Anda di halaman 1dari 3

PERANG KUSAMBA

PERANG Kusamba yang terjadi 24-25 Mei 1849, menjadi salah satu peristiwa heroik pada
masa Kerajaan Klungkung. Seperti apa ceritanya?

Kerajaan Klungkung adalah kerajaan besar di Bali. Beberapa kali terjadi perang yang
melibatkan kerajaan itu, salah satunya Perang Kusamba. Selain Perang Kusamba, ada pula
peristiwa perlawanan terhadap intervensi Belanda yang dikenal dengan Puputan Klungkung,
pada 28 April 1908.

Kali ini, Cerita Pagi khusus membahas Perang Kusamba. Kusamba adalah sebuah desa di
timur Semarapura, yang hingga abad ke-18 lebih dikenal sebagai sebuah pelabuhan penting
Kerajaan Klungkung.

Desa yang penuh ilalang (kusa=ilalang) itu baru tampil ke panggung sejarah perpolitikan Bali
ketika Raja I Dewa Agung Putra membangun sebuah istana di desa yang terletak di pesisir
pantai itu. Tak cuma itu, I Dewa Agung Putra bahkan menjalankan pemerintahan dari istana
yang kemudian diberi nama Kusanegara itu.

Praktis, Kusamba menjadi pusat pemerintahan kedua Kerajaan Klungkung. Pemindahan


pusat pemerintahan ini turut mendorong kemajuan Kusamba sebagai pelabuhan yang kala itu
setara dengan pelabuhan kerajaan lainnya di Bali seperti Kuta.

Kepada Tim Cerita Pagi, Kepala Seksi Edukasi dan Reparasi Museum Bali Dewa Putu
Ardana bercerita, eksistensi Kusamba makin melambung manakala ketegangan politik makin
menghebat antara Dewa Agung Istri Kanya selaku penguasa Klungkung yang berseteru
dengan Belanda di pertengahan abad ke-19.

Dikutip dari Wikipedia, Perang Kusamba berawal dari terdamparnya dua skoner (perahu)
milik G.P. King, seorang agen Belanda yang berkedudukan di Ampenan, Lombok, di
Pelabuhan Batulahak, di sekitar daerah Pesinggahan. Kapal tersebut dirampas oleh penduduk
Pesinggahan dan Dawan.

Raja Klungkung pun menganggap kehadiran kapal yang awaknya sebagian besar orang-orang
Sasak itu sebagai pengacau, sehingga langsung memerintahkan untuk membunuhnya.

Oleh Mads Lange, seorang pengusaha asal Denmark yang tinggal di Kuta yang juga menjadi
agen Belanda, kejadian itu dilaporkan kepada wakil Belanda di Besuki. Kontan saja Residen
Belanda di Besuki memprotes keras tindakan Klungkung dan menganggapnya sebagai
pelanggaran atas perjanjian 24 Mei 1843 tentang penghapusan hukum Tawan Karang.

Kegeraman Belanda bertambah dengan sikap Klungkung membantu Buleleng dalam Perang
Jagaraga, April 1849. Karenanya, timbullah keinginan Belanda untuk menyerang Klungkung.

Maka, ekspedisi Belanda yang baru saja menghadapi Buleleng dalam Perang Jagaraga,
langsung dikerahkan ke Padang Cove (sekarang Padang Bai) untuk menyerang Klungkung.
24 Mei 1849 dipilih sebagai hari penyerangan.

Pasukan Belanda didukung sekitar 790 serdadu darat dan laut. Ditambah pasukan pembantu
atau kuli-kuli pengangkut dari Madura, jumlah seluruh pasukan hampir 1.200 orang.

Ternyata, rencana Belanda menyerang Klungkung diketahui Kerajaan Klungkung. Untuk


mengantisipasinya, pertahanan di Pura Goa Lawah diperkuat, di bawah pimpinan Dewa
Agung Istri Kanya, Anak Agung Ketut Agung, dan Anak Agung Made Sangging. Mereka
memutuskan mempertahankan Klungkung di Pura Goa Lawah dan Puri Kusanegara di
Kusamba.

Perang pun pecah di Pura Goa Lawah. Karena jumlah pasukan dan persenjatan yang tidak
berimbang, Laskar Klungkung dipukul mundur ke Kusamba. Di desa pelabuhan ini, Laskar
Klungkung tak berkutik. Sore hari itu juga, Kusamba jatuh ke tangan Belanda.

Laskar Klungkung mundur ke arah barat. Mereka membakar desa-desa yang berbatasan
dengan Kusamba untuk mencegah serbuan tentara Belanda ke Puri Klungkung.

Dewa Agung Istri Kanya marah besar atas jatuhnya Kusamba ke tangan Belanda. Tanpa
buang waktu, malam itu juga dia menyusun strategi untuk merebut kembali Kusamba.
Akhirnya, diambillah keputusan untuk menyerang Kusamba pada 25 Mei 1849 dini hari.

Kala itu, tentara Belanda membangun perkemahan di Puri Kusamba. Mereka tampak
kelelahan setelah berhasil memukul mundur Laskar Klungkung. Kondisi itu dimanfaatkan
oleh Dewa Agung Istri Kanya.

Sekitar pukul 03.00 WITA, dipimpin Anak Agung Ketut Agung, sikep dan pemating
Klungkung menyergap tentara Belanda yang tengah beristirahat di Kusamba. Diserang secara
tiba-tiba dan dalam kondisi lelah, tentara Belanda kalang kabut. Apalagi, kondisi saat itu
gelap. Parahnya lagi, mereka tidak mengetahui keadaan di Puri Kusamba. Bisa ditebak,
tentara Belanda kelabakan.

Di tengah kondisi kacau tersebut, Jenderal AV Michiels berdiri di depan puri. Untuk
mengetahui keadaan, tentara Belanda menembakkan peluru cahaya ke udara. Seketika,
kondisi gelap di sana berubah menjadi terang benderang. Keadaan tersebut dimanfaatkan
laskar pemating Klungkung untuk mendekati Jenderal Michiels.

Sebuah meriam canon yang dalam mitos Klungkung dianggap sebagai senjata pusaka dengan
nama I Selisik, ditembakkan. Senjata yang disebut-sebut bisa mencari sasarannya sendiri,itu
langsung mengenai kaki kanan Michiels. Saat itu juga, sang jenderal terjungkal. Sebagian
tubuhnya berlumuran darah.

Mengetahui sang jenderal terjungkal, tentara Belanda mundur ke Padang Bai. Jenderal
Michiels yang sempat hendak diamputasi kakinya, akhirnya meninggal sekitar pukul 23.00
WITA.

Dua hari berikutnya, jasadnya dikirim ke Batavia. Selain Michiels, Kapten H Everste dan
tujuh orang tentara Belanda juga dilaporkan tewas. Sebanyak 29 tentara Belanda mengalami
luka-luka.

Sementara, Kerajaan Klungkung kehilangan sekitar 800 Laskar Klungkung, ditambah 1.000
orang luka-luka. Meski demikian, Perang Kusamba menjadi kemenangan gemilang karena
berhasil membunuh seorang jenderal Belanda. Sangat jarang terjadi Belanda kehilangan
panglima perangnya. Apalagi, Michiels tercatat sudah memenangkan perang di tujuh daerah.

Meski akhirnya pada 10 Juni 1849 Kusamba jatuh kembali ke tangan Belanda dalam
serangan kedua yang dipimpin Lektol Van Swieten, Perang Kusamba merupakan prestasi
yang tak bisa diabaikan. Tak hanya kematian Jenderal Michiels, Perang Kusamba juga
menunjukkan kematangan strategi serta sikap hidup pejuang Klungkung.

Anda mungkin juga menyukai