Anda di halaman 1dari 16

Selayang Pandang:

Dari Nusa Barong ke Jember

Dwi Pranoto

Masyarakat Jember masa lalu tak dapat dibayangkan sebagai suatu masyarakat yang
sepenuhnya terintegrasi ke dalam suatu sistem kebudayaan yang padu. Gelombang migrasi
dengan latar sosial dan kebudayaan yang beragam yang disertai kekuasaan politik sebagai
faktor penentu utama dalam penggorganisasian sosial membuat pembauran sosial dan budaya
tak dapat sepenuhnya terjadi – bahkan jejaknya sampai hari ini masih kita saksikan seperti
pengelompokan besar etnis Madura di sebelah Utara dan etnis Jawa di sebelah selatan, pun
pada produk-produk budaya yang terpisah sampai hari ini, walaupun juga berkembang dialek
Jawa-Jemberan di antara bahasa Jawa dan Madura yang masih terus dipraktikan di tengah
masyarakat hari ini – . Pola migrasi yang mengikuti mobilisasi untuk kepentingan ekonomi
dan penempatan-penempatannya pada kantong-kantong ekologi perkebunan yang
teradministrasi tampaknya membuat rintangan atau batasan interaksi sosial yang terus
menerus antar kelompok masyarakat.

Faktor utama pembentuk masyarakat Jember pada dasarnya adalah kekuasaan politik
yang mengorganisir kepentingan-kepentingan ekonomi yang telah sejak masa kolonial
menempatkan masyarakat sebagai entitas yang teradministrasi. Tentu saja, proses
pembentukan masyarakat Jember bukan berlangsung satu arah, tapi bersifat timbal-balik.
Namun demikian, modal sosio-kultural yang sejak awal dilemahkan dengan menyekatnya
dalam ruang-ruang ekologi dan administrasi membuat kekuataan oposisional yang
merupakan respon terhadap kekuatan politik dominan lebih banyak bersifat laten dan non-
frontal serta menyebar. Karakter resistensi semacam ini tampaknya sebagian besarnya terus
berlanjut sampai hari ini.

1
Sebelum berdirinya perusahaan perkebunan pada abad 19 wilayah Jember hampir-hampir
tidak diketahui. Informasi mengenai Jember hanyalah serpihan-serpihan kecil yang berserak
dalam kajian tentang Blambangan. Sementara, kajian tentang Blambangan terlalu sedikit jika
dibandingkan dengan wilayahnya yang pernah membentang dari Probolinggo sampai
Banyuwangi dan dari Pantai Utara sampai Pantai Selatan, yang keberadaannya dikabarkan
dalam kronik-kronik lokal lebih kurang seumur dengan Majapahit. Hal ini, tentu saja,
menjadi suatu kesulitan untuk menggali lebih jauh mengenai masa lalu masyarakat Jember
sebagai suatu “kesatuan” sosial di mana sistem kebudayaan yang dihayati memberikan arah
untuk tindakan-tindakan ekonomi.

Nusa Barong 1772 – 1777, barangkali sedikit dapat memberikan gambaran bagaimana
suatu kelompok masyarakat menyelenggarakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan hidupnya. Upaya memahami Nusa Barong pada masa tersebut, bagaimanapun,
tidak dapat dilepaskan dari peristiwa-peristiwa sebelumnya yang mempengaruhi
keberdaannya. Pecahnya Perang Bayu 1771 -1773 telah mengganggu, menghancurkan, dan
kemudian mengubah sistem perdagangan regional yang bertumpu di Pelabuhan Pangpang.
Para pedagang diaspora; Mandar, Bugis, Bali, Cina, dll; yang sebelum pecah perang
merupakan pelaku-pelaku ekonomi yang menjadi tulang punggung Pelabuhan Pangpang
terancam dengan sistem monopoli VOC. Perdagangan relatif bebas, dengan hanya intervensi
yang minim dari kekuasaan politik – negara/kerajaan –, yang terselenggara di Pangpang
berantakan dengan serbuan VOC. Para pedagang yang terancam kepentingannya, secara
langsung maupun tidak bergabung dengan kekuatan Bayu untuk melawan VOC. Berakhirnya
Perang Bayu, jatuhnya Blambangan dan diikuti dengan berlakunya sistem monopoli di
Blambangan, terutama di Pelabuhan Pangpang, mendorong para pedagang untuk keluar dari
Blambangan. Nusa Barong dipilih sebagai pelabuhan bebas baru menggantikan Pangpang,
salah satunya karena keuntungan alamnya – letaknya relatif terpencil dan pantainya yang
berbukit-bukit terjal membuat akses menuju dan ke dalam pulau menjadi sulit –. Lebih
kurang selama delapan tahun Nusa Barong menjadi pelabuhan bebas yang mewadahi para
pedagang dari berbagai etnis dengan komoditas seperti bahan pangan, senjata, candu, kain,
sarang burung dan lilin.

Dalam kurun lebih kurang delapan tahun, Nusa Barong paling tidak mengalami empat
kali pergantian kepemimpinan – dari Sindukapa ke Sindubromo ke Juragan Jani ke Nakhoda
Sabak –, hal ini menggambarkan tingginya dinamika sistem ekonomi politik “bebas” di Nusa
Barong. Konflik yang berujung pada pembunuhan (perang) dan pelarian diri menjadi

2
mekanisme internal untuk mencapai ekuilibrium sistemik. Jika kita asumsikan Nusa Barong
sebagai suatu unit politik dan unit ekonomi, hubungan antara ekonomi dan kekuasaan politik
sui generis dalam bentuk negara di Nusa Barong boleh dikatakan tak terpisahkan. Hal ini
berbeda dengan di Blambangan, di mana unit ekonomi dengan kekuasaan politik terpisah dan
hubungan keduanya diantarai oleh pajak dan upeti. Pengusasa Nusa Barong selain sebagai
penguasa ekonomi juga sekaligus penguasa politik.

