Anda di halaman 1dari 10

Apakah Dunia Tak Lagi Sama Setelah Pandemi?

Dwi Pranoto

4 April 2020 pukul 10:04, virus korona telah berjangkit di 205 negara dan 2 kapal pesiar:
Diamond Princess dan MS Zaandam. Worldometers melaporkan di seluruh dunia 1.098.434
orang terjangkit, 228.923 orang sembuh, 59.160 meninggal. Oxford Economy, 16 Maret
2020, memperingatkan bahwa perkembangan sepekan terakhir telah makin meningkatkan
kemungkinan ekonomi global meluncur ke dalam krisis karena merespon sengatan kasus
virus korona di seluruh dunia.

Aku sedang mendengarkan Tom Waits (2002) menyanyikan salah satu lagu dari album Blood
Money, “God’s Away On Business” dengan suara berat-seraknya:

Ship is sinking
The ship is sinking
The ship is sinking
There's leak, there's a leak, in the boiler room
The poor, the lame, the blind
Who are the ones that we kept in charge?
Killers, thieves, and lawyers
God's away, God's away
God's away on business
Business
God's away, God's away
God's away on business
Business
Digging up the dead with a shovel and a pick
It's a job, it's a job
Bloody moon rising with a plague and a flood
Join the mob, join the mob
Terbitnya Dunia Orwellian

Someday they won't let you, now you must agree


The times they are a-telling, and the changing isn't free
You've read it in the tea leaves, and the tracks are on TV
Beware the savage lure
Of 1984
(David Bowie, 1984, 1974)

Pandemi covid-19 kurang dari setahun padam. Dua orang yang sedang asyik masyuk
berhubungan intim tiba-tiba dikejutkan oleh dering ponsel mereka yang ada di atas meja di
samping ranjang yang tengah berderit-derit. Aliran darah yang dipompa membanjiri dan
terperangkap dalam alat vital langsung surut dan buyar. Keterkejutan mengempiskan gairah
seksual. Sambil menggerutu mereka menyambar ponsel masing-masing. Keduanya menerima
pesan yang sama dari ‘Pusat Pemantauan Kesehatan Nasional’: “Berdasarkan pantauan,
jantung anda berdetak di atas rata-rata, tekanan darah naik di atas rata-rata, suhu tubuh
mengalami peningkatan. Anda harus segera ke rumah sakit. Jika penyimpangan tanda vital
dikarenakan aktivitas tertentu, silahkan isi daftar pertanyaan di bawah ini”. Pasangan itu tidak
dapat menghindar, mereka harus segera mengisi daftar pertanyaan jika tidak ingin ditangkap
dan digelandang ke kantor polisi dalam tempo kurang dari satu jam.

Ilustrasi di atas mungkin terjadi dalam dunia imajiner Yuval Noah Harari – ‘The World After
Koronavirus”, Financial Times, 20 Maret 2020 – yang membuat fiksi sains terasa ketinggalan
jaman. Salah satu kemungkinan radikal perubahan dunia pasca pandemi adalah menguatnya
pemantauan tiap individu oleh negara. Negara memasang gelang digital pada tiap lengan
warga untuk memantau status kesehatannya secara langsung guna menutup resiko
berulangnya pandemi. Pengawasan manusia oleh negara bergeser dari pengawasan ‘di luar
kulit’ ke pengawasan ‘di dalam kulit’. Kondisi kedaruratan dipermanenkan dengan
menormalkan situasi kekarantinaan beserta protokol-protol pengawasannya. Hamlet hampir
benar saat berbicara dengan Rosencrantz dan Guildenstern bahwa seluruh dunia adalah
penjara. Seluruh dunia adalah karantina.

Lockdown Wuhan menjadi model yang diperluas, dintensifkan, dan disofistikasi. Pada saat
lockdown, tiap orang di Wuhan dipantau, setiap hari pada jam yang sama mereka diwajibkan
mengisi daftar pertanyaan berkait kondisi kesehatan yang dikirimkan ke ponsel mereka. Pada
suatu hari pada masa lockdown di Wuhan, mungkin seseorang yang akan membeli kebutuhan
pokok dihentikan di ujung gang oleh sejumlah petugas. Ia diminta menunjukan layar
ponselnya untuk mengonfirmasi identitas personal dan status kesehatannya saat itu. Namun,
dunia karantina imajiner Yuval Hariri mungkin tidak memerlukan petugas untuk
mengendalikan, gelang di lengan bukan hanya mengirim langsung informasi di bawah kulit
individu secara rinci ke departemen-departemen terkait, peneng itu juga berfungsi sebagai
pengendali perilaku jarak jauh, seperti kalung pengendali perilaku anjing. Kita semua
menjadi Danny the Dog tanpa harus tinggal di kandang kerangkeng bawah tanah.

Bagaimana bila data biometrik yang dipancarkan melalui gelang tangan bocor atau sengaja
dibagikan kepada agen pemasaran? Data biometrik yang juga dapat mencakup informasi-
informasi perasaan seperti senang, sedih, marah yang merupakan respon kita saat berhadapan
dengan segala macam bentuk informasi di laman internet dapat dikelola untuk menawarkan
suatu komoditas yang sesuai atau membentuk suatu komoditas tertentu agar dapat menjadi
barang yang sangat kita butuhkan. Konsultan-konsultan politik dengan lembaga-lembaga
polling dan survei dalam sistem demokrasi kita hari ini dapat melompati proses penyebaran
kuisioner untuk mendapatkan data persepsi pemilih, bahkan dengan lebih akurat dan
mencakup jumlah total populasi, jika mereka juga dapat mengakses data biometrik. Karena
kapitalisme sebelum pandemi telah mengubah masyarakat menjadi massa, sistem demokrasi
kita sepenuhnya terintegrasi ke dalam sistem pasar. Lebih setengah abad lalu Raymond
Williams (1961) menulis dalam The Long Revolution, “’Massa’ mendesakan pengaruhnya
untuk mengarahkan masyarakat, tidak dengan partisipasi, tapi dengan mengekspresikan
suatu pola permintaan-permintaan dan preferensi-preferensi – hukum-hukum jenis baru
pasar – dan ini, bagi kaum elit, adalah suatu titik tolak: dipelajari secara seksama (dengan
tekhnik-tekhnik seperti penelitian pasar dan jajak pendapat), dan kemudian digarap” (p.
129). Pada pasca pandemi proses pengambilan input dan pengelolaan output sebagai strategi-
strategi politik menjadi lebih efisien, efektif, dan tersofistikasi dalam demokrasi yang telah
terintegrasi sepenuhnya dalam hukum-hukum pasar.

Kapitalisme yang kembali setelah pandemi dengan lebih bugar dan kuat dari sebelumnya ini
juga disokong oleh pengalaman kita menghadapi pandemi yang mungkin membentuk
perilaku kita yang membatasi hubungan dengan orang lain dan benda-benda di sekeliling
kita, bahkan, dengan tubuh kita sendiri. Kita mungkin tidak akan ke tempat pelacuran, duduk-
duduk di bangku taman kota, membatasi ke pasar dan mall, tidak bersalaman, dan tidak
menyentuh hidung dan mulut kita sendiri. Satu-satunya dunia yang menjamin higienitas
adalah dunia virtual. Dunia milik segelintir orang super kaya. Dunia yang membuat kita
merasa bebas meski lebih mudah dipantau, dikendalikan, dan ‘dikompas’ secara diam-diam

Terbitnya Solidaritas

If you're out there all alone


And you don't know where to go to
Come and take a trip with me
To future world
And if you're running through your life
And you don't know what the sense is
Come and look how it could be in future world
We all live in happiness our life is full of joy
We say the world tomorrow without fear
The feeling of togetherness is always at our side
We love our life and we know we will stay
(Helloween, Future World, 1987)

Tumbuhnya kapitalisme yang otoritarian bukanlah satu-satunya kemungkinan dunia yang


muncul setelah pandemi padam. Pandemi telah menggasak struktur sistem ekonomi kapitalis
hingga nyaris terjungkal ke dalam jurang krisis. 13 Maret 2020 CBS mengabarkan pasar
saham global telah kehilangan sedikitnya enam belas trilyun dolar kurang dari sebulan dan
pasti akan terus membesar. Sepanjang interaksi antar manusia masih berbahaya, bisnis tidak
akan kembali normal. “Dunia hampir pasti terjerat dalam resesi yang menghancurkan akibat
pandemi virus korona”, tulis koresponden ekonomi Eropa The New York Times, Peter S,
Goodman, pada 1 April 2020. Ekonomi pasti akan keluar dari krisis dan kembali normal,
setelah pandemi padam, tapi ekonomi tak akan kembali pada kenormalan seperti sebelum
pandemi.

Tindakan dan kebijakan efektif langsung yang dibutuhkan pada masa pandemi bukan
kebijakan moneter dan fiskal, tapi pengendalian-pengendalian untuk perlindungan kesehatan
dan mitgasi dampak-dampak sosial-ekonomi. Negara dipaksa meninjau kembali sistem
kesehatan nasional. Kekhawatiran akan meletusnya krisis sosial yang luas yang dipicu
kepanikan massa akan ketakmampuan memenuhi kebutuhan hidup karena pembatasan-
pembatasan yang mengakibatkan hilangnya pekerjaan, negara, lebih dari sebelumnya,
mengalokasikan kemampuan ekonominya untuk membantu kelompok-kelompok masyarakat
miskin.

Ironi, pandemi yang menjauhkan orang dari orang lain justru membuat orang lebih
memikirkan orang lain karena takut penularan. Ketakutan melahirkan tindakan-tindakan
pencegahan berupa inisiatif-inisiatif sosial dalam hal himbauan dan pemantauan ketetanggaan
hingga mitigasi kebutuhan pangan dalam lingkungan ketetanggaan bahkan lebih luas.
Prakarsa-prakarsa sosial bahkan menjangkau upaya-upaya membantu memenuhi kekurangan
rupa-rupa alat pelindung diri yang dibutuhkan para tenaga kesehatan. Solidaritas sosial
negara dan masyarakat tumbuh didorong oleh kondisi darurat yang disebabkan ketakutan
akan pendemi.

Gelombang solidaritas sosial bahkan tumbuh melampaui batas-batas nasional, membesar


hingga melingkupi dunia internasional. Di tengah kamarahan para menteri Jerman atas
tawaran pembelian Amerika untuk hak ekslusif vaksin potensial untuk virus korona yang
dikerjakan oleh perusahaan farmasi Jerman, anggota komite kesehatan parlemen Jerman,
Erwin Ruddel, kepada The Guardian pada 16 Maret 2020 mengatakan, “yang penting
sekarang kerjasama internasional, bukan kepentingan nasional”. Pada CNBC tanggal 20
Maret 2020, salah satu direktur eksekutif WHO, Dr. Mike Ryan, menegaskan, “. . . kita harus
punya vaksin yang tersedia untuk setiap orang. Harus ada akses yang adil dan setara atas
vaksin bagi setiap orang”.

Dalam Paralimpomena to “On the Concept of History”, Walter Benjamin (1940) menulis,
“Marx mengatakan bahwa revolusi adalah lokomotif sejarah dunia. Tapi barangkali sangat
sebaliknya. Barangkali revolusi adalah upaya para penumpang di dalam kereta – yakni ras
umat manusia – untuk menarik rem darurat”. Bagi Fredric Jameson, gagasan Benjamin ini
ganjil, akselerasi kapitalisme itu sendiri adalah kondisi untuk revolusi. Namun, bagi
Benjamin, kapitalisme adalah suatu kondisi darurat yang dinormalkan (gagasan ini
dikembangkan lebih jauh oleh Agamben), untuk itu kesadaran penumpang akan kondisi
darurat di balik akselerasi kapitalisme itulah yang mendorong para penumpang untuk
menarik rem darurat. Namun demikian, di tengah pandemi ini, ternyata kesadaran
penumpang akan kondisi darurat tidak tumbuh dari balik akselerasi kapitalisme, tapi saat
akselerasi kapitalisme terhenti dihantam virus korona. Seperti potensi utopis yang ditarik
keluar dari filem-filem bencana kosmik oleh Fredric Jameson, ancaman bencana global virus
korona melahirkan solidaritas global. Mengutip Slavoz Zizek dalam “’Kill-Bill’-esque”,
“Poinnya adalah bukan secara sadis menikmati penyebaran penderitaan sepanjang
penderitaan membantu masalah kita – sebaliknya, poinnya adalah merefleksikan fakta
menyedihkan bahwa kita membutuhkan suatu bencana agar kita mampu memikirkan ulang
corak paling dasar masyarakat yang kita tinggali”.

