Anda di halaman 1dari 2

 Puputan Jagaraga

Pada tahun 1846, Anak Agung Jelantik penguasa daerah Den Bukit, sekarang termasuk dalam
wilayah Kabupaten Buleleng memutuskan untuk melakukan perang puputan. Perang ini
dipicu oleh politik tawan karang (menahan seluruh kapal asing yang masuk ke dermaga
pelabuhan Buleleng - Bali Utara) yang diberlakukan Kerajaan Den Bukit tidak diterima oleh
pihak Belanda yang mencoba masuk ke wilayah Den Bukit. Karena dipersenjatai peralatan
perang modern yang lengkap, termasuk kapal laut, kapal udara, mobil perang beserta
senapan-senapan apinya, maka Belanda secara membabi buta menyerang wilayah Den Bukit
mulai dari pesisir Buleleng sampai ke kota kerajaan di desa Jagaraga.

Dipimpin oleh Jenderal Mayor A.V. Michiels dan sebagai wakilnya adalah van Swieten,
Kerajaan Buleleng diserang dari segala tempat, udara, laut dan darat. Namun rakyat Den
Bukit tidak menyerah menghadapi serangan yang sangat tidak berimbang ini. Raja Den Bukit
pun mengumumkan kepada rakyat, pasukan perang dan kerabat istana untuk menghadapi
Belanda sampai titik darah penghabisan. Akhirnya Den Bukit pun jatuh ke tangan Kolonial
Belanda, namun atas desakan rakyat, Anak Agung Jelantik dan beberapa sesepuh Kerajaan
Den Bukit berhasil diloloskan ke wilayah Kerajaan Karangasem untuk meminta perlindungan
dan menyusun kekuatan untuk kembali menghadapi pasukan Belanda.

 Puputan Kusamba
Tiga tahun kemudian, yakni tahun 1849, Belanda berusaha menduduki wilayah Bali Timur.
Pasukan ingin menguasai wilayah Kerajaan Klungkung yang merupakan kerajaan tertinggi di
Bali saat itu. Dengan menguasai Kerajaan Klungkung, berarti wilayah Bali secara
keseluruhan akan di bawah kekuasaan penjajah Belanda. Namun rencana ini tercium oleh
rakyat desa Kusamba yang merupakan benteng kekuatan Kerajaan Klungkung. Rakyat
Kusamba yang didukung penuh oleh atasannya menyatakan akan menghadapi belanda secara
perang puputan.

Pada tanggal 25 Mei 1849, tampillah Ida I Dewa Istri Kanya, seorang perempuan Bali
memimpin perang puputan yang dikenal dengan Puputan Kusamba tersebut. Saat itu pasukan
Belanda dipimpin oleh Let. Jen. Michiels. Berbeda dengan perang puputan lainnya, kali ini
Klungkung memenangkan perang dengan terbunuhnya Micheils di medan perang. Kekalahan
ini tentu saja membuat pihak Belanda sangat malu.

 Puputan Badung
Setelah hampir setengah abad tidak terdengar adanya perang puputan di Bali, tiba-tiba pada
tanggal 20 September 1906, tiga kerajaan yakni Puri Kesiman, Puri Denpasar dan Puri
Pemecutan mengumumkan perang puputan melawan kolonial Belanda yang berkedudukan di
Batavia. Perang ini dipicu oleh taktik licik pihak kolonial Belanda yang menuduh rakyat
Sanur mencuri barang-barang milik saudagar Cina yang diangkut oleh kapal Sri Komala
berbendera Belanda yang terdampar di pantai Sanur pada tahun 1904. Kwee Tek Tjiang,
pemilik barang telah membuat laporan palsu kepada utusan raja dan menyatakan rakyat telah
mencuri 3.700 ringgit uang perak serta 2.300 uang kepeng.

Laporan tanpa bukti itu tentu saja tidak dipercaya oleh utusan raja. Karena utusan raja tidak
mempercayai laporan palsu tersebut, pihak kolonial Belanda mengeluarkan ultimatun yakni
mendenda Raja Badung, I Gusti Ngurah Denpasar (Badung merupakan otoritas tiga kerajaan,
yakni Kesiman, Denpasar dan Pemecutan) sebesar 3.000 ringgit (7.500 gulden). Jika Raja
Badung tidak mau membayar denda sampai batas tanggal yang ditentukan 9 Januari 1905,
maka wilayah Badung akan diserang secara militer oleh pihak kolonial Belanda.
Karena rakyat Badung tidak bersalah, maka tantangan tersebut diladeni dengan perlawanan.
Maka pecahlah Puputan Badung dengan korban gugur di pihak rakyat mencapai 7.000 orang,
termasuk para raja dan kerabat istana serta para pahlawan dari ketiga puri, Kesiman,
Denpasar dan Pemecutan. Pasukan Belanda dipimpin Rost Van Toningen, berhasil
menduduki wilayah Badung. Namun para wartawan perang yang dibawa pihak Belanda
melaporkan bahwa Puputan Badung ini merupakan pembantaian massal yang dilakukan
militer Belanda terhadap rakyat sipil yang tidak bersenjata.
 Puputan Klungkung.
Dua tahun setelah Puputan Badung, tanggal 28 April 1908 kembali terjadi perang puputan
melawan kolonial Belanda. Perang puputan yang dikenal dengan Puputan Klungkung ini
merupakan perang puputan terakhir masa kerajaan di Bali. Perang yang menandai jatuhnya
seluruh wilayah Bali ke tangan belanda ini dipicu oleh kesewenang-wenangan Belanda dalam
membuat peraturan yang tentu merugikan rakyat Bali. Di pihak Klungkung dipimpin oleh
Raja Klungkung Ida I Dewa Agung Jambe, yang sekaligus gugur dalam peperangan.
Kemenangan Belanda kali ini merupakan obat penawar sakit hati yang harus diterima
Belanda ketika menggempur wilayah Klungkung di Desa kusamba sekitar setengah abad
sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai