Anda di halaman 1dari 30

Peran Individu Dalam Sejarah

G.V. Plekhanov (1898)

Diterbitkan pertama kalinya di jurnal Nauchnoye Obozreniye, No. 3 & 4, 1898.

Sumber: Georgi Plekhanov Selected Philosophical Works Volume II. Progress Publishers, Moscow, 1973.
hal. 283-315.

Penerjemah: Ted Sprague (30 September 2010; Revisi 8 November 2022)

I
Pada paruh kedua tahun tujuh puluhan [1870], almarhum Kablitz menulis sebuah esai berjudul: "Intelek
dan Perasaan sebagai Faktor-Faktor Progres", di mana, mengacu pada Spencer, dia mengajukan
bahwa perasaan memainkan peran utama dalam progres umat manusia, dan bahwa intelek hanya
memainkan peran sekunder, dan bahkan cukup subordinat. Seorang "sosiolog terhormat"[1] menjawab
Kablitz, mengekspresikan rasa geli dan keterkejutan pada sebuah teori yang menempatkan intelek di
tempat kedua. "Sosiolog terhormat" ini tentu saja benar dalam membela intelek. Akan tetapi, dia akan
lebih benar lagi bila saja dia, tanpa mengkaji esensi masalah yang dikemukakan oleh Kablitz,
menunjukkan bahwa metode presentasinya adalah mustahil dan tak bisa diterima. Memang, teori
"faktor-faktor" pada dasarnya dangkal, karena teori ini secara arbitrer memilih berbagai aspek
kehidupan sosial, membuat mereka menjadi hipostasis [substansi fundamental yang mendasari hal-
ihwal], dan mengubah mereka menjadi kekuatan-kekuatan yang unik, yang dari berbagai sisi dan
dengan kesuksesan yang tak sama mendorong manusia sepanjang jalur progres. Tetapi teori ini bahkan
lebih dangkal dalam bentuk yang dipresentasikan oleh Kablitz, yang mengubah bukan berbagai aspek
aktivitas manusia sosial, tetapi berbagai ranah kesadaran manusia yang individual, menjadi hipostasis
sosiologis yang unik. Sungguh ini adalah limit abstraksi yang paling ekstrem; lebih dari ini tidak seorang
pun dapat melampauinya, karena di seberang sana terletak kerajaan absurditas yang teramat konyol.
Sang "sosiolog terhormat" itu seharusnya menarik perhatian Kablitz dan para pembacanya ke sini.
Mungkin, setelah mengungkapkan labirin abstraksi yang ditempuh oleh Kablitz dalam usahanya untuk
mencari "faktor" utama dalam sejarah, sang "sosiolog terhormat" itu dapat berkontribusi pada kritik
terhadap teori faktor-faktor. Ini akan sangat berguna bagi kita semua pada saat itu. Tetapi dia tidak
mampu memenuhi misi ini karena dia sendiri percaya pada teori tersebut, dan dia berbeda dari Kablitz
hanya dalam kecenderungannya pada eklektisme, dan oleh karenanya baginya semua "faktor-faktor"
tampak sama pentingnya. Lebih lanjut, watak eklektik pemikirannya menemukan ekspresinya yang
mencolok dalam serangannya terhadap materialisme dialektis, yang dia anggap sebagai sebuah doktrin
yang mengorbankan semua faktor-faktor lain demi "faktor" ekonomi dan mereduksi peran individu dalam
sejarah menjadi nol. Tidak pernah terbayangkan oleh sang "sosiolog terhormat" ini bahwa sudut pandang
"faktor-faktor" adalah asing bagi materialisme dialektis, dan hanya orang yang sama sekali tidak mampu
berpikir secara logis dapat menemukan dalam materialisme dialektis pembenaran terhadap apa-yang-
disebut quietisme[2] [Kepercayaan Kristen yang mengajarkan umatnya untuk mencampakkan kehendak
bebas, menjadi pasif, agar bisa menyerah sepenuhnya pada takdir ilahi]. Selain itu, kekeliruan yang
dibuat oleh "sosiolog terhormat" kita ini bukanlah sesuatu yang unik; banyak orang sudah membuat
kekeliruan yang sama, sedang membuatnya, dan mungkin, akan terus membuatnya.

Kaum Materialis telah dituduh condong ke quietisme bahkan sebelum mereka selesai menyusun
konsepsi dialektis mereka mengenai Alam dan sejarah. Tanpa terlalu jauh-jauh menengok ke masa lalu,
kita dapat mengingat polemik antara dua ilmuwan Inggris ternama, Joseph Priestley dan Richard Price.
Menganalisis teori Priestley, Price berargumen bahwa materialisme tidaklah kompatibel dengan konsep
kebebasan, dan bahwa materialisme mengesampingkan semua aktivitas mandiri oleh individu. Dalam
jawabannya, Priestley mengacu pada pengalaman sehari-hari. Dia menulis: "Saya tidak perlu berbicara
mengenai diri saya sendiri, yang jelas bukan orang yang paling apatis dan tak bergairah; justru orang-
orang yang percaya pada doktrin keniscayaan adalah orang-orang yang paling bergairah, paling aktif,
paling berenergi dan gigih dalam mengejar tujuan yang teramat penting." Priestley berbicara mengenai
sekte agama demokratis[3] yang saat itu dikenal dengan nama Kristen Keniscayaan[4]. Kami tidak tahu
apakah sekte ini seaktif seperti yang dibayangkan oleh Priestley, yang merupakan anggota sekte ini.
Tetapi ini tidak penting. Tidak ada keraguan sedikit pun bahwa konsepsi materialis mengenai kehendak
manusia adalah kompatibel dengan aktivitas praktis yang paling berenergi. Gustave Lanson mengatakan
"semua doktrin yang paling menuntut pengerahan kehendak manusia akan menyatakan, secara prinsipil,
bahwa kehendak manusia adalah impoten; mereka menyangkal kebebasan dan menundukkan dunia
pada fatalisme."[5] Lanson keliru dalam berpikir bahwa setiap penyangkalan atas apa yang disebut
kehendak bebas akan mengarah ke fatalisme; tetapi ini tidak mencegahnya dari mengakui sebuah
fakta sejarah yang sangat menarik: memang, sejarah menunjukkan bahwa bahkan fatalisme tidak selalu
menjadi penghalang atas aksi yang energetik dan praktis; sebaliknya, dalam epos tertentu, fatalisme
adalah basis psikologi yang esensial untuk aksi semacam itu. Untuk membuktikan ini, kami akan
menunjuk pada kaum Puritan, yang energinya melampaui semua kelompok lainnya di Inggris pada abad
ke-17, dan para pengikut Nabi Muhammad, yang dalam waktu pendek menundukkan wilayah yang
sangat luas dari India hingga Spanyol. Bila ada yang berpikir bahwa keinsafan akan keniscayaan
serangkaian peristiwa membuat kita tidak mampu secara psikologis untuk merealisasikan atau
mencegah peristiwa-peristiwa tersebut, maka mereka sangatlah keliru.[6]

Di sini, semua tergantung pada apakah aktivitas saya membentuk sebuah tautan esensial dalam
rantaian peristiwa-peristiwa yang tak terelakkan. Bila iya, maka saya akan lebih mantap dan tindakan-
tindakan saya akan lebih teguh. Tidak ada yang mengejutkan di sini: ketika kami mengatakan bahwa
seorang individu tertentu menganggap aktivitasnya sebagai sebuah tautan esensial dalam rantaian
peristiwa-peristiwa yang tak terelakkan, maksud kami, di antara lainnya, adalah bagi individu ini
ketiadaan kehendak bebas berarti ketidakmampuan untuk tidak bertindak, dan ketiadaan kehendak
bebas ini terefleksikan dalam pikirannya sebagai kemustahilan untuk bertindak berbeda dari apa
yang dilakukannya sekarang. Inilah cara pandang yang dapat diekspresikan oleh ujaran terkenal Martin
Luther: "Hier stehe ich, ich kaan nicht anders" [Di sini saya berdiri, saya tidak dapat melakukan yang
lainnya]; inilah mengapa manusia menunjukkan energi yang tak terhingga dan meraih pencapaian-
pencapaian yang paling luar biasa. Hamlet[7] tidak pernah memiliki cara pandang ini, dan inilah mengapa
dia hanya bisa mengeluh dan merenung. Dan inilah mengapa Hamlet tidak akan pernah bisa menerima
sebuah filsafat yang mengatakan kebebasan hanyalah keniscayaan yang telah berubah menjadi
kesadaran. Seperti yang dikatakan oleh Fichte: "Orangnya begitu, filsafatnya juga begitu."

II
Ada orang yang menganggap serius pernyataan Stammler mengenai apa yang dia sebut kontradiksi
tak-terdamaikan yang menurutnya inheren dalam sebuah teori sosial-politik Eropa-Barat tertentu
[Marxisme]. Kami merujuk ke contohnya mengenai gerhana bulan. Pada kenyataannya, ini adalah
contoh yang sangat konyol. Tindakan manusia bukanlah, dan tidak akan bisa menjadi, salah satu syarat
yang diperlukan untuk gerhana bulan; untuk alasan ini saja, sebuah partai yang bertujuan memfasilitasi
gerhana bulan hanya dapat didirikan di rumah sakit jiwa. Bahkan bila tindakan manusia merupakan salah
satu syarat untuk gerhana bulan, bagi orang-orang yang berhasrat menyaksikan fenomena gerhana
bulan tetapi mereka yakin ini pasti akan terjadi tanpa bantuan apapun dari mereka, mereka tidak
akan bergabung dengan partai gerhana bulan. Dalam hal ini, "quietisme" mereka berarti menjauhi
tindakan yang mubazir, atau tidak berguna, dan tidak ada hubungannya dengan quietisme yang
sesungguhnya. Supaya contoh gerhana bulan ini dapat menjadi masuk akal dalam kasus yang kita sebut
di atas, maka contoh ini harus dirombak sepenuhnya. Kita harus membayangkan bahwa sang bulan
dianugerahi dengan kesadaran, dan bahwa posisinya di angkasa yang menyebabkan gerhana tampak
baginya sebagai buah penentuan kehendak bebasnya sendiri; dan bahwa ini tidak hanya memberinya
kepuasan yang besar, tetapi juga diperlukan demi kedamaian hatinya, dan oleh sebab itu dia selalu
dengan bergairah mencoba menduduki posisi itu.[8] Setelah membayangkan ini semua, kita harus
bertanya pada diri kita sendiri: Apa yang akan dirasakan oleh sang bulan bila dia akhirnya menemukan
bahwa gerakannya di angkasa tidaklah ditentukan oleh kehendak bebas ataupun "cita-citanya", tetapi,
sebaliknya, gerakannya menentukan kehendaknya dan "cita-citanya"? Menurut Stammler, penemuan
semacam ini akan membuatnya tidak mampu bergerak, kecuali bila dia mampu membebaskan dirinya
dari kesulitan ini dengan kontradiksi logika tertentu. Tetapi asumsi semacam ini tidak berdasar sama
sekali. Benar, penemuan ini dapat menjadi alasan formal untuk emosi buruknya, kekacauan moral dalam
dirinya, kontradiksi antara "cita-citanya" dan realitas mekanikal. Tetapi karena kita mengasumsikan
bahwa, secara keseluruhan, "kondisi psikologi sang bulan" secara umum ditentukan pada analisa terakhir
oleh gerakannya, maka penyebab kekacauan dalam benaknya harus dicari dari gerakan itu. Setelah
pemeriksaan yang seksama, mungkin ditemukan bahwa ketika bulan berada pada titik apoge [titik
terjauh bulan terhadap bumi], dia merasa sedih karena kehendaknya tidaklah bebas; dan ketika dia
berada di titik perige [titik terdekat bulan terhadap bumi], situasi yang sama ini menjadi sebab baru dan
formal untuk kedamaian hati dan kebahagiaannya. Mungkin, yang sebaliknya dapat terjadi: mungkin ini
membuktikan sang bulan telah menemukan cara untuk mendamaikan kehendak bebas dengan
keniscayaan, bukan di titik perigenya, tetapi di titik apogenya. Bagaimanapun juga, penyelesaian
semacam itu jelas mungkin; keinsafan akan keniscayaan cukup kompatibel dengan aksi praktis yang
paling energetik. Setidaknya, ini telah dibuktikan oleh sejarah sampai hari ini. Orang-orang yang
menyangkal kehendak bebas sering kali memiliki kebulatan tekad yang jauh melampaui orang-orang
sezamannya dan mereka paling menuntut kebulatan tekad. Sudah banyak contohnya. Mereka diketahui
luas. Contoh-contoh ini bisa dilupakan, seperti yang telah dilakukan oleh Stammler, hanya bila orang
sengaja enggan melihat kenyataan sejarah sebagaimana adanya. Keengganan ini begitu mengakar,
misalnya, di antara kaum subjektivis, dan juga di antara kaum filistin Jerman. Namun, kaum filistin dan
subjektivis bukanlah manusia, mereka hanyalah bayangan, seperti yang akan dikatakan oleh Belinsky.

Namun, mari kita teliti lebih dekat kasus di mana aksi seorang individu – di masa lalu, masa kini, atau
masa depan – tampak baginya diwarnai sepenuhnya oleh keniscayaan. Kita sudah tahu bahwa individu
seperti ini, seperti misalnya Nabi Muhammad, yang menganggap dirinya sebagai utusan Tuhan, atau
seperti Napoleon, yang menganggap dirinya terpilih oleh takdir yang tidak dapat dihindari, atau seperti
sejumlah tokoh ternama pada abad ke-19, yang menganggap dirinya sebagai ekspresi kekuatan progres
sejarah yang tak terbendung, menunjukkan kekuatan kehendak yang begitu kuat, dan menyapu dengan
mudahnya semua rintangan yang didirikan oleh orang-orang picik seperti Hamlet dan Hamletkin[9],[10].
Tetapi kasus ini sekarang menjadi menarik dari sudut pandang lain, yakni: ketika keinsafan akan
ketiadaan kehendak bebas saya menunjukkan dirinya pada saya hanya dalam bentuk kemustahilan
subjektif dan objektif untuk bertindak berbeda dari apa yang sedang saya lakukan, dan ketika, pada
saat yang sama, tindakan-tindakan saya bagi saya adalah tindakan yang paling diperlukan dari semua
tindakan lainnya yang mungkin, maka dari itu di dalam pikiran saya keniscayaan menjadi teridentifikasi
dengan kebebasan dan kebebasan teridentifikasi dengan keniscayaan; dan maka dari itu, saya tidak-
bebas hanya dalam artian bahwa saya tidak dapat mengganggu keselarasan antara kebebasan dan
keniscayaan ini, saya tidak dapat mempertentangkan mereka satu sama lain, saya tidak dapat
merasakan belenggu keniscayaan. Tetapi ketiadaan kebebasan seperti ini pada saat yang sama
merupakan manifestasinya yang paling penuh.

Simmel mengatakan bahwa kebebasan adalah selalu kebebasan dari sesuatu, dan ketika kebebasan
tidak dipikirkan sebagai kebalikan dari belenggu, maka kebebasan tersebut tidak ada artinya. Tentu saja
ini benar. Tetapi, kebenaran yang dangkal dan mendasar ini tidak bisa menjadi landasan untuk menolak
sebuah tesis yang merupakan salah satu penemuan paling brilian dalam filsafat, yakni, bahwa kebebasan
berarti keinsafan akan keniscayaan. Definisi Simmel terlalu sempit; ia hanya merujuk pada kebebasan
dari belenggu eksternal. Selama kita hanya mendiskusikan belenggu seperti ini, maka akan sangat
konyol untuk mengidentifikasikan kebebasan dengan keniscayaan: seorang pencopet tidak bebas untuk
mencuri sapu tangan Anda bila Anda mencegahnya; hanya setelah dia mengatasi perlawanan Anda
maka dia menjadi bebas untuk mencuri. Selain konsepsi kebebasan yang dasar dan dangkal ini, ada
konsepsi lainnya yang jauh lebih dalam. Bagi mereka yang tidak mampu berpikir secara filosofis, konsep
ini tidak eksis sama sekali; dan mereka yang mampu berpikir secara filosofis dapat memahaminya
hanya setelah mereka menanggalkan dualisme mereka dan menyadari bahwa, berkebalikan dengan
asumsi dualisme, tidak ada jurang antara subjek dan objek.

Kaum subjektivis Rusia mempertentangkan prinsip utopis mereka dengan realitas kapitalis kita, dan
tidak melangkah lebih jauh dari pertentangan ini. Kaum subjektivis terjebak dalam lumpur dualisme.
Cita-cita kaum subjektivis Rusia lebih menyerupai realitas kapitalis daripada prinsip "murid-murid" Rusia
[kaum Marxis di Rusia]. Meskipun demikian, "murid-murid" ini telah menemukan sebuah jembatan yang
menghubungkan cita-cita mereka dengan realitas. Sang "murid" telah mencapai tingkatan monisme[11].
Dalam pendapat mereka, dalam perkembangannya kapitalisme akan bergerak ke negasinya sendiri dan
ke realisasi cita-cita mereka, yaitu cita-cita "murid-murid" Rusia – dan bukan hanya Rusia saja. Ini
adalah keniscayaan sejarah. Sang "murid" berperan sebagai instrumen untuk keniscayaan ini dan
mesti melakukan ini karena status sosialnya, dan karena konstruksi intelektual dan moralnya yang
dibentuk oleh status sosialnya. Ini juga merupakan sebuah aspek keniscayaan. Tetapi karena status
sosialnya telah membentuk karakter tertentu dan bukan yang lainnya, dia tidak hanya berperan sebagai
instrumen keniscayaan dan mesti melakukan ini, tetapi dia juga berhasrat melakukan ini, dan mesti
merasakan hasrat itu. Ini adalah aspek kebebasan, dan terlebih dari, aspek kebebasan yang telah
tumbuh dari keniscayaan, dalam kata lain, lebih tepatnya, ini adalah kebebasan yang telah menjadi
teridentifikasi dengan keniscayaan – ini adalah keniscayaan yang telah berubah menjadi kebebasan.[12]
Kebebasan semacam ini juga merupakan kebebasan dari belenggu tertentu; ia juga adalah anti-tesis
dari pembatasan tertentu: definisi yang mendalam tidak menyangkal definisi yang dangkal, tetapi,
dalam melengkapinya, definisi mendalam mempertahankan yang dangkal di dalam dirinya. Tetapi
belenggu macam apa, pembatasan macam apa, yang dipermasalahkan dalam kasus ini? Ini jelas: ini
adalah masalah belenggu moral yang mengekang energi orang-orang yang belum menanggalkan
dualisme; belenggu yang diderita oleh orang-orang yang belum mampu menjembatani jurang antara
cita-cita dan realitas. Sampai individu tersebut dapat memenangkan kebebasan ini dengan terobosan
yang berani dalam pemikiran filsafat, dia tidak sepenuhnya bebas, dan penderitaan moralnya adalah
bayarannya untuk keniscayaan eksternal yang dihadapinya. Tetapi segera setelah individu ini
menanggalkan rantai belenggu yang menyakitkan dan memalukan ini, dia akan lahir ke dalam sebuah
kehidupan yang baru, sempurna, dan yang tidak pernah dia kenali; dan aktivitas bebasnya akan
menjadi ekspresi keniscayaan secara sadar dan bebas.[13] Kemudian dia akan menjadi sebuah
kekuatan sosial yang besar; dan tidak ada yang bisa, dan tidak ada yang akan, menghalanginya dari:

Menghancurkan dusta yang keji

Seperti badai kemurkaan surga ...

III
Sekali lagi: keinsafan akan keniscayaan yang absolut dari sebuah fenomena tertentu hanya dapat
meningkatkan energi seseorang yang bersimpati dengan fenomena tersebut dan yang menganggap
dirinya sebagai salah satu kekuatan yang melahirkannya. Bila manusia semacam ini, yang sadar akan
keniscayaan fenomena ini, berpangku tangan dan tidak melakukan apa-apa, dia akan menunjukkan dia
tidak memahami aritmetika. Mari kita bayangkan bahwa fenomena "A" akan terjadi di bawah syarat-
syarat tertentu "S". Kamu telah membuktikan kepada saya bahwa sebagian dari syarat-syarat ini telah
terpenuhi, dan sebagian lainnya akan terpenuhi dalam waktu tertentu "T". Karena yakin dengan ini, saya,
seorang yang bersimpati dengan fenomena "A", menyatakan: "Baiklah!" dan lalu pergi tidur sampai hari-
H peristiwa yang telah kamu ramalkan. Apa hasilnya? Hasilnya demikian: dalam perhitunganmu, total
syarat-syarat "S" yang diperlukan untuk merealisasikan fenomena "A" juga mengikutsertakan aktivitas
saya, yang katakanlah setara dengan "a". Namun, karena saya tidur lelap, jumlah total syarat-syarat
yang dibutuhkan untuk fenomena tersebut pada waktu "T" akan menjadi "S-a", dan bukan "S", yang
mengubah situasi ini. Mungkin tempat saya akan diambil oleh orang lain, yang juga sebelumnya tidak
melakukan apapun, tetapi kemudian terdorong untuk bertindak setelah menyaksikan sikap masa bodoh
saya, yang menurutnya sangat mengejutkan. Dalam kasus ini, kekuatan "a" akan digantikan oleh
kekuatan "b", dan bila "a" adalah sama dengan "b" (a=b), maka jumlah total syarat-syarat untuk "A" akan
masih sama dengan "S", dan fenomena "A" tetap akan terjadi pada waktu "T"

Tetapi bila kekuatan saya tidak bisa dianggap setara dengan nol, bila saya adalah seorang pekerja
yang bertalenta dan mampu, dan tidak ada yang menggantikan saya, maka kita tidak akan memiliki
jumlah total "S" yang penuh, dan fenomena "A" akan terjadi lebih terlambat daripada yang kita
asumsikan, atau tidak sepenuhnya seperti yang kita harapkan, atau bahkan tidak akan terjadi sama
sekali. Ini sangat jelas. Bila saya tidak memahami ini, bila saya berpikir bahwa "S" akan tetap menjadi
"S" bahkan setelah saya mangkir, ini hanya karena saya tidak bisa menghitung. Tetapi apakah saya
adalah satu-satunya orang yang tidak bisa menghitung? Kamu, yang meramalkan bahwa jumlah total "S"
akan terpenuhi setelah waktu "T", tidak meramalkan bahwa saya akan tidur segera setelah percakapan
saya dengan kamu; kamu yakin bahwa saya akan tetap menjadi pekerja yang baik hingga akhir; kamu
ternyata mengandalkan kekuatan yang lebih tidak dapat diandalkan. Maka dari itu, kamu juga keliru
dalam perhitunganmu. Tetapi mari kita anggap bahwa kamu tidak membuat kesalahan apapun, dan telah
memperhitungkan segalanya. Dalam hal ini, perhitunganmu akan mengambil bentuk seperti ini: kamu
mengatakan bahwa, pada waktu "T", jumlah "S" akan terpenuhi. Jumlah total syarat-syarat ini akan
mengikutsertakan pembelotan saya sebagai besaran negatif; dan ini juga akan mengikutsertakan,
sebagai besaran positif, dorongan terhadap orang-orang berpendirian-kuat oleh keyakinan bahwa
perjuangan dan cita-cita mereka adalah ekspresi subjektif dari keniscayaan subjektif. Dalam hal ini,
jumlah total "S" pada akhirnya akan terpenuhi pada waktu yang telah kamu tunjuk, dan fenomena "A"
akan terjadi. Saya pikir ini jelas. Tetapi bila ini jelas, mengapa saya dibuat bingung oleh keniscayaan
fenomena "A"? Mengapa bagi saya keniscayaan ini melumpuhkan saya? Mengapa, dalam
mendiskusikannya, saya melupakan hukum sederhana aritmetika? Mungkin karena bagaimana saya
dibesarkan, saya sudah sangat cenderung tidak acuh, dan percakapan saya dengan kamu bagai jerami
terakhir yang mematahkan punggung unta. Hanya dalam pengertian ini – sebagai penyebab yang
mengungkapkan kegoyahan dan ketidakcocokan moral saya – kesadaran akan keniscayaan
memainkan peran. Ini tidak dapat dianggap sebagai penyebab kegoyahan moral saya. Penyebabnya
bukan itu, tetapi bagaimana saya dibesarkan. Oleh karenanya, aritmetika adalah ilmu yang sangat
berguna, yang hukumnya tidak boleh dilupakan bahkan dan terutama oleh kaum filsuf.

Tetapi bagaimana keinsafan akan keniscayaan sebuah fenomena tertentu dapat mempengaruhi
seorang yang berpendirian yang tidak bersimpati dengan fenomena tersebut dan menolak
kehadirannya? Di sini situasinya agak berbeda. Sangatlah mungkin ini akan melemahkan semangat
perlawanannya. Tetapi kapan dia menjadi yakin bahwa fenomena ini adalah tidak terelakkan? Ketika
syarat-syarat yang mendukungnya menjadi sangat banyak dan sangat kuat. Oponen yang menjadi
sadar akan keniscayaan ini, dan melemahnya energi mereka, tidaklah lebih dari manifestasi kekuatan
syarat-syarat yang mendukung fenomena tersebut. Manifestasi semacam ini, pada gilirannya, adalah
bagian dari syarat-syarat yang mendukungnya.

Tetapi semangat perlawanan tidak akan melemah di antara semua oponennya. Di antara beberapa
dari mereka, semangat perlawanan mereka akan menjadi lebih kuat karena mereka menginsafi
keniscayaan fenomena tersebut; ini kemudian berubah menjadi semangat keputusasaan. Sejarah
umumnya dan sejarah Rusia khususnya menyediakan banyak contoh mengenai semangat macam ini.
Kami harap para pembaca dapat mengingat contoh-contoh ini tanpa bantuan kami.

Di sini kami diinterupsi oleh Tn. Kareyev. Dia tentu saja tidak setuju dengan pandangan kami
mengenai kebebasan dan keniscayaan dan, terlebih lagi, tidak setuju dengan keberpihakan kami pada
"langkah-langkah ekstrem" yang ditempuh oleh orang-orang yang penuh gairah dan berpendirian.
Kendati demikian, dia setuju dengan apa yang kami tulis di jurnal kami bahwa individu dapat menjadi
kekuatan sosial yang besar. Profesor ini dengan riang mengatakan: "Saya sedari awal sudah
mengatakan ini!" Memang benar, Tn. Kareyev dan semua kaum subjektivis, selalu memberi peran yang
teramat penting kepada individu dalam sejarah. Ada masanya ketika gagasan mereka ini memperoleh
simpati yang cukup besar di antara kaum progresif muda, yang dipenuhi dengan kehendak luhur untuk
bekerja demi kebaikan publik dan, oleh karenanya, sewajarnya cenderung memberikan signifikansi yang
besar pada inisiatif individual. Akan tetapi, pada dasarnya, kaum subjektivis tidak pernah mampu
menyelesaikan, dan bahkan tidak mampu memformulasikan dengan baik, masalah peran individu dalam
sejarah. Mereka mengontraskan "aktivitas oleh individu yang berpikiran kritis" dengan dampak hukum
perkembangan sosio-historis, dan dengan demikian menciptakan sebuah variasi baru teori faktor:
individu yang berpikiran kritis adalah salah satu faktor perkembangan ini, dan hukum perkembangan
sosio-historis adalah faktor lainnya. Ini menciptakan sebuah keganjilan yang begitu mencolok, yang
dapat diterima selama "individu-individu" yang aktif ini memusatkan perhatian mereka pada problem
sehari-hari yang mendesak dan oleh karenanya mereka tidak punya waktu luang untuk merenungkan
problem-problem filsafat. Tetapi masa tenang pada tahun 1880an memberi mereka yang mampu berpikir
waktu luang untuk merenungkan filsafat; semenjak itu, doktrin subjektivis mengalami keretakan di
mana-mana, bahkan luluh lantak seperti mantel Akaky Akakievich[14]. Tidak ada tambalan apapun yang
dapat memperbaikinya, dan satu persatu orang-orang yang mampu berpikir mulai menolak
subjektivisme sebagai doktrin yang jelas-jelas tidak kokoh. Tetapi seperti yang biasa terjadi dalam
kasus seperti ini, reaksi melawan doktrin ini telah membawa beberapa oponen subjektivisme ke kutub
ekstrem lainnya. Sementara beberapa kaum subjektivis, yang berusaha menganugerahi peran yang
paling luas kepada "individu-individu" dalam sejarah, telah menolak mengakui perkembangan historis
umat manusia sebagai proses yang diatur oleh sebuah hukum, beberapa oponen mereka baru-baru ini,
yang telah mencoba memperjelas hukum yang mengatur perkembangan umat manusia, justru siap
melupakan bahwa sejarah dibuat oleh manusia, dan oleh karenanya aktivitas individu jelas signifikan
dalam sejarah. Mereka telah menyatakan, individu adalah kuantitas yang dapat diabaikan. Posisi
ekstrem ini adalah teori yang tidak dapat diterima, sama halnya dengan posisi yang diambil oleh kaum
subjektivis yang lebih fanatik. Bila kita mengorbankan tesis demi anti-tesis, ini tidak berlandasan seperti
halnya kita melupakan anti-tesis demi tesis. Cara pandang yang tepat dapat ditemukan hanya ketika
kita berhasil memadukan unsur-unsur kebenaran yang terkandung di dalam mereka menjadi sebuah
sintesa.[15]

IV
Masalah ini telah menarik perhatian kami untuk waktu yang cukup lama, dan kami telah lama ingin
mengundang para pembaca kami untuk bergabung dengan kami untuk menyelesaikannya. Akan tetapi,
kami terhalangi oleh satu kekhawatiran: tampaknya para pembaca kami telah menyelesaikan masalah
ini dengan sendirinya, dan undangan kami akan terlambat. Kekhawatiran kami sekarang telah terbukti
salah. Para sejarawan Jerman telah menghilangkan kekhawatiran ini untuk kami. Kami cukup serius
dalam mengatakan ini. Belakangan ini ada kontroversi yang cukup hangat yang telah berlangsung di
antara sejarawan Jerman mengenai orang-orang hebat dalam sejarah. Beberapa telah cenderung
menganggap aktivitas politik orang-orang hebat ini sebagai kekuatan pendorong utama – dan bahkan
hampir satu-satunya – dalam perkembangan sejarah. Sementara, sejarawan lainnya telah menekankan
bahwa cara pandang semacam ini berat-sebelah, dan bahwa ilmu sejarah harus mengkaji, tidak hanya
aktivitas orang hebat, dan tidak hanya sejarah politik, tetapi juga totalitas kehidupan sejarah (das
Ganze des geschichtilichen Lebens). Salah satu perwakilan dari tendensi yang belakangan ini adalah
Karl Lamprecht, penulis Sejarah Orang Jerman, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia oleh P.
Nikolayev. Oponen Lamprecht menuduhnya sebagai kaum "kolektivis" dan materialis; dia bahkan dicerca
sebagai "kaum ateis Sosial-Demokratik". Dalam memeriksa pandangan Lamprecht, kami menemukan
bahwa tuduhan-tuduhan yang dilemparkan ke cendekiawan yang malang ini sama sekali tak
berlandasan. Pada saat yang sama, kami menyadari bahwa para sejarawan Jerman hari ini tidak
mampu memecahkan masalah peran individu dalam sejarah. Kami kemudian memutuskan, kami berhak
berasumsi bahwa masalah ini belumlah terpecahkan pula bagi sejumlah pembaca kami di Rusia, dan
bahwa masih ada yang bisa ditulis mengenainya, yang akan memiliki signifikansi teoritis dan praktis.

