Anda di halaman 1dari 67

LAPORAN HASIL PENELITIAN

DIMENSI YURIDIS DAN EMPIRIS MASYARAKAT HUKUM ADAT

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Komunitas Adat Terpencil (KAT) dapat dipahami sebagai komunitas manusia


yang menghadapi berbagai keterbatasan untuk dapat menjalani kehidupan
sebagaimana masyarakat pada umumnya. Mereka mendiami daerah-daerah yang
secara geografis relatif sulit dijangkau, seperti: pegunungan, hutan, lembah,
muara sungai, pantai dan pulau-pulau kecil. Mereka hidup dalam kondisi yang
sangat terbatas, baik dalam pemenuhan kebutuhan sosial dasar, sosial-psikologis
dan pengembangan. Sebagian dari mereka tidak memiliki tempat tinggal tetap,
hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain atau nomaden. Mereka
menjalani kehidupan dengan cara-cara yang sangat sederhana, dan jenis
kegiatan ekonomi yang ditekuninya seperti pertanian, nelayan, berburu dan
berburu. Mereka mengalami keterbatasan untuk dapat mengakses pelayanan
sosial, ekonomi dan politik (Dit PKAT, 2003).
Sebagai respon atas kondisi kehidupan KAT tersebut, Departemen Sosial RI
telah menyelenggarakan program pemberdayaan terhadap mereka yang dimulai
sejak tahun 1972, dimana pada saat itu digunakan istilah masyarakat terasing.
Meskipun demikian sampai dengan tahun 2006 populasi KAT masih cukup besar,
yaitu 267.550 KK atau sekitar 1,1 juta jiwa. Dari jumlah tersebut yang belum
diberdayakan masih banyak, yaitu 193.185 KK atau 72 persen, sudah
diberdayakan mencapai 61.188 KK atau 23 persen dan yang sedang
diberdayakan mencapai 13.177 KK atau 5 persen. Meskipun program
pemberdayaan telah dilakukan, namun capaian tujuan program belum secara
optimal menyentuh persoalan pokok kehidupan anggota KAT. Mereka memang
telah berdaya secara sosial-ekonomi, namun masih belum berdaya secara politis
dan hukum.
Sesuai dengan ketentuan Konvensi ILO No. 169 tahun 1989 pada artikel ke
dua (2) disebutkan, bahwa negara sudah seharusnya bertanggungjawab untuk
memberi perlindungan hak azasi dan kesempatan yang sama melalui peraturan
hukum baik di tingkat nasional maupun daerah, serta regulasi-regulasi kebijakan
lainnya. Pemerintah Indonesia telah merespon Konvensi tersebut dengan
diundangkannya Keputusan Presiden RI No. 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan
Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil. Selanjutnya berdasarkan
Keputusan Presiden RI tersebut, Departemen Sosial sebagai instansi sektoral
yang bertanggung jawab terhadap kondisi kehidupan KAT, mengeluarkan
berbagai keputusan dan peraturan yang di dalamnya secara substansial
mengatur pelaksanaan pemberdayaan KAT. Namun demikian dalam
implementasinya belum secara optimal memberdayakan KAT, termasuk dalam
hal pemberian hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum.
Berdasarkan hasil penelitian UNDP tahun 2006 tentang Pengakuan Hukum
Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia yang dilakukan di 10 provinsi, ditemukan
beberapa informasi berikut:
1. Adanya ketidaktahuan Pemerintah maupun Pemerintah Daerah melalui
instansi dan dinas yang mengurusi masyarakat adat terhadap produk hukum
daerah mengenai masyarakat adat yang sedang berlaku di daerahnya.
2. Hampir semua dinas yang mengurusi bidang kesejahteraan sosial bagi
KAT yang didatangi mengaku tidak mengetahui produk hukum daerah
mengenai adat-istiadat, lembaga adat dan hak ulayat yang tengah berlaku di
daerahnya.
3. Menunjukkan bahwa produk hukum daerah tersebut tidak pernah
digunakan oleh dinas dan instansi daerah untuk mendesak tersedianya dana
bagi pemberdayaan KAT.

Dewasa ini keberadaan KAT tidak hanya menjadi persoalan nasional, akan
tetapi sudah menjadi persoalan global. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada
tahun 1995 telah mengeluarkan Declaration on the Rights of Indigenous Peoples
sebagai landasan moral bagi setiap negara dalam rangka memberikan pelayanan
dan perlindungan terhadap KAT. Dalam deklarasi tersebut diatur secara rinci ke
dalam 45 pasal, yang sebagian besar mengatur hak-hak KAT sebagai komunitas
manusia maupun sebagai bagian dari warga negara. Deklarasi PBB tersebut
semakin memperkuat tuntutan terhadap negara, baik dari dalam negeri maupun
dunia internasional, untuk memberikan pelayanan dan perlindungan bagi KAT.
Dalam rangka merespon berbagai tuntutan terhadap pelayanan dan
perlindungan KAT di Indonesia, maka sangat diperlukan Peraturan Perundang-
Undangan yang lebih tinggi lagi dari Keputusan Presiden RI, yaitu berupa
Undang-Undang (UU KAT). Undang-undang ini akan menjadi payung hukum
secara nasional yang akan menjadi acuan dasar bagi pemerintah maupun
masyarakat dalam rangka memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap
KAT. Selain itu, adanya Undang-Undang KAT ini memperlihatkan kesungguhan
negara Indonesia di mata dunia internasional dalam upaya memberikan
pelayanan dan perlindungan terhadap KAT, sebagaimana di negara-negara di
dunia. Dengan demikian, adanya Undang-Undang KAT ini ke dalam negeri
sebagai dasar hukum pengakuan dan tanggung jawab negara terhadap KAT; dan
ke dunia internasional sebagai bentuk keberpihakan negara terhadap isu-isu
global dan menjadi komitmen di dalam Development Mellineum Goals (MDC’s)
yanga antara lain kemiskinan, ketelantaran dan keterbelakangan.

2
Dalam kerangka itu, maka Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil
– Departemen Sosial RI melaksanakan kegiatan : INVENTARISASI PERATURAN
DAERAH TENTANG MASYARAKAT HUKUM ADAT. Ada tiga aspek yang menjadi
perhatian dalam kegiatan ini, yaitu (1) bentuk kongkrit pengakuan hukum
terhadap KAT dalam bentuk tertulis (Peraturan, Perundangan, Perda, Pedoman,
Juklak/Juknis) maupun tidak tertulis yang berlaku di masyarakat, (2). bagaimana
implementasi pengakuan hukum terhadap KAT tersebut di lapangan dan (3).
kendala apa yang dihadapi dalam pengakuan hukum terhadap KAT

B. PERMASALAHAN

Pengakuan hukum terhadap keberadaan dan perlindungan bagi KAT belum


tergambar secara jelas, untuk itu diperlukan penelusuran guna mencari tahu
tentang:
“ PENGATURAN-PENGATURAN HUKUM DILIHAT DARI ASPEK SOSIAL
BUDAYA YANG BERLAKU DALAM MASYARAKAT SEBAGAI BAHAN
PENYUSUNAN RUU KAT/MASYARAKAT HUKUM ADAT/
MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA”

Berdasarkan permasalahan tersebut diajukan beberapa pertanyaan berikut :


1. Bagaimana bentuk kongkrit pengakuan hukum terhadap KAT dalam bentuk
tertulis (Peraturan, Perundangan, Perda, Pedoman, Juklak/Juknis)
maupun tidak tertulis yang berlaku di masyarakat ?)
2. Bagaimana implementasi pengakuan hukum terhadap KAT tersebut, di
lapangan?
3. Kendala apa yang dihadapi dalam pengakuan hukum terhadap KAT
4. Bagaimana harapan pemangku kepentingan (stakeholder) akan realisasi dari
pengakuan hukum tersebut?
5. Bagaimana kerangka konsep yang holistik sebagai acuan penyusunan RUU
KAT ?

C. TUJUAN DAN MANFAAT

Inventarisasi data dalam rangka pengembangan hukum terhadap KAT bertujuan


untuk :
1. Mengidentifikasi bentuk kongkrit pengakuan hukum terhadap KAT dalam
bentuk tertulis (Peraturan, Perundangan, Perda, Pedoman,
Juklak/Juknis) maupun tidak tertulis yang berlaku di masyarakat
2. Diketahuinya implementasi pengakuan hukum terhadap KAT tersebut, di
lapangan
3. Mengidentifikasi kendala yang dihadapi dalam pengakuan hukum terhadap
KAT

3
4. Mengidentifikasi harapan pemangku kepentingan (stakeholder) akan
realisasi dari pengakuan hukum tersebut

Hasil inventarisasi data tentang pengakuan hukum terhadap KAT ini


digunakan sebagai bahan penyusunan kerangka konsep yang holistik untuk
acuan penyusunan RUU KAT di Indonesia.

D. METODE YANG DIGUNAKAN

1. Metode

Inventarisasi data ini merupakan penelitian eksploratif. Studi eksploratori


dilaksanakan untuk mengungkapkan suatu fenomena atau masalah dimana
pengetahuan yang jelas atau gagasan-gagasan yang dapat digunakan sukar
didapat. Menurut Suhartono (1995), studi eksploratori tekanan utamanya
untuk menemukan ide (gagasan) atau pandangan. Pada akhir studi
penjajagan, diharapkan dapat merumuskan masalah studi dengan lebih tepat,
atau hipotesis penelitian untuk diuji dalam penelitian lebih lanjut.
Pengumpul data akan membaca dan menganalisis terhadap bahan primer
maupun sekunder yang ditemukan selama kegiatan berlangsung, Bahan-
bahan tersebut berupa pengakuan hukum terhadap KAT, baik secara tertulis
maupun tidak tertulis.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui:
a. Studi Pustaka
Serangkaian kegiatan penelusuran bukti-bukti tertulis yang relevan
dengan tujuan.
b. Wawancara Mendalam
Serangkaian kegiatan melakukan tatap muka dan komunikasi dengan
informan yang terkait pengakuan hukum terhadap KAT.
3. Informan
Informan dalam penelitian ini adalah :
a. Di tingkat Provinsi meliputi :
1). Biro Hukum dan Perundang-Undangan Provinsi
2). Sekretariat Dewan tingkat I
3). Bappeda Provinsi
4). Ketua Lembaga Adat Provinsi
5). Lembaga Penelitian Perguruan Tinggi
6). LSM/NGO yang peduli KAT/Masy. Adat/ Masy. Hukum Adat
7). Instansi-Instansi terkait ( Sosial, Agama, Pariwisata, pendidikan,
kehutanan, BPN, dll).

4
b. Di tingkat Kabupaten meliputi :
1). Biro Hukum dan Perundang-Undangan Kab.
2). Sekretariat Dewan tingkat II
3). Bappeda Kab.
4). Ketua Lembaga Adat Kab.
5). Lembaga Penelitian Perguruan Tinggi
6). LSM/NGO yang peduli KAT/Masy. Adat/ Masy. Hukum Adat
7). Instansi-Instansi terkait ( Sosial, Agama, Pariwisata, pendidikan,
kehutanan, BPN, dll).

4. Lokasi Kajian
Kajian dalam rangka inventarisasi Peraturan Daerah (Perda) dan Hukum Adat
ini dilakukan di beberapa provinsi di Indonesia, yaitu:
a. NAD
b. Sumatera Utara
c. Sumatera Barat
d. R i a u
e. Jambi
f. Banten
g. Kalimantan Barat
h. Kalimantan Timur
i. Kalimantan Tengah
j. Sulawesi Selatan
k. Bali
l. Nusa Tenggara Barat
m. Nusa Tenggara Timur
n. Papua

5. Teknik Analisa Data


Analisis data dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini memaknai
informasi yang dihimpun berdasarkan kajian teoritis. Prosesnya dimulai dari
mengumpulkan instrumen yang telah diisi dari lapangan, dan kemudian
dicermati aspek-aspek dan karakteristik informasinya. Selanjutnya dipilah
menurut aspek-aspek dan diberikan interpretasi pada setiap aspek tersebut
sesuai dengan tujuan kajian yang telah ditetapkan.
E. SISTEMATIKA
Laporan ini disusun dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I, Pendahuluan, di dalamnya memuat tentang pendahuluan,
permasalahan, tujuan dan manfaat, metode yang digunakan dan
sistematika penulisan laporan.

5
Bab II, Masyarakat dan Kebudayaan dalam Konteks Pemberdayaan Sosial, di
dalamnya memuat konsep tentang adat dan hukum, masyarakat,
wilayah KAT, sistem, kebudayaan dan kewilayahan.
Bab III, Peraturan Daerah dan Hukum Adat, di dalamnya memuat peraturan
daerah dan hukum adat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Jambi, Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Banten, Sulawesi Selatan, Bali,
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Papua.
Bab IV, Dimensi Yuridis dan Empiris Masyarakat Hukum Adat, di dalamnya
memuat dimensi yuridis dan empiris masyarakat hukum adat.
Bab V, Penutup, di dalamnya memuat kesimpulan dan saran perlunya
Peraturan Daerah dalam Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat.

6
BAB II
MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN
DALAM KONTEKS PEMBERDAYAAN SOSIAL

A. ADAT DAN HUKUM

Apabila kita berbicara tentang adat “custom” berarti kita berbicara tentang
wujud gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai, norma-norma, aturan-
aturan serta hukum yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem
yaitu sistem budaya.
Sementara adat-istiadat (customs) merupakan kompleks konsep serta aturan
yang mantap dan terintegrasi kuat dalam sistem budaya dari suatu kebudayaan
yang menata tindakan manusia dalam kehidupan sosial kebudayaan itu.
Hukum (law) adalah sistem pengendalian kehidupan masyarakat yang
terdiri atas aturan adat, undang-undang, peraturan-peraturan, dan lain-lain
norma tingkahlaku yang dibuat, disahkan dan dilaksanakan oleh orang-orang
yang berwenang dalam masyarakat yang bersangkutan.
Hukum adat (customary law) adalah bagian dari hukum, ialah hukum tidak
tertulis dalam suatu masyarakat yang biasanya bermata pencaharian pertanian di
daerah pedesaan. Hukum adat terjadi dari keputusan-keputusan orang-orang
berkuasa dalam pengadilan.
A.W. Wijaya dalam tulisannya yang berjudul “Manusia, Nilai Tradisional dan
Lingkungan”, berperspektif bahwa hukum adat adalah norma lama yang masih
terdapat dimana-mana di daerah dan di dalam masyarakat yang merupakan
kekayaan yang tidak ternilai harganya. Norma lama/hukum adat akan dapat
diterima sepanjang ia akan dapat meningkatkan dirinya bagi kehidupan
masyarakat. Pengelolaan lingkungan hidup tentu saja dengan memperhatikan
norma lama/hukum adat yang berkembang di dalam masyarakat sebagai
kepribadian sesuai nilai-nilai tradisional yang ada. Kita masih tetap memegang
nilai tradisional, walaupun nilai-nilai baru sebagai akibat kemajuan dan kelancaran
komunikasi dan kemudahan informasi akan sangat banyak mempengaruhi nilai
tradisional. Pelestarian norma lama bangsa adalah mempertahankan nilai-nilai
seni budaya, nilai tradisional dengan mengembangkan perwujudan yang bersifat
dinamis, luwes dan selektif, serta menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang
selalu berubah dan berkembang.
Dengan demikian hukum akan selalu terkait dengan nilai, norma dan
keorganisasian tradisional maupun yang modern serta perlindungan yang bersifat
penataan keseluruhan.

B. MASYARAKAT

7
Masyarakat (society) adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan
kebudayaan. WJS Poerwadarminta (KUBI), PN. Balai pustaka 1982 halaman 636
menyebutkan:
“Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia (sehimpunan orang yang
hidup bersama dalam sesuatu tempat dengan ikatan-ikatan yang tertentu).
Masyarakat adalah sekelompok orang yang mempunyai identitas sendiri, yang
membedakan dengan kelompok lain dan hidup dan diam dalam wilayah atau
daerah tertentu secara tersendiri. Kelompok ini baik sempit maupun luas
mempunyai perasaan akan adanya persatuan di antara anggota kelompok dan
menganggap dirinya berbeda dengan kelompok lain. Mereka memiliki norma-
norma, ketentuan-ketentuan dan peraturan yang dipatuhi bersama sebagai suatu
ikatan. Perangkat dan pranata tersebut dijadikan pedoman untuk memenuhi
kebutuhan kelompok dalam arti luas. Jadi secara luas bahwa dalam masyarakat
terdapat semua bentuk pengorganisasian yang diperlukan untuk kelangsungan
hidupnya (masyarakat tersebut)”.
Lingkungan masyarakat adalah suatu bagian dari suatu lingkungan hidup
yang terdiri atas antar hubungan individu dengan kelompok dan pola-pola
organisasi serta segala aspek yang ada dalam masyarakat yang lebih luas dimana
lingkungan sosial tersebut merupakan bagian daripadanya. Lingkungan sosial
dimaksud dapat terwujud sebagai kesatuan-kesatuan sosial atau kelompok-
kelompok sosial, tetapi dapat juga terwujud sebagai situasi-situasi sosial yang
merupakan sebahagian dari dan berada dalam ruang lingkup suatu kesatuan
atau kelompok sosial.
Dalam setiap masyarakat, jumlah kelompok dan kesatuan sosial itu bukan
hanya satu, sehingga seorang warga masyarakat bisa termasuk dalam dan
menjadi bagian dari berbagai kelompok dan kesatuan sosial yang ada dalam
masyarakat tersebut. Bisa masuk dalam kesatuan kekerabatan, anggota organisasi
tempat tinggal, anggota organisasi di tempat kerja, anggota perkumpulan
tertentu, dsb. Dari itu macam-macam masyarakat bisa berdimensi sbb:
1. Masyarakat industri (Industrial society);
2. Masyarakat petani (Peasant society);
3. Masyarakat majemuk (Plural society);
4. Masyarakat tidak bertempat tinggal tetap (nomadic society);
5. Masyarakat produksi dan konsumsi sendiri (subsistens society);
6. Masyarakat modern (Modern society);
7. Masyarakat tradisional (traditional society)
8. Masyarakat konkrit (concrete society);
9. Masyarakat abstrak (abstract society);
10. Masyarakat feodal (feudal society);
11. Masyarakat irigasi (hydraulic society)
12. Masyarakat berburu dan peramu (extractive society)

8
Di dalam masyarakat terdapat struktur sosial yaitu pola hak dan
kewajiban para pelaku dalam suatu sistem interaksi yang terwujud dari
rangkaian-rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil dalam suatu jangka
waktu tertentu. Sesuai dengan penggolongan dalam kebudayaan yang
bersangkutan dan yang berlaku menurut masing-masing pranata dan situasi-
situasi sosial dimana interaksi sosial itu terwujud.

C. WILAYAH KAT

Wilayah KAT berdasarkan ciri-ciri geografisnya dapat dibedakan sebagai berikut :


1. Daerah pedalaman (hinterland) yaitu daerah yang jauh dari pantai dan
laut yaitu mereka yang hidup di paling hulu-hulu sungai di daerah landai atau
dekat kaki lereng gunung atau dipuncak-puncak gunung;
2. Daerah di paling hilir sungai dekat pantai yang jauh dari perjumpaan
desa masyarakat berciri komunikasi dan transaksi ekonomi pasar serta
pemukiman ramai dan padat;
3. Daerah pedalaman dengan areal luas yang pola kehidupannya berburu
dan meramu atau bercocoktanam maupun kecakapan lainnya yang jauh dari
perjumpaan desa masyarakat berciri komunikasi dan transaksi ekonomi pasar
serta pemukiman ramai dan padat;
4. Daerah pedalaman dengan areal luas yang pola kehidupannya berburu
dan meramu atau bercocoktanam maupun kecakapan lainnya yang tidak
terlalu jauh dari dan enggan memanfaatkan perjumpaan desa masyarakat
berciri komunikasi dan transaksi ekonomi pasar serta pemukiman ramai dan
padat terdekat;
5. Daerah yang masyarakatnya hidup di pulau-pulau terpencil yang jauh
dari jangkauan masyarakat kepulauan lainnya yang berciri komunikasi dan
transaksi ekonomi pasar serta pemukiman ramai dan padat;
D. SISTEM
Sistem (system) adalah rangkaian hal, kejadian, gejala, atau unsur yang
berkaitan satu dengan lain sehingga merupakan kesatuan organis. Sistem budaya
(cultural system) yaitu rangkaian gagasan, konsepsi, norma, adat-istiadat yang
menata tingkahlaku manusia dalam masyarakat dan yang merupakan wujud
ideologis kebudayaan.
Sistem nilai budaya (cultural value system) yaitu rangkaian gagasan dan
konsep manusia mengenai masalah-masalah dasar dalam hidup yang
dipandangnya paling penting dan bernilai sehingga dijadikan pedoman tingkah
laku manusia.
E. KEBUDAYAAN

Sementara itu kebudayaan (culture) adalah keseluruhan pengetahuan


manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan
serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya. Kebudayaan

9
terdiri atas unsur-unsur universal, yaitu: bahasa, teknologi, sistem ekonomi,
organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi dan kesenian dan tersistem dalam
tiga wujud ialah: ide, aktivitas, dan kebendaan yang masing-masing biasanya
disebut sistem budaya atau sistem adat istiadat, sistem sosial dan kebudayaan
kebendaan. Jika kebudayaan tersebut diskemakan ke dalam sistem kebudayaan
akan terlihat sebagai berikut:

AGAMA

ILMU PENGE
MATERI TAHUAN

KESENIAN

AKTIVITAS
KEBUDAYAAN
IDEA TEKNOLOGI

SOSIAL

BAHASA & EKONOMI


KOMUNIKASI

(ARTEFAK)

ORGANISASI
SOSIAL

Keseimbangan pengaruh diantara satu unsur dengan unsur lainnya akan


melahirkan kemantapan dengan ciri kemajuan secara proporsional yang layak.
Sebaliknya, jika salah satunya memberi unsur lebih dominan, maka unsur lainnya
akan dikendalikan oleh unsur dominan tersebut. Jika pada unsur dominan
tersebut tidak mempunyai perangkat yang lengkap dan elastis dalam merespon
kebutuhan unsur kebudayaan lainnya, saat itulah awal keguncangan kebudayaan
sekaligus kegoncangan kehidupan.

10
Apabila komponen-komponen ini dijadikan acuan setidaknya penuntun
untuk mencari data di lapangan yaitu komponen apa sajakah (Agama, Ilmu
Pengetahuan, Ekonomi, Tehnologi, Organisasi Sosial, Bahasa dan Komunukasi
serta Kesenian yang telah terpayungi oleh hukum dalam Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah di berbagai Kabupaten/Kota yang
terdapat di Indonesia.
1. Sistem Agama (religious system) adalah rangkaian jaringan umat
beragama dengan keyakinan mengenai alam gaib, aktivitas ritual dan
seremonialnya serta sarana yang berungsi melaksanakan komunikasi manusia
dengan kekuatan-kekuatan dalam alam gaib melalui kejiwa-emosian
keagamaan yang diintensikan. Komponennya meliputi:
a. Umat beragamanya;
b. Sistem keyakinannya
c. Sistem ritual dan seremonialnya
d. Sistem peralatan ritus dan seremonialnya
e. Sistem kejiwaan dan emosi keagamaannya

2. Sistem organisasi sosial (Social organization system) adalah semua


aspek aktivitas perilaku berpola yang telah membudaya dalam interaksi
manusia dalam suatu masyarakat yang diperankan melalui nilai, norma, serta
wadah struktur keorganisasian yang dibentuk. Macam-macamnya adalah :
a. Kesatuan-kesatuan yang hidup dalam masyarakat;
b. Penyebaran warga masyarakat dan pemukimannya;
c. Wilayah mata pencaharian anggota masyarakat;
d. Struktur dan Kepemimpinan dalam masyarakat
e. Aturan Hukum (termasuk kearifan lokal)
f. Sistem kekerabatan

3. Sistem tehnologi (Technological system) yaitu rangkaian konsep serta


aktivitas mengenai pengadaan, pemeliharaan dan penggunaan sarana-sarana
hidup manusia dalam kebudayaannya. Macam-macamnya meliputi:
a. Tehnologi/peralatan hidup pengolahan alam sebagai mata
pencaharian;
b. Tehnologi untuk pembuatan perumahan dan jalan
c. Tehnologi untuk alat dan kendaraan komunikasi
d. Tehnologi untuk kepentingan tempat dan peralatan ritual keagamaan;

4. Sistem pengetahuan (System of knowledge) yaitu semua hal yang


diketahui oleh manusia dalam suatu kebudayaan mengenai lingkungan alam
maupun sosialnya menurut asas-asas susunan tertentu. Macam-macamnya
meliputi:

a. Alam benda mencakup : Darat, udara dan laut;

11
b. Alam hewan dan tumbuhan: Tempat dan fungsinya;
c. Alam manusia : Manusia hidup dan manusia mati;
d. Alam gaib: Tuhan/Dewa/Makluk halus dan makhluk gaib lainnya yang
terkait;
e. Hubungan a sampai d : fungsi , hak dan kewajiban masing-masing
f. Lembaga kependidikan yang berkaitan dengan transformasi
pengetahuan

5. Sistem ekonomi (Economic system) yaitu seluruh rangkaian norma, adat


istiadat, aktivitas, mekanisme, dan sarananya yang berkaitan dengan usaha
memproduksi, menyimpan, dan mendistribusi barang kebutuhan hidup
manusia. Dengan variasinya adalah :
a. Ekonomi perburuan dan peramuan (huntering and gathering
economy);
b. Ekonomi peladangan berpindah (shifting cultivation; swidden
agriculture economy)
c. Ekonomi bercocok tanam menetap (work the soil permanent
economy)
d. Ekonomi Maritim
e. Ekonomi tukar komponen kebutuhan (barter economy)
f. Ekonomi Pasar/Uang (Market/Money economy)
g. Ekonomi Gambar (Picture economy)
h. Ekonomi Komunikasi (Communication economy)
i. Ekonomi Tehnologi Internet (Internet economy)

Nomor a) sampai d) merupakan ekonomi subsisten (tradisional) dan e)


sampai i) merupakan ekonomi pasar (modern).

6. Sistem bahasa dan komunikasi (Language and Communication system)


yaitu sistem perlambang yang secara arbitrer dibentuk atas unsur-unsur bunyi
ucapan manusia, dan yang digunakan sebagai sarana interaksi antar manusia.
Macam-macamnya meliputi:

a. bahasa daerah (local language);


b. bahasa isyarat (gesture language);
c. bahasa kanak-kanak (children language) ;
d. bahasa lisan (spoke language) ;
e. bahasa nasional (national language);
f. bahasa pasar (market language);
g. bahasa perantara (lingua franca);
h. bahasa remaja (teenagers language);
i. bahasa resmi (formal language)
j. bahasa tak resmi (inormal language);

12
k. bahasa santai (relax language);
l. bahasa sopan santun (polite language);
m. bahasa tertulis (written language);
n. bahasa ilmiah (scientific language);
o. bahasa upacara adat istiadat (customs language);

7. Sistem kesenian ( Art system) yaitu jaringrangkai keahlian dan


ketrampilan manusia untuk mengekspresikan dan menciptakan komponen-
komponen yang indah serta bernilai. Macam-macamnya meliputi:
a. seni anyam (basketry);
b. seni bangunan ( architecture);
c. seni arca (sculpture);
d. seni batik (batic art);
e. seni drama/sandiwara (drama);
f. seni ikat (ikat technique);
g. seni instrumental (instrumental music);
h. seni kesusasteraan (literature);
i. seni karawitan;
j. seni lukis (painting);
k. seni menggambar (drawing);
l. seni merias (make-up art);
m. seni menghias (decorative art);
n. seni mozaik (mozaic);
o. seni pahat (relief);
p. seni patung (sculpture);
q. seni puisi/pantun (poetry);
r. seni prosa (prose);
s. seni tari (dance);
t. seni tenun (weaving);
u. seni ukir ( engraving);
v. seni suara (voice/sing art);

F. Kewilayahan

Adapun unsur wilayah meliputi: Batas antar satu wilayah dengan lainnya;
pembahagian wilayah bagi peruntukan : pemukiman, lapangan mata
pencaharian/tanah ulayat, fasilitas umum (Sekolah, rumah sakit, kantor desa,
tempat kesenian masyarakat, rekreasi, olah raga, cagar budaya/lokasi lindung, dll).
Dengan demikian kewilayahan meliputi tiga lingkungan yang saling terkait
sebagai berikut :

13
a. Lingkungan alam;
b. Lingkungan kebudayaan;
c. Lingkungan sosial
d. Lingkungan ekonomi

14
BAB III
PERATURAN DAERAH DAN HUKUM ADAT

Pada bab III dipaparkan Hukum Tertulis yang bersumber dari Peraturan Daearah
(Perda) dan Hukum Tidak Tertulis yang bersumber dari hukum adat di beberapa
provinsi yang menjadi lokasi kajian. Pemaparan hasil kajian dilakukan per provinsi,
sehingga diperoleh informasi yang lengkap pada masing-masing provinsi. Hal ini
sekaligus akan menggambarkan apresiasi dan komitmen daerah dalam
pemberdayaan masyarakat hukum adat/masyarakat adat/Komunitas Adat Terpencil
sebagai bagian dari pembangunan manusia.
Pada pemaparan hasil kajian di bab III ini digunakan istilah masyarakat hukum
adat yang juga menunjuk pada masyarakat hukum adat maupun Komunitas Adat
Terpencil. Penggunaan istilah masyarakat hukum adat semata-mata untuk
kepraktisan pemaparan hasil kajian dalam laporan ini.

A. PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM


1. Kewilayahan
Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
yang secara khusus mengatur kewilayahan Masyarakat hukum adat sampai
saat ini belum ada. Namun demikian, secara informal pemerintah provinsi
maupun kabupaten memberikan pengakuan terhadap wilayah dimana
Masyarakat hukum adat mengatur pemerintahannya. Selain itu Pemerintah
Daerah juga mengakui adanya wilayah yang dikuasai secara kolektif oleh
Masyarakat hukum adat yang dikenal dengan tanah ulayat.
2. Kebudayaan
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang dikenal dengan sebutan serambi
Makkah, telah menerapkan aturan-aturan hukum Islam bagi warga
masyarakatnya dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) Provinsi NAD tahun 2007 – 20012 pada butir 1
ditegaskan, bahwa ”.....lembaga keagamaan harus menjalankan kegiatannya
berdasarkan fungsi masing-msing dan tidak boleh ada tumpang tindih dalam
hal fungsi dan wewenang.”
Organisasi sosial dan perkumpulan sosial serta perkumpulan adat
berkembang dengan baik. Pada ayat 3 dari RPJM Provinsi NAD ditegaskan,
bahwa : ”.......lembaga adat harus menjalankan kegiatannya berdasarkan
fungsi masing-masing dan tidak boleh ada tumpang tindih dalam hal fungsi
dan wewenang”. Kemudian pada ayat 1 menegaskan, bahwa Pemerintah Aceh
akan memberikan perhatian lebih secara seksama dan mendukung upaya-
upaya untuk mengembangkan adat istiadat dan budaya Aceh.
Di dalam RPJM Provinsi NAD di bidang ekonomi pada butir 3)
ditegaskan, bahwa Pemerintah Aceh akan memberikan perhatian serius pada
pengembangan ekonomi kerakyatan untuk mencapai keadilan di bidang

15
ekonomi. Kemudian di bidang sumber daya alam pada butir 2) ditegaskan,
bahwa ”.... jika HPH hanya memberikan kepada pengusaha, maka di masa
mendatang, Pemerintah Aceh akan menciptakan sistem pengelolaan hutan
yang dikelola sendiri oleh rakyat secara lestari, berkesinambungan dan
bertanggung jawab untuk kepentingan rakyat Aceh sendiri”.
Kemudian berkenaan dengan komunikasi dan seni budaya, pada ayat 1
juga menegaskan, bahwa Pemerintah Aceh akan memberikan perhatian secara
seksama dan mendukung upaya-upaya untuk mengembangkan adat istiadat
dan budaya Aceh. Antara lain mendorong rakyat untuk menghidupkan
kembalai tata cara sopan santun ke-Aceh-an dalam keluarga, dan
menyelanggarakan secara reguler festival dan seni Aceh.
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum
a. Implementasi
Implementasi pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat dari
Pemerintah Daerah secara yuridis (Perda) belum ada. Pengakuan
ditemukan secara tertulis pada ayat 3 dari RPJM Provinsi NAD ditegaskan,
bahwa : ”.......lembaga adat harus menjalankan kegiatannya berdasarkan
fungsi masing-masing dan tidak boleh ada tumpang tindih dalam hal
fungsi dan wewenang”.
b. Kendala
Belum tersedianya Peraturan Daerah yang secara khusus dan tegas
mengatur eksistensi kelembagaan adat dengan segala hak-haknya.
4. Harapan
Tersedianya Peraturan Daerah (Perda) yang secara khusus dan tegas
mengatur kelembagaan Masyarakat hukum adat dengan segala hak-haknya,
sehingga tidak menimbulkan permasalahan dalam penguasaan tanah ulayat.

B. PROVINSI SUMATERA UTARA


1. Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Pengakuan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten se-Provinsi
Sumatera Utara terhadap Masyarakat hukum adat, yaitu adanya
pengakuan terhadap hak atas wilayah (lahan) secara kolektif bagi
Masyarakat hukum adat yang disebut dengan tanah ulayat dengan hak-
hak masyarakat untuk mengelolanya. Namun demikian pengakuan ini
belum secara tertulis dalam bentuk Peraturan Daerah atau sejenisnya,
sehingga pengakuan tersebut belum memiliki kekuatan yuridis.
b. Kebudayaan
Dalam upaya meningkatkan keberdayaan masyarakat, Gubernur
Sumatera Utara pada tahun 2007 mengeluarkan Peraturan Gubernur
Nomor 36 Tahun 2007 tentang Strategi Daerah dalam Percepatan
Pembangunan Daerah Tertinggal. Peraturan Gubernur tersebut kemudian
disusul dengan dikeluarkannya Peraturan Gubernur Nomor 37 tahun 2007

16
tentang Rencana Aksi Daerah dalam Percepatan Pembangunan Daerah
Tertinggal.
Sementara itu, persoalan tanah yang melibatkan masyarakat dengan
pemerintah terus terjadi. Pada tahun 2001 Kesultanan Deli dan Forum Peta
Umat mengajukan surat kepada Mendagri dan DPR RI yang intinya
mengklaim tanah-tanah perkebunan yang tebentang luas di Sumatera
Timur sebagian besar diusahakan di atas lahan hak ulayat masyarakat
Melayu. Sultan Deli mengklaim tanah eks-konsesi Kesultanan Deli yang
sekarang merupakan lahan perkebuan tembakau, kepala sawit dan tebu
(PTPN II) adalah tanah ulayat mereka.
Atas desakan berbagai pihak, Pemerintah Kabupaten Deli Serdang
menerbitkan dua Surat Keputusan Bupati Deli Serdang, yakni SK No. 112
Tahun 2000 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarkat Hukum Adat di Kabupaten Deli Serdang, dan SK Bupati Deli
Serdang No 615 tahun 2001 tentang Adat di Kabupaten Deli Serdang.
2. Hukum Tidak Tertulis
a. Kewilayahan
Masyarakat hukum adat secara empiris masih ada di Provinsi Sumatera
Utara. Mereka mengelola kelembagaan adat dengan hak-hak atas lahan
yang penguasaannya secara kolektif, yang disebut dengan tanah ulayat.
Sawah dan ladang pada umumnya tanah pribadi, sedangkan tanah ulayat
berupa hutan atau perbukitan. Namun demikian tanah ulayat tersebut
banyak yang dikuasi oleh pemerintah (BUMN – PTPN II), sehingga
seringkali menimbulkan permasalahan antara masyarakat dengan
pemerintah.
b. Kebudayaan
Kajian tentang adat dilakukan di Kabupaten Mandailing Natal.
Struktur kelembagaan adat di sini memiliki peranan yang sangat penting
dalam setiap pengambilan keputusan masyarakat. Di dalam kelembagaan
adat tersebut ada kepemimpinan adat (informal) yang lebih dominan
dibandingkan dengan kepemimpinan desa. Kepemimpinan adat ini dikenal
dengan Nini-Mama.
Kalau pemerintah desa melaksanakan tugas-tugas administrasi
pemerintahan, maka tugas dari kepemimpinan adat adalah mengelola
kegiatan yang berkaitan dengan adat seperti pada upacara perkawinan,
dan pemberian sanksi adat bagi warga masyarakat yang melanggar
norma-norma adat. Dalam praktiknya, kedua lembaga pemerintahan ini
cukup baik, dalam arti tidak pernah terjadi konflik kepentingan selama
menjalankan pemerintahan masing-masing.
Sistem kekerabatan menganut garis keturunan dari ibu atau
matrilineal. Artinya, pihak perempuan sebagai penentu dalam membentuk
hubungan kekerabatan. Namun demikian pihak laki-laki dapat juga
sebagai pencipta hubungan karena sebab perkawinan (afinity relationship).

17
Dalam sistem kekerabatan ini dikenal adanya istilah semendo, yaitu tempat
tinggal bagi orang yang sudah menikah di keluarga perempuan (pola
matrilokal). Implikasi dari semendo ini pada hak waris pada anak
perempuan.
Sistem pengetahuan diperoleh masyarakat secara turun temurun.
Misalnya, pengetahuan tentang penyembuhan penyakit atau obat-obatan
masih dilakukan secara tradisional dengan tanaman obat yang dikenal
penduduk. Jika penduduk sakit atau melahirkan, mereka meminta
pertolongan ke dukun yang mereka namakan Dotu.
3. Implementasi dan Kendala pengakuan Hukum
a. Implementasi
Eksistensi Masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Utara masih
mendapatkan pengakuan dari Pemerintah Daerah. Mereka diberikan hak
untuk mengatur pemerintahan adat dan mengelola lembaga adat lengkap
dengan struktur organisasi adat. Berbagai bentuk upacara adat masih
dipelihara dan memperoleh apresiasi dari Pemerintah Daerah dalam acara
pekan seni budaya daerah. Namun demikian pengakuan hukum terhadap
hak tradisional Masyarakat hukum adat belum diimpelemntasikan dengan
pemberian hak atas tanah (hak ulayat).
b. Kendala
Belum ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur kehidupan
Masyarakat hukum adat, termasuk mengatur tentang hak ulayat.

4. Harapan
Ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur kehidupan Masyarkat Adat,
termasuk mengatur tentang hak ulayat. Dengan adanya aturan yuridis ini,
maka hak-hak Masyarakat hukum adat akan dilindungi dari kepentingan
pihak-pihak luar.

C. PROVINSI RIAU
1. Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Peraturan Daerah yang mengatur kewilayahan belum ada. Oleh karena itu,
dalam menata masyarakat merujuk pada peraturan perundang-undangan
yang ada dengan tetap mengakomodasi wilayah-wilayah berdasarkan
tradisi masyarakat lokal yang sudah dikenal secara turun temurun sebagai
warisan leluhur mereka.
b. Kebudayaan
Komitmen Daerah Kabupaten Bengkalis dalam upaya pemberdayaan
Masyarakat hukum adat diwujudkan dengan terbitnya Peraturan Daerah
(Perda) Nomor 39 Tahun 2001 tentang Pemberdayaan, Pelestarian Adat
Istiadat Melayu dan Pengembangan Kebiasaan-Kebiasaan, Masyarakat
serta Lembaga Adat di Kabupaten Bengkalis. Perda ini dengan jelas

18
mengatur model dan strategi pemberdayaan masyarakat dan lembaga
adat agar anggota persekutuan hukum adat dapat mencapai taraf
kehidupan yang lebih sejahtera.
2. Hukum Tidak Tertulis
a. Kewilayahan
Tanah ulayat adalah lingkungan tanah yang dikuasai oleh suatu
kelompok orang-orang yang biasa disebut persekutuan hukum adat.
Sedangkan hak ulayat adalah hak persekutuan hukum adat yang
menguasai suatu lingkungan tanah termasuk lingkungan persediaan,
perluasan, untuk kepentingan hidup persekutuan beserta seluruh
warganya. Sebagai obyek hak ulayat adalah tanah, air, pantai-pantai,
tumbuh-tumbuhan (pohon-pohon), hewan liar dan sebagainya.
Tanah ulayat tidak mudah dipindah tangankan kepada pihak lain.
Kalaupun dipindah tangankan mestilah memenuhi ketentuan adat.
Persyaratan ini dibuat tidak lain adalah untuk menjaga kesinambungan
dari tanah ulayat yang ada dalam persekutuan hukum adat. Kehidupan
adat dan tanah ulayat merupakan bagian dari kehidupan masyarakat
dalam menjaga kelangsungan hidup masyarakat hukum adat. Karena
dengan tanah itu, masyarakat hukum adat dapat berusaha menghidupi
keluarganya. Kelanjutan hidup manusia tidak bisa berlanjut tanpa adanya
tanah tempat berusaha dan bertempat tinggal. Sehubungan dengan itu,
tanah ulayat merupakan harta benda yang perlu dipelihara kelestariannya
agar tetap memberi manfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat hukum
adat.
b. Kebudayaan
Agama yang dianut oleh Masyarakat hukum adat di Riau yaitu Islam,
Budha dan Kristen. Namun demikian sebagian masih memiliki kepercayaan
animisme, yaitu percaya terhadap kekuatan-kekuatan pada batu-batu
besar, pohon-pohon besar terutama berkaitan dengan penyelenggaraan
upaya adat. Agama dan kepercayaan tersebut merupakan warisan leluhur
secara turun temurun. Dalam pelaksanaan ritual agama sehari-hari,
pengaruh kebudayaan etnis Cina cukup dominan.
Persekutuan hukum adat dipimpin oleh seorang pemangku adat yang
dikenal dengan sebutan Penghulu Adat atau Datuk. Datuk sebagai
pimpinan persekutuan berdasarkan sistem matrilinial ini dikukuhkan
dengan pemberian gelar adat oleh anak kemenakan pada persekutuan
tersebut. Adapun jangka waktu jabatan sebagai Datuk tidak ditentukan
lamanya, tetapi bergantung pada persesuaian dengan anak
kemenakannya. Datuk ini sangat berpengaruh dan berperanan penting
dalam kehidupan persekutauan hukum adat maupun pengaturan sikap
dan anggota persekutuannya, terutama mengurus peruntukan dan
pengawasan tanah ulayat dalam masyarakat.

