Anda di halaman 1dari 51

TEORI APRESIASI DAN SASTRA DI SD

RESUME BUKU SASTRA

Di Susun Oleh:
Ferda Juniarti 204220273

Dosen Pengampu:

Agung Nugroho M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS PGRI SILAMPARI
2022

BAB 1

1
SEJARAH SASTRA

PENDAHULUAN
• Pengertian sastra
Menurut (Dewi 2010) Apakah sastra itu? Banyak sudah para ahli sastra
berusaha merumuskan pengertian sastra. Tetapi sampai saat ini tak satupun dari
defenisi itu dapat memuaskan. Pengertian sastra masih saja merupakan misteri
yang belum terjawab.

Untuk memformulasikan hakikat sastra secara singkat dan jelas tidaklah


mudah. Apalagi untuk memilah yang mana sastra dan yang mana bukan sastra.
Sastra tidak bisa dibatasi seperti ilmu pasti. Sastra adalah karya dan kegiatan seni
yang berhubungan dengan ekspresi dan penciptaan, sedang tugas membuat
batasan adalah kegiatan keilmuan.

Sastra atau kesusastraan dapat ditemui dalam sejumlah pemakaian yang berbeda-
beda. Demikian diungkapkan Semi dalam bukunya Anatomi Sastra (1988:7). Hal
ini menggambarkan bahwa sastra itu kenyataannya bukanlah nama dari sesuatu
yang sederhana, tetapi ia merupakan satu istilah payung yang meliputi semua
kegiatan yang berbeda-beda.

Namun yang jelas dari batasan-batasan yang dikemukakan oleh penikmat maupun
sastrawan mempunyai alasan mengapa batasan tentang sastra sulit dibuat, yaitu:

1. Sastra bukan ilmu, akan tetapi satra adalah seni. Dan dalam seni banyak unsur
kemanusiaan yang masuk di dalamnya, khususnya perasaan, sehingga sulit
diterapkan untuk metode keilmuan, karena sulit dibuat batasannya

2. Sebuah batasan sastra selalu berusaha mengungkapkan hakekat sebuah sasaran.


Dan hakekat itu bersifat universal dan abadi.

3. Sebuah batasan sastra sulit menjangkau hakekat dari semua bentuk sastra.

4. Sebuah tentang sastra biasanya tidak hanya berhenti pada membuat pemberian
deskripsi saja, tetapi juga suatu usaha penilaian. Oleh sebab itulah batasan tentang
sastra selalu. mengacu kepada apa yang di sebut karya sastra yang baik untuk
suatu zaman dan tempat.

Selanjutnya sering orang mencari defenisi ontologis mengenai sastra, yaitu


sebuah defenisi yang mengungkapkan hakekat sebuah karya sastra sambil
melupakan bahwa sastra hendaknya didefenisikan di dalam situasi para pemakai
atau pembaca sastra. Sehingga norma dan deskripsi sering dicampuradukan.
Terkadang tanpa disadari bahwa sementara orang menganggap karya seseorang
merupakan karya sastra, namun sebagian lagi mengatakannya bukan karya sastra.
Munculnya anggapan tersebut, karena terikat pada satu defenisi

Plato beranggapan bahwa sastra, seni, hanya merupakan peniruan, peneladanan,


atau pencerminan kenyataan, maka ia berada di bawah kenyataan itu sendiri.
Padahal, yang nyata itu hanya pembayangan dari yang ada. Plato memandang
seni sebagai sesuatu yang negatif, Aritoteles, di pihak lain, beranggapan bahwa

2
proses penciptaan, sastrawan tidak semata-mata meniru kenyataan, melainkan
sekaligus menciptakan, penciptaan sebuah dunia dengan kekuatan kreativitasnya.
Dunia yang diciptakan pengarang adalah sebuah dunia yang baru, dunia yang
diedialkan, dunia yang mungkin dan dapat terjadi walau sendiri tak pernah
terjadi. Aristoteles memandang sastra sebagal sesuatu yang tinggi dan filosofis,
bahkan mempunyai nilai lebih tinggi dibanding karya sejarah (Lixemburg. dkk,
1992:16-7).

Jelaslah sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama


sebuah imitasi Demikian menurut Luxemburg (1984:5). Selanjutnya beliau
mengemukakan sang seniman pada dasarnya telah menciptakan dunia baru,
meneruskan proses penciptaan di dalam semesta alam, bahkan
menyempurnakannya. Sastra adalah luapan emosi yang spontan dan bersifat
otonom tidak mengacu kepada sesuatu yang lain; sastra tidak bersifat
komunikatif. Sang penyair hanya mencari keselarasan di dalam karyanya. Artinya
mencari keselaran antara bentuk dan isi. Dan setiap isi berkaitan dengan suatu
bentuk atau ungkapan tertentu.

Begitu bervariasi dan sulitnya untuk hakekat sastra. Sehingga tidak mungkin
memberikan sebuah defenisi yang universal mengenai sastra. Sastra adalah
sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sebuah hasil tertentu
dalam suatu lingkungan kebudayaan.

Secara umum kita tahu, sastra merupakan sarana yang sering dipergunakan
untuk mencetuskan pendapat pendapat yang ada di dalam masyarakat kita.
Seperti diungkapkan Semi (1988:8), Sastra adalah suatu bentuk dan hasil
pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan
menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Artinya dengan sastra manusia bisa
menumpahkan ide dan kreasinya sekaligus dijadikan sebagai media untuk
menampung ide. Karena sastra merupakan sesuatu yang kreatif maka sastra harus
mampu melahirkan suatu kreasi yang indah.

Apabila berbicara masalah sastra maka kita juga harus berbicara tentang seni,
karena karya sastra tidak akan berdaya manakala tidak memiliki nilai seni. Dan
nilai seni akan tidak berdaya apabila tidak membicarakan tentang manusia dan
alam, karena seni itu lahir perpaduan harmonis antara manusia dan alam.

Secara tidak sadar manusia telah memanfaatkan jasmani dan rohaninya


terhadap alam sekelilingnya. Maka sejak itulah adanya kesenian. Semua situasi
istetis yang tersimpan dalam rohani manusia memunculkan suatu kreativitas.
Manusia berusaha untuk merealisasikan semua pengalamannya ke dalam wujud
bentuk, sehingga lahirlah karya yang berupa kebudayaan dan kesenian.

Kembali kemakna sastra, sastra adalah karyaseni yang harus diciptakan dengan
suatu daya kreativitas, yang tidak saja dituntut dalam upaya melahirkan pengalaman
batin dalam bentuk karya sastra, tetapi lebih dari itu. Akan tetapi manusia harus
memilih unsur-unsur terbaik dalam pengalaman hidup manusia yang dihayatinya yang
merupakan keharusan dimiliki seorang sastrawan.

3
Sebagai karya seni Saini KM dan Jakob Sumarjo menyatakan ada tiga hal
yang membedakan karya sastra dengan yang bukan karya sastra. Yaitu sifat
khayali (ficsionality), adanya nilai-nilai seni (estetic values), dan adanya
penggunaan bahasa yang khas (special use of languange).

Sifat khayali sastra merupakan akibat dari kenyataan bahwa karya sastra
diciptkan dengan daya khayal. Walaupun karya sastra harus berbicara tentang
kenyataan akan tetapi karya sastra masih tidak terlepas dari daya khayal
pengarangnya sebagai latar belakang tempat kenyataan dan masalah-masalah
kehidupan yang nyata. Dan daya khayal itu dapat direnungkan dan dihayati oleh
pembaca.

Dalam karya sastra ada nilai-nilai estetik, bukan saja merupakan persyaratan
yang membedakan karya sastra dengan karya yang lainnya, justru dengan nilai-
nilai seni itulah pengarang dapat mengungkapkan isi hatinya sejelas mungkin,
sedalam-dalamnya, dan sekaya-kayanya. Adapun nilai-nilai seni itu antara lain
keutuhan (unity) atau kesatuan (unity in varierty), keseimbangan (belance),
keselarasan (harmony) dan tekanan yang tepat (righ emphasis).

Yang dimaksud dengan keutuhan artinya suatu karya sastra harus utuh. Utuh
dalam pengertian setiap bagian atau unsur yang ada padanya menujang kepada
usaha pengungkapan isi hati sastrawan. Ini berarti pula setiap unsur atau bagian
karya sastra benar-benar diperlukan dan disengaja adanya dalam karya sastra itu.
Dengan kata lain di dalam karya sastra tidak ada unsur atau bagian yang
kebetulan.

Selanjutnya yang dimaksud keseimbangan ialah bahwa unsur-unsur atau


bagian-bagian karya sastra, baik dalam ukuran maupun bobotnya harus sesual
atau seimbang dengan fungsinya. Dari uraian di atas, dalam praktiknya ketiga hal
di memiliki bobot dan nuansa yang berbeda-beda atas antara satu jenis karya
sastra dengan jenis karya sastra yang lainnya. Ciri karya sastra yang harus
memiliki nilai seni tidak ada permasalahan, karena semua karya sastra apapun
gendernya harus memiliki nilai-nilai estetika atau seninya. Namun dalam dua hal
yang lain,yaitu sifat khayali dan penggunaan bahasa, ada perbedaan perbedaan
yang menyolok sehingga perlu adanya dua penggolongan jenis (gender) sastra.
Yakni sastra yang bersifat imajinatif dan sastra non imajinatif.

1. Sastra Imanjinatif dan Non Imajinatif Sastra imanjinatif yaitu karya sastra
yang bersifat simbolis, tidak saja mengungkapkan hal yang pengucapan, karya
sastra imajinatif mampu menimbulkan kesan keindahan. Pernyataan-pernyataan
dalam sastra imajinatif merupakan pernyataan pernyataan yang amat kompleks
yang amat diebalorasi tentang penulis dan pembaca. Di dalamnya terkait masalah
cita rasa dan pandangan hidup.

Selanjutnya sastra non imajinatif. Sastra non imajinatif lebih realis. Meski
sastra non imajinatif tidak terlepas dari seni khayali, namun pengungkapannya
tidak 'meliuk' seperti sastra imajinatif. Dalam arti kata sastra non imajinatif lebih
mengetengahkan nilai-nilai pembenaran dalam pengungkapan.

4
Sastra imajinatif seni khayalinya agak kuat dibandingkan dengan sastra non
imajinatif. Demikian dalam penggunaan bahasanya, sastra imajinatif lebih
menekankan penggunaan bahasa konotatif dibandingkan dengan sastra non
imajinatif yang lebih kemakan sebenarnya (denotatif). Perbedaan-perbedaan
tersebut bersifat ekstrim, sebab tidak semua karya sastra imajinatif yang
sepenuhnya khayali dan merbahas konotatif. Juga tidak selamanya karya sastra
non imajinatif tidak bersifat khayali dan bermakan denotatif. Sebab kedua makna
denotaif dan konotatif hampir sulit untuk dibedakan dalam karya sastra. Apapun
bentuknya yang jelas karya sastra adalah karya seni hasil imanjinasi pengarang
yang memiliki nilai estetika yang dapat diterima oleh pembaca.atas di dalam

Seperti dijelaskan di mengeksploitasi imajinernya, baik sastra imajinatif yang


maupun sastra non imajinatif tidak terlepas dari bahasa yang digunakan. Bahasa
yang baik, ialah bahasa mampu membangun sastra yaitu bahasa yang matang.
lentur, peka akan makna yang baru dan lama, segar, tidak hambar dan basi, dan
diperlukan kesamaan sikap. pengalaman, perasaan dan pikiran. Misalnya seperti
diungkapakan oleh William Worswort, poetry is the best words in the best order
puisi adalah kata-kata yang terbaik dalam susunan yang terbaik. Artinya dengan
kata-kata baik, bahasa yang diatur sedemikian rupa, pengimajian, ungkapan,
perbandingan, dan kehidupan bunyi yang terlihat pilihan kata-katanya, akan
diperoleh kesan (estetik). Bahasa sebagai media pengucapan, mampu
menimbulkan kesan keindahan. Kemampuan mengeksploitasi bahasa dalam
segala dimensi inilah, yang membedakan karya sastra dengan karya-karya yang
lain.

ALIRAN-ALIRAN DALAM SASTRA

Sebuah karya sastra yang baik pada dasarnya mengalami beberapa proses.
Proses tersebut berlangsung dalam diri pengarang. Mula-mula pengarang melihat
keadaan-keadaan dan masalah-masalah dalam masyarakat baik berupa kejadian-
kejadian yang disebut tesa.

Tesa memperoleh pendalaman, dalam arti dicerna oleh sipengarang sehingga


si pengarang menentukan sikapnya atas persolan-persolan yang dihadapinya yang
telah melalui penilaian dari sudut etika sipengarang sendiri (pertimbangan baik
dan buruk). Hal ini disebut anti tesa Akibatnya lahirlah sebuah karya sastra akibat
penggodokan yang matang antara tesa anti tesa yang menghasilakan syntesa
(karya sastra itu sendiri).

Setiap sastra mengalami suatu proses. Apabila pengarang mengatakan akunya


sendiri, di situ ia subyektif. Akan tetapi apabila ia membiarkan peristiwa-
peristiwa tersebut tanpa melibatkan diri untuk berkomentar maka karya tersebut
disebut obyektif. Jadi subyektif maupun obyektif si pengarang bergantung pada
berpengaruh atau tidaknya perasaannya dalam menanggapi suatu masalah. Seni
yang obyektif masuk ke dalam aliran realisme.

Jadi segalanya digambarkan seperti keadaan yang dan sebenarnya. Pengarang-


pengarang realisme melukiskan orang-orangnya dengan perasaan-perasaan
pikirannya sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya dengan tidak memihak
kepada orang-orangnya.

5
Untuk membuat suatu karya yang benar-benar realis dan benar-benar obyektif
tidaklah mudah. Walaupun si pengarang dapat mengemukakan manusia sampai
kepada perasaan-perasaannya dan pikirannya, sampai kepada yang sekecil-
kecilnya dengan tidak memihak kepada orang-orangnya.

Tetapi realisme yang benar-benar obyektif tentu sukar. Walaupun si pengarang


dapat mengemukakan perasaaan manusia sampai kepada perasaan-perasaan dan
fikirannya yang paling dalam misalnya tentang kesedihan, kesengsaraan,
ketinggian budi dan kerendahan hawa nafsu sehingga pengarang seolah sebagai
penonton yang obyektif. Namun terkadang pengarang berubah haluan pengarang
berhubungan dengan isi karangan. Aliran romantik timbul sebagai reaksi atas
rasionalisme yang dipelopori oleh Jeane Jacques Rousseau. Hal itu sesuai dengan
corak jiwa dan pandangan hidup pengarang yang menganutnya. Oleh karena itu
tiap-tiap pengarang memiliki corak karangan berbeda-beda, sesuai dengan
pandangan hidup mereka masing-masing, sehingga munculah bermacam-macam
aliran dalam sastra.

1. Aliran Realisme (real-nyata)

Aliran ini berusaha melukiskan kenyataan yang terdapat dalam kehidupan


sehari-hari. Karangan dikatakan realis jika pengarang tidak mendesakan
pikirannya, perasaan dan kemauannya pada pelaku pelakunya serta pembacanya.
Orang-orang dalam cerita itu di suruh berbicara sendiri menurut pikiran dan
persaannya sendiri. Bahasanya merupakan bahasa sehari-hari yang terpakai dalam
percakapan. Contoh; Dari Ave Maria ke Jalan lain ke Roma karya Idrus. Atau
Keluarga Gerilya karya Pramudya Ananta Tur dan sebagainya. Selanjutnya yang
termasuk bagian aliran realisme ini yaitu aliran imperrionisme (impressi-Kesan)
naturalisme (natuur-alam), dan aliran deternisme. aliran

a. Aliran Impessionisme (impressi-Kesan) Aliran ini muncul karena ada


pengaruh dari luar. Misalnya pengarang melihat kehidupan alam. Lalu tergugah
sukmanya, sehingga lahirlah karyanya yang memantulkan kembali keindahan
alam itu.

Pengarang aliran ini berusaha melahirkan segala yang dialami dan dilihatnya.
Tetapi yang dipentingkan hanya kesan sesaat yang disadarkan atas keinderaan
semata mata.

Kesan-kesan yang timbul dalam kenyataan diolah dalam batin pengarang


membuat pemerian (deskripsi) tentang kesannya itu ke dalam karya sastra.
Contoh aliran ini adalah sajak-sajak Chairil Anwar terjemahan karangan Maria
Rill (Jerman), Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisyabana dan Nursyamsu. Selanjutnya
pengarang pengarang beraliran impresionisme lainnya ialah Hartoyo Andangjaya,
Sanusi Pane, Situr Situmorang
[17.24, 3/11/2022] Assalamu'alaikum: b. Aliran Naturalisme (natuur-alam)

Aliran ini sebagai kelanjutan dari aliran realisme. Perbedaannya dengan


realisme tidak jelas. Biasanya naturalisme lebih cendrung melukiskan segi segi
yang jelek dan agak berbau cabul. Persamaan realisme dengan naturalisme kedua-

6
duanya berusaha melukiskan kenyataan dengan teliti. Perbedaaannya adalah
naturalisme lebih cendrung melukiskan segi-segi masyarakat yang jelek.
Pengarang aliran naturalisme yang terkenal ialah Emile Zola dari Perancis yang
hidup tahun 1840-1902. Contoh karya aliran naturalisme yaitu:

c. Aliran Neonaturalisme

Yaitu aliran yang juga berusaha melukiskan hidup yang obyektif baik mengenai
yang buruk-buruk maupun yang baik-baik.

d. Aliran Deternisme

aliran ini mengajarkan bahwa kemana sebenarnyaq manusia itu itu sebenarnya
tidak merdeka dalam mengambilk keputusan yang penting, sebab segala
tindakannya kelak itu sudah terpasti lebih dahulu. Aliran ini tidak berkembang
dalam kesustraan Indonesia sebab agak berbau maxisme (materialisme).

2. Aliran Ekspresionisme (expressi-pengucapan jiwa)

Penganut aliran ini berusaha melukiskan penglihatan dan pendengaran jiwanya


(bukan penglihatan dan pendengaran telinga). Jadi seniman mengucapkan
jiwanya sendiri; cintanya, bencinya tentang tanggapannya tentang kemanusiaan,
ingin mencetuskan perasaannya dan lain sebagainya.

Pernyataan jiwa sendiri ini biasanya dalam bentuk puisi. Alam bagi aliran ini
hanya alat untuk
[menyatakan pengertian yang lebih dalam. Selanjutnya di dalam sajak
ekpresionisme, si penyair bercerita melainkan berteriak. Dalam menyatakan yang
perasaannya penyair mempergunakan kata-kata pendek mengenal hakekat. Oleh
karena itu kadang-kadang suatu sajak hanya terdiri dari baris-baris kalimat y
terdiri dari satu-satu perkataan. Kalimat-kalimat berdiri sendiri dan nampaknya
tak berhubungan dengan satu sama lainnya. Contoh yang termasuk aliran ini
adalah sajak-sajak misalnya yang berjudul tidak melukiskan

Aku, 1943, Doa, Isa Karya Chairil Anwar

Surat Dari Ibu karya Asrul Sani Yang Kami Minta Hanyalah karya Taufik
Ismail

Sejalan berkembangnya pola pikir dan pengekspresian, muncul pula bentuk-


bentuk karya sastra yang eksprsif yang lain. Muncilah aliran romantik, simbolik,
idealisme, surrealisme, misticisme dan lain lain.

a. Aliran Romantik

Dasar pemikirian aliran ini ialah ingin menggambarkan kenyataan hidup


dengan penuh keindahan tanpa cela. Jika yang dilukiskan kebahagiaan maka
kebahagian itu perlu dilukiskan sempurna tanpa tara. Sebaliknya jika ingin
menggambarkan kesedihan maka diungkapkanlah kesedihan tersebut hingga air

7
mata pembacanya terkuras. Oleh sebab itu, aliran romantik sering dikaitkan
dengan sifat sentimental dan cengeng.

Karya-karya yang bersifat romantik seringkali berusaha membual perasaan


pembacanya. Kecendrungan manggambarkan keindahan alam, bunga, sungai,
gunung dan bulan.didasarkan atas kepentingan memperindah kenyataan itu.
Gambaran konkrit aliran romantic ini banyak dilihat dalam karya-karya sastra
lama. Kecantikan seorang gadis, misalnya, dinyatakan dengan penuh
kesempurnaan. Misalnya; rambutnya ikal mayang, matanya terang seperti
bintang, wajahnya lembut seperti bulan, dan lain sebagainya.

Karena aliran romantik mengutamakan perasaan,Sehingga dalam karangan


fantasi pengarang seolah-olah berkuasa dan menyeret pembaca ke dunia fantasi
ini.Aliran ini mengemukakan bahwa alam mempunyai rahasia yang tidak bisa di
raba oleh pikiran manusia,karena perasaan dan intuisi dapat menduga dan
mengukurnya. Ciri-ciri Karangan Aliran Romantik

Perasaan dan fantasi memegang penting.Adanya rasa tidak tidak puas


terhadap yang ada. menyebabkan adanya pelarian dari Hal itu

dunia kenyataan ke dunia impian. Di dalam mengucapkan jiwanya, biasanya


pengarang mempunyai minat besar terhadap alam, yang dilukiskan menurut
perasaannya sendiri, misalnya:

bila pengarang dalam suasana gembira maka akan menghasilkan bentuk


karangan yang serba kemilauan dengan ungkapan yang serba 'wah', misalnya
dengan ungkapan awan berarak, angin samar sepoi-sepoi membawa harum
bunga-bunga dan sebagainya.

Bila pengarang sedih maka ungkapan yang digunakan misalnya kata burung
murai tidak berkicau atau bulan bersembunyi di balik awan dan sebagainya.

Jadi lukisan yang romantis itu berupa lukisan kejadian yang hanya mungkin
terjadi di angan-angan saja. Karena indahnya dan melambung-lambung, maka

seolah-olah

seperti

lamunan

orang-orang

muda

mengenangkan kekasihnya. Dalam sastra modern mereka yang tergolong

beraliran romantik ini ialah

8
1. Muhammad Yamin

2. Amir Hamzah

3. Ramadhan KH

4. Kirdjomuljo

5. Rendra

Contoh karangan romantis;

a Hikayat Si Miskin

b. Cerita-cerita di dalam Lembah Kehidupan.

Siti Nurbaya dan lain-lain.

b. Aliran Simbolisme (aliran lambang) Penganut simbolisme ini berusaha


menerapkan pancaindera. Tetapi penerapan yang dilukiskan ini hanya melukiskan
lambang dan kenyataan yang sebenarnya.

c. Aliran Idealisme (ide-cerita)

Aliran ini berusaha menguraikan apa yang menjadi cita-cita untuk masa yang
akan datang Biasanya cita-cita untuk memperbaiki sesuatu yang dianggap tidak
baik. Oleh karena itu lukisan yang idealistis selalu muluk-muluk, membumbung
tinggi yang ada dalam angan-angan pengarang sendiri.

Berdasarkan cita-cita penulis, biasanya penulis mempunyai pandangan jauh ke


depan. Imajinasi penulis terkadang melesat menumbuhkan harapan dan keinginan
yang terangkai dalam kata. Maka tidak sedikit karya sastra-karya sastra yang
menjadi saksi atas sejarah yang melukiskan pikiran dan cita-cita pengarangnya.
Misalnya saja puisi yang berjudul Fantasi karya Ipíh. Puisi ini ditulis Ipih jauh
sebelum proklamasi Kemerdekaan. Tetapi apa yang ditulisnya dalam sajaknya
betul-betul terjadi pada 17 Agustus 1945. Hal inilah yang menyebabkan Ipih
masuk dalam aliran idealisme, karena harapan dan cita-citanya berhasil menjadi
wujud jauh sebelum terjadi.

d. Aliran Sueralisme (Lebih dari lukisan naturalisme)

Penganut aliran ini berusaha memberi lukisan lebih dari realistis. Pendirian
aliran ini berpegang pada kenyataan, bahwa laku atau perbuatan seseorang itu
sering di luar kesadarannya atau tak terkontrol oleh akal budi. Itulah sebabnya
pengarang surealis berusaha melukiskan sesuatu kenyataan yang lebih luas, yang
meliputi segala yang disadari dan yang tak disadari.

Lukisan surealisme berusaha menangkap kehidupan dalam suatu saat dalam


keseluruhannya dan kesatuan berupa film; artinya segala sesuatu yang segala-

9
galanya terjadi serentak (orang bicara, musik, tuter mobil, pemandangan dan lain
sebagainya berjalan berbarengan).

Pikiran dan lukisan yang surealisme ini meloncat loncat dengan cepatnya,
sehingga tidak memperhatikan tata bahasa dan kaidah bahasa.

Ada perbedaan surealisme dengan naturalisme. Pengarang pengarang


naturalisme dengan gampang merasa cukup puas menerangkan laku perbuatan
manusia berdasarkan sifatnya, keturunannya. Sedangkan pengarang-pengarang
surealisme dalam melukiskan perbuatan manusia mencari sumber-sumber
kejiwaan dalam bawah sadar manusia.

e. Mysticisme

Aliran ini berusaha melukiskan pengalaman dalam mencari dan merasakan


nafas ketuhanan dan keabadian. Pada aliran ini sipenulis merasakan kedekatannya
ke pada Tuhan (bersatu dengan kebenaran akhir). Oleh sebab itu si pengarang
biasanya melukiskan pengalamanan dalam mencari dan mersakan nafas
Ketuhanan dan keabadian dan keabadian. Bagi seorang pengarang seni sebagai
alat memuji kebesaran Tuhan. Tokoh-tokoh sastra yang sangat kental dengan
misticime abtara lain J.E Tatengkeng-Kristen, Sasnusi Pane-Hindu, Amir
Hasmzah-Islam, Rivai Avin-Islam.

f. Psychologisme(psyce-jiwa)

Penganut aliran ini berusaha melukiskan gerak. gerik jiwa dan perjuangan
batin seseorang terhadap alam gaib atau problem hidup.Contoh yang termasuk
dalam aliran ini adalah;

Belenggu karya Armyn Pane Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis

Atheis karya Achdiat Kartamiharja

g. Aliran Imajis

Aliran ini mengisayaratkan kenyataan harus dilukiskan dalam imaji visual


yang jernih dan jelas. Kata kata dipilih secara dan efisien. Kenyataan apapun
dikemukakan. Bahasa yang dipilih adalah bahasa sehari

hari dengan ritme yang tidak mengikat. Kata-kata

dipandang segala-galanya.

Disamping

mewngungkapkan gagasan penyair, kata-kata itu men dukung imajinasi


penyair yang hendak diungkapkan.

10
Puisi kaum imaji bayak mirip prosa. Hal ini disebabkan karena penyair ingin
mengungkapkan bahasa sehari-hari. Sering pula penyair merasa bahwa
imajinasinya sudah di ketahui pembaca, sehingga larik
puisinya terpoton g tidak dilanjutkan atau dibiarkan menggantung. Tokoh- tokoh
Imajis diantaranya Adri Darmadji,Sapadi Djoko Darmono, B.Y Tand, Beni Setia,
Hetu Emka, dan lain-lain.

h. Aliran ekstensialisme

Yaitu semacam aliran filsafat yang muncul dalam karya sastra modern ini.
Aliran ini muncul dari keinginan manusia untuk menyelidiki dirinya sendiri dari
segala sudut, arti kata menyelidiki manusia dengan situasinya, yang
mengutamakan kebenaran manusia (desein-ada). Aliran ini terbagi lagi menjadi
dua, yaitu atheis dan theis 9mengaku adanya Tuhan. Contohnya;

Jalan Tak Ada Ujung karya Muchtar Lubis

f. Psychologisme (psyce-jiwa)

Penganut aliran ini berusaha melukiskan gerak. gerik jiwa dan perjuangan
batin seseorang terhadap alam gaib atau problem hidup.Contoh yang termasuk
dalam aliran ini adalah;

Belenggu karya Armyn Pane Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis

Atheis karya Achdiat Kartamiharja

g. Aliran Imajis

Aliran ini mengisayaratkan kenyataan harus dilukiskan dalam imaji visual


yang jernih dan jelas. Kata kata dipilih secara dan efisien. Kenyataan apapun
dikemukakan. Bahasa yang dipilih adalah bahasa sehari

hari dengan ritme yang tidak mengikat. Kata-kata

dipandang segala-galanya.

Disamping

mewngungkapkan gagasan penyair, kata-kata itu men dukung imajinasi


penyair yang hendak diungkapkan.

Puisi kaum imaji bayak mirip prosa. Hal ini disebabkan karena penyair ingin
mengungkapkan bahasa sehari-hari. Sering pula penyair merasa bahwa
imajinasinya sudah di ketahui pembac, sehingga larik

11
larik puisinya terpoton g tidak dilanjutkan atau dibiarkan

menggantung. Tokoh-tokoh Imajis diantaranya Adri Darmadji,

Sapadi Djoko Darmono, B.Y Tand, Beni Setia, Hetu Emka,

dan lain-lain.

h. Aliran ekstensialisme

Yaitu semacam aliran filsafat yang muncul dalam karya sastra modern ini.
Aliran ini muncul dari keinginan manusia untuk menyelidiki dirinya sendiri dari
segala sudut, arti kata menyelidiki manusia dengan situasinya, yang
mengutamakan kebenaran manusia (desein-ada). Aliran ini terbagi lagi menjadi
dua, yaitu atheis dan theis 9mengaku adanya Tuhan. Contohnya;

Jalan Tak Ada Ujung karya Muchtar Lubis

Tanah Gersang karya Muctar Lubis.

BAB 2
METODE PENELITIAN PSIKOLOGI SASTRA

A. Pengertian Psikologi Sastra

Menurut Endaswara ( 2008) Sejak kapan psikologi sastra muncul, sebenarnya tidak
terlalu prinsip Wilayah historis itu biasanya justru membelenggu pemer hati sastra.
Hal itu bagian dari pemikir sejarah sastra yang tak per nah tuntas. Dari realita,
sebenarnya dapat diduga pemunculan psiko logi sastra adalah setelah teori-teori
penelitian intrinsik sastra mene mui jalan buntu Maksudnya, penelitian intrinsik tidak
mampu menjawab seluruh masalah sastra.

Pada bagian ini, yang perlu dikemukakan justru asal-usul ke munculan psikologi
sastra itu tampaknya bukan dari ahli sastra. Orang di luar sastra biasanya jauh lebih
memperhatikan masalah inheren sastra. Akibatnya, sisi-sisi tertentu dari sastra,
mereka perdalam hing ga sampai ada gagasan psikologi sastra Sementara "orang
dalam" sendiri sering terlalu asyik dengan penelitian yang lain.

Dugaan sementara, kemungkinan besar sejak Freud sebagai dokter banyak


membaca sastra sehingga muncul psikologi sastra. Jika hal ini benar, sampai di negara
kita tentu terasa agak lambat. Berapa tahun sejak Freud tiada sampai saat ini?
Mengapa kita justru belum dewasa ketika memahami persoalan psikologi sastra. Hal
ini sejalan pemikiran Makaryk (1993:163) bahwa sejak Freud (1886-1939),

12
interpretasi psikologis terhadap sastra mulai berkembang Aneh nya, gagasan elit itu
tak segera diikuti oleh ahli sastra lain.
jika menyimak pendapat Ratna (2004) bahwa di Indonesia, analis psikologi sastra
lebih lambat perkembangannya dibandingkan deng sosiologi sastra Keadaan semacam
ini tak perlu ditangisi lagi

Yang perlu direnungkan, ada beberapa indikator yang diduga


merupakan penyebabnya, pesimistis psikologi sastra itu, di antara nya (a) psikologi
sastra seolah-olah hanya berkaitan dengan manus sebagai individu, kurang
memberikan peranan terhadap subjek trans individual sehingga analisis dianggap
sempit. (b) dikaitkan dengan tradisi intelektual, teori-teori psikologi sangat terbatas
sehingga para sanjana sastra kurang memiliki pemahaman terhadap bidang po logi
sastra, dan (c) berkaitan dengan masalah pertama dan kedua, relevansi analisis
psikologis pada gilirannya kurang menarik minat khususnya di kalangan mahasiswa,
yang dapat dibuktikan dengan sedikitnya skripsi dan karya tulis yang lain, yang
memanfaatkan pen dekatan psikologi sastra.

Psikologi sastra memang bukan ilmu baru. Namun, di negara kita, ilmu ini
masih relatif muda Paling tidak belum banyak ahli yang terjun ke dunia satu ini. Dari
sisi historis, psikologi sastra sebenar nya sejajar dengan sosiologi sastra. Hanya saja
sosiologi sastra lebih berkembang karena berkaitan dengan kehidupan masyarakat.
Mung kin ada yang menganggap sosiologi sastra jauh lebih enteng ketim bang
psikologi sastra, boleh boleh saja. Berat ringan sebuah keilmu an sebenarnya
tergantung siapa yang mempelajarinya. Mungkin pula, memang ada anggapan bahwa
kehidupan masyarakat jauh lebih mudah diakses daripada kehidupan pribadi.
Akibatnya, bukan mustahil jika sosiologi lebih cepat diminati daripada psikolog P
dahal, keduanya sama-sama cabang keilmuan yang menarik guna mempelajari sisi
kehidupan manusia.

Disadari atau tidak, dunia penelitian psikologi sastra awal ada lah toon Freud.
Meskipun tidak harus dinyatakan dia sebagai pencetus teori, namun perkembangan
berikutnya memang agak tersendat. Teori psikoanalisis Freud tampaknya yang banyak
mengilhami par pemerhati psikologi sastra. Dia membedakan kepribadian menjad tiga
macam, yaitu Id. Ego, dan Super Ego. Ketiga ranah psikologi ini Lampaknya yang
menjadi dasar pijakan penelitian psikologi sastra Memang harus diakui bahwa Freud
yang menjadi titik pangkal keberhasilan mengungkap genesis karya sastra.
Penelitiannya amat dekat dengan penelitian proses kreatif. Oleh karena konsep yang
ditawarkan sebatas masalah gejolak tiga ranah jiwa itu, relevansi teori Freud dianggap
sangat terbatas dalam rangka memahami sebuah karya sastra. Hal ini berarti gagasan
tersebut masih perlu dilengkapi dengan bidang lain. Apalagi sastra itu sendiri tidak se
kadar masalah kreativitas. Sastra melingkupi aneka rupa hidup.

Konsep-konsep Freud, pada awalnya memang bukan ahli sastra. Freud hampir
merambah ke beberapa disiplin, seperti sosiologi, antro pologi, dan filsafat. Pada
gilirannya Freud telah "merajai" dalam stu di keilmuan humaniora, khususnya dengan
konsepsi psikoanalisis. Dalam buku Milner (1992 xiii), yang membahas Freud secara
pan jang lebar, dijelaskan bahwa peranan teori Freud tidak terbatas se bagaimana
dinyatakan sebelumnya. Menurutnya, teori Freud memi liki implikasi yang sangat
luas tergantung bagaimana cara meng operasikannya. Di satu pihak, hubungan
psikologi dengan sastra didasarkan atas pemahaman bahwa sebagaimana bahasa

13
pasien, sastra secara langsung menampilkan ketaksadaran bahasa. Di pihak lain,
kenyataan bahwa psikologi Freud memanfaatkan mimpi, fan tasi, dan mite, sedangkan
ketiga hal tersebut merupakan masalah pokok dalam sastra. Hubungan yang erat
antara psikoanalisis, khu susnya teori-teori Freud dengan sastra juga ditunjukkan
melalui pene litiannya yang bertumpu pada karya sastra, seperti Oedipe-Roi (Oedipus
Sang Raja) karya Sophocles dan Hamlet karya Shakespeare Peneliti an yang
dilakukan oleh Freud sekaligus menunjukkan hubungan antara ilmu kedokteran dan
sastra.

Gagasan ini tidak terlalu berlebihan, jika menengok realitas psikis penampilan puisi
kolaboratif. Di Borobudur Plaza Yogyakar ta, tiap malam Selasa Wage digelar ritual
puisi macapat dengan tuju an untuk obat sakit pemilik plaza. Awal mula sakit stress
itu amat berat karena ada masalah bisnis, lama-kelamaan terobati. Hal ini berarti teori
Freud memang dapat dimaklumi bahwa sastra dapat menjadi obat, seperti halnya
dunia kedokteran.

Teori Freud dengan demikian tidak terbatas untuk menganali sis asal-usul proses
kreatif seperti diduga sebelumnya. Sama de ngan menghadapi seorang pasien, untuk
mengobati penyakitnya,

B. Asumsi Kehadiran Psikologi Sastra

Kehadiran psikologi sastra di tengah-tengah kita sebenarnya telah lama,


hanya belum disambut antusias. Meskipun secara rigid agak sulit dipastikan, namun
dapat diduga bahwa psikologi sastra pun sebenarnya berniat melengkapi pemahaman
sastra. Lebih dari itu, belakangan psikologi sastra tampak telah menjadi kebutuhan
akademisi. Psikologi sastra semakin mendapat tempat khusus di bang ku-bangku
kuliah. Menurut Semi (1993), ada beberapa asumsi yang memunculkan psikologi
sastra telah dianggap penting, yaitu

(1) Karya sastra merupakan produk dari suatu keadaan kejiwaan dan pemikiran
pengarang yang berada dalam situasi setengah sadar (subconcius) setelah mendapat
bentuk yang jelas dituang kan ke dalam bentuk tertentu secara sadar (concious) dalam
bentuk penciptaan karya sastra. Jadi, proses penciptaan karya sastra terjadi dalam dua
tahap, yaitu tahap pertama dalam ben tuk meramu gagasan dalam situasi imajinatif
dan abstrak, ke mudian dipindahkan ke dalam tahap kedua, yaitu penulisan kar ya
sastra yang sifatnya mengonkretkan apa yang sebelumnya dalam bentuk abstrak.

(2) Mutu sebuah karya sastra ditentukan oleh bentuk proses pen ciptaan dari tingkat
pertama, yang berada di alam bawah sadar, kepada tingkat kedua yang berada dalam
keadaan sadar. Bisa terjadi bahwa dalam situasi tingkat pertama gagasan itu sangat
baik, namun setelah berada pada situasi kedua menjadi kacau sehingga mutu karya
tersebut akan sangat tergantung kepadakemampuan penulis menata dan mencerna
perwatakan, dan me nyajikannya dengan bahasa yang mudah dipahami. Jadi, dalam
hal ini penelitian dan analisis ditujukan kepada masalah p proses penciptaan.

14
(3) Di samping membahas proses penciptaan dan kedalaman segi perwatakan tokoh
perlu pula mendapat perhatian dan penel an, yaitu aspek makna, pemikiran, dan
falsafah yang terlihat di dalam karya sastra.

(4) Karya yang bermutu, menurut pendekatan psikologis, adalah karya sastra yang
mampu menyajikan simbol-simbol, wawas an perlambangan yang bersifat universal
yang mempunyai kat an dengan mitologi, kepercayaan, tradisi, moral, budaya, dan
lain-lain. Dalam karya puisi yang dominan menggunakan sim bol dan perlambangan,
harus diperhatikan bagaimana hal itu diolah dan bagaimana hal itu dapat mencapai
tujuannya. Di dalam karya sastra abstrak atau absurd banyak ditemui pen laku
setengah sadar yang tindakannya sukar dipahami, dapat menimbulkan ambiguitas
makna. Para peneliti mestinya meng kaji hal itu secara mendalam dengan dukungan
psikologi sehing ga ambiguitas dan kekaburan makna dapat dipecahkan dan
dinalarkan mengapa hal itu terjadi.

(5) Karya sastra yang bermutu menurut pandangan pendekatan psikologis adalah
karya sastra yang mampu menggambarkan kekalutan dan kekacauan batin manusia
karena hakikat kehidup an manusia itu adalah perjuangan menghadapi kekalutan batin
nya sendiri. Perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari bagi setiap orang
belum sepenuhnya menggambarkan diri me reka masing-masing Apa yang
diperlihatkan belum tentu sama dengan apa yang sesungguhnya terjadi di dalam
dirinya kare na manusia sering kali berusaha menutupinya. Kejujuran, ke cintaan,
kemunafikan, dan lain-lain, berada di dalam batin ma sing-masing yang kadang-
kadang terlihat gejalanya dari luar dan kadang-kadang tidak. Oleh sebab itu,
penelitian tentang
perwatakan para tokoh harus menukik ke dalam segi kejiwaan

(6) Kebebasan individu penulis sangat dihargai, dan kebebasan men cipta juga
mendapat tempat yang istimewa. Dalam hal ini, sangat di hargai individu yang
senantiasa berusaha mengenal hakikat dirinya. Dalam upaya mengenal dirinya
pula sastrawan menciptakan untuk mengongkretkan apa yang begolaj di dalam
dirinya.

C. Psikologi Sastra: Ilmu Basah dan Kering

1. Daya Tarik Psikologi Sastra Daya tarik psikologi sastra, terutama


terletak pada aneka ungkapan kejiwaan. Jiwa tidak pernah tunggal. Jiwa dalam
sastra selalu bergejolak. Keinginan-keinginan ini yang memikat peneliti
melakukan spekulasi-spekulasi penafsiran Politafsir kejiwaan yang cukup
mengasyikkan ini hingga satu karya, misalkan Pengakuan Pariyem karya
Linus Suryadi AG dan Slilit Sang Kyai karya Cak Nun akan memunculkan
sejumlah tafsiran yang beragam. Tiap peneliti boleh memasuki relung-relung
jiwa tokoh Pariyem dan tokoh yang tersumbat slilit.Hierarki kejiwaan
sekaligus problematika rumit menarik ditampilkan pada kedua karya tersebut.
Pergolakan tokoh inilah yang selalu dijadikan fokus penelitian apabila teks
yang dijadikan tumpuan.

15
Pelacakan demikian dilandasi konsep bahwa pendekatan psi. kologis adalah
pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja membahas
tentang peristiwa kehidupan manusia, Manusia senantiasa memperlihatkan perilaku
yang beragam. Bila ingin melihat dan mengenal manusia lebih dalam, dan lebih jauh
di perlukan psikologi Lebih-lebih di zaman kemajuan teknologi seper ti sekarang ini,
manusia mengalami konflik kejiwaan yang bermula dari sikap kejiwaan tertentu serta
bermuara pula ke permasalahan kejiwaan. Tidak sedikit jumlah manusia yang sudah
sukses dalam kehidupan kebendaan, senantiasa berusaha keras untuk mencapai
tingkat kemampuan yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi tanpa ada batasnya,
akhirnya kandas dan menemukan dirinya terbenam ke dalam penyakit kejiwaan.

Penjelajahan ke dalam batin atau kejiwaan untuk mengetahui lebih jauh tentang seluk
beluk manusia yang unik ini merupakan se suatu yang merangsang Banyak penulis
yang berusaha mendalami masalah psikologi dan seiring dengan itu banyak penelaah
atau peneliti sastra yang mencoba memahami karya sastra dengan ban tuan psikologi
Memang banyak hal dalam kehidupan umat manu sia dapat dipulangkan ke teori-teori
psikologis Karera didorong oleh cara berpikir semacam itu, muncullah pendekatan
psikologis dalam telaah atau penelitian sastra.

Kehadiran manusia dalam sastra sulit dibantah. Meskipun dalam sastra METODE

63mengemukakan tokoh batu, hewan, angin, dan seterusnya, sebenarnya manusia


yang dijadikan penggeraknya. Manusia secara psikologis adalah mini dunia. Oleh
sebab itu, mempelajari manusia dalam sastra sama halnya mengitari dunia. Wajah
dunia, baik mikro kosmos maupun makrokosmos, selalu ada dalam sastra. Maka, para
peneliti psikologis akan tertarik pada wajah dunia ini. Wajah dunia ini memang bisa
dilihat dengan berbagai kacamata keilmuan sastra, namun secara psikologis
dipandang lebih menukik pada esensi ma nusia itu sendiri.

2. Tantangan Psikologi Sastra

Maaf, ketika menulis buku ini saya harus menyatakan secara apa adanya tentang
eksistensi psikologi sastra. Eksistensi adalah masalah keberadaan. Dalam konteks ini,
fenomenologi banyak bi cara masalah keberadaan Psikologi sastra itu "ada", bisa
"diadakan" atau memang telah "ada". Sejauh pemikiran manusia tentang "ada",
sebenarnya psikologi sastra telah ada sejak dahulu. Hanya saja, pen jemnihan masalah
ini baru muncul pada saat orang sadar akan ke beradaan disiplin ini.

Kehadiran psikologi sastra tidak selalu mulus. Lepas dari daya tarik yang mestinya
menjadi pionir dalam pemahaman sastra, psiko logi dililit kerikil-kerikil tajam.
Kadang-kadang orang menanggapi dingin pada ilmu ini. Bahkan ada yang
menganggap psikologi sastra sekadar main-main dan fenomena ilmu kacangan Amat
menyakitkan berbagai komentar yang mungkin hadir dari "orang dalam", artinya
pemerhati sastra. Sungguh banyak tantang an yang mesti diselesaikan dengan kepala
dingin ketika berhadap an dengan komentar minir. Saya pun menyadari semua itu.

16
PENELITIAN PSIKOLOGI SASTRA

A. Masalah, Data, dan Cakupan Penelitian

Rumusan masalah adalah sendi utama dalam penelitian psiko logi sastra. Tanpa
rumusan masalah yang tegas, penelitian akan berbelok arah. Sayangnya rumusan
masalah sering diabaikan oleh beberapa peneliti sastra. Rumusan sering dianggap hal
ringan yang disusun main-main saja. Akibatnya, ada penelitian psikologis yang jelas
masalahnya, tetapi jalan terus.

Rumusan masalah akan menentukan teori, data, dan analisis yang harus dilakukan
Seluruh perangkat penelitian ini perlu ditata ke arah psikologi sastra minded. Jika
rumusan masalah sudah jelas, bernuansa psikologi sastra, barulah menentukan teori
dan langkah kerja. Teori dan langkah ini akan membingkai pemerolehan data yang
sahih dan atau terpercaya. Persoalan data dalam penelitian psiko logi sastra, amat
pelik. Data tergantung dari sisi mana aspek psiko logis akan diungkap. Berbagai hal
dapat menjadi data, namun mana yang otentik agaknya perlu pertimbangan khusus.
Persoalan ini akan terkait langsung maupun tak langsung dengan cabang mana yang
akan dijadikan sasaran penelitian psikologi sastra.

Secara khusus, ahli sastra yang mengawali pembicaraan tentang ruang lingkup
psikologi sastra adalah Wellek dan Warren (1989) dalam buku Theory of Literature.
Mereka, lepas dari suka atau tidak suka, telah meletakkan dasar pemahaman psikologi
sastra secara sistematis.

B. Fokus Penelitian Psikologi Sastra

Pernyataan menarik yang di sampaikan Fokkema (1998:174)


Patut di cermati dalam fokus psikologi sastra.
Dia menyatakan bahwa Paling tidak, teori yang dikemukakan akan memberikan arah
an bagaimana data harus dipaparkan. Sebagai sebuah teori, karya kedua ahli ini cukup
memberikan gambaran mendasar tentang ling kup dan argumen munculnya psikologi
sastra. Pada bagian tiga buka tersebut dijelaskan secara panjang lebar tentang
psikologi sastr sebagai wilayah penelitian ekstrinsik sastra. Penelitian ekstrinsk yang
sering dibentangkan secara berkebalikan dengan intrinsik telah banyak mewarnai
penelitian sastra kita.

Baik penelitian intrinsik maupun ekstrinsik, sebenarnya sama pentingnya.


Meskipun ada yang berpendapat berbeda bahwa pene litian intrinsik jauh lebih
penting, silakan saja. Pada bagian ini tik harus bertele-tele berdebat masalah kedua
cabang besar penelitian sastra itu. Yang jelas, psikologi sastra memang bagian
penelitian yang memandang sastra tidak berdiri sendiri. Kehadiran sastra patut di
lihat dengan kacamata lain.

Istilah psikologi sastra" oleh Wellek dan Warren (1989) diurai kan dalam bentuk
esai kritis yang panjang. Kita dapat menyelami betapa pentingnya psikologi sastra
untuk menangkap sisi lain dari karya sastra. Pada prinsipnya, psikologi sastra
mempunyai empat ke mungkinan pengertian Pertama adalah studi psikologi

17
pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi, Kedua adalah studi proses kreatif..
Ketiga, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra;
Keempat, mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca) Keempat
hal ini sering mewarnai pemikiran pemerhati sastra yang "coba-coba" ke arah
psikologi sastra.

Hal tersebut sedikit berbeda dengan Scott (1989:69-70) yang berpendapat bahwa
penelitian psikologi sastra yang otentik meliputi tiga kemungkinan. Tiga sasaran
analisis termaksud dapat disejajar kan dengan empat kemungkinan kajian di atas.
Menurut dia, yang penting adalah psikologi sastra mencakup tiga hal, yaitu (1)
peneli tian hubungan ketidaksengajaan antara pengarang dan pembaca, (2)
penelitian kehidupan pengarang untuk memahami karyanya dan (3) penelitian
karakter para tokoh yang ada dalam karya yang diteliti. Ketiga cabang yang
ditawarkan ini tidak berseberangan de ngan gagasan Wellek dan Warren. Hanya
saja, Scott tidak begitu terfokus pada psikologi kehidupan pengarang.

TEORI PENELITIAN PSIKOLOGI SASTRA

A. Teori Dasar Psikologi Sastra

Sastra adalah sastra. Begitu batasan yang paling sulit dibantah. Artinya, selain
sastra adalah bukan sastra. Namun, di lain pihak, kita juga boleh menyatakan sastra
adalah ungkapan jiwa. Sastra itu wakil jiwa lewat bahasa. Lewat simbol sastra itu
ada. Simbol yang mewadahi jiwa hingga sastra itu menarik

Konteks demikian dapat diartikan bahwa sastra tak mampu me lepaskan diri dari
aspek psikis. Jiwa pula yang berkecamuk dalam sastra Pendek kata, memasuki
sastra akan terkait dengan psikologi karya itu. Inilah awal kehadiran psikologi
sastra dalam penelitian sastra. Sastra adalah fenomena yang tepat didekati secara
psiko logis. Seperti wawasan yang telah lama menjadi pegangan umum dalam dunia
sastra, psikologi sastra juga memandang bahwa sastra merupakan hasil kreativitas
pengarang yang menggunakan media bahasa, yang diabdikan untuk kepentingan
estetis. Sastra merupa kan hasil ungkapan kejiwaan seorang pengarang, yang berarti
di dalamnya ternuansakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik suasana pikir
maupun suasana rasa (emosi).

di atas dapat diterima nalar karena sebenarnya karya sastra itu lahir dari
pengekspresian endapan pengalaman yang te lah lama ada dalam jiwanya dan telah
mengalami proses pengolah an jiwa secara mendalam melalui proses berimajinasi.

akan lebih jelas dilihat dalam bagan proses kelahiran karya sastra. Sastra lahir dari
proses imajiner yang syarat muatan kejiwaan. Ke tika dada sesak, orang mencipta

18
sastra. Pada waktu duka, lara, seng sara, sastra cair dengan sendirinya. Meskipun
jiwa dapat melaku kan kebohongan diri dan publik, tetapi ekspresi sulit
menyembunyi kannya.

Manusia sebagai tumpuan sastra selalu terkait dengan gejolak jiwanya. Manusia
yang memiliki derajat istimewa, memiliki budi bahasa, watak, dan daya juang
kejiwaan berekspresi. Namun, manu sia juga tidak sendirian di dunia. Mereka harus
hidup berdamping an dengan manusia-manusia lain. Fenomena ini akan menjadi bi
dikan pengarang. Pengarang akan mengarahkan kamera jiwanya ke arah hal
tersebut secara masak Seperti yang pernah dikatakan oleh CG. Jung (Semi, 1993),
bahwa pengarang adalah seorang manu sia biasa. Saya memandang lebih dari itu,
manusia juga sekaligus makhluk luar biasa. Mereka memiliki kepekaan jiwa sangat
tinggi sehingga mereka mampu menangkap suasana batin manusia lain yang paling
dalam

Gejala-gejala kejiwaan yang dapat ditangkap oleh sang penga rang dari manusia-
manusia lain tersebut, kemudian diolah dalam batinnya dipadukan dengan
kejiwaannya sendiri lalu disusunlah menjadi suatu pengetahuan baru dan
diendapkan dalam batin. Jika endapan pengalaman ini telah cukup kuat
memberikan dorongant pada batin sang pengarang untuk melakukan proses kreatif,
maka dilahirkannya endapan pengalaman tersebut dalam wahana bahasa simbol
yang dipilihnya dan diekspresikan, menjadi sebuah karya sastra. Dengan demikian,
pengalaman kejiwaan sang pengarang yang semula terendap dalam jiwa, telah
beralih ke dalam karya sastra yang diciptakannya, yang terproyeksi lewat ciri-ciri
kejiwaan para tokoh imajinernya.

Sastra sebagai "gejala kejiwaan", di dalamnya terkandung feno mena-fenomena


kejiwaan yang tampak lewat perilaku tokoh-tokoh nya. Dengan demikian, karya
sastra dapat didekati dengan meng gunakan pendekatan psikologi. Sastra dan
psikologi terlalu dekat hu bungannya. Meskipun sastrawan jarang berpikir secara
psikologis, namun karyanya tetap bisa bernuansa kejiwaan.terima karena antara
sastra dan psikologi memiliki hubungan lintas yang bersifat tak langsung, dan
fungsional (Jatman, 1985:165 serta Roekhan, 1987:144). Tidak langsung, artinya
hubungan itu ada kare na baik sastra maupun psikologi, kebetulan memiliki tempat
berang. kat yang sama, yakni kejiwaan manusia. Pengarang dan psikolog ada lah
sama-sama manusia biasa. Mereka mampu menangkap keadaan kejiwaan manusia
secara mendalam. Hasil penangkapan itu setelah mengalami proses pengolahan
diungkapkan dalam bentuk sebuah karya Hanya perbedaannya, sang pengarang
mengemukakannya dalam bentuk karya sastra, sedangkan psikolog, sesuai dengan
ke ahliannya, ia mengemukakannya dalam bentuk formulasi teori-teori psikologi.
Dengan demikian, tidaklah mengada-ada kalau di antara keduanya dapat dilakukan
penelitian lintas disiplin.

Psikologi dan karya sastra memiliki hubungan fungsional, yak. ni sama-sama


berguna untuk sarana mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Hanya
perbedaannya, gejala kejiwaan yang ada dalam karya sastra adalah gejala-gejala
kejiwaan dari manusia-manusia imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah
manusia-manusia riil Namun, keduanya dapat saling melengkapi dan saling mengisi

19
un tuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap kejiwa an manusia,
karena terdapat kemungkinan apa yang tertangkap oleh sang pengarang tak mampu
diamati oleh psikolog, atau sebaliknya. Berdasarkan uraian di atas, karya sastra
sebenarnya tidak da

pat dilepaskan sama sekali dari penulisnya, seperti yang dulu dilaku

kan oleh penganut paham "strukturalisme tradisional", yang meng

anggap bahwa karya sastra itu bersifat otonom, lepas sama sekali

dari penulisnya. Sebab, di antara keduanya terdapat "hubungan kau

salitas" (Aminuddin, 1988:7), yakni karya sastra merupakan hasil krea

tivitas pengarangnya, yang tidak akan mungkin lahir tanpa ada pe

nulis sebagai penuturnya. Itulah sebabnya keterangan tentang psi

kologis pengarang akan sangat bermanfaat bagi penelitian psiko

logi sastra, khususnya penelitian tentang aspek psikologi pengarang Akhirnya,


dapat dikatakan bahwa sastra sebenarnya dapat dijadikan objek penelitian kejiwaan.
Sastra dapat membantu psiko logi atau pun sebaliknya. Belajar kejiwaan dari sastra
mungkin jauh lebih intens dibanding dalam dunia nyata.

