Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH HISTORIOGRAFI INDONESIA

HISTORIOGRAFI TRADISIONAL DI JAWA


Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Historiografi Indonesia

Dosen Pengampu : Itsnawati Nurrohmah Saputri, M. A

Disusun Oleh :

Lina Putri Setiyani 53010200128

Khairur Rijal 53010170062

Zayyana S.N 53010190009

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN,ADAB DAN HUMANIORA

INSTITUT AGAMA ISLAM

2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah merupakan totalitas pengalaman yang dapat dipandang dari berbagai
sudut kepentingan. Seperti halnya generasi yang akan menggantikan generasi yang lain.
Sejarah menyangkut perubahan-perubahan atau peristiwa-peristiwa perikehidupan
manusia dalam kenyataan sekitar. Suatu peristiwa yang bersifat kemanusiaan yang dapat
dipilih dan ditentukan menjadi isi cerita sejarah bila peristiwa itu merupakan bagian
penting dari perjuangan manusia kearah hidup yang lebih sempurna.

Sejarah sebagai gambaran peristiwa masa lalu maka sejarah merupakan


kreatifitas dan kemampuan akal manusia. Tetapi kreatifitas manusia tersebut harus
didasarkan pada sumber-sumber atau jejak tentang aktualitas masa lalu manusia.
Melalui pengalaman manusia dapat belajar dan pengalaman tersebut terletak di masa
lampau serta berbicara dimasa kini. Didorong kenyataan-kenyataan itu, manusia
mengumpulkan peristiwa-peristiwa masa lalu supaya jangan sampai terlupakan dan
dapat dimanfaatkan.

Historiografi tradisional di Indonesia sudah ada jauh sebelum kedatangan


penjajah. Disebut historiografi tradisional dikarenakan dalam penulisan sejarah banyak
dipengaruhi oleh faktor budaya saat naskah tersebut ditulis. Dengan demikian,naskah
tersebut dapat menjadi suatu hasil kebudayaan di masyarakat. Maka penulisan
historiografi tradisional dipengaruhi oleh alam pikiran penulis naskah atau
masyarakatnya. Melukiskan kenyataan jauh dari fakta yang sesungguhnya, karena
sering adanya tambahan-tambahan atau pengurangan. Historiografi tradisional Indonesia
berbentuk hikayat dan babad yang sangat lemah dalam hal ketepatan fakta. Bahkan
banyak yang berbicara tentang mitos, mitos di dalamnya menceritakan masa lalu dengan
waktu yang tidak jelas, kejadian yang tidak masuk akal, dan tidak berbicara
tentang peristiwa - peristiwa nyata3.

Historiografi di Indonesiapun mengalami perkembangan yang cukup pesat. Salah


satunya ialah historiografi tradisional babad tanah Jawa dan serat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Proses Penyalinan Babad Basuki dan Bandawasa?
2. Apa Isi Naskah Babad Basuki?
3. Bagaimana Peristiwa Sejarah dalam Serat Sindujoyo?

C. Tujuan dan Manfaat


1. Mengetahui Proses Penyalinan Babad Basuki dan Bandawasa
2. Mengetahui Isi Naskah Babad Basuki dan Bandawasa
3. Mengetahui Peristiwa Sejarah dalam Serat Sindujoyo
BAB II
PEMBAHASAN

A. Proses Penyalinan Naskah Babad Basuki dan Badawasa


Naskah Babad Basuki dan Bandawasa merupakan koleksi Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia dengan nomor koleksi KBG 333. Dari studi
Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia dan keterangan dalam terjemahannya dapat diketahui
bahwa naskah ini disalin ke dalam kertas folio bergaris berukuran 33,5 cm x 21
cm dengan jumlah 69 halaman, setiap halaman terdiri dari 42 baris. Teks disalin
ke dalam aksara Jawa menggunakan bahasa Jawa berbentuk tembang. Tinta yang
digunakan berwarna hitam. Naskah telah lapuk dengan jilidan yang sudah
rusak, kertas berwarna cokelat muda dengan bagian pangkal banyak yang sudah
patah. Sampul naskah berwarna cokelat, dibungkus kertas minyak berwarna
putih, dan disimpan dalam kertas bebas asam berwarna abu-abu.

D. Isi Babad Basuki dan Bandawasa


Teks naskah Babad Basuki dan Bandawasa ini terdiri dari dua bagian
yaitu Babad Basuki (halaman 1-29) dan yang kedua Babad Bandawasa (hal 31-
69). Babad Basuki mulai disalin pada hari Sukra (Jumat), jam setengah sepuluh,
tanggal 17 Jumadilakir 1302 Hijriyah atau Jumat 3 April, 1885 Masehi. Hal ini
sesuai dengan informasi pada kolofon Babad Basuki yang ada di dalam pupuh I
Tembang Asmaran-dana pada ke 2 yang berbunyi sebagai berikut :

tatkalane kawula nulis, ing dinten Sukra punika, satengah sadasa wancine,
ing tanggal ping pitulas, sasi Jumadilakirnya, tahun sewu triatus iku nenggih
kekalih langkungnya.

Sementara kolofon teks Babad Bandawasa yang terdapat pada pupuh I


Tembang Kinanthi pada ke 4 dan 5 berbunyi (4) Nenggih duklagya ginapus, tiba
nujwa Rebo Pahing, wanci gathi atri awan, tanggal ping sangalikure, sasi
Jumadilawalnya, tahun Be akhir winarni. (5) Sengkala dipunaneguh, sewu
pitung atus iki,sawidak wolu langkungnya, tahun Welandi winarni, seuwu
wolungatus ika, kawandasa ta ingkang wingking.
Dari informasi di atas dapat dijabarkan bahwa Babad Bandawasa disalin
pada hari Rabu Pahing, waktu jam setengah 3 siang, tanggal 29 Jumadil awal, tahun
1768 Jawa atau 1840 Masehi. Informasi tahun penyalinan di atas masih belum
tepat karena 1768 tahun Jawa jika dikonversi ke dalam masehi adalah tahun
1846 selisih 6 tahun dengan informasi di kolofon yang menyebutkan padanan-
nya dalam tahun belanda yaitu 1840. Tidak diketahui informasi nama penyalin
dan tempat penyalinan naskah ini. Teks naskah ini sudah diterjemahkan oleh
Komari dan dicetak menjadi buku Seri Naskah Kuna Nusantara No. 16 oleh
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia tahun 2014. Mula-mula, dalam cerita
Babad Basuki, Belanda menguasai Senthong. Senthong adalah sebuah desa di
Kecamatan Krejengan,Kab. Probolinggo yang berada di pesisir pantai utara. Pada
Pupuh VI Tembang Asmarandana,pada 109 Senthong dinyatakan jatuh ke tangan
kumpeni.

Paran wus kabanda sami, mring bala kumpeni sira,Demang Wiradipura,


amburu maring ing mengsah,kalawan sabalanya,kongsi mring Jember puniku,
mungsuh sirna sedaya (Pupuh VI Asmarandana, pada 109) (Maka (prajurit
Senthong yang kalah) diikat semua oleh tentara kompeni,Demang Wiradipura
dan prajuritnya mengejar musuh yang melarikan diri sampai Jember, musuh
sudah hilang)

Selanjutnya pasukan kompeni melanjutkan penaklukan ke Lumajang.


Lumajang saat ini adalah sebuah kabupaten di Jawa Timur. Lumajang berada di
sebelah timur Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Pada pupuh ke VI
Tembang Asmarandana, pada 131 Lumajang jatuh ke tangan Belanda.

Alami kang den perangi, Negara Lumajang ika,cinatur cindheke bae,pan


wus bedhah ing Lumajang,wus kena mring Walanda,Kyai Tumenggung Banger
Pasuruan bubar (Pupuh VI Asmarandana, pada 131) (Lama perang berlangsung
di Negeri Lumajang itu, singkat cerita sudah jatuh Lumajang ke tangan
Belanda,Kyai Tumenggung Banger Pasuruan pulang ke tempat asalnya).

Dari Lumajang pasukan Belanda melanjutkan penaklukan ke wilayah


yang di dalam teks disebut Penarukan. Penarukan saat ini masuk ke wilayah
Kabupaten Situbondo. Terletak di pinggir pantai di sebelah timur Kecamatan
Basuki. Saat ini tidak ada informasi mengenai nama Penarukan di Situbondo.
Dalam daftar nama-nama kelurahan dan kecamat-an yang termasuk wilayah
Kabupaten Situbondo tidak ada nama Penarukan. Kemungkinan saat ini Watu
Ula adalah nama sebuah dusun yang tidak masuk ke dalam daftar nama-nama
desa atau kecamatan di bagian pesisir selatan Kabupaten Situbondo. Pada
pupuh ke VI Tembang Asmarandana pada 138 Penarukan jatuh ke tangan Belanda.

Saperaptanira sami, Demang Tisman anut sigra,wus kaprentah ing


Bangere, Ki Demang Tisman ta sira, sampun lami aprentah, mring tumenggung
banger iku, sigegen ing Penarukan (VI. Asmarandana 138) (Sesampainya (utusan
Belanda dan Demang Basuki di Penarukan), Demang Tisman menyerah begitu
saja di bawah kekuasaan Banger. Berhenti di Penarukan).

Dalam konteks teks di atas Banger merupakan pusat pemerintahan


kolonial di wilayah timur Pulau Jawa. dalam tembang di atas dijelaskan bahwa
Penarukan menyerah begitu saja di bawah kekuasaan Banger. Hal ini berarti
secara tidak langsung Penarukan menyerah dibawah kekuasaan Belanda. Setelah
menaklukkan Penarukan, pasukan pemerintah kolonial melanjutkan
‘petualangan’nya menaklukkan Blambangan. Blambangan saat ini merupakan
sebuah kelurahan yang masuk ke dalam wilayah administratif Kecamatan
Muncar. Kecamatan Muncar sendiri terletak di ujung timur Pulau Jawa berbatasan
langsung dengan Selat Bali. Pada pupuh ke VI Tembang Asmarandana pada ke
142 Blambangan resmi jatuh ke tangan Belanda.

Cinatur cendhekireki,kumpeni pan sampun menang,wus bedhah


Belambangane,wus mulih para bupatya,Madura panembahan, Sumenep
pangeranipun, ing Mekasan tumenggungnya (Pupuh VI Asmarandana, pada 142)
(Singkat cerita kompeni sudah menang,sudah jatuh Blambangan, pulanglah para
bupati di antaranya Panembahan Madura, Pangeran Sumenep, dan
Tumenggung (Pa)mekasan).

Setelah menguasai Blambangan Babad Basuki menceritakan penaklukan


wilayah Nusa, Klathakan, dan Watu Ula. Nusa dalam teks ini kemungkinan
adalah Pulau Nusa Barung yang berada di sebelah selatan Pulau Jawa, di
selatan Lumajang. Tempat bernama Klathakan yang berada di wilayah bagian timur
Pulau Jawa ada dua yaitu ada yang terletak di Kabupaten Jember dan
Kabupaten Situbondo. Klathakan adalah sebuah desa yang berada di wilayah
adminisratif Kabupaten Jember, lebih tepatnya di Kecamatan Tanggul. Sementara
Klathakan yang berada dalam wilayah Kabupaten Situbondo adalah sebuah desa
yang berada di Kecamatan Kendit.

Dalam daftar nama-nama kelurahan dan kecamatan di dalam wilayah


Kabupaten Jember saat tidak ditemukan nama Watu Ula. Tetapi penelusuran
melalui google map menunjukkan sebuah tempat bernama Watu Ula.
Kemungkinan saat ini Watu Ula adalah nama sebuah dusun yang tidak masuk
ke dalam daftar nama-nama desa atau kecamatan di bagian pesisir selatan
Kabupaten Jember.