19
Hak ulayat merupakan hak bersama atas tanah seluruh anggota
persekutuan hukum adat. Oleh karena penguasaan tanah ini bersifat
kolekif, maka tidak mudah untuk dipindah tangankan kepada orang lain,
kecuali telah sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku. Secara langsung
hak ulayat ini mengatur sistem ekonomi masyarakat, terutama dalam
pemanfaatan tanah sebagai sumber nafkah (ekonomi).
Penguasa tanah ulayat oleh penghulu adat tetap terjamin, dimana
anggota masyarakat hukum tersebut diberi hak dan kewajiban untuk
memelihara tanah ulayat. Ketentuan yng harus dipenuhi oleh anggota
masyarakat yang memanfaatkan tanah ulayat adalah sebagai berikut :
a. Apabila tanah ulayat dijadikan kebun, maka di dalamnya harus
ada tanaman.
b. Apabila dijadikan sawah ladang haruslah mempunyai pematang.
Masyarakat hukum adat di Kabupaten Bengkalis memiliki sumber
nafkah utama dari mengolahan ladang dan kebun. Mereka pada umumnya
sudah mengenal tanaman industri seperti kelapa sawit dan karet. Pada
kegiatan perladangan, mereka menanam padi darat yang dipanen setelah
4 bulan kemudian. Pengolahan dan penyiapan ladang cukup sederhana,
yaitu penebasan ladang, pembakaran, dan penugalan atau penanaman biji
padi. Kegiatan berladang tersebut melibatkan semua anggota keluarga
batih, yaitu ayah, ibu dan anak-anaknya.
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum
a. Implementasi
1). Meskipun sudah ada hukum tertulis yang mengatur Pemberdayaan,
Pelestarian Adat Istiadat Melayu dan Pengembangan Kebiasaan-
Kebiasaan, Masyarakat serta Lembaga Adat, yaitu Peraturan Daerah
(Perda) Nomor 39 Tahun 2001 (Khusus Kabupaten Bengkalis), namun
dalam praktiknya Peraturan Daerah tersebut belum efektif. Informasi
yang dihimpun terkait dengan implementasi hukum tertulis (Perda)
tersebut adalah Masyarakat hukum adat sering dijadikan obyek untuk
mendapatkan dukungan tertentu, tetapi belum dilihat sebagai
komponen yang perlu dikembangkan menjadi kekuatan yang lebih
besar.
2). Sementara itu implementasi hukum adat cenderung melemah,
disebabkan semakin kuatnya pengaruh dari luar. Contoh kasus, tanah
ulayat sebagai milik bersama masyarakat hukum adat mengalami
peralihan hak guna kepada investor, sehingga mengurangi aset
masyarakat hukum adat.
b. Kendala
Berbagai kondisi yang dirasakan sebagai kendala dalam
mengimplementasikan pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum
adat, yaitu :

20
1). Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan
yang menganut paham domain Negara, dengan mengklaim semua
hutan yang tidak dapat dibuktikan sebagai hutan milik, adalah hutan
Negara. Padahal, hak ulayat bukan hak milik, akibatnya hak ulayat atas
tanah menjadi obyek sengketa dengan Departemen Kehutanan.
Sumber sengketa bertambah karena peta hutan yang dibuat oleh
Departemen Kehutanan tidak berdasarkan survey, sehingga kebun
rakyat dipetakan sebagai hutan.
2). Hak ulayat dipersiapkan untuk dimusnahkan dengan cara
pembebasan dengan pemberian ganti rugi apabila tanah tersebut
digunakan untuk kepentingan umum, sebagaimana diatur di dalam
Keputusan Presiden Nomor 55 tahun1993.
4. Harapan
Dalam rangka mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat hukum adat,
terutama pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat, maka
diperlukan :
1). Adanya pengakuan dalam bentuk Peraturan Daerah yang
melindungi hak-hak masyarakat hukum adat sebagaimana perlindungan
terhadap warga masyarakat pada umumnya.
2). Pola pemberdayaan masyarakat hukum adat yang sistematis dan
terukur.
3). Ada kajian tentang eksistensi tanah ulayat, sehingga akan dapat
diketahui dengan jelas status tanah ulayat yang sebenarnya dari
Masyarakat hukum adat. Hal ini akan memudahkan bagi pihak-pihak
terkait untuk mempergunakan hak-hak atas tanah tersebut dalam rangka
melaksanakan pembangunan demi kesejahteraan Masyarakat hukum
adat.
4). Agar Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) dapat lebih gencar
memberikan pemahaman kepada Masyarakat hukum adat tentang tanah
Ulayat atau tanah adat.
D. PROVINSI SUMATERA BARAT
1. Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Wilayah sebagai tempat hidup kesatuan Masyarakat hukum adat di
Provinsi Sumatera Barat mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah
Daerah. Wujud dari besarnya perhatian Pemerintah Daerah ini terbitnya
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Tahun 2008 tentang
Pemanfaatan Tanah Ulayat. Bai I Pasal 1 dari Perda ini menegaskan
pengertian umum, yaitu :
1). Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai
oleh masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat.

21
2). Tanah Ulayat adalah adalah bidang tanah yang di atas dan di dalamnya
terdapat hak ulayat dai suatu masyarakat hukum adat di Provinsi
Sumatera Barat.
3). Tanah Ulayat Nagari adalah Tanah Ulayat yang merupakan kekayaan
nagari, yang pengelolaannya berada pada Kerapatan Adat Nagari
(KAN) dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan
masyarakat, sedangkan pengaturan dan pemanfaatannya dilakukan
oleh Pemerintah Nagari.
4). Tanah Ulayat Suku adalah Tanah Ulayat yang merupakan kepunyaan
Suku yang penguasaannya berada pada Penghulu Suku dan
dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.
5). Tanah Ulayat Kaum adalah Tanah Ulayat yang merupakan kepunyaan
masing-masing kaum dalam suatu suku yang pengaturannya berada
pada Mamak Kepala Waris.
6). Penyerahan Hak Ulayat adalah suatu kegiatan yang melepaskan
hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang
dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar
musyawarah dan saling menguntungkan.
7). Gunggam Bauntuak adalah peruntukan tanah yang diperoleh anggota
kaum untuk memakai dan menikmati hasil atas bagian tanah ulayat
dalam pengawasan Mamak Kepala Waris.
b. Kebudayaan
Peraturan Daerah Tahun 2008 tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat
mengatur eksistensi organisasi pemerintahan kesatuan masyarakat hukum
adat dengan struktur yang ada di dalamnya. Beberapa pengertian yang
berkaitan dengan struktur pemerintahan adat, yaitu :
a). Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam Provinsi
Sumatera Barat yang terdiri dari himpunan beberapa suku yang
mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri.
b). Penghulu adalah orang yang dituakan dan didahulukan selangkah oleh
kaumnya untuk memimpin kaumnya.
c). Penghulu Suku adalah pemegang sako dan pusako yang diwarisi secara
terus menerus menurut sistem kekerabatan matrilineal yang berfungsi
sebagai penguasa ulayat menurut ”baris baladeh” dalam satu kesatuan
ulayat Nagari.
d). Mamak Kepala Waris adalah laki-laki tertua menurut adat dan atau
yang dituakan dalam satu kaum.
e). Hukum Adat adalah aturan/norma tidak tertulis yang hidup di dalam
masyarakat hukum adat Minangkabau untuk mengatur kehidupannya,
mengikat dan dipertahankan dalam kehidupan masyarakat dengan
sanksi yang jelas.
f). Badan Musyawarah Adat dan Syarak Nagari atau nama lain adalah
Lembaga Permusyawaratan/PemufakatanAdat dan Syarak yang

22
berfungsi memberikan pertimbangan kepada Pemerintah Nagari
supaya tetap konsisten menjaga dan memelihara penerapan Adat
Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah di Nagari.
g). Kerapatan Adat Nagari atau nama lain yang sejenis adalah Lembaga
Perwakilan Permusyawaratan dan Pemufakatan Adat tertinggi Nagari
yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun sepanjang adat di
tengah-tengah masyarakat Nagari Sumatera Barat.
Kemudian diterbitkannya Keputusan Gubernur Provinsi Sumatera
Barat Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Nagari.
Diterbitkannya Keputusan Gubernur ini merupakan komitmen dan
konsistensi Pemerintah Daerah dalam memelihara dan melestarikan
kelembagaan dan perangkat adat di Provinsi Sumatera Barat.

2. Hukum Tidak Tertulis


a. Kewilayahan
Konsep Nagari adalah konsep pemerintahan desa adat di Sumatera
Barat, yang di dalamnya terdiri dari himpunan berbagai suku yang
mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri. Jadi setiap Nagari
sudah memiliki batas-batas wilayah pemerintahan adat yang jelas dan
tegas berdasarkan kesepakatan para ketua adat secara turun temurun
hingga generasi sekarang.
b. Kebudayaan
Pada umumnya masyarakat Minangkau adalah pemeluk agama Islam
yang fanatik. Proses transformasi ajaran Islam berjalan secara turun-
temurun melalui tempat-tempat ibadah di kampung-kampung yang
disebut dengan surau.
Jauh sebelum terbitnya Peraturan Daerah tentang Pemanfaatan
Tanah Ulayat, secara tidak tertulis sudah ada pengakuan dari pemerintah
mengenai lembaga adat, hukum adat dan hak atas tanah ulayat kepada
kesatuan masyarakat hukum adat di Sumatera Barat. Konsep Nagari,
Penghulu, Penghulu Suku, Mamak Kepala Waris, dan Ninik Mamak sudah
menjadi ciri khas di dalam kebudayan masyarakat Sumatera Barat yang
dikenal luas secara nasional.
Sistem kekerabatan yang berlaku menganut pola matrilineal, artinya
bahwa silsilah keturunan berdasarkan garis ibu. Sebagai contoh, seorang
laki-laki (paman), ia bertanggung jawab untuk membantu anak dari
saudara perempuanya sekandung (kemenakan). Hal ini sudah menjadi adat
istiadat pada masyarakat di Minangkabau yang berlangsung secara turun
temurun, dan akan terus terpelihara melalui kelembagaan adat yang
disebut Nagari.
Masyarakat Minangkabau telah mengadaptasi teknologi sesuai
jamannya, mulai teknologi sederhana sampai teknologi modern. Adat

23
istiadat Minangkabau memberikan kesempatan kepada warganya agar
tidak hanya memanfaatkan, tetapi juga mampu mengembangkan
teknologi untuk meningkatkan taraf kehidupannya ke arah yang lebih baik.
Masyarakat hukum adat memperoleh pengetahuan secara turun
temurun dari para leluhurnya. Biasanya pengetahuan yang dipelajari
berkaitan dengan pola hidup dan sistem mata pencarian. Pada masyarakat
hukum adat yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan di laut, maka
pengetahuan lokal masyarakat lebih banyak berhubungan dengan
pengetahuan akan kondisi cuaca dan iklim, astronomi, teknik penangkapan
dan pengolahan ikan serta jenis dan habitat ikan. Mereka mampu
mengenal kalender musin dengan baik, meskipun demikian tidak semua
aktivitas mereka bergantung pada kalender.
Masyarakat mengenal musim Gabua, Ambu-ambu dan Udang karena
pada musim-musin tersebut didominasi jenis ikan-ikan tersebut. Selain itu
mengenal juga musim Anggau/ombak gadang ombak besar atau musim
kemarau untuk menjelaskan kondisi hasil tangkapan ikan tidak ada sama
sekali. Kemudian dikenal musim Payang atau Pukek untuk menjelaskan
kondisi dimana hasil tangkapan ikan melimpah.
Adanya peruntukan tanah yang diperoleh anggota kaum untuk
memakai dan menikmati hasil atas bagian tanah ulayat dalam pengawasan
Mamak Kepala Waris, yang dikenal dengan Gunggam Bauntuak. Hal ini
sebagai bentuk kerukunan dan kebersamaan untuk menghilangkan
kesenjangan sosial antara warga dalam satu kaum maupun dalam satu
Nagari. Sistem penguasaan tanah secara kolektif pada tanah ulayat, akan
membangun sistem ekonomi kerakyatan yang seadil-adilnya.
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum
a. Implementasi
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupen se Provinsi Sumatera Barat
sampai saat ini memberikan pengakuan yang masih cukup besar. Wujud
besarnya pengakuan dari Pemerintah Daerah ini dengan terbitkan
Keputuan Gubernur Provinsi Sumatera Barat Nomor 36 Tahun 2003
tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Nagari.

b. Kendala
Belum semua yang berkaitan dengan kelembagaan adat dan hak-hak
Masyarakat hukum adat diatur oleh Pemerintah Daerah.
4. Harapan
Harapan atas pengakun hukum terhadap Masyarakat hukum adat dan
hak-hak mereka adalah :
1. Perlu lebih dioptimalkan implementasikan hukum adat, dan kearifan
lokal tetap dijunjung tinggi dan dihargai oleh Pemerintah Daerah.

24
2. Partisipasi masyarakat perlu diperkuat lagi, sehingga lebih peduli
terhadap pembangunan yang berbasis adat dan kearifan lokal.

E. PROVINSI JAMBI
1. Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Secara yuridis belum ada Peraturan Daerah (Perda) Provinsi maupun
Kabupaten se Provinsi Jambi yang secara khusus mengatur hak-hak
Masyarakat hukum adat. Meskipun demikian secara informal Pemerintah
Daerah tetap masih mengakui eksistensi Masyarakat hukum adat dengan
hak-hak mereka atas tanah, lembaga dan hukum adat dalam
menyelesaikan permasalahan antara warga masyarakat. Masyarakat hukum
adat menguasai wilayah adat yang kepemilikannya secara kolektif dan
dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama.
b. Kebudayaan
Pada tahun 1979 keluar Undang-Undang Nomor 5 yang menyatakan
Kepala Marga sebagai Kepala Adat dihapus dan hanya dikenal Kepala
Desa. Kepala Desa adalah petugas administratif di bawah Camat dan
dengan sendirinya Kepala Adat dihapus secara organisasi. Tetapi secara
kelompok dan geografis masih ada dengan masyarakat hukum adatnya.
Kemudian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tersebut, pada
tahun 1980 ditindaklajuti dengan Keputusan Gubernur Jambi yang
menghapus Marga diganti dengan Desa dan Kelurahan dalam Provinsi
Jambi. Akibat dengan adanya penghapusan tersebut timbul berbagai
masalah di desa, yaitu :
a). Soal pertanahan yang tidak kunjung selesai dimana masyarakat secara
historis dan belum hilang dari ingatan mereka, bahwa mereka itu
memiliki hak ulayatnya (sementara itu badan-badan tertentu tidak
mengakui adanya itu).
b). Berbagai krisis terjadi di Desa karena hukum adat tidak diindahkan lagi.
2. Hukum Tidak Tertulis
a. Kewilayahan
Dalam masyarakat hukum adat Jambi, tanah memiliki kedudukan yang
sangat penting. Artinya, hal ini karena tanah adalah satu-satunya benda
kekayaan yang langgeng sifatnya bagi masyarakat hukum adat. Tempat
dimana mereka tinggal, tempat yang memberikan mereka kehidupan.
Tempat warga masyarakat hukum adat memakamkan keluarganya dan
tempat nenek moyang mereka mulai merintis kehidupan.
Masyarakat hukum adat secara turun temurun mengusai tanah ulayat,
yakni sejak zaman Kerajaan Jambi dan tumbuhnya bersamaan dengan
dusun-dusun dengan batas-batasnya, yang berarti tetap mempertahankan
dusun yang punya hak ulayat. Hak ulayat ini dahulu dikuasai oleh

25
Bathin/Pasirah sebagai penguasa dan ketua adat/komunal. Apabila ingin
mengerjakan dan memiliki tanah ulayat, maka harus seijin Pasirah.
Namun demikian dengan keluarnya Keputusan Gubernur Tahun 1980
yang mengganti Marga menjadi Desa dan Kelurahan, menyebabkan
penguasaan masyarakat hukum adat akan tanah ulayat akan terancam.
Kuncinya pada Kepala Desa/Pesirah yang sekaligus sebagai seseorang
yang bertanggung jawab atas keberadan tanah ulayat tersebut.
b. Kebudayaan
Masyarakat hukum adat mempunyai kelembagaan adat dan berbagai
aturan (hukum adat) di dalamnya yang mengatur perilaku masyarakat.
Kemudian masyarakat mendiami sebuah dusun yang mempunyai batas-
batas wilayah, dan berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri. Disini tergambar ada aturannya (adat), ada wilayah (batas), ada
penguasaannya (Kepala Adat).
Meskipun telah terjadi perubahan status Marga menjadi Desa atau
Kelurahan, tetapi kelembagaan adat tersebut masih menjalankan
peranannya, terutama berkaitan dengan hal-hal berkenaan dengan adat
istiadat dan upacara adat. Pengetahuan lokal tentang flora dan fauna,
obat-obatan dan hal-hal lain yang berkenaan dengan kehidupan manusia
diperoleh secara turun temurun dari leluhurnya. Selain itu peranan
kelembagaan adat ini memelihara seni budaya tradisional.
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum Terhadap KAT
a. Implementasi
Akibat penghapusan Marga menjadi Desa dan Kelurahan timbul
berbagai masalah, yaitu permasalahan pertanahan yang tidak pernah
selesai, karena konsep Desa dan Kelurahan telah menghilangkan
kepemilikan hak ulayat mereka. Kemudian, berbagai krisis terjadi di Desa
karena hukum adat tidak diindahkan lagi.
b. Kendala
Belum ada Peraturan Daerah (Perda) yang secara khusus mengatur
kelembagaan adat. Sebaliknya, keluarnya Keputusan Gubernur tahun 1980
yang menghapus desa adat (marga) menjadi desa dan kelurahan akan
mengancam eksistensi kelembagaan adat, hak ulayat dan hak-hak
Masyarakat hukum adat lainnya.
4. Harapan
Kebijakan Gubernur yang mengganti Marga dengan Desa dan Kelurahan
perlu dikaji kembali, sehingga eksistensi Desa Adat/Kelembagaan Adat tetap
ada dengan penguasaan atas tanah ulayat. Selain itu diharapkan
permasalahan pertanahan tidak terjadi lagi dan hukum adat dihargai,
sehingga tidak terjadi krisis di Desa.

26
F. PROVINSI KALIMANTAN BARAT
1. Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Tidak tersedia dokumen yang berupa hukum tertulis yang menegaskan
aspek kewilayahan masyarakat hukum adat. Namun demikian, secara
implisit termasuk di dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur Provinsi
Kalimantan Barat tentang Pengangkatan Tumenggung sebagai Kepala
Desa Adat. Bahwa Di dalam SK tersebut ditegaskan, bahwa Tumenggung
mengepalai warga dalam satuan wilayah desa adat; dan masyarakat
hukum adat tinggal dalam suatu desa adat. Sebagai sebuah desa, Desa
Adat tentu memiliki batas-batas wilayah dengan desa yang lain.
b. Kebudayaan
Setiap Desa Adat dikepalai oleh Tumenggung (kasus Kabupaten
Sekadau). Pengangkatan Tumenggung sebagai Kepala Adat berdasarkan
Surat Keputusan Gubernur Provinsi Kalimantan Barat. Tugas Tumenggung
sebagai kepala desa adat yang menjalankan pemerintahan desa adat
sesuai dengan adat istiadat yang telah berlaku secara turun temurun.
2. Hukum Tidak Tertulis
a. Kewilayahan
Sebagai sebuah desa, Desa Adat tentu memiliki batas-batas wilayah desa,
dimana batas-batas desa yang berupa sungai, pohon besar, batu-batuan
telah disepakati secara turun temurun.
b. Kebudayaan
Kajian terhadap hukum tidak tertulis dilakukan di Kabupaten Sekadau.
Agama yang dianut oleh sebagian besar warga masyarakat Sekadau
adalah Islam dan sebagian kecil warga Masyarakat hukum adat masih
menganut animisme (kasus Kabupaten Sekadau). Meskipun antara Islam
dan animisme memiliki ajaran yang berbeda, namun warga masyarakat
memiliki toleransi yang tinggi dalam kehidupan sosial antar umat
beragama/kepercayaan.
Desa Adat dipimpin oleh Kepala Adat (Tumenggung), yang tugasnya
adalah menyelesaikan perkara dalam tingkat desa dengan menggunakan
aturan adat istiadat sebelum dilanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi,
apabila tidak dapat diselesaikan di desa. Adat istiadat ini menyangkut
semua suku, terutama Suku Melayu dan Dayak yang merupakan suku asal
muasal dari kerajaan Sekadau.
Berbagai jenis adat di Kabupaten Sekadau, yaitu :
1). Adat yang berkaitan dengan siklus kehidupan manusia, yaitu
pada saat melahirkan bayi (adat selamat umur), adat babuang (agar
keluarga yang akan mengadakan perkawinan, sunatan dan hajatan lain
apabila sakit lekas sembuh), adat perkawinan, dan adat kematian.

27
2). Adat Ngudas/Rimah, yaitu adat pembukaan tanah/hutan oleh
pemerintah maupun dunia usaha, sebagai bukti telah memperoleh ijin
penggunaan tanah tersebut dari pemuka Kampung.
3). Adat Pati Nyawa, yaitu adat yang dilakukan oleh pihak yang
dianggap bertanggung jawab apabila ada warga yang meninggal tidak
wajar (terjatuh, kena blantik dll).
4). Adat Tolak Bala, yaitu acara adat yang dilakukan apabila di
dalam kampung terjangkit penyakit atau menghindari terjangkitnya
suatu penyakit tertentu.
5). Adat yang dijatuhkan kepada warga masyarakat yang melanggar
norma-norma adat, yaitu :
a). Adat Pasupan, yaitu sanksi kepada warga yang mengambil
tanah/menanami tanpa ijin pengurus kampung, memfitnah,
mencaci maki, menghina, dan berbicara kurang sopan.
b). Adat Terangkat, yaitu sanksi kepada laki-laki beristreri yang
serong dengan gadis atau perempuan bersuami serong dengan
jejaka.
c). Adat Beramau, yaitu sanki kepada laki-laki masih beristeri
dengan perempuan masih bersuami.
d). Adat Bujang/Dara Berzinah/Bunting, yaitu sanksi kepada perjaka
dan gadis yang melakukan perzinahan. Adat yang dikenakan adalah
Adat- Kampang. Apabila keduanya menolak menikah, maka
dikenakan Adat Beramu.
e). Adat Mengambul Milik Orang Lain/Mencuri, yaitu sanksi bagi
seseorang yang mencuri ayam, babi, sapi dan barang lainnya
dengan denda dan mengembalikan barang curian. Tidak sanggup
mengembalikan barang, menggantinya senilai barang yang dicuri
tersebut.
f). Adat Pemalik, yaitu sanksi yang dijatuhkan apabila seseorang
berzinah padahal masih mukhrim, merusak/membakar tempat
keramat, membakar/merusak/mengotori tempat pemujaan/
ibadah/pemalik, merusak/mengambil benda-benda peninggalan
nenek moyang, merusak/membakar/menanami hutan adat tanpa
seijin pemuka Kampung.
g). Adat Merajalela/Huru Hara dalam Kampung, yaitu sanksi yang
dijatuhkan kepada seseorang/kelompok apabila seorang tersebut
bersenjata/tidak, kemudian menyerang, merusak, membakar
kampung lain atau berdemonstrasi dalam kampung sendiri.
h). Adat Pemamar Darah, yaitu sanksi yang dijatuhkan kepada
seseorang yang membuat orang lain merasa terancam atau takut
karena tindakannya.

28
i). Adat Hukum Selam, yaitu sanksi dijatuhkan kepada dua orang
yang bersengketa dan masing-masing menunjukkan bukti-bukti
dan saksi yang membenarkan.
Pengetahuan dalam arti luas salah satu sumbernya adalah adat
istiadat yang telah terlembaga pada Masyarakat hukum adat. Terdapat 13
adat istiadat, baik yang berifat upacara adat atau sanksi adat atas
pelanggaran terhadap norma-norma adat, yang kesemuanya itu menjadi
acuan sikap dan perilaku Masyarakat hukum adat. Kemudian terkait
dengan pendidikan, setiap warga Masyarakat hukum adat tidak ada
larangan secara adat untuk menempuh pendidikan formal.
Kegiatan ekonomi utama Masyarakat hukum adat adalah mengolah
sumber daya alam (bertani, berladang). Di dalam pemanfatan lahan (hutan)
ada aturan-aturan yang harus ditaati oleh warga Masyarakat hukum adat,
sehingga pemanfaatan lahan (hutan) tersebut tidak merugikan warga yang
lain. Apabila ada warga Masyarakat hukum adat yang melanggar aturan
adat dalam pemanfaatan lahan (hutan), maka akan dikenakan sanksi adat
Sebagai contoh, Adat Pemalik, yaitu sanksi yang dijatuhkan apabila
seseorang menanami hutan adat tanpa seijin pemuka Kampung. Kemudian
dikenal pula Adat Ngudas/Rimah, yaitu adat pembukaan tanah/hutan oleh
pemerintah maupun dunia usaha, sebagai bukti telah memperoleh ijin
penggunaan tanah tersebut dari pemuka Kampung.
Masyarakat hukum adat menggunakan bahasa daerah setempat
(baca : Sekadau) ketika berkomunikasi dengan sesama warga Masyarakat
hukum adat. Dalam berkomuniaksi ini Masyarakat hukum adat diharuskan
memperhatikan norma-norma sosial yang berlaku secara turun temurun,
dan apabila norma-norma tersebut tidak diindahkan akan mendapatkan
sanksi adat. Sebagai contoh Adat Pasupan, yaitu sanksi kepada warga
yang mengambil tanah/menanami tanpa ijin pengurus kampung,
memfitnah, mencaci maki, menghina, dan berbicara kurang sopan.
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum
a. Implementasi
Secara yuridis, sampai saat ini belum ada pengakuan hukum terhadap
Masyarakat hukum adat dari Pemerintah Daerah. Namun secara informal,
Pemerintah daerah tetap masih mengakui keberadaan Masyarakat hukum
adat, Lembaga Adat dengan struktur organisasinya dan hukum adat yang
berlaku dalam menyelesaikan permasalahan pada Masyarakat hukum adat
tersebut.
b. Kendala
Belum ada aturan hukum (Perda) yang mengatur pola hubungan antara
masyarakat dan pemerintah dengan warga Masyarakat hukum adat.

4. Harapan

29
Diperlukan aturan hukum (Perda) yang jelas mengatur pemberdayaan
Masyarakat hukum adat. Dalam peraturan tersebut tetap terjaga eksistensi
Masyarakat hukum adat.
G. PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
1. Hukum Tertulis
Belum ada Peraturan Daerah provinsi yang mengatur masyarakat
hukum adat. Sedangkan pada tingkat kabupaten (kasus Kabupaten Pasir),
pada tanggal 8 Agustus tahun 200 diundangkan Peraturan Daerah (Perda)
tentang Pemberdayaan, pelestarian, Perlindungan dan Pengembangan Adat
istiadat dan Lembaga Adat. Perda ini dimaksudkan untuk melaksanakan
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 64/1999 tentang Pedoman Umum
Pengaturan Mengenai Desa. Oleh karenanya, materi yang diatur dalam Perda
Pasir No. 3/2000 tidak jauh dari materi yang diatur di dalam Kepmendagri No.
61/1999 tersebut.
Pada pasal 13 ayat 1, mengatur mengenai adanya wilayah adat yang
diakui oleh masyarakat adat. Meskipun Perda ini tidak memuat definisi
mengenai masyarakat adat, namun pasal di atas mewakili ketentuan bahwa
Pemda Pasir mengakui keberadaan masyarakat adat. Semestinya pula,
bersamaan dengan pengakuan wilayah adat itu, hak-hak masyarakat adat atas
sumebr daya alam juga mendapat pengakuan.
Persoalan muncul ketika, pembahasan Raperda Pasir tentang Hak
Ulayat. Dimana pada Raperda tersebut tidak mengakui adanya masyarakat
hukum adat dan hak ulayat. Karena ada protes dari Lembaga Adat Pasir (LAP),
maka proses penyusunan Perda tersebut dihentikan oleh Pansus DPRD.

2. Hukum Tidak Tertulis


Kajian terhadap hukum tidak tertulis dilakukan di Kabupaten Pasir. oleh
Sebagian besar warga masyarakat Pasir menganut agama Islam, dan sebagian
kecil warga masyarakat hukum adat masih menganut animisme. Meskipun
antara Islam dan animisme memiliki ajaran yang berbeda, namun warga
masyarakat memiliki toleransi yang tinggi dalam kehidupan sosial antar umat
beragama/kepercayaan.
Di Kabupaten Pasir terdapat lembaga adat yang secara kultural
memiliki wilayah adat dengan hak ulayatnya dan anggota masyarakat adat,
meskipun secara hukum (lihat Perda No. 3/200) belum memperoleh
pengakuan secara tegas. Lembaga adat tersebut merupakan institusi lokal
yang peranannya memelihara nilai, norma dan adat istiadat dalam mengatur
dan mengendalikan perilaku masyarakat hukum adat dalam kehidupan sehari-
hari. Beberapa norma-nora yang diatur oleh Lembaga Adat antara lain tata
cara perkawinan, kerumahtanggan, pengelolaan hutan dan pergaulan hidup
sehari-hari. Bagi warga yang melanggara norma dan adat, maka dijatuhkan
anksi sesuai dengan ketentuan adat yang sudah berlaku secara turun temurun.

30
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan
a. Implementasi
Pengakuan secara tekstual tersebut pada kenyataannya tidak
diimpelementasikan dengan baik. Indikasinya, yaitu (1) Pemda pasir tidak
memiliki program untuk pemastian batas-batas wilayah adat, (2)
Keberadaan Lembaga Adat Pasir (LAP) kurang memperoleh pengakuan
Pemda karena dianggap kurang mengakar kuat dan memiliki yuridiksi
yang jelas, dan (3) Pemda Pasir tidak memperhitungkan keberadaan
masyarakat adat beserta hak-hak atas sumber daya alam sebagaimana
tercermin di dalam Perda No. 13 tahun 2002 tentang Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu maupun pada Perda No 5 tahun
2004.tentang Izin Usaha Perkebunan di Kabupaten Pasir.
Pengakuan terhadap keberadan masyarakat hukum adat dengan
sebaga hak-haknya, memperoleh perhatian Bupati Pasir periode 2004-
2009 (Ridwan). Ia menganggap bahwa Pemda Pasir memiliki kewajiban
untuk melindungi masyarakat hukum adat. Perlindungan ini diperlukan
karena secra sosial dan ekonomi masyarakat hukum adat sangat
ketinggalan Selain itu, kegiatan investasi yang banyak berlokasi di
perdesaan memang berdampak langung pada kehidupan masyarakat
hukum adat.

b. Kendala
Adanya pemikiran yang berkembang di kalangan birokrasi bahwa Perda
No 3/200 hanya mengatur adat istiadat dan lembaga adat, bukan
mengatur mengenai keberadaan masyarakat adat dan hak-hak ulayatnya.

4. Harapan
Dalam kerangka penguatan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat,
maka peranan dan aktivitas Lembaga Adat perlu ditingkatkan, yaitu :
a.Lembaga Adat Pasir (PAS) dan Persatuan Masyarakat Adat (PeMA) Pasir
dapat mengotimlkan peranannya dalam memperjuangkan hak-hak
masyarakat hukum adat.
b. Pemerintah Kabupaten Pasir melakukan telaah kembali atas
Peraturan Daerah dan kebijakan yang tidak berpihak kepada keberadaan
masyarakat hukum adat.
H. PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
1. Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Kewilayahan berkenaan dengan tanah beserta isinya dan wilayah
kesatuan budaya dimana masyarakat hukum adat hidup dan berkembang.
Masyarakat hukum adat sebagai suatu komunitas memerlukan kepastian

31
hukum mengenai kewilayahan ini, sehingga mereka dapat menjalani
kehidupannya tanpa ada perasaan khawatir terjadinya gangguan dari
pihak manapun.
1). Penggunaan ruang wilayah Provinsi Kalimantan Tengah diatur di
dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2003 tentang Tata
Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah.
2). Khusus berkaitan dengan kewilayahan Masyarakat hukum adat,
tertuang di dalam Peraturan Daeah (Perda) Nomor 14 Tahun 1998
tentang Kedamangan di Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah.
Pada Bab 1 Pasal 1 (ayat p) menyebutkan, bahwa :
a). Wilayah adat adalah wilayah satuan budaya tempat adat
istiadat itu tumbuh, hidup dan berkembang sehingga menjadi
penyangga keberadaan adat istiadat yang bersangkutan.
b). Tanah adat adalah tanah beserta isinya yang berada di
wilayah Kedamangan yang dikuasai secara adat, baik miliki
perorangan maupun milik bersama.
b. Kebudayaan
Keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang
digunakan untuk memahami lingkungan, serta pengalamannya dan yang
menjadi pedoman tingkah laku manusia adalah kebudayaan. Di dalamnya
terdiri atas unsur-unsur universal, yaitu: agama/kepercayaan, organisasi
sosial, teknologi, sistem pengetahuan/pendidikan, sistem ekonomi,
bahasa/ telekomunikasi, dan kesenian.
Berkaitan dengan agama dan kepercayaan, diatur di dalam Peraturan
Gubernur Nomor 6 Tahun 2007 tentang Pedoman Pembentukan Forum
Kerukunan Amat Beragama (FKUB) Provinsi, dan Kabupaten/Kota di
Provinsi Kalimantan Tengah. Di dalam Peraturan Gubernur tersebut (Pasal
2) ditegaskan syarat calon anggota FKUB sebagai berikut :
a). Penduduk Kalimantan Tengah.
b). Bertempat tinggal di Kalimantan Tengah sekurang-kurangnya 5
tahun.
c). Bertaqwa kepada tahun YME dan setia kepada Pancasila dan
UUD 1945
d). Pemuka agama yang menjadi panutan umat, dan
e). Berkepribadian baik dan penuh pengabdian terhadap
kepentingan kerukunan kehidupan beragama.
Kemudian peraturan hukum tertulis yang berkaitan dengan sistem
organisasi sosial, dengan jelas diatur di dalam Peraturan Daerah Provinsi
Kalimantan Tengah Nomor 14 Tahun 1998 tentang Kedamangan di
Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah. Pada Bab I pasal 1 Perda
tersebut menjelaskan bahwa :
(1). Kedamangan adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam
provinsi Daeah Tingkat I Kalimantan Tengah yang terdiri dari

32
himpunan beberapa Desa/Kelurahan/Kecamatan yang mempunyai
wilayah tertentu yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
(2). Lembaga adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan, baik
yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan
berkembang di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan atau
dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum
dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut,
mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan
yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum
adat yang berlaku.
(3). Hak adat adalah hak untuk memanfaatkan sumber daya yang
ada dalam lingkungan hidup warga masyarakat sebagaimana
tercantum dalam lembaga dat, yang berdasarkan hukum adat dan
yang berlaku dalam masyarakat atau persekutuan hukum adat
tertentu.
(4). Hukum Adat Dayak di Kalimantan Tengah adalah hukum yang
benar-benar hidup dalam kesadaran hati nurani warga masyarakat
Dayak di Kalimantan Tengah dan tercermin dalam pola-pola tindakan
mereka sesuai dengan adat istiadatnya dan pola-pola sosial
budayanya yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
(5). Adat istiadat adalah seperangkat nilai atau norma, kaidah dan
keyakinan sosial yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan
pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Desa dan atau satuan
masyarakat lainnya serta nilai atau norma lain yang masih dihayati
dan dipelihara masyarakat sebagiamana terwujud dalam berbagai
pola nilai kelakuan yang mempertahankan kebiasaan-kebiasaan
dalam kehidupan masyarakat setempat.
(6). Dama Kepala Adat adalah pimpinan adat dari satu Kedamangan
yang diangkat/dipilih berdasarkan hasil pemilihan oleh beberapa
Desa/Kelurahan/Kecamatan yang termasuk dalam wilayah
kedamangan tersebut.
(7). Majelis Adat adalah Dewan Adat yang mengemban tugas
tertentu di bidang pemberdayaan dan pelestarian serta
pengembangan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat,
lembaga adat dan hukum adat di daerah.
(8). Mantir Adat adalah perangkat adat atau gelar bagi seorang yang
duduk di Majelis Adat.
Selain Perda tersebut Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah
mengeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Nomor 9 Tahun 2001 tentang
Penanganan Penduduk Dampak Konflik. Pada pasal 8 ayat (2) huruf b
disebutkan yang dimaksud Masyarakat hukum adat adalah Majelis Adat
setempat; dan huruf c yang dimaksud wajib mentaati adalah menghormati
adat istiadat Daerah Kalimantan Tengah dan meninggalkan adat/budaya

33
yang tidak sesuai dengan adat/budaya Kalimantan Tengah. Pada pasal 9
ayat 3 menjelaskan, bahwa yang dimaksud Dewan Kehormatan
Kemasyarakatan Lintas Etnik adalah perkumpulan yang bersifat
kekeluargaan yang didirikan dengan maksud dan tujuan untuk membina
persatuan, kerukunan dan persaudaraan.
Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah mengeluarkan
Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur ekonomi, yaitu di dalam
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 tahun 1998 tentang Ijin Usaha
Pertambangan Rakyat Bahan Galian Emas di Provinsi Kalimantan Tengah.
Perda ini berlaku secara umum, sehingga secara implisit berlaku pula bagi
masyarakat hukum adat/KAT. Perda ini mengatur, bahwa setiap bentuk
yang berkenaan dengan usaha eksplorasi sumber daya alam, tidak
menimbulkan dampak yang merusak lingkungan, dan tetap
mempertahankan kesinambungan sumber daya alam.
Selanjutnya dalam upaya mengatur sistem komunikasi, Pemeriantah
Daerah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 2002
tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi untuk Keperluan Khusus Radio
dan Televisi Siaran Lokal. Perda ini dimaksudkan, agar setiap media massa
lokal (terutama elektronik) agar menjadi media promusi yang efektif bagi
pembangunan wilayah; dan mempu menyajikan informasi yang obyektif
dan seimbang, sehingga ikut mendukung proses transformasi sosial
budaya masyarakat.
2. Hukum Tidak Tertulis
b. Kewilayahan
Wilayah masyarakat hukum adat dibatasi oleh wilayah tertentu,
seperti sungai, bukit/batu-batuan, rawa-rawa, dan hutan. Wilayah
masyarakat hukum adat ini sepenuhnya dapat diatur dan diurus oleh
perangkat pimpinan adat berdasarkan hak pengurusan wilayah yang lebih
dikenal dengan sebutan hak ulayat. Hak ulayat atas tanah tersebut
penguasaannya secara kolektif, dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan
bersama warga masyarakat hukum adat.
c. Kebudayaan
Masyarakat hukum adat di Kabupaten Kapuas selain menganut
agama Islam, mereka juga memiliki kepercayaan Kaharingan. Masyarakat
hukum adat memeluk kepercayan ini dan bebas melaksanakan ibadah
sesuai dengan keyakinannya.
Masyarakat memiliki sistem organisasi sosial yang dinamakan
Kedamangan. Eksistensi Kademangan ini sebagai lembaga adat memiliki
aturan adat (istiadat) yang mengikat masyarakat hukum adat. Lembaga
adat ini mengatur upacara adat dalam siklus kehidupan manusia,
hubungan antar sesama manusia dalam suatu komunitas, hubungan ketua
adat dengan masyarakat dan hubungan manusia dengan alam sekitar dan
dengan Tuhan pencipta alam.

