Anda di halaman 1dari 6

MENILAI KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN KARYA SASTRA

PEMBAHASAN SOAL UN 2016/2017 BAHASA INDONESIA SMA/MA NOMOR 27


KALIMAT YANG MENYATAKAN KEUNGGULAN KARYA SASTRA

Kunci Jawaban: E
Pembahasan
Soal di atas menanyakan kalimat komentar yang menyatakan keunggulan sesuai
dengan kutipan cerpen. Jika dikaitkan dengan kisi-kisi UN 2017/2018 termasuk ke
ruang lingkup materi membaca sastra level penalaran. Kompetensi yang diuji
adalah menilai keunggulan/kelemahan karya sastra/ mampu menunjukkan keunggulan
cerita dengan tepat.
BACA BEDAH KISI-KISI UN 2017/2018 BAHASA INDONESIA SMA/MA
Kalimat komentar yang menyatakan keunggulan sesuai dengan kutipan cerpen di atas
adalah latar suasana dan latar waktu saling mendukung untuk menghadirkan cerita yang
lebih menarik (jawaban E). Latar suasana yang digambarkan yaituangin kencang
berembus, hawa dingin, mencekam, lolongan anjing. Latar waktu adalah malam hari.
Gabungan antara latar suasana dan waktu tersebut menciptakan cerita yang menarik.
Jawaban A kurang tepat karena kurang lengkap menyebutkan kelebihan pada kutipan
yaitu hanya mengungkapkan kelebihan berdasarkan latar suasana. Jawaban B tidak
tepat karena berisi kelemahan karya sastra. Jawaban C kurang tepat karena dalam
cerita tidak terdapat dialog. Jawaban D kurang tepat karena alasan yang digunakan
(bahasa sehari-hari) bukan penyebab kemenarikan cerita.

RINGKASAN MATERI
MENILAI KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN KARYA SASTRA
Menilai keunggulan dan kelemahan karya sastra artinya menyampaikan kelebihan dan
kekurangan karya sastra. Aspek yang dinilai dalam karya sastra adalah unsur intrinsik dan
ekstrinsik karya sastra.
Berkaitan dengan penilaian, maka timbullah berbagai pertanyaan, “Bagaimanakah
karya sastra yang bernilai?”; syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi supaya karya sastra
dapat dikatakan bernilai? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus menghubungkan arti
dan hakikat karya sastra serta fungsinya. Suatu nilai tidak dapat dipisahkan dari hakikat dan
gunanya. Sering hal ini menyebabkan orang menilai karya sastra menyimpang dari hakikat
dan fungsi karya sastra, atau melakukan kepalsuan dalam menilai karya sastra sebagai karya
seni, hanya menjadi alat propaganda, yang sama nilainya dengan teks pidato.
Hadimadja (1952) mengemukakan bagaimana H.B. Jasssin menyaring sajak-sajak
yang diterimanya, maka syarat pertama yang dilakukan ialah kepadakeindahan, kemudian
pada moral. Baik keindahan maupun moral keduanya subjektif. Oleh karena itu, menurut
Hadimadja berkaitan penerimaan H.B.Jassin menjawab bahwa “sebuah keindahan seni
biasanya tidak perlu menuntut pengertian yang diletakkan dalam hasil seni itu. Apabila
keindahan terasa, cukuplah bagi si pendengar atau si peninjau untuk menerimanya. Akan
tetapi bila pengertian itu didapatnya, maka lebih senanglah dia”.
Dalam menjawab bagaimana baik buruknya sajak, Hadimadja menggunakan perasaan
intuitif sehingga tidak ada ketentuan apakah dasar-dasar konkret untuk menentukan indah
tidaknya karya sastra. Hadimadja tidak menganalisis hubungan nilai, hakikat sastra, dan
fungsi seni sastra sehingga jawabannya sangat subjektif dan tidak jelas. Padahal hubungan
nilai, hakikat sastra, dan fungsi sangat penting dalam menilai karya sastra, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Rene Wellek bahwa “bagaimana orang menilai dan menentukan nilai sastra?
Harus kita jawab dengan definisi-definisi. Seharusnya orang menilai seni sastra apa adanya;
dan menaksir nilai itu menurut kadar sastra, hakikat, fungsi, dan penilaian erat
hubungannya.”
Untuk mengetahui apakah hakikat seni sastra, Pradopo menjawab bahwa kita terlebih
dahulu meninjau definisi sastra. Adapun definisi sastra yang dikutip oleh Pradopo dalam
bukunya Prinsip-prinsip Kritik Sastra, sebagaimana berikut ini.
1. Sastra (castra) dari bahasa Sansekerta yang artinya tulisan atau bahasa yang indah:
yakni hasil ciptaan bahasa yang indah. Jadi kesusastraan ialah pengetahuan mengenai hasil
seni bahasa perujudan getaran jiwa dalam bentuk tulisan (Gazali, 1958). Sementara itu, arti
seni bagi Gazali ialah segala sesuatu yang indah. Keindahan yang menimbulkan kesenangan
yang dapat menggetarkan sukma, yang menimbulkan keharuan, kemesraan, kebencian, atau
peradangan hati, gemas, dan dendam.
2. Kesusastraan = kumpulan buku-buku yang indah bahasa dan baik isinya. Oleh karena
itu, kesusastraan itu adalah seni bahasa yang meliputi (a) kepandaian seni yang dipergunakan
orang, jika ia hendak menyatakan yang seni, indah, danpermai dengan bahasa sebagai
alatnya (Simorangkir, 1959).
3. Hasil pekerjaan pengarang dan penyair itu dinamakan kesusastraan atau seni sastra.
Kesusastraan adalah cabang dari kesenian dan kesenian seperti itu kita maklum bagian dari
kebudayaan. Di samping itu, kesusastraan pokok katanya sastra (castra. Skt) = tulisan atau
bahasa; su (Skt); indah, bagus . . . susastra = bahasa yang indah, maksudya hasil ciptaan
bahasa yang indah atau seni bahasa. Kesusastraan mendapat awalan dan akhiran (ke-an).
Yang dimaksud dengan kesusastraan ialah hasil kehidupan jiwa yang terjelma dalam tulisan
atau bahasa tulis yang menggambarkan atau mencerminkan peristiwa kehidupan masyarakat
atau anggota masyarakat.” ( Usman, 1960).
4. Kesusastraan atau kesenian bahasa atau seni sastra adalah “kesenian” suatu bangsa
dalam melahirkan pikiran, perasaan, dan kemauan dengan bahasa sebagai alatnya. Kesenian
adalah keindahan-keindahan yang terkandung atau tersembunyi di dalam “kebudayaan” dan
berjiwa kecantikan.” (Suparlan, 1959). Di samping itu Suparlan membagi kesusastraan
menjadi dua bagian, yaitu kesusastraan umum dan kesusastraan khusus Kesusastraan umum
adalah “pendek, segala buah pikiran, buah pena yang berwujud cerita dongeng, surat-surat, isi
kitab ilmu pengetahan yang sudah menjadi milik satu bangsa”; kesusastraan khusus, yang
mempergunakan bahasa kesusastraan, ialah bahasa yang indah, bahasa pilihan dapat
membuat pembacanya atau pendengarnya terharu, baik karena pilihan-pilihan susun katanya
maupun disebabkan susunan jiwa kalimat-kalimatnya.
5. Kata kesusastraan adalah kata pinjaman. Diambil dari bahasa Sanskerta. Artinya: segala
yang tertulis yang menerbitkan rasa senang disebabkan keindan kata-kata dan susunannya
serta ketepatannya dengan yang diperkatakan. Bahasa yang tertulis itulah kesusastraan, tetapi
tidak semua bahasa tulis dinamakan kesusastraan, yang isinya merupakan ilmu pengetahuan
tidak termasuk kesusastraan. Warta berita yang serupa dengan itu pun tidak termasuk
kesusastraan. Kata seni menunjukkan bahwa pemakaian bahasa harus berkesan keindahan
bagi si pembaca atau si pendengar (Sitompul, 1954).
6. Dalam Theory of Literature, Rene Wellek mengemukakan ada tiga definisi,pertama,
seni sastra ialah segala sesuatu yang dicetak; kedua, seni sastra terbatas pada buku-buku yang
terkenal, dari sudut isi dan bentuknya. Artinya definisi ini bercampur dengan penilaian, dan
penilaian itu hanya didasarkan pada segi estetiknya saja atau segi intelektualnya
saja; ketiga, Rene Wellek mengatakan agaknya lebih baik jika isilah “kesusastraan” dibatasi
pada seni sastra yang bersifatimaginative, sifat imaginative ini menunjukkan dunia anagan
dan khayalan hingga kesusastraan berpusat pada epik, lirik, dan drama karena ketiganya itu
yang ditunjuk adalah dunia angan. Dengan begitu, kesusastraan mengakui adanya
sifatfictionaly, (sifat menghayalkan), invention (penemuan atau penciptan),
danimagination (mengandung kekuatan menyatukan angan untuk mencipta) sebagai hakikat
seni sastra. Fictionaly di sini menunjukkan dunia khayalan, artinya dunia yang adanya hanya
karena khayalan sastrawan, bukan dunia yang nyata, yang sungguh-sungguh ada. Invention,
menunjukkan pengertian adanya penemuan-penemuan yang baru akibat pengkhayalan, jadi
ini adanya keaslian cipta. Sedangkan imagination menunjukkan adanya daya mengangankan
dan menyatukan sesuatu yang baru, yang asli, untuk menghasilkan dunia angan. Karya sastra
dengan begitu, Rene Wellek mengungkapkan ialah karya-karya yang fungsi estetiknya
dominan.
Karya sastra yang bermutu seni adalah kaya sastra yang imaginatif dan yang seni. Dalam arti
karya sastra yang bermutu ialah karya sastra yang banyak menunjukkan adanya penciptaan-
penciptaan baru (kreativitas) dan keaslian cipta, di samping itu yang bersifat seni. Sementara
ini dipergunakan istilah “seni” bukan kata “indah”, karena pada zaman sekarang pemakaian
kata “indah” itu rasanya tidak cocok dengan keadaan kesusastraan sekarang, kemudian
keindahan itu bukan lagi tujuan penciptan sastra. Oleh karena itu, Herbert Read berpendapat
bahwa : . . . karena seni tidak perlu indah; hingga tak dapat dikatakan begitu diributkan.
Apakah kita menilai persoalan itu menurut sejarah, maupun secara kemasyarakatan, kami
dapati bahwa seni sering tidak punya keindahan atau bukan barang yang indah.”
Demikian pula apa yang dikatakan oleh Leo Tolstoy bahwa keindahan (beauty) bukan tujuan
seni, karena “ . . . orang akan sampai kepada pengertian bahwa arti makan terletak pada
pemberian zat-zat makanan pada tubuh, hanya bila mereka tidak menganggap lagi bahwa
objek dari aktivitas tersebut adalah kesenangan. Dan ini sama halnya dengan kesenian. Orang
akan sampai kepada pengertian arti seni hanya bila mereka berhenti menganggap bahwa
tujuan aktivitas itu adalah keindahan, ialah kesenangan. Pengakuan keindahan ialah sebagai
tujuan seni, tak hanya menganggalkan kita untuk mendapatkan jawaban apakah seni itu,
tetapi sebaliknya dengan memindahkan pertanyaan itu ke daerah lain yang sangat berlainan
dengan seni, tak mungkin hal itu memberikan definisi.” Dengan demikian, indah menurut
sementara pendapat sudah tidak dapat dipakai sebagai kreteria karya seni (sastra) karena itu
lebih baik dipakai kata atau istilah “seni” untuk menyatakan sifat-sifat estetik karya sastra.
Arti indah tidak dapat meliputi atau mencakup keseluruhan arti seni karena dalam pengertian
seni ada unsur lainnya, yaitu pengalaman jiwa yang bersifa “seni” juga, karena dapat berhasil
diungkapkan dengan indah. Untuk pengalaman jiwa yang seni ini biasanya
disebut sublim atau agung. Jadi, dalam perkataan seni itu terkandung arti indah dan agung,
besar atau sublim. Sebagaimana yang dikatakan oleh Tjernisvcki bahwa jika estetika
dimaksudkan ilmu seni, maka sudah tentu ia harus berbicara tentang sublim karena daerah
seni meliputi kesubliman. Sublim menurut Tjernisvcki keindahan dan kesubliman adalah dua
pengertian sama sekali berbeda yang memiliki ciri-ciri “lebih besar dan lebih kuat”.
Memang sering para ahli estetika kesubliman itu disatuartikan dengan keindahan,
disebut difficult beauty, dan di samping itu ada easy beauty (keindahan mudah) didapat dari
bahan yang mudah (bunyi indah, kenangan indah, dan sebagainya), dan difficult
beauty(sublimes, keindahan sukar) atau keindahan yang mengandung, kesakitan, keburukan
(Rene Wellek, 1978).
Berdasarkan beberapa pendapat tentang apa itu kesusastraan, apa itu indah dan seni, maka
dalam hal ini jawaban yang ditawarkan bahwa karya sastra bernilai seni bila di dalamnya
terdapat sifat seni, yaitu yang mengandung keindahan dan kesubliman. Sifat indah, sublim
dan besar itu kian banyak yang terdapat dalam karya sastra, dan kian banyak menunjukkan
daya cipta dan keaslian cipta, maka makin tinggi nilai seninya. Sementara menilai karya
sastra berdasarkan fungsinya, haruslah dipakai kreteria hakikatnya yaitu menyenangkan dan
berguna. Hal ini sejalan apa yang diuraikan oleh Darma bahwa Horace (baca Horatius)
menganggap, karya seni yang baik, termasuk sastra selalu memenuhi dua kreteria,
yaitu dulce et utile (rasa nikmat dan manfaat atau kegunaan). Tentu saja kenikmatan ini
hanya dimiliki oleh pembaca yang bermutu. Sastra harus memberi manfaat atau kegunaan,
yaitu kekayaan batin, wawasan kehidupan (insight into life), dan moral.
Masalah moral akhirnya menimbulkan berbagai pertanyaan yang ujungnya menyangkut
kreativitas. Pengarang menulis tidak lain untuk menciptakan karya sastra yang estetis.
Sementara itu, pembaca yang kritis akan merasa digurui. Moral dengan demikian, dapat
mengurangi nilai estetis, dan karena itu mengganggu kenikmatan pembaca.
(http://kritiksastraindonesia.blogspot.co.id/2014/10/penilaian-dalam-karya-sastra.html)

Anda mungkin juga menyukai