Anda di halaman 1dari 7

ISOLASIONISME VS KONTEKSTUALISME

BERIKUT NILAI KEHIDUPAN YANG


MEMBAWANYA

RESUME

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT SENI INDONESIA

YOGYAKARTA

2015
I. PEMBAHASAN

Isolasionisme dan kontekstualisme dalam seni rupa sesungguhnya adalah


sebuah metode atau cara untuk mengapresiasi karya seni. Mendekati kritik seni,
isolasionisme dan konstekstualisme memiliki istilah lain dalam dunia
kesenirupaan. Keduanya memiliki metode yang bertolak belakang, dan masih
digunakan untuk memahami seni hingga saat ini, terutama dalam studi
kesenirupaan.

Menurut John Hospers dalam Understanding the Art, isolasionisme adalah


cara mengapreasiasi sebuah karya dengan mengamati mendalam dan berulang-
ulang. Saat kita menghadapi sebuah karya, kita tidak butuh teori dari buku untuk
menelaahnya. Selain itu juga tidak diperlukannya telaah sejarah maupun budaya,
hanya membutuhkan diri untuk melihat, mendengarkan, maupun membacanya
berulang-ulang hingga ada titik terang yang dapat diambil dari karya tersebut. Hal
ini juga dapat dinyatakan sebagai apresiasi tunggal, karena kita melihat karya
tersebut apa adanya, berdiri sendiri sebagai karya tersebut. Pengetahuan akan latar
belakang, motif, maupun seniman, hanya akan merubah interpretasi murni dari
karya yang ada. Meski dianggap sebagai sebuah apresiasi murni, namun cara ini
tidak cocok untuk karya yang membingungkan ataupun butuh interpretasi dalam
untuk menikmatinya. Seorang kritikus seni masih dapat menggunakan
isolasionisme, namun kurator tidak diperbolehkan menggunakan.

Sementara kontekstualisme, adalah cara apresiasi karya yang harus sesuai


konteksnya. Disini penikmat seni tidak serta merta mengamati saja secara fisik
dan menafsirkan secara pribadi, namun harus mengetahui seluk beluk karya
secara penuh. Diantaranya media berkarya, tujuan berkarya, warisan budaya
maupun tradisi yang ada saat lukisan dibuat, kehidupan seniman, serta era
seniman hidup. Pengamatan yang mendalam tersebut akan memberikan apresiasi
yang mendalam dan lebih baik bagi karya tersebut (Hospers, 1982:82). Cara ini
cukup sering dipergunakan di era seni kontemporer, terutama pada praktik
kuratorial. Namun yang seringkali terjadi adalah adanya subjektifitas pada
penilaian seni. Meski karya tersebut biasa saja, namun nama seniman amat
berpengaruh pada pemberian nilai akhir karya, terutama pada harga. Tidak hanya
nama, konsep yang diusung dalam sebuah karya juga berperan besar menjadikan
karya tersebut bernilai atau tidak. Penilaian sebuah karya di mata kritikus dan
kurator memang berbeda, namun sisi kontekstual yang kuat akan mengangkat
karya. Sejarah maupun nilai yang melekat akan memberikan kesan mendalam
daripada sekedar perwujudan fisik tanpa nilai dan misteri yang menggungah
pengamat.

Itulah mengapa, disebutkan bahwa karya yang hidup adalah karya yang
memiliki nilai kehidupan. Perbedaan sebuah coretan sekilas dengan karya seni
adalah nilai yang terkandung di dalamnya. Karya seni yang berhasil adalah karya
yang berhasil membawa emosi. Seniman yang mengerjakan karya tersebut tentu
tidak akan sembarang membentuk atau menulis. Ada kesan dan pesan serta cerita
tertentu yang dibawanya, terkadang nilai budaya dan warisan peradaban yang
membawa emosi pengamat kaya seni. Contoh saat melihat lukisan kehidupan
pasar di Bali, ada nilai-nilai kehidupan yang diusung disana, membawa kita
mengimajinasikan kehidupan Bali, ataupun teringat saat-saat kita berwisata ke
Bali. Secara tidak langsung lukisan itu membawa kita pada pengetahuan indera
dan rasa terdalam akan Bali. Terlebih bila melihat kerumunan orang atau
pedagang yang menunggu, ada gugahan-gugahan kecil dan imajinasi yang
berjalan. Itu pertanda bahwa lukisan tersebut sudah berhasil memberikan nilai-
nilai kehidupan pada penikmatnya.

II. PRAKTIK TEORI

Untuk memahami lebih lanjut mengenai isolasionisme dan


kontekstualisme yang mengangkat nilai kehidupan, berikut contoh penerapannya
pada karya:

KARYA I

Secara isolasionisme dasar: Lukisan cat minyak diatas kanvas ini menggambarkan
seekor kuda biru yang kurus dan terlihat sedih, dengan background berwarna
kelabu. Dari tubuh kuda, muncul lelehan-lelehan merah seperti darah. Saya
merasa sedikit takut dan sedih saat melihat lukisan ini, apalgi karena saya pecinta
hewan.

Secara kontekstualisme dasar: Lukisan ini milik Ugo Untoro, seorang seniman
besar kontemporer Indonesia. Berjudul Poem of Blood #3, lukisan ini dibuat tahun
2006 dengan media cat minyak diatas kanvas. Ugo menggambarkan kesedihannya
akan kematian kuda peliharaan yang paling ia sayangi. Tidak heran ia mengambil
warna biru, yang secara psikologi bermakna kesedihan, kemudian membuat
postur tubuhnya meringkuk seperti sedang dalam duka. Lelehan-lelehan cat merah
yang artistik seakan menceritakan darah dan mensimbolkan kematian.

KARYA II

Secara isolasionisme dasar: Lukisan penggambaran seorang wanita kurus yang


tampak lelah sedang duduk di kursi antik. Wajahnya tidak menampakkan senang
maupun sedih, hanya datar dan menatap kedepan. Pakaiannya kebaya dengan jarit
tradisional, mungkin gambar wanita pada zaman kuno, bukan masa modern.
Dibelakang wanita tersebut terdapat tirai dengan renda-renda floral, menambah
kesan bahwa ini termasuk lukisan berumur tua. Warnanya lukisannya kusam
namun hangat.

Secara kontekstualisme dasar: Merupakan karya masterpiece dari S. Sudjojono,


bapak senirupa modern Indonesia. Terkenal sebagai penggerak senirupa dan
penulis tegas, Sudjojono juga pelukis yang handal, bahkan tidak menyangka
bahwa beliau memiliki sisi gelap kehidupan yang dikuak pada lukisan ini. Lukisan
berjudul “Di Balik Kelambu terbuka” menggambarkan Adhesti, seorang PSK
simpanan Sudjojono. Dimasa mudanya, beliau suka bermain wanita, akibat sakit
hati karena lamarannya ditolak oleh seorang gadis Betawi. Meskipun
menggambarkan kesederhaan seorang perempuan yang beristirahat dalam kursi,
namun cerita yang kontroversial ini berhasil mengangkat nilai lukisan Sudjojono
hingga menjadi salah satu koleksi bersejarah.

KARYA III

Secara isolasionisme dasar: Menggambarkan sekumpulan orang sedang makan


malam ditengah kesederhanaan. Mereka hanya memiliki kentang dan kopi (atau
teh) dan menunjukkan guratan prihatin pada wajahnya. Pencahaan temaram dari
lampu menambah suasana suram di ruangan tersebut. Pemilihan warnanya juga
kusam, sehingga atmosfir kesedihannya ikut terbawa pada pengamat.

Secara kontekstualisme dasar: Lukisan ini merupakan karya maestro dunia, Van
Gogh. Beliau menggambarkan situasi dimasanya, dimana kemiskinan melanda
pada tahun 1885. Mereka adalah penggambaran petani pada masa itu; bertampang
buruk dan kasar, serta hanya makan kentang. Suasana yang realis ini sengaja
diangkat oleh Van Gogh untuk menunjukkan kehidupan petani yang jujur; mereka
makan apa yang mereka tanam dengan tangan sendiri.
KARYA IV

Secara isolasionisme dasar: Serial karya ini menggunakan kulit kuda asli, dan
mendeformasinya dengan cara yang unik. Satu karya digantung begitu saja dan
karya lain menampakkan pinggul dan kaki kuda yang terjerembab di pasir. Karya
ini memberikan penontonnya rasa horor yang merinding, selain memang
tujuannya untuk memberikan kesan surreal yang kuat. Kuda-kuda yang
dideformasi dan diperlakukan dengan tidak biasa ini bisa simbolisasi senimannya
tidak menyukai kuda, atau memberikan kritik baik sosial maupun budaya.

Secara kontekstualisme dasar: Sama seperti lukian Poem of Blood, karya ini
didedikasikan Ugo Untoro untuk mengenang kematian kuda kesayangannya.
Dibuat dengan kulit kuda asli, Ugo memvisualisasikan kesedihan dan kematian.
Seniman kontemporer ini memberikan nafas baru bagi kesenian Indonesia dari
munculnya serial karya fenomenal ini.

III. KESIMPULAN

Baik kontekstualisme maupun isolasionisme adalah metode apreasiasi


karya yang bertolak belakang. Satu memilih menikmati karya dari kacamata
pribadinya sendiri, satu lagi menikmati karya sembari menelaah untuk mengetahui
makna lebih dalam karya tersebut baik dari literatur, analisis, dan dari senimannya
sendiri. Isolasionisme seni rupa lebih sederhana dan tidak diperuntukkan untuk
kuratorial, namun untuk kritikus masih dapat diterapkan. Tidak ada cara yang
lebih baik maupun lebih bagus. Keduanya memiliki kondisinya masing-masing
untuk dipergunakan.

Sementara nilai kehidupan adalah nilai-nilai yang dibawa oleh sebuah


karya. Entah memiliki latar budaya, sosial, norma, maupun ekspresi pribadi
seorang seniman. Nilai kehidupan yang diangkat membuat sebuah karya menjadi
hidup dan berkesan dimata penikmatnya. Inilah yang kemudian menghasilkan
taksu, sebuah kondisi dimana seniman maupun penikmat karya seni menjadi satu
dengan karya yang ada.

Anda mungkin juga menyukai