Lamprecht mengumpulkan pandangan negarawan-negarawan terkemuka mengenai pengaruh


aktivitas mereka dalam sejarah di masa mereka. Dalam polemiknya dia merujuk pada sejumlah pidato
dan opini Bismarck. Dia mengutip kalimat-kalimat berikut ini, yang diutarakan oleh sang Kanselir Besi di
gedung Reichstag Jerman Utara pada 16 April 1869:

"Saudara-saudara, kita tidak dapat mengabaikan sejarah masa lalu atau menciptakan masa depan.
Saya ingin memperingatkan kalian mengenai kekhilafan yang menyebabkan orang memajukan jarum
jam mereka, karena mereka berpikir dengan demikian mereka dapat mempercepat laju waktu.
Pengaruh saya terhadap peristiwa-peristiwa yang menguntungkan saya biasanya dilebih-lebihkan;
tetapi tidak pernah terlintas di pikiran siapapun untuk menuntut saya harus membuat sejarah. Saya
tidak dapat melakukan ini bahkan bersama dengan saudara-saudara sekalian, walaupun bersama-sama
kita dapat berdiri melawan dunia. Kita tidak dapat membuat sejarah; kita harus menunggunya
sementara sejarah dibuat. Kita tidak akan membuat buah menjadi matang dengan meletakkannya di
bawah panas lampu; dan bila kita memetik buah itu sebelum matang kita hanya akan mencegah
pertumbuhannya dan merusaknya." Berdasarkan testimoni Joly, Lamprecht juga mengutip pendapat-
pendapat yang sering diutarakan oleh Bismarck selama peperangan Franco-Prusia. Lagi, gagasan
utamanya adalah "kita tidak dapat menciptakan peristiwa-peristiwa besar bersejarah, tetapi harus
mengadaptasi diri kita pada alur alami peristiwa dan membatasi diri kita untuk mengamankan apa yang
sudah matang." Lamprecht menganggap ini sebagai kebenaran yang mendalam dan sempurna. Menurut
pendapatnya, seorang sejarawan modern harus berpikir seperti itu, dengan syarat dia mampu
meneropong ke kedalaman peristiwa-peristiwa dan tidak membatasi lingkup pandangnya pada rentang
waktu yang terlalu pendek. Dapatkah Bismarck membawa Jerman kembali ke perekonomian primitif[16]?
Dia tidak mungkin bisa melakukan ini, bahkan di puncak kekuasaannya. Kondisi sejarah secara
keseluruhan lebih kuat daripada individu-individu yang paling berkuasa sekali pun. Bagi seorang tokoh
besar, watak umum eposnya adalah "sebuah keniscayaan empiris".
Demikianlah cara Lamprecht bernalar, dan dia menyebut konsepnya universal. Sisi lemah konsep
"universal" ini dapat dengan mudah kita temui. Pendapat Bismarck yang dia kutip sangatlah menarik
sebagai catatan psikologis. Kita bisa saja tidak bersimpati dengan tindakan-tindakan almarhum Kanselir
Jerman ini, tetapi kita tidak dapat mengatakan bahwa mereka tidaklah signifikan, bahwa Bismarck
dijangkit oleh "quietisme". Ketika Lassalle mengatakan ini, dia berbicara mengenai Bismarck: "Para
pelayan reaksi bukanlah orator; tetapi Tuhan menitahkan agar progres memiliki pelayan-pelayan seperti
mereka." Dan manusia ini, yang pada saat-saat tertentu menunjukkan energi yang sungguh luar biasa,
menganggap dirinya tidak berdaya di tengah alur alami peristiwa, dan menganggap dirinya semata
instrumen perkembangan sejarah; ini membuktikan sekali lagi bahwa seseorang bisa meyakini
keniscayaan fenomena dan pada saat yang sama menjadi seorang negarawan yang sangat energetik.
Tetapi hanya dalam pengertian ini pendapat Bismarck adalah menarik; ini tidak bisa dianggap sebagai
solusi bagi masalah peran individu dalam sejarah. Menurut Bismarck, peristiwa-peristiwa terjadi dengan
sendirinya, dan kita hanya dapat memetik apa yang telah mereka persiapkan. Tetapi setiap tindakan
"memetik" adalah juga sebuah peristiwa sejarah. Apa perbedaan antara peristiwa-peristiwa semacam
ini dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dengan sendirinya? Pada kenyataannya, hampir semua
peristiwa sejarah adalah secara simultan tindakan "memetik" buah yang sudah matang dari
perkembangan sebelumnya, dan sebuah tautan dalam rantaian peristiwa-peristiwa yang
mempersiapkan buah-buah masa depan. Mengapa tindakan "memetik" dipertentangkan dengan alur
alami peristiwa? Apa yang Bismarck ingin katakan adalah bahwa individu atau sekelompok individu yang
bertindak dalam sejarah tidak pernah dan tidak akan pernah bisa menjadi kekuatan yang maha-kuasa.
Ini tentu saja tidak diragukan sama sekali. Namun, kita ingin tahu kekuatan mereka – yang tentu saja
jauh dari maha-kuasa – tergantung pada apa; di bawah kondisi seperti apa kekuatan ini tumbuh, dan di
bawah kondisi seperti apa ia melemah. Bismarck dan para pendukung konsepsi sejarah "universal" yang
mengutipnya tidak menjawab pertanyaan ini.

Benar, Lamprecht menyediakan kutipan-kutipan lainnya yang lebih bisa dipahami.[17] Contohnya, dia
mengutip Monod, salah seorang perwakilan ternama ilmu sejarah kontemporer di Prancis: "Sejarawan
terlalu terbiasa menaruh perhatian hanya pada manifestasi aktivitas manusia yang brilian, megah, dan
fana, pada peristiwa-peristiwa besar dan orang-orang hebat, daripada mengkaji pergerakan institusi
dan kondisi ekonomi dan sosial yang pelan dan besar, yang merupakan bagian dari perkembangan umat
manusia yang sesungguhnya menarik – bagian yang dapat dianalisis dengan cukup akurat, dan, pada
tingkatan tertentu, dapat direduksi menjadi hukum. Di atas segalanya, peristiwa-peristiwa dan individu-
individu yang sungguh penting adalah tanda dan simbol berbagai momen perkembangan ini. Kebanyakan
peristiwa yang disebut historis adalah seperti ombak yang bangkit ke permukaan laut, berkilau untuk
sesaat karena terik matahari, dan pecah di pantai yang berpasir, tidak meninggalkan jejak di
belakangnya; sementara, sejarah yang sesungguhnya adalah gerak pasang laut yang dalam dan ajek;
demikianlah relasi mereka." Lamprecht menyatakan, dia siap mendukung setiap kata dalam kutipan
Monod. Semua orang tahu, kaum intelektual Jerman biasanya enggan setuju dengan kaum intelektual
Jerman, dan begitu juga sebaliknya. Inilah mengapa sejarawan Belgia Pirenne sangat senang untuk
menekankan, di Revue Historique, bahwa konsepsi sejarah Monod bersesuaian dengan Lamprecht.
"Kesepakatan ini sangatlah signifikan," ujarnya. "Ini tampaknya membuktikan bahwa masa depan adalah
milik konsepsi sejarah yang baru ini."
V
Kami tidak sepakat dengan harapan Pirenne ini. Masa depan tidak bisa menjadi milik pandangan
yang kabur dan tidak pasti; dan begitulah pandangan Monod dan terutama Lamprecht. Tentu saja, kami
menyambut dengan hangat sebuah aliran yang menyatakan bahwa tugas ilmu sejarah yang paling
penting adalah mempelajari institusi-institusi sosial dan kondisi-kondisi ekonomi. Ilmu sejarah akan
mengambil langkah maju yang besar bila aliran seperti ini menjadi terpancang kokoh. Akan tetapi,
kesalahan pertama Pirenne adalah menganggapnya sebagai sebuah aliran yang baru. Aliran ini muncul
dalam ilmu sejarah sejauh tahun 20an pada abad ke-19: Guizot, Mignet, Augustin Thierry dan lalu
Tocqueville dan beberapa lainnya adalah penyokong besar dan konsisten aliran ini. Pandangan Monod
dan Lamprecht hanyalah salinan kabur dari yang orisinal, yang walaupun tua tetapi luar biasa. Kedua,
walaupun pandangan Guizot, Mignet, dan sejarawan Prancis lainnya sangatlah dalam untuk jaman
mereka, banyak pandangan mereka yang masih belum terurai. Mereka tidak menyediakan solusi yang
penuh dan seksama bagi masalah peran individu dalam sejarah. Ilmu sejarah harus menyediakan solusi
itu bila para perwakilannya hendak menyingkirkan konsep yang berat sebelah dari subjek ini. Masa
depan adalah milik mazhab yang dapat menghasilkan solusi terbaik bagi masalah ini.

Pandangan Guizot, Mignet, dan sejarawan lainnya yang merupakan bagian dari aliran ini adalah
reaksi terhadap konsep sejarah yang mendominasi abad ke-18, dan pandangan mereka adalah anti-
tesisnya. Pada abad ke-18, para ahli filsafat sejarah mereduksi semua hal ke aktivitas sadar individu.
Benar, ada pengecualian bahkan pada saat itu: filosofi-historis Vico, Montesquieu dan Herder, misalnya,
memiliki wawasan yang lebih luas. Tetapi kita tidak berbicara mengenai pengecualian; mayoritas besar
pemikir abad ke-18 bersandar pada aktivitas sadar individu. Sehubungan dengan ini, sangat menarik
untuk membaca ulang karya-karya sejarah Mably. Menurut Mably, Minos[18] menciptakan seluruh
kehidupan sosial dan politik dan etik bangsa Crete, sementara Lycurgus[19] melakukan hal yang sama
untuk Sparta. Bila bangsa Sparta "menolak" kekayaan material, ini sepenuhnya disebabkan oleh
Lycurgus, yang "merasuki kedalaman sukma warganya, di mana dia menghancurkan benih ketamakan"
(descendit pour ainsi dire jusque dans le fond du coeur des citoyens, etc.).[20] Dan bila,
selanjutnya, bangsa Sparta berpaling dari jalan yang telah ditunjukkan oleh Lycurgus yang bijak, ini
disebabkan oleh Lysander[21], yang membujuk mereka bahwa "jaman baru dan kondisi baru membutuhkan
seorang genius baru dan kebijakan baru".[22] Penelitian-penelitian yang ditulis dari sudut pandang seperti
ini tidak ada kaitannya dengan sains, dan ditulis sebagai khotbah semata-mata demi "pedoman" moral
yang terkandung di dalamnya. Melawan konsepsi seperti inilah para sejarawan Prancis periode
Restorasi Bourbon[23] memberontak. Setelah peristiwa-peristiwa besar pada akhir abad ke-18 [Revolusi
Prancis 1789], menjadi sepenuhnya mustahil untuk berpikir bahwa sejarah dibuat oleh tokoh-tokoh besar
yang luhur dan bijaksana, yang, seturut kehendak mereka sendiri, mengilhami massa yang bodoh dan
penurut dengan sentimen dan ide tertentu. Terlebih lagi, filsafat sejarah ini menyinggung kebanggaan
plebeian [kerakyatan] para teoretikus borjuis. Mereka didorong oleh perasaan yang sama yang telah
menemukan ekspresinya pada abad ke-18 selama kebangkitan drama borjuasi. Dalam memerangi
konsepsi sejarah yang lama, Thierry menggunakan argumen yang sama yang dikedepankan oleh
Beaumarchais dan yang lainnya dalam melawan nilai-nilai estetik yang lama.[24] Terakhir, badai yang
baru saja dialami Prancis secara jelas mengungkapkan bahwa alur peristiwa sejarah tidak ditentukan
semata-mata oleh tindakan sadar manusia; situasi ini sendiri saja cukup untuk mendorong kemunculan
gagasan bahwa peristiwa-peristiwa ini disebabkan oleh pengaruh semacam keniscayaan yang
tersembunyi, yang beroperasi secara liar seperti kekuatan Alam, secara buta tetapi sesuai dengan
hukum-hukum dasar tertentu.

Sungguh luar biasa bagaimana sejarawan Prancis periode Restorasi menerapkan secara konsisten
konsepsi sejarah sebagai proses yang diatur oleh hukum dalam karya-karya mereka mengenai Revolusi
Prancis. Sepanjang kami ketahui, tak seorang pun yang mengetahuinya sampai hari ini. Misalnya, dalam
karya Mignet dan Thiers. Chateaubriand menyebut mazhab sejarah baru ini fatalis. Dalam merumuskan
tugas para peneliti sejarah, dia mengatakan: "Dalam sistem ini, sejarawan harus menceritakan
kejahatan yang paling keji tanpa perasaan murka, dan berbicara mengenai kebajikan yang paling luhur
tanpa perasaan cinta; dia harus, dengan mata yang dingin beku, melihat masyarakat hanya sebagai
sesuatu yang tunduk pada hukum-hukum tertentu yang tak terelakkan, yang menyebabkan terjadinya
setiap fenomena sebagaimana seharusnya."[25] Tentu saja ini keliru. Mazhab sejarah yang baru ini sama
sekali tidak menuntut sejarawan harus menjadi dingin. Augustin Thierry bahkan mengatakan dengan
cukup terbuka bahwa gairah politik, yang menajamkan pikiran sang peneliti, dapat menjadi instrumen
yang kuat dalam menemukan kebenaran.[26] Bahkan bila kita membaca sekilas saja karya-karya sejarah
Guizot, Thierry atau Mignet, kita akan saksikan bagaimana mereka sangat bersimpati pada kaum
borjuasi dalam perjuangannya melawan aristokrasi, dan pada usahanya untuk meredam tuntutan-
tuntutan dari kaum proletar yang baru muncul. Yang tidak bisa disangkal adalah ini: mazhab sejarah
yang baru ini muncul pada tahun 20an abad ke-19, yakni ketika kaum borjuasi sudah mengalahkan
aristokrasi, walaupun yang belakangan ini masih berusaha memenangkan kembali privilese lama
mereka. Rasa bangga akan kemenangan kelas mereka tercerminkan dalam semua esai para sejarawan
mazhab baru ini. Dan karena kaum borjuasi tidak pernah dikenal ksatria, kita kadang-kadang dapat
menemukan para perwakilan intelektualnya bersikap agak bengis terhadap pihak yang kalah. "Le plus
fort absorbe le plus faible,", kata Guizot, di salah satu pamflet polemiknya, "et il est de droit." [Yang
terkuat memangsa yang lebih lemah; dia berhak melakukan ini]. Dia juga bersikap sama bengisnya pada
kelas pekerja. Kebengisan inilah, yang kadang-kadang mengambil bentuk sikap dingin yang tenang,
yang menyesatkan Chateaubriand. Terlebih lagi, pada saat itu belumlah terlalu jelas bagaimana
kemajuan sejarah itu diatur oleh hukum-hukum tertentu. Terakhir, mazhab sejarah yang baru ini
mungkin tampak fatalis karena, dalam usahanya untuk mengadopsi sudut pandang ini, mazhab ini
menaruh perhatian kecil pada sejarah orang-orang hebat.[27] Mereka yang dibesarkan dengan ide-ide
historis abad ke-18 merasa kesulitan untuk menerima ini. Keberatan-keberatan terhadap cara pandang
para sejarawan baru ini tumpah membanjiri dari berbagai sisi; kemudian muncullah polemik yang,
seperti yang telah kita lihat, belum tuntas sampai hari ini.

Pada Januari 1826, dalam ulasannya di Le Globe mengenai jilid ke lima dan enam Histoire de la
Révolution française karya Mignet, Sainte-Beuve menulis:"Pada satu momen tertentu, disebabkan oleh
keputusan tiba-tiba kehendak manusia, seorang dapat memperkenalkan ke dalam alur peristiwa sebuah
kekuatan yang baru, tidak terduga, dan dapat berubah, yang dapat mengubah alur tersebut, tetapi yang
sendirinya tidak dapat diukur karena karakternya yang dapat berubah."

Jangan mengira Sainte-Beuve percaya bahwa "keputusan tiba-tiba" kehendak manusia terjadi tanpa
sebab-musabab. Tidak, ini akan terlalu naif. Dia hanya menyatakan bahwa kualitas mental dan moral
seorang manusia yang memainkan peran yang kurang lebih penting dalam kehidupan publik –
talentanya, pengetahuannya, keteguhan dan keragu-raguannya, keberanian dan kepengecutannya, dst.
– mesti memiliki pengaruh yang kentara terhadap alur peristiwa dan hasilnya; namun kualitas-kualitas
ini tidak dapat dijelaskan semata oleh hukum umum perkembangan bangsa; mereka selalu, dan sampai
pada tingkatan yang cukup signifikan, berkembang di bawah pengaruh apa-yang-dapat-disebut
kebetulan dalam kehidupan pribadi manusia. Kami akan mengutip beberapa contoh untuk menjelaskan
gagasan ini, yang menurut saya cukup jelas.

Selama Peperangan Suksesi Austria[28], pasukan Prancis meraih sejumlah kemenangan brilian dan
tampaknya Prancis ada di posisi untuk memaksa Austria menyerahkan wilayah yang cukup luas di lokasi
yang hari ini dikenal dengan nama Belgia; tetapi Louis XV[29] tidak mengklaim wilayah ini karena, seperti
yang dia katakan, dia bertempur sebagai seorang raja dan bukan sebagai seorang pedagang, walhasil
Prancis tidak mendapatkan apa-apa dari Pakta Perdamaian Aix-la-Chapelle[30]. Bila saja Louis XV
adalah seorang dengan kepribadian yang berbeda, atau ada raja lain yang menempati takhtanya,
wilayah Prancis sudah tentu akan menjadi lebih luas dan, sebagai akibatnya, perkembangan ekonomi
dan politiknya akan mengambil jalan yang berbeda.

Seperti yang kita ketahui, Prancis mengobarkan Perang Tujuh Tahun[31] dengan beraliansi dengan
Austria; kabarnya, aliansi ini terbentuk berkat bantuan besar Madame de Pompadour, selir utama Louis
XV, yang sangat tersanjung oleh sepucuk surat dari Maria-Theresa, Ratu Austria, yang memanggilnya
"sepupu" atau "teman baik" (bien bonne amie). Maka dari itu, kita dapat mengatakan, bila saja Louis XV
adalah seorang yang lebih berakhlak, atau kalau dia tidak mudah terpengaruh oleh selir-selirnya, maka
Madame de Pompadour tidak akan memiliki pengaruh yang begitu besar terhadap jalannya peristiwa,
yang akan mengambil jalan yang berbeda.

Terlebih lagi, Prancis kalah dalam Perang Tujuh Tahun; jenderal-jenderalnya menderita sejumlah
kekalahan yang memalukan. Secara umum, tingkah laku mereka sangatlah aneh. Richelieu melakukan
penjarahan, sementara Soubise dan Broglie terus-menerus saling menjegal. Misalnya, ketika Broglie
sedang menyerang musuh di Villinghausen, Soubise mendengar suara meriam tetapi tidak menolong
kawannya seperti yang sudah direncanakan, dan seperti yang seharusnya dia lakukan. Sebagai
konsekuensinya, Broglie terpaksa mundur.[32] Soubise yang sangat tidak kompeten ini dilindungi oleh
Madame de Pompadour. Kita dapat mengatakan sekali lagi, bila saja Louis XV bukan orang yang suka
berpesta-pora, dan mampu menahan selir-selirnya ikut campur politik, alur peristiwa tidak akan begitu
buruk bagi Prancis.

Para sejarawan Prancis mengatakan bahwa tidak ada gunanya sama sekali bagi Prancis untuk
mengobarkan perang di benua Eropa; Prancis seharusnya memusatkan seluruh kekuatannya di laut
untuk mempertahankan koloni-koloninya dari serangan Inggris. Prancis tidak bertindak seperti ini adalah
karena Madame de Pompadour, yang ingin memuaskan "teman baiknya" Maria Theresa. Sebagai akibat
dari Perang Tujuh Tahun, Prancis kehilangan koloni-koloni terbaiknya, yang jelas sangat mempengaruhi
perkembangan relasi ekonominya. Dalam kasus ini, keangkuhan feminin tampak berperan sebagai
"faktor" berpengaruh dalam perkembangan ekonomi.
Apakah kita butuh contoh-contoh lainnya? Kami akan mengutip satu lagi, mungkin yang paling
mengejutkan. Selama Perang Tujuh Tahun ini, pada bulan Agustus 1761, pasukan Austria, setelah
bergabung dengan pasukan Rusia di Silesia, mengepung Frederick [Prusia] di dekat Striegau. Frederick
ada dalam posisi yang sulit, tetapi pasukan Austria-Rusia lambat dalam menyerang, dan, setelah dua
puluh hari berpangku tangan, Jenderal Buturlin [Rusia] menarik mundur pasukannya dari Silesia, dan
menyisakan hanya sebagian kecil pasukannya untuk menyokong Jenderal Laudon dari Austria. Laudon
merebut Schweidnitz, namun kemenangan ini tidak penting. Tetapi, kalau saja Buturlin lebih
berpendirian? Kalau saja pasukan Austria-Rusia menyerang Frederick sebelum dia memiliki waktu untuk
mempertahankan dirinya? Mereka akan dapat mengalahkan Frederick, dan dia akan terpaksa
memenuhi semua tuntutan dari pihak pemenang. Dan ini terjadi hanya beberapa bulan sebelum satu
peristiwa lainnya, yaitu kematian Ratu Elizabeth dari Rusia, yang segera mengubah situasi yang
memberikan keuntungan bagi Frederick.[33] Seorang bisa bertanya: apa yang akan terjadi bila saja
Buturlin lebih berpendirian, atau bila orang seperti Suvorov menggantikan tempatnya?

Dalam memeriksa pandangan para sejarawan "fatalis" ini, Sainte-Beuve mengemukakan


pertimbangan lainnya yang juga patut diperhatikan. Dalam ulasannya terhadap karya Mignet Histoire
de la Révolution française yang kita sebut di atas, dia berpendapat bahwa alur dan hasil Revolusi
Prancis ditentukan, tidak hanya oleh sebab-sebab umum yang menyebabkan Revolusi ini, dan tidak
hanya oleh gairah-gairah yang menyusul Revolusi ini, tetapi juga oleh banyak fenomena-fenomena kecil
yang luput dari perhatian para peneliti dan yang bahkan bukan bagian dari fenomena-fenomena sosial
lazimnya. Dia menulis: "Sementara sebab-sebab (umum) ini dan gairah-gairah (yang dibangkitkan oleh
sebab-sebab umum ini) beroperasi, kekuatan-kekuatan fisik dan psikologi Alam tidaklah berhenti: batu
tetap mematuhi hukum gravitasi; darah tidak berhenti bersirkulasi di pembuluh darah. Tidakkah alur
peristiwa akan berubah bila saja Mirabeau[34], katakanlah, tidak meninggal karena demam; bila
Robespierre[35] mati karena kecelakaan tertimpa batu bata atau karena pendarahan otak; atau bila
Bonaparte[36] mati tertembus peluru? Dan apakah Anda berani menyatakan bahwa hasil peristiwa
[Revolusi Prancis] akan sama? Dengan cukup banyak kecelakaan seperti ini, hasil akhir Revolusi Prancis
mungkin akan berkebalikan dari apa yang menurut pendapatmu adalah tak terelakkan. Saya berhak
mengasumsikan terjadinya kecelakaan-kecelakaan seperti itu karena mereka tidak dicegah oleh
sebab-sebab umum Revolusi maupun gairah-gairah yang dibangkitkan oleh sebab-sebab umum tersebut."
Kemudian dia mengutip sebuah observasi yang diketahui banyak orang, bahwa sejarah akan mengambil
jalan yang sepenuhnya berbeda bila saja hidung Kleopatra sedikit lebih pesek; kesimpulannya,
sementara dia mengakui ada lebih banyak yang bisa dikatakan untuk membela pandangan Mignet, dia
sekali lagi menunjukkan letak kekeliruan Mignet. Mignet menganggap sebab-sebab umum sebagai satu-
satunya faktor yang menentukan alur peristiwa, tetapi sesungguhnya ada banyak sebab lainnya yang
minor, tersembunyi, dan elusif yang mempengaruhi alur peristiwa; logikanya yang kaku tampaknya
menolak mengakui keberadaan sesuatu yang baginya acak dan tidak mematuhi hukum.

VI
Apakah keberatan Sainte-Beuve berlandasan? Saya pikir keberatannya mengandung sejumlah
kebenaran. Tetapi seberapa besar? Untuk menentukan ini, kita akan pertama-tama memeriksa gagasan
bahwa seorang manusia dapat "dengan keputusan tiba-tiba kehendaknya" memperkenalkan sebuah
kekuatan yang baru ke dalam alur peristiwa, yang dapat mengubah alur peristiwa dengan cukup besar.
Kami telah mengutip sejumlah contoh, yang kami pikir menjelaskan ini dengan sangat baik. Mari kita
pertimbangkan contoh-contoh ini.

Semua orang tahu bahwa selama kekuasaan Louis XV organisasi militer Prancis berangsur-angsur
memburuk. Seperti yang diamati oleh Henri Martin, selama Perang Tujuh Tahun, pasukan Prancis, yang
selalu memiliki banyak pelacur, pedagang dan pembantu di keretanya, dan yang memiliki kuda
pengangkut barang tiga kali lebih banyak daripada kuda pelana, lebih mirip dengan pasukan Darius dan
Xerxes ketimbang pasukan Turenne dan Gustavus-Adolphus.[37] Dalam buku sejarahnya mengenai
perang ini, Archenholtz mengatakan bahwa tentara Prancis, ketika ditugaskan untuk menjaga, sering
meninggalkan pos mereka untuk berdansa di bar terdekat, dan mematuhi perintah atasan mereka
sesuka hati mereka. Kondisi angkatan bersenjata yang menyedihkan ini disebabkan oleh kemerosotan
kelas aristokrasi yang, walaupun begitu, terus menduduki posisi-posisi penting dalam angkatan
bersenjata, dan juga disebabkan oleh kemunduran umum "ancien régime" [rejim feodal Prancis di bawah
monarki Bourbon 1589-1789] yang tengah meluncur dengan cepat ke jurang kehancuran. Sebab-sebab
umum ini sendiri saja sudah cukup untuk membuat Prancis kalah dalam Perang Tujuh Tahun. Tetapi tak
diragukan bahwa ketidakcakapan jenderal-jenderal seperti Soubise melipatgandakan kemungkinan
kekalahan pasukan Prancis, sebuah kekalahan yang sudah dipersiapkan oleh sebab-sebab umum.
Soubise tetap mempertahankan jabatannya berkat pengaruh Madame de Pompadour, dan dengan
begitu kita harus memperhitungkan Madame de Pompadour yang angkuh itu sebagai salah satu "faktor"
yang secara signifikan memperkuat pengaruh negatif dari sebab-sebab umum (terhadap Prancis)
selama Perang Tujuh Tahun.

Madame de Pompadour pengaruhnya kuat, bukan karena kekuatannya sendiri, tetapi karena
kekuasaan Raja Louis XV yang berada di bawah pengaruh kehendaknya. Dapatkah kita katakan bahwa
kepribadian Louis XV adalah satu hal yang niscaya dalam alur umum relasi-relasi sosial di Prancis?
Tidak, dalam alur perkembangan yang sama, kedudukannya bisa saja ditempati oleh seorang raja yang
memiliki sikap yang berbeda terhadap perempuan. Sainte-Beuve akan mengatakan, sebab-sebab
fisiologis yang mendalam dan elusif cukup untuk mempengaruhi alur peristiwa. Dan dia akan benar. Bila
demikian, maka kesimpulan yang mengalir adalah sebagai berikut: dengan mempengaruhi progres dan
hasil Perang Tujuh Tahun, kekuatan fisiologis yang mendalam ini juga mempengaruhi perkembangan
Prancis selanjutnya, yang akan berbeda bila saja Prancis tidak kehilangan sebagian besar koloni-
koloninya selama Perang Tujuh Tahun. Apakah kesimpulan ini bertentangan dengan konsepsi bahwa
perkembangan sosial berjalan seturut pola yang diatur oleh hukum?

Tidak, sama sekali tidak. Walaupun pengaruh kualitas personal dalam alur peristiwa jelas tidak bisa
disangkal, pengaruh ini jelas hanya bisa efektif dalam kondisi-kondisi sosial tertentu. Setelah
Pertempuran Rossbach, seluruh masyarakat Prancis menjadi sangat marah dengan sang pelindung
Soubise. Setiap hari Madame de Pompadour menerima banyak surat kaleng yang penuh dengan
ancaman dan sumpah-serapah. Ini sangat mengganggu Madame de Pompadour: dia mulai menderita
insomnia.[38] Walaupun begitu, dia tetap melindungi Soubise. Pada 1762, dia mengatakan dalam suratnya
kepada Soubise bahwa dia tidak memenuhi harapan yang telah ditempatkan padanya, tetapi dia
menambahkan: "Namun jangan takut, saya akan menjaga kepentinganmu dan mencoba memperbaiki
hubunganmu dengan sang Raja."[39] Seperti yang Anda lihat, dia tidak tunduk pada opini publik. Mengapa
dia tidak tunduk? Mungkin karena masyarakat Prancis pada saat itu tidak mampu memaksanya
tunduk. Tetapi mengapa masyarakat Prancis pada saat itu tidak mampu melakukan ini? Ini karena
struktur masyarakat Prancis, yang pada gilirannya ditentukan oleh relasi kekuatan-kekuatan sosial di
Prancis pada saat itu. Maka dari itu, pada analisa terakhir, relasi kekuatan-kekuatan sosial-lah yang
menjelaskan kenyataan bahwa kepribadian Louis XV dan tindakan semena-mena selirnya dapat
memiliki pengaruh yang begitu buruk pada nasib Prancis. Bila saja bukan sang Raja yang memiliki
kelemahan pada perempuan, tetapi juru masak raja atau penjaga kandang kuda raja, ini tidak akan
memiliki signifikansi sejarah apapun. Jelas, yang jadi akar permasalahan bukanlah kelemahan personal
ini atau itu, tetapi posisi sosial yang diduduki oleh orang yang menderita kelemahan tersebut. Para
pembaca akan mengerti bahwa argumen ini berlaku untuk semua contoh yang disebut di atas. Kita
hanya perlu mengganti apa yang perlu diganti, misalnya, Prancis menjadi Rusia, Soubise menjadi
Buturlin, dan seterusnya. Inilah mengapa kami tidak akan mengulangi contoh-contoh ini.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa individu dapat mempengaruhi nasib masyarakat lewat
ciri-ciri kepribadian mereka. Pengaruh kepribadian ini terkadang sangatlah besar, tetapi kemungkinan
untuk menggunakan pengaruh ini, serta cakupannya, ditentukan oleh struktur masyarakat dan relasi
kekuatan-kekuatan di dalamnya. Kepribadian individu menjadi sebuah "faktor" dalam perkembangan
sosial hanya pada waktu, tepat, dan cakupan yang diizinkan oleh relasi-relasi sosial.

Kita mungkin diberitahu, besarnya pengaruh personal juga ditentukan oleh talenta sang individu. Kami
setuju, tetapi sang individu hanya dapat mempertunjukkan talentanya bila dia menduduki posisi yang
sepatutnya dalam masyarakat. Mengapa nasib Prancis ada di tangan seorang manusia yang benar-
benar tidak punya kemampuan dan hasrat untuk melayani masyarakat? Karena begitulah struktur
masyarakat itu pada saat itu. Dalam periode tertentu, yang menentukan peran individu yang bertalenta
atau tidak kompeten adalah struktur masyarakat, yang pada gilirannya akan menentukan signifikansi
sosial individu-individu tersebut.

Tetapi bila peran individu ditentukan oleh struktur masyarakat, bagaimana pengaruh sosial mereka,
yang ditentukan oleh peran yang mereka mainkan, dapat berkontradiksi dengan konsepsi
perkembangan sosial yang diatur oleh hukum? Ini tidak berkontradiksi; sebaliknya, ini adalah salah satu
ilustrasinya yang paling nyata.

Namun di sini kita harus mencermati hal berikut ini. Struktur masyarakat menentukan kemungkinan
pengaruh sosial seorang individu, dan ini membuka pintu ke pengaruh apa-yang-disebut kebetulan dalam
nasib sejarah bangsa-bangsa. Sifat mata keranjang Louis XV adalah konsekuensi tak terelakkan dari
bangunan jasmaninya, tetapi sehubungan dengan alur umum perkembangan Prancis bangunan
jasmaninya adalah kebetulan. Walaupun demikian, seperti yang telah kami katakan, ini mempengaruhi
nasib Prancis dan merupakan salah satu sebab yang menentukan nasib tersebut. Kematian Mirabeau,
tentu saja, sepenuhnya disebabkan oleh proses patologi yang mematuhi hukum-hukum tertentu. Namun,
keniscayaan proses patologi ini tidak timbul dari alur umum perkembangan Prancis, tetapi dari sejumlah
fitur jasmani sang orator terkenal ini dan dari kondisi fisik yang disebabkan oleh penyakit yang dia
derita.[40] Dalam hubungannya dengan alur umum perkembangan Prancis, fitur dan kondisi tersebut
adalah kebetulan. Meskipun begitu, kematian Mirabeau mempengaruhi alur Revolusi selanjutnya dan
menjadi salah satu sebab yang menentukannya.

Yang lebih menakjubkan lagi adalah pengaruh sebab-sebab kebetulan dalam kasus Frederick II yang
kami sebut di atas, yang berhasil membebaskan dirinya dari sebuah situasi yang sangat sulit hanya
karena kebimbangan Buturlin. Bahkan sehubungan dengan alur umum perkembangan Rusia, ditunjuknya
Buturlin sebagai komandan Perang Tujuh Tahun mungkin saja kebetulan, dalam artian yang telah kita
definisikan di atas, dan, tentu saja, ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan alur umum
perkembangan Prusia. Namun tidaklah mustahil kalau kebimbangan Buturlin menyelamatkan Frederick
dari sebuah situasi yang sulit. Bila saja Suvorov menggantikan Buturlin, sejarah Prusia mungkin akan
mengambil jalan yang berbeda. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nasib bangsa kadang-
kadang dapat tergantung pada kebetulan yang dapat disebut kebetulan tingkatan kedua.

"In allem Endlichen ist ein Element des Zufälligen," kata Hegel (Dalam segala sesuatu yang terbatas
(finite) terkandung unsur kebetulan). Dalam sains kita hanya berurusan dengan sesuatu yang "finite";
maka dari itu kita dapat mengatakan bahwa semua proses yang dipelajari oleh sains mengandung unsur
kebetulan. Apa ini berarti sains tidak memiliki kemampuan untuk memahami fenomena? Tidak. Kebetulan
adalah sesuatu yang relatif. Ia hanya muncul di titik persimpangan proses-proses yang tak
terelakkan. Bagi penduduk pribumi Meksiko dan Peru, kemunculan orang-orang Eropa di benua Amerika
adalah kebetulan dalam pengertian bahwa ini tidak mengalir dari perkembangan sosial Meksiko dan
Peru. Tetapi dorongan mengarungi samudera yang dimiliki oleh orang-orang Eropa Barat pada akhir
Zaman Pertengahan bukanlah kebetulan; begitu juga kenyataan bahwa kekuatan Eropa begitu mudah
mematahkan perlawanan penduduk pribumi Amerika. Konsekuensi-konsekuensi yang mengalir dari
penjajahan Eropa terhadap Meksiko dan Peru juga bukanlah kebetulan; dalam analisa terakhir,
konsekuensi-konsekuensi ini ditentukan oleh hasil dari dua kekuatan: kondisi ekonomi bangsa yang
ditaklukkan di satu sisi, dan kondisi ekonomi bangsa penakluk di sisi lainnya. Seperti hasilnya, kekuatan-
kekuatan ini dapat menjadi objek penelitian ilmiah yang mendalam.

Kebetulan-kebetulan dalam Perang Tujuh Tahun berpengaruh cukup besar terhadap sejarah Prusia
selanjutnya. Tetapi pengaruh mereka akan sepenuhnya berbeda bila mereka terjadi pada tahapan
perkembangan Prusia yang lain. Di sini juga, konsekuensi-konsekuensi yang mengalir dari kebetulan-
kebetulan ini ditentukan oleh hasil dari dua kekuatan: kondisi sosio-politik Prusia di satu sisi, dan kondisi
sosio-politik negara-negara Eropa yang mempengaruhinya di sisi lain. Maka dari itu, di sini juga,
kebetulan tidak mencegah sama sekali penelitian ilmiah terhadap fenomena.

Kita sekarang tahu bahwa individu sering kali memiliki pengaruh yang besar terhadap nasib
masyarakat; namun pengaruh ini ditentukan oleh struktur internal masyarakat tersebut dan oleh
hubungannya dengan masyarakat-masyarakat lain. Tetapi ini bukan satu-satunya sudut pandang
mengenai peran individu dalam sejarah. Kita harus mendekati masalah ini dari sudut pandang yang lain
juga.

Sainte-Beuve meyakini, bila saja ada sebab-sebab minor dan tersembunyi dengan jumlah yang cukup
banyak, hasil Revolusi Prancis akan berkebalikan dari apa yang kita ketahui sekarang. Ini sangatlah
keliru. Tidak peduli sekompleks apapun sebab-sebab psikologis dan fisiologis minor tersebut, mereka
tidak akan bisa menyingkirkan kebutuhan-kebutuhan sosial besar yang melahirkan Revolusi Prancis;
selama kebutuhan-kebutuhan sosial tersebut belum terpenuhi, gerakan revolusioner di Prancis akan
terus bergulir. Untuk menjungkirbalikkan hasil gerakan ini, kebutuhan-kebutuhan yang menyebabkan
gerakan ini haruslah digantikan dengan yang lainnya, yakni dengan kebutuhan-kebutuhan yang juga
berkebalikan darinya; dan ini, tentu saja, tidak akan pernah bisa dilakukan oleh kombinasi sebab-sebab
minor apapun.

Penyebab Revolusi Prancis ditemukan dalam watak relasi-relasi sosial di Prancis; dan sebab-sebab
minor yang diasumsikan oleh Sainte-Beuve hanya dapat ditemukan dalam kualitas-kualitas personal
individu. Penyebab fundamental relasi-relasi sosial terletak dalam kondisi kekuatan produksi. Kondisi
kekuatan produksi ini bergantung pada kualitas-kualitas individu mungkin hanya dalam pengertian bahwa
individu-individu ini memiliki semacam talenta untuk membuat perbaikan teknik dan penemuan. Bukan
kualitas semacam ini yang dimaksud oleh Sainte-Beuve. Namun, tidak ada kualitas lain yang dapat
memungkinkan individu untuk secara langsung mempengaruhi kondisi kekuatan produksi, dan oleh
karenanya, relasi-relasi sosial yang ditentukannya, yakni relasi-relasi ekonomi. Apapun kualitas yang
dimiliki individu tertentu, dia tidak akan bisa menghapus relasi-relasi ekonomi tertentu bila relasi-relasi
tersebut bersesuaian dengan tingkatan kekuatan produksi tertentu. Tetapi kualitas personal individu
membuat mereka kurang lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial yang muncul dari
relasi-relasi ekonomi tertentu, atau untuk menghalangi pemenuhan tersebut. Kebutuhan sosial yang
mendesak di Prancis pada akhir abad ke-18 adalah menggantikan institusi politik yang sudah usang
dengan institusi baru yang akan lebih sesuai dengan struktur ekonominya yang baru. Tokoh-tokoh
ternama yang paling terkemuka dan berguna pada periode itu adalah mereka yang lebih mampu
daripada yang lainnya dalam membantu memenuhi kebutuhan yang paling urgen ini. Mari berasumsi
bahwa Mirabeau, Robespierre, dan Napoleon adalah orang-orang semacam itu. Apa yang akan terjadi
bila saja Mirabeau tidak tersingkirkan dari arena politik karena kematian prematurnya? Partai monarkis
konstitusional akan mempertahankan kekuasaannya untuk waktu yang lebih lama; oleh karenanya
perlawanannya terhadap kaum republikan akan lebih energetik. Tetapi itu saja. Tidak ada Mirabeau
yang dapat mencegah kemenangan kaum republikan pada saat itu. Kekuatan Mirabeau bersandar
sepenuhnya pada simpati dan kepercayaan rakyat, tetapi rakyat menginginkan sebuah republik; karena
kaum Monarkis dengan keras kepala terus berupaya membela tatanan yang lama, ini membuat rakyat
gusar. Segera setelah rakyat menyadari bahwa Mirabeau tidak bersimpati dengan cita-cita republik
mereka, mereka akan berhenti bersimpati padanya; dan sang orator hebat ini akan kehilangan hampir
semua pengaruhnya, dan kemungkinan besar dia akan menjadi korban dari gerakan yang dia coba
hentikan dengan sia-sia. Kira-kira hal yang sama dapat dikatakan mengenai Robespierre. Mari
berasumsi bahwa dia adalah sebuah kekuatan yang benar-benar tak tergantikan di dalam partainya;
tetapi biarpun demikian, dia bukanlah satu-satunya kekuatan. Bila dia mati karena kecelakaan tertimpa
batu bata, katakanlah pada Januari 1793[41], tempatnya tentu saja akan diambil orang lain, dan walaupun
orang ini mungkin lebih inferior ketimbang Robespierre dalam setiap aspek, peristiwa tetap akan
mengambil jalan yang sama seperti bila Robespierre hidup. Oleh karena itu, misalnya, bahkan di bawah
situasi ini, kaum Girondin[42] mungkin tidak dapat luput dari kekalahan mereka; tetapi mungkin saja
partainya Robespierre akan kehilangan kekuasaan lebih awal dan kita sekarang akan berbicara bukan
mengenai reaksi Thermidor[43] tetapi reaksi Floréal, Prairial, atau Messidor[44]. Mungkin ada orang yang
akan mengatakan bahwa dengan Terornya yang kejam Robespierre tidak menunda tetapi justru
mempercepat kejatuhan partainya. Kami tidak akan memeriksa asumsi ini; kami akan menerimanya
sebagai asumsi yang masuk akal. Maka dari itu kita harus berasumsi bahwa partainya Robespierre tidak
akan tumbang pada bulan Thermidor, tetapi pada bulan Fructidor, Vendémiaire atau Brumaire. Pendek
kata, partai Robespierre akan tumbang cepat atau lambat, tetapi yang pasti ia akan tumbang, karena
lapisan masyarakat yang mendukung partai Robespierre sama sekali tidak siap untuk memegang
kekuasaan untuk waktu yang lama. Entah bagaimanapun, hasil-hasil yang "berkebalikan" dari apa yang
muncul akibat aksi energetik Robespierre adalah mustahil.

Ini juga mustahil bahkan bila Bonaparte mati tertembak, katakanlah, di Pertempuran Arcole. Apa yang
dia lakukan di Italia dan kampanye-kampanye militer lainnya dapat juga dilakukan oleh jenderal-jenderal
lain. Mungkin mereka tidak akan menunjukkan talenta yang sama sepertinya, dan mungkin mereka tidak
akan dapat meraih kemenangan-kemenangan yang begitu brilian; kendati demikian Republik Prancis
tetap akan menang dalam perang-perang tersebut karena tentaranya pada saat itu adalah yang
terbaik di Eropa. Mengenai Brumaire ke-18[45] dan pengaruhnya pada kehidupan internal Prancis, di sini
juga alur umum dan hasil peristiwa-peristiwa kemungkinan besar akan sama dalam esensinya bahkan
bila Napoleon mati lebih awal. Terluka parah oleh peristiwa-peristiwa pada 9 Thermidor [hari
ditumbangkannya rejim Robespierre], Republik Prancis tengah mati perlahan-lahan. Rejim Direktorat[46]
tidak mampu memulihkan ketertiban yang sekarang paling didambakan oleh kaum borjuasi setelah
menyingkirkan kekuasaan aristokrasi. Untuk memulihkan ketertiban, diperlukan sebuah "pedang tajam",
seperti yang dikatakan oleh Sieyès. Pada awalnya, Jenderal Joubert adalah orang yang dikira akan
memenuhi peran pedang tajam tersebut, tetapi ketika dia gugur di Pertempuran Novi [pada 1799], nama
Moreau, MacDonald, dan Bernadotte dikedepankan[47]. Bonaparte hanya disebut belakangan; dan bila
saja dia tewas seperti Joubert, dia mungkin tidak akan disebut sama sekali dan "pedang" yang lain akan
dikedepankan. Jelas sekali kalau individu yang terangkat ke posisi diktatur oleh alur peristiwa harus
memiliki ambisi berkuasa, yang dengan energetik dan kejam menyingkirkan dan menghancurkan semua
orang yang menghalanginya. Bonaparte adalah seorang individu yang sangatlah gigih, yang dengan
bengis mengejar cita-citanya. Tetapi pada saat itu, selain dia ada cukup banyak orang-orang yang
egois, gigih, bertalenta, dan ambisius. Posisi yang berhasil ditempati oleh Bonaparte tidak akan tetap
kosong. Mari kita berasumsi bahwa jenderal lain yang menempati posisi ini adalah seorang yang lebih
cinta damai daripada Napoleon, dan dia tidak akan mengobarkan perang ke seluruh Eropa, dan oleh
karenanya, dia akan meninggal di Tuileries dan bukan di pulau St. Helena[48]. Dalam kasus ini, Dinasti
Bourbon tidak akan kembali ke Prancis sama sekali; bagi mereka, hasil ini tentu "berkebalikan" dari apa
yang semestinya terjadi. Akan tetapi, dalam hubungannya dengan kehidupan internal Prancis secara
keseluruhan, hasil ini hanya berbeda sedikit dari hasil sesungguhnya. Setelah "pedang tajam" ini
memulihkan ketertiban dan mengkonsolidasikan kekuasaan kaum borjuasi, kaum borjuasi akan segera
letih dengan kebiasaan barak dan despotisme yang diterapkan oleh "pedang tajam". Sebuah gerakan
liberal akan muncul, serupa dengan yang muncul selama masa Restorasi Bourbon; sebuah perjuangan
akan perlahan-lahan menggelora, dan karena "pedang tajam" tidak dikenal mudah menyerah, Louis-
Philippe[49] akan naik ke tampuk kekuasaan, bukan pada 1830, tetapi pada 1820, atau 1825. Semua
perubahan dalam alur peristiwa pada tingkatan tertentu mungkin dapat mempengaruhi kehidupan politik
Eropa selanjutnya – dan dengan demikian kehidupan ekonominya, namun hasil akhir gerakan
revolusioner ini tidak akan, di bawah situasi apapun, "berkebalikan" dari apa yang terjadi. Karena sifat
dan kepribadian mereka yang unik, individu-individu yang berpengaruh dapat mengubah fitur-fitur
tertentu dalam peristiwa dan beberapa konsekuensi partikularnya, tetapi mereka tidak dapat
mengubah tren umum peristiwa, yang ditentukan oleh kekuatan-kekuatan lain.

VII
Terlebih lagi, kita juga harus mempertimbangkan ini. Dalam mendiskusikan peran yang dimainkan
orang-orang hebat dalam sejarah, kita hampir selalu menjadi korban dari semacam ilusi optik. Penting
untuk menarik perhatian para pembaca ke perihal ini.

Dalam mengambil peran "pedang tajam" demi memulihkan ketertiban publik, Napoleon mencegah
jenderal-jenderal lainnya dari memainkan peran ini – beberapa dari mereka mungkin saja dapat
memainkan peran tersebut sama baiknya, atau hampir sama baiknya, seperti Napoleon. Segera setelah
kebutuhan sosial akan seorang penguasa militer bertangan besi telah terpenuhi, organisasi sosial
merintangi jalan semua prajurit bertalenta lainnya untuk menjadi penguasa militer ini. Kekuasaan yang
dimiliki penguasa militer ini sekarang menjadi rintangan bagi munculnya talenta-talenta lain yang
serupa. Ini adalah penyebab ilusi optik yang kita maksud. Kita melihat kekuasaan personal Napoleon
dalam bentuk yang teramat berlebihan, dimana kita melihatnya sebagai penyebab dari semua kekuatan
sosial yang telah mendorongnya ke depan dan menopangnya. Napoleon tampak sangat luar biasa bagi
kita karena tokoh-tokoh lainnya yang serupa dengannya tidak melompat dari potensi menjadi nyata.
Dan ketika kita ditanya apa yang akan terjadi bila saja tidak ada Napoleon, imajinasi kita menjadi kacau
dan tampak bagi kita bahwa tanpa dia gerakan sosial, dimana kekuatan dan pengaruhnya bersandar,
tidak akan terjadi.

Dalam sejarah perkembangan intelektual manusia, sangat jarang sekali keberhasilan individu tertentu
mencegah kesuksesan individu lainnya. Tetapi bahkan di sini kita tidak bebas dari ilusi optik yang
disebut di atas. Ketika keadaan masyarakat tertentu menyajikan problem-problem tertentu di hadapan
perwakilan intelektualnya, problem-problem ini akan menyita perhatian para pemikir terkemuka sampai
mereka berhasil menyelesaikannya. Segera setelah mereka berhasil menyelesaikan problem-problem
ini, perhatian mereka bergeser ke objek yang lain. Setelah menyelesaikan problem "X", talenta "A"
mengalihkan perhatian talenta "B" dari problem yang sudah diselesaikan ini ke problem lainnya –
problem "Y". Ketika kita ditanya apa yang akan terjadi bila "A" meninggal sebelum dia menyelesaikan
problem "X", kita membayangkan bahwa alur perkembangan intelektual manusia akan putus. Kita lupa
bahwa bila "A" meninggal, maka "B", atau "C", atau "D" mungkin dapat menyelesaikan problem tersebut;
dengan demikian alur perkembangan intelektual akan tetap utuh kendati kematian prematur "A".

Ada dua syarat yang harus dipenuhi agar seorang dengan talenta khusus tertentu dapat memiliki
pengaruh besar terhadap alur peristiwa. Pertama, talenta ini harus membuatnya lebih cocok daripada
orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial pada epos tertentu. Bila Napoleon memiliki bakat
musik Beethoven dan bukan kegeniusan militer, dia tentu saja tidak akan menjadi seorang kaisar.
Kedua, tatanan sosial yang ada tidak boleh menghalangi munculnya individu yang memiliki talenta yang
dibutuhkan dan berguna untuk masa tersebut. Napoleon akan mati sebagai seorang Jenderal atau Kolonel
Bonaparte yang tak dikenal bila saja bila saja tatanan lama Prancis tetap eksis selama 70 tahun lebih
lama.[50] Pada 1789, Davout, Desaix, Marmont dan MacDonald adalah letnan muda; Bernadotte adalah
seorang sersan mayor; Hoche, Marceau, Lefebvre, Pichegru, Ney, Massena, Murat and Soult adalah
bintara; Augereau adalah pemain anggar; Lannes pekerja pewarna; Gouvin Saint-Cyr aktor; Jourdan
pedagang keliling; Bessières tukang gunting rambut; Brune typesetter; Joubert dan Junot mahasiswa
hukum; Kleber arsitek; Martier tidak bergabung dengan militer sebelum Revolusi.[51]

Bila saja tatanan lama terus bertahan hingga hari ini, tidak akan pernah terlintas di pikiran kita bahwa
di Prancis, pada akhir abad sebelumnya [abad ke-18], akan ada aktor, pekerja pewarna, pengacara,
pedagang, dan pemain anggar yang berpotensi memiliki talenta militer.[52]

Stendhal mencatat bahwa seorang yang lahir pada saat yang sama seperti Titian, yakni pada 1477,
akan dapat hidup selama 40 tahun bersama Raphael, yang wafat pada 1520, dan dengan Leonardo da
Vinci, yang wafat pada 1519; bahwa dia dapat menghabiskan banyak tahun dengan Correggio, yang
wafat pada 1534, dan dengan Michelangelo, yang hidup hingga 1563; bahwa dia akan berumur tidak
lebih dari 34 tahun ketika Giorgione meninggal; bahwa dia akan mengenal Tintoretto, Bassano,
Veronese, Julian Romano, dan Andrea del Sarto; bahwa, pendek kata, dia akan menjadi kontemporer
dari semua pelukis besar, dengan pengecualian pelukis mazhab Bologna, yang muncul satu abad
kemudian.[53] Sama halnya juga, seorang yang lahir pada tahun yang sama dengan Wouwerman akan
mengenal secara pribadi hampir semua pelukis besar Belanda;[54] dan seorang yang berumur sama
dengan Shakespeare akan mengenal sejumlah penulis naskah drama besar.[55]

Kita telah lama menyaksikan bagaimana talenta-talenta hebat selalu muncul ketika ada kondisi-
kondisi sosial yang mendukung perkembangan mereka. Ini berarti setiap talenta yang memanifestasikan
dirinya, yakni talenta yang menjadi kekuatan sosial, adalah produk dari relasi-relasi sosial. Oleh
karena itu, kita bisa memahami mengapa individu-individu bertalenta, seperti yang telah kami katakan,
hanya dapat mengubah fitur-fitur individual peristiwa, bukan tren umum peristiwa; mereka sendiri
adalah produk tren tersebut; bila saja bukan karena tren ini, mereka tidak akan bisa melampaui
batasan yang memisahkan apa yang potensi dan apa yang nyata.

Jelas ada berbagai tingkatan talenta. "Ketika sebuah peradaban baru melahirkan kesenian yang baru,"
kata Taine dengan benar, "ada sepuluh individu bertalenta, yang hanya mengekspresikan pemikiran seni
yang baru ini secara parsial, dan mereka berhimpun di sekitar satu dua individu genius yang
mengekspresikannya secara penuh."[56] Bila saja ada sebab-sebab mekanik atau psikologis tertentu
yang tidak berhubungan dengan alur umum perkembangan sosio-politik dan intelektual Italia yang
menyebabkan wafatnya Raphael, Michelangelo, dan Leonardo da Vinci secara dini, seni Italia akan lebih
kurang sempurna, tetapi tren umum perkembangannya selama periode Renaissance akan tetap sama.
Raphael, Leonardo da Vinci, dan Michelangelo bukanlah orang yang menciptakan tren ini; mereka
hanyalah perwakilan terbaik aliran ini. Benar, biasanya sebuah mazhab muncul dari seorang yang jenius,
dan murid-muridnya mencoba mempelajari metode-metodenya sampai ke detail-detail terkecilnya; dan
inilah mengapa vakum dalam kesenian Renaissance Italia yang disebabkan oleh kematian prematur
Raphael, Michelangelo, dan Leonardo da Vinci akan memiliki pengaruh besar terhadap banyak fitur-fitur
sekunder sejarah selanjutnya. Tetapi sejarah dalam esensinya tidak akan berubah, selama tidak ada
perubahan penting dalam alur umum perkembangan intelektual Italia yang disebabkan oleh sebab-sebab
umum tertentu.
Namun, diketahui dengan baik bahwa perubahan-perubahan kuantitatif pada akhirnya akan berubah
menjadi perubahan kualitatif. Ini benar di mana-mana, dan juga dalam sejarah. Sebuah aliran kesenian
tertentu dapat kehilangan ekspresinya yang luar biasa bila sejumlah kondisi yang tidak menguntungkan
menghilangkan satu per satu talenta-talenta hebat yang seharusnya menjadi perwakilannya. Tetapi
kematian prematur orang-orang berbakat ini dapat mencegah ekspresi aliran seni tersebut hanya bila
aliran tersebut terlalu dangkal untuk menciptakan talenta-talenta baru. Kedalaman aliran sastra dan seni
tertentu ditentukan oleh signifikansinya bagi kelas atau strata sosial yang seleranya diekspresikan oleh
aliran tersebut, dan oleh peran sosial yang dimainkan oleh kelas atau strata tersebut; maka dari itu,
semua ini pada analisa terakhir ditentukan oleh alur perkembangan sosial dan perimbangan kekuatan-
kekuatan sosial.

VIII
Oleh karenanya, kualitas-kualitas personal para pemimpin menentukan fitur-fitur individual peristiwa-
peristiwa bersejarah, dan elemen-elemen kebetulan, dalam artian yang telah kita definisikan, selalu
memiliki peran tertentu dalam alur peristiwa, yang arahnya pada analisa terakhir ditentukan oleh sebab-
sebab umum, yakni oleh perkembangan kekuatan-kekuatan produksi dan hubungan timbal-balik antar
manusia dalam proses sosio-ekonomi produksi. Fenomena kebetulan dan kualitas-kualitas personal yang
dimiliki oleh tokoh-tokoh ternama selalu lebih mudah terlihat dibandingkan sebab-sebab umum yang
berada jauh di bawah permukaan. Abad ke-18 tidak begitu memperhatikan sebab-sebab umum, dan
menjelaskan bahwa alur sejarah disebabkan oleh aksi-aksi sadar dan "gairah" para tokoh bersejarah.
Para filsuf abad ke-18 menekankan bahwa sejarah dapat menempuh jalan yang benar-benar berbeda
sebagai akibat dari sebab-sebab yang paling tidak signifikan, contohnya, bila ada "atom" yang
memainkan lelucon di dalam kepala seorang penguasa (sebuah gagasan yang diekspresikan lebih dari
sekali di Système de la Nature).

Para pengikut mazhab ilmu sejarah baru mencoba membuktikan bahwa sejarah tidak dapat
menempuh jalan yang lain daripada apa yang sudah terjadi, tidak peduli "atom" apapun. Dalam usahanya
untuk memberikan penekanan yang lebih besar pada sebab-sebab umum, mereka mengabaikan
kualitas-kualitas personal yang dimiliki tokoh-tokoh bersejarah. Menurut mereka, digantikannya seorang
tokoh dengan tokoh lainnya yang lebih bertalenta atau kurang bertalenta tidak akan mempengaruhi alur
peristiwa bersejarah sedikit pun.[57] Tetapi bila kita membuat asumsi seperti itu, kita harus mengakui
bahwa elemen-elemen personal tidak ada signifikansi sama sekali dalam sejarah, dan bahwa semua
hal-ihwal dapat direduksi ke sebab-sebab umum, ke hukum-hukum umum perkembangan sejarah. Ini
adalah posisi yang ekstrem, yang tidak memberi ruang apapun bagi elemen-elemen kebenaran yang
terkandung dalam pandangan yang sebaliknya. Inilah mengapa pandangan yang sebaliknya masih
mempertahankan hak keberadaannya. Benturan antara dua pandangan ini mengambil bentuk antinomi,
dimana hukum-hukum umum adalah prinsip pertama, dan aktivitas individu adalah prinsip kedua. Dari
sudut pandang prinsip kedua dalam antinomi ini, sejarah hanyalah sebuah rantaian kebetulan-kebetulan;
dari sudut pandang prinsip yang pertama, bahkan fitur-fitur individual peristiwa-peristiwa sejarah
ditentukan oleh sebab-sebab umum. Tetapi bila fitur-fitur individual peristiwa ditentukan oleh pengaruh
sebab-sebab umum dan tidak bergantung pada kualitas-kualitas personal tokoh-tokoh bersejarah, maka
dapat disimpulkan bahwa fitur-fitur tersebut ditentukan oleh sebab-sebab umum, dan tidak dapat
diubah, tidak peduli sebanyak apapun tokoh-tokoh ini berubah. Maka, teori ini menjadi fatalis.

Ini tidak luput dari perhatian musuh-musuh teori tersebut. Sainte-Beuve membandingkan konsepsi
sejarahnya Mignet dengan Bossuet. Bossuet berpendapat bahwa kekuatan yang menyebabkan
peristiwa-peristiwa bersejarah datang dari langit dan merupakan ekspresi kehendak ilahi. Mignet
mencari kekuatan ini dalam gairah manusia, yang termanifestasikan dalam peristiwa-peristiwa sejarah
sebagai kekuatan Alam yang tidak dapat dibendung dan dihentikan. Tetapi keduanya menganggap
sejarah sebagai sebuah rantai fenomena yang tidak mungkin bisa berbeda; keduanya adalah fatalis;
dalam hal ini, kaum filsuf tidak jauh berbeda dengan pendeta (le philosophe se rapproche du prêtre).

Kritik ini dapat dibenarkan selama doktrin fenomena-sosial-yang-diatur-hukum mengatakan bahwa


kualitas personal para tokoh sejarah sama sekali tidak memiliki pengaruh apapun. Kekuatan kritik ini
semakin kuat karena para sejarawan mazhab baru ini, seperti halnya sejarawan dan filsuf abad ke-18,
menganggap sifat manusia sebagai puncak dari segalanya; semua sebab-sebab umum perkembangan
sejarah muncul dari sifat manusia dan tunduk padanya. Karena Revolusi Prancis telah menunjukkan
bahwa peristiwa bersejarah tidak ditentukan hanya oleh aksi sadar manusia, maka Mignet, Guizot dan
sejarawan lainnya dari mazhab yang sama menempatkan pengaruh gairah individu di tempat pertama,
yang sering kali menyingkirkan semua kendali oleh pikiran. Tetapi bila gairah adalah penyebab
fundamental dan paling universal peristiwa-peristiwa sejarah, lalu mengapai Sainte-Beuve salah dalam
menekankan bahwa hasil Revolusi Prancis mungkin akan berkebalikan dari apa yang kita ketahui
sekarang bila saja ada individu-individu yang mampu membangkitkan gairah yang sebaliknya dari apa
yang menginspirasi rakyat Prancis? Mignet akan menjawab: tidak ada gairah lain yang dapat
menginspirasi rakyat Prancis pada saat itu karena ciri-ciri sifat manusia. Dalam pengertian tertentu ini
benar. Tetapi kebenaran ini akan memiliki nada yang sangat fatalis, karena ini serupa dengan tesis
bahwa sejarah manusia, dalam semua detailnya, ditentukan oleh ciri-ciri umum sifat manusia. Fatalisme
akan muncul di sini sebagai konsekuensi dari menghilangnya individu secara umum. Fatalisme memang
selalu merupakan konsekuensi dari penghilangan semacam itu. Ada yang mengatakan: "Bila semua
fenomena sosial adalah niscaya, maka aktivitas kita tidak akan berarti apapun." Ini adalah gagasan
benar yang dirumuskan secara keliru. Kita seharusnya mengatakan: bila segala sesuatu terjadi sebagai
hasil dari hal-hal umum, maka yang partikular, termasuk usaha saya sendiri, tidak ada artinya. Deduksi
semacam ini tepat, tetapi diterapkan secara keliru. Ini sama sekali tidak berarti bila diterapkan ke
konsepsi materialis modern mengenai sejarah, dimana juga ada ruang bagi yang partikular; tetapi bila
diterapkan ke pandangan para sejarawan Prancis periode Restorasi, ini dapat dibenarkan.

Sifat manusia sudah tidak dapat lagi dianggap sebagai penyebab fundamental dan paling umum
perkembangan sejarah: bila sifat manusia itu konstan, maka ini tidak dapat menjelaskan alur sejarah
yang sangat berubah-ubah; bila sifat manusia dapat berubah, tentunya perubahan ini sendiri ditentukan
oleh perkembangan sejarah. Hari ini kita harus menganggap perkembangan tenaga produksi sebagai
penyebab fundamental dan paling umum perkembangan sejarah umat manusia, dan perkembangan
kekuatan produksi inilah yang menentukan perubahan dalam hubungan sosial manusia. Bersamaan
dengan sebab umum ini adalah sebab-sebab spesifik, yakni situasi sejarah yang melatari
berlangsungnya perkembangan kekuatan produksi bangsa tertentu, dan pada analisa terakhir situasi
sejarah itu sendiri diciptakan oleh perkembangan kekuatan-kekuatan yang sama di antara bangsa-
bangsa lain, yakni sebab umum yang sama.

Akhirnya, pengaruh sebab-sebab spesifik ini diperbesar oleh sebab-sebab partikular, yakni ciri-ciri
personal tokoh-tokoh ternama dan "kebetulan-kebetulan" lainnya, yang membuat peristiwa memiliki fitur-
fitur individual. Sebab-sebab tunggal tidak dapat menyebabkan perubahan radikal dalam beroperasinya
sebab-sebab umum dan spesifik, yang, terlebih lagi, menentukan arah dan batas-batas pengaruh
sebab-sebab partikular. Namun, tidak diragukan kalau sejarah akan memiliki sepuhan yang berbeda bila
saja sebab-sebab partikular yang mempengaruhi sejarah tersebut digantikan dengan yang lain.

Monod dan Lamprecht masih mengikuti sudut pandang sifat manusia. Lamprecht, secara kategorikal
dan berulang kali, telah mengumumkan bahwa dalam pendapatnya mentalitas sosial adalah penyebab
dasar fenomena sejarah. Ini adalah kesalahan besar; sebagai akibat dari kesalahan ini, niat – yang
sendirinya adalah niat yang baik – untuk mempertimbangkan "totalitas kehidupan sosial" hanya dapat
berakhir ke eklektisme yang hambar dan membosankan, atau, di antara orang yang paling konsisten, ke
argumennya Kablitz mengenai signifikansi relatif akal dan sentimen

Tetapi mari kita kembali lagi ke subjek kita. Seorang tokoh hebat adalah hebat bukan karena kualitas-
kualitas personalnya memberikan sepuhan individual pada peristiwa bersejarah, tetapi karena dia
memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya paling mampu melayani kebutuhan-kebutuhan sosial besar
pada jamannya, kebutuhan-kebutuhan yang muncul di bawah pengaruh sebab-sebab umum dan
partikular. Dalam bukunya yang terkenal itu mengenai pahlawan dan penyanjungan-pahlawan, Carlyle
menyebut orang-orang hebat sebagai pelopor. Ini adalah deskripsi yang tepat. Seorang tokoh besar
adalah pelopor karena dia melihat lebih jauh daripada orang lain dan hasratnya lebih kuat daripada
orang lain. Dia menyelesaikan problem-problem ilmiah yang dikedepankan oleh alur perkembangan
intelektual yang sebelumnya; dia menunjukkan kebutuhan-kebutuhan sosial baru yang diciptakan oleh
perkembangan relasi-relasi sosial sebelumnya; dia mengambil inisiatif untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan sosial tersebut. Dia adalah seorang pahlawan, bukan dalam artian bahwa dia dapat
menghentikan atau mengubah alur peristiwa, tetapi dalam artian bahwa aktivitas-aktivitasnya adalah
ekspresi sadar dan bebas dari alur peristiwa yang tak terelakkan dan tak sadar itu. Di sinilah terletak
semua signifikansinya, semua kekuatannya. Tetapi signifikansi ini amat besar, dan kekuatan ini sangat
kuat.

Apa yang dimaksud dengan alur alami peristiwa?

Bismarck mengatakan bahwa kita tidak dapat membuat sejarah tetapi harus menunggu sementara
sejarah dibuat. Tetapi siapa yang membuat sejarah? Sejarah dibuat oleh manusia sosial, yang
merupakan "faktor" satu-satunya. Manusia sosial menciptakan relasi sosialnya sendiri. Tetapi bila dalam
epos tertentu dia menciptakan relasi sosial tertentu dan bukan yang lainnya, ini tentu ada sebabnya; ini
ditentukan oleh kondisi kekuatan produksi. Tidak ada satupun orang hebat yang bisa memaksakan ke
dalam masyarakat sebuah relasi sosial yang sudah tidak lagi sesuai dengan kondisi kekuatan produksi
atau yang belum sesuai dengan kondisi kekuatan produksi. Dalam pengertian ini, dia tidak dapat
membuat sejarah, dan dalam pengertian ini, usahanya untuk menggeser jarum jam akan sia-sia: dia
tidak akan mempercepat arus waktu atau memutar balik waktu. Di sini Lamprecht cukup benar: bahkan
di puncak kekuasaannya, Bismarck tidak akan mampu mengembalikan Jerman ke ekonomi primitif.
Relasi-relasi sosial memiliki logika mereka sendiri: selama manusia hidup dalam relasi timbal-balik
tertentu, mereka akan merasa, berpikir dan bertindak dalam satu cara tertentu dan tidak lainnya.
Usaha oleh tokoh ternama mana pun untuk melawan logika ini akan sia-sia; alur alami peristiwa (dalam
kata lain, logika relasi sosial ini) akan membuat sia-sia semua usaha mereka. Tetapi bila saya tahu ke
arah mana relasi-relasi sosial berubah karena perubahan dalam proses sosio-ekonomi produksi, saya
juga tahu ke arah mana mentalitas sosial akan berubah; sebagai akibatnya, saya akan mampu
mempengaruhinya. Mempengaruhi mentalitas sosial berarti mempengaruhi peristiwa-peristiwa sejarah.
Maka, dalam pengertian tertentu, saya dapat membuat sejarah, dan tidak perlu saya menunggu
sementara "sejarah dibuat".

Monod percaya bahwa peristiwa-peristiwa dan individu-individu yang sangat penting dalam sejarah
hanyalah penting sebagai tanda dan simbol perkembangan institusi dan kondisi ekonomi. Gagasan ini
benar walaupun diekspresikan secara tidak tepat; tetapi hanya karena gagasan ini benar, tidak ada
alasan untuk mempertentangkan aktivitas orang hebat dengan perkembangan kondisi dan institusi
ekonomi yang "lamban". Perubahan "kondisi ekonomi" yang kurang lebih lamban secara periodik
menghadapkan masyarakat dengan keniscayaan untuk mengubah institusinya secara kurang lebih
cepat. Perubahan ini tidak pernah terjadi "dengan sendirinya"; perubahan ini selalu membutuhkan
intervensi manusia, yang lalu dihadapkan dengan problem-problem sosial yang besar. Tokoh-tokoh yang
disebut hebat adalah mereka yang memfasilitasi penyelesaian problem-problem ini jauh lebih baik
dibandingkan orang lain. Tetapi menyelesaikan problem bukan berarti semata menjadi "simbol" atau
"tanda".

Namun, menurut kami, Monod mempertentangkan kedua hal di atas terutama karena dia menyukai
kata "lamban" yang terdengar menyejukkan itu, sebuah kata yang sangat disenangi oleh kaum
evolusionis hari ini. Secara psikologis, kecenderungan ini dapat dipahami: ini tak ayal muncul di antara
orang-orang yang moderat dan cermat ... Tetapi secara logika, kecenderungan ini roboh di hadapan
kritik, seperti yang telah dibuktikan oleh Hegel.

Sebuah medan aktivitas yang luas terbuka tidak hanya untuk "kaum pelopor" dan orang-orang "hebat".
Medan ini terbuka bagi siapapun yang punya mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, dan hati
untuk mengasihi sesama manusia. Konsep kehebatan adalah sebuah konsep yang relatif. Dari sudut
pandang moral, seperti yang tertulis dalam Kitab Perjanjian Baru, seorang yang hebat adalah "seorang
yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya".

Catatan Kaki

[1]
N. K. Mikhailovsky, yang membalas artikel Kablitz dalam Literary Notes for 1878. [Ed.]

[2]
Quietisme adalah sebuah filsafat Kristen yang menyebar luas di Prancis, Italia, dan Spanyol pada
abad ke-17, yang mengajarkan bahwa manusia harus menolak kehendak bebas, menjadi pasif, dan
menyerahkan dirinya pada takdir ilahi, sebagai syarat untuk menjadi sempurna. [Ed.]
[3]
Orang Prancis abad ke-17 akan terkejut dengan kombinasi materialisme dan dogma religius ini.
Namun di Inggris tidak seorang pun akan mengira ini aneh. Priestley sendiri sangat religius. Negara lain,
kebudayaan lain. [Plekhanov]

[4]
Kristen Keniscayaan adalah sebuah sekte Kristen yang memandang bahwa kehendak manusia itu
tidaklah bebas dan bahwa makhluk bermoral tidak bertindak bebas tetapi mereka bertindak sesuai
dengan keniscayaan. [Ed.]

[5]
Lihat terjemahan Rusia karya Sejarah Sastra Prancis, Vol. I, hal. 511. [Histoire de la littérature
française, Paris, 1896, hal. 446]. [Plekhanov]

[6]
Semua orang tahu bahwa menurut doktrin Calvin semua tindakan manusia sudah ditentukan oleh
Tuhan. Praedestinationem vocamur aeternum Dei decretum, quod apud se constitutum habuit, quid de
unoquoque homine fieri valet (Institutio, lib. III, cap. 5) [Yang kita maksud dengan takdir adalah apa yang
telah diputuskan secara abadi oleh Tuhan, yang ditentukan oleh Dia untuk Dirinya sendiri, dan berlaku
untuk manusia.] Menurut doktrin ini, Tuhan memilih hamba-hamba tertentu untuk membebaskan rakyat
tertindas. Salah satunya adalah Musa, yang membebaskan rakyat Israel. Semua menunjukkan bahwa
Cromwell juga melihat dirinya sebagai instrumen Tuhan; dia selalu menyebut tindakannya sebagai buah
dari kehendak Tuhan, dan kemungkinan besar dia sungguh mempercayai ini. Bagi dia, semua
tindakannya diwarnai sedari awal oleh sepuhan keniscayaan. Ini tidak mencegahnya dari berjuang
demi kemenangan, ini bahkan memberi perjuangannya sebuah kekuatan yang teramat besar.
[Plekhanov]

[7]
Hamlet adalah tokoh dalam drama Hamlet karya William Shakespeare. [Ed.]

[8]
"C'est comme si l'aiguille aimantée prenait plaisir de se tourner vers le nord car elle croirait tourner
indépendamment de quelque autre cause, ne s'apercevant pas des mouvements insensibles de la
matière magnétique" (Leibnitz, Théodicée, Lausanne, MDCCLX, hal. 598). [Ini seolah-olah jarum kompas,
yang tidak menyadari pengaruh magnet yang tak terlihat dan membayangkan dia bergerak secara
independen dari sebab-sebab apapun, mendapatkan kepuasan dengan berpaling ke utara seturut
kehendaknya.] [Plekhanov]

[9]
Kita akan mengutip satu contoh lainnya, yang secara jelas mengilustrasikan bagaimana kuatnya
semangat orang-orang seperti ini. Dalam suratnya kepada gurunya Calvin, Renée de France, Duchess of
Ferrare (anak perempuan Louis XII), menulis seperti berikut: "Tidak, saya belum melupakan apa yang
kamu tulis kepada saya: bahwa David sangat membenci musuh-musuh Tuhan. Dan saya tidak akan
pernah bertindak berbeda, karena saya tahu bahwa sang Raja, ayahku, sang Ratu, ibuku, almarhum
Pangeran, suamiku (feu monsieur mon mari) dan semua anak-anakku telah diasingkan oleh Tuhan, dan
saya akan membenci mereka dengan kebencian yang mematikan dan menyumpah mereka ke Neraka,"
dst. Sungguh suatu energi destruktif yang mengerikan, yang ditunjukkan oleh orang-orang yang merasa
seperti ini! Dan kendati demikian, orang-orang ini menyangkal kehendak bebas. [Plekhanov]

[10]
Plekhanov merujuk ke karya I.S. Turgenev, "Hamlet of Shchigrovsky District". [Ed.]
[11]
Monisme adalah filsafat yang memandang ide dan materi, subjek dan objek, sebagai satu
kesatuan. Ini berkebalikan dengan dualisme yang melihat adanya jurang antara subjek dan objek. [Ed.]

[12]
"Die Notwendigkeit wird nicht dadurch zur Freiheit, dass sie verschwindet, sondern dass nur ihre
noch innere Identität manifestiert wird." (Hegel, Wissenschaft der Logik, Nürnberg, 1816, zweites Buch, S.
281) [Keniscayaan menjadi kebebasan bukan dengan menghilang; ia menjadi kebebasan hanya karena
identitasnya yang masih inheren memanifestasikan dirinya.] [Plekhanov]

[13]
Seperti yang dikatakan Hegel tua dengan sangat baik: "Die Freiheit ist dies, Nichts zu wollen als
sich" (Werke, В. 12, S. 98 Philosophie der Religion). [Kebebasan tidak lain adalah penegasan diri sendiri.]
[Plekhanov]

[14]
Akaky Akakievich adalah karakter di dalam ceritanya Nikolai Gogol, The Overcoat. [Ed.]

[15]
Dalam usaha kami untuk mencapai sebuah sintesa, kami dicegah oleh Mr. Kareyev. Namun
sayangnya dia tidak bergerak lebih jauh daripada mengakui truisme bahwa manusia terdiri dari jiwa dan
raga. [Plekhanov]

[16]
Perekonomian primitif merujuk pada sistem ekonomi dimana pertukaran barang tidak dilakukan
dengan uang tetapi dengan barter langsung. [Ed.]

[17]
Mengesampingkan esai-esai filosofi dan sejarah Lamprecht yang lainnya, kami merujuk pada
esainya, Der Ausgang des geschichtswissenschaftlichen Kampfes, Die Zukunft, 1897, No.44.
[Plekhanov]

[18]
Dalam mitologi Yunani, Minos adalah raja Crete [Ed.]

[19]
Lycurgus (800-730 SM) adalah tokoh legendaris Sparta yang mengubah Sparta menjadi
masyarakat militer. [Ed.]

[20]
Oeuvres Complètes de l'abbé de Mably, London 1783 (Vol.IV), 3, 14-22, 24 et 192. [Plekhanov]

[21]
Lysander [meninggal 395 SM], pemimpin militer dan politik bangsa Sparta, yang berhasil
menaklukkan Athena dan menguasai Yunani. [Ed.]

[22]
Ibid. hal.101. [Plekhanov]

[23]
Restorasi Bourbon adalah masa restorasi monarki pada 1814-30, ketika Napoleon Bonaparte
lengser dan monarki Bourbon kembali bertakhta di bawah Louis XVI (1814-24) dan lalu Charles X (1824-
1830). Selama periode Restorasi ini, pemerintah memutar balik banyak pencapaian Revolusi Prancis
untuk mengembalikan privilese rejim feodal. Kendati banyak pencapaian Revolusi Prancis diputar balik,
tetapi kebanyakan pencapaian demokratisnya yang fundamental tetap berlaku. Monarki Bourbon
akhirnya ditumbangkan oleh oposisi liberal pada Revolusi Juli 1830. [Ed.]

[24]
Bandingkan surat pertamanya dalam Lettres sur l'histoire de France dengan l'Essai sur le
genre dramatique sérieux pada jilid pertama dari Oeuvres complètes de Beaumarchais. [Plekhanov]
Oeuvres complètes de Chateaubriand, Paris 1804, t. VII, hal. 58. Kami juga merekomendasikan
[25]

halaman selanjutnya kepada para pembaca; seorang mungkin berpikir ini ditulis oleh Tn. N. Mikailevsky.
[Plekhanov]

[26]
Cf. "Considérations sur l'histoire de France", Supplement to Récits des temps mérovingiens,
Paris, 1840, hal. 72.[Plekhanov]

[27]
Dalam tinjauannya terhadap Sejarah Revolusi Prancis edisi ketiga karya Mignet, Sainte-Beuve
menjelaskan sikap Mignet terhadap orang hebat seperti berikut ini: "Ä la vue des vastes et profondes
émotions populaires qu'il avait à décrire, au spectacle de l'impuissance et du néant où tombent les plus
sublimes génies, les vertus les plus saintes, alors que less masses se soulèvent, il s'est pris de pitié pour
les individus, n'a vu en eux pris isolement que faiblesse et ne leur a reconnu d'action efficace, que dans
leur union avec la multitude." [Ketika menyaksikan pemberontakan rakyat yang luas dan dalam yang
harus dia gambarkan, dan ketika menyaksikan keimpotenan dan ketidakberdayaan yang dirasakan oleh
para jenius terhebat dan orang-orang suci yang paling saleh saat rakyat bangkit, dia [Mignet] meratapi
manusia sebagai individu, dan hanya bisa melihat kelemahan mereka saat mereka terisolasi, dan
percaya bahwa individu hanya bisa bertindak secara efektif bila bersamaan dengan massa.]
[Plekhanov]

[28]
Peperangan Suksesi Austria (1740-1748) adalah perang yang melibatkan hampir semua kerajaan
di Eropa kecuali Polandia-Lituania. Perang ini dipercik oleh dalih bahwa Maria Theresa dari Austria tidak
diperbolehkan mengambil tampuk kerajaan Habsburg dari ayahnya, Charles VI, karena dia adalah
perempuan, walaupun pada kenyataannya ini hanyalah alasan bagi Prusia dan Prancis untuk merebut
Austria. Perang ini selesai dengan Austria kehilangan daerah Silesia kepada Prusia. [Ed.]

[29]
Louis XV (1710-1774) adalah raja Prancis dari 1715, yakni semenjak berumur lima tahun, hingga
tahun 1774. Di bawah kekuasaannya, Prancis mengalami kekalahan pada Perang Tujuh Tahun dan
kehilangan koloninya di Amerika Utara. [Ed.]

[30]
Pakta Perdamaian Aix-la-Chapelle adalah perdamaian yang diteken pada 18 Oktober 1748 untuk
mengakhiri Peperangan Suksesi Austria. [Ed.]

[31]
Perang Tujuh Tahun (1756-1763) melibatkan dua kubu: kubu pertama, Prusia, Inggris, dan Portugal;
kubu lainnya Prancis, Austria, Rusia, Saxony, dan Swedia. Perang ini dipicu oleh usaha Austria untuk
memenangkan kembali wilayah Silesia, dan juga persaingan Anglo-Prancis untuk memperebutkan
wilayah jajahan di Kanada dan India. Prancis kalah, dan Inggris memenangkan jajahan Kanada dan
India. [Ed.]

[32]
Yang lain mengatakan bahwa ini adalah kesalahan Broglie yang tidak menunggu temannya,
karena dia tidak ingin berbagi kejayaan kemenangan dengannya. Ini tidak mengubah apapun, karena ini
tidak mengubah hasil akhir. [Plekhanov]

[33]
Ratu Elizabeth memerintah Rusia dari 1741 sampai 1762. Setelah dia meninggal, Peter III naik
takhta menggantikannya sebagai penguasa Rusia. Peter III menghormati Frederick II dan menolak
melanjutkan perang melawan Prusia, dan ini memfasilitasi kemenangan Prusia dalam mempertahankan
Silesia. [Ed.]

[34]
Mirabeau (1749-1791) adalah jurnalis, diplomat, dan politisi Prancis. Selama Revolusi Prancis 1789,
dia adalah seorang moderat dan anggota partai monarki konstitusional. Dia meninggal karena menderita
penyakit jantung perikarditis. [Ed.]

[35]
Maximilien Robespierre (1758-1794) adalah tokoh ternama dalam Revolusi Prancis 1789. Dia
mewakili sayap kiri radikal Revolusi Prancis (Jacobin) yang tidak berkompromi dengan kaum aristokrasi.
Dia akhirnya dieksekusi oleh reaksi Thermidor. [Ed.]

[36]
Napoleon Bonaparte (1769-1821) adalah pemimpin militer dan Kaisar Prancis. Pada 9 November
1799, dia melakukan kudeta terhadap Republik Prancis yang lahir dari Revolusi Prancis 1789 dimana dia
mengangkat dirinya sebagai Kaisar Prancis. [Ed.]

[37]
Histoire de France, 4th edition, XV, hal. 520-21. [Plekhanov]

Di sini Plekhanov merujuk pada pasukan kerajaan Persia di bawah kekuasaan Darius I dan lalu
anaknya Xerxes I selama perangnya dengan Yunani pada 499-449 SM. Legenda menuturkan besarnya
pasukan mereka yang mencapai jutaan personel, dengan iring-iringan yang sangat mewah. Walaupun
pasukan Persia besar, tetapi mereka akhirnya kalah perang dengan Yunani. Sementara angkatan
bersenjata Prancis di bawah jenderal Turenne (1611-1675) dan Swedia di bawah Raja Gustavus Adolphus
(1594-1632) dikenal sebagai pasukan yang sangat efisien, yang berhasil meraih banyak kemenangan
dalam perang. [Ed.]

[38]
Baca Mémoires de Madame du Hausset, Paris, 1824, hal. 181. [Plekhanov]

[39]
Lettres de la Marquise de Pompadour, Londres, 1772, t. I. [Plekhanov]

[40]
Mirabeau menderita penyakit perikarditis, peradangan pada selaput pembungkus jantung, dan
meninggal pada 2 April 1791. Sebagai pemimpin periode awal Revolusi Prancis 1789, kematiannya jelas
mempengaruhi alur Revolusi tersebut. [Ed.]

[41]
Raja Louis XVI dipancung oleh Robespierre pada 21 Januari 1793. [Ed.]

[42]
Kaum Girondin adalah representasi kelas borjuasi besar pada saat Revolusi Prancis 1798. Mereka
berayun-ayun antara demokrasi dan monarki. [Ed.]

[43]
Reaksi Thermidor adalah kontra-revolusi yang terjadi menyusul Revolusi Prancis 1789. Pada
tanggal 9 Thermidor II (penanggalan Gregorian, 27 Juli 1794), pemerintahan Jacobin yang revolusioner
digulingkan oleh elemen-elemen yang lebih konservatif. Rejim Robespierre ditumbangkan dan
digantikan oleh Pemerintahan Direktorat. Proses ini berakhir dengan perebutan kekuasaan oleh
Napoleon Bonaparte pada 18 Brumaire VIII (19 November 1799). Napoleon memproklamirkan dirinya
sebagai Kaisar seumur hidup dan mengubur hampir semua pencapaian Revolusi Prancis. [Ed.]
[44]
Thermidor, Floréal, Prairial, Messidor, Brumaire, dst. adalah nama-nama bulan kalender
Revolusioner Prancis yang diperkenalkan selama Revolusi Prancis 1789 untuk menggantikan kalender
Gregorian, dan digunakan oleh pemerintahan Republik Prancis dari 1793 sampai 1805. [Ed.]

[45]
Pada tanggal 18 Brumaire VIII (9 November 1799) Napoleon Bonaparte meluncurkan kudeta yang
menumbangkan Pemerintahan Direktorat. [Ed.]

[46]
Pemerintahan Direktorat adalah pemerintahan yang dibentuk di Prancis setelah kudeta 9
Thermidor II (27 Juli 1794) yang menyingkirkan Robespierre dan kaum Jacobin. Pemerintahan ini
beranggotakan lima Direktur yang memegang kekuatan eksekutif, dan memerintah dari 1795 hingga
1799, sebelum ditumbangkan oleh Napoleon Bonaparte. [Ed.]

[47]
La vie en France sous le premier Empire, par le Vicomte de Broc, Paris, 1895, hal. 35-36 et.
seq. [Plekhanov]

[48]
St. Helena adalah pulau di mana Napoleon Bonaparte diasingkan pada Desember 1815 setelah
ditangkap oleh pasukan Inggris yang berhasil mengepungnya. Dia akhirnya meninggal di sana pada 5
Mei 1821. [Ed.]

[49]
Louis Phillipe (1773-1850) adalah Raja Prancis pada 1830-1848. Dia menggantikan sepupunya
Raja Charles X dalam Revolusi Juli yang mengakhiri Dinasti Bourbon. Kekuasaan Louis Phillipe lalu
ditumbangkan oleh Revolusi 1848 yang membentuk Republik Prancis kedua. [Ed.]

[50]
Mungkin Napoleon akan berangkat ke Rusia, dan sesungguhnya dia bermaksud ke sana
beberapa tahun sebelum Revolusi. Di sana, tidak diragukan, dia akan meraih ketenaran dalam
berperang melawan orang-orang Turki atau penghuni gunung Caucasian, tetapi di sana tidak akan ada
yang membayangkan bahwa perwira yang miskin tapi berbakat ini dapat menjadi penguasa dunia.
[Plekhanov]

[51]
Cf. Histoire de France, par Victor Duruy, Paris, 1893, t. II, hal. 524-25. [Plekhanov]

[52]
Selama masa kekuasaan Louis XV, hanya satu perwakilan dari estate ketiga, Chevert, yang
mampu naik ke pangkat letnan jenderal. Selama masa kekuasaan Louis XVI, bahkan lebih sulit bagi
anggota estate ketiga untuk meniti karier militer. Baca Rambeaud, Histoire de la civilisation
française, 6th edition, t. II, hal. 226. [Plekhanov]

[53]
Histoire de la Peinture en Italie, Paris, 1889, 23-25. [Plekhanov]

[54]
Terburg, Brouwer dan Rembrandt lahir pada 1608; Adriaen van Ostade dan Ferdinand Bol lahir
pada 1610; Van der Helst dan Gerard Douw pada 1615; Wouwerman pada 1620; Weenix, Everdingen dan
Pynacker lahir pada 1621; Berchem pada 1624 dan Paulus Potter 1629; Jan Steen pada 1626; Ruisdael
dan Metsu lahir pada 1630; Van der Heyden pada 1637; Hobbema pada 1638 dan Adriaen van de Velde
pada 1639. [Plekhanov]
[55]
"Shakespeare. Beaumont, Fletcher, Jonson, Webster, Massinger, Ford, Middleton dan Heywood,
yang muncul pada waktu yang sama, atau saling menyusuli, mewakili generasi baru, yang tumbuh subur
di tanah yang telah dipersiapkan oleh usaha-usaha generasi sebelumnya." (Taine, Histoire de la
littérature anglaise, Paris, 1863, t. I, hal. 468). [Plekhanov]

[56]
H. Taine, Histoire de la littérature anglaise, Paris, 1863, t. II, hal. 5. [Plekhanov]

[57]
Yakni, mereka berargumen demikian tatkala mendiskusikan bagaimana peristiwa bersejarah
diatur oleh hukum. Namun, ketika beberapa dari mereka mendeskripsikan fenomena semacam ini,
mereka terkadang memberikan signifikansi berlebihan pada elemen personal. Tetapi yang menarik bagi
kita di sini bukanlah deskripsi mereka tetapi argumen mereka. [Plekhanov]

Seksi Bahasa Indonesia M.I.A.

Anda mungkin juga menyukai