PSIKOLOGI KREATIVITAS BACA SASTRA

A. Kreativitas Kejiwaan Baca Sastra

Kreativitas adalah ciri olah sastra yang hebat. Sastrawan yang kaliber, dapat
bergerak dalam kreativitas yang canggih. Dari hal sederhana dapat dia tampilkan
menjadi hal kreatif yang jitu. Krea tivitas ini akan membangun orientasi nilai. Lebih
dari itu orisinali tas juga akan tergarap lewat kreativitas. Inilah fungsi psikologis
pada sela-sela kepengarangan. Kejiwaan selalu menyertai dunia kreati vitas, dari
nol sampai tak terbatas

Baca sastra butuh kreativitas luar biasa. Ada juga yang mem baca sastra perlu
sutradara. Meskipun demikian, kreativitas diri tidak kalah pentingnya, Sutradara
atau penata laku baca, hanya mem beri masukan, tapi eksekusi tetap pada pembaca.
Pembaca semestinya senantiasa menciptakan kebaruan dalam membaca.
Orisinalitas baca juga penting. Namun demikian, memang meniru gaya baca juga
bukan dosa.

Menurut Jatman (1985:109-112), gagasan-gagasan tentang ke baruan dalam sastra


memang tidak begitu jauh dari gagasan-gagas an para ahli psikologi tentang
kreativitas seperti yang ditunjukkan oleh Guilford, misalnya Namun, bila para

20
seniman lebih banyak memusatkan perhatian pada kebaruan dari karya seninya,
ahli-ahli psikologi lebih memusatkan perhatian pada proses kejiwaan yang
melahirkan karya seni ini. Demikianlah ketika seseorang mengutip pendapat
Merton (1961) bahwa yang disebut orang kreatif itu bu kan karena banyaknya
gagasan-gagasan baru yang dilahirkannya, tetapi karena di antara gagasan-gagasan
barunya itu ada satu dua yang sungguh bermutu, maka bagi para seniman kebaruan
ini ha nyalah gelar bagi sang seniman, dan tidak menentukan karya seni nya.
Namun demikian, bisalah kita lihat bahwa ketika pembicaraan sampai pada proses
kreatif serta nilai-nilai yang melibatkannya, dua disiplin ini bertemu. Demikianlah
kita akan lebih banyak me musatkan perhatian pada proses kreatif yang
mengandung pula per masalahan orisionalitas, otentisitas, integritas identitas ini

Konsep tentang orisinalitas menuntut seniman untuk selalu me ngembangkan


dirinya dengan jalan mencipta dan membaca. Apa bila Heinnemen berkata
"Respondo ergo sum", maka modus pengem bangan diri manusia ditandai dengan
kepekaannya untuk selalu res ponsif terhadap situasi-situasi baru, dengan
demikianlah ia selalu menyempurnakan dirinya. Proses kreatif menjadi proses to be
and to be better, dan bukan to have and to have more, seperti yang selalu diingatkan
oleh Erich Fromm. Pernyataan ini mengandung impli kasi bahwa membaca sastra
perlu meningkatkan kualitas, tidak seka dar membaca lebih banyak Membaca satu
dua judul yang berbobot, memukau, memiliki nuansa jelas, jauh lebih berharga.
Namun de mikian yang banyak terjadi adalah orang-orang menjadi sangat
berorientasi pada kebaruan produk yang sangat ditentukan oleh mode atau selera
masyarakat. Banyak seniman yang kemudian ter jebak dalam upaya untuk selalu
menjawab rising demand masyara kat yang hanya bermakna kebaruan-kebaruan
mode. Kebaruan mem baca tidak berarti sekadar membuat gebrakan sesaat, namun
me lalui penjiwaan dalam

Tuntutan akan kebaruan model ini memang lama kelamaan internalized dalam diri
seniman, sehingga mereka akan le bih tampak sebagai produser kebaruan kebaruan
dan kejutan-kejut an bagi masyarakat daripada kebaruan yang menyangkut struktur
dalam, atau konstruksi pengalamannya, seperti yang dituntutkan oleh Ronald Laing.
Kebaruan-kebaruan menjadi mandul dalam eksperimen-eksperimen pencarian
bentuk ungkapan seni yang baru, sebagaimana tampak dalam lukisan di tubuh
manusia, atau lukisan.

PSIKOLOGI SASTRA ANAK

A Kejiwaan, Moral dan Budi Pekerti dalam Sastra Anak

Kejiwaan anak ternyata masih labil. Pada saat itu, sebenarnya sastra yang memuat
moral dan budi pekerti dapat disemaikan. Lang sung ataupun tidak anak akan
menyerap secara psikis kandungan moral dan budi pekerti dalam sastra. Ketika
anak melihat televisi yang memuat drama, film, teater, baca puisi dan sebagainya
psikis akan terbuka. Begitu pula saat mendengar ataupun membaca do ngeng,
kejiwaan anak akan mekar.

Jika demikian, sastra bagi anak ternyata amat penting. Sayang nya, yang dinikmati
anak belum tentu sastra ciptaan anak. Melain kan, sastra orang dewasa, yang
berandai-andai jadi anak. Akibat nya bukan mustahil jika ada hal-hal yang sulit bagi

21
anak ketika menikmati sastra. Memang istilah sastra anak itu masih proble matik
besar. Sejauh ini, hanya para ahli yang mengklaim muncul nya sastra anak. Padahal,
esensinya sastra itu tetap sastra. Sastra dibaca orang tua atau remaja juga tidak
masalah. Sebaliknya, sastra itu tak ada yang khas untuk anak. Toh andaikata
diperuntukkan anak, yang diklaim sebagai sastra dewasa juga sering dinikmati
anak.

Anehnya, hingga saat ini ada yang sengaja atau tidak mencoba merekonstruksi
sastra anak. Sesungguhnya jika mau menyadari, istilah sastra anak itu amat politis,
politis sastra. Sastra anak mau tak mau harus berurusan dengan psikologi. Psikologi
yang bernuansa asumsi ini yang menyebabkan ada pembagian sastra anak. Oleh
karena itu memang psikologi sastra anak jelas akan berurusan dengan psikis anak.
Tentu saja aspek sosial ataupun bahasa juga menjadi faktor penting. Namun
kehadiran psikologi jauh lebih spe sifik untuk menggolongkan mana sastra anak
dan mana yang bukan sastra anak.

Beberapa penulis buku sastra anak yang kali ini tengah ber gulat dengan berandai-
andai secara psikis, antara lain Riris K Toha Sarumpact, Sugihastuti, Burhan
Nurgiyantoro, Henry Guntur Tari. gan, dan lain-lain. Umumnya mereka hendak
mengotakkan sastra bagi anak. Psikologi yang paling penting bagi anak adalah
masalah relevansi. Relevansi sastra ini akan berkaitan dengan fungsi sastra bagi
anak. Dalam kaitan ini, Roettger (Tarigan, 1994:9-15) banyak memberikan rumusan
sastra anak dan kandungan nilainya. Paling tidak dari rumusan yang dia paparkan,
akan muncul asumsi bahwa anak-anak akan memperoleh berbagai manfaat, nilai
buat dirinya sendiri setelah menikmati sastra. Dengan perkataan lain, sastra dapat
memberi nilai intrinsik atau intrinsic values bagi anak-anak. Dia juga
menggambarkan betapa banyak kegunaan sastra anak bagi dunianya.

Pertama, bahwa sastra memberi kesenangan, kegembiraan, kenikmatan kepada


anak-anak. Nilai seperti ini akan tercapai apa bila sastra dapat memperluas
cakrawala anak-anak dengan cara menyajikan pengalaman-pengalaman baru dan
wawasan-wawasan baru. Oleh karena itu, anak-anak perlu menemukan
kegembiraan dalam buku-buku sebelum mereka dituntut menguasai keterampil an
membaca Seyogianya belajar membaca itu dirasakan oleh anak anak sama dengan
belajar naik sepeda. Mereka ingin sekali melaku kan kegiatan tersebut karena
mereka mengetahui bahwa pada akhir nya akan memberi kegembiraan, memberi
kenikmatan. Dengan demikian, mereka selalu rindu, selalu ingin membaca
buku/karya sastra baru. Kian banyak mereka baca, kian banyak pula kegembira an
yang diperoleh dan dialaminya. Pada saat anak-anak menonton Teletabies, Baja
Hitam, Detektif Conan, Superman, dan sejenisnya se mestinya ada endapan
psikologis dalam diri anak. Di samping ke ngerian, tentu ada perasaan lega dalam
dirinya.

BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN SASTRA

22
A. Ketimpangan Penelitian Sastral

Menurut Endaswara (revisi 2008) Penelitian sastra sampai saat ini memang
cenderung masih berat sebe lah. Maksudnya, di beberapa lembaga penelitian dan
perguruan tinggi (sastra) onentasi penelitian masih terbatas pada teks sastra.
Akibatnya, hasil penelitian sastra cenderung bersifat deskriptif belaka. Di beberapa
sentral penelitian, hasil penelitian pada umumnya masih berkutat pada hal hal
teoritik sastra Yakni, schuah wilayah penelitian sastra untuk sastra Orientasi
semacam ini sering di anggap kurang lengkap, karena karya sastra sebenarnya
merupakan bahan ko munikasi antara pengarang dengan pembaca.

Wajah penelitian sastra semacam itu cenderung mendewakan hadirnya penelitian


intrinsik Yakni, upaya penelitian untuk membedah karya sastra itu sendiri.
Penelitian sastra model ini lebih mengarah pada kepentingan sastra untuk sastra.
Memang, pemahaman karya lewat karya itu sendiri memang ti dak salah, namun
unsur di luar sastra pun sebenarnya juga patut dipertim bangkan Kemungkinan
besar kecenderungan tersebut muncul disebabkan oleh miskinnya teori yang
membumi, khususnya studi ekstrinsik. Jika di Indonesia telah ada penelitian
ekstrinsik, mungkin baru sosiologi sastra dan atau struktu ralisme genetik yang
sedikit berkembang. Sedangkan penelitian dari aspek psi kologi, filsafat, politik,
ekonomi, dan sebagainya masih jarang dilakukan

Kepincangan penelitian sastra yang terasa sampai saat ini adalah masih jarang
peneliti yang berani menerapkan metode eksperimen Padahal, peneliti an yang satu
ini sedikit banyak akan melengkapi makna yang selama ini ter abaikan Pemakaian
metode ini sekurang kurangnya akan mampu mengungkap seberapa jauh tanggapan
pembaca sastra, sebab pembaca merupakan bagian penting dalam rangka
pengembangan sastra ke depan. Tanpa memperhatikan aspek pembaca, tentunya
penelitian sastra akan semakin kurang bermakna.Di samping persoalan metode,
ihwal obyek penelitian kadang-kadang juga masih timpang Biasanya peneliti sastra
kita masih cenderung tertarik pada sastra tulis, sementara sastra lisan dilupakan.
Padahal, sastra lisan yang tersebar dan mengakar di masyarakat, meskipun sebagian
besar anonim, tetap memilik estetika tersendiri. Sastra lisan juga memuat berbagai
hal, bahkan bisa saja le bih istimewa dibandingkan sastra tulis. Sayang, peneliti
sastra kita sering merasa kurang mampu menyisihkan waktu dan bahan untuk studi
sastra lisan. Akibat nya, di tengah-tengah kita banyak sastra lisan yang hampir
punah dan kurang mendapat sentuhan peneliti.

Penelitian sastra selama ini juga masih sering memilih obyek sastra yang dipandang
bermutu. Jarang sekali peneliti yang tergiur pada karya-karya populer. Padahal
karya-karya tersebut sebenarnya juga menanti sentuhan pene liti, karena di
dalamnya juga termuat berbagai hal yang mestinya menarik. Pe nelitian sastra yang
terlalu terfokus pada karya-karya yang dianggap besar yang lahir dari penulis besar,
akan mengaburkan eksistensi sastra yang sesung guhnya

B. Kemiskinan Teori dan Ilmu Sastra

Banyak pihak mensinyalir bahwa penelitian sastra kita masih tergolong "ringan"
kadar keilmiahannya. Ini ditandai adanya seminar penelitian sastra di berbagai

23
tempat, yang ternyata, tidak atau belum dan kurang memiliki bobot karakteristik
penelitian ilmiah. Ini menyebabkan kondisi penelitian sastra sukar dibedakan dan
komentar sastra dan atau kritik sastra. Penelitian sastra menjadi sukar dibedakan
dari timbangan buku atau karya yang masih ringan bobotnya

Kendati asumsi demikian masih perlu dicermati, namun sungguh me nyuguhkan


pekerjaan rumah" bagi para insan peneliti sastra Setidaknya, akan menjadi
tantangan untuk meningkatkan intensitas manajemen penelitian sastra. Oleh karena
boleh jadi bahwa "kerendahan" bobot penelitian sastra itu dipe ngaruhi seluk beluk
manajemen penelitian yang kurang kondusif. Masalahnya, jika cendekiawan sastra
diam saja, sangat mungkin bila suatu saat nanti akan terjadi "cibiran" dan bahkan
"pelecehan" terhadap penelitian sastra

Upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan intensitas manaje men penelitian
sastra antara lain dapat dilakukan dengan memberdayakan se cara optimal
metodologi penelitian sastra. Jika metodologi tidak diterapkan se cara fasih, besar
kemungkinannya permasalahan penelitian sastra akan berke panjangan Karena, di
antara penyebab penelitian sastra masih berkadar rendah adalah penerapan metode
ilmiah. Maksudnya, dalam hal hal tertentu, peneliti an sastra sering dilanda
subyektivitas peneliti yang tak terkendali, sehingga sifat "obycktif dan adanya
"jarak metodologis" kurang terjaga. Permasalahan ini, menurut Teeuw (1982)
disebabkan oleh kemiskinan teori penelitian sastra, padahal obyek (sastra) yang
akan diteliti sangat melimpah. Teori-teori dangkal tentang penelitian sastra, secara
otomatis akan mengaburkan pemahaman ter hadap karya itu sendiri. Itulah
sebabnya, pada bagian lain Teeuw (2003: 33) mengisyaratkan bahwa pembentukan
pribumisasi teori sastra sah-sah saja Pembentukan teori global atau universalitas
boleh juga asalkan mampu mengikuti perkembangan

sastra

Minimnya teori penelitian sastra, sering berakibat "comot sana-sini" dan memungut
teori asing yang kurang mengakar pada si pemakai teori. Adopsi teori barat tersebut
umumnya disadap mentah-mentah, bahkan kadang kadang kurang relevan dengan
eksistensi sastra kita. Jarang sekali, teori sastra barat yang dikombinasi dengan
"teori dalam negeri" yang lebih membumi. Akibat nya, ada "pemaksaan" teori
sastra asing yang kurang siap untuk memasuki sas tra di Indonesia. Meskipun
mengambil teori asing itu sah-sah saja dan tak ha ram, namun tanpa kecerdasan si
pemakai hanya akan "mengotori" penelitian sastra kita

Jika disadari, teori sastra akan membantu analisis, interpretasi, dan pe nilaian yang
tepat agar dapat mempertanggungjawabkan kepada masyarakat tentang arti sebuah
karya sastra. Yang penting, dalam memanfaat kan teori sastra harus waspada,
khususnya jika mengambil teori internasional (barat). Sebab unsur-unsur tertentu
antara barat dan timur kadang-kadang ber beda Di barat, unsur waktu bisa
dinyatakan tepat, sedangkan di timur (Nusan tara) ada waktu yang ditengarai secara
konvensional, ada waktu sakral, dan se bagainya. Itulah sebabnya, teori sastra yang
dimanfaatkan tak perlu dipaksakan (Sutrisno, 1997 13).

Jadi masalah yang dihadapi oleh peneliti sastra sangat kompleks. Na mun demikian,
Hutagalung menyarankan agar peneliti sastra tak terlalu terpe sona dengan

24
perbedaan-perbedaan teori sastra timur barat Yang penting dike tahui bahwa setiap
kerja penelitian kita jelas sulit lepas dari penelitian orang la in Perdebatan teori
sastra yang bertele-tele, misalkan tentang hakikat sastra, definisi sastra, seni untuk
seni, seni untuk masyarakat, dan sebagainya hanya akan menghabiskan energi.
Pembicaraan semacam itu penting, tetapi bukan po kok persoalan dalam khasanah
penelitian sastra.

Harus disadari, penelitian sastra memang wilayah garap yang unik di bandingkan
bidang humaniora yang lain. Karena itu, masuk akal jika memerlu kan kejelian,
taktik, dan metodologi yang spesifik pula. Banyak pihak memang menghendaki
penelitian sastra yang mengarah pada pemanfaatan "teori sastra murni" agar
terungkap hakikat karya sastra. Namun demikian, pemakaian me todologi ini sering
belum mampu memahami makna karya sastra secara kom prehensif.

Manajemen Penelitian Sastra

A. Peranan Penelitian Sastra

Penelitian sastra memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehi dupan
manusia, di samping juga berpengaruh positif terhadap pembinaan dan
pengembangan sastra itu sendiri (Tuloli, 1990 902) Peranan semacam ini akan
tercapai optimal apabila penelitian sastra tersebut dilakukan sungguh-sungguh
Penelitian sastra yang sekadar asal asalan, hanya akan melahirkan sampah saja, dan
mungkin justru akan merongrong eksistensi sastra itu sendiri.

Lebih khusus lagi, tujuan dan peranan penelitian sastra adalah untuk memahami
makna karya sastra sedalam-dalamnya (Pradopo, 1990.942). Berarti penelitian
sastra dapat berfungsi bagi kepentingan di luar sastra dan kemajuan sastra itu
sendiri. Kepentingan di luar sastra, antara lain jika penelitian tersebut berhubungan
dengan aspek-aspek di luar sastra, seperti agama, filsafat, moral, dan sebagainya.
Sedangkan kepentingan bagi sastra adalah untuk meningkat kan kualitas cipta sastra

Peranan penelitian sastra bagi aspek di luar sastra dipengaruhi oleh kan dungan
sastra sebagai dokumen zaman. Di dalamnya, karya sastra akan menjadi saksi
"sejarah" yang dapat mengembangkan ilmu lain begitu juga sebaliknya Peranan
semacam ini boleh dikatakan sebagai aspek pragmatik penelitian sastra. Yakni,
hasil-hasil penelitian sastra akan bermanfaat bagi ilmu lain yang relevan. Hal ini
akan membuka kerjasama yang baik antar disiplin ilmu, antara sastra dengan bidang
lain Lebih jauh lagi, penelitian sastra juga akan mem bantu pengembangan teori
sastra, penulisan sejarah sastra, dan memperluas apresiasi pembaca.