34
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat hukum adat
sudah memanfaatkan teknologi modern. Aturan adat memberikan
keleluasaan kepada masyarakat untuk menggunakan teknologi yang
memberikan kemudahan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Namun demikian, aturan adat tetap mengendalikan penggunaan teknologi
yang merusak kehidupan sosial budaya mereka.
Berkaitan dengan pengetahuan dan pendidikan, masyarakat sudah
menyadari pentingnya pengetahuan dan pendidikan untuk kehidupan
yang lebih baik di masa depan. Oleh karena itu, aturan adat memberikan
kelonggaran kepada anak-anak dari masyarakat hukum adat untuk
menempuh pendidikan, meskipun harus meninggalkan kampung halaman.
Kegiatan ekonomi masyarakat bergantung pada alam sekitar. Dalam
pemanfaatan alam, masyarakat senantiasa menjaga kelestarian alam yang
didasarkan pada keyakinaan, bahwa alam akan memberikan apa yang
diperlukan apabila alam tersebut dijaga dengan baik. Tidak menebang
pohon sembarangan, terutama pohon madu tempat penghidupan lebah
madu. Dalam pemanfaatan alam masyarakat senantiasa dibebani dengan
tanggung jawab moral untuk memelihara alam demi anak keturunan
sampai kapanpun.
Komunikasi antar warga masyarakat menggunakan bahasa daerah
setempat yang berlaku secara turun temurun, meskipun penggunaan
bahasa daerah setempat ini tidak secara eksplisit di atur oleh hukum adat.
Proses interaksi sosial masyarakat luar, mendorong masyarakat hukum
adat untuk mempelajari bahasa nasional. Selain itu, masyarakat juga sudah
terbuka terhadap informasi dari luar melalui radio maupun televisi.
Kemudian untuk berkomunikasi dengan orang luar yang tidak dapat
berbahasa daerah setempat, masyarakat menggunakan bahasa Indonesia.
Kesenian tradisional masih ada, namun proses pelestariannya masih
sangat kurang. Generasi muda kurang diperkenalkan dengan kesenian
tradisional, baik dalam bentuk tari-tarian maupun musik tradisional - ,
sehingga dapat mengancam kepunahan kesenian tradisonal. Di dalam
aturan adatpun memang ada kewajiban bagi lembaga adat maupun
masyarakat untuk tetap mempertahankan seni budaya lokal. Namun
demikian pengaruh kesenian modern yang dibawa oleh warga yang
bekerja di kota, atau dibawa oleh masyarakat yang secara intensif
melakukan transaksi dengan orang kota, sudah mulai memasuki
kehidupan masyarakat hukum adat, seperti tape recoreder dan video.
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum
a. Implementasi
1). Secara yuridis sudah ada pengakuan Pemerintah Daerah
terhadap lembaga adat (Kedamanangan), tanah adat, hak adat,
hukum adat, adat istiadat dan Damang Kepala Adat.

35
2). Aturan hukum adat sudah mulai longgar daya pengikat terhadap
perilaku masyarakat. Hal ini antara lain sebagai pengaruh dari proses
interaksi dengan masyarakat kota, dan penyebaran teknologi
informasi yang tidak dapat dikendalikan oleh lembaga adat. Salah
satu pengaruh dari lemahnya ketaatan terhadap hukum adat
tersebut, yaitu terjadinya konflik sosial antar warga masyarakat.
b. Kendala
Pengakuan hukum merupakan hal yang sangat penting, karena akan
menentukan eksistensi masyarakat hukum adat, dan pemenuhan hak dan
kebutuhan masyarakat hukum adat tersebut. Namun demikian masih
ditemukan berbagai kendala dalam implementasi hukum, yaitu :
1). Dalam praktiknya belum ada komitmen yang sungguh-sungguh
dari pemerintah daerah untuk pemberdayaan masyarakat hukum adat.
2). Kurangnya prasarana/sarana yang mendukung kelembagaan
adat setempat.
3). Tidak ada biaya yang mendukung kegiatan pada kelmbagaan
adat.
4). Kurangnya wawasan masyarakat terhadap hukum adat sebab
belum tersedia hukum adat secara tertulis.
5). Belum tersedia data tentang masyarakat hukum adat dan
kelembagaan adat.
4. Harapan
Dalam upaya pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat,
sehingga mereka dapat menjalani kehiduan sebagaimana msyarakat pada
umumnya, yaitu :
1). Terakomodasinya kepentingan Masyarakat hukum adat.
2). Agar Masyarakat hukum adat di Kalimnatan Tengah memiliki jaminan
hukum yang pasti terhadap eksistensi dan hak-hak adat yang ada di
sekitar mereka.
3). Hukum adat dapat dikukuhkan dengan Undang-Undang maupun
Peraturan Daerah sesuai dengan keberadaan dan kepentingannya.
4). Kelembagaan adat mendapat bantuan pendanaan sesuai kebutuhan.
5). Kesadaran masyarakat terhadap hukum adat semakin meningkat,
sehingga dapat mencegah terjadinya konflik antar kelompok masyarakat.
6). Ada pengakuan melalui peraturan/yuridis formal secara tegas dan jelas
terhadap eksistensi masyarakat hukum adat.
H. PROVINSI BANTEN
1. Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Masyarakat Baduy merupakan penduduk Desa Kanekes, Kecamatan
Luewidamar Kabupaten Lebak. Secara georafis Desa Kanekas terletak di
aliran Sungai Ciujung pada pegunungan Kendeng. Sebagaimana
disebutkan di dalam Keputusan Bupati Lebak Nomor

36
590/Kep.233/Huk/2003 tentang Penetapan Batas-Batas Wilayah Detail
Tanah Ulayat Masyarakat hukum adat Baduy, bahwa luas Desa Kanekes
sama luasnya dengan luas tanah ulayat yang didiami oleh Masyarakat
Baduy, yaitu 5.136,58 Ha. Artinya, batas-batas wilayah Desa Kanekes sama
dengan batas-batas wilayah tanah ulayat Masyarakat Baduy.
b. Kebudayaan
Pemeritah Kabupten Lebak memperhatikan dengan
sungguh/sungguh keberadaan Masyarakat Baduy sebagai masyarakat
hukum adat. Perhatian Pemerintah Kabupaten Lebak diwujudkan melalui
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan
Pengembangan Lembaga Adat Masyarakat Baduy, yang selanjutnya Perda
ini dikenal dengan Perda Lembaga Adat.
Adapun alasan Pemerintah Kabupaten Lebak melakukan pembinaan
dan pengembangan terhadap adat istiadat dan lembaga adat Masyarakat
Baduy, yaitu :
Pertama, untuk mencegah pengaruh dari luar yang akan merusak
nilai-nilai positif adat istiadat Masyarakat Baduy,
Kedua, agar adat istiadat Masyarakat Baduy, sebagai milik nasional
dapat lebih berdaya guna bagi kelangsungan pembangunan, ketahanan
nasional, menunjang kebudayaan nasional dan kelangsungan jalannya
pemerintahan. Upacara adat yang perlu dibina dan dikembangkan
misalnya upacara seba (persembahan hasil bumi), sistem perkawinan dan
sistem pengendalian diri dan lingkungan.
Dinilai masih ada kelemahan pada SK Gubernur Jawa Barat tahun
1968 dan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 1990, maka
kemudian pada tahun 2001 diterbitkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak
Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Baduy (Perda
Ulayat Baduy). Perda ini dimaksudkan untuk melindungi pelanggaran
hukum adat yang dilakukan oleh orang luar. Contohnya, orang luar
berkebun di tanah ulayat Masyarakat Baduy dengan menanam komoditas
yang justru dilarang oleh hukum adat Masyarakat Baduy, dan praktek
penebangan kayu di hutan lindung Baduy. Selain itu dalam upaya
mengamankan fungsi wilayah ulayat Masyarakat Baduy sebagai sumber
mata air, mencegah banjir dan melindungi hewan-hewan dari tindakan
perburuan orang luar.
Kemudian berkenaan dengan pemerintahan desa, diterbitkan
Peraturan Daerah Kabupten Lebak Nomor 5/2003 tentang Perubahan Atas
Peraturan Daerah Kabupataen lebak Nomor 29 Tahun 2000 tentang
Pemerintahan Desa, berlaku umum. Bab VI dari Perda mengatur tentang
Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat-Istiadat serta
Lembaga Adat. Dengan tegas diatur mengenai larangan bagi anggota
Badan Perwakilan Desa (BPD) dan kepala desa untuk melakukan

37
perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma adat istiadat atau
norma-norma yang hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Pemerintah Daerah mengalokasikan dana untuk mendorong
Masyarakat Baduy terus terbuka dengan dunia luar. Ini juga dilakukan
dengan maksud agar Masyarakat Baduy sejajar dengan masyarakat lain
terutama dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Cara yang dilakukan
adalah dengan mewarnai desa-desa yang ada di sekitar Desa Kanekes.
Misalnya, membangun mesjid dan sekolah atau memberikan TV.
Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Pariwisata adalah dinas
yang memiliki tugas pokok dan fungsi yang bersinggungan dengan adat
istiadat. Tupoksi itu tepatnya di bawah tanggung jawab Sub Dinas Seni
dan Budaya yang salah satu fungsinya adalah melestarikan dan
mengembangkan nilai budaya serta meningkatkan pelestrian adat istiadat
yang positif. Antara lain mendukung upacara-upacara adat semacam seba
atau sereen taon.
2. Hukum Tidak Tertulis
a. Kewilayahan
Aspek kewilayah yang didiami oleh Masyarakat Baduy telah diatur
secara tertulis melalui Peraturan Daerah Kabupaten Lebak. Melalui Perda
tersebut diakui eksistensi tanah ulayat dan hak-hak Masyarakat Baduy
untuk memanfaatkan tanah ulayat tersebut. Selain ditetapkan secara
yuridis melalui Perda, secara kultural Masyarakat Baduy telah memiliki
wilayah ulayat untuk menjalani kehidupannya yang diperoleh secara turun
temurun. Perasaan sebagai pemilik atas anah ulayat ini yang kemudian
menjadi dasar Pemerintah Daerah untuk memberikan pengakuan secara
yuridis atas wilayah Masyarakat Baduy.
c. Kebudayaan
Desa Kanekes terdiri atas 52 kampung atau dusun. Tiga diantaranya
adalah Kampung Baduy Dalam dan sebanyak 49 kampung adalah
Kampung Baduy Luar. Istilah Baduy Dalam dan Baduy Luar
menggambarkan pembagian kelompok sosial. Masing-masing memiliki
peranan yang berbeda, namun memiliki satu sistem pemerintahan (adat
dan negara). Pusat pemerintahan adat terletak di Baduy Dalam, dengan
Puun sebagai pimpinan adatnya. Ada tiga Puun yang memimpin
pemerintahan adat di Desa Kanekes atau Masyarakat Baduy. Ketiga Puun
ini tinggal di kampung yang berbeda. Puun dibantu oleh Girang Seurat
yang membidangi masalah keamanan, dan Jaro Tangtu yang mewakili
Puun setiap kampun dan juga berperanan sebagai juru bicara untuk
hubungan-hubungan luar.
Sedangkan pemerintahan negara/desa dijalankan oleh struktur yang
lain. Kepala Desa dinamakan dengan Jaro Pamarintah yang tinggal di
kalangan Baduy Luar. Jaro Pamarintah dibantu oleh sekretaris desa atau
carik. Orang yang menjabat sebagai carik berasal dari luar Masyarakat

38
Baduy, karena terampil membaca dan menulis. Tatanan sosial Orang Baduy
masih mengandalkan adat, adat istiadat dan hukum adat sebagai sumber
nilai dan norma. Adat istiadat dan hukum adat masih hidup bersamaan
dengan terawatnya alam dan bertahannya kelembagaan adat.
Untuk membantu pekerjaan sehari-hari, Masyarakat Baduy
menggunakan teknologi yang sederhana, yang dikembangkan oleh
mereka sendiri secara turun-temurun. Mereka masih belum bisa menerima
teknologi modern, karena dinilai tidak sesuai dengan adat istiadatnya.
Pengetahuan yang berkenaan dengan tata kehidupan ekonomi,
sosial, budaya, agama dan lingkungan pada umumnya diperoleh secara
turun temurun. Masyarakat masih belum terbuka terhadap pendidikan
modern (sekolah formal). Sistem ekonomi yang dikembangkan bersifat
subsisten dan lebih berorientasi pada pemanfaatan sumber daya alam,
seperti bertani, atau berladang. Mereka mengolah tanah ulayat, yaitu
tanah adat yang dikuasai secara kolektif.
Masyarakat Baduy dalam berkomunikasi antar mereka menggunakan
adalah bahasa sunda. Namun demikian sebagian dari mereka sudah
mampu berbahasa Indonesia, terutama ketika berkomuniaksi dengan
orang luar. Mereka masih konsisten melestarikan seni dan budaya lokal
seperti : musik tradisional, upacara adat (seba dan seren taon) dalam siklus
kehidupan masih dijalankan, dan dilestarikan secara turun temurun.
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum
a. Implementasi
Pemerintah Provinsi Banten dan Kabupaten Lebak, sampai saat ini
tetap konsisten menganggap Masyarakat Baduy sebagai masyarakat
hukum adat. Anggapan inilah yang melahirkan sejarah panjang pengakuan
hukum terhadap Masyarakat Baduy. Pengakuan Pemerintah Daerah
bahwa Masyarakat Baduy adalah masyarakat hukum adat dengan wilayah
dan hak-hak atas wilayahnya, diawali oleh Keputusan Gubernur Jawa Barat
Nomor 203/B.V/Pem/SK/68 tentang Penetapan Status ”Hutan Larangan”
Desa Kanekes Daerah Baduy sebagai ”Hutan Larangan” dalam Kawasan
Hak Ulayat Adat Provinsi Jawa Barat. Selanjutnya pada tahun 1986 keluar
lagi Keptusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor
140/Kep.526-Pemdes/1986, tentang Penetapan Kanekes sebagai desa
definitif yang memberikan pengakuan secara tegas mengenai luas dan
batas-batas kawasan tanah ulayat Masyarakat Baduy, sehingga mencegah
berbagai tindakan penyerobotan dari luar.
b. Kendala
Ada sejumlah kendala dalam implementasi hukum dalam kerangka
pemberdayaan masyarakat hukum adat, yaitu :
1). Pemerinta Daerah Kabupaten Lebak tidak memiliki rancangan
program, terbatasnya anggaran dan sarana/prasarana untuk
memfungsikan lembaga adat.

39
2). Masih sering terjadi pelanggaran hukum dari orang luar,
misalnya penebangan kayu, penggembalaan kerbau di lahan pertanin
dan pengambilan daun aren.
3). Pelanggaran tersebut belum diberi sanksi yang tegas, ada kesan
polisi pun malas untuk meneruskan dengan malakukan penyidikan.
4. Harapan
Dalam kerangka penguatan dan pemberdayaan Masyarakat hukum adat,
maka diharapkan :
1). Diterbitakannya Peraturan Presiden yang mengatur
Perlindungan Masyarakat Baduy, mengingat Perda yang ada dalam
implementasinya masih menghadapi kelemahan.
2). Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak memiliki rancangan
program yang jelas, dan anggaran serta sarana/prasarana untuk
memfungsikan lembaga adat.
3).
I. PROVINSI SULAWESI SELATAN
1. Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Hukum tertulis menyangkut aspek kewilayahan masyarakat hukum
adat tertampung di dalam Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 21 tentang
Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan
Lembaga Adat. Pengakuan secara tertulis tehadap eksistensi adat istiadat
dan lembaga adat tersebut tidak secara jelas mengatur wilayah masyarakat
hukum adat.
b. Kebudayaan
Komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten Sidenreng Rappang,
Provinsi Sulawesi Selatan terkait dengan pemberdayaan masyarakat
hukum adat, yaitu dengan dikeluarkan Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun
2001 tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat
dan Lembaga Adat. Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 menjelaskan bahwa :
a). Lembaga Adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan, baik yang
sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan
berkembang di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan atau
dalam satu masyarakat hukum adat di dalam wilayah hukum adat
tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengakui, mengatasi dan
menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan,
dengan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku.
b). Adat istiadat adalah seperangkat nilai atau norma, kaidah atau kegiatan
sosial yang berubah dan berkembang bersamaan dengan
pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Desa atau satuan
masyarakat lainnya, serta nilai atau norma lain yang masih dihayati dan
dipelihara masyarakat sebagaimana terwujud dalam berbagai pola

40
kelakuan yang merupakan kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan
masyarakat setempat.
Kemudian pada Bab IV Pasal 5 ayat (1) disebutkan, bahwa Lembaga
Adat berkedudukan sebagai wadah atau organisasi permusyawaratan/
permufakatan kepala adat/ketua adat atau pemuka adat lainnya yang
berada di luar organisasi pemerintah. Pada ayat (2) disebutkan, bahwa
Lembaga Adat mempunyai tugas, yaitu :
1). Menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada
pemerintah serta menyelesaikan perselisihan menyangkut hukum adat-
istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
2). Memberdayakan, melestariakan dan mengembangkan adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya
daerah serta memberdayakan masyarakat dalam menunjang
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan
pembinaan kemasyarakatan.
3). Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta obyektif
antara kepala adat/pemangku adat dan pemuka adat dengan aparat
pemerintah di daerah.
Pada ayat (3) dijelaskan, jika ada perbedaan pendapat antara lembaga
adat dan aparat pemerintah di daerah, perbedaan itu diselesaikan dengan
musyawarah/mufakat. Apabila tidak berhasil diselesaikan maka
penyelesaian dilakukan oleh Kepala Pemerintahan dan Lembaga Ada yang
lebih tinggi tingkatannya dengan memperhatikan kepentingan masyarakat
hukum adat setempat.
Selanjutnya pada Bab V Pasal 6 ayat (1) ditegaskan, bahwa Lembaga
Adat mempunyai hak dan kewajiban, yaitu :
a). Mewakili masyarakat hukum adat dalam hal-hal yang menyangkut
kepentingan masyarakat hukum adat.
b). Mengelola hak-hak adat dan atau harta kekayaan adat dan
meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat menjadi lebih
baik.
c). Menyelesaikan perselisihan yang mencakup perkara adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasan masyarakat sepanjang penyelesaian itu tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada ayat (2) ditegaskan, bahwa Lembaga Adat berkewajiban :


a). Membantu kelancaran penyelenggaraan pemerintah pelaksanaan
pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan, terutama dalam
pemanfaatan hak-hak adat dan harta kekayaan lembaga adat dengan
tetap memperhatikan kepentingan masyarakat hukum adat setempat.
b). Memelihara stabilitas nasional yang sehat dan dinamis yang dapat
memberikan peluang yang luas kepada aparat pemerintah terutama,
pemerintah desa atau kelurahan dalam melaksanakan tugas-tugas

41
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa,
pelaksanaan pembangunan yang lebih berkualitas dan pembinaan
masyarakat yang adil dan demokratis.
c). Menciptakan suasana yang dapat menjamin terpeliharanya
kebhinekaan adat dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan
bangsa.
Pada bab VI Pasal 7 disebutkan, bahwa susunan organisasi Lembaga
Adat ditetapkan oleh Kepala Desa setelah mendapat persetujuan BPD.
Pada Bab III Pasal 4 ayat (5) dalam Peraturan Daerah nomor 19 Tahun 2001
tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan
Lembaga Adat; disebutkan bahwa tujuan pembinaan adalah untuk
meningkatkan sikap positif terhadap adat istiadat dan lembaga adat dapat
mencapai taraf hidup yang lebih baik.
2. Hukum Tidak Tertulis
a. Kewilayahan
Kewilayah ditetapkan secara turun temurun dengan luas wilayah
tetap, dan bahkan cenderung berkurang. Sebagian wilayah penguasaannya
secara kolektif atau ulayat, dan sebagian lain penguasaannya oleh
perorangan.
b. Kebudayaan
Masyarakat hukum adat dipimpin oleh Pemangku Adat/Penghulu yang
memiliki kewenangan mengatur kehidupan Masyarakat hukum adat dalam
berbagai kepentingan. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka masih
mengembangkan nilai gotong royong dan senantiasa berupaya mengatasi
permasalahan yang terjadi secara bersama-sama.
Transformasi pengetahuan dan teknologi secara turun terumun dari
generasi ke generasi, terutama pengetahuan dan teknologi yang berkaitan
dengan musim, flora fauna, hari baik hari buruk, ramuan obat atau gejala-
gejala alam yang berdampak terhadap kehidupan masyarakat.
Sistem mata pencaharian hidup yaitu mengolah alam seperti berkebun,
bersawah dan berladang serta nelayan. Meskipun sumber ekonomi mereka
tergantung dari alam, namun mereka tidak pernah merusak alam. Mereka
memegang teguh kearifan lokal dalam berinteraksi dengan alam yang
memberikan kehidupan turun temurun bagi anak cuku mereka.
Dalam berkomunikasi antar mereka, digunakan bahasa setempat yang
khas yang kadang tidak dapat dimengerti oleh komunitas yang lain.
Penggunaan bahasa mengikuti struktur berdasarkan status sosial dalam
masyarakat.
Kemudian untuk mempertahankan adat istiadat, mereka
menyelenggarkaan berbagai upacara adat dalam siklus kehidupan
manusia, seperti pada saat kehamilan, kelahiran, turun tanah, dikhitan,
menikah dan meninggal dunia. Selain upacara adat, masyarakat hukum
adat juga masih memelihara seni budaya lokal yang merupakan warisan

42
leluhur mereka. Seni budaya dalam bentuk tarian, musik dan tarian
tradisional biasanya ditampilkan bertepatan dengan hari-hari tertentu
untuk melengkapi upacara adat. Di kalangan Suku Bugis ada seni sastra
yang tertulis dalam lontar yang menggunakan aksara Bugis/Makasar.
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum
a. Implementasi
Implementasi pengakuan hukum oleh Pemerintah Daerah dirasakan
masih belum optimal. Hal ini dapat dicermati dari belum adanya Peraturan
Daerah yang memberikan perhatian secara khusus terhadap kehidupan
masyarakat hukum adat.

b. Kendala
Implementasi pengakuan hukum masih dihadapkan pada beberapa
kendala, yaitu :
1). Belum adanya kemauan politik dari Pemerintah Daerah untuk
memberikan pengakuan hokum terhadap eksistensi Masyarakat hukum
adat.
2). Belum ada Peraturan Daerah yang mengatur secara khusus,
termasuk aspek hukum kepemilikan tanah ulayat.

