Anda di halaman 1dari 5

Solipsisme Sebagai Implikasi Agnotisisme Kant

Oleh : Agustian Hutriady

Abstract :

Iman menjadi problem di dunia modern. Gerak sekulerisasi dan emansipasi manusia berkat
perkembangan rasionya, yang tampak dalam penguasaan atas alam lewat teknologi, membuat
keyakinan kepada Tuhan dianggap ketinggalan zaman. Meskipun tidak menolak Tuhan, Immanuel
Kant menganggap teologi adalah sebuah paralogisme. Orang percaya agama di analogikan sebagai
kategori “bawah umur”, ketika anak tidak bisa menggunakan Verstand-nya (akal budi, common
sense) secara mandiri dan masih harus dibimbing oleh orang lain. Berarti juga sebuah kondisi
manusia yang tunduk kepada hukum orang lain entah Tuhan atau alam dan belum dapat otonom
dalam arti bebas mampu memerintah dirinya sendiri. Kant bukanlah ateis, namun pemikirannya
yang keras menuntut penggunaan akal budi membuat kajian metafisika dianggap sekedar
“paralogisme”. Kajian jiwa , kosmos dan Tuhan hanyalah seolah olah tampak logis, padahal
sebenarnya tidak layak dianggap ilmu karena tidak dapat dibahas. Agnotisisme ala Kant
menimbulkan solipisme, merupakan karakter utama filsafat dan pemikiran modern. Pada level
metafisis, ia telah memiskinkan wawasan manusia modern terhadap realitas. Pada level
epistemologis. Ia telah membuat manusia modern dipenjara dalam dunia subjektif mental belaka
yang terisolasi dari realitas objektif, bahkan terasing dari realitas kemanusiaannya sendiri.

Kata Kunci : Agnotisme, noumenalisme, solipisme, Kant

Pendahuluan

Ketokohan Immanuel Kant sebagai seorang filsuf besar yang mempengaruhi alam pemikiran modern
diakui oleh para akademisi dan para filsuf. Pemikiran Kant identik dengan filsafat modern yang
menolak metafisika, teologi dan mengoyak visi spiritualitas dalam memahami realitas. Teori etika
formal Kant yang membuang dimensi telos dan isi dalam tindakan moral merupakan aliran baru
dalam etika. Pemikiran politik Kant mengusung sekulerisme dan liberalisme juga apa yang dia sebut
dengan istilah pencerahan.

Immanuel Kant menulis artikel “Apa itu Pencerahan” untuk menjawab pertanyaan koran Berlinische
Monatsschrift, pada Desember 1784, Was it Aufklarung ? Kant memberi ciri bagi pencerahan yaitu,
sebagai keluarnya anak dari kategori “bawah umur” ke “kedewasaan”1. Manusia berada dibawah
kategori “bawah umur” ketika anak tidak bisa menggunakan Verstand-nya (akal budi, common
sense) secara mandiri dan masih harus dibimbing orang lain. “Di bawah umur” artinya secara hukum

1
Setyo Wibowo, “Pencerahan di Mata Kant dan Nietszsche : Menjadi Dewasa dan Resikonya” Diskursus :
Jurnal Filsafat-Teologi , STF Driyarkara Vol. 8 , April 2009
anak belum boleh mengambil keputusan sendiri karena pada usia anak anak belum dapat
membedakan antara yang benar dengan yang salah sehingga belum dapat dikenakan tanggung
jawab pribadi. “Di bawah umur” juga dapat berarti kondisi manusia yang tunduk pada hukum orang
lain entah Tuhan atau alam dan belum dapat bebas memerintah dirinya sendiri.

Prof. Roland Pietsch, mengilustrasikan Kant seperti burung yang tidak bisa terbang. Meskipun
bersayap, namun kedua sayapnya tidak bekerja secara sinkron dan harmonis, bahkan saling
meniadakan sehingga energi yang dikerahkan sama sekali tidak bisa digunakan untut terbang ke
2
angkasa. Pandangannya yang menyingkirkan agama dan spiritualitas dari wacana ilmiah
berpengaruh signifikan terhadap pemikiran kontemporer.

Tulisan ini berusaha mengelaborasikan pengaruh pemikiran Kant terhadap proses tergerusnya visi
spiritual-intelektual yang dialami manusia kontemporer dalam memahami dunia, dirinya sendiri dan
realitas transedental. Yang dimaksud dengan visi spiritual –intelektual adalah kepekaan intuitif
terhadap nilai nilai transenden diikuti pemahaman kecerdasan intelektual spiritual manusia modern
dibalik keragaman fenomena.

Pemikiran dan Pengaruh Kant

Sebuah peralihan pemikiran filsafat modern dimulai dari Immanuel Kant (1724-1804). Terpengaruh
oleh skeptisme nya Hume , Kant kemudian mendapat inspirasi menjadi pendiri aliran filsafat yang
disebut dengan idealisme trasendental atau umumnya disebut sebagai idealisme kritis atau filsafat
kritis. Dalam penjelasan mengenai pengetahuan, Kant menggabungkan elemen doktrin apriori dari
rasionalisme dengan empirisme tentang pengalaman indrawi yang aposterior.

Elemen apriori yang diperkenalkan oleh Kant lebih terstruktur dengan menyebutnya sebagai
kategori yang terdapat dalam fakultas pemahaman sedangkan pemahaman inderawi yang
merupakan bahan pengetahuan berlangsung melalui apa yang disebutnya intuisi sebagai forma
ruang-waktu. Usaha Kant untuk mensitesiskan rasionalisme-empirisme ini bermuara pada
pemunculan dua gagasan baru yaitu kategori dan intuisi yang keduanya bersifat apriori mendahului
proses pemahaman dan pengalaman empiris.

Kant di satu sisi adalah penganut empirisme tetapi di sisi lain adalah seorang idealis objektif yang
menekankan adanya forma apriori yang sudah melekat pada struktur pikiran , dia menyebutnya

2
Husein Aryanto, Solipisme dan Fenomenalisme : Dua Kutub Ekstrim Kantian Yang Mengoyak Spiritualitas,
Jurnak Kanz Philosophia Vol 3 , Juni 2013
sebagai sesuatu yang kodrati. Dengan kata lain, Kant berpikir dengan kaki Hume dan kepala
Descrates. Kant sebenarnya lebih maju daripada Descrates dan Locke karena sudah membicarakan
relasi yang sudah terjadi pada fakultas fakultas pikiran dalam membentuk pikiran dalam membentuk
pengetahuan, tetapi dia tidak memberikan penjelasan yang memadai bagaimana bisa sampai kepada
fakultas fakultas itu secara terstruktur secara mekanistik begitu saja. Kant tidak hanya belum bisa
menyelesaikan problem relasi antara subjek dan duani esternal sebagaimana yang ada pada
rasionalisme dan empirisme, tetapi juga membuang cara penyelesaian untuk mengatasi problem ini.
Dengan menggagas dua dunia yang dikotomis yaitu dunia realitas pada dirinya sendiri dan dunia
penampakan, Kant mengajukan pandangan bahwa relasi kedua dunia ini tidak bisa dan tidak perlu
dijelaskan. Lebih jauh Kant mendesak kita untuk menghentikan usaha pengenalan terhadap realitas
sebagaiman adanya, karena menurutnya , rasio kita pada kodratnya tidak bisa melampaui dunia
fenomena, Realitas itu cukup diyakini saja.

Agnotisisme Kant

Agnotisisme berasal dari kata ‘’a” (tidak, tanpa) dan “gnosis” (pengetahuan), sehingga makna literal
agnotisisme adalah tanpa pengetahuan. Sesuai dengan gagasan awal pencetus istilah in, Thomas
Henry Huxley, penggunaan kata “gnosis” itu lebih dimaksudkan sebagai pengetahuan yang bersifat
intelektual dan reflektif. Pengetahuan intelektual ini, baik berisfat intuitif maupun diskursif
merupakan jenis pengetahuan manusia tertinggi dalam memahami realitas sebagaimana adanya.
Dengan demikian agnotisisme adalah sebuah pandangan yang menolak kemungkinan pengetahuan
manusia terhadap segala sesuatu secara hakiki dan esensial sedemikian sehingga pengertian
kebenaran menjadi kehilangan makna. Karena istilah kebenaran hanya mungkin diterapkan untuk
pandangan pengetahuan akan realitas adalah hal yang mungkin : sesuatu yang ditolak oleh
agnotisisme. Dengan kata lain agnotisisme telah menutup pintu memahami realitas.

Agnotisisme sesungguhnya merupakan karakter utama pemikiran Kant yang kemudian berpengaruh
terhadap pemikiran barat modern. Dalam agnotisisme Kant , yang terpenting adalah pengertian dan
ruang lingkup realitas Noumenal. Yaitu, realitas pada dirinya sendiri adalah realitas mendasar atau
struktur pokok realitas menjadi pondasi segala peristiwa atau fenomena. Dalam Prolegomena , Kant
menyebutkan pokok pokok pemikirannya termasuk ruang lingkup noumena. Dia menyebut tiga
obyek yang disebut dengan ide trasendental yang tergolong sebagai noumena yaitu realitas yang
sama sekali tidak dapat kita ketahui, yaitu Tuhan, kosmos dan Jiwa. 3 Jadi yang ditolak kemungkinan

3
Kant, Prolegomena dalam Immanuel Kant dan Paul Caurus , chicago : The Open Court Publishing Co, 1912
adanya pengetahuan kita adalah pengenalan terhadap ketiga realitas pokok itu, bukan hanya Tuhan
sebagaimana secara salah dan simplistik dipahami sebagian orang.

Sehingga, Kant sebenarnya menolak segala pengetahuan terhadap realitas pokok tersebut karena
berada diluar jangkauan pengalaman empiris. Kant menyebut ketiga realitas itu hanya “ide” yang
ada dalam pikiran manusia tanpa pernah membahas eksistensi real ketiganya. Menurut Kant, kita
hanya harus mengakui adanya tiga ide transedental ini agar bisa memahami kewajiban moral,
fenomena psikologis dan peristiwa peristiwa alam. Atas dasar inilah, Kant menyebut pemikirannya
sebagai idealisme trasedental yang berlawanan dengan mahzab realisme. Disisi lain, adanya uraian
tentang keterpaksaan menerima kehadiran ide ide apriori tanpa penjelasan rasional mendorong
lahirnya pragmatisme. Selanjutnya agnotisisme Kant yang menolak segala pengetahuan non-empiris
juga memperkuat kecenderungan paham paham empirisme, positivisme dan saintisme.

Demikianlah, berbagai aliran filsafat modern pasca Kant tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
pemikiran Kant baik secara langsung ataupun tidak langsung. Jika agnotisisme, idealisme,
positivisme, pragmatisme, konstruktivisme dan relativisme merupakan respon langsung terhadap
Kant, maka filsafat analitik, materialisme dan dekonstruksionisme-postmodernisme merupakan
aliran aliran filsafat yang lahir dari pemikiran tidak langsung terhadap Kant.

Solipsisme Sebagai Implikasi Agnotisisme Kant

Solipsisme berasal dari kata latin solus dan ipse (solus = sendirian, ipse = dirinya), yang secara harfiah
berarti sebagai suatu pandangan yang merujuk pada dir sendiri. Dalam perspektif ontologi,
solipsisme adalah pandangan bahwa tidak ada yang maujud kecuali diri sendiri dan kandungan
kesadarannya.4 Secara epistemologis, solipsisme adalah sebuah pandangan bahwa tidak ada yang
dapat diketahui selain diri sendiri dan kandungan kesadarannya. Dalam makna psikologis yang telah
terlebih dahulu dipakai, solipsisme adalah pandangan bahwa tidak ada yang bernilai kecuali nilai,
kepentingan dan kenikmatan sendiri. Pengertian ini digunakan oleh Kant dalam karyanya Critique of
Practical Reason. Pandangan antroposentrisme atau humanisme sekuler merupakan perluasan
solipsisme psikologis ini.

Dengan demikian dapat disimpulkan solipsisme adaah suatu bentuk kesadaran diri yang menutup
diri dari realitas eksternal dan pengetahuan mengenai realitas. Pandangan solpsistik ini merupakan
implikasi langsung dari agnotisisme Kant bahwa bahwa kita tidak mungkin mengenal realitas dan isi

4
Thomas Mautner, Dictionary of Philosophy, London : Penguin Books, 1997
kesadaran kita merupakan produk dari konstruksi mental kita terhadap pengalaman pribadi semata.
Sebelumnya Descartes dengan doktrin cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) berimplikasi
kepada solipsisme juga , yakni bagaimana halnya eksistensi luar cogito dan pengetahuan realitas
diluar cogito. Untuk menghadapi problem ini, Descartes memilih “jalan melompat” dengan
menggunakan “prinsip verasitas Tuhan”yaitu prinsip bahwa Tuhan tidak membohongi persepsi dan
pengalaman cogito untuk mengakui keberadaan realitas eksternal.

Pola pikir cogito ini seakan menjebak Kant untuk terperangkap dalam pandangan solipsisme, yang
ironisnya lebih terstruktur dan mendalam meskipun pada awal mulanya Kant mencoba menepis
problem keterasingan manusia dari realitas ini. Kant kemudian malah menggiring filsafat modern
untuk makin tenggelam dalam dunia yang diciptakan sendiri, yaitu konstruksi mental dengan
memutus secara total hubungan kemungkinan untuk mengungkapkan realitas sebagaimana adanya.

Agnotisisme yang bermuara kepada pengingkaran kemampuan kita dalam memahami realitas
adalah suatu bentuk ketertutupan diri sendiri. Agnotisisme Kant pada dasarnya dilatarbelakangi oleh
penilaian oleh penilaian yang hanya mau menerima pengalaman empiris dan menolak kemungkinan
pengetahuan lain. Penolakan ini merupakan sebuah kepongahan dan ketergesa gesaan dalam
mengambil keputusan atau kesimpulan bahwa pengetahuan kita hanya tebatas pada wilayah
fenomena dengan menyingkirkan kemungkinan mengenal noumena.

Daftar Pustaka

Azra, Azyumardi : Agama dan Otentitas Islam , Makalah seminar , Jakarta 2002

Copleston, Frederick, A History of Philosophy, Vol IX : Modern Philosophy, New York, 1974

Flew, Antony, An Introduction to Western Philosophy : Ideas and Argument from Plato to Popper,
London, Thames and Hudson, 1989

Mutner, Thomas. Dictionary of Philosophy.London : Penguin Books, 1997

Kant, Immanuel, The Critique of Pure Reason, Trans. J.M.D Meiklejohn, Chicago : William Benton,
1984

Kant, Prolegomena dalam Immanuel Kant dan Paul Caurus , Chicago : The Open Court Publishing Co,
1912

Anda mungkin juga menyukai