Anda di halaman 1dari 12

KONSEP DASAR APRESIASI PUISI

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi mata kuliah Apresiasi Puisi
Dosen Pengampu: Nita Nurhayati., M.Hum.

Oleh:
Kelompok 1
1. Sevti Putri Thavany 222121001
2. Saifi Maizan 222121026
3. Yosri Deasni Putri 222121028
4. Ira waridah 222121030
5. Nur Azizah Puspa T.U. 222121031
6. Hana Nurhasanah 222121035
7. Zulfi Pudza Ramadhan 222121055

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SILIWANGI
2024
PEMBAHASAN
A. Definisi Sastra
Plato beranggapan bahwa sastra, seni, hanya merupakan peniruan,
peneladanan, atau pencerminan dari kenyataan, maka seni berada di bawah
kenyataan itu sendiri. Padahal, yang nyata itu pun hanya pembayangan dari
yang ada. Plato memandang seni sebagai sesuatu yang negatif. Aristoteles, di
pihak lain, beranggapan bahwa dalam proses penciptaan, sastrawan tidak
semata-mata meniru kenyataan, melainkan sekaligus menciptakan,
menciptakan sebuah “dunia” dengan kekuatan kreativitasnya. Dunia yang
diciptakan pengarang adalah sebuah dunia yang baru, dunia yang diidealkan,
dunia yang mungkin dan dapat terjadi walau sendiri tidak pernah terjadi.
Aristoteles memandang sastra sebagai sesuatu yang tinggi dan filosofis,
bahkan memunyai nilai lebih tinggi dibandingkan karya sejarah (Luxemburg
dkk, 1992:16-17).
Sastra tidak dapat didefinisikan secara memuaskan karena terdapat
batasan-batasan yang dilakukan oleh kegiatan keilmuan. Inilah mengapa
setiap usaha membuat batasan tentang apa yang disebut sastra, selalu hanya
merupakan pemerian (deskripsi) atau gambaran sari sesuatu segi sastra saja.
Ada beberapa batasan tentang sastra sulit dibuat diantaranya sastra bukan
ilmu, sastra adalah seni, sastra sulit menjangkau hakikat dari semua jenis
bentuk sastra, dan sastra tidak hanya pendeskripsiaan saja tetapi juga suatu
usaha penilaian.
Dari beberapa batasan yang diutarakan di atas, kiranya dapat ditangkap
adanya beberapa unsur batasan yang selalu disebut. Unsur-unsur itu adalah isi
sastra yang berupa pikiran, perasaan, pengalaman, ide-ide, semangat,
keyakinan dan kepercayaan, dan lain-lain. Dengan dasar unsur-unsur tersebut,
kiranya dapat dibuat batasan sastra dalam arti luas, yang tidak menunjuk
kepada nilai atau norma yang menjadi syarat sesuatu karya disebut karya
sastra yang baik dan bermutu. Jadi, batasan tadi dapat dinyatakan sastra
adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran,
perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kongkret
yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.

B. Definisi Apresiasi Sastra


Sebuah kegiatan yang tidak dapat dipisahkan saat kita berhadapan dengan
naskah puisi adalah kegiatan mengapresiasi puisi tersebut secara mendalam
dengan memperhatikan latar belakang dan makna yang terdapat pada puisi
tersebut. Pada dasarnya kegiatan mengapresiasi merupakan kegiatan
mendalami atau mengenal lebih jauh puisi yang kita baca atau saksikan.
Tentunya, kegiatan apresiasi dalam hal ini merupakan kegiatan yang
didahului semangat dan keinginan kuat untuk mendalami dan mengenal lebih
jauh puisi tersebut. Tanpa semangat dan keinginan kuat, maka kegiatan
apresiasi mustahil terwujud.
Pemahaman terhadap pengertian apresiasi dapat ditelusuri dari makna
istilah tersebut. Apresiasi berasal dari bahasa Latin apreciatio yang berarti
“mengindahkan” atau “menghargai”. Berarti secara harfiah apresiasi adalah
penghargaan terhadap sesuatu karya. Menurut KBBI apresiasi adalah
penilaian baik, penghargaan, terhadap karya-karya sastra. Sedangkan secra
makna leksikal, apresiasi mengacu pada pengertian pemahaman dan
pengenalan yang tepat, pertimbangan, penilaian, dan pernyataan yang
memberikan penilaian (Hornby dalam Sayuti, 1985:2002). Sedangkan
menurut Effendi tahun 1973 apresiasi adalah menggaili cipta sastra dengan
sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan
pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra. Dari
beberapa teori diatas dapat menjadi acuan munculnya penghargaan (yang
positif) terhadap suatu karya merupakan perwujudan dari adanya pengetahuan
tentang karya tersebut, sejumlah pengamalan emosional dan penajaman
kognitif di bidang karya, serta pengalaman keterampilan berkarya, baik secara
reseptif maupun secara produktif. Hal tersebut sejalan dengan pendapat
Disick (Halik, 2012: 7-3) yang menyatakan bahwa “aspek apresiasi yang
berkaitan dengan sikap penghargaan atau nilai berada pada domain afektif
merupakan tingkatan terakhir yang dapat dicapai. Pencapaiannya memerlukan
waktu yang sangat panjang serta prosesnya berlangsung terus setelah
pendidikan formal berakhir.”
Adapun menurut Wallek dan Warren (1993 (dalam Suyatmi, 2006)) telah
mencoba mengemukakan beberapa definisi sastra, yang sebenarnya semua
definisi yang ditawarkannya adalah dalam rangka mencari definisi yang
paling tepat.
1) Sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Dengan
pengertian demikian, maka segala sesuatu yang tertulis, entah itu ilmu
kedokteran, ilmu sosial atau apa saja yang tertulis adalah sastra.
2) Sastra dibatasi hanya pada “mahakarya” (great book), yaitu buku-buku
yang dianggap menonjol karena bentuk dan ekspresi sastranya. Dalam
hal ini, kriteria yang dipakai adalah segi estetis atau nilai estetis
dikombinasikan dengan nilai ilmiah.
3) Sastra diterapkan pada seni sastra, yaitu dipandang sebagai karya
imajinatif. Istilah “sastra imajinatif” (imajinative literature) memiliki
kaitan dengan istilah belles letters (“tulisan yang indah dan sopan”,
berasal dari bahasa Prancis), kurang lebih menyerupai pengertian
etimologis kata susastra. Definisi ketiga ini mengarahkan kita untuk
memahami sastra dengan terlebih dahulu melihat aspek bahasa. untuk
itu, perlu dilakukan perbandingan beberapa ragam bahasa: bahasa
sastra, bahasa ilmiah, dan bahasa seharu-hari.
Apresiasi sastra adalah suatu kegiatan mengakrabi karya sastra dengan
tujuan memperluas wawasan dan pengetahuan, meningkatkan kepekaan
pikiran, dan menumbuhkan rasa cinta dan penghargaan terhadap karya sastra.