Pandemi virus korona yang menciptakan kondisi darurat membuat kita bergandengan-tangan
dan bahu-membahu. Solidaritas internasional yang tumbuh untuk mengatasi pandemi
teranyam bersama dengan solidaritas nasional sampai solidaritas komunitas-komunitas sosial
kecil seperti RT/RW. Segala bentuk tindakan yang bertentangan dengan solidaritas, seperti
ketamakan Amerika yang berusaha membeli hak eksklusif perusahaan pemroduksi vaksin di
Jerman, ditolak. Sebaliknya, kedatangan dokter-dokter Kuba di Spanyol dan Italia disambut
dengan tepuktangan. Meneladani paket bantuan dari Jepang yang menempelkan puisi kuno
China “Walaupun kita adalah laut yang terpisah, bulan yang sama menautkan hati”; paket
bantuan China ke Iran dan Italia datang beserta kutipan puisi dari penyair dan filsuf negara
penerima yang mengungkapkan kasih sayang dan menghancurkan perbedaan. “Kita adalah
ombak dari lautan yang sama, daun-daun dari pohon yang sama, bunga-bunga dari taman
yang sama”; kutipan Seneca dari China untuk Italia. Untuk Iran, kutipan dari Saadi,
“Masing-masing anak Adam adalah anggota tubuh, diciptakan untuk satu hakikat”. Pada sisi
lain, jauh di Jember, ibu-ibu di Perumahan Bumi Tegal Besar berusaha menggalang bantuan
untuk mengatasi dampak kesulitan pangan bagi warga yang tidak beruntung.

Setelah pandemi mungkin bukan pengawasan dan kontrol ketat yang menjadi permanen,
sebaliknya, mungkin solidaritas sosial mengambil tempat hukum-hukum pasar bebas. Istilah
‘individu’ seolah dibebaskan dari jerat pasar bebas dan mendapatkan kembali maknanya yang
kuno, yang tersimpan dalam skriptur keagamaan. ‘Individu’ bukan lagi ‘yang terpisah’, tapi
kembali sebagai ‘yang takterpisahkan’ sebagaimana istilah itu mengacu pada Tri-Tunggal.
‘Individu’ yang tak terpisahkan mungkin kembali dengan membawa ingatan akan sisi utama
dari ‘manusia telanjang’ yang lahir bersama pasar bebas, yakni hak-hak dasar. Etika pasar
bebas ‘siapa yang bekerja keras akan berhasil’ mungkin akan berubah menjadi ‘bekerja keras
untuk keberhasilan bersama’.
Tamatnya Antroposentrisme

I fell into the ocean


And you became my wife
I risked it all against the sea
To have a better life
Marie you are the wild blue sky
Men do foolish things
You turn kings into beggars
Beggars into kings
Pretend that you owe me nothing
And all the world is green
We can bring back the old days again
When all the world is green
(Tom Waits, 2002, All The World is Green)

Virus korona yang menjangkiti dan menular antar manusia barangkali menyentak kesadaran
bahwa manusia bukanlah pusat dunia. Manusia hanyalah bagian dari alam yang berhubungan
secara interaktif dengan manusia lain, lingkungan dan makhluk-makhluk lain, termasuk
mikroorganisme. Penumpang kereta api dalam metafor Walter Benjamin ternyata bukan
hanya umat manusia, tapi juga makhluk-makhluk lain dan lingkungan alam. Bukan umat
manusia yang menarik rem darurat saat lokomotif melaju, tapi mikroorganisme bernama
virus korona.

Kejatuhan dramatis dan cepat kerajaan Aztec yang besar pada Agustus 1521 – Hernando
Cortes tiba di ibu kota Aztec, Tenochtitlan, 1517 – bukan hanya disebabkan oleh kekuatan
dan kecanggihan persenjataan penakluk Spanyol. Penyakit cacar yang mewabah memainkan
peran penting pada kejatuhan Aztec. Penyakit cacar yang dibawa oleh budak bernama
Francisco Eguia dari Cuba ke Mexico (Aztec), diangkut dengan kapal pasukan Spanyol
kedua yang dipimpin Panfilo de Narvaez tahun 1520, menular di tengah-tengah penduduk
Tenochtitlan seperti api melalap jerami kering dan menghamparkan pemandangan
mengerikan-menjijikan mayat-mayat yang berkaparan. Penulis kronik Cortes, menceritakan
mereka tidak dapat melangkah tanpa menginjak tubuh-tubuh dan kepala-kepala orang Indian
mati.

Pada awal abad 18, tahun 1770 -1771, mikroorganisme juga memainkan peran penting dalam
perang Bayu yang berujung pada kejatuhan dan sirnanya kerajaan Blambangan. Mungkin
bukan hanya kharisma kosmologis Rempeg dan penindasan yang mendorong penduduk
Blambangan mendaki lereng gunung Raung untuk bergabung dengan pasukan pejuang di
Bayu. Wabah disentri mengerikan yang menguar di daerah pesisir yang berawa-rawa dan
lembab mungkin menjadi faktor yang mendesak para penduduk untuk mengungsi ke Bayu.
Wabah itu begitu mengerikan sehingga dikatakan bahkan mereka yang berlindung di balik
benteng di pantai pun tak dapat mengelak. Pasukan kompeni bantuan dari Semarang yang
sedang melayari laut Jawa yang mendengar wabah mengamuk di Blambangan pasti sudah
melarikan diri jika tak diancam tembak mati oleh pemimpinnya. Kekuatan pejuang yang
terpusat dan terisolir di Bayu dengan mudah dipukul dengan menghancurkan sumber-sumber
pangan dan memblokade jalur-jalur pasokan logistik. Pejuang-pejuang Bayu yang dikenal
berani dan keras kepala dilumpuhkan oleh wabah dan kelaparan. Wabah, kelaparan, dan
senjata kompeni membunuh dan ‘mengusir’ orang-orang Blambangan hingga penduduk
Blambangan tersisa kurang dari 10% setelah Blambangan jatuh.

Wabah penyakit bukan hanya menjadi faktor dalam perubahan sosial masyarakat. Pun
sebaliknya, perubahan sosial atau perubahan peradaban juga menjadi faktor pemicu
kemunculan wabah penyakit. Perubahan dari masyarakat pengumpul dan pemburu menjadi
masyarakat agraris yang diiringi oleh pemusatan manusia, binatang-binatang ternak, dan
hama-hama memungkinkan penyakit-penyakit yang menginfeksi binatang dan hama
beradaptasi untuk dapat menginfeksi manusia. James C. Scott (2009) pada bab Keeping State
at Distance, sub bagian Crowding, Health, and the Ecology of State Space dalam The Art of
Not Being Governed menulis, “Pertanian biji-bijian menetap dan pemeliharaan ternak-ternak
domestik (babi, ayam, angsa, itik, sapi, biri-biri, kuda dan sejenisnya) merupakan, ini jelas,
lompatan besar untuk penyakit-penyakit infeksius (menular). Banyak dari penyakit epidemik
yang mematikan yang kita derita – cacar, flu, tbc, pes, campak, dan kolera – adalah penyakit-
penyakit zoonotis yang berevolusi dari binatang-binatang yang didomestikasi. Kerumunan
adalah hal penting. Dan kerumunan berarti tak hanya terpusatnya orang-orang tapi juga
binatang-binatang domestik dan hama-hama ‘wajib’ yang tak terhindarkan menyertainya:
tikus, nyingnying, kutu, kepinjal, tungau, dan sebagainya. Sepanjang penyakit yang
dipersoalkan disebarkan oleh kedekatan (batuk, sentuhan, sumber air bersama) atau melalui
hama-hama wajib, tingkat kepadatan inang belaka merepresentasikan suatu lingkungan ideal
untuk penyebaran wabah penyakit secara cepat”. Menjadi jelas bahwa perubahan peradaban,
sering diasosiasikan sebagai kemajuan atau pencapaian umat manusia, yang membawa
perubahan hubungan-hubungan antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan
binatang, serta perubahan ekologi telah memaksa virus dan bakteri melakukan adaptasi-
adaptasi yang diperlukan untuk kelangsungan hidup mereka.

Penularan virus korona yang diperkirakan dari binatang liar – kelelawar – ke manusia mesti
dilihat sebagai hasil adaptasi virus tersebut terhadap lingkungan sosio-ekologi yang berubah.
Ledakan kepadatan penduduk yang membuat permukiman merangsek sampai merampas
habitat binatang liar, hingga persentuhan antara manusia dan binatang liar berpeluang besar
terjadi, mengakibatkan penularan penyakit atau perpindahan mikroba dari binatang liar ke
manusia rentan terjadi. Perubahan gaya hidup, terutama terkait kuliner, yang kerap
memperluas penikmat selera dan manfaat tertentu menyantap hewan liar yang berasal dari
kebudayaan kuno, telah memicu ledakan permintaan terhadap binatang-bintanag eksotis
sebagai bahan pangan hingga pasar-pasar binatang eksotis tumbuh di mana-mana. Barangkali
para penikmat olahan binatang eksotis di restoran-restoran punya resiko kecil untuk
dihinggapi virus atau mikroba dari binatang liar santapannya yang telah dimasak. Namun, di
pasar-pasar yang disesaki binatang-binatang hidup membuat para pembeli, para penjual, para
penjagal dan para tukang daging beresiko besar menjadi inang baru bagi virus yang sudah
beradaptasi dan kemudian menularkannya ke orang lain.

Pandemi virus korona barangkali membuat manusia menengok kembali pada sistem
biologisnya yang ternyata merupakan rumah untuk sekitar 100 trilyun mikroba. Makhluk-
makhluk tak kasat mata telanjang itu bukan penyerobot atau anak kos, mereka adalah pemilik
sah dan berfungsi menyokong hidup manusia juga diri mereka sendiri: pencernaan,
pembentukan vitamin, hingga melindungi tubuh dari mikroba asing atau penyakit.
Karenanya, sistem tubuh yang menopang hidup manusia tidak hanya terdiri dari organ-organ,
tapi juga termasuk trilyunan mikroba. Keberadaan hidup manusia sendiri sebenarnya adalah
suatu koeksistensi hidup antara manusia dengan mikroba. Apa jadinya bila trilyunan mikroba
itu mogok menjalankan fungsinya?

Mari kita bayangkan – bersama viralnya gambar dan foto-foto sejumlah lingkungan di dunia
yang ‘memulihkan diri’ saat lokomotif kapitalisme ditarik rem daruratnya oleh virus korona –
orang-orang memborong alat-alat kontrasepsi dan pil-pil pencegah kehamilan agar spesiesnya
tidak lagi mengekspansi habitat spesies lain. Kemajuan tidak lagi dilihat dari bagaimana
manusia mencapai kesejahteraan dirinya dan kaumnya, tapi juga dilihat dari pencapaian
kesejahteraan makhluk lain dan lingkungan alam. Suatu kesadaran baru tumbuh, bahwa
semesta adalah suatu sistem saling ketergantungan yang tidak menempatkan manusia lebih
tinggi dari nyamuk, mikroba, laut, dan gunung.

Bagaimana rupa dunia setelah pandemi padam? Berbagai bentuk kekuatan sosial tampaknya
tengah berkontestasi di tengah pandemi. Kebijakan lockdown China oleh berbagai negara
dikecam sebagai kebijakan draconian. Trump masih juga memperkeras sangsi terhadap Iran
yang sudah babak-belur dihajar korona. Di Indonesia, terbitnya Kepres dan Perppu yang
mengesankan kesungguhan penanganan virus korona dan dampak-dampaknya ditingkahi oleh
DPR yang berkeras menjalankan proses pembahasan Omnibus Law, oleh banyak pihak
dikritk sebagai pro pengusaha dan anti-lingkungan, di tengah para tenaga kesehatan yang
menjerit kekurangan alat pelindung diri. Prakarsa-prakarsa sosial tumbuh, bahu-membahu
berusaha menambal kebocoran-kebocoran penanganan pandemi yang dilakukan oleh
pemerintah. Sebaliknya, ketakutan-ketakutan telah mendorong sebagaian masyarakat untuk
melindungi diri dan komunitasnya dengan ketat dan keras, seperti menolak pemakaman
jenasah pengidap korona di lingkungannya. Belum lagi munculnya bayangan sikap
diskriminatif terhadap bekas pengidap korona. Kita seperti berada di persimpangan,
sementara korban terus berjatuhan.

Still don't know what I was waitin' for


And my time was runnin' wild
A million dead end streets and
Every time I thought I'd got it made
It seemed the taste was not so sweet
So I turned myself to face me
But I've never caught a glimpse
How the others must see the faker
I'm much too fast to take that test

(David Bowie, Change, 1971)

Anda mungkin juga menyukai