Selain penulisan sejarah secara kolonial dan penulisan sejarah nasional,


sejarah Indonesia juga mengenal penulisan sejarah secara tradisional. Penulisan
sejarah secara tradisional ini disebut babad. Babad secara harfiyah berarti ‘cerita
mengenai kejadian yang sudah terjadi.’ 1. Dalam sudut pandang penulisan sejarah
tradisional kejadian-kejadian di dalam babad benar-benar terjadi namun dalam
sudut pandang penulisan sejarah kolonial atau nasional perlu adanya penelitian
lebih lanjut.

Penyebutan nama-nama tempat dalam Babad Basuki ini tidak berbeda


dengan penyebutan nama-nama tempat dalam naskah-naskah tradisional lainnya.
Misalnya dalam Panji Jayalengkara Sunyawibawa, seorang tokoh fiksi bernama
Raden Jayalengkara disebut telah mengunjungi tempat-tempat seperti Gunung
Pamriyan atau Gunung Merbabu2. Ada juga seorang tokoh fiksi Sinangsaya
dalam teks Gita Sinangsaya juga disebut telah mengunjungi Gunung Wilis,hingga
Gunung Kampud atau Gunung Kelud 3.

Sampai di sini terjadi semacam pembenturan antara fiksi dan fakta.


Pembenturan yang terjadi adalah tokoh-tokoh fiksi yang diragukan
keberadaannya di masa lalu dinarasikan mengunjungi tempat-tempat yang
benar-benar nyata dan masih ada keberadaannya sampai sekarang. Hal ini tidak
1
Poerwadarminta. (1939). Baoesastra Djawa. Batavia: J. B. Wolters Uitgevers Maatchappij N.V. Groningen.
2
Dwiadmojo, GN. Watak Tembang Sumekar dalam Panji Jayalengkara Sunyawibawa (CS 104). Tesis tidak
diterbitkan dalam Program Pascasarjana, Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2016
3
Kurniawan, A. Gita Sinangsaya: Suntingan Teks, Terjemahan, disertai Kajian Semiotika Riffaterre.
Tesis tidak diter bitkan dalam Program Studi Ilmu Sastra Jurusan Ilmu Humaniora, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Gajah Mada tahun 2012.
lain bertujuan untuk mendekatkan pembaca pada cerita dalam teks. Lewat
pembenturan ini penyalin seolah ingin mengatakan bahwa kejadian-kejadian fiksi
dalam babad ini benar-benar nyata.

Daerah-daerah yang disebutkan dalam teks ini merupakan wilayah yang


penting. Hal ini dibuktikan dengan daerah-daerah tersebut ditaklukkan oleh
Belanda. Setidaknya ada seorang penguasa lokal di daerah-daerah tersebut
yang perlu ditaklukkan untuk menguasai wilayah timur Pulau Jawa. Seiring
perjalanan waktu, dari abad ke 19 sampai sekarang, terjadi berbagai perubahan
status daerah-daerah tersebut. Daerah-daerah tersebut saat ini ada yang menjadi
kabupaten, kecamatan, desa, dan dusun. Dari informasi tersebut dapat dijelaskan
bahwa perubahan status suatu daerah adalah sebuah keniscayaan

E. Peristiwa Sejarah dalam Serat Sindujoyo


Kekhasan historiografi tradisional Jawa adalah tiadanya angka tahun yang
tegas. Bila ada, seringkali berupa sandisastra atau candrasengkala. Bagi
historiografi modern, penyebutan angka tahun adalah sebuah keharusan sumber.
Oleh karena itu, metode yang digunakan agar naskah kuno dapat dijadikan sebagai
salah satu sumber sejarah adalah dengan membandingkan dengan sumber lainnya,
baik terhadap sumber dalam negeri maupun sumber dari negeri lain4, sehinga
rekonstruksi peristiwa dapat dilakukan mendekati akurasi. Terdapat beberapa
peristiwa sejarah politik dalam Serat Sindujoyo tetapi tidak menyebut angka tahun
karena sepanjang ceritanya memang tidak menyebut angka tahun, kecuali dalam
kolofon, tetapi dapat diperbandingkan dengan sumber lainnya.

Penanda waktu pertama yang dapat dirunut adalah keberadaan Sunan


Prapen, sebagai guru Sindujoyo. Menurut sejarawan Gresik, Sunan Prapen hidup
pada masa antara tahun pada 1478-15275. Versi lain menyebut antara 1548-1605
(De Graaf dan Pigeaud, 2003; Lombard, 2005: 56). Tulisan ini menganut versi
terakhir karena versi pertama bertumpu pada tradisi lisan, sedangkan versi kedua
membandingkannya dengan sumber dalam negeri dan berita asing. Dengan
demikian, patokan kesejarahan Sindujoyo berkisar pada tahun-tahun tersebut.
Ketika ia pergi dari Giripura, berarti pada tahun 1605 atau setelahnya, karena ketika

4
Djafar, H. 2009. Masa Akhir Majapahit, Girindrwarddhana dan Masalahnya. Jakarta: Komunitas Bambu.
5
Erfan, A.F. M. 1959. Sedjarah Kehidupan K. Sunan Giri. Surabaya: Swan
Sunan Prapen wafat ia melanjutkan pencarian ilmu ke Gunung Kemukus di Klaten.
Sunan Prapen adalah raja-pandita di Kedaton Giri paling terkenal. Ia digambarkan
sebagai raja-pandita yang berusia sangat panjang dan pemberi legitimasi kepada
beberapa raja Jawa, termasuk Mataram. Beberapa sumber Eropa juga mencatat
keberadaan Sunan Prapen tersebut, yang diperkirakan mangkat tahun 16056
Peristiwa sejarah lain sebagai perbandingan kesejarahan Serat Sindujoyo
adalah penyerbuan Mataram kepada Adipati Banyumas. Diceritakan, raja yang
berkuasa adalah Susuhunan Mangkurat, disebut pula dengan Pangeran Kertasura,
karena lokasi keratonnya di Kertasura. Ia mengalami kesulitan menaklukkan
pemberontahan Adipati Banyumas. Pembangkangan sudah berlangsung bertahun-
tahun tetapi ia tidak dapat menaklukannya. Pada akhirnya, utusan Pangeran
Kertasura menemukan Sindujoyo dan kawan-kawannya yang sedang bertapa di
Gunung Kemukus. Atas bantuan mereka, Adipati Banyumas dan istrinya dapat
dibawa ke Kertasura dan dipenjarakan.

Kawula nuwun paduka Wenang paduka kapundi Lingsir saking ing


ngajenganKocape sampun lumaris Datan kawarna ing margiIng Banyumas sampun
rawuh Sami kaiket sedaya Wong cilik kathah kang ngungsi Pun kawerta ing
Banyumas dipun beleh (Serat Sindujoyo, h. 63)

Namun, terdapat fakta sejarah berbeda. Berdasar penanggalan dan catatan


sejarah, pada tahun 1605, raja Mataram yang berkuasa adalah Pangeran Seda Ing
Krapyak, dengan pusat pemerintahan di Plered. Pada masa kekuasaannya terdapat
dua pemberontakan besar. Pemberontakan pertama, Pangeran Puger sebagai
Adipati Demak (1602-1605). Dilakukan penyerbuan ke Demak, sehingga saudara
raja itu dapat ditawan dengan dimasukkan keranjang tetapi segera diampuni dan
dihukum ringan 7. Pemberontakan kedua adalan adik raja, Pangeran Jayanegara di
Ponorogo, diperkirakan tahun 1608. Ia dan istrinya ditawan dan dipenjarakan ke
pulau Nusa Kambangan (De Graaf, 2002: 11-14). Kedua pemberontakan juga
tercatat dalam Babad Tanah Jawi (Olthof, 2007: 139-143). Adapun Kadipaten
Banyumas muncul dalam sejarah Jawa tahun 1582. Pertentanganya dengan

6
De Graaf, H. J. & Pigeaud, T. G. 2003. Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV
dan XVI. Jakarta: Grafiti dan KITLV
7
De Graaf, H. J. 2002. Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung. Edisi Revisi. Jakarta:
Grafiti dan KITLV
Kertasura terjadi pada tahun 1740-an, ketika terjadi pemberontakan Cina
(Remmelink, 2002: 206). Pakubuwana menganggap Adipati Banyumas
Tumenggung Yudonegoro I, bergelar anumerta Raden Tumenggung Seda Pendapa
(1707-1745), itu berkhianat dan dijatuhi hukum penggal.

Dengan perbandingan tersebut, dimungkinkan yang dilakukan Sindujoyo


bukan menaklukkan Adipati Banyumas, tetapi penguasa bawahan Mataram yang
lain. Bila Sindujoyo pindah dari Giri tahun 1605, peristiwa yang terjadi
diperkirakan sekitar tahun tersebut. Dari data sejarah yang sudah disebutkan, sekitar
tahun tersebut yang melakukan pemberontakan adalah Adipati Demak, mengingat
tahunnya mengarah pada peristiwa antara 1602-1605. Dimungkinkan Sindujoyo
terlibat pada tahun 1605 meskipun konfliknya sudah dimulai sejak 1602.
Diasumsikan sebutan Adipati Banyumas dan raja Mangkurat Kertasura adalah
kekeliruan penulis karena peristiwa sejarah yang tersohor adalah pemberontakan
Cina yang melibatkan banyak bawahan Mataram, termasuk Banyumas dan
daerah pesisir. Adapun nama raja Mataram yang terkenal di pesisir adalah
Mangkurat. Hal itu karena jarak penulisan Serat Sindujoyo dan peristiwanya
berlangsung ratusan tahun, sehingga yang diingat adalah yang paling terkenal dan
dramatis. Fokus pengarang naskah hanya pada jasa Sindujoyo pada raja Mataram
dan tidak lagi menyoal siapa raja dan kapan tepatnya kejadian peristiwa. Sifat jenis
karya babad seperti itu mengarah pada tangara yang pernah disampaikan
Remmelink (2002: 332) bahwa fakta babad memberikan pelajaran untuk masa kini,
sebagaimana penulisan sejarah yang diharapkan untuk keperluan itu, lewat
pemikiran-pemikiran dan bukan lewat fakta, baik itu fakta ekonomi, politik, yang
nyata maupun dibuat-buat – namun tidak membuat pesan yang disampaikannya
melenceng jauh.

Peristiwa lainnya adalah ketika Pangeran Ampeldenta menyerbu Gumeno.


Terjadi pada fase ketika Sindujoyo kembali dari pengelanaannya dan menetap di
sebuah desa bernama Rumo. Sindujoyo terlibat dalam konflik tersebut karena
ajakan Martojoyo untuk membantu Pangeran Ampeldenta menaklukan Gumeno
karena sebelumnya selalu menderita kekalahan. Dalam naskah, tak ada tanggal dan
sebutan nama penguasa Surabaya secara tepat. Intinya, Sindujoyo berperang di
pihak Pangeran Ampeldenta dan berhasil menaklukkan penguasa Gumeno.
Peristiwa tersebut lebih mudah dicari padanannya pada cerita lisan daripada
tulisan. Penguasa Gumeno pada saat itu adalah Kidang Palih. Sebuah versi lisan
menyebutnya Sidang Palih (Dewi, 1996/1999). Versi kolonial menyebutnya Ki
Dang Palih (De Graaf dan Pigeaud, 2003: 165). Posisi Kidang Palih di kalangan
masyarakat pesisir hampir sama dengan Sindujoyo, sosoknya hadir dalam ranah
historis dan mitis. Bila motif dalam naskah menyebutkan Sindujoyo berperang
karena ia mendukung Pangeran Ampeldenta karena diajak teman, tetapi dalam
kisah lisan, motifnya lebih terang dan masuk akal. Dalam cerita lisan disebutkan
bahwa Kidang Palih termasuk murid Sunan Prapen, tetapi lebih muda dari
Sindujoyo. Namun, dalam perjalanannya, ia dipilih oleh Sunan Prapen untuk
menjadi penguasa di Gumeno. Karena itulah, Sindujoyo malu, lalu melakukan
perang tanding dengannya. Versi lisan lainnya menyatakan, yang menyerbu Kidang
Palih bukan Pangeran Ampel tetapi Pangeran Giri. Sahdan, karena Kidang Palih
mau memisahkan dari Giri sehingga Sindujoyo turun tangan untuk
mengalahkannya karena Sindujoyo adalah santri Giri. Kidang Palih meninggal
bersama istrinya (Dewi, 1996/1999).