4. Harapan
Agar Masyarakat hukum adat memperoleh pengakuan hukum secara
memadai, maka diharapkan :
a. Adanya Peraturan Daerah yang secara khusus memberikan pengakuan
secara hukum terhadap eksistensi dan hak-hak Masyarakat hukum adat.
b. Pemerintah mengembangkan program ”pembangunan budaya”
berdampingan dengan pembangunan ekonomi dan politik.

J. PROVINSI BALI
1. Hukum Tertulis
1. Kewilayahan
Masyarakat hukum adat di Bali tinggal dalam suatu desa adat yang
dikenal dengan Desa Pakraman. Eksistensi desa adat ini telah memperoleh
pengakuan dari pemerintah Provinsi Bali melalui Peraturan Daerah Provinsi
Bali Nomor 3 Tahun 2001 yang kemudian dirubah dengan Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman.
2. Kebudayaan
Kehidupan beragama/kepercayaan diatur dalam Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman.di dalam Bab V
Pasal 1. Pemerintah Daerah menjamin setiap orang bebas menjalankan
ibadah sesuai dengan ajaran Hindu, dan menghormati masyarakat untuk
melakukan ritual pada hari-hari tertentu sesuai dengan aturan yang
berlaku di dalam ajaran Hindu.

43
Semua aspek aktivitas perilaku berpola yang telah membudaya
dalam interaksi manusia dalam suatu masyarakat yang diperankan melalui
nilai, norma, serta wadah struktur keorganisasian yang dibentuk,
merupakan sistem organisasi sosial. Berkenaan dengan sistem organisasi
sosial diatur di dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003
tentang Desa Pakraman Bab VII Pasal 1.
Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur
menggunaan/pengembangan teknologi belum ada. Meskipun demikian
pemerintah daerah terus mendorong seluruh masyarakat untuk
mengembangkan teknologi tepat guna yang akan memberikan manfaat
bagi kehidupan yang lebih baik.
Peraturan Daerah (Perda) tentang Desa Pakraman yang mengatur
pengetahuan/pendidikan terdapat pada Bab IV Pasal 4. Selain itu melalui
kebijakan dan program dinas pendidikan, pemerintah daerah memberikan
kesempatan kepada putra-putra daerah termasuk dari masyarakat hukum
adat untuk berpartisipasi dalam pendidikan. Program-program bantuan
pendidikan pun, diluncurkan oleh Pemerintah Daerah, yang menjangkau
seluruh anak-anak yang sedang menempuh pendidikan.
Berkenaan dengan aspek ekonomi, Peraturan Daerah (Perda) tentang
Desa Pakraman di dalamnya antara lain mengatur fungsi desa adat untuk
membantu pemerintah dalam menjaga, memelihara dan memanfaatkan
kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat. Selain itu
di dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang Desa Pakraman mengatur
bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan.
Selanjutnya, Peraturan Daerah (Perda) tentang Desa Pakraman di
dalamnya mengatur dengan jelas, bahwa salah satu fungsi desa adat
adalah membina dan mengembangkan nilai-nilai adat Bali dalam rangka
memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional
pada umumnya dan kebudayaan Bali pada khususnya, berdasarkan paras
paros salungkung sabayantaka/ musyawrah untuk mufakat.
2. Hukum Tidak Tertulis
a. Kewilayahan
Desa adat dibatasi oleh wilayah tertentu, dimana menurut hukum adat
disebut ”Prabumian Desa” atau Wewengkon Bale Agung” . Wilayah desa
adat ini sepenuhnya dapat diatur dan diurus oleh perangkat pimpinan
desa adat berdasarkan hak pengurusan wilayah yang lebih dikenal dengan
sebutan hak ulayat desa adat.
b. Kebudayaan
Agama Hindu menempati posisi ”superstruktur” bersama dengan nilai-
nilai, cita-cita dan simbol ekspresif lainnya. Kemudian desa adat
(Pakraman) sebagai lembaga berkedudukan sebagai ”dasar” bersama
norma dan organisasi lainnya. Agama Hindu merupakan payung bagi
norma hukum adat (awig-awig) dan organisasi sosial desa adat. Dengan

44
demikian ajaran Hindu akan terwujud dalam norma-norma adat kehidupan
Krama Desa Adat.
Desa Adat (Pakraman) sebagai lembaga sosial keagamaan yang
bertindak sebagai wadah dan sekaligus pengawas pelaksanaan kegiatan
agama di tingkat desa. Desa Pakraman sejak awal telah ditata untuk
menjadi desa religius, dibentuk berdasarkan konsep-konsep dan nilai-nilai
filosofis Agama Hindu. Oleh karena itu, pengurus Desa Pakraman bukan
Kepala Desa, melainkan Ketua (Kubayan, Bayan, Kelihan, Kiha, Kumpi,
Sanat, Tuha-tuha), yang bermakna guru spiritual lokal di desa.
Desa Pakraman terus mengadakan penyesuaian sesuai dengan asas
Desa Mawa Cara. Desa adat mempunyai hak untuk mengurus rumah
tangganya sendiri atau mempunyai otonomi. Hak dari desa adat mengurus
rumah tangganya bersumber dari hukum adat, tidak berasal dari
kekuasaan pemerintahan.
Desa Pakraman memiliki banjar sebagai pembagian wilayah kerja
yang sudah sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Bali. Desa ini
punya tugas dan kewajiban mengurus pura (kahyangan) desa. Berbeda
dengan desa-desa pada umumnya, sesungguhnya Desa Pakraman ini
”pasraman” tempat melakukan penempaan diri di bidang pengamalan
dharma, untuk mendapatkan Catur Purusa Artha.
Kemudian konsep dan nilai dasar dalam hubungan sosial dan
kekerabatan adalah ’tat twam asli’ dimana konsep ini melahirkan nilai-
nilai ; kerukunan (saling asah, saling asih, saling asuh, salunglung
sabayantaka), keselaran (sagilik saguluk, briuk sapanggul), dan kepatutan
(paras-paros, ngawe sukaning wong len).
Awig-awig adalah aturan hukum yang mengatur hubungan sosial antar
warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Apabila ada warga
masyarakat yang dinilai melanggara awig-awig tersebut, maka akan
diberikan sanksi sesuai dengan aturan adat yang berlaku.
Sebagai masyarakat terbuka, masyarakat hukum adat di Bali leluasa
untuk mengakses dan memanfaatkan teknologi dalam berbagai bidang
kehidupan. Meskipun demikian, pemanfaatan dan pengembangan
teknologi tersebut tetap harus memperhatikan aturan adat dan ajaran
Hindu.
Masyarakat hukum adat leluasa dalam berpartisipasi dalam
pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Sebagai daerah tujuan
wisata internasional, setiap warga diberikan kesempatan seluas-luasnya
untuk mempelajari berbagai hal, terutama yang berkaitan dengan bahasa
asing, pemandu wisata, souvenir dan seluk beluk kepariwisataan.
Fungsi desa adat untuk membantu pemerintah menjaga, memelihara
dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat
desa adat. Tentu saja pemanfaatan kekayaan desa adat tidak keluar dari

45
rambu-rambu yang telah diatur di dalam aturan adat, dan dimanfaatkan
untuk mewujudkan kesejahtyeraan bersama.
Ciri Bali yang istimewa adalah agama, adat dan budaya yang menyatu
dan ini telah menjadi jati diri masyarakat Bali. Oleh karena itu, kesenian
sebagai salah satu bentuk kongkrit dari kebudayaan sudah menyatu dalam
kehidupan masyarakat Bali. Berbagai bentuk kesenian tradisional, baik tari,
musik (tabuh), pahat, anyaman dan nyanyian tradisional (kidung)
dikembangkan oleh masyarakat melalui padepokan (sanggar seni) secara
turun temurun.
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum
a. Implementasi
Masyarakat hukum adat yang tinggal di Desa Pakraman sangat diakui
oleh pemerintah daerah dan masyarakat. Secara yuridis sudah ada
pengakuan Pemerintah Daerah terhadap lembaga adat (Kedamanangan),
tanah adat, hak adat, hukum adat, adat istiadat dan Kepala Desa Adat.
b. Kendala
Sejauh ini tidak ada kendala yang dirasakan dalam implementasi
hukum adat, karena agama, adat dan budaya telah menyatu dalam
kehidupan masyarakat secara turun temurun, dan terus dilembagakan
dengan baik oleh pemerintah maupun lembaga adat.
4. Harapan
a. Pembinaan desa adat dan adat istiadat Bali ke arah keberdayaan,
kelestarian dan perkembangan dalam upaya meningkatkan peranan dan
fungsi desa adat dan adat istiadatnya. Melalui pembinaan ini bertujuan
untuk mewujudkan masyarakat yang Trepti (tertib, tertata/teratur, sesuai
tatanan masyarakat), Kerta (damai, tenteram, aman, harmonis), dan
Jagadhita (sejahteralahir batin, adil, dan makmur).
b. Pembinaan dan mengefektifkan berfungsinya lembaga peradilan desa
yang kongkrit de facto dilaksanakan oleh Prajuru Desa Adat. Masalah yang
berhubungan dengan adat dan agama akan efektif apabila ditangani oleh
Prajuru sebagai hakim desa.

K. NUSA TENGGARA BARAT


1. Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Hukum tertulis yang berupa Peraturan Daerah Provinsi maupun
Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang secara khusus mengatur
kewilayahan Masyarakat hukum adat hingga saat ini belum ada. Meskipun
demikian Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten memberikan pengakuan
terhadap lembaga adat pada Suku Sasak dengan penguasaan wilayah
yang berupa tanah ulayat. Tanah ulayat tersebut kepemilikannya secara

46
kolektif berdasarkan hukum adat, dan dalam penggunaannya sesuai
hukum adat dan persetujuan dari kepala suku.
b. Kebudayaan
Pemerintah daerah tetap mempertahankan kondisi hukum adat yang
selama ini ada. Salah satu bentuk perhatian Pemerintah Daerah terhadap
eksistensi lembaga dan hukum adat tersebut adalah diresmikannya
lembaga adat di Desa Sukrarane di Kecamatan Sikra Barat Kabupaten
Lombok Timur, meskipun belum dikukuhkan secara yuridis. Lembaga adat
di desa Sukrarane ini diharapkan sebagai contoh penerapan hukum adat
yang dikembangkan menjadi lembaga pendidikan adat lebih
mengedepankan penanaman nilai moral berbasis kelembagaan adat.
Khusus pada Suku Sasak, kelembagaan adat dilandaskan pada agama
Islam, sedangkan pengembangan budaya berkembang melalui budaya
susunjaga sebagai warisan dari Sunan Giri dan Sunan Kalijaga.
Musyawarah dan mufakat selalu ditekankan dalam Suku Sasak. Ada tiga
tokoh masyarakat/adat yang berperanan dalam pembangunan masyarakat,
yaitu ;
a). Pengusung, adalah kepala desa selaku kepala pemerintahan yang
mengelola administrasi pemerintahan.
b). Penghulu, adalah tokoh agama atau tuan guru yang senantiasa
berperanan memberikan nasehat kepada seluruh masyarakat dengan
merujuk pada Al-Quran dan Hadist.
c). Pemangku adalah ketua adat tempat masyarakat meminta nasehat dan
petunjuk dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
Berbagai artefak kebudayaan masyarakat memperoleh perhatian dari
Pemerintah Daerah NTB dengan dibangunnya Taman Budaya NTB. Di
dalam taman budaya tersebut, hasil karya yang bernilai seni budaya dari
berbagai suku di NTB. Namun demikian dokumen tertulis yang
menjelaskan kebudayaan masyarakat tersebut banyak yang sudah aidak
terdokumentasikan.
2. Hukum Tidak Tertulis
a. Kewilayahan
Masyarakat hukum adat Suku Sasak di Kabupaten Lombok, dan Suku
Mbojo di Kabupaten Bima mendiami suatu wilayah secara berkelompok.
Mereka telah mendiami wilayah tersebut secara turun temurun, sehingga
terbentuk sistem kekerabatan yang kuat. Penguasaan wilayah tersebut
secara kolektif, dan karenanya tidak dapat dimiliki secara pribadi. Hal-hal
yang berkenaan dengan pemanfaatan wilayah ulayat tersebut diatur secara
adat dan dikendalikan oleh Kepala Suku. Sedangkan Suku Samawa di
Kabupaten Sumbawa hidup berkelompok dan berpindah-pindah dari satu
daerah ke daerah lain.
b. Kebudayaan

47
Di Provinsi Nusa Tenggara Barat terdapat tiga suku besar, yaitu Suku
Sasak, suku Mbojo dan Suku Samawa. Suku Sasak mendiami Pulau
Lombok, dan mereka masih mempertahankan eksistensi kelembagaan adat
melalui Balai Adat. Kemudian Suku Mbojo atau kenal pula dengan dana
Mbojo (Tanah Bima) mendiami Kabupaten Bima, Dompu dan sekitarnya.
Selanjutnya Suku Samawa mendiami Sumbawa dan sekitarnya. Suku ini
hidupnya berpindah-pindah dari satu wilayah ke wialayah lain.
Keberadaan lembaga adat di Provinsi Nusa Tenggara Barat,
khususnya kasus Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Timur telah
banyak membantu pemerintah dalam menyelesaikan persoalan hukum
yang terjadi pada masyarakat. Ketika hukum formal tidak mampu
menyelesaikan persoalan masyarakat, maka hukum adatlah yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut selama tidak
bertentangan dengan hukum pemerintah. Prinsip hukum adat yang
dikembangkan bersifat universal, sehingga sampai saat ini Pemerintah
Provinsi NTB tetap menerapkan hukum adat dalam membangun nilai-nilai
kesetikawanan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebagai contoh penyelesaian masalah hukum melalui hukum adat,
yaitu pada kasus Desa Sukrarare. Di desa ini, administrasi pemerintah desa
dilaksankaan oleh pemeritnah desa, akan tetapi penyelesaian masalah
hukum diselesaikan melalui hukum adat oleh kelembagaan adat.
Penyelesaian permasalahan melalui hukum adat tersebut dilakukan di Balai
Adat. Semua keputusan hukum dilahirkan melalui Balai Adat, sehingga
seluruh masyarakat dapat hadir untuk melihat dan memberikan saran yang
pada akhirnya pengusung, penghulu dan pemangku memutuskan melalui
upacara adat apabila aspek hukum dipandang benar dan perlu mendapat
perhatian secara seksama. Hukum adat di NTB tidak menghendaki
keputusan salah atau benar. Akan tetapi harus mengarah pada perdamaian
yang diselesaikan dengan musyawarah mufakat. Dalam penyelesaian
permasalahan itu terjaga perasaan masing-masing pihak yang bermasalah.
Balai Adat dibangun atas swadaya masyakaat, dan dapat digunakan
untuk kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Selain sebagai tempat untuk
menyelesaikan permasalahan warga, Balai Adat juga digunakan untuk
pelestarian dan penanam nilai budaya. Melalui Balai Adat ini diharapkan
adat istiadat Suku Sasak mampu mengikuti perkembangan jaman tanpa
harus mengalami pelunturan nilai budaya. Melalui Balai Adat ini terbangun
komitmen, bahwa budaya bukan sesuatu yang tertutup, akan tetapi
diharapkan mampu diterapkan sebagai bagian dari kehidupan.
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum
a. Implementasi
Pemerintah Daaerah Provinsi maupun Kabupaten mengakui eksistensi
Masyarakat hukum adat, kelembagaan adat, adat istiadat dan struktur
yang mengendalikan aktivitas pada kelembagaan adat. Namun demikian

48
pengakuan tersebut belum didukung dengan perangkat perundang-
undangan (misal dalam bentuk Perda), sehingga belum memiliki kekuatan
secara yuridis.
b. Kendala
Kendala yang masih dirasakan implementasi pengakuan hukum
terhadap masyarakat hukum adat adalah masih rendahnya komitmen
Pemerintah Daerah untuk memberikan perlindungan terhadap dokumen
yang bersifat tradisional, sehingga dokumen yang sangat berharga
tersebut mudah ke tangan orang asing.

4. Harapan
a. Pemerintah Daerah wajib untuk melindungi seluruh dokumen hukum
adat yang tertulis diberbagi buku perundang-undangan yang bersifat
tradisional, sehingga membatasi keluarnya dokumen tersebut pada
kolektor.
b. Pemerintah Daerah mengupayakan pengembalian seluruh benda
bersejarah yang dimiliki kolektor di luar negara Indonesia.

L. PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR


1. Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun
1974 menerbitkan Peraturan Daeah Provinsi Nusa Tenggara Timur No. 8
Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Penegasan Hak Atas Tanah. Bab I pasal 1
(3) menegaskan bahwa yang dimaksud dengan ”tanah” ialah tanah bekas
pengusaan masyarakat hukum adat/tanah suku. Kemudian pada pasal 2 (1)
dinyatakan ”tanah bekas penguasaan masyarakat hukum adat, dinyatakan
sebagai tanah-tanah di bawah penguasaan Pemerintah Daerah cq
Gubernur Kepala Daerah. Secara tersirat, terbitnya peraturan tersebut
sebagai gambaran semakin berkurangnya hak atas tanah ulayat di bawah
penguasan masyarakat hukum adat dengan alasan tertentu, dan berpindah
menjadi di bawah penguasan Pemerintah Daerah.
b. Kebudayaan
Pemerintah Daerah Kabupaten Rote Ndao menerbitkan Peraturan
Daerah No. 21 tahun 2006 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan
Usaha Tenun Ikat. Di dalam Bab II pasal 2 (1) dinyatakan, bahwa maksud
dari pemberdayaan dan perlindungan usaha tenun ikat adalah (a)
mendorong masyarakat agar secara serius menekuni usaha tenun ikat.
Kemudian pada pasal 2 (2) dinyatakan, bahwa pemberdayaan dan
perlindungan usaha tenun ikat adalah (a) melestariakn karya seni yang
terkandung di dalam hasil karya tenun ikat, (b) meningkatkan pendapatan

49
dan taraf hidup masyarakat dan (c) mendorong perluasan dan pemerataan
kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.
Sebagaimana diketahui, bahwa masyarakat hukum adat banyak yang
menekuni usaha tenun ikat. Oleh karena itu, keluarnya Perda ini akan
memberikan pemberdayaan dan perlindungan pula terhadap masyarakat
hukum adat, khususnya di bidang ekonomi. Melalui Perda ini diharapkan
taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat hukum adat akan semakin lebih
baik, dan seni budaya mereka (dalam bentuk tenun ikat dengan corak
yang khas) dapat dilestarikan.

2. Hukum Tidak Tertulis


a. Kewilayahan
Hak atau kliam atas suatu wilayah sudah diatur secara ulayat (tanah
suku, hutan suku) yang batas-batasnya diakui oleh komunitas lain di desa.
Wilayah dikuasai oleh suku dan pemanfaatannya diatur oleh kepala suku
(raja) untuk seluruh warga secara turun temurun. Penentuan batas-batas
wilayah menggunakan simbol/tanda seperti pohon, menyusun batu karang
menyerupai tugu, dan mengunakan batas sungai. Berkenaan dengan
kewilayahan ini, masyaralat hukum adat mengenal tempat-tempat keramat
seperti hutan keramat, hutan larangan, kawasan perburuan binatang dan
kawasan bercocok tanam.
b. Kebudayaan
1). Agama/Kepercayaan
Agama sudah dianut oleh sebagai besar masyarakat, namun
kepercayaan kepada leluhur masih sangat kuat. Misalnya, di Sumba
masih ada masyarakat yang belum memeluk agama samawi. Mereka
masih menganut agama nenek moyang mereka yang disebut ”merapu”.
Kemudian di Kepulauan Raijua, masyarakat menganut kepercayaan
”jinitui”. Masyarakat masih melakukan upacara tradisional seperti
upacara di kebun, sawah, upacara bangun rumah adat, memohon
turunnya hujan, upacara perkawinan adat, kematian dan lain-lain yang
dilaksnakan secara turun temurun yang sangat boros.
2). Sistem organisasi sosial
Terdapat pranata sosial (lembaga adat) yang mengatur urusan
adat istiadat perkawinan, kematian dan lain-lain. Tiap-tiap suku di
dalam suatu kelompok dibebani biaya sesuai kebutuhan yang harus
dipenuhi walaupun dengan cara berhutang. Masyarakat hukum adat
sudah mengenal pimpinan formal, namun pengaruh pimpinan informal
(kepala suku dan tetua-tetua adat) masih sangat kuat.
3). Teknologi
Teknologi yang dimiliki merupakan warisan leluhur, seperti dalam
bercocok tanam, mengolah makanan dan beternak. Mereka sudah
mengenal peralatan dari besi (parang, linggis dll) yang dibuat oleh

50
pandai besi warga desa. Peralatan rumah tangga memanfaatkan
bahan-bahan lokal, seperti piring makan dan sendok nasi terbuat dari
tempurung kelapa. Pengaruh teknologi sudah mulai memasuki desa
dan sebagian masyarakat sudah mulai mengikuti perkembangan
teknologi informasi (TV, HP dsb).
4). Pengetahuan/pendidikan
Sistem pengetahuan diperoleh secara turun termurun dari leluhur
mereka. Pengetahuan tentang kebiasaan baik dan buruk sudah
tertanam/diajarkan sejak kecil (bertutur kata, hormat kepada orang tua,
berdoa, dan tidak melawan orang tua dll). Dalam sistem pengobatan,
masyarakat hukum adat menggunakan ramuan tradisional, dimana
pengetahuan pengobatan ini diperoleh secara turun temurun.
Misalnya, memakan daging tokek untuk penyembuhan sakit asma, dan
memakan daun pucuk jambu batu untuk pengobatan sakit diare.
5). Ekonomi
Sebagian masyarakat dalam perdagangan masih menggunakan
sistem barter. Misal, jagung ditukar dengan ikan dll. Selain berladang
dengan sistem tebas bakar secara berpindah-pindah, masyarakat
mengembangkan kerajinan rakyat seperti tenun dan anyaman.
Sebagian masyarkat posisinya dalam berdagang sebagai penerima
harga, bukan sebagai penentu harga. Informasi tentang harga hasil
pertanian, tenun, anyaman atau nelayan tidak diketahui oleh warga
masyarakat. Harga barang dalam transaksi jual beli sepenuhnya diatur
oleh pembeli.
6). Bahasa /Komunikasi
Bahasa daerah digunakan sejak lahir sampai usia sekolah. Bahasa
daerah menjadi alat komunikasi utama dalam berinteraksi antar
mereka. Saat sekolah anak-anak diajarkan bahasa Indonesia. Dan
sebagian dari masyarakat hukum adat sudah bisa berbahasa Indonesia
ketika berkomunikasi dengan orang luar. Kemudian dalam
menyampaikan berita duka, masyarakat hukum adat menggunakan
giring-giring yang diikatkan pada leher kuda; dan memukul kentongan
sebagai isyarat panggilan guna mengikuti pertemuan.
7). Kesenian
Banyak kesenian tradisional yang diatur oleh masyarakat desa
secara turun temurun. Jenis-jenis seni budaya tradisional seperti gong,
ikusai, tebe, seruling bambu, tarian dan lagu tradisonal, permaian
rakyat seperti gasing dan lain-lain. Seni budaya tradisioonal tersebut
dipentaskan pada hari besar menurut hitungan adat atau kepercayaan
yang mereka anut. Namun demikian, generasi muda sudah banyak
yang tidak menguasai seni budaya tradisonal tersebut, sehingga
merupakan ancaman serius dalam pelestariannya.
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum Terhadap KAT

51
a.Implementasi
Meskipun secara yuridis belum ada pengakuan terhadap
masyarakat hukum adat, tetapi secara informal Pemerintah Daerah masih
mengakui eksistensi masyarakat hukum adat. Pengakuan ini antara lain
dengan dilakukannya pengukuan kepala suku oleh pemerintah dengan
menggunakan istilah ”mane leo”. Namun demikian hak mereka atas
tanah ulayat semakin berkurang karena beralih menjadi dibawah
penguasan pemerintah.
b. Kendala
Untuk memperoleh pengakuan hukum dalam rangka peningkatan
keberdayan, masyarakat hukum adat masih dihadapkan oleh berbagai
kendala, yaitu :
1). Belum ada aturan yang jelas yang mengatur secara yuridis
tentang masyarakat hukum adat.
2). Masih adanya sikap dari masyarakat hukum adat yang tidak mau
menerima perubahan yang berasal dari luar.

3). Perbedaan status sosial, kedudukan di dalam masyarakat hukum


adat itu sendiri, dimana masih adanya kelas-kelas sosial dalam
masyarakat atau kasta.
4). Terbatasnya sarana informasi yang dapat diakses oleh
masyarakat hukum adat.
5). Ada pihak-pihak luar yang dengan sengaja memprovokasi
msyarakat hukum adat untuk menentang kebijakan pemerintah, demi
kepentingan pihak luar tersebut.
6). Pada umumnya masyarakat hukum adat tinggal di kawasan yang
secara geografis sulit dijangkau.
7). Pemerintah Daerah masih melihat masyarakat hukum adat
sebagai obyek.
4. Harapan
Untuk memperoleh pengakuan hukum dan peningkatan keberdayaan
masyarakat hukum adat, maka diharapkan :
a. Adanya aturan hukum yang jelas, yang mengatur eksistensi
masyarakat hukum adat dengan segala hak-haknya, seperti hak
ekonomi, sosial, politik, hukum dan sipil serta kelestarian sumber daya
alam.
b. Adanya pola pembinaan/pemberdayaan masyarakat hukum adat
yang sistematis dan terukur.
M. PROVINSI PAPUA
1. Hukum Tertulis
a. Kewilayahan

52
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Papua (selanjutnya disebut otonomi khusus Papua) sarat
dengan pengaturan mengenai hak-hak masyarakat hukum adat. Pada
bagian Penjelasan Umum ditegaskan, bahwa : ”... pengakuan terhadap
eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat hukum adat dan hukum adat.”

b. Kebudayaan
Undang-Undang Otonomi Khusus Papua menegaskan keberadaan
masyarakat hukum adat, dan hak-haknya atas sumber daya alam tidak
terlepas dari dasar-dasar hukum yang mendasari. Undang-undang ini
mengatur keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak atas sumber
daya alam, sebagai berikut :
1). Pengakuan keterwakilan masyarakat hukum adat dalam proses
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan.
Pengakuan ini dinyatakan dengan menjadikan wakil-wakil
masyarakat hukum adat sebagai salah satu unsur dalam Majelis
Rakyat Papua (MRP). Selain itu juga wakil dari kelompok agama
dan perempuan. Jumlah wakil adat di MRP seluruhnya 1/3 dari
jumlah MRP atau 14 orang. Urgensi keterwakilan masyarakat hukum
adat di dalam MPR adalah :
a). Melalui MRP masyarakat hukum adat dapat melindungi
hak-haknya dari tindakan pelanggaran dan pengabaian oleh
pemerintah dan pemerintah daerah.
b). MRP dapat menyalurkan aspirasi masyarakat hukum adat
dan memfasilitasi penyelesaian masalah yang terjadi pada
masyarakat hukum adat.
2). Perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat, yaitu
hak atas tanah dan hak atas kekayaan intelektual, sebagaimana diatur
pada pasal 43 dan pasal 44.
Hak atas tanah meliputi hak bersama atau hak ulayat dan hak
perorangan (penjelasan pasal 43 ayat (2)). Namun pengakuan
terhadap hak ulayat disertai dengan catatan-catatan, yaitu :
a). Subjek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat bukan
penguasa adat
b). Penguasa adat hanya bertindak sebagai pelaksana
dalam mengelola hak ulayat.
3). Pengakuan terhadap peradilan adat (pasal 51) Undang-Undang
Otonomi Khusus Papua meletakkan peradilan adat sebagai
peradilan perdamaian yang tidak boleh menjatuhkan hukuman
pidana, penjara atau kurungan. Pengakuan peradilan adat
diharapkan dapat mengurangi korban peradilan negara dalam
menyelesaikan sengketa perdata atau perkara pidana yang
melibatkan warga masyarakat hukum adat

53
4). Dalam pasal 64 ayat (1) menegaskan. bahwa Undang-Undang
juga mewajibkan pemerintah Provinsi Papua untuk menghormati
hak-hak masyarakat hukum adat dalam melakukan pengelolaan
lingkungan hidup. Program inventarisasi, pengukuran dan
pemetaan tanah-tanah ulayat di Provinsi Papua akan dilakukan oleh
pemerintah Kabupaten/ Kota dengan menggunakan dana dari
APBD Provinsi dan Kabupaten/ Kota.
Dalam pasal 6 Undang-Undang Otonomi Khusus, mengatur mengenai
bidang sosial :
1). Pemerintah provinsi memberikan perhatian dan penanganan
khusus bagi pengembangan suku-suku yang terisolasi, terpencil dan
terabaikan di Provinsi Papua.
2). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Perdasus.

Berkaitan dengan ekonomi, Pemerintah Kabupaten Jayapura


mengeluarkan Peraturan daerah Kabupaten Jayapura Nomor 3 Tahun
2000 tentang Pelestarian kawasan Hutan Sagu. Peraturan Daerah ini
dikeluarkan sebagai upaya untuk melindungi kawasan hutan sagu
sebagai cadangan bahanmakanan lokal, yang cendeung semakin
berkurang dari tahun ke tahun. Bab IV tentang Pemanfaatan dan
Pengelolaan pada pasal 8 (2) menegaskan bahwa ”kegiatan
pengembangan kawasan hutan dilakukan bersama masyarakat
setempat”. Kemudian pada bab VII tentang Larangan pada pasal 14 (2)
menegaskan bahwa larangan penjualan dan atau pelepasan tanah pada
kawasan hutan sagu, baik hak miliki perrorangan maupun milik bersama
atau hak ulayat. Apabila Peraturandaerah (Perda) ini dapat berjalan
efektif, maka Masyarakat hukum adat di Papua tidak akan pernah
menghadapi kekurangan cadangan bahan makanan sepanjang tahun.
Selanjutnya berkaitan dengan pengaturan wilayah masyarakat
hukum adat, saat ini dibuat Rancangan Perda Khusus Hak-hak
Masyarakat hukum adat. Rancangan ini disiapkan sebagai respon
terhadap peraturan yang telah ada karena dinilai :
1). Belum terdapat ketentuan-ketentuan yang dapat menyelesaikan
persoalan-persoalan kongkrit untuk membedakan antara hak ulayat
dengan hak perorangan, apakah hak ulayat meliputi tanah, hutan
dan perairan
2). Rancangan Perdasus tanah layat dilihat masih harus mengacu
pada peraturan-peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
namun wilayah pelestariannya dibayangkan tidak hanya di luar
kawasan hutan, tetapi juga di dalam kawasan hutan.

54
3). Pengakuan hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan SDA
setiap sektor sebaiknya dilandasi oleh Perdasus yang mengakui
hak-hak masyarakat hukum adat
4). Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) sudah membuat
pokok-pokok pikiran sebagai bahan untuk menyusun Perdasus
mengenai suku-suku terasing, Perdasus ini akan menjadi Peraturan
Pelaksanaan dari pasal 66 Undang-undang Otonomi Khusus.

Kemudian Pemerintah Daerah Provinsi juga telah menyiapkan


Rancangan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua tentang
Penanganan Khusus terhadap Suku-Suku Terasing, Terpencil dan
Terabaikan di Provinsi Papua. Rancangan yang telah disiapkan sejak
tahun 2002 ini sebagai bentuk komitmen pemerintah daerah betapa
pentingnya pembangunan sosial yang khas di Provinsi Papau.
Terutamam bagi suku-suku terisolir, terpencil dan terabaikan.
Pada Bab II diatur hak-hak masyarakat suku terabaikan, yaitu hak
menikmati semua bentuk pelayanan pembangunan yang meliputi
pendidikan, kesehatan, perbaikan gizi, sanitasi, perbaikan perkampungan,
sandang, pangan dan informasi pembangunan; dan hak atas pembinaan
secara berkesinambungan dalam segala aspek kehidupan.
Kemudian pada bab III diatur penanganan dan pembinaan suku
terbaikan, dimana pasal 3 dan psal 4 mengatur kewajiban Pemerintah
Daerah untuk melakukan studi sosial guna memperoleh data populasi
dan pesebaran suku-suku terabaikan, menyusun prorgam dan model
penanganan, pemberian bantuan, tidak memberikan tekanan yang
memaksa yang menyebabkan suku-suku terabaikan kehilangan harga
diri, dan pelibatan kelompok masyarakat dalam pembangunan.
Selanjutnya pada bab IV diatur pemberdayaan kelompok suku
terabaikan, dimana pada pasal 5 dan pasal 6 mengatur tanggung jawab
Pemerintah Daerah dalam penyiapan program pemberdayaan, kebijakan
khusus, menyediakan forum peran serta masyarakat, pola
pendampingan, dan kemitraan dalam pemberdayaan.
Selanjutnya sebagai bentuk komitmen Pemerintah Provinsi Papua
terhadap Komunitas Adat Terpencil, sebagai bagian dari suku-suku
terisolir, terpencil dan terabaikan sebagaimana diatur di dalam
Rancangan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua tentang
Penanganan Khusus terhadap Suku-Suku Terasing, Terpencil dan
Terabaikan di Provinsi Papua tahun 2002, telah sejak tahun 2003 telah
disiapkan rancangan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua tentang
Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil.
Pada bab III pasal 5 pada rancangan peraturan tersebut mengatur
peranan pemerintah, dalam hal kebijakan teknis, pemberian kewenangan
kepada Dinas Kesejahteraan Sosial sebagai unit teknis yang melakukan

55
kegiatan pemberdayaan, koordinasi fungsional antara pemerintah
provinsi dan kabupaten, studi sosial bersama perguruan tinggi dan
standar pelayanan sesuai dengan kebijakan Menteri Sosial.
Khusus berkaitan dengan pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil
(KAT), Badan Perncana dan Pengendali Pembangunan Daerah (BP3D)
memfasilitasi pertemuan 4 instansi yang menangani pemukiman KAT,
yaitu :
1). Dinas Kesejahteraan Sosial, Badan Pembangunan Masyarakat
Desa (BPMD), Dinas Kependudukan dan Transmigrasi, serta Dinas
Pekerjaan Umum. Kesepakatan itu adalah pembagian kerja antara
Dinas Kesejahteraan Sosial dengan BPMD dalam hal penanganan
masyarakat terisolir atau KAT.
2). Pembagian kerja :
a). Dinas Kesejahteraan Sosial bertugas mengumpulkan
masyarakat menjadi komunitas yang relatif menetap termasuk di
dalamnya menyediakan perumahan
b). Setelah itu, BPMD tersebut masuk untuk memfasilitasi
pembentukkan pemerintah kampung
c). Pemerintah Provinsi Papua sudah mulai menganggarkan
dana untuk masyarakat terasing yang dikelola oleh BPMD.
2. Hukum Tidak Tertulis
a.Kewilayahan
Wilayah kekuasaan adat untuk masyarakat Biak berjejeran dari
petak laut atau dalam bahasa setempat ”swan fior” sampai ke hutan
belantara atau ”kannggu”. Dalam suatu wilayah (bar) terdapat sejumlah
kampung.
b. Kebudayaan
Dalam mengatur tatanan kehidupan, masyarakat hukum adat di
Kabupaten Biak mempunyai pranata-pranata adat yang berfungsi
mengendalikan pola relasi adat di antara masyarakat dan dengan alam.
Masyarakat hukum adat mempunyai institusi adat yang merupakan
institusi tertinggi, dengan kekuasaan dan pengaruh yang sangat besar. Ia
mengatur aktifitas dan pergaulan hidup antar warga Masyarakat hukum
adat, maupun antara warga masyarakat hukum adat dengan pihak luar.
Masyarakat hukum adat ini memiliki kepala institusi adat (kepala suku)
dengan struktur yang sudah jelas.
Sistem kepemimpinan adat Biak diperoleh karena diwariskan dan
juga pengakuan terhadap jasa dan keberanian seseorang atau menurut
Mansoban (kepemimpinan campuran). Seorang ayah memiliki gelar
korano dapat mewariskan gelar itu kepada anak yang ditakini bisa
meneruskan kepemimpinannya. Warga Masyarakat hukum adat yang
mengabdi dengan sungguh-sungguh dan berjasa bagi ksejahteraan
masyarakat hukum adat, dipilih secara demokratis menjadi pimpinan

56
dalam wilayah adatnya. Kekuasaan dalam adat Biak bisa dijalankan oleh
Mambri, Mananwir, Manpakpok, Benana, Manswabye dan
Mansasonanem.
Mambri, adalah pengakuan atas kepahlawanan seorang tokoh karena
keberanian, kejujuran, kemampuannya dalam melakukan perkara-perkara
berr. Misal, menjelajah daerah yang paling jauh, atau kehebatannya
dalam perang. Mananwir, adalah pemimpin marga atau keret yang
diwariskan atau bergantian kepada keluarga yang lebih dahulu
menempati atau memiliki wilayah adat tertentu. Manpakpok, adalah
seseorang yang jago berkelahi, tukang pukul. Benana, adalah orang yang
memiliki banyak harta benda (kaya). Manswabye, adalah seseorang yang
pandapi berbicara atau berdiplomasi. Mansasonanem, adalah seorang
pemanah yang handal. Dari sistem kepemimpinan tersebut, saat ini yang
menonjol adalah sistem kepemimpinan Mananwir sebagai pemerintahan
adat.
Institusi adat di Kabupaten Biak saat ini dikenal dengan nama ”Dewan
Adat Byak (DAB)”, yang lahir atas aspirasi dan dorongan masyarakat
hukum adat Byak. Proses lahirnya DAB dimuali dari kesadaran beberapa
tokoh adat (mananwir) bahwa Masyarakat hukum adat Biak pada kondisi
terpuruk dalam berbagai aspek kehidupan, yaitu pendidikan, kesehatan,
ekonomi, sosial budaya dan politik. Dengan demikian lahirnya DAB
sebagai media untuk memperjuangkan atau mengkonsultasikan
Masyarakat hukum adat untuk bangkit dari keterpurukan.
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan
b. Implementasi
Meskipun telah ada perundang-undangan yang melindungi
eksistensi masyarakat hukum adat, lembaga adat dan adat istiadat di
Biak (Papua), pada implementasi belum optimal. Hal ini yang
mendorong, salah satunya kelahiran Dewan Adat Byak (DAB) untuk
memperjuangkan hak-hak mereka dan bangkit dari keterpurukan dalam
semua apsek kehidupan.
c.Kendala
Implementasi pengakuan hukum terhadap Masyarakat hukum adat
belum efektif. Masih ada kendala yang berasal dari masyarakat sendiri,
masyarakat luar maupun pemritnah, yaitu :
1). Peran dan eksistensi lembaga belum banyak dipahami oleh
orang luar dan bahkan bagi masyarakat hukum adat.
2). Domain kebijakan sampai saat ini masih dikendalikan oleh
pemerintah daerah, termasuk dalam pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya alam.
5. Harapan
Dalam kerangka penguatan dan pemberdayaan Masyarakat hukum adat,
maka peranan dan aktivitas Lembaga Adat perlu ditingkatkan, yaitu :

57
a.Lembaga Adat tidak hanya mengatur masalah adat – budaya saja,
tetapi juga mengatur masalah sosial, ekonomi dan hak-hak dasar
masyarakat hukum adat dalam pembangunan.
b. Lembaga Adat memiliki peranan untuk mengontrol lebijakan
pemerintah daerah, terutama berkenaan dengan pengelolalan sumber
daya alam, lam diperkuat, diberdayakan dan difasilitasi untuk
meningkatkan apresiasi bersama terhadap nilai-nilai adat, komitmen dan
berpihak kepada masyarakat secara profesional dalam menjalankan
tugas-tugasnya.

58
BAB IV

DIMENSI YURIDIS DAN EMPIRIS MASYARAKAT HUKUM ADAT

A. DIMENSI YURIDIS MASYARAKAT HUKUM ADAT

Negara Republik Indonesia dengan jelas dan tegas mengakui eksistensi


masyarakat hukum adat di Indonesia. Di dalam UUD 1945 Perubahan Kedua,
Pasal 18 B ayat (2) menyatakan : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adapt beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip
Negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undag-undang”.
Kemudian di dalam Pasal 28 I ayat (3) Perubahan Kedua menyatakan :”identitas
budaya dan hak masyarakat tradisonal dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban “.
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia menyatakan :” dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan
dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi
oleh hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan
perkembangan zaman”. Kemudian ayat (2) menyatakan :” identitas budaya
masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum adat,
termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dngan perkembangan zaman”.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
pada padal 3 menyatakan : “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan pada pasl 1
dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat
hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan lain yang lebih tinggi”. Kemudian pada Peratruan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat, pada Bab I pasal 1
dijelaskan bahwa masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat
oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hokum
karena kesamaan tempat tinggal ataupun dasar keturunan. Dan tanah ulayat
adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat
hukum adat tertentu.
Selanjutnya di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 pasal 43
tentang Provinsi Papua menegaskan pemberian perlindungan hak-hak

59
masyarkaat hukum adat, termasuk hak atas tanah yang dimiliki masyarakat
hukum adat secara bersama-sama maupun hak perorangan pada warga
masyarakat hukum adat bersangkutan.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut di atas, bahwa masyarakat hukum
adat menjadi bagian dari warga bangsa Indonesia yang kebutuhan, hak-hak atas
tanah dan hak-hak lainnya, identitas budaya dan hak-hak tradisionalnya harus
diperhatikan dan dilindungi oleh Negara dan Pemerintah. Hal ini menunjukkan,
bahwa Negara dan Pemerintah memiliki komitmen yang besar, bahwa
masyarakat hukum adat tidak boleh tertinggal dan tidak dapat berpartisipasi
dalam proses pembangunan. Sebagaiaman dikemukakan oleh Mulyana (2006),
pemerintah Pusat mewakili Negara harus :
1. Mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat.
2. Menghormati identitas budaya dan hak masyarakat hukum adat.
3. Memberikan kesempatan kepada masyarakat hukum adat untuk
mengaktualisasikan hak ulayat sepanjang masih ada dan sesuai dengan
kepentingan nasional.
4. Melakukan pembinaan dan pemberdayaan kepada masyarakat hukum
adat dalam pengelolaan kehutanan, agar hutan ulayat dapat lestari dan
menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat hukum adat.
5. Menetapkan kriteria masyarakat hukum adat.
6. Menetapkan pedoman kompensasi untuk masyarakat hukum adat yang
kehilangan akses terhadap hutan akibat penerapan kawasan hutan tertentu,
termasuk hilangnya akses untuk membuka hutan ulayat.
Perundang-undangan yang secara khusus menjelaskan pembinaan
kesejahteraan sosial terhadap Komunitas Adat Terpencil, adalah Keputusan
Presiden RI Nomor 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial
Komunitas Adat Terpencil. Keputusan Presiden RI tersebut intinya memberikan
kewenangan kepada Departemen Sosial RI untuk menyelenggarakan program
pembinaan kesejahteraan sosial bagi Komunitas Adat Terpencil. Berdasarkan
Keputusan Presien RI tersebut Departemen Sosial RI mengembangkan program
pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang secara teknis dilaksanakan
oleh instansi sosial di daerah melalui dana dekonsentrasi (sebagai catatan :
sebenarnya program pemberdayaan KAT sduah dimulai sejak awal tahun 70-an
yang pada waktu itu menggunakan istilah Masyarakat Suku-Suku Terasing).
Meskipun program pemberdayaan KAT tersebut sudah lebih tiga dasa warga
diselenggarakan oleh pemerintah Pusat melalui dukungan dana APBN, sebagian
besar Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten menunjukkan dukungan yang
optimal. Bahkan sebagian Daerah (instansi sosial di Daerah) belum memiliki
struktur organisasi, program dan anggaran yang secara khusus berhubungan
dengan pemberdayaan KAT.
Kurangnya kosistensi antara komitmen Pusat dengan Daerah (Provinsi dan
Kabupaten) dapat dicermati dari belum tersedianya Peraturan Daerah Provinsi

60
maupun Kabupaten yang mengatur pemberdayaan dan perlindungan masyarakat
hukum adat (termasuk KAT). Baru sebagian kecil Pemerintah Provinsi dan
Kabupten yang sudah menerbitkan Peraturan Daerah atau Keputusun Gubernur
dan Bupati. Dari Peraturan Daerah yang ada, pada umumnya memusatkan
perhatian atau pengatur persoalan yang berkaitan dengan kewilayahan (hak
tanah ulayat) dan sistem organisasi sosial (lembaga adat dan struktur organisasi
pengelola lembaga adat). Sedangkan persoalan yang berkaitan dengan
perlindungan hak-hak untuk akses terhadap pelayanan sosial dasar belum diatur
di dalam Peraturan Daerah tersebut.
Oleh karena belum ada payung hukum di tingkat Daerah, maka
penghormatan, penghargaan, atas perlindungan eksistensi dan hak-hak
masyarakat hukum adat serta program-program pemberdayaan bagi mereka
belum dapat dilaksanakan. Hal ini menggambarkan, bahwa para admainistrator
pembangunan di Daerah cenderung mengalami bias pemikiran, bahwa
pembangunan sosial (khususnya pemberdayaan masyarakat hukum adat), tidak
memberikan umpan balik dan keuntungan secara ekonomis; dan oleh karena itu
belum perlu ditempatkan sebagai program prioritas.
Padahal, masyarakat hukum adat adalah warga bangsa sebagaimana warga
bangsa pada umumnya. Oleh karena itu mereka harus diposisikan sebagai
potensi dan sumber daya pembangunan. Maka dari itu, sudah selayaknya
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten melaksanakan fungsi dalam
kerangka menghormati, menghargai dan melindungi masyarakat hukum adat.
Menurut Mulyana (2006), ada sejumlah fungsi dan tugas yang harus
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten, yaitu :
1. Melindungi masyarakat termasuk masyarakat hukum adat.
2. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
3. Melestarikan nilai sosial budaya.
4. Menetapkan kriteria kesatuan masyarakat hukum adat dan kriteria
teknis hak ulayat.
5. Menerbitkan Perda yang mengatur perlindungan terhadap masyarakat
hukum adat, hak ulayat, mekanisme dan prosedur penetapan hak ulayat, serta
pembinan masyarakat hukum adat.
6. Menyelenggarakan pembinaan terhadap masyarakat hukum adat,
khususnya menyangkut pembinaan fungsi sosial hak ulayat dan pelestarian
adat budaya daerah, serta pengembangan nilai-nilai luhur yang terkandung di
dalam budaya lokal.
Pemikiran Mulyana (2006) tersebut apabila dapat diimplemetntasikan oleh
Pemerintah Daerah tentu akan mengangkat harkat dan martabat masyarakat
hukum adat sejajar dengan warga masyarakat pada umumnya. Namun kenyataan
yang terjadi, bahwa sampai saat ini Pemerintah Daerah masih cukup sulit untuk
merealisasikan butir-butir tersebut. Padahal pihak pemeritnah pusat melalui
Departemen Dalam Negeri telah mendorong Pemerintah Derah untuk
memberikan kritik dan saran perbaikan apabila Peraturan dan Perundang-

61
undangan (Undang-undang Peraturan Pemerintah maupun Keputusan Presiden)
tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan.

B. DIMENSI EMPIRIS MASYARAKAT HUKUM ADAT


Secara empiris hamper setiap daerah (provinsi dan kabupaten) di Indonesia,
dapat ditemukan masyarakat hukum adat. Mereka dicirikan dengan sekelompok
orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu
persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun dasar keturunan.
Secara empiris mereka mendiami daerah yang secara geografis terpencil dan sulit
dijangkau, tidak terjangkau oleh pelayanan sosial dasar, dan sumber
penghidupannya sangat bergantung pada alam.
Mereka hidup dalam berbagai keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan
sosial dasar, seperti sandang, pangan, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan.
Mereka mengkonsumsi makanan jauh dari strandar gizi yang diajurkan, memakai
pakaian yang tidak pantas, menempati rumah yang tidak layak huni, kesehatan
yang memburuk dan tidak bisa berpartisipasi dalam pendidikan. Oleh karena
keterbatasannya dalam memenuhi kebutuhan sosial dasar tersebut, maka mereka
mengalami hambatan untuk dapat menjaga kelangsungan hidupnya atau angka
kematian pada mereka relative cukup tinggi (lihat Manurung, 2006).
Dalam kondisi yang senantiasa diliputi keterbatasan tersebut, masyarakat
hukum adat dihadapkan dengan berbagai permasalahan, seperti semakin
berkurangnya ruang gerak mereka disebabkan menyempitnya tanah ulayat yang
pindah ke tangan inverstor. Di Provinsi Riau maupun di Provinsi Sumatera Utara,
masyarakat hukum adat banyak kehilangan tanah ulayatnya karena diolah oleh
PTP untuk perkebunan karet dan kelapa sawit. Kemudian sebagian hutan tempat
tinggal masyarakat hukum adat berubah fungsi menjadi hutan lindung, dimana
dengan penetapan sebagai hutan lindung berarti siapapun dilarang untuk
memasuki hutan tersebut. Masyarakat hukum adat rentan menjadi korban
eksploitasi dan atau perdagangan manusia untuk kepentingan pengusaha hutan.
Pengusaha hutan memanfaatkan kebodohan mereka untuk kepentingannya
seperti dalam penebangan liar (illegal loging).
Kondisi tersebut ditambah lagi dengan semakin kuatnya pengaruh dari luar
yang merusak nilai-nilai dan kearifan lokal yang selama ini dipelihara secara turun
temurun. Lemahnya peraturan pemerintah yang mengatur eksistensi dan hak-hak
masyarakat hukum adat, menyebabkan aturan-aturan adat tidak dihormati dan
dihargai oleh orang-orang dari luar.
Meskipun masyarakat hukum adat dihadapkan dengan berbagai
keterbatasan dan permasalahn, tetapi mereka sangat kurang disentuh oleh
program-program pemerintah. Alasannya karena mereka mendiami lokasi yang
secara geografis terpencil dan sangat sulit dijangkau, seperti di pedalaman, rawa-
rawa, pegugungan dan perbatasan antar Negara, dan di perairan. Selain itu,
sebagian masyarakat hokum adat masih memiliki pola hidup berpinah-pindah
dari satu tempat ke tempat lain yang jaraknya cukup jauh (nomaden). Oleh karena

62
tidak terjangkau program pemerintah, maka sebagian dari mereka yang
mendiami kawasan perbatasan antar Negara, seperti masyarakat hokum adat di
Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, NTT, Papua dan Kepri; menjadi pelintas
batas antar Negara yang tuannya semata-mata untuk kelangsungan hidup.
Terjadinya pelintas batas antar Negara ini tentu akan menimbulkan persoalan
hubungan antar Negara.
Dari sisi kemanusiaan, kondisi yang dihadapi oleh masyarakat hukum adat
yang tersebar di 30 Provinsi di Indonesia, benar-benar sangat memprihatinkan.
Mereka sangat membutuhkan dukungan, perlindungan dan pemberdayaan dari
pemeritnah untuk dapat meningkatkan harkat dan martabatnya. Sebagai warga
bangsa, mereka merindukan hak-haknya atas hidup, kesejahteraan dan hak ulayat
atas tanah (lihat LAM Jambi, 2005).
Berdasarkan kondisi faktual masyarakat hukum adat, maka kebijakan dan
program kesejahteraan sosial bagi mereka merupakan suatu keharusan, sebagai
wujud tanggung jawab Negara dan Pemerintah. Mereka adalah warga Negara
(sebagaimana warga Negara Indonesia pada umumnya) yang memiliki hak untuk
hidup sejahtera dan berpartisipasi dalam pembangunan.

BAB V

PENUTUP

Negara dan Pemerintah mengakui dan menghargai eksistensi masyarakat


hukum adat di Indonesia. Pengakuan dan penghargaan dari Negara dan Pemerintah
tersebut dapat dicermati dari produk yuridis yang menjadi payung hukum program

63
perlindungan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat, baik oleh instansi
Pemerintah sektoral maupun oleh organisasi sosial/LSM dan dunia usaha. Dari pihak
masyarakat, perhatian terhadap masyarakat hukum adat terlihat dari berbagai upaya
yang dilakukan oleh organisasi sosial/LSM dalam memperjuangkan hak-hak dasar
masyarakat hukum adat, antara lain hak atas tanah ulayat, pendidikan, kesehatan dan
kesejahteraan.
Pengakuan dan penghargaan terhadap masyarakat hukum adat tersebut
menunjukkan adanya kesadaran, bahwa masih ada masyarakat Indonesia yang
menjalani kehidupan yang khas, sarat dengan nilai-nilai, norma dan adat istiadat
yang positif, tetapi dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Meskipun demikian,
pada era transformasi sosial budaya yang cepat dewasa ini, mereka masih mampu
mempertahankan keserasian hubungan dengan sesama manusia, alam dan
penciptanya. Semua itu adalah bentuk kebudayaan menjadi modal sosial (social
capital) dalam pembangunan nasional apabila dapat diberdayakan secara optimal.
Sehubungan dengan itu, maka diperlukan kebijakan dan instrumen yang
mampu melindungi dan memberdayakan masyarakat hukum adat tanpa mencabut
mereka dari akar sosial budaya aslinya. Sebagaimana dikemukakan pada bab
sebelumnya, bahwa secara yuridis Negara dan Pemerintah telah menerbitkan
peraturan perundang-undangan yang secara langsung berkaitan dengan
perlindungan dan pemberdayan masyarakat hukum adat. Namun demikian,
kehendak Negara dan Pemerintah tersebut belum diikuti oleh Pemerintah Provisni
maupun Kabupaten. Sebagian besar Pemerintah Provinsi maupun Kabupten hingga
saat ini belum memiliki Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Gubernur/Bupati
yang berkenaan dengan perlindungan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat.
Implikasi dari belum tersedianya peraturan perundang-undangan daerah tersebut,
maka di lapangan masih seringkali terjadi permasalahan antara Pemerintah dengan
masyarakat hukum adat yang berlarut-larut.
Semua pihak tentu tidak menghendaki terjadinya konflik sosial yang bercorak
kekerasan, disebabkan adanya perlakuan tidak adil dari pihak luar atas hak-hak atas
tanah ulayat yang sudah dikuasai masyarakat hukum adat secara turun temurun.
Maka dari itu, apabila terjadi pengalihan hak atas tanah ulayat kepada dunia usaha,
seharusnya tetap memberikan kentungan kepada masyarakat hukum adat tersebut.
Terkait dengan itu, sebagai bagian dari upaya perlindungan hak asasi manusia,
Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten perlu menerbitkan peraturan perundang-
undangan tentang perlindungan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat.
Peraturan perundang-undagan dimaksud tentu berpihak kepada kepentingan, harkat
dan martabat masyarakat hukum adat sebagai warga Negara. Potensi yang belum
banyak dipahami oleh orang luar, bahwa masyarakat hukum adat memiliki sistem
kebudayaan yang khas, yang merupakan keragaman potensi dan sumber daya dalam
pembangunan nasional.

64
65
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Rizal (dkk), 2005, Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat,
Pekanbaru : LPNU Press.
Bahar, Syafroedin, 2006, “Upaya Perlindungan terhadap Eksistensi Hak-hak
Tradisional Masyarakat Adat dalam Perspektif Hakj Asasi
Manusia”, dalam Suwarto (dkk), mengangkat Keberadan Hak-
hak Tradisonal : Masyarakat Adat Rumpun Melayu Se- Sumatera.
Pekanbaru : Unri Press.
Dahrendorf, Ral., 1986, Konflik dan Konflik Dalam Masyarakat Industri: Sebuah
analisa kritik. Jakarta: CV.Rajawali
Dharmayua, Made. Suathawa, 2001, Desa Adat : Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di
Propinsi Bali, Bali : Upada Sastra.
Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, 2003,Atlas Nasional Persebaran
Komunitas Adat Terpencil. Jakarta: Ditjen Pemberdayaan Sosial
Depsos RI.
Hamid, Abu, 2006, Kebudayaan Bugis, Makassar : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Sulawesi Selatan.
LAM Jambi, 2005, “Fakta dan Pengalaman Lembaga Adat Propinsi Jambi dalam
Memperjuangkan Hak Tanah Ulayat Masyarkat Adat Jambi”,
dalam Rizal Akbar (dkk), Tanah Ulayat dan Keberadaan
Masyarakat Adat, Pekanbaru : LPNU Press.
Little, Daniel, 1991 Varieties Social Explanation: An Introducion to the Philosophy of
Social Science. San Francisco: Westview Press
Manurung, Butet, 2006. Sokola Rimba : Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba,
Yogyakarta : INSIST Press.
Mulyana, Agung, 2006, “Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat dalam Rangka
Pembinaan Persatuan dan Kesatuan Bangsa”, makalah
disampaikan pada Musyawarah lembaga adapt Rumpun Melayu
se-Sumatera tanggal 14-17 April 200, di Riau.
M. Yunus Melalatoa, 1995 Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia. Jilid A-Z. Jakarta:
Terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Parsons, Talcott, 1951 The Social System: The Major Exposition of the Author &
Conceptual Schema or the Analysis of Dynamics of the Social
System. Canada: Collier Macmillan, Ltd.
Parsudi Suparlan (Penyunting), 1993, Pembangunan yang Terpadu dan
Berkesinambungan: Keterpaduan Pemanfaatan Sumber-Sumber
dan Potensi Masyarakat Untuk Peningkatan Dan Pengembangan
Pembangunan Masyarakat Pedesaan Yang Berkesinambungan.
Jakarta: Terbitan Balitbangsos Depsos RI

66
Radcliffe-Brown, 1980, Struktur dan Fungsi Dalam Masyarakat Primitif. Malaysia Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka Kementerian Pelajaran.
Rostow, W.W. 1962 The Process of Economic Growth. New York: W.W. Norton
and Company Inc.
Simarmata ,Rikarda, 2006, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat Di
Indonesia. Regional Initiative on Indigenous Peoples Rights and
Development (RIPP) UNDP Redional Center in Bangkok.
Suwardi (dkk), 2006, Pemetaan Adat Masyarakat Melayu Riau Kabupten/Kota se-
Provinsi Riau, Pekanbaru : Unri Press.
Suwarto (dkk), 2006, Mengangkat Keberadaan Hak-hak Tradisional Masyarakat Adat
Rumpun Melayu Se-Sumatera, Pekanbaru : Unri Press.
Widjaja , A.W. (Ed.) 1986 Manusia Indonesia: Individu, Keluarga dan Masyarakat.
Jakarta: Penerbit Akademika Pressindo C.V
Wallerstein, Immanuel, 1997 Lintas Batas Ilmu Sosial. Yogyakarta: Terbitan LKis

67

Anda mungkin juga menyukai