Sayangnya, di Indonesia memang belum ada upaya khusus untuk mem persiapkan
sumber daya manusia menjadi peneliti sastra. Jika di perguruan tinggi ada mata
kuliah Metode Penelitian Sastra, mungkin materi yang diajarkan hanya mencakup
sebagian kecil dari spektrum penelitian sastra yang sangat lu as. Penataran

25
penataran penelitian sastra pun kadang-kadang masih bersifat parsial. Jika ada
dosen yang meneliti sastra, itu pun kadang-kadang hanya sam pingan belaka Tugas
dosen di Indonesia telah bertumpuk sehingga amat jarang yang mengambil waktu
khusus untuk meneliti sastra. Bahkan, jika mereka ter paksa meneliti hanya terbatas
penelitian sastra "dalam rangka" (untuk kredit poin atau kepentingan kuliah).
Dengan kata lain, sampai sekarang memang be lum ada peneliti sastra yang
profesional. Yang ada adalah peneliti sastra "sam bilan". Dengan demikian, peneliti
tidak dapat mencurahkan penuh pikiran dan waktunya untuk memahami teks sastra

Di negara kita memang ada Balai Bahasa, sekurang-kurang telah berdiri sembilan
kantor di sebagian propinsi namun mereka juga kurang dibekali de ngan perangkat
penelitian sastra. Jika mereka berasal dari sarjana sastra, jelas memungkinkan ke
arah pengembangan ke depan. Namun demikian pencerahan penelitian sastra yang
khusus membahas metodologi juga jarang dilakukan. Yang aneh, seringkali mereka
telah merasa bisa sehingga dengan bekal seada nya terpaksa meneliti sastra. Pada
tahap semacam ini, tentunya penelitian sas tra menjadi kurang optimal.

Padahal, tugas peneliti sastra sesungguhnya lebih mulia. Peneliti tidak sekadar
harus menafsirkan apa saja yang dipandang aneh dalam karya, melain kan harus
memberikan penilaian dan pertanggungjawaban Peneliti seyogyanya mampu
mengevaluasi karya sastra sampai proses penciptaan Dari sini akan muncul pula
mana karya sastra yang bermutu dan mana karya sastra yang "ka cangan". Dengan
kata lain, penelitian sastra memiliki tidak sekadar bertugas il miah murni atau
bersifat akademis belaka, melainkan harus mampu memberi kan pencerahan
perkembangan sastra, seleksi sastra, penyebarluasan sastra, dan menjelaskan latar
belakang apa saja yang terkait dengan penciptaan

Yang lebih penting lagi, penelitian sastra diharapkan mampu mengung kap
fenomena di balik obyek sastra sebagai ungkapan hidup manusia Ungkapan
kehidupan yang diramu melalui imajinasi, ide, emosi, dan perangkat estetika
tersebut yang menjadi sasaran peneliti sastra Penelitian sastra akan berusaha
menerangielaskan kepada siapa saja tentang maksud yang ada di balik karya sastra
Pendek kata, penelitian sastra akan menjadi jembatan antara penulis, teks, dan
pembaca.

Pengembangan Penelitian Strukturalisme Sastra

A. Strukturalisme Genetik

1. Prinsip Dasar Strukturalisme Genetik

Strukturalisme genetik (genetic structuralism) adalah cabang penelitian


sastra secara struktural yang tak murni. Ini merupakan bentuk penggabungan
antara struktural dengan metode penelitian sebelumnya. Konvergensi penelitian
struktural dengan penelitian yang memperhatikan aspek-aspek eksternal karya
sastra, dimungkinkan lebih demokrat. Paling tidak, kelengkapan makna teks
sastra akan semakin utuh

26
Semula, peletak dasar strukturalisme genetik adalah Taine Pandangan nya lalu
dikembangkan melalui studi sastra secara sosiologis. Bagi dia, karya sastra tidak
sekadar fakta imajinatif dan pribadi, melainkan dapat merupakan cerminan atau
rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya dilahirkan Dari
pandangan ini, tampaknya Goldmann adalah satu-satu nya tokoh yang ikut
mengembangkan strukturalisme genetik Dalam pandang an dia, fakta kemanusiaan
merupakan struktur yang bermakna. Semua aktivitas manusia merupakan respon
dari subyek kolektif atau individu dalam situasi ter tentu yang merupakan kreasi
untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya. Dalam hal ini
manusia memiliki kecenderungan untuk ber perilaku alami karena harus
menyesuaikan dengan alam semesta lingku ngannya

Memang diakui, bahwa strukturalisme genetik muncul sebagai reaksi atas


"strukturalis murni" yang mengabaikan latar belakang sejarah dan latar belakang
sastra yang lain. Hal ini diakui pertama kali oleh Juhl (Teeuw, 1988 173) bahwa
penafsiran model strukturalis murni atau strukturalisme klasik kurang
berhasil.Karena, pemaknaan teks sastra yang mengabaikan pengarang sebagai
pemben makna akan berbahaya karena penafsiran tersebut akan mengorbankan
kepribadian, cita-cita, dan juga norma-norma yang dipegang teguh oleh tersebut
dalam kultur sosial tertentu. Secara gradual, dapat dikatakan bahwa ji penafsiran
teks sastra itu menghilangkan pengarang dengan segala eksistensinya dalam jajaran
signifikansi penafsiran, maka obyektivitas suatu penafsiran sebuah karya sastra
akan diragukan lagi karena memberi kemungkinan lebih besar terhadap campur
tangan pembaca di dalam penafsiran karya sastra. cin khas pengarang

Penelitian strukturalisme genetik semula dikembangkan di Perancis atas jasa Lucien


Goldmann. Dalam beberapa analisis novel, Goldmann selalu me nekankan latar
belakang sejarah Karya sastra, di samping memiliki unsur oto nom juga tidak bisa
lepas dari unsur ekstrinsik. Teks sastra sekaligus merepre sentasikan kenyataan
sejarah yang mengkondisikan munculnya karya sastra. Bagi dia, studi
strukturalisme genetik memiliki dua kerangka besar. Pertama hubungan antara
makna suatu unsur dengan unsur lainnya dalam suatu karya sastra yang sama, dan
kedua hubungan tersebut membentuk suatu jaring yang saling mengikat Karena itu,
seorang pengarang tidak mungkin mempunyai pandangan sendiri Pada dasamya,
pengarang akan menyarankan suatu pan dangan dunia suatu kolektif Dan,
pandangan tersebut juga bukan realitas, me lainkan sebuah refleksi yang
diungkapkan secara imajinatif

Selanjutnya, George Lukacs juga ikut mengembangkan penelitian sen pa dengan


paham marxis Menurut dia, karya sastra merupakan refleksi indivi du dan
masyarakat yang tidak bebas kelas. Individu dan masyarakat adalah pendukung
kelas kelas tertentu dalam masyarakat. Individu tidak berdiri sen dini, melainkan
sebagai anggota masyarakat yang akan dipantulkan lewat karya sastra.

Penelitian strukturalisme genetik, memandang karya sastra dari dua su dut yaitu
instansik dan ekstrinsik Studi diawali dari kajian unsur intrinsik (ke satuan dan
koberensinya) sebagai data dasarnya. Selanjutnya, penelitian akan menghubungkan
berbagai unsur dengan realitas masyarakatnya Karya dipan dang sebagai sebuah
refleksi zaman, yang dapat mengungkapkan aspek sosial, budaya, politik, ekonomi,

27
dan sebagainya Peristiwa peristiwa penting dari za mannya akan dihubungkan
langsung dengan unsur-unsur intrinsik karya sastra

Metode yang digunakan, dapat mengadopsi tawaran Albrecht (Faruk, 1988 65)
yaitu: (1) metode "sosial histons", meliputi tipe deskriptif murni menge nai sejarah
sosial dan tipe analitik yang diterapkan pada seni (sastra), (2) metode etnografi,
terutama kaitannya dengan "partisipasi observasi", dan (3) metode sta tistik Metode
(1) dan (2) biasanya lebih banyak dipilih peneliti strukturalisme genetik, terutama
untuk mengungkap sejarah dan asal-usul terjadinya teks sastra Sedangkan metode
(3) banyak di manfaatkan oleh penerbit resepsi Sastra seperti yang di lakukan
segers.

2. Sasaran: Memahami Pandangan Dunia

Menurut Goldmann, karya sastra sebagai struktur bermakna itu akan mewakili
pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagai individu melainkan sebagai
anggota masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dinyata kan bahwa strukturalisme
genetik merupakan penelitian sastra yang menghu bungkan antara struktur sastra
dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang
diekspresikannya Oleh karena itu, karya sastra tidak akan dapat dipahami secara utuh
jika totalitas kehidupan masyarakat yang te lah melahirkan teks sastra diabaikan
begitu saja. Pengabaian unsur masyarakat berarti penelitian sastra menjadi pincang

Pandangan dunia, yang bagi Goldmann selalu terbayang dalam karya sastra agung,
adalah abstraksi (bukan fakta empiris yang memiliki eksistensi ob yektif). Abstraksi
itu akan mencapai bentuknya yang konkret dalam sastra. Oleh karena pandangan
dunia itu suatu bentuk kesadaran kolektif yang mewakili identitas kolektifnya,
maka dia secara sahih dapat mewakili kelas sosialnya. Pandangan inilah yang
menentukan struktur suatu karya sastra. Oleh karena itu, karya sastra dapat
dipahami asalnya dan terjadinya (unsur genetiknya) dari latar belakang sosial
tertentu. Ketenkatan pandangan dunia penulis dengan ru ang dan waktu tertentu
tersebut, bagi Goldmann merupakan hubungan genetik, karenanya disebut
strukturalisme genetik. Dalam kaitan ini, karya sastra harus dipandang dari asalnya
dan kejadiannya

Atas dasar hal-hal tersebut, Goldmann (Junus, 1986 26) memberikan rumusan
penelitian strukturalisme genetik ke dalam tiga hal, yaitu: (1) peneli tian terhadap
karya sastra seharusnya dilihat sebagai suatu kesatuan, (2) karya sastra yang diteliti
mestinya karya yang bernilai sastra yaitu karya yang me ngandung tegangan
(tension) antara keragaman dan kesatuan dalam suatu kese luruhan (a coherent
whole); (3) jika kesatuan telah ditemukan, kemudian dianali sis dalam hubungannya
dengan latar belakang sosial. Sifat hubungan tersebut: (a) yang berhubungan latar
belakang sosial adalah unsur kesatuan, (b) latar be lakang yang dimaksud adalah
pandangan dunia suatu kelompok sosial yang di lahirkan oleh pengarang sehingga
hal tersebut dapat dikonkretkan.

Untuk sampai pada world view yang merupakan pandangan dunia pe ngarang
memang bukan pekerjaan mudah. Karena itu, Goldmann mengisyarat kan bahwa
penelitian bukan terletak pada analisis isi, melainkan lebih pada struktur cerita. Dari

28
struktur cerita itu kemudian dicari jaringan yang memben tuk kesatuannya.
Penekanan pada struktur dengan isi sebenarnya merupakan suatu permasalahan
tersendiri, karena hal tersebut dapat mengabaikan hakikat sastra yang mempunyai
tradisi sendin (Laurenson dan Swingeood,

1972)

Pandangan dunia, menurut Goldmann (Faruk, 1988.74) merupakan is tilah yang


cocok bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, inspirasi inspirasi, dan
perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota
suatu kelompok sosial tertentu dan mempertanyakannya de ngan kelompok sosial
lain. Pandangan dunia berkembang sebagai suatu hasil dari situasi sosial ekonomi
yang dihadapi oleh subyek kolektif yang memiliki nya. Dari pandangan ini tampak
bahwa pandangan dunia merupakan sebuah sintesis akumulatif kehidupan yang
sangat abstrak "ia" akan menggerakkan ak hidup dan besar pengaruhnya terhadap
kehidupan sosial

Pada bagian lain, Goldmann (1981:111) mengemukakan bahwa pan dangan dunia
merupakan perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hu bungan manusia
dengan sesamanya dengan alam semesta. Hal ini menunjuk kan bahwa pandangan
dunia adalah sebuah kesadaran hakiki masyarakat da lam menghadapi kehidupan.
Namun, dalam karya sastra, hal ini amat berbeda dengan keadaan nyata Kesadaran
tentang pandangan dunia ini adalah kesada ran mungkin, atau kesadaran yang telah
ditafsirkan. Oleh karena itu, boleh di katakan bahwa karya sastra sebenarnya
merupakan ekspresi pandangan dunia yang imajiner

Melalui pandangan dunia demikian, bukan tidak mungkin kalau karya sastra juga
merefleksikan "nilai otentik" yang dianut dalam hidupnya. Nilai otentik adalah
nilai-nilai yang tersirat dalam novel (karya), nilai yang mengor ganisir sebuah mode
dunia sebagai suatu totalitas (Goldmann, 1977:1-2) Nilai nilai ini bersifat
konseptual dan abstrak. Nilai-nilai ini kadang-kadang ke arah hal-hal yang positif
dan negatif. Nilai yang positif tentu akan memiliki impli kasi ke arah pandangan
dunia yang positif (cerah), menyenangkan, dan penuh harapan. Sebaliknya, nilai
otentik yang negatif akan memunculkan pandangan dunia negatif pula Pandangan
dunia ini, oleh Goldmann disebut pandangan duma tragik Pandangan dunia ini
identik dengan wawasan fisosofi fatalistik Hanya saja, kalau pandangan dunia
tragik kurang percaya atas kehadiran Tu han, sedangkan fatalistik justru sebaliknya
tetapi tidak mau berupaya apa pun

Pandangan dunia tragik hadir pada saat Goldmann membahas novel Hidden God,
Tuhan Bersembunyi. Menurutnya, ada tiga elemen penting yaitu, mengenai Tuhan,
manusia, dan dunia yang ketiganya saling berkaitan. Pan dangan tragik terhadap
tiga hal tersebut akan melahirkan dua pihak yang ber beda. Di satu pihak, mereka
meyakini bahwa pemahaman dan pengakuan se cara lengkap dan tepat menangani
dunia baru yang diciptakan oleh individual isme yang rasionalistik beserta tuntutan-
tuntutannya yang dianggap berharga dan secara ilmiah sahih. Di pihak lain terdapat
penolakan total terhadap dunia.

3. TEKNIK ANALISIS

29
Teknik analisis yang digunakan dalam strukturalisme genetik adalah model
dialektik Teknik ini berbeda dengan positivistik, intuitif, biografi dan se bagainya.
Model dialektik mengutamakan makna yang koheren Prinsip dasar teknik analisis
dialektik adalah adanya pengetahuan mengenai fakta-fakta ke manusiaan akan tetap
abstrak apabila tidak dibuat konkret dengan menginte grasikan ke dalam totalitas
Sehubungan dengan hal tersebut, metode dialektik mengembangkan dua macam
konsep, yaitu "keseluruhan-bagian" dan "pema haman-penjelasan".

Goldmann menyatakan bahwa sudut pandang dialektik berbeda dengan sudut


pandang rasional dan sudut pandang empirik. Sudut pandang rasionalis biasanya
mengasumsikan adanya gagasan yang berasal dari pembawaan dan secara langsung
dapat didekati, sedangkan kaum empirik menyandarkan diri pada kesan inderawi
Dua sudut pandang penelitian ini sama sama mengharus kan agar ditemukannya
pengetahuan secara pasti. Kedua sudut pandang ini memang berbeda dengan sudut
pandang dialektik, yang berasumsi bahwa da lam analisis sastra tidak pernah ada
titik awal yang secara mutlak valid, tidak ada persoalan yang secara final pasti
terpecahkan.

Oleh karena itu, pemikiran dialektik tak pernah mengikuti garis lurus Setiap fakta
(sastra) individual hanya bermakna ketika ditempatkan ke dalam keseluruhan
Sebaliknya, keseluruhan hanya dapat dipahami dengan pengeta huan yang
bertambah mengenai fakta fakta partial atau yang tidak menyeluruh yang
membangun keseluruhan itu. Karena keseluruhan tidak dapat dipahami tanpa
bagian begitu pula sebaliknya, proses pencapaian pemahaman makna metode
dialektik berlangsung melingkar terus-menerus, mengikuti sistem sirkel, tanpa ada
kejelasan titik awal dan akhirnya

Menurut Goldmann (1970.593) penelitian keseluruhan-bagian memer lukan pola


yang terjamin kehandalannya, yaitu memanfaatkan model yang di susun terbatas
pada sejumlah unsur dan hubungan-hubungannya. Analisis akan berawal dari mana,
peneliti seharusnya bisa menentukan bagian mana yang menjadi unsur dominan
menurut data empirik Dari data tersebut, peneliti se lanjutnya memberikan sebuah
dari struktur internal sebagai bagian keseluruhan Penjelasan struktur internal
barulah bagian kecil pemahaman makna, sedangkan makna akhir harus ke arah
struktur secara menyeluruh.

Jika demikian tampak jelas bahwa metode dialektik mengenalkan anali sis
"pemahaman-penjelasan" Pemahaman adalah usaha pendeskripsian struk tur obyek
yang dipelajari, sedangkan penjelasan adalah usaha penemuan makna struktur itu
dengan menggabungkannya ke dalam struktur yang lebih besar Dengan kata lain,
pemahaman merupakan langkah untuk mengidentifikasi bagian, dan penjelasan
adalah langkah pemaknaan unsur bagian ke dalam unsur Keseluruhan.

Penelitian Estetika dan Stilistika

A. Estetika Sastra

1. HAKIKAT ESTETIKA

30
Kajian estetika akan mengungkap keindahan karya sastra. Karya sastra adalah
fenomena yang penuh bunga-bunga dan aroma Karenanya, peneliti di harapkan
mampu menangkap keindahan di dalamnya. Keindahan adalah cip taan pengarang
dengan seperangkat bahasa. Melalui eksplorasi bahasa yang khas, pengarang akan
menampilkan aspek keindahan yang optimal

Keindahan adalah sebuah aplikasi dan intrau dan inscape Intresa ada lah pengaruh
yang nyata dari tangan Tuhan terhadap cipta kreatif seorang sas trawan, sedangkan
inscape adalah pemahaman atau kekuatan melihat sesuatu dengan pikiran dan hati
sebagai suatu pundak realitas dalam sastra berdasarkan kebenaran Tuhan Keindahan
adalah dunia ide/gagasan. Karena ide tersebut terbersit siratan dunia Illahi Jadi,
keindahan akan mengacu pada Tuhan Dari pengertian ini, keindahan dapat
dibedakan menjadi tiga. (a) keindahan dalam arti luas, yaitu keindahan yang identik
dengan kebenaran. (b) keindahan dalam estetik murni, yaitu keindahan dalam
pengalaman sastrawan, yang mempenga ruhi seseorang merasa indah atau tak
indah, (c) keindahan sederhana, yaitu ke indahan yang hanya terbatas pada
tangkapan pancaindera

Kajian estetika tak hanya berhubungan dengan seni bahasa saja, tetapi juga
menyeluruh ke unsur-unsur pembangun karya sastra. Menurut Braginsky (Teeuw,
1988.354) ada tiga aspek konsep keindahan. Pertama, dari aspek onto logisnya, ada
keindahan puisi sebagai pembayangan kekayaan Tuhan. Kedua, dari aspek imanen,
dari yang indah, yang terungkapkan dalam kata-kata seperti ajaib, tamasya, dan
lain-lain, dan selalu terwujud dalam keanekaragaman, ke bahagiaan yang harmonis,
baik dalam alam maupun dalam ciptaan manusia. Ketiga, dari aspek psikologis,
yaitu efek kepada pembaca yang menjajdi heran, birahi, suka, lupa dan sebagainya.
Dalam kaitan ini karya sastra dapat dijadikan sebagai pelipur lara ( panglipur
Wiyung), Seperti pada Novel- novel Jawa tahun 1960-an.

Dari pendapat tersebut, tampak bahwa keindahan dari aspek ontologis dan imanen
merupakan bentuk kemampuan pengarang mengolah bahasa da lam karyanya.
Olahan bahasa yang hidup dan mempesona, dapat saja menjadi lebih memaukau
dan seakan akan memiliki sinar Ketuhanan. Kata-kata yang mereka ciptakan
seakan-akan berasal dari Sang Pencipta. Estetika semacam ini merupakan hakikat
filosofi dari sebuah estetika. Keindahan menjadi pijaran kata-kata dan suara Tuhan.
Sedangkan keindahan dari aspek psikologis sebe namya merupakan pengaruh
keindahan karya sastra bagi pembaca Keindahan semacam ini memiliknilai
pragmatik. Keindahan karya sastra diharapkan mampu merebut hati pembaca.
Melalui keindahan itu pembaca akan memburu karya sastra dan menilainya lebih.

Yang patut diketahui, estetika sastra yang universal hampir tidak ada. Keindahan
karya sastra umumnya terbatas pada wilayah sastra itu sendiri Maksudnya, estetika
sastra Indonesia, Inggris, Jawa, Sunda, dan sebagainya memiliki kekhasan masing
masing Kekuatan masing-masing wilayah sastra tersebut bersifat unik Misalkan
saja, dalam sastra Indonesia mengenal sajak asonansi dan aliterasi, dalam sastra
Jawa istilah persajakan dinamakan purwakanthi Lalu ada purwakanthi guru sastra
(asonansi) dan purwakanthi guru swara semacam ini tidak harus dipertentangkan
satu sama lain, karena fungsinya sama yaitu memperindah karya sastra.

2. ANALISIS ESTETIKA

31
Sepintas, penelitian estetik itu sekadar mengungkap masalah unsur pem bentuk seni
sastra saja Unsur-unsur pembangun teks yang menjadi obyek telaah utama. Padahal,
penelitian ini juga merupakan bagian dari strukturalisme murni. Hanya saja, jika
penelitian strukturalisme murni menekankan aspek hubungan antar unsur,
penelitian estetik tidak demikian. Penelitian estetik hanya memfo kuskan pada
aspek yang menyebabkan karya sastra menjadi indah dan me narik

Jan Mukarovsky adalah pencetus penelitian model estetika ini. la me nyebutkan


bahwa munculnya telaah estetik tidak lepas juga dari penelitian for malisme yang
mengarah pada strukturalisme modern. Jika telaah struktural ha nya menakankan
pada telaah makna sehingga aspek-aspek yang mengungkap kan fakta estetik seperti
terabaikan, kemudian muncul telaah estetik Penelitian ini kemudian berkembang
menjadi kajian estetika struktural. Maksudnya, di samping memperhatikan struktur
juga memfokuskan pada estetika pembangun teks.Memang estetika struktural
sering mendapat kecaman pedas, karena obyek estetika itu sendiri kurang jelas.
Estetika sendiri juga sering berubah-ubah pada setiap genre. Itulah sebabnya
masalah estetika bisa menjadi kering, karena kekaburan apa yang hendak dilacak.
Baru menjelang abad ke 20, muncul studi estetika Dessoir dalam bukunya Asthetik
und Allgemeine Kunstwissenschaft, dia membagi dua teori estetika, yaitu. (1)
obyektivisme estetik, adalah semua teori estetik yang dapat mencari ciri-ciri
pembeda estetik berdasarkan aturan obyek, tidak dalam karakter tentang subyek
yang menikmatinya, (2) subyektivisme coste nik, adalah teori yang memahami
estetika sebagai suatu ilmu tentang jenis si kap, pengalaman batin, atau gema psikis
tertentu (Fananie, 2001:124)

Lebih lanjut, Mukarovsky memberikan tahapan penelitian estetika men jadi tiga,
yaitu: (1) perhatian pertama dicurahkan pada obyek itu sendiri yaitu organisasi
internal karya sastra yang dikaji, (2) meneliti terminologi sebagai "kesadaran sosial"
yaitu perangkat norma-norma yang terpercaya untuk sebuah kolektivitas tertentu
yang diimplementasikan oleh setiap karya sastra, dan (3) subyek tidak lagi
dipahami sebagai sarana struktur supra-individual yang pasif, tetapi sebagai suatu
kekuatan yang beraksi dan berinteraksi dengan struktur struktur tersebut dan
mengubahnya selama terjadinya interaksi itu

Sebagai contoh, Mukarovsky meneliti puisi dengan menitikberatkan po la bunyi


untuk menemukan kerangka yang memberikan aliran bunyi yang da pat diubah
dengan garis besar yang tegas Jadi, analisis ditekankan pada struk tur bukan pada
unsur fonetik puisi Analisis struktur digunakan untuk menen tukan ciri-cin dalam
karya sastra yang menyebabkan kelebihan (efficay) estetik nya Konsep yang
menjelaskan terjadinya efficay dalam sastra adalah automati sasi. Hal ini
merupakan jabaran pengertian yang membuat aneh dalam teks sas tra.
Deautomatisasi yang membuat karya sastra kehilangan nilai otomatis dari
kehidupan sehari-hari.

Kunci makna dalam penelitian estetik struktural adalah tidak terletak pada aspek
sensorinya, melainkan pada hubungan aspek itu dengan kode Ka rena itu, kunci
pemahaman karya sastra tidak harus dicari pada organisasi in ternalnya, melainkan
pada hubungan organisasi tersebut dengan kode yang mendasarinya. Dari
pandangan ini, organisasi karya sastra hanya memiliki su atu ketetapan relatif, dan

32
kode estetik yang menentukan tampilan aktualnya. Karya sastra adalah memiliki
struktur ambigu Karya sastra menjadi tidak am bigu jika dihayati secara berlawanan
dengan latar belakang tradisi

Estetika struktural memberikan perhatian pada tiga fenomena yang se cara tetap
saling berpengaruh, yaitu artistik, estetik, ekstra astistik dan ekstra es tetik, dan
tegangan yang ada di antara bidang tersebut saling mempengaruhi pe ngembangan
masing masing Dalam bukunya Aesthetics Funtion, Norm, and Va lues as Social
Facts, Mukarovsky memberikan tiga konsep aksiologi estetik yang terdiri atas
fungsi, norma,dan nilai.

Penelitian Pengajaran Sastra

A. Pentingnya Penelitian Pengajaran Sastra

Sepintas, penelitian pengajaran sastra tidak langsung berhubungan de ngan karya


sastra, melainkan terkait dengan pengajaran Namun, kalau penga jaran sastra
dilakukan sebagai sebuah proses "bersastra", sesungguhnya peneli tian ini pun
berhubungan erat dengan teks sastra. Hanya saja, sampai saat ini memang
pengajaran sastra kita masih berhenti pada hal-hal mekanik, sehingga penelitian
sastra yang berkait dengan pengajaran dilupakan.

Disadari atau tidak, penelitian pengajaran sastra sangat penting untuk meningkatkan
pengajaran dan sekaligus mengembangkan sastra. Penelitian se macam ini memang
jarang dilakukan Kalau pun ada, kadang-kadang tidak di lakukan oleh pengajar
sastra yang bersangkutan. Bahkan, sebagian besar pene litian pengajaran sastra
dilakukan och seorang peneliti yang "kurang" mengua sai pengajaran sastra.

Penelitian pengajaran sastra, akan mengaitkan tiga hal yaitu penelitian, pengajaran,
dan sastra. Karenanya, di samping menguasai masalah metode pe pengajaran sastra
dan liku-likunya, juga harus paham betul tentang sastra. Jika tiga hal itu ada yang
timpang salah satu, tentu penelitian pengajaran sastra jelas kurang efektif. Peneliti
pengajaran sastra juga perlu menguasai aneka ragam teori didaktik, teori belajar,
ilmu sastra, dan metode pengajaran sastra Atas dasar ini, layak kalau penelitian
pengajaran sastra baik secara individual maupun kelompok dilakukan oleh pengajar
sastra. Memang mungkin akan ada kesan kurang obyektif karena pengajar sastra
meneliti "aktivitasnya" sendiri. Anggapan ini tentu belum selamanya benar, asalkan
pengajar sastra tersebut memiliki wawasan metodologi yang akurat, penelitian
termaksud akan berjalan lancar.

Penelitian pengajaran sastra yang terbaik memang harus bersifat empi rik.
Pengalaman-pengalaman lapangan yang terkumpul, justru akan menjadi bahan
masukan bagi pengajar sastra dan pengembangan sastra yang akan da tang Sebagai
bahan masukan, penelitian pengajaran sastra semestinya juga men cakup unsur-
unsur pengajaran secara lengkap, misalkan pembaca, buku teks, GBPP, pengajar,
media, lingkungan dan sebagainya.

33
Agar hasil penelitian pengajaran sastra memenuhi fungsinya, segera da. pat
dimanfaatnya oleh siapa saja, maka penelitian sebagainya ke arah program besar
pemerintah. Kini, pemerintah sedang akan memberlakukan KBK (Kuri kulum
Berbasis Kompetensi). Yakni, sebuah program yang berupa rekayasa kultural
pengajaran, yang mendasarkan pada kompetensi dasar minimal. Arah ini sebaiknya
direbut oleh peneliti untuk melakukan pembahasan lebih lanjut

B. Pemikiran Dasar KBK Bidang Sastra

Dalam makalahnya, Endraswara (2002) telah mencoba mengotak-atik tentang


alternatif pelaksanaan KBK bidang sastra. Hal ini perlu, karena jagad pendidikan
kita memang sedang gerah dan gagap Karenanya, basis pendidikan selalu berubah-
ubah dari detik ke detik Akibatnya, tak sedikit basis pendidikan terdahulu sedang
berjalan dan belum optimal, pemerintah telah gemas ingin mengubah ke basis lain.
Buktinya, semula pernah ada pendidikan berbasis bu daya Lalu, ada lagi strategi
yang didengungkan tentang CBSA (cara belajar sis wa aktif), belajar proses, belajar
tuntas, dan lain-lain.

Belakangan mencuat pembelajaran berbasis kompetensi. Mau tak mau, pengajaran


sastra juga harus ikut lari mendekati isu nasional tentang KBK yang sedang
digelindingkan pemerintah. Upaya perwujudan KBK dalam bidang sastra tak
sekadar ikut-ikutan Tak sekadar hanyut dalam cforia program pemerintah Namun,
memang telah saatnya pembelajaran sastra diletakkan pada porsinya. Hal ini untuk
menepis anggapan bahwa pembelajaran sastra selama ini tak ber pengaruh apa-apa
terhadap peserta didik Melalui KBK, diharapkan sastra me miliki peranan bagi
kehidupan peserta didik

Di samping itu, peserta didik juga tak akan mengambang serta berjalan dalam
kegelapan dalam belajar sastra. Mempelajari sastra, tak sekadar mekanik dan tanpa
tanpa keterlibatan jiwa, melainkan totalitas kejiwaan akan tercurah kan di
dalamnya. Hal ini berarti mempelajari sastra tak sekadar menghafal isti lah sastra,
melainkan menggauli karya sastra Mempelajari sastra juga memiliki target tertentu
yang ditentukan sendiri oleh peserta didik.

Asumsi perlunya KBK dalam sastra, ada beberapa hal antara lain: (1) peserta didik
sebenarnya bukanlah tabung kosong yang bersih, melainkan me miliki bakat dan
kemampuan tertentu. Kemampuan tersebut tak akan berubah apabila tak
dikembangkan, (2) kemampuan dasar yang dimiliki peserta didik a lain berupa daya
imajinasi, keinginan tampil, dan jiwa seni atau estetis, (3) pelaksanaan
pembelajaran sastra sebelum ada KBK boleh dikatakan gagal, antara karena tak
menyentuh esensi apresiasi sastra. Karenanya, melalui KBK peserta didik akan
diajak menggauli langsung karya sastra, mengoptimalkan pengalaman hidup,
mendayagunakan sumber belajar dari lingkungan peserta didik, dan se bagainya; (4)
di samping kemampuan individu peserta didik juga mempunyai keinginan untuk
saling kerjasama dengan orang lain, (5) kegiatan yang berupa memproduksi sastra
di rumah, misalkan ada tugas pekerjaan rumah, seringkali tidak asli bahkan kadang-

34
kadang dibuatkan orang lain. Di samping itu peserta didik sering hanya
mengandalkan pada hasil akhir jika mencipta karya sastra. Maka dengan KBK yang
dipentingkan adalah proses berolah sastra; (6) setiap peserta didik memiliki daya
juang kreativitas yang sulit diabaikan. Setiap pe serta didik akan berkreasi dalam
sastra sesuai tingkat kecerdasan dan imajinasi nya, dan (7) perbedaan daya estetika,
yaitu suatu kelembutan rasa dalam mengo lah kata yang bermakna perlu dihargai

Atas dasar asumsi demikian, memang telah waktunya pembelajaran sastra menata
diri. Pembelajaran sastra yang asal-asalan, tanpa basis kompetensi yang jelas, hanya
akan mencetak sampah pendidikan Akibatnya, sastra tak ada artı nya apa apa bagi
kehidupan peserta didik. Karena itu, pembelajaran yang ber basis KBK mengajukan
prinsip prinsip sebagai berikut: (a) kompetensi diarah kan pada penanaman dan
pengembangan budi pekerti luhur, (b) ke arah inte gritas nasional, namun tetap
menjaga identitas masing-masing. (c) pengem bangan keterampilan untuk hidup.
Hidup di masa depan penuh dengan kompe tist, karena itu kompetensi sastra harus
bisa disiapkan ke arah itu, (d) penilaian dilakukan secara berkelanjutan, (e) perlu
ada kemitraan dengan pihak pihak ter kait

Dengan demikian, pembelajaran sastra semakin cerdas dan jelas arah nya.
Pembelajaran bukan sekadar formalitas dan menekankan hafalan. Pembe lajaran
dirancang bersama, sejalan otonomi kelas atau guru. Penilaian tak seka dar memilih
(multiple choice) yang penuh tebakan, melainkan ke arah hal-hal sinergis Penilaian
bersifat kontinu. Berarti, kemampuan khusus yang ke arah life skill akan menjadi
pertimbangan penuh pada penilaian. Peserta didik yang berkali-kali juara menulis
ataupun membaca puisi Jawa, tentu berbeda dengan yang tak pernah juara. Kalau
begitu, juga akan menghindari nilai-nilai sulapan atau katrolan

Yang lebih penting lagi, pelaksanaan KBK sastra memang unik. Seha rusnya, tak
ada keseragaman antara sekolah satu dengan yang lain. Bahkan an tara kelas satu
dengan yang lain. Karenanya, kalau ada buku teks, hanya seba gai rambu-rambu
awal saja. Namun, setiap pengajar dan lingkungan sekolah akan dan boleh
beraktivitas berbeda, sejalan dengan kemampuan yang ada.

C. Arah KBK: Pengajaran Pragmatik Sastra KBK

merupakan aplikasi school based management, yang kemudian diarahkan ke life


skill education. Arah pembelajaran sastra pun, akan menjadi epigon paham KBK,
sehingga tak lagi menjejali teori mati yang kering kepada peserta didik. Melainkan,
pembelajaran justru mengarah ke aspek-aspek kegu. naan (pragmatik sastra) Aspek
pragmatik sastra selalu berorientasi pada fungsi sastra bagi peserta didik. Misalkan
saja, peserta didik diajak belajar tembang pocung sampai dapat, harus tahu
kegunaannya. Untuk apa pocung dipelajari, apa pengaruhnya terhadap masa depan
peserta didik, dan seterusnya.

Melalui KBK, peserta didik akan belajar lebih humanis, dalam rangka mencapai
sebuah kompetensi dasar. Kompetensi adalah perpaduan dari penge. tahuan,
keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpi kir dan

35
bertindak. Dengan demikian, kompetensi sangat kompleks. Kompetensi adalah
kemampuan untuk menjadi dirinya. Peserta didik akan mampu menja lankan
keterampilan, tugas, sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk menun jang
keberhasilan. Dengan demikian, kompetensi sastra adalah kemampuan pe serta
didik untuk melakukan tugas dan apresiasi sastra secara total. Yakni, apre siasi yang
berprospek masa depan, apresiasi yang hidup, basah, dan penuh makna.

Konteks tersebut menghendaki bahwa kemampuan yang diperoleh se lama belajar


sastra seharusnya ada kriteria dasar yang jelas. Setidaknya, me ngapa peserta didik
belajar membaca puisi tradisional, untuk apa, dan bagai mana ukuran mereka telah
mampu akan dicantumkan dengan jelas. Lebih jauh lagi, kriteria tersebut ke arah
hal-hal pragmatik dan mendukung masa depan peserta didik. Itulah sebabnya link
dan match dengan dunia kerja atau studi lanjut amat diperlukan. Jika tidak, maka
hasil belajar akan sia-sia, kurang ber manfaat, mengada-ada, menghaburkan biaya,
dan memboroskan waktu. Aki batnya, proses pendidikan akan sekadar formalitas
dan menghamburkan dana.

Depdiknas mengemukakan bahwa KBK memiliki karakteristik: (1) me- nekankan


pada kompetensi siswa baik individual maupun klasikal, (b) ber orientasi pada hasil
belajar dan keberagaman, (c) penyampaian pembelajaran menggunakan metode
bervariasi, (d) sumber belajar bukan hanya guru, (e) pe nilaian pada proses dan
hasil belajar dalam upaya penguasaan kompetensi. Da ri karakteristik ini,
pembelajaran sastra diharapkan akomodatif terhadap situasi, tuntutan peserta didik,
dan tuntutan zaman

Orientasi pembelajaran boleh saja setiap saat berubah, jika zaman meng hendaki
lain. Jadi, pembelajaran tak pernah tenang dan permanen, melainkan bersifat
dinamis Dinamika pembelajaran selalu mempertimbangkan ekologi sastra. Dengan
cara ini, setiap jenjang pendidikan yang membelajarkan sastra tak lagi terjebak pada
ruang diskursif. Di antara segmen sastra saling ada keterkaitan, tak berdiri sendiri,
dan terjadi hubungan simbiosis yang menguntung kan. Jika masing-masing ruang
terpotong-potong, kurang tertata, amat repot pencapaian KBK bidang sastra.
Misalkan saja, tak ada hubungan menguntung kan antara universitas sebagai produk
guru sastra dengan dunia lapangan Ber bagai majalah yang kurang mengakomodasi
dan memberi peluang bagi karya anak-anak, dan seterusnya

Orientasi pembelajaran sastra, tak harus bertele-tele dan lelah dengan cekokan teori.
Untuk itu, peneliti sastra dapat melakukan action research, mi salnya berupa
kerjasama dengan guru/dosen untuk merancang pembelajaran sastra yang bernuansa
KBK Pembelajaran semacam ini, dapat melink kemasan buku Apresiasi Puisi
Remaja, Catatan Mengolah Cinta (2002) tulisan Riris K Toha Sarumpact. Buku ini
secara tak langsung membeberkan strategi pembelajaran sastra yang bernafas KBK.
Yakni, di dalamnya tak lagi menteror peserta didik untuk menghafal, melainkan ke
arah skill yang menyenangkan

Di antara langkah yang dipaparkan, adalah pengenalan mengapresiasi sesuai dunia


remaja Pertama, subek didik diajak mencermati hakikat puisi, te tapi bukan belajar
teoritik Subyek didik dipancing menggunakan data empiris, untuk menyimpulkan
sendiri apa itu puisi. Kedua, subyek didik diajak menge nali imaji, tanggap terhadap
lingkungan, dan alam secara estetis. Ketiga, subyek didik selalu dimotivasi terus

36
mencoba dan berlatih. Keempat, seni merangkai kata, bercerita lewat puisi. Kelima,
subyek didik diajak menyelami sembilan pantangan yang mengganggu berpuisi,
dan seterusnya

Mealui langkah demikian, subyek didik akan diajak bertamasya ke dua sastra.
Mereka akan menyelam dengan sendiri ke dunia estetis. Hal ini berarti
pembelajaran sastra memiliki kegunaan spiritual, khususnya untuk keseimbangan
emosi. Pembelajaran puisi akan menjadi wahana menghaluskan rasa humanis Di
samping itu, manakala remaja berhasil menembus media massa, kepuasan batin pun
akan tercapai

D. Action Research dan Bengkel Sastra

Action research (penelitian tindakan) atau tepatnya classroom action re search


memang tampaknya lebih tepat untuk meneliti pengajaran sastra. Melalui action
research, hasil penelitian akan dapat digunakan untuk memperbaiki situasi
pengajaran sastra Action research lebih praktis, karena dapat dilakukan oleh
pengajar sastra bersama pembaca dengan terus-menerus. Penelitian ini dapat
berjalan secara alamiah jika dilakukan oleh pengajar sastra. Kecuali itu, action
research juga tidak akan banyak memakan biaya, dan hasilnya juga lebih efektif
untuk mengadakan tindak lanjut

Classroom action research juga dapat digunakan untuk "mengujicoba" model model
pengajaran sastra baru. Jika dari uji coba ternyata berhasil, mampu meningkatkan
daya apresiasi subjek didik terhadap karya sastra.

meningkatkan daya apresiasi subjek didik terhadap karya sastra, selanjutnya model
tersebut dapat ditularkan pada sekolah atau kelas yang lain Classroom action
research juga dapat dimanfaatkan untuk mengoji interdisipliner penga jaran sastra.
Artinya, apakah dampak pembelajaran sastra dapat berdampak po sitif pada aspek
kehidupan yang lain, atau tidak. Hal ini dapat diterapkan pada model pengajaran
sastra yang inovatif Dalam kaitan ini, benkut akan dicon tohkan beberapa langkah
penelitian pembelajaran sastra dalam rangka untuk mendukung pembentukan
masyarakat madani Indonesia.

Salah satu model classroom action research yang segera dapat diketahui hasilnya,
misalkan model bengkel sasira. Model pengajaran bengkel sastra, ke mungkinan
akan menambat situasi kritis pengajaran sastra yang selama ini se ring sekadar
divejang dengan teori dan judul-judul karya beserta nama penulis nya. Mungkin,
jarang disadari bahwa melalui bengkel sastru akan menawarkan sesuatu yang amat
berharga terutama bagi pembaca agar dapat berolah sastra.

Perlu diakui bahwa bengkel sastra memang hal baru di tengah perbin cangan
pengajaran sastra. Karenanya, di sana-sini masih diperlukan gerilya pengajaran
sastra dan perjuangan mati-matian untuk merombak model lama yang telah lekat di
benak para pengajar sastra. Paling tidak, ihwal yang perlu di tanamkan kepada
mereka bahwa melalui bengkel sastra, baik guru maupun pembaca akan terusik

37
untuk selalu berkenalan dengan karya sastra, menyenangi, menggeman, dan
semakin akrab dengannya (karya sastra) Guru dan pembaca juga akan sama-sama
aktif dan tergoda untuk berolah sastra, menemukan infor masi, mendialoglan, dan
mencari pengalaman sastra. Tentu saja, hal ini dapat terwujud tidak sekadar seperti
membalik telapak tangan saja, melainkan me merlukan komitmen keras kedua kubu
(guru-pembaca) agar saling terlibat da lam menggauli dan atau mengapresiasi karya
sastra

Melalui bengkel sastra, komunitas yang berolah sastra memang akan sampai pada
tataran proses kreatif yang "liar" atau tidak "Jinak" Untuk men capai tingkatan
proses kreativitas ini, diperlukan pengajar sastra (guru/dosen) yang profesional.
Profesionalitas pengajar sastra dalam menangani bengkel sus tra, akan membuat
pengajaran sastra menjadi lebih hidup' dan dinamis. Penga jaran sastra menjadi
tidak 'kering' lagi, melainkan akan menjauhkan asumsi. asumsi sebagai legalisasi
dan justifikasi statemen: "keterasingan kesusasteraan".

Penelitian Sosiologi Sastra

A. Sosiologi Sastra

1. RASIONALISASI SOSIOLOGI SASTRA

Rasionalisasi penelitian sosiologi sastra hadir dari Glickberg (1967.75) bahwa "all
literature, however fantastic or mystical in content, is animated by a pro found
social concern, and this is true of even the most flagrant nihilistic work Pendapat ini
jelas merepresentasikan bahwa seperti apa bentuk karya sastra (fantastis dan mistis)
pun akan besar perhatiannya terhadap fenomena sosial. Karya tersebut boleh
dikatakan akan tetap menampilkan kejadian-kejadian yang ada di masya rakat.
Memang, pencipta sastra akan dengan sendiri mendistorsi fakta sosial se suai
dengan idealisme mereka

Dalam pandangan Wolff (Faruk, 1994:3) sosiologi sastra merupakan di siplin yang
tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdin dari sejumlah studi-studi
empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general. yang masing-
masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semua. nya berurusan
dengan hubungan sastra dengan masyarakat. la juga menawar kan studi sosiologi
yang lebih verstehen atau fenomenologis yang sasarannya adalah level "makna"
dari karya sastra.

Sosisologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif ini banyak
diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan
masyarakat. Arenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sas tra adalah kelahiran
sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya
karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu
merefleksikan zamannya.Kendati sosiologi dan sastra mempunyai perbedaan
tertentu namun se benarnya dapat memberikan penjelasan terhadap makna teks
sastra (Laurenson dan Swingewood, 1972). Hal ini dapat dipahami, karena

38
sosiologi obyek studi nya tentang manusia dan sastra pun demikian. Sastra adalah
ekspresi kehi dupan manusia yang tak lepas dari akar masyarakatnya. Dengan
demikian meskipun sosiologi dan sastra adalah dua hal yang berbeda namun dapat
saling melengkapi Dalam kaitan ini, sastra merupakan sebuah refleksi lingkungan
so sal budaya yang merupakan satu tes dialektika antara pengarang dengan situa
sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang
dikembangkan dalam karya sastra

Itulah sebabnya memang beralasan jika penelitian sosiologi sastra lebih banyak
memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan so salnya Baik
aspek bentuk maupun isi karya sastra akan terbentuk oleh suasana Lingkungan dan
kekuatan sosial suatu periode tertentu Dalam hal ini, teks sas tra sebagai sebuah
pantulan zaman, karena itu "ia" menjadi saksi za man Sekaligun aspek imajinasi
dan manipulasi tetap ada dalam sastra, aspek sosial pun juga tidak bisa diabaikan
Aspek-aspek kehidupan sosial akan me mantul penuh ke dalam karya sastra

Kehadiran sosiologi sastra, meskipun tergolong muda namun telah menghasilkan


beribu-ribu penelitian, khususnya di perguruan tinggi. Bahkan, pada beberapa
perguruan tinggi tertentu, sosiologi sastra telah berdiri sebagai mata kuliah. Tentu
saja lingkup kajiannya semalan beragam.

Penelitian demikian mendasarkan asumsi bahwa pengarang merupakan a salient


being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik
masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyara katnya, sastra
berada jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya Dari ke sadaran mi muncul
pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal balik dalam derajat tertentu
dengan masyarakatnya, dan sosiologi berusaha mencan pertautan antara sastra
dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensi

Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror) Da lam kaitan ini,
sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati de mikian, sastra
tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan Dari sini, tentu sastra
tidak akan semata-mata menyodorkan fakta secara men tah. Sastra bukan sekadar
copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah di tafsirkan. Kenyataan tersebut
bukan jiplakan yang kasar, melainkan sebuah re fleksi halus dan estetis Itulah
sebabnya cukup beralasan jika Hall (11979 32) menyatakan bahwa "the concept of
literature a social referent is, however, perfectly viable since it takes into account
the writer's active concern to understand hid society.

39
B. Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra

1. FUNGSI SOSIAL SASTRA

Fungsi sosial sastra, menurut Watt (Damono, 1978 70-71) akan berkaitan dengan
pertanyaan: seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sampai
seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sostal Dalam kaitan ini ada tiga hal
yang perlu diungkap: (a) sudut pandang kaum romantik yang menganggap sastra
sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi, dalam pandangan ini tercakup
wawasan agar sastra berfungsi sebagai pembaharu atau perombak, (b) sudut
pandang bahwa karya sastra bertugas sebagai penghibur belaka, dalam hal ini
gagasan "seni untuk seni" tak ada bedanya dengan prak tik melariskan dagangan
untuk mencapai best seller, dan (c) semacam kompromi dapat dicapai dengan
meminjam slogan klasik sastra harus mengajarkan sesua tu dengan jalan menghibur

Dari berbagai fungsi tersebut peneliti sosiologi sastra dapat mengkon sentrasikan
pada salah satu fungsi. Dari tiga fungsi tersebut, tampak menggiring peneliti ke arah
empink Oleh karena, tanpa data empirik yang akurat, seorang peneliti hanya akan
berandai-andai berhadapan dengan fungsi sastra Fungsi sastra tentu saja harus digali
langsung dari masyarakat. Masyarakat pembaca yang akan menilai dengan jernih
apakah karya tertentu memiliki fungsi jelas atau tidak. Apakah karya sastra tertentu
memiliki fungsi sosial-spiritual atau ya ng lain, tergantung kesan masyarakat.

Dalam perkembangan selanjutnya, sosiologi sastra banyak dimanfaat kan oleh


penelitian sastra yang berbau marxis Paham marxisme berasumsi bahwa sastra,
kebudayaan, agama pada setiap zaman - merupakan ideologi dan suprastruktur yang
berkaitan secara dialektikal, dan dibentuk atau merupakan akibat dari struktur dan
perjuangan kelas zamannya. Dengan demikian, sejarah dipandang sebagai suatu
perkembangan terus menerus. Daya-daya kekuatan di dalam kenyataan secara
progresif selalu tumbuh untuk menuju kepada suatu masyarakat yang ideal tanpa
kelas Namun, langkah tak selalu berjalan mulus melainkan penuh hambatan yang
berarti Akibatnya per tumbuhan ekonomi dapat menyebabkan pertentangan
antarkelas

Penelitian sosiologi sastra marxis tersebut, tampaknya kurang berkem bang di


Indonesia. Padahal, di Indonesia meskipun menolak sistem kelas juga sering ada
pertentangan antar elit dan golongan bawah. Mungkin sekali hanya istilah saja yang
berbeda, jika orang lain menggunakan istilah kelas, Indonesia.

menggunakan paham pusat-daerah, wong gothewong alik, elite-rakyat kecil dan


seterusnya Berbagai segmen yang dikotomis tersebut, ternyata juga sering me nank

40
perhatian sastrawan sehingga seharusnya juga menarik pula bagi penes tian sosiologi
sastra Misalkan saja, penyair WS Rendra, Darmanto Jatman, Wei Tukul, dan lain-lain
sering mengkritisi kinerja orang atas dalam puisinya. Bahkan, pujangga R. Ng
Ranggawarsita pun di masa silam (kerajaan Surakarta) telah mengkritisi terjadinya
masa yang tidak menentu dalam karya nya berjudul Serut Kalatidha la menyebut
waktu itu telah terjadi zaman da

(zaman gila). Jika bagi Marx, sastra dan kebudayaan merupakan refleksi perjuanga
kelas untuk "melawan" kapitalis, di Indonesia pun hal demikian juga ada hal
senada. Di Indonesia lama pula terjadi perjuangan kaum kecil terhadap kapitalis
yang dikenal dengan sebutan konglomerat Hal ini telah menank sas trawan untuk
idenya bahwa konglomerat di era Orde Baru te lah bergandeng tangan dengan
pemerintah sehingga menyebabkan robolinya send sendi ekonomi kerakyatan.
Bahkan, sampai sekarang pun (era reformasi) kong lomerat selalu menjadi bahan
pergunjingan

Berarti hampir tak ada masyarakat yang tanpa kelas, tetapi tidak beram bahwa
kehadiran kelas musti harus bertentangan. Di Indonesia, tampaknya ke hadiran
kelas atau lebih tepatnya strata sosial (clit rakyat) sering bersinggungan
Persinggungan kepentingan yang melebar ke masalah kekuasaan itu, juga se ring
menarik perhatian sastrawan Itulah sebabnya, karya sastra dapat dipan dang sebagai
refleksi kehidupan sosial dan kekuasaan Karya sastra akan meng gambarkan "jarak"
perbedaan strata sosial terus menerus. Hal semacam ini juga sering diungkap
melalui tokoh-tokoh dalam karya sastra yang representatif. Mi salkan saja, tahun
2001 kemarin muncul antologi cerpen berjudul Socharto da Lam Cerpen, terbitan
Bentang Cerpen-cerpen tersebut melukiskan betapa besar tipu daya Soeharto yang
diungkap melalui fiksi

Pada prinsipnya, di negara barat sosiologi sastra memang lebih memu satkan
perhatian pada perangkat produksi, distribusi dan pertukaran sastra dalam suatu
masyarakat tertentu bagaimana buku-buku diterbitkan, bagaimana kom posisi sosial
terhadap pengarang dan audiensnya, tingkat kemampuan bacanya. serta
keterbatasan sosial "selera" Sosiologi sastra juga dapat mengkaji teks-teks sastra
bagi relevansi "sosiologis", artinya membawa karya sastra ke dalam ben tuk abstrak
melalui tema-tema yang menarik sejarahwan sosial.

Pendapat itu memberikan gambaran penelitian sosiologi sastra tentang dua hal.
Pertama, penelitian sosiologi sastra dapat ke arah dalam kaitannya de ngan
keberadaan teks sastra dan pembacanya. Jika karya sastra diproduksi le bih banyak
serta dicetak ulang berkali-kali, tentu dimungkinkan karya tersebut sejalan dengan
komunitas masyarakatnya Karya tersebut berarti sesuai denganselera masyarakat
Kedua, teks sastra tersebut dapat direlevansikan dengan ke pentingan kepentingan
studi sosial yang lain, misalkan sejarah sosial Melalui rema-tema sastra, diharapkan
dapat dimanfaatkan bagi penulisan sejarah sosial tertentu.

Dalam kaitan itu, Saini KM (1986:14-15) memberikan tiga kedudukan sastra


terhadap kehidupan (masyarakat), yakni sebagai pemekatan, penentangan, dan
olok-olok. Ketiga ini sebenarnya terkait dengan fungsi sastra bagi kehidupan sonal
Karya sastra sebagai pemekatan, memang akan menggambarkan kehi dupan
masyarakat. Namun, gambaran itu bukan jiplakan, melainkan sebuah intensifikator

41
yang dipekatkan, dijemihkan, disaring dan dikristalisasi ke dalam imajinasi
pengarang. Di sisi lain, mungkin karya sastra justru menentang kehi dupan,
misalkan pencipta tidak setuju dengan KKN rezim Orde Baru, lalu lahir karya yang
bertema demikian Ini berarti bahwa karya sastra menjadi penen tang jaman dan
aturan yang keliru

Lebih jauh lagi, karya sastra juga akan digarap seakan-akan mempero lok atau
mengejek kehidupan Biasanya, pencipta sangat mahir memainkan ironi, paradoks,
dan parodi ke dalam karyanya. Karena itu, sikap sastra yang mem perolok ini
sangat sensitif dan peka terhadap perkembangan zaman. Mereka tanggap terhadap
perkembangan situasi yang sering menindas.

2. PRODUKSI DAN PEMASARAN SASTRA

Penelitian tentang produksi dan pemasaran sastra memang jarang dila kukan.
Karena, masalah ini seakan-akan menjadi tanggung jawab penerbit. Padahal,
sebenarnya tidak demikian, artinya pengembangan karya sastra juga menjadi
tanggung jawab bersama. Sekurang-kurangnya studi semacam ini akan
menghubungkan tiga kutup sastra, yaitu penerbit, pembaca, dan pengarang

Perhatian peneliti semacam itu, memang sedikit mengesampingkan so siologi sastra


sebagai teori, melainkan berupaya memperhitungkan berbagai hal yang terkait
dengan faktor-faktor sosial yang menyangkut sastra Faktor-faktor tersebut aantara
lain: tipe dan taraf ekonomi masyarakat tempat berkarya, kelas atau kelompok
sosial yang berhubungan dengan karya, sifat pembaca, sistem sponsor, pengayom,
tradisi sastra dan sebagainya.

Dalam kaitan itu, dapat diungkap berbagai hal, antara lain latar bela kang sosial
pengarang sebelum dan setelah menjadi penulis. Apakah penulis tergolong orang
kampung, kota, birokrat, pegawai, dosen, anggota partai dan sebagainya. Masalah
umur dan jenis kelamin yang akan berpengaruh pada studi gender juga perlu
dicermati Oleh karena, penulis tua dengan muda, pria dan wanita tentu akan
memiliki ideologi yang berbeda. Faktor pendidikan dan hubungan sosial, juga patut
diperhatikan, karena intelektualitas karya akan dipengaruhi olehnya Bahkan, jika
mungkin harus sampai pada profesionalitar p nulis, artinya apakah mereka menulis
sebagai pekerjaan pokok atau sambilas Hubungan antara penulis dan pembaca
seringkali dipengaruhi o

pengayom. Pengayom bisa terdiri dari penerbit maupun penguasa. Pengayo adalah
patronase sastrawan, yang menghidupi dan mengembangkannya. Me nurut
Laurenson dan Swingewood (1971) ada tiga jenis patronase sastra, ya patronase
lama, patronase baru, dan patronase tak langsung. Dalam patronae lama ada
identifikasi antara patron dan sastrawan, ada hubungan pribadi ya kuat. Bahkan
sastrawan sering tinggal di kediaman patron Di dalam patrona baru, hubungan
antara patron dan sastrawan lebih longgar Karena itu, buk tidak mungkin kalau
sastrawan sering berganti-ganti patron, tergantung ma yang menguntungkan baik
secara material maupun spiritual. Sedangkan sister patronase tidak langsung adalah
patron yang hanya berfungsi sebagai med antara sastrawan dengan publik

42
Dalam sistem patronase lama, biasanya penulis telah digaji, seperti p jangga R. Ng
Ranggawarsita, sebagai penulis keraton Surakarta tentu karyany akan dibaca.
Bahkan raja pun memiliki otoritas agar pembaca di kalangan ke raton
menikmatinya. Sebaliknya, jika penulis tidak digaji dan hanya mempe oleh honor
dari tulisannya kadang-kadang pembacanya juga tidak jelas. Keda kategori penulis
tersebut tentu memiliki kelemahan dan kelebihan. Penis yang digaji, memang
seringkali karyanya dipengaruhi oleh penguasa Pem harus melukiskan "pesanan"
yaitu melukiskan ajaran-ajaran tertentu Dalan hal ini penulis hanya bebas mengolah
bentuk, sedangkan "pesan" telah ada Berbeda dengan penulis bebas atau pun
sambilan, mereka akan bebas melempu karyanya Mereka juga bebas berimajinasi
tanpa pengaruh siapa pun. Namun de mikian, kategori penulis ini jika kurang
kontrol akan sampai pada tingk "duplikasi" karya yang di lempar ke sana ke mari

Pengarang adalah manusia biasa, yang melahirkan karya tidak sekada untuk
idealisme melainkan butuh imbalan yang berimbang. Jika bulunya diter bitkan
maka wajarlah ia berharap imbalan daripadanya, seperti penerbit yang mengharap
keuntungan dari penerbitannya, agen yang mengharap keuntungan dari balas jasa
karena mengedarkannya (Nadeak, 1984 35). Harapan material dari pengarang ini
tentu berimplikasi luas secara sosiologis, karena pengarang menjadi tergantung pula
pada penerbit.

Dan kenyataan demikian, berarti peranan penerbit sebagai patronas sangat


menentukan kehadiran karya sastra. Penerbit akan mempertimbangkan karya sesuai
dengan selera dan pemasaran (marketable). Jika karya sastra sesua dengan
keinginan dan prediksi laku tidaknya, maka akan dicetak berlipat gan da Bahkan,
penerbit tertentu ada yang pandai melobi instansi tertentu khu susnya Dinas
Pendidikan Nasional, sehingga karya sastra tertentu dapat disebarkan di sekolah.

BAB 4

Buku praktis Bahasa Indonesia

A. SASTRA

1 . Mengenal Nilai Sastra

Menurut Pusat Bahasa( 2009) Dalam kehidupan sehari-hari kita sering


mendengar istilah sastra arya sastra: prosa atau puisi. Dengan membaca karya sastra,
kita annenperolch "sesuatu" yang dapat memperkaya wawasan dan/atau ningkatkan

43
harkat hidup. Dengan kata lain, dalam karya sastra ada sesuatu yang bermanfaat bagi
kehidupan.

Karya sastra (yang baik) senantiasa mengandung nilai (value). Nilai in dikemas dalam
wujud struktur karya sastra, yang secara implisit ter dapat dalam alur, latar, tokoh,
tema, dan amanat atau di dalam larik, aplet, rima, dan irama. Nilai yang terkandung
dalam karya sastra itu, antara lain, adalah sebagai berikut:

(1) nilai hedonik (hedonic value), yaitu nilai yang dapat memberikan
kesenangan secara langsung kepada pembaca,

(2) nilai artistik (artistic value), yaitu nilai yang dapat memanifestasikan suatu seni
atau keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan; (3) nilai kultural (cultural
value), yaitu nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang
mendalam dengan suatu masya
rakat, peradaban, atau kebudayaan,

(4) nilai etis, moral, agama (ethical, moral, religious value), yaitu nilai yang dapat
memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika,
moral, atau agama,

(5) nilai praktis (practical value), yaitu nilai yang mengandung hal-hal
praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.

2. Sastra Bernuansa Sejarah

Peristiwa masa silam tidak mungkin berulang lagi. Benarkah dangan itu? Secara
sekilas, pandangan itu dapat kita terima. Namun, pola kejadiannya mungkin saja
tampil pada masa kini atau pada masa yang akan datang. Agaknya itulah yang
menyebabkan timbulnya ungkapan "kita perlu belajar pada sejarah karena peristiwa
pada masa lampau da pat memberikan hikmah pada kehidupan masa kini atau pada
hari esok. pan

Karya sastra yang bermuatan kisah masa silam bukanlah rekaman fakta sejarah yang
sesungguhnya, melainkan hasil rekaan. Sekalipun de mikian, karya itu juga bukan
sepenuhnya buah imajinansi pengarangnya.

44
Nilai kepahlawanan atau semangat perjuangan, misalnya, dapat kita simak dalam
novel Mutiara (Nur Sutan Iskandar, 1946), Pagar Kawat Berduri (Trisnoyuwono,
1963), Surapati (Abdul Muis, 1965), dan Robert Anak Surapati (Abdul Muis, 1987).
Dalam Mutiara, Nur Sutan Iskandar berkisah tentang perilaku penjajah di tanah Aceh.
Kendati ia tidak terlibat langsung dalam peristiwa itu, mata batinnya mampu
menjangkau dan menjadi saksi sejarah. Untuk itu, ia bertutur melalui karyanya pada
cukil an percakapan di bawah ini. Cut Meutia agak termangu-mangu.

..."Tuhan, aku bersumpah akan meneruskan perjuangan bangsa ini sekuat-kuat


tenagaku. Tak ada mati yang kuharapkan hanyalah mati syahid dalam
mempertahankan agama, bangsa, dan tanah airku yang suci ini. Begitulah Iskandar
menitipkan pesan jiwa patriotisme. Dengan demi

kian, di dalam karya itu tersirat juga nilai kepahlawanan. Trisnoyuwono pernah
mengangkat unsur sejarah pada masa perang kemerdekaan di dalam karyanya Pagar
Kawat Berduri. Fakta sejarahnya ialah perang revolusi menjelang penyerahan
kedaulatan pada tahun 1949. la menampilkan kembali dalam karya sastranya itu kisah
kehidupan orang tahanan (lebih dari 150 orang) yang meringkuk di sebuah kamp
darurat di Salatiga. Mereka terbelenggu penderitaan, tetapi dalam dadanya tetap
tumbuh semangat untuk membela negara.

Ragam puisi--wiracarita (epos) atau balada-yang bertemakan perjuangan juga tidak


sedikit dalam karya sastra. Melalui sejumlah sajak, Amir Hamzah menge nukaksa
keperkasaan ang Tuah; Chairil Anwar menampilkan kegaganan Pangeran
Diponegoro, M. Saribi Afan menam pilkan keberanian Jenderal Sudirman, dan
Subagio Sastrowardojo me nampilkan ketegaran Mongonsidi ketika menghadapi tiang
eksekusi. Ke perkasaan, kegagahan, keberanian, dan ketegaran tokoh itu dapat kita
hayati kembali dalam mengisi wawasan kebangsaan kita. Subagio Sastrowardoyo
dalam Monginsidi menumbuhkan "cinta bangsa" bagi ge perasi penerusnya.

"Aku adalah dia yang berteriak 'merdeka sebelum ditembak mari. Aku adalah dia,
ingat, aku adalah dia!" 3. Sastra dan Nilai Budaya Daerah

Sebagian terbesar sastra daerah di Indonesia identik dengan sastra lisan. Fungsinya,
selain sebagai saluran untuk memelihara dan menu runkan buah pikiran suku atau
puak yang mempunyai sastra itu, juga cer minan alam pikiran, pandangan hidup, serta
ekspresi rasa keindahan masyarakat pemiliknya. Itulah yang biasa dinamakan dengan
nilai budaya daerah

Sistem nilai itu berupa konsepsi yang hidup dalam alam pikiran war ga masyarakat
sebagai sesuatu yang amat bernilai dalam kehidupan. Wu judnya dapat berupa adat-
istiadat, tata hukum, atau norma-norma yang mengatur langkah dan tindak budaya
yang adab. Dengan sikap rasa ikut memiliki, dalam diri seseorang akan timbul rasa
menghargai dan memi liki sesuatu yang sebenarnya memang milik bersama, seperti
adanya rasa memiliki terhadap ungkapan rut wuri handayani (Jawa) dan pepatah bulat
air karena buluh, bulat kata karena mufakat. Dalam kehidupan keluarga sering kita
dengar petuah, "Janganlah menjadi anak seperti Si Malin Kundang dan Si Marda
yang mendapat kutukan karena tidak hormat kepada orang tua."

45
4. Sastra dan Kebenaran

Seseorang yang ingin memahami "kesiapaan sastrawan tentu perlu membaca


karyanya. Hal itu dapat dilakukan jika sastrawan itu mampu mengutarakan pikiran
dan perasaannya dengan baik dan jelas. Kejelasan pengungkapan khazanah batin
sastrawan ke dalam karyanya itu tentu ber gantung pada kepiawaiannya
memberdayakan bahasa sebagai sarananya

Betapapun hebatnya gejolak imajinasi atau ide sastrawan, ia tidak akan mampu
menuangkannya sama persis dengan apa yang dirasakannya. Hal itu boleh jadi
disebabkan oleh minimnya penguasaan bahasa sas trawan dan/atau keterbatasan
bahasa itu sendiri sebagai sarana. Selain itu, apa yang terungkap dalam karya itu
bukanlah semata-mata hasil penga matan sastrawan, tetapi juga apa yang dirasakan
dan ditafsirkannya ten tang objek yang dihadapinya. Karena itu, pendapat yang
menyatakan bah wa seni merupakan tiruan alam tidak sepenuhnya benar.

Bila karya sastra bukan semata-mata tiruan alam, berarti sastra itu tidak bisa
dipandang sebagai sesuatu yang memperjuangkan kebenaran Akan tetapi, dalam
kenyataannya, ukuran kebenaran sering diterapkan orang dalam menilai suatu karya
sastra. Penikmat sastra acapkali meng hubungkan peristiwa yang tertuang dalam
karya sastra dengan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.

Tanggung jawab moral terhadap kebenaran itu memang harus ada dalam diri
sastrawan melalui karyanya. Jika tidak, penikmat sastra akan menolaknya Untuk itu,
yang perlu dipersoalkan adalah pengertian kebe naran dalam karya sastra itu

Kebenaran dalam karya sastra bukan kebenaran yang sama persis de ngan kebenaran
dalam kehidupan sehari-hari, kebenaran pelambangan, kebenaran ideal, atau
kebenaran yang sepatutnya terjadi. Patokan sema cam itu akan dapat membantu
pemahamar para penikmat sastra dalam menerima cerita dongong atau cerita
kepahlawanan yang berbaur dengan kesaktian dan keajaiban, sebagaimana terlihat
dalam epos "Ramayana" dan "Mahabarara

5. Sastra dan Agama

Agama bagi kebanyakan bangsa pada berbagai macam tingkat ke masyarakatan


merupakan daya penyatu yang amat sentral dalam pem binsan kebudayaan Agama
mampu mengawal hukum moral, mendidik tunas muda, dan mengajarkan aneka
kearifan dan kebajikan

Seiring dengan fungsinya, agama juga bertindak sebagai faktor krea uf dan dinamis,
perangsang atau pemberi makna kehidupan Melalui aga ma kita pun dapat
mempertahankan keutuhan masyarakat agar hidup dalam pola kemasyarakatan yang
telah tetap, sekaligus menuntun umat untuk meraih masa depan yang lebih baik

Peran agama sebagai pendorong penciptaan karya sastra, sebagai

46
sumber ilham, patut pula diperhitungkan Sebaliknya, acapkali karya sas
tra bermuara pada ajaran agama, Bahkan, dalam kenyataannya, agama
merupakan ambang pintu bagi segenap kesusastraan agung di dunia serta
sumber filsafat yang selalu mengacu kepadanya.
Sebagai karya kreatif, karya sastra yang mengangkat masalah kema

nusiaan, yang bersandarkan kebenaran, akan menggugah nurani dan memberikan


kemungkinan pertimbangan baru pada diri pembacanya. Hal in tentu ada kaitannya
dengan tiga wilayah fundamental yang menjadi sumber penciptaan karya sastra:
kehidupan agama, sosial, dan individual Oleh karena itu, cukup beralasan apabila
sastra dapat berfungsi sebagai peneguh suasana batin pembaca dalam menjalankan
keyakinan agamanya Petikan sajak "Di Depanmu Aku Sirna Mendebu" (Budiman S.
Hat tojo) tergolong karya keagamaan yang menyiratkan kebesaran Sang Pencipta.

Di depan-Mu aku sirna mendebu


Engkaulah segalanya, kekekalan sempurna
Di mata-Mu semesta lenyap mengabu
Engkaulah yang ebadi, serba dan maha

Keagungan Tuhan, tuntunan mencintai sesama, dan ketakwaan kepa da Sang Khalik
juga dapat ditemukan dalam sejumlah karya sastra Indo nesia.

6. Semangat Perjuangan dalam Puisi Indonesia Pergerakan kebangsaan untuk


mewujudkan cita-cita "merdeka" telah berkobar di mana-mana. Para sastrawan
menyatu dalam satu barisan per juangan kemerdekaan. Pekik yang mengobarkan
semangat kebangsaan dari kalangan sastrawan terbit dalam wujud puisi perjuangan.
Chairil Anwar, dengan mengangkat kegagahan sang pahlawan nasional, Diponegoro,
bangkit seraya berujar

Di depan sekali tuan menanti


Tak gentar Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati

Pelopor Angkatan 45 ini menyatakan shwa hidup dan kehidupan ini harus
mempunyai makna dan harus diisi kendati berbagai rintangan terus menghadang.
Dinyatakan pula bahwa tekad perjuangan harus mencermin kan sikap

sekali berarti
sudah itu mati
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda

47
Taufik Ismail, tokoh Angkatan 66, mengangkat ulang betapa kejam nya penjajahan.
Melalui sajak "Setasiun Tugu", ia melukiskan kepongah an militer Belanda pada
1947. Di dalamnya terungkap bahwa pengorbanan para pejuang kemerdekaan
semakin punya arti dalam kehidupan masa kini.

7. Bengkel Sastra

Sudah sejak tahun 1994 dalam kegiatan Bulan Bahass dan Sastra di Pusat Bahasa
selalu diramaikan dengan penyelenggaraan Bengkel Sastra. Bengkel Sastra adalah
suatu kegiatan cipta sastra yang diselenggarakan dalam tangka upaya meningkatkan
apresiasi siswa terhadap sastra. Selain itu, Bengkel Sastra juga merupakan wadah
penyaluran bakat dan kreati

vitas siswa dalam bidang cipta karya sastra

Karya sastra yang dipilih sebagai bahan kegiatan Bengkel Sastra, antara lain, adalah
puisi dan cerita pendek. Khusus untuk puisi yang dija dikan bahan adalah puisi bebas
dan puisi modern.

Tujuannya agar para peserta "Bengkel dapat mengenal unsur-unsur serta cara-cara
penciptaan puisi dan penulisan cerita pendek.

13. Drama sebagai Karya Sastra Ruang lingkup kegiatan kesusastraan terdiri atas
beberapa subsistem, yaitu subsistem puisi, subsistem prosa (cerpen dan novel), dan
subsistem drama. Subsistem drama seperti juga subsistem sastra lainnya merupakan
bagian-bagian dari subsistem komunikasi antarmanusia, yang ditandai oleh kehendak
manusia (penulis) untuk berkomunikasi secara tidak lang sung. Keinginan penulis
untuk berbicara tentang manusia dan kemanu siaan, tentang hidup dan kehidupan,
tentang hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan manusia lain, dengan alam,
dan dengan Tuhan di tandai oleh pola hubungan manusia melalui dialog Peranan
dialog dalam karya sastra sangatlah penting dan dominan karena ia (dialog) mewakili
penulis dalam hal penyampaian karakterisasi tokoh-tokoh dalam cerita secara
mendalam kepada penonton melalui para pekerja teater (produser. sutradara, aktor,
dan perangkat lainya) sehingga terwujud atau tervisa lisasi sebuah naskah drama yang
menjadi tontonan yang berarti dan ber makna

Objek harapan karya sastra drama, seperti juga karya sastra lainnya adalah hidup dan
kehidupan manusia, yang terdiri atas beberapa episode menuruti hukum hidup
manusia, yaitu kehidupan itu ada awal, puncak, dan akhir. Oleh karena itu, struktur
dramatik yang dominan dalam karya sastra drama berbentuk segitiga, yaitu bagian
awal (eksposisi), kompli kasi (konflik), bagian tengah (klimaks/krisis), dan bagian
akhir (resolusi)

Penulis drama mempunyai tujuan dalam menulis, misalnya ia menya takan kedirian
atau falsafah, ide-idenya, kepercayaannya. Mungkin juga ia ingin mengajari manusia
tentang bagaimana seharusnya hidup atau mungkin juga hanya sekadar ingin
mengisahkan pengalaman hidup saja. Untuk itu, terpulang kepada pembaca apakah ia
dapat atau mau mengam bil manfaat dari karya tersebut. Oleh sebab itu, dalam karya

48
drama pe ngarang/penulis akan memilih permasalahan yang penting dalam kehi dupan
manusia (subject matter) sebagai bahan untuk menyatakan/me ngekspresikan ide-
idenya dalam cerita (tema). Hal lain yang menandai karya sastra drama adalah
penulis/pengarang menggunakan unsur bahasa dalam karangannya berupa bentuk dan
gaya Dalam hal bentuk penulis! pengarang drama dapat memilih cerita seperti tragedi,
tragedi komedi, dan Komedi.selain itu, hal yang menyangkut gaya pengarang/penulis
drama dapat memilih gaya, seperti realistik, romantik, atau absurd.

49
50
51

Anda mungkin juga menyukai