C. Definisi Puisi Menurut Para Ahli


Kata puisi berasal dari bahasa yunani poiesis yang berarti penciptaan.
Akan tetapi, arti semula ini lama-kelamaan semakin dipersempit ruang
lingkupnya menjadi” hasil seni sastra, yang kata-katanya disusun menurut
syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak, dan kadang-kadang
kata-kata kiasan.” (Ensiklopedia Indonesia N-Z; tanpa tahun : 1147)
Dalam bahasa Inggris padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat
hubun dan gan dengan kata -poet dan kata –poem. Mengenai kata poet ini
Vencil C. Courter memberi penjelasan sebagai berikut:
“Kata poet berasal dari bahasa Yunani yang berarti membuat, mencipta.
Dalam bahasa Inggris kata poet ini lama sekali disebut maker. Dalam bahasa
Yunani sendiri kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya,
orang yang hampir menyerupai dewa, atau yang sangat suka pada dewa-
dewa. Dia orang yang penglihatannya tajam, orang suci; sekaligus merupakan
seorang filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang
tersembunyi.” (Colter, 1930: 2845)
Jika dibandingkan dengan kata puisi, kedua keterangan di atas lebih
bersifat etrimologis. Kami masih membutuhkan lebih banyak keterangan
untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik. Puisi adalah upaya terus
menerus untuk mengungkapkan jiwa seseorang, menggerakkan tubuh yang
kaku, dan mencari kehidupan dan alasan di baliknya. Penyair memiliki
gagasan baru untuk disampaikan. Dia ingin menunjukkan kepada kita
bagaimana pengalaman itu menyatu dengannya dan memberi semua orang
pembendaharaan yang kaya dengannya (Blair & Chandler 1935:3).
Kedua keterangan diatas lebih bersifat etrimologis terhadap kata puisi.
Untuk mendapat gambaran yang jelas kita masih membutuhkan keterangan
lain. Pengarang terkenal Edgar Allan Poe membatasi” Puisi kata sebagai
kreasi keindahan yang berirama. Ukuran sastu-satunya untukitu adalah rasa
dengan intelek ataupun kesadaran, puisi itu hanyalah memilik hubungan
sekunder. Apabila tidak bersifat isindental, puisi itu tidaklah mempunyai
hubungan apapun, baik dengan kewajiban maupun dengan kebenaran.” (Blair
& Chandler,1935: 3)
Kedua sumber ini mungkin memiliki pandangan yang berbeda tentang
puisi. Ini menunjukkan bahwa Emerson melihat puisi sebagai produk dari ide
atau gagasan, sedangkan Poe melihat puisi sebagai bagian dari harmoni atau
keselarasan. Perbedaan utama antara kedua sumber ini sebenarnya terletak
pada konsep yang berbeda tentang puisi.
Menurut Watts-Dunton dan Leccelles Abercrombie, “puisi adalah ekspresi
dari pengalaman yang bersifat imajinatif, yang hanya bernilai serta berlaku
dalam ucapan atau pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang diutarakan
dengan bahasa, “puisi adalah ekspresi yang konkret dan artistik dari pikiran
manusia dalam bahasa emosioal dan berirama.”
Dari beberapa definisi mengenai apresiasi dan puisi menurut para ahli
diatas dapat disimpulkan bahwa apresiasi puisi adalah kegiatan memetik
makna puisi yang bersifat menilai dalam penghargaan. Dengan
memperhatikan kepekaan pikiran kritis, kepekaan perasaan yang baik dalam
cipta sastra, dan pernyataan yang memberikan penilaian.

D. Tingkatan Apresiasi Sastra


Sebagai suatu proses, kegiatan apresiasi meliputi tiga unsur inti, yakni:
1) Aspek kognitif, asspek yang berkaitan dengan keterlibatan intelektual
pembaa dalam memahami unsur-unsur kesastraan yang bersifat
objektif. Unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif tersebut selain
dapat berkaitan dengan unsur yang terdapat dalam satu teks sastra atau
unsur intrinsik, juga dapat berkaitan dengan unsur di luar teks sasstra
itu sendiri atau unsur ekstrinsik.
2) Aspek emotif, aspek yang berkaitan dengan keterlibatan emosi pembaca
dalam menghayati unsur-unsur keindahan dalam teks sasstra yang
dibaca. Selain itu, emosi juga berperan dalam memahami unsur-unsur
yang bersifat subjektif. Unsur subjektif tersebut dapat berupa bahasa
yang mengandung ketaksaan makna atau yang bersifat konotatif-
interpretatif.
3) Aspek evaluatif, berkaitan dengan aktivitas memberikan penilaian
terhadap baik-buruk, indah tidak indah, sesuai tidak sesuai, dam
beberapa penilaian lain yang tidak harus hadir dalam sebuah karya
kritik. Dengan kata lain, keterlibatan unsur penilaian masih bersifat
umum sehingga setiap apresiator yang telah mampu merespons teks
sastra yang dibaca sampai pada tahapan pemahaman dan penghayatan
juga mampu melaksanakan penilaian.
Bekal awal yang harus dimiliki oleh seorang apresiator antara lain:
1) Adanya kepekaan emosi atau perasaan sehingga apresiator mampu
memahami dan menghayati unsur-unsur keindahan yang ada dalam
sebuah karya sastra.
2) Memiliki pengetahuan dan pengalaman yang berkaita dengan masalah
kehidupan secara intensif-kontemplatif maupun mellaui buku-buku
sastra.
3) Pemahaman terhadap aspek-aspek kebahasaan.
4) Pemahaman terhadap unsur intrinsik cipta sastra yang berhubungan
dengan telaah teori sastra (Handyani, 2004:63)