Selain itu, ada versi berbeda yang menyebut, Kidang Palih semasa dengan
Sunan Dalem, ayah Sunan Prapen. Syahdan, pada saat itu, Giri diserbu penguasa
Sengguruh sehingga Sunan Dalem mengungsi ke Gumeno karena ada pemuda sakti
bernama Kidang Palih. Ketika sampai di Gumeno, Sunan Dalem mendirikan masjid
Gumeno dan mentradisikan makan bubur ayam atau tradisi Sanggringan
(Zainoeddin, 2013: 178). Sementara itu, De Graaf dan Pigeaud (2003: 165-166)
menyebutnya dengan Gumena dan menyatakan penguasa Gumena tersebut dengan
nama Si Dang Palih dan semasa Sunan Dalem, berdasarkan pada sumber dalam
negeri dan sumber asing terkait pendirian masjid kuno di kampung yang bernama
Gumenol, ada tambahan “l”. Sebuah versi lain menyatakan pendirian masjid itu
dilakukan Sunan Dalem pada 1451 (Zainoeddin, 2013: 178), versi lainnya adalah
tahun 1539 (De Graaf dan Pigeaud, 2003: 166). Sayangnya, dalam sumber tersebut
tidak disebutkan kekalahan Kidang Palih dalam perang sehingga sulit merunut fakta
sejarahnya.

Sumber sejarah tertulis terkait sejarah Surabaya abad ke-15-16 memang


sulit dicari rujukannya, meskipun pada masa-masa Sunan Ampel cukup banyak
naskah kuno yang mencatatnya, seperti Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, Babad
Majapahit Para Wali, dan sebagainya (Sjamsudduha, 2004). Namun, ada beberapa
tulisan sejarah yang menyebutkan bahwa penguasa Surabaya pada masa-masa
setelah Sunan Ampel wafat masih keturunannya. Dengan demikian, penyebutan
penguasa Surabaya dalam Serat Sindujoyo sebagai Pangeran Ampeldenta dapat
dibenarkan, meskipun bukan keturunan langsung tetapi dari perkawinan (De Graaf,
2002: 14-15). Sumber lain menyebutkan, setelah tahun 1467, Surabaya menjadi
wilayah Demak, dan berturut-turut diperintah oleh Sunan Drajat, putera Sunan
Ampel, kemudian Kiai Gede Pamburan8. Setelah Kasultanan Demak berakhir,
Surabaya diperintah generasi raja-raja dan pangeran-pangeran, yang sangat
mungkin dari keturunan Sunan Ampel. Keratonnya di sebelah barat Kali Mas (Asia
Maior dalam Widodo, 2013: 73). Bahkan, ketika Sunan Prapen sudah sepuh, ia
sengaja mencari perlindungan kepada Adipati Surabaya (De Graaf, 2002). De Graaf
(2002: 20) juga mencatat pada tahun 1622 beberapa kawasan di Gresik sudah
takluk pada Pangeran Surabaya. Soal serbuan Adipati Surabaya ke Gumeno dalam
beberapa kali dalam cerita tutur terdapat banyak sekali spekulasi. Namun, berdasar
catatan Eropa, peristiwa tersebut sangat mungkin terjadi sebelum tahun 1622,
karena pada tahun tersebut Gresik sudah di bawah kekuasaan Kadipaten Surabaya 9

8
Widodo, D.I. 2013. Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe. Surabaya: Dukut Publishing
9
De Graaf, H. J. 2002. Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung. Edisi Revisi. Jakarta:
Grafiti dan KITLV
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Naskah Babad Basuki dan Bandawasa merupakan koleksi Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia dengan nomor koleksi KBG 333. Teks naskah
Babad Basuki dan Bandawasa ini terdiri dari dua bagian yaitu Babad Basuki
(halaman 1-29) dan yang kedua Babad Bandawasa (hal 31-69). Babad Basuki
mulai disalin pada hari Sukra (Jumat), jam setengah sepuluh, tanggal 17
Jumadilakir 1302 Hijriyah atau Jumat 3 April, 1885 Masehi. Babad Basuki
meceritakan tentang asal-usul penduduk wilayah Basuki, penaklukan wilayah
oleh pemerintah kolonial Belanda, dan kehidupan beberapa tokoh setelah
penaklukan. Peta penaklukan wilayah di bagian timur Pulau Jawa dimulai dari
Banger ke Senthong, dari Senthong ke Lumajang, berlanjut ke Penarukan,
kemudian Blambangan. Dari Blambangan penaklukan dilanjutkan dengan
penaklukan 3 wilayah sekaligus yaitu Nusa, Klathakan, dan Watu Ula.

Selain itu,Unsur-unsur babad dalam Serat Sindujoyo mengandung


kesejarahan desa-desa pesisir Gresik dan beberapa desa lainnya di pedalaman dan
tepi aliran Bengawan Solo. Desa-desa itu membentuk jaringan tersendiri dengan
pengikat Sindujoyo. Meski terbilang sebagai pendatang baru, seorang tokoh akan
dihormati karena memiliki modal kutural yang sesuai dengan tradisi dan keyakinan
masyarakat pada masanya. Ketokohan Sindujoyo menyiratkan bahwa ia tidak harus
dengan modal genetis, tetapi dapat pula lewat pencapaian dan pengakuan
komunitas. Relasi kekuasaannya tidak lagi politis, tetapi berwatak kultural dan
komunal.

Sebagai sumber sejarah desa, Serat Sindujoyo menyimpan beberapa


dokumentasi keberadaan desa-desa, meskipun ketika dilacak dalam kekiniannya
dibutuhkan pandangan kritis karena penulisnya kadangkala hanya bertujuan
menyampaian pesan umum tanpa mengindahkan detail yang akurat. Dengan
melakukan pembacaan ulang dan perbandingan sumber, dapat diperkirakan waktu
pemukiman tersebut berdiri.
DAFTAR PUSTAKA

Poerwadarminta. (1939). Baoesastra Djawa. Batavia: J. B. Wolters Uitgevers


Maatchappij N.V. Groningen.

Dwiadmojo, GN. Watak Tembang Sumekar dalam Panji Jayalengkara Sunyawibawa


(CS 104). Tesis tidak diterbitkan dalam Program Pascasarjana, Universitas
Negeri Yogyakarta tahun 2016.

Kurniawan, A. Gita Sinangsaya: Suntingan Teks, Terjemahan, disertai Kajian


Semiotika Riffaterre. Tesis tidak diterbitkan dalam Program Studi Ilmu Sastra
Jurusan Ilmu Humaniora, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada tahun
2012.

De Graaf, H. J. 2002. Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung.


Edisi Revisi. Jakarta: Grafiti dan KITLV

Widodo, D.I. 2013. Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe. Surabaya: Dukut Publishing

Anda mungkin juga menyukai