai dengan
perkakas-perkakas.

PST Aku takjub karena Anda dapat mengomentari mengenai Kelompok Kajian Subaltern Asia
Tenggara. Aku menanyakan ini terutama karena tendensi dari beberapa sarjana terkemuka
kelompok tersebut mensubordinasi fokus pada arsip, yang adalah tempat yang Anda
anjurkan kaum tani gurem tak kesana.

JCS Banyak dari kalian mungkin akrab dengan Kajian Subaltern, semacam koleksi tahunan. Aku
kira cendekiawan tulen yang menginspirasi hal ini adalah Ranajit Guha dan kawan-kawannya.
Dan Guha, yang darinya aku belajar banyak hal (sebagai misal The Prose of Counter-
insurgency dan juga A rule of property for Bengal: an essay on the idea of permanent
settlement), berupaya untuk mengikhtisarkan suatu cara pembacaan dokumen-dokumen
resmi yang menentang biji-bijian.

Anda mungkin juga menyukai