Tingakatan apresiasi sastra diukur dari tingkat keterlibatan batin


apresiator. Untuk mengetahui keterlibatan batin, seorang apresiator harus
memiliki patos. Patos berasal dari kata latin patere yang artinya merasa.
Dengan kata lain, seorang apresiator dala mencapai tingkatan-tingakatan
apresiasi harus mampu membuka rasa. Untuk membuka rasa tersebut,
dibutuhkan tiga tingkatan:
1) Simpati, pada tingkatan ini seorang apresiator harus memberikan
perhatian terhadap kaya sastra yang dibacanya. Jika kemudian mulai
muncul perasaan senang terhadap karya sastra tersebut, berarti
apresiator telah masuk pada tingkatan pertama apresiasi sastra, yaitu
simpati.
2) Empati, pada tingkatan ini apresiator mulai bisa merasakan adanya
keterlibatan dengan isi karya satra tersebut. Sederhananya, apabila
apresiator mulai merasakan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
puisi, berarti apresiator sudah masuk pada tingakatan kedua apreiasi
puisi, yaitu empati.
3) Refleksi diri, tingkatan ini merupaakn tingkat tertinggi dalam apresiasi
sastra. Apresiator tidak hanya sekadar merasakan empati atau simpati,
tetatpi lebih dari itu yaitu mampu merefleksikan diri atas nilai-nilai
yang terkandung dalam karya sastra. Dengan kata lain, apa tingkatan ini
apresiator dapat mememtik nilai-nilai karya sastra sebagai sarana untuk
bercermin diri.
Dalam penngajaran apresiasi sastra, karya sastra sebagai objek yang dibaca,
dihayati, dinikmati, dan digemari berdasarkan tingkatan apresiasi sastra,
yakni:
1) Tingkat menggemari karya sastra
Pada tingkatan ini, apesiator merasa tertarik dan berkeinginan untuk
membaca karya sastra. Ketertarikan ini masih menunjukkan tingkat
afektif yang paling rendah karena di dalamnya baru menunjukkan
penerimaan seseorang terhadap suaru karya sastra. Kata tertarik dan
ingin beum menunjukkan tingkah laku konkret, tetapi dapat diukur
melalui tingkah laku yang lebih mengarah pada minat.
2) Tingkat menikmati karya sastra
Tingkat menikmati karya sastra berarti menganggap jika karya sastra
dapat menghibur serta bermanfaat bagi dirinya sendiri.
3) Tingkat mereaksi karya sastra
Semakin mendalam pengetahuannya yang dimiliki oleh seorang
apresiator maka reaksinya akan semakin bermutu karena reaksi terhdap
karya sastra ditentukan oleh kedalam pengetahuan sastra dan kedalaman
penghayatan terhadap karya sastra yang dibaca atu dinikmatinya.
4) Tingkat produktif
Dalam tingkatan ini seseorang mulai aktif dalam menulis karya sastra
seperti cerpen, novel, puisi, dan sebagainya. Pada tingkat ini, pembaca
tidak hanya menerima, menikmati, atau mereaksi, tetapi menjadikan
karya sastra sebagai bagian dari hidupnya.

E. Langkah-langkah Apresiasi Sastra


Pentahapan dalam kegiatan apresiasi sastra dapat dilihat dari apa yang
dilakukan apresiator.
1) Pada tahap pertama, seorang apresiator memberikan pikirannya,
perasaan, dan daya khayalnya berkelanan sebebas mungkin mengikuti
apa yang diinginkan oleh pengarang melalui karya sastra yang
dibacanya. Pada tahap ini, apresiator belum mengambil sikap kritis
terhadap karya sastra yang dibacanya.
2) Pada tahap kedua, seorang apresiator mulai menghadapi karya sastra
dengan melibatkan pengetahuannya. Ia menanggalkan perasaan dan
daya khayalnya, serta berusaha memahami karya sastra dengan cara
mencari tahu lebih dalam mengenai unsur-unsur pembentuknya. Ini
berarti, apresiator mulai memandang karya sastra sebagai suatu struktur.
Hal itu dilakukan oleh apresaitor untuk mendekatkan diri terhadap
karya sastra.
3) Pada tahap ketiga, seorang apresiator memandang karya sastra dalam
kerangka historisnya. Dengan kata lain, apresiator mencoba untuk
memahami karya sastra dengan melibatkan unsur sosal budaya, situasi
pengarang, dan segala hal yang melatarbelakangi penciptaan karya
sastra.

F. Sejarah Perkembangan Apresiasi Puisi


Puisi, sebagai hasil kreativitas manusia, memiliki dimensi estetis yang
mencakup baik aspek isi maupun bentuknya. Bentuk dan nama puisi dapat
beragam, sesuai dengan perkembangan budaya suatu suku atau bangsa.
Sebagai contoh, dalam bahasa Jerman disebut dichtung, bahasa Belanda
menyebut gedicht, bahasa Inggris menggunakan istilah poem, dan bahasa
Arab menggunakan syi’ir. Di Indonesia, istilah syair digunakan untuk
merujuk pada puisi, meskipun seharusnya merujuk pada orang yang
menciptakan puisi atau penyair. Kesalahan interpretasi ini dianggap sebagai
kesalahan umum dalam sejarah perpuisian di Indonesia.
Puisi memiliki beragam jenis, seperti peribahasa di Indonesia atau dalam
bahasa Melayu, yang disebut proverb dalam bahasa Inggris, matsal dalam
bahasa Arab, dan spreekwoord dalam bahasa Belanda. Selain itu, terdapat
juga jenis puisi khas dalam bahasa tertentu, seperti pantun dalam bahasa
Melayu atau Indonesia, dan haiku dalam bahasa Jepang. Jenis puisi seperti
pantun dan haiku tetap relevan hingga saat ini, bahkan masyarakat Jepang
masih sangat menghargai penyair yang menulis haiku. Puisi modern, atau
yang disebut puisi mutakhir, tidak lagi terikat ketat pada aturan konvensional
dan terus berkembang sesuai dengan zaman.
Dalam perkembangan peradaban manusia, puisi diakui sebagai bentuk
sastra yang paling kuno, bahkan karya-karya besar yang monumental dalam
sejarah sering diabadikan dalam bentuk puisi (Waluyo, 1987:1). Sebagai
bentuk sastra tertua, puisi muncul dalam berbagai bahasa di seluruh dunia,
mengikuti alur sejarah dan perkembangan kebudayaan manusia.
Awalnya, puisi disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut, memastikan
kelangsungan eksistensinya hingga saat ini. Banyak orang dan masyarakat
masih menciptakan dan menggunakan puisi hingga sekarang. Oleh karena itu,
dalam hal vitalitas, puisi tidak hanya dimiliki oleh masyarakat tradisional
tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan masyarakat modern dalam era
teknologi dan komunikasi canggih.
Dalam konteks budaya manusia, tidaklah aneh melihat suku bangsa
tertentu menyampaikan puji-pujian kepada Tuhan melalui puisi. Mereka
memahami cara mengungkapkan rasa cinta, syukur, dan harapan kepada
Tuhan melalui puisi, yang dianggap memiliki bahasa yang indah, sopan,
sederhana, dan bermartabat. Generasi penerus mereka juga diajarkan untuk
menghafal dan menggunakan puisi sakral ini sebagai ungkapan kepada Sang
Penguasa Jagad Raya. Puisi, sebagai media transendental, menjadi sarana
komunikasi yang suci. Sebagai contoh, kita dapat mengamati puisi yang
ditulis oleh Kalidasa, seorang aktor ulung India pada masa sebelum Masehi,
yang menggambarkan keindahan ruhaniah manusia yang bergantung pada
kekuatan alam, seperti matahari yang disimbolkan sebagai sang fajar (dalam
Al Qarni, 2005:133).

DAFTAR PUSTAKA

Aminudin. (2000). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar baru.


Harun, M. (2018). Pembelajaran Puisi Untuk Mahasiswa. Banda Aceh: Syiah
Kuala University Press.
Nurgiyantoro, B. (2013). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Pradopo, R. D. (1987). Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Putra, A. W. (2022). Ini Drama Apresiasi dan Produksi Pertunjukannya.
Tasikmalaya: Langgam Pustaka.
Riswandi, B. (2021). Benang Merah Prosa. Tasikmalaya: Langgam Pustaka.
Satinem, & Juwati. (2023). Apresiasi Puisi: Teori, Pendekatan dan Aplikasi.
Yogyakarta: Deepublish Digital.
Sumardjo, J. & Saini, K.M. (1988). Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Tarigan, H. G. (1984). Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Anda mungkin juga menyukai