Penaklukan Nusa Barong tahun 1777, setahun kemudian dibumi hanguskan (18
Agustus 1778), boleh dikatakan merupakan keberhasilan VOC (Belanda) menstandarisasi
sistem ekonomi, khususnya di seluruh Pulau Jawa. Hal ini menjadi semacam prakondisi
untuk datangnya sapuan transformasi lebih besar pada abad 19: liberalisasi ekonomi.

Bercokolnya VOC mengubah sistem ekonomi yang telah berlaku berabad-abad;


hubungan perdagangan yang relatif bebas dari kekuasaan politik membuat arus perdagangan
bergerak bebas tanpa secara ketat mengindahkan batas-batas kedaulatan yang melahirkan
beragam sistem perdagangan lokal pada akhirnya terseragamkan sebagai sistem ekonomi
kolonial yang monopolistik. VOC yang berperan laksana negara tidak hanya mengatur
penyerahan upeti atau pajak, namun sekaligus memberlakukan peraturan monopolistik di
mana orientasi perdagangan luar negerinya mendesakan ketersediaan komoditas-komoditas
ekspor dari tanah jajahan. Penghancuran total Nusa Barong pada tahun 1778, disamping
karena pulau yang mereka sebut pulau miskin tersebut menjadi sarang para pengganggu
keamanan kegiatan perdagangan juga karena hasil sarang burung dan lilin yang bernilai
sebagai komoditas ekspor tidak memenuhi kuota ekonomis.

Pengambilalihan VOC oleh pemerintah Belanda, yang berarti pengelolaan Hindia


Belanda berada langsung di bawah pemerintahan Belanda, hampir tak mengubah sistem
ekonomi yang diinstal oleh VOC, bahkan mengintensifkan dan memperluasnya. Kebijakan
tanam paksa pada masa pemerintahan konservatif dan disusul gelombang privatisasi
berlandas UU Agraria 1870 pada masa pemerintahan liberal, bagaimanapun, dapat dibaca
sebagai semakin gencarnya penggalakan orientasi ekspor. Kebijakan tanam paksa dan
kemudian disusul dengan privitasasi dalam bentuk beroperasinya perusahaan-perusahaan
perkebunan swasta mengubah pola tanam dari yang lebih berorientasi subsisten ke pola
tanam komersial, mengubah sistem penguasaan atas tanah, dan mengubah hubungan produksi
dalam masyarakat.

3
Membuka Jember

Perang Bayu tampaknya menjadi faktor penting dalam pembentukan Jember. Salah satu
perang paling brutal dan kejam di Nusantara pada abad 18 itu tak hanya mendampakan
jatuhnya Blambangan, tapi juga merosotnya jumlah penduduk sampai hanya tersisa kurang
lebih 10% karena mati dalam perang, wabah penyakit, kelaparan, dan migrasi ke luar
wilayah. Pasca perang Bayu juga dilakukan reorganisasi administratif yang memisahkan
Blambangan menjadi Blambangan Timur dan Blambangan Barat. Blambangan Barat terbagi
menjadi empat distrik: Sentong (sekarang Bondowoso), Jember, Prajekan, dan Sabrang.
Reorganisasi administrasi ini penting artinya bagi VOC untuk menciptakan keteraturan dan
ketentraman sebagai suatu kondisi yang dibutuhkan untuk memaksimalkan nilai ekonomi
suatu wilayah. Pemisahan Blambangan Barat sebagai unit administratif tersendiri dilandasi
oleh karakter kultural penduduknya – menurut Pieter Luzac penduduk Blambangan Barat
yang telah banyak memeluk Islam tidak memiliki karakter liar sehingga relatif mudah
ditertibkan –, dan potensi komoditasnya. Berbeda dengan wilayah Blambangan Timur yang
selama beberapa tahun tidak dikenakan pembayaran pajak dan upeti, Blambangan Barat,
melalui mantri-mantri yang mengepalai distrik setiap tahun diwajibkan membayar upeti
dengan total mengirim 3 koyan beras (kira-kira 30 pikul atau lebih kurang 6 ton beras), 1½
pikul lilin (lebih kurang 1 kwintal), 1 pikul merica (lebih kurang 67 kg), dan ½ pikul kapas
(lebih kurang 33 kg) ke benteng VOC di Adiraga, Panarukan, dan Lumajang. Kewajiban
membayar upeti sebesar itu, dengan jumlah penduduk 400 jiwa (terdiri dari orang tua laki-
laki dan perempuan serta anak-anak) dan tanpa tekhnologi pertanian yang memadai, tentu
sangat memberatkan. Belum lagi harus mengirim ke benteng VOC dengan akses jalan yang
sebagian besarnya tak dapat dilalui pedati.

Awal abad 19 ditandai dengan berbagai gejolak di dunia Internasional yang


mempengaruhi kebijakan kolonial di Indonesia. Likuidasi VOC yag disertai dengan
penyerahan wilayah kolonial ke Pemerintah Belanda dibayang-bayangi oleh kecamuk perang
di berbagai wilayah Eropa dan semangat liberalisme yang dihembuskan oleh keberhasilan
Revolusi Prancis. Pada saat yang sama Belanda yang diduduki Prancis berperang melawan
Inggris. Perdebatan antara kaum liberal dengan kaum konservatif mengenai bagaimana
Belanda mengelola tanah jajahan berlangsung seru. Kaum liberal menghendaki politik di
tanah jajahan yang berlandas kebebasan dan kesejahteraan umum dengan menerapkan sistem
pajak menghadapi tentangan dari kaum konservatif yang cenderung mempertahankan politik
dagang VOC dengan sistem tanam wajib atau penyerahan wajib (upeti). Meskipun kaum

4
konservatif menguasai pemerintahan Belanda, namun kebijakan pemerintahan tanah jajahan
di Hindia Belanda boleh dikatakan cenderung liberal dengan upaya menginstal sistem
birokrasi modern. Namun demikian liberalisme yang hendak diterapkan Gubernur Jendral
Daendles (1808 – 1811), yang dibayang-bayangi oleh ancaman Inggris dan bangkrutnya kas
negara, memaksanya tetap menerapkan penyerahan wajib seraya melakukan eksperimen
menjual banyak lahan kepada orang-orang Cina. Pada masa pengganti Daendles, saat
Belanda dikuasai Inggris, Raffles (1811 – 1816) yang juga liberal membeli kembali lahan-
lahan yang telah dijual Daendles kepada orang-orang Cina karena memicu banyak kerusuhan
yang disebabkan oleh penghisapan dan penindasan. Raffles juga mengganti kebijakan
penyerahan wajib dengan sistem pajak tanah (landrent system). Jika Daendles
mengekspresikan liberalisme dengan menekankan pada pembentukan sistem birokrasi yang
hirarkis untuk memangkas otoritas feodal guna efisiensi pemerintahan, Raffles bergerak lebih
dalam dengan menekankan hak perorangan melalui privatisasi atau mengakui hak atas tanah
misalnya. Namun demikian, keduanya tidak dapat menyelamatkan krisis finansial yang
kemudian semakin amblas setelah Perang Jawa (Diponegoro) 1825 -1830 dan perang dengan
Belgia. Naiknya Van den Bosch yang menghabisi hampir seluruh gagasan liberalisme dengan
kembali menerapkan merkantilisme VOC, bahkan lebih luas dan dalam, melalui kebijakan
tanam paksa dan menghidupkan kembali “birokrasi” feodal, tidak hanya berhasil
menyelamatkan krisis finansial, bahkan memakmurkan kerajaan Belanda melalui
penghisapan tanah jajahan yang memiskinkan masyarakat pribumi. Max Havelaar, of de
koffi-vellingen der Nederlandsche Handel-Maatschappy (1860), novel karya Multatuli
(Eduard Douwes Dekker), dapat menjadi gambaran umum bagaimana sistem tanam paksa
van den Bosch memeras tenaga rakyat melalui tangan aristokrasi lokal yang kejam.

Apa yang perlu diperhatikan dari pemaparan singkat satu abad di atas, sekitar paruh
abad 18 sampai paruh abad 19, adalah lenyapnya perdagangan bebas yang secara relatif
berlangsung tanpa sekat-sekat otoritas politik. Hancurnya Nusa Barong sebagai basis
perdagangan bebas dan elan egalitarian menjadi semacam monumen simbolik tibanya periode
sistem tuan-kawula, sistem majikan-buruh dalam kehidupan ekonomi yang hampir-hampir
tanpa alternatif jalan keluar. Setelah padamnya perlawanan Nusa Barong era ketentraman
menggenang di Blambangan Barat yang tak lain merupakan upaya pelestarian status quo
yang menjadi syarat bagi pertumbuhan ekonomi corak kapitalistik. Tercatat hanya ada satu
gangguan keamanan serius di wilayah yang sekarang menjadi Kabupaten Jember sepanjang
satu abad, yakni pemberontakan Aria Gladak (1815) dari desa Keting yang tampaknya

5
membasis pada gagasan kosmologis Ratu Adil. Tapi pemberontakan Aria Gladak hanya
berumur “semalam”, jauh jika dibandingkan dengan perlawanan Nusa Barong yang
berlangsung bertahun-tahun.

Pemisahan Blambangan Barat sebagai unit administrasi tersendiri, saya kira, menjadi
faktor penting untuk menjaga ketentraman sebagai syarat untuk menggerakan roda ekonomi
kolonial. Hindia Belanda, di mana Blambangan Barat atau kurang lebih wilayah Jember saat
ini berada di dalamnya, beserta masyarakat penghuninya, bagaimanapun dipandang sebagai
modal besar bagi negeri penjajah untuk bersaing dalam perlombaan merkantilitis bangsa-
bangsa Eropa yang semakin sengit pada masa senjakalanya yang dengan susah payah
menahan sapuan liberalisme yang rekah fajarnya ditandai oleh Revolusi Prancis dan Revolusi
Industri. Berakhirnya tanam paksa atau cultuurstelsel atau cultivation system yang
menyengsarakan menyusul kemenangan kaum liberal di Belanda pada pertengahan abad 19
menjadi babak baru dalam pengelolaan tanah jajahan di mana peran negara yang semula
menjadi regulator dan operator ekonomi berubah belaka menjadi regulator yang memastikan
berjalannya sistem ekonomi liberal melalui perusahaan-perusahaan swasta sebagai
operatornya.

Liberalisasi di Jember tidak hanya ditandai dengan berdirinya perusahaan perkebunan


partikelir, NV Landbouw Maatschappij Oud-Djember (LMOD), tahun 1859, tapi juga
pembukaan ruas-ruas jalan dan jalur rel kereta api, pembuatan irigasi, pembangunan fasilitas
layanan kesehatan, penataan sistem birokrasi, penataan relasi produksi, dan semakin
meningkatnya peran lembaga-lembaga keuangan. Berlakunya Undang-Undang Agraria
(Agrarische Wet) tahun 1870, walaupun memuat juga perlindungan tanah bagi para pribumi,
boleh dikatakan sebagai pembuka jalan untuk komodifikasi tanah. Liberalisme,
bagaimanapun, mendorong terwujudnya komodifikasi tanah (alam) dan tenaga manusia.
Dapat dibayangkan ribuan hektar hutan, yang berstatus tanah negara, dibuka dan berubah
menjadi lahan perkebunan melalui pemberian hak erfpacht (hak guna usaha) pada pengusaha
yang di dalamnya terkandung hak eigendom (hak milik) sehingga dapat diagunkan dan
diwariskan. Apa yang sangat diperlukan untuk membuka hutan, mempersiapkan lahan
perkebunan, dan mengolah lahan perkebunan adalah tenaga manusia. Oleh karena penduduk
Jember pada masa itu tak mencukupi untuk memenuhi permintaan tenaga kerja, maka
didatangkanlah buruh-buruh dari luar Jember. Pada awalnya, saat perkebunan tembakau
digarap pada lahan kering, buruh dari Madura banyak didatangkan karena dianggap cakap

6
menggarap tanah tegalan. Kemudian juga didatangkan buruh orang Jawa saat perkebunan
tembakau digarap di lahan basah, yang ternyata lebih berhasil.

Pembukaan perkebunan yang besar-besaran di Jember memerlukan tenaga buruh yang


besar-besaran juga. Hal ini menjadi masalah tersendiri, kelangkaan tenaga buruh memicu
persaingan antar perusahaan untuk mendapatkannya. “Pembajakan” tenaga buruh antar
perusahaan mendorong perusahaan-perusahaan untuk bersama-sama memprakarsai Besuki
Immigration Bureu (BIB) yang fungsi pokoknya adalah mencukupi kebutuhan tenaga buruh
bagi perusahaan. Pendirian BIB bukan saja mengubah jalur rekrutmen tenaga buruh dari
makelar menjadi kelembagaan, namun juga sekaligus mengubah hubungan antara perusahaan
dan buruh yang semula diantarai oleh personal menjadi diantarai oleh prosedur administratif,
kontrak kerja. Pada kenyataannya perubahan perekrutan tenaga buruh dari informal menjadi
formal kurang berhasil. Namun usulan untuk mengontrol buruh secara ketat dan keras oleh
perusahaan melalui pemberlakukan Poenale Sanctie; secara umum berisi ancaman denda dan
penjara bagi buruh yang lari, meninggalkan pekerjaan, dan mengabaikan pekerjaan; tidak
disetujui. Pemerintah justru menjanjikan sokongan dalam bentuk fasilitas kolonisasi dan
layanan kesehatan buruh.

Liberalisasi ekonomi mengubah lanskap dan sosial-budaya di Jember. Secara gradual


lahan-lahan di Jember mengalami privatisasi. Melalui klaim negara atas tanah “terlantar”
yang luas yang kemudian dapat digarap melalui pemberian hak erfpacht dan penerapan
aturan sewa untuk tanah milik penduduk pribumi maka mulailah tanah menjadi barang
komoditi. Gelombang para pendatang dari luar Jember untuk menjadi tenaga buruh
perkebunan, formalisasi relasi produksi pada perusahaan-perusahaan, dan birokratisasi
mengubah sepenuhnya wajah Jember dari wilayah “tak bertuan” yang dihuni kelompok-
kelompok masyarakat egaliter yang terpencar menjadi unit politik yang teradministrasi,
menjelma jadi kota pada tahun 1883, yang terpisah dari Regentschap Bondowoso. Dan
kemudian menjadi Kabupaten pada tahun 1928.

Berbeda dengan daerah-daerah lain pada umumnya, Banyuwangi misalnya – di mana


sentimen aristokratif relatif masih nampak dalam masyarakatnya –, tidak ada kekuasaan
aristokrasi yang mempengaruhi relasi sosial dalam masyarakat. Penggambaran Pieter Luzac
pada tahun 1773, walaupun tidak tepat benar, dapat menjadi pengenalan awal terhadap
masyarakat Jember lama, khususnya kala terpisah menjadi Blambangan Barat. Pengerahan
tenaga kerja lokal untuk buruh di perkebunan, misalnya, tidak melalui jalur Patinggi atau

7
Kepala Desa untuk mengumpulkan penduduk. Pada konteks ini, kontrol atau kekuasaan
kolonial terhadap masyarakat di Jember tidak menggunakan jalur tradisional. Namun hal ini
bukan berarti mudah untuk menginstal sistem birokrasi modern pada masyarakat Jember.
Sebab, pada daerah-daerah lain pada umumnya penerapan sistem birokrasi modern pada
mulanya diterapkan bersamaan dengan sistem birokrasi tradisional dimana kewenangan yang
terkandung dalam sistem birokrasi modern biasanya hanya bekerja efektif pada lingkup
kekuasaan aristokratif pada hirarki tertentu, atau sistem birokrasi modern tidak dapat
langsung bekerja pada individu-individu dalam masyarakat tanpa bantuan sistem birokrasi
tradisional.. Boleh dikatakan di Jember sistem birokrasi modern tidak mempunyai “induk
semang” untuk membuatnya segera dapat beroperasi secara efektif. Tentu saja faktor
jarangnya penduduk juga menjadi salah satu sebab pentingnya, begitu juga dengan mayoritas
penduduk pendatang yang bermukim di Jember setelah banyak berdirinya perusahaan
perkebunan.

Resistensi Penduduk Jember

Sejak dihancurkannya Nusa Barong memang tak lagi ada berkobar perang bertahun. Tapi itu
tak berarti penentangan penduduk Jember terhadap upaya-upaya penundukan pemerintah
pendudukan absen di sepanjang riwayatnya. Ketiadaan kekuatan yang bertumpu pada
kekuasaan aristokrasi dan ekonomi, penentangan atau perlawanan tak lagi mengambil bentuk
frontal dengan basis massa yang besar. Perlawanan frontal Aria Gladak yang berlandas pada
legitimasi kosmologis barangkali merupakan perlawanan terbuka terakhir yang dapat
diperhitungkan meski hanya berlangsung “semalam”. Sekemudian penentangan mengambil
bentuk seperti pembangkangan, pengabaian, dan sabotase.

Penentangan non-frontal awal paling kentara pada masa liberalisasi ekonomi adalah
ketika pengusaha-pengusaha perkebunan menyewa tanah-tanah pertanian penduduk secara
individual. Pemilik-pemilik tanah menerima tawaran sewa lahan, paling lama 5 tahun dan
dapat diperbaharui lagi, dari para pengusaha perkebunan. Dalam hal ini para pemilik tanah
menyediakan lahan untuk ditanami tanaman-tanaman produksi yang laku di pasaran luar
negeri dan mengelolanya. Sementara para pengusaha menyediakan bibit dan membeli hasil
panenan dengan harga yang sudah ditentukan secara sepihak dan, tentu saja, memberikan
nasehat berkait tekhnologi pengolahan lahan dan perawatan tanaman yang tepat. Namun
demikian, para petani pemilik lahan ternyata tidak memenuhi janji sewa lahan yang

8
disepakati. Mereka, para petani pemilik lahan, kerap menerima kontrak lain atas tanah
mereka sebelum kontrak pertama habis masa sewanya, sehingga terjadi kontrak ganda atas
satu bidang lahan. Hal ini sudah pasti memberikan kerugian pada pengusaha perkebunan.

Ketika para pengusaha perkebunan mengelola tanah-tanah melalui hak erfpacht,


penentangan non-frontal dilakukan oleh para buruh. Para buruh yang didatangkan dari
Madura dengan latar belakang kultur tegalan, terlebih saat terjadi persaingan antar
perusahaan karena kondisi terbatasnya alokasi tenaga buruh, kerap melakukan
pembangkangan “kontrak” dengan meninggalkan lahan yang dikerjakannya dan pindah ke
perusahaan lain. Problem ini kemudian berusaha diperbaiki dengan mendirikan BIB untuk
mengubah jalur personal (makelar) pendatangan dan pengelolaan tenaga buruh menjadi jalur
kelembagaan. Namun demikian, ternyata hal ini tak mengurangi secara signifikan kasus
pembangkangan dan pengabaian kerja. Usulan penerapan poenale sanctie, saya kira,
mengekspresikan betapa rumitnya persoalan penundukan tenaga buruh ini.

Penentangan para buruh secara sekilas tampaknya membuahkan hasil karena


terperhartikannya kebutuhan-kebutuhan buruh, walaupun hal ini tidak juga bisa dilepaskan
dari penerapan politik etik, seperti dibangunnya fasilitas-fasilitas layanan kesehatan untuk
buruh dan jalur-jalur transportasi yang memudahkan mobilitas para buruh, tentu saja
disamping memudahkan pengangkutan komoditi. Apa yang tak boleh diabaikan adalah
bahwa kesejahteraan sosial pada hakekatnya merupakan salah satu cita-cita liberalisme.
Namun demikian, cita-cita kesejahteraan sosial dalam liberalisme ini tak dapat dilepaskan
dari upaya mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari meningkatnya produktivitas tenaga
buruh melalui efisiensi dan mengefektifkan tenaga buruh. Model kesejahteraan semacam ini
di mana negara memberikan insentif pada pengusaha secara tidak langsung melalui
pemberian fasilitas pada buruh ini pada dasarnya tak berbeda dengan kebijakan subsidi
pertanian oleh rezim Soeharto. Subsidi bibit dan pupuk untuk tanaman bahan pangan pokok,
padi, adalah upaya untuk menstabilkan harga beras murah yang berkorelasi dengan
mempertahankan upah buruh murah. Kelak, setalah tahun 1980-an, peran negara yang
dikenal sebagai welfare state ala keynesian ini dilucuti oleh tibanya gelombang gagasan neo-
liberalisme yang menghendaki hanya mekanisme pasarlah yang boleh mengambil peran
dalam kebebasan ekonomi, apa yang dikenal sebagai fundamentalisme pasar.

Malaise dan Kedatangan Jepang

9
Depresi Besar 1930 memporak-porandakan proses struktural penanaman liberalisme ekonomi
di Indonesia. Perkebunan-perkebunan besar di Jember yang tanaman komersialnya;
tembakau, karet, kopi, coklat; yang mengandalkan pasar internasional untuk menyerap
produk komoditinya mengalami limbung, bahkan runtuh. Bersama pengurangan produksi
secara drastis dan penutupan perkebunan para buruh ikut terjerembab dalam kemelaratan
yang dalam. Perekonomian yang diantarai uang yang secara berangsur mulai diterima, yang
inheren dalam komodifikasi tenaga kerja, kehilangan tambatan paling penting yang menjamin
bekerjanya mekanisme ekonomi kebutuhan dalam diri individu.

Pada sisi lain kondisi Depresi mendorong timbulnya benih-benih radikalisasi petani
dan buruh. Terguncangnya, bahkan runtuhnya, sistem pengupahan yang mengikat buruh dan
majikan dalam suatu relasi produksi perkebunan mengakibatkan para buruh dan petani
mengambil alih lahan-lahan perkebunan untuk kebutuhan subsisten dan memenuhi kebutuhan
pasar lokal.

Kedatangan balatentara Jepang tahun 1942 semakin memperdalam kondisi yang


digali oleh Depresi. Fasisme militeristis Jepang menghancurkan hampir seluruh lahan-lahan
perkebunan untuk digunakan memenuhi kebutuhan perang dan kebutuhan pangan tentara.
Kesengsaraan rakyat semakin parah dengan pemusatan tenaga yang digunakan untuk
kebutuhan perang melalui kerja paksa (rodi dan romusha).

Masa Kemerdekaan Sampai Pasca-Reformasi

Pasca Proklamasi kemerdekaan, Pemerintah Indonesia mewarisi kondisi ekonomi yang


porak-poranda akibat fasisme Jepang dan Perang Kemerdekaan. Pemulihan ekonomi
mengalami beban yang berat akibat hancurnya sebagian besar infrastruktur perekonomian,
blokade ekspor-impor oleh Belanda, inflasi yang tinggi, dan sistem keuangan yang tak
terintegrasi akibat beredarnya beragam mata uang. Selepas Konfrensi Meja Bundar (KMB)
1949 yang menghasilkan pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda, beban
perekonomian nasional bertambah berat dengan pengalihan hutang-hutang Hindia Belanda
kepada Indonesia, menanggung pembiayaan puluhan ribu bekas tentara Belanda dan KNIL.

Pada sisi lain, situasi nasional yang berada dalam masa transisi membuat pemerintah
tak dapat mengubah sekaligus tata hukum kolonial. Upaya untuk memulihkan ekonomi yang
hancur akibat perang dan tuntutan mengganti sistem ekonomi kolonial dengan sistem

10
ekonomi nasional tersandera oleh hasil KMB yang mengharuskan pemerintah meminta izin
Belanda untuk mengambil kebijakan ekonomi dan beroperasinya kembali perusahaan
Belanda. Dalam konteks perkebunan, hasil KMB tersebut tampaknya sejalan dengan rencana
jangka pendek dan dan jangka panjang Badan Perancang Ekonomi tahun 1947 yang hanya
mengambil alih aset ekonomi pemerintah Belanda namun memberikan peluang bagi
perusahaan-perusahaan partikelir yang masih mempunyai hak erfpacht untuk kembali dan
membuka perusahaan-perusahaan swasta lain untuk berinvestasi.

Kebijakan nasional mengenai beroperasinya kembali perusahaan perkebunan


partikelir yang masih mempunyai hak erfpacht bagaimanapun tak sejalan dengan gerakan
masyarakat di bawah. Setelah kepergian Jepang dan disusul Proklamasi gelora nasionalisme
yang menggelombang terekspresikan oleh buruh-buruh dengan menduduki dan menggarap
kembali lahan-lahan perkebunan dengan tanaman subsisten dan tanaman perkebunan untuk
memenuhi kebutuhan pasar domsetik. Ikatan para buruh dengan lahan sebagai suatu kesatuan
nasional, rakyat dan tanah airnya, dan diperkuat dengan riwayat pembukaan hutan,
mendorong perasaan memiliki terhadap tanah-tanah perkebunan yang mereka garap. Di
Ketajek, misalnya, para buruh selain menanami lahan-lahan perkebunan juga membangun
perkampungan dengan berbagai fasilitas pendukungnya. Sementara perkebunan Sukorejo
diubah fungsinya sebagai basis perlawanan militer Front Jember Timur. Pemogokan dan
pembakaran fasilitas-fasilitas perkebunan menjalar ke sejumlah perkebunan di Jember.
Resistensi para buruh perkebunan yang menolak kembalinya penguasaan lahan oleh para
pengusaha perkebunan partikelir mencerminkan tidak sinkronnya antara kebijakan nasional
dengan kehendak masyarakat buruh.

Ketidaksesuaian antara kebijakan nasional dan kehendak masyarakat lokal yang


didorong sebagian besarnya oleh kebutuhan subsisten terlihat dengan jelas dalam UU Darurat
No.16 Tahun 1951 tentang pelarangan aksi pemogokan yang ditentang oleh elemen buruh.
Hal ini, bagaimanapun, merupakan salah satu contoh bagaimana pemerintah yang merupakan
pelembagaan proses redistribusi ekonomi berupaya mengintegrasikan masyarakat yang
merupakan salah satu agen produksi ke dalam satu sistem ekonomi tertentu. Pada satu sisi
pemerintah yang baru seumur jagung terhegemoni oleh sistem ekonomi internasional melalui
hasil-hasil KMB yang memuat agenda-agenda liberalisme. Sementara, pada sisi lain,
masyarakat yang selama ratusan tahun mengalami proses penghancuran sistem sosial-budaya
yang disebabkan proses penanaman liberalisasi ekonomi yang memelaratkan mendapatkan
momentumnya – secara berurutan peristiwa malaise, fasisme Jepang, dan Proklamasi –

11
berupaya melepaskan diri dari dominasi yang membelenggunya. Namun demikian, tindakan
melepaskan dari agenda liberalisme dengan membatalkan hasil-hasil KMB tahun 1956 dan
disusul dengan memotong hubungan dengan IMF dan Bank Dunia mengakibatkan krisis
ekonomi yang lebih dalam dan menghancurkan hingga berujung pada pergantian rezim
politik. Sementara, Presiden Abdurrahman Wahid, Gus Dur, yang membangkang terhadap
IMF, alih-alih mematuhi nasehat pengetatan anggaran oleh IMF justru mengambil kebijakan
growth story, juga harus tumbang di tengah jalan.

Hal yang menarik adalah naiknya Gus Dur sebagai Presiden Indonesia disusul dengan
maraknya pengambilalihan tanah-tanah perkebunan dan pinggir hutan oleh masyarakat.
Tampaknya, sinyal kuat kebijakan ekonomi Pemerintah Gus Dur yang pro pertumbuhan dan
pemerataan ekonomi yang juga menjadi isyarat berada di luar sistem ekonomi internasional
yang dominan mendapat respon masyarakat secara radikal. Kasus-kasus sengketa tanah yang
yang tumbuh sejak masa Depresi sampai Proklamasi dan direpresi dengan sangat keras oleh
Rezim Soeharto mendapatkan momentumnya untuk bangkit.

Masalah pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi internasional


yang menyebabkan ketegangan hubungan antara pusat dan daerah ini pada masa Orde Baru
“diselesaikan” dengan mekanisme kekerasan. Rezim Soeharto yang berorientasi utama pada
pembangunan ekonomi berkepentingan untuk menciptakan stabilitas politik dan keamanan
untuk menjamin kondisi yang ramah bagi investasi swasta.

Liberalisme ternyata tak juga terbendung pasca Reformasi. Upaya agak meredam laju
liberalisasi oleh pemerintahan Gus Dur dengan membangkang nasehat IMF yang tertuang
dalam LoI, langsung atau tidak, menjatuhkan Gus Dur dari kursi kepresidenan. Setelah Gus
Dur, Indonesia semakin dalam masuk ke dalam liberalisme yang ditandai dengan privatisasi
BUMN, deregulasi peraturan untuk membersihkan hambatan pasar, pencabutan berbagai
subsidi, dan lain-lainnya. Liberalisasi pasar yang, menurut Polanyi, membutuhkan
pengorganisasian politik dimainkan dengan sungguh-sungguh oleh negara.

Sektor pertanian, pada sisi lain, belum majunya tekhnologi pertanian dan sebagian
besar pertanian yang dikelola pada lahan-lahan kecil oleh petani gurem (79,4%) membuat
proses produksi pertanian menjadi tidak efisien. Apa yang hendak dikatakan adalah bahwa
liberalisme pasar yang bertumpu sepenuhnya pada mekanisme penawaran dan permintaan
menutup mata terhadap kondisi-kondisi produksi yang timpang antara pertanian yang maju
dengan pertanian yang dikelola pada lahan-lahan kecil. Situasi semacam ini tidak

12
menguntungkan para petani gurem. Pada gilirannya pertanian menjadi sektor yang
menyengsarakan dan memicu ditinggalkan. Pada kenyataannya, kita bisa lihat, wilayah-
wilayah pedesaan yang merupakan kampung halaman petani gurem menjadi kantong-kantong
kemiskinan.

Pada konteks Kabupaten Jember yang sektor pertaniannya didominasi lebih dari
79,4%, petani yang mengolah lahan kurang 0,5 ha, liberalisme pasar membuat sektor
pertanian menjadi masalah, bukan hanya problem pendapatan tapi juga pada problem alih
fungsi lahan. Rata-rata pendapatan rumah tangga pertanian adalah Rp. 976.000 perbulan dan
untuk menutupi kekurangan pendapatan untuk mencukupi kebutuhan mereka harus bekerja di
sektor lain di luar pertanian. Sedangkan laju alih fungsi lahan selama lima tahun sebesar
1.080 m2 (Sensus Pertanian keenam 2013). Sementara pada data 2017 luas tanam lahan
pertanian pada kategori tanaman utama terus mengalami penurunan, kecuali untuk lahan
tanaman jagung. Sebagai gambaran, luas tanam lahan pertanian 170.395,0 ha pada tahun
2016 mengalami penurunan menjadi 165.697 ha pada tahun 2017, mengalami penyusutan
4.698 ha. Hal ini sudah pasti ikut mempengaruhi jumlah produksi sektor pertanian dan
jumlah petani.

Mencermati jumlah petani gurem (menguasai lahan kurang dari 0,50 ha) sebesar
79,4% atau 257.248 rumah tangga pertanian, hal ini mengindikasikan ketimpangan
penguasaan lahan pada sektor pertanian. Kondisi semacam ini berkontribusi membentuk
struktur sosial pada masyarakat Jember, yang 51% lebih dari angkatan kerjanya bekerja di
sektor pertanian, yang mencerminkan kesenjangan sosial yang lebar. Penurunan jumlah
petani (rumah tangga pertanian) sebesar 30% selama sepuluh tahun, dari 465.055 pada tahun
2003 menyusut menjadi 325.633 pada tahun 2013 atau berkurang 139.422, kemungkinan
besar dipengaruhi oleh ketimpangan penguasaan lahan yang tidak menguntungkan secara
ekonomi maupun sosial bagi kelompok petani gurem. Hal ini juga dikonfirmasi oleh
penurunan tajam jumlah rumah tangga pertanian yang megolah lahan kurang dari 0,10 ha,
dari 234.111 tahun 2003 menjadi 104.725, turun sebesar 55% atau sebanyak 129.386.

Potensi yang mungkin dalam kondisi semacam ini adalah terjadinya alih lahan
pertanian yang dibarengi dengan terjadinya alih kerja. Para petani gurem atau generasi
berikutnya dari para petani gurem akan memasuki lapangan kerja sektor-sektor non pertanian,
pindah ke pusat kota atau/dan pindah kerja ke kota-kota lain. Sektor-sektor industri dan jasa
mungkin akan menjadi tujuan dari alih kerja tersebut. Berangkat dari lapisan masyarakat

13
bawah yang memiliki halangan untuk mengakses pendidikan tinggi, sudah barang tentu,
sebagian besar dari mereka akan menjadi tenaga kerja tanpa keterampilan yang akan
menduduki lapisan terbawah dari hubungan produksi industrial.

Posisi lapisan bawah sosial, dalam hal ini petani gurem hanya menjadi salah satu
contoh kasus, semakin terdesak masuk dalam bingkai liberalisme yang ekspansi pasarnya
mengintegrasikan hampir seluruh produk kultural dan natural ke dalam barang komoditi.
Mengonsumsi bukan hanya mengubah nilai interinsik barang komoditi menjadi bernilai guna,
tapi juga mengubahnya menjadi nilai sosial. Apa yang dikonsumsi individu memberikan
gambaran di mana posisinya dalam strukstur sosial. Untuk memberikan ilustrasi yang lebih
jelas, kita bisa kembali ke masa Orde Baru yang mana kelompok masyarakat yang makanan
pokoknya non-beras dianggap terbelakang. Interplasi untuk menjadi masyarakat
maju/modern semacam ini pada akhirnya bukan hanya mengubah diet harian, tapi sekaligus
mengubah sistem ekologi lokal dan sistem sosio-kultural kelompok masyarakat tersebut serta
tak jarang mengubah kemandirian pangan menjadi ketergantungan pangan. Interplasi untuk
menjadi masyarakat maju/modern pada hari ini mengalami peningkatan dalam perluasan dan
kedalamannya sehingga penghindaran-penghindaran hampir mustahil dilakukan. Mari kita
ambil contoh yang lebih mutakhir: kebutuhan untuk mendatangi spot-spot yang
instagramable pada dasarnya bukan didorong semata oleh kebutuhan rekreatif yang bersifat
personal, tapi juga, bahkan lebih besar, didorong oleh interplasi untuk menjadi modern, untuk
menunjukan bahwa mereka bagian dari masyarakat maju. Namun demikian, upaya mobilitas
vertikal secara simbolik ini kerap menjadi sia-sia, saat massa jelata berbondong-bondong
mendatangi spot-spot populer, lapisan elite justru memburu lokasi-lokasi tersembunyi yang
kerap dikenal sebagai istilah escape. Inilah salah satu mekanisme untuk mengintegrasikan,
atau lebih tepatnya meringkus, seluruh lapisan masyarakat ke dalam masyarakat liberal.

Sebelum tulisan ini berakhir, saya kira harus dinyatakan di sini bahwa tulisan ini disusun
berdasarkan kajian pustaka. Sebenarnya dalam tubuh tulisan ini banyak menyimpan catatan
kaki. Namun, karena terdesak oleh tenggat waktu penyelesaiannya dan cara penulisannya,
catatan-catatan kaki tak dapat disajikan. Walaupun demikian, pembaca dapat menelusuri
sumber pustaka yang disajikan di bawah untuk mengonfirmasi dan mengomparasi isi tulisan.

14
Sudah barang tentu hal ini lebih menyulitkan pembaca dibandingkan bila catatan kaki
tersedia.

Saya berharap tulisan ini dapat menjadi titik keberangkatan untuk membuka upaya-
upaya kajian yang lebih rinci dan kritis.

Daftar Pustaka

Aprianto, Tri Chandra; Dekolonisasi Perkebunan di Jember: Tahun 1930an – 1960an; Tesis,
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, Juli 2011

Badan Pusat Statistik Kabupaten Jember; Potret Usaha Pertanian Kabupaten Jember Menurut
Subsektor (Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2013 dan Survei Pendapatan
Usaha Rumah Tangga Pertanian 2013)

_______________ ; Statistik Kesejahteraan Kesejahteraan Kabupaten


Jember 2017

Howard Dick, Vincent J.H. Houben, J. Thomas Lindblad, Thee Kian Wie; The Emergency
Of National Economy: An Economic History of Indonesia, 1800 – 2000; Asian Studies
Association of Australia in association with Allen & Unwin and University of Hawi’i
Press, Honolulu, 2002

Margana, Sri; Ujung Timur Jawa, 1763 - 1813: Perebutan Hegemoni Blambangan; Pustaka
Ifada, Yogyakarta, 2012

Pemerintah Kabupaten Jember; Rencana Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Jember 2016

Peraturan Daerah Kabupaten Jember No.1 Tahun.2015 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Jember Tahun 2015 – 2035 dan Lampirannya

15
Polanyi, Karl; The Great Transformation: The Political and Economic Origin of Our Time;
Beacon Press, Boston, 2001

Sudjana, I Made; Nagari Tawon Madu: Sejarah Politik Blambangan Abad XVII; Larasan
Sejarah, 2001

Wasino and Nawiyanto; Plantation and Peasant Economy in Java Indonesia: A Comparative
Perspective on Western and Indigenous Enterprise in Jember and Mangkunegaran
during The Colonial Period; Asian-Agri History Vol.21, No.1, hal. 1-14, 2017

16

Anda mungkin juga menyukai