Abstract
The use of normative juridical approach which is based on positivistic paradigm and socio-
juridical approach which is based on constructivist paradigm in terms of a review of local
knowledge systems of indigenous peoples in the management of natural resources tend to be
separated. This trend has implications for the emergence of ambivalence in attitude research
approaches among researchers both from academia law and law students. It required a modeling
approach that is able to elaborate and integrate both approaches to address research problems.
Abstrak
Penggunaan pendekatan yuridis normatif yang bersumber pada paradigma positivistik
dan pendekatan yuridis sosiologis yang bersumber pada paradigma konstruktivistik
dalam melakukan kajian terhadap sistem kearifan lokal masyarakat adat dalam
pengelolaan sumber daya alam cenderung didikotomikan. Kecenderungan ini
berimplikasi pada munculnya sikap ambivalensi dalam menggunakan pendekatan
penelitian dikalangan peneliti ilmu hukum baik dari akademisi maupun para penstudi
hukum. Untuk itu diperlukan model pendekatan yang mampu mengelaborasi dan
mengintegrasikan kedua pendekatan tersebut untuk menjawab permasalahan penelitian.
menyebabkan kerusakan lingkungan. Pada langan akses atas sumberdaya alam berupa
saat yang sama, karena kehidupan mereka ter- hutan, pesisir dan lautan serta tanah yang pada
gantung pada dipertahankannya integritas gilirannya juga menghancurkan kelembagaan
ekosistem tempat mereka mendapatkan maka- dan hukum masyarakat adat setempat. Hal ini
nan dan rumah, kesalahan besarnya biasanya dapat terjadi karena dalam proses perencanaan
tidak akan terulang. Pemahaman mereka ten- dan peruntukan tanah, hutan, pesisir dan
tang sistem alam yang terakumulasi biasanya lautan oleh pemerintah, masyarakat adat tidak
diwariskan secara lisan, serta tidak dapat dilibatkan dalam pengambilan keputusan
dijelaskan melalui istilah-istilah ilmiah. (Koentjoroningrat,1993).
Pengalaman berinteraksi dan beradaptasi Paradigma dan kebijakan dasar pem-
secara erat dengan alam telah memberikan bangunan yang dominan saat ini adalah ber-
pengetahuan yang mendalam bagi kelompok- orientasi pada industrialisasi untuk memacu
kelompok masyarakat adat dalam pengelolaan pertumbuhan ekonomi (Rostow, 1960). Para-
sumberdaya alam lokalnya. Mereka telah me- digma dan kebijakan pembangunan ini ber-
miliki pengetahuan lokal untuk mengelola sumber pada ideologi kapitalisme yang ber-
tanah, tumbuhan dan binatang baik di hutan sandar pada paradigma ilmu pengetahuan mo-
maupun di laut untuk memenuhi segala kebu- dern yang menganggap bahwa “tradisi dan
tuhan hidup mereka seperti makanan, obat- kearifan lokal adalah suatu masalah” dan meng-
obatan, pakaian dan permukiman. Harus dia- hambat pembangunan. Padahal ilmu penge-
kui bahwa masyarakat adat yang hidup pulu- tahuan modern tidak sepenuhnya berhasil
han ribu tahun merupakan “ilmuwan-ilmuwan menjelaskan sistem ekologi yang komplek. Sis-
yang paling tahu” tentang alam lingkungan me- tem ekologi yang komplek ini sangat beragam,
reka. Sayangnya, sistem pengetahuan lokal baik secara spasial dan temporal, dan menye-
mereka belum banyak didokumentasikan, babkan usaha generalisasi mempunyai arti ke-
dipublikasi dan disosialisasikan, bahkan dalam cil terutama untuk memberi masukan pada
percepatan pembangunan keberadaan mereka usaha perspektif penggunaan sumberdaya
cenderung tersingkir dan terpinggirkan. yang berkelanjutan. Masyarakat ilmiah selama
Secara normatif, UU No. 32 Tahun 2009 ini cenderung menyederhanakan sistem eko-
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ling- logi yang komplek, dengan akibat timbulnya
kungan Hidup (selanjutnya disingkat serangkaian persoalan dalam penggunaan
UUPPLH) mendifinisikan kearifal lokal adalah sumberdaya alam serta kerusakan lingkungan.
nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehi- Guna mendukung paradigma dan kebi-
dupan masyarakat untuk antara lain me- jakan pembangunan semacam ini diciptakan
lindungi dan mengelola lingkungan hidup banyak sekali perangkat hukum dan politik hu-
secara lestari. Definisi ini ternyata mene- kum yang sangat sentralistik bercorak tekno-
guhkan pengertian kearifan lokal secara sosio- kratis dan represif. Hukum nasional diber-
logis sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. lakukan secara seragam dengan mengabaikan
Meskipun secara normatif UUPPLH selalu disparitas regional dan lokal, yang pada gili-
menegaskan bahkan sistem kearifan lokal ha- rannya mematikan otonomi, hukum dan
rus dijadikan asas dalam perlindungan dan kelembagaan masyarakat adat. Proses peming-
pengelolaan lingkungan dan perhatian dalam giran (marginalisasi) masyarakat adat dalam
setiap menyusun rencana perlindungan dan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya
pengelolaan lingkungan hidup. Namun de- alam ini pada gilirannya membangkitkan cu-
mikian dalam kenyataannya keberadaan sis- ltural counter movement, gerakan perlawanan
tem kearifan lokal masyarakat adat dalam pe- budaya masyarakat adat terhadap persistensi
ngelolaan sumber daya alam belum mendapat dan penyingkiran kelembagaan dan hukum
perhatian dan tempat dalam sistem peren- lokal yang selama ini dihargai dan dikukuhi
canaan pembangunan dan pemanfaatan sum- dalam pengelolaan sumberdaya alamnya
berdaya alam nasional. Percepatan pemba- (Soetandyo,1994).
ngunan ternyata telah menyebabkan banyak Keadaan ini juga diperburuk oleh kecen-
kelompok-kelompok masyarakat adat kehi- derungan para peneliti di kalangan ahli hu-
kum, baik dari kalangan akademisi maupun pemikiran ke arah hadirnya pendekatan baru
para penstudi hukum yang mengkaji kebera- sebagai alternatif yang memberikan ruang dan
daan sistem kearifan lokal dalam satu pers- pilihan-pilihan yang lebih terbuka dalam men-
pektif paradigma ilmu hukum, yaitu para- jawab permasalahan penelitian di bidang ilmu
digma positivistik. Pilihan paradigmatig dalam hukum.
pendekatan penelitian ini diperkuat dan Berdasarkan latar belakang tersebut,
diligitimasi oleh orientasi kecenderungan pro- makalah ini memfokuskan kajian pada perma-
gram studi ilmu hukum yang menunggalkan salahan : (1) Mengapa terjadi ambivalensi sikap
pendekatan dalam penelitian hukum, yaitu di kalangan akademisi ilmu hukum dalam
pendekatan normatif. Penunggalan paradigma menggunakan pendekatan yuridis normatif
penelitian ini, pada gilirannya akan berim- dan yuridis sosiologis dalam melakukan pene-
plikasi adanya pendapat dikalangan aliran laahan sistem kearifan lokal masyarakat adat
yang bersisikukuh pada paradigma positi- dalam pengelolaan sumber daya alam? (2) Ba-
vistik, bahwa penelaahan terhadap sistem kea- gaimana seharusnya model pendekatan pe-
rifan lokal masyarakat adat dalam pengelolaan nelitian hukum yang integratif dan responsif
sumber daya alam bersifat ambivalen jika dalam melakukan penelaahan sistem kearifan
menggunakan dua pendekatan sekaligus, yaitu lokal masyarakat adat dalam pengelolaan
pendekatan yuridis normatif dan pendekatan sumber daya alam?
yuridis sosiologis.
Sebaliknya, pendekatan yuridis sosio- Pembahasan
logis an sich, yang digunakan untuk melalukan Perkembangan Paradigma Penelitian Hu-
penelusuran dan penelaan keberadaan sistem kum : Sebuah Telaah Teoretik
kearifan lokal masyarakat adat dalam penge- Kata paradigma atau paradigm itu sen-
lolaan sumber daya alam, juga tidak akan diri sesungguhnya diturunkan dari kata cam-
pernah mampu menyentuh dan memberikan puran, gabungan, atau amalgamasi dari bahasa
simpulan dan rekomendasi yang kritis dan Yunani paradeigma. Dalam hal ini para berarti
mendasar terhadap hukum positif jika tidak „di sebelah‟, „di samping‟, „di sisi‟, „berdam-
menggunakan pendekatan normatif. pingan‟ atau „di tepi‟, sedangkan „deignunai‟
Dengan demikian, debat metodologis atau „deigma‟ bermakna melihat atau menun-
dalam penggunaan metode pendekatan pene- jukkan. Dalam bahasa Inggris, secara semantis
litian di kalangan akademisi dan para penstudi dan sederhana, paradigm atau „paradigma‟ ke-
ilmu hukum di kalangan Perguruan Tinggi mudian dimaknakan sebagai contoh (example),
dalam melakukan telaah terhadap eksistensi pola (pattern), atau „model” (Erlyn,2010).
sistem kearifan lokal masyarakat adat perlu Paradigma sejatinya merupakan suatu
mendapatkan pencermatan dan pengkritisan sistem filosofis „payung‟ yang meliputi onto-
lebih mendalam dan komprehensif, agar hasil logy, epistemology dan metodologi tertentu.
studi tersebut tidak meletakkan sistem kearifan Masing-masing terdiri dari serangkaian „belief
lokal yang dimiliki masyarakat adat dalam dasar‟ atau worldview yang tidak dapat begitu
pengelolaan sumber daya alam pada posisi saja dipertukarkan (dengan „belief dasar‟ atau
yang subordinatif jika berhadap-hadapan vis a worldview dari ontologi, epistemologi dan meto-
vis dengan hukum positif. dologi paradigma lainnya) (Guba,1994). Lebih
Guna menghilangkan dan menghapus daripada sekedar kumpulan teori, paradigma
dikotomis dan sikap ambivalensi dikalangan dengan demikian mencakup berbagai kom-
akademis dan para penstudi ilmu hukum ponen praktek-praktek ilmiah di dalam sejum-
dalam menggunakan pendekatan yuridis nor- lah bidang kajian yang terspesialisasi. Para-
matif dan yuridis sosiologis dalam melakukan digma juga, diantaranya, menggariskan tolok
penelaan sistem kearifan lokal masyarakat adat ukur, mendefinisikan standar ketepatan yang
dalam pengelolaan sumber daya alam diper- dibutuhkan, menetapkan metodologi penelitian
lukan adanya model hipotetik yang lebih in- mana yang akan dipilih untuk diterapkan, atau
tegratif dan responsif. Kehadiran model ini di- cara bagaimana hasil penelitian akan diinter-
harapkan dapat memberikan sumbangan pretasi. Ini berarti makna paradigma meliputi
keseluruhan koleksi, kombinasi, gabungan atau sebenarnya. Mereka mencari ketepatan yang
campuran dari komitmen yang dianut dan tinggi, pengukuran yang akurat dan penelitian
diterapkan oleh anggota-anggotanya suatu yang objektif, juga menguji hipotesa dengan
komunitas ilmu pengetahuan secara bersama- jalan melakukan analisis terhadap bilangan-
sama, yang untuk waktu tertentu menawarkan bilangan yang berasal dari pengukuran. Secara
model permasalahannya berikut pemecahan- axiology, nilai etika dan pilihan moral harus
nya kepada komunitas yang dimaksud (Erlyn, berada di luar proses peneltian. Peneliti harus
2010). dapat membebaskan diri dari objek yang dikaji,
Sejak abad pertengahan sampai era karena sikap ilmiah menghendaki adanya jarak
globalisasi ini, ada empat paradigma ilmu pe- yang menetralisir kedudukan peneliti.
ngetahuan yang dikembangkan oleh para Kedua, Postpositivisme, paradigma ini
ilmuwan dalam menemukan hakekat realitas merupakan aliran yang ingin memperbaiki
atau ilmu pengetahuan yang berkembang kelemahan-kelemahan positivisme yang hanya
dewasa ini. Paradigma ilmu ini adalah : mengandalkan kemampuan pengamatan lang-
Positivistis, postpositivistisme (yang kemudian sung terhadap objek yang diteliti. Secara onto-
dikenal sebagai Classical Paradigm atau Conven- logis aliran ini bersifat critical realism yang
tionalism Paradigm), Critical Theory (Realism) memandang sama bahwa realitas memang ada
dan Constructivism (Guba,1994). Perbedaan dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam,
keempat paradigma ini bisa dilihat dari cara tetapi suatu hal yang mustahil bila suatu
mereka dalam memandang realitas dan mela- realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia
kukan penemuan-penemuan ilmu pengeta- (peneliti). Oleh karena itu secara metodologis
huan ditinjau dari tiga aspek pertanyaan : pendekatan eksperimental melalui observasi
Ontologis (bentuk dan sifat realitas), episte- tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan
mologis (hubungan antara individu dengan metode triangulation yaitu penggunaan ber-
lingkungannya), Metodologis (cara individu macam-macam metode, sumber data, peneliti
mengetahui jawaban), dan Axiologi (Agus, dan teori. Secara epistemology, hubungan an-
2001). tara pengamat dengan objek harus bersifat
Pertama, positivisme, merupakan pa- interaktif, dengan catatan pengamat harus
radigma ilmu pengetahuan yang paling awal bersifat senetral mungkin, sehingga tingkat
muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. subyektivitas dapat dikurangi secara minimal.
Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham Secara axiologi, sikap yang diambil oleh kelom-
ontologi realisme yang menyatakan bahwa pok postpositivisme lebih reaktif, sebab mulai
realitas ada (exist) dalam kenyataan yang disadari bahwa objektivitas mulai diragukan.
berjalan sesuai dengan hukum alam (natural Peneliti mulai terlibat dalam pengambilan ke-
laws). Upaya penelitian adalah untuk meng- putusan, terlibat dalam diskusi dan sampai
ungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan pada proses dalam pengambilan keputusan.
bagaimana relitas tersebut senyatanya berjalan. Ketiga, Critical Theory, aliran ini sebe-
Untuk mencapai kebenaran ini, maka sese- narnya tidak dapat dikatakan suatu paradigma,
orang pencari kebenaran (peneliti) harus me- tetapi lebih tepat disebut ideological oriented
nanyakan langsung kepada objek yang diteliti inquiry, yaitu suatu wacana atau cara pandang
dan objek dapat memberikan jawaban terhadap realitas yang mempunyai orientasi
langsung ke peneliti yang bersangkutan. Hu- ideologi terhadap paham tertentu. Ideologi ini
bungan epistemology ini, harus menempatkan meliputi: Neo Marxisme, Materialisme, Femi-
si peneliti di latar belakang layar untuk nisme, Freireisme, Partisipatory inquiry, dan
mengobservasi hakikat realitas apa adanya paham-paham yang setara. Dilihat dari segi
untuk menjaga objektivitas temuan. Karena itu ontologism, paham paradigma ini sama dengan
secara metodologi, seorang peneliti hendaknya postpositifisme yang menilai obyek atau realita
menggunakan metodologi eksperimen empiric secara kritis (critical realism), yang tidak dapat
atau metode lain yang setara untuk menjamin dilihat secara benar oleh pengamat manusia.
agar temuan yang diperoleh betul-betul ob- Secara epistemology, hubungan antara pe-
jektif dalam menggambarkan keadaan yang ngamat dengan realitas yang menjadi objek
merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisah- metodologi dan axiologi sebagaimana telah
kan. Karena itu, aliran ini lebih menekankan diuraikan dapat dilihat dalam tabel 1.
pada konsep subyektivitas dalam menemukan Berseiring dengan perkembangan pe-
suatu ilmu pengetahuan, karena nilai-nilai ngelompokan ke dalam 4 (empat) paradigma
yang dianut oleh subjek atau pengamat ikut utama di bidang ilmu pengetahuan seba-
campur dalam menentukan kebenaran tentang gaimana telah dijabarkan oleh Egon G. Guba
suatu hal. Secara axilogi, peneliti adalah dan Yvonna S. Lincoln (1994) di depan, muncul
partisipan aktif yang menjembatani keragaman beberapa paradigma aliran filsafat hukum. Me-
subjektivitas pelaku sosial. ngikuti pemikiran Soetandyo Wignjosoebroto
Keempat, Konstruktivisme, paradigma dan Erlyn Indrati perkembangan paradigma
ini hampir merupakan antitesis dari paham aliran filsafat hukum tersebut meliputi : (1)
yang meletakkan pengamatan dan objektivitas Legal philosophy/Theology, Natural Law dan Legal
dalam menemukan suatu realitas ilmu Positivism, (2) Legal Realism/Behavioralism, Legal
pengetahuan. Secara ontologis, aliran ini me- Structuralism/Fungsionalism, Law and Society, dan
nyatakan bahwa realitas itu ada dalam bentuk Sociology of Law, (3) Critical Legal Theory, Critical
bermacam-macam konstruksi mental, ber- Legal Studies, Feminist Jurisprudence, dan (4)
dasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan Legal interpretivism/Symbolic Interactionism dan
spesifik dan tergantung pada orang yang Legal Constructivism.
melakukannya. Karena itu suatu realitas yang Paradigma aliran filsafat hukum yang
diamati oleh seseorang tidak bisa dige- terakhir, legal constructivism menjadi fokus
naralisasikan kepada semua orang seperti yang kajian yang relevan dalam pembahasan tentang
biasa dilakukan di kalangan positivis atau kearifan lokal. Pada legal constructivism, mem-
postpositivis. Karena dasar filosofis ini, maka berikan pemahaman atau makna hukum : (1)
hubungan epistemologis antara pengamat dan Law as relative and contekstual consensus (Hukum
objek menurut aliran ini bersifat satu kesatuan, sebagai kesepakatan, relative dan konstekstual
subjektif dan merupakan hasil perpaduan baik tertulis maupun tidak); (2) Law as mental
interaksi diantara keduanya. Oleh karean itu construction; (3) Law as experiential realities.
secara metodologis aliran ini menerapkan Dengan pemahaman dan pemaknaan hukum
metode hermeneutics dan dialectics dalam proses yang seperti itu, paradigma legal constructuvism
pencapaian kebenaran. Metode pertama memiliki ciri hukum atau karakteristik hukum
dilakukan melalui identifikasi kebenaran atau sebagai berikut : Pertama, Konstruksi mental
konstruksi pendapat dari orang perorang, yang bersifat relative, majemuk, beragam, in-
sedangkan metode kedua mencoba untuk tangible, lokal dan spesifik ( walaupun elemen
membandingkan dan menyilangkan pendapat serupa dijumpai pada individu, kelompok ma-
dari orang perorang yang diperoleh melalui syarakat maupun budaya yang berbeda);
metode pertama untuk memperoleh suatu berbasis sosial/experiential; Kedua, Rekons-
konsensus kebenaran yang disepakati bersama. truksi/ revisi/ atau perubahan terjadi berkesi-
Dengan demikian, hasil akhir dari suatu nambungan, sejalan dengan pengkayaan infor-
kebenaran merupakan perpaduan pendapat masi dan „sofistikasi‟ atau „olah cipa-rasa‟;
yang bersifat relatif, subjektif dan spesifik Ketiga, Yang ada, setiap saat, adalah consensus
mengenai hal-hal tertentu. Secara axiologi, atau kesepakatan relative berkenaan dengan
kelompok ini melihat “nilai” sebagai bagian konstruksi tersebut, sesuai dengan konteks
yang tidak terpisahkan dari suatu penelitian. ruang dan waktu.
Keterkaitan keempat paradigma : Posi- Paradigma legal constructivism (Guba,
tivistis, postpositivistisme (yang kemudian 1994). Paradigma ini tergolong dalam para-
dikenal sebagai Classical Paradigm atau Con- digma hukum non-sistematik atau non positi-
ventionalism Paradigm), Critical Theory (Realism) vistik. Paradigma dalam konteks penelitian ini
dan Constructivisme dengan cara mereka me- dipahami sebagai suatu sistem filosofi utama,
mandang realitas dan melakukan penemuan- induk, atau ‟payung‟ yang terbangun dari on-
penemuan secara ontologis, epistemolog, tologi, epistemologi, dan metodologi tertentu,
yang masing-masing terdiri dari ‟set‟ belief da-
sar atau worldview yang tidak dapat
Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 1, April 2013 50
Ambivalensi Pendekatan Yuridis Normatif dan Yuridis Sosiologis dalam menelaah Sistem Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam
Rumusan UUD RI 1945, Pasal 18 B ayat (2) mereka, khususnya yang menyangkut identitas
sangat limitatif dan terlalu sulit dioperasional. budaya dan kehidupan spiritual mereka. Itulah
Terdapat 5 syarat mutlak yang bersifat kumu- deklarasi yang menyatakan pengakuan pada
latif agar masyarakat adat memperoleh the peoples right of internal self-determination
jaminan perlindungan hukum atas ha-hak (Soetandyo,2008).
tradisionalnya, yaitu (i) termasuk dalam pe- Apabila fakta adanya ruang selisih
ngertian kesatuan masyarakat hukum adat; (ii) hukum undang-undang negara dan hukum
kesatuan masyarakat hukum adat itu sendiri rakyat yang informal dan tidak tertulis itu
memang masih hidup; (iii)perkembangan ke- dipandang sebagai suatu masalah kompetisi
satuan masyarakat hukum adat dimaksud yang berpotensi konflik atara sentral dan lokal
sesuai dengan perkembangan masyarakat; (iv) maka perkembangan dalam pergaulan politik
sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan dan hukum antar bangsa itu dapat dicatat
Republik Indonesia, dan (v) diatur dalam sebagai terolahnya kebijakan yang mengarah
undang-undang (Jimly,2005). kepada solusi kompromistis (Soetandyo,2008).
Rumusan ini, menurut Satjipto, masih Pengaturan subtansi norma hukum posisitif
ditulis dalam tradisi kemutlakan dan hege- seperti dimaksud di atas, memperlihatkan sifat
monial serta menunjukkan betapa negara ambiguitas (ambiguity) dari negara (baca peme-
merasa memiliki sekalian kekuasaan (authority) rintah), di satu sisi mengakui keberadaan
dan kekuasaan (power) untuk menentukan apa sistem kearifan lokal masyarakat adat dalam
yang terjadi di Negara Kesatuan Republik pengelolaan sumber daya alam, di sisi yang
Indonesia/NKRI ini, termasuk apakah hukum lain juga membatasi dan bahkan dalam
adat masih berlaku atau tidak (Satjipto,2005). beberapa peraturan diartikan sebagai “pem-
Soetandyo Wignjosoebroto secara kritis bekuan” hak-hak masyarakat adat, termasuk di
menyatakan bahwa semangat nasionalisme dalamnya modal sosial mereka yang berupa
dan sentralisme seakan terus mencurigai se- kearifan lokal. Ini merupakan cerminan dari
gala gerakan yang mendesakkan pengakuan karakter hukum negara yang sentralistik se-
kembali komunitas-komunita lokal sebagai hingga cenderung mendominasi keberadaan
satuan-satuan otonom. Lebih lanjut dikata- sistem-sistem normatif yang hidup dalam
kannya “perkembangan politik dan hukum masyarakat.
dalam pergaulan antar bangsa justru men- Menghindari legal gaps dan konflik
dorong diakuinnya kembali eksistensi komuni- hukum yang tajam antara subtansi hukum per-
tas-komunitas subnasional itu sebagai satuan- undang-undangan negara dan hukum rakyat
satuan otonom yang dalam kehidupan ekono- yang informal di bidang pengelolaan sumber
mi, sosial dan budaya akan terakui pada hak- daya alam diperlukan jaminan perlindungan
haknya untuk menentukan nasib sendiri. hukum terhadap eksistensi hukum adat dan
Pengakuan Internasional terhadap eksistensi hak-hak tradisionalnya. Untuk itu diperlukan
hak masyarakat adat tertuang dalam berbagai adanya perubahan politik hukum nasional
Konvensi ILO No. 107 dan 169 dan Deklarasi yang secara subtansial, menurut Rahardjo
Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 2006 yang (Satjipto,2005), meliputi :
disebut “UN Declaration On The Right Of Pertama, agar pemerintah negara lebih
Indegeneous People”. Deklarasi ini merupakan dulu melakukan reposisi mengenai kedudukan
produk PBB yang disusun lewat berbagai mereka berhadapan dengan hukum adat.
pertimbangan dan polemik yang memakan Kedua, menyadari bahwa masyarakat
waktu tidak kurang dari 20 tahun untuk akhir- local dan hukum adat adalah bagian dari tubuh
nya menerima putusan; untuk mengakui hak negara, adalah darah daging dari negara itu
satuan koleksi penduduk (the peoples); untuk sendiri.
menentukan nasib sendiri dalam rangka Ketiga, hak istimewa untuk mengatur
penyelenggaraan urusan internal mereka dan dan mencampuri urusan masyarakat yang di-
untuk berpartisipasi secara penuh dalam miliki pemerintah negara sebaiknya ditunduk-
pengambilan keputusan yang mungkin akan kan kepada semangat turut merasakan (em-
mempengaruhi nasib dan kelestarian eksistensi pathy), memedulikan (concern) serta menjaga
soalan dibelakang teks yang melingkupi sistem dengan konstruksi tersebut, sesuai dengan
kearifan lokal, seperti konflik pengelolaan, konteks ruang dan waktu
ketidak adilan dalam mengakses sumberdaya Pendekatan yuridis sosiologis dapat
alam serta bagaimana masyarakat adat dan dijadikan alat untuk mengkaji lebih mendalam
stakeholders mensiasati hukum positif di bidang bagaimana implementasi dan bekerjanya ber-
pengelolaan sumber daya alam. Untuk itu bagai produk kebijakan dan perundang-
diperlukan optik atau pendekatan yang lain undangan nasional dalam pengelolaan sumber-
untuk dielaborasi dan diintegrasikan guna daya alam dalam praktek ketika berhadap-
memperoleh gambaran yang utuh, menye- hadapan dengan hukum lokal yang berupa
luruh dan mendalam terhadap eksistensi sistem kearifan lokal masyarakat adat. Berbagai
sistem kearifan lokal masyarakat adat ditengah kasus konflik tenurial dan pengelolaan sumber
proses perubahan dan percepatan pemba- daya alam antara masyarakat adat dan swasta
ngunan nasional, yaitu dengan menggunakan di berbagai tanah air telah menunjukkan
pendekatan yuridis sosiologis atau pendekatan bahwa keberadaan masyarakat adat dengan
socio legal. Dengan pendekatan yuridis sosio- sistem kearifan lokalnya sebagai pihak yang
logis akan mampu menjawab berbagai faktor kalah dan terusir dari lingkungan dan sumber
yang menyebabkan proses marginalisasi daya alam yang selama ini menjadi basis
keberadaan sistem kearifan lokal, berbagai material demi kelangsungan kehidupannya.
konflik pengelolaan sumberdaya alam antara Penggunaan kedua pendekatan seka-
masyarakat adat dengan sistem kearifan lo- ligus, yaitu pendekatan yuridis normatif dan
kalnya berhadap hadapan dengan para yuridis sosiologis dalam mengkaji keberadaan
pemodal yang tidak jarang didukung oleh ins- sistem kearifan lokal masyarakat adat bukanlah
trumen perundang-undangan nasional dalam sifat ambigiu peneliti, tetapi merupakan kebu-
bentuk ijin pengelolaan, baik pengelolaan tuhan untuk menjawab permasalahan pene-
hutan, tambang, perkebunan maupun pesisir litian yang memfokuskan kajiannya pada sis-
dan lautan. tem kearifan lokal. Hal ini mengingat banyak-
Pendekatan yuridis sosiologis atau socio nya keterbatasan yang dimiliki masing-masing
legal lebih dominan dikembangkan oleh para- pendekatan. Penggunaan kedua pendekatan
digma legal constructivism yang relevan dalam sekaligus dalam pengkajian sistem kearifan
pembahasan tentang sistem kearifan lokal. masyarakat adat dalam pengelolaan sumber
Pada legal constructivism, memberikan pema- daya alam merupakan metode yang relatif baru
haman atau makna hukum : (1) Law as relative yang berusaha mengelaborasi dan menginte-
and contekstual consensus (Hukum sebagai grasikan pendekatan yuridis normatif dan
kesepakatan, relative dan konstekstual baik yuridis sosiologis guna menjawab perma-
tertulis maupun tidak); (2) Law as mental salahan penelitian.
construction; (3) Law as experiential realities. De-
ngan pemahaman dan pemaknaan hukum Model pendekatan penelitian hukum
yang seperti itu, paradigma legal constructuvism yang integratif dan responsif dalam mela-
memiliki ciri hukum atau karakteristik hukum kukan penelaahan sistem kearifan lokal
sebagai berikut: Pertama, Konstruksi mental masyarakat adat dalam pengelolaan sum-
yang bersifat relative, majemuk, beragam, ber daya alam
intangible, lokal dan spesifik ( walaupun Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat
elemen serupa dijumpai pada individu, adat adalah bentuk learning community, yang
kelompok masyarakat maupun budaya yang tidak tertutup bagi evaluasi dan adaptif terha-
berbeda); berbasis sosial/experiential; Kedua, dap pelbagai persoalan. Gagasan learning
Rekonstruksi/ revisi/ atau perubahan terjadi community bertolak dari keyakinan bahwa ke-
berkesinambungan, sejalan dengan pengka- arifan lokal tidak lengket pada kenyataan apa
yaan informasi dan „sofistikasi‟ atau „olah cipa- adanya. Ia adalah hasil kesepakatan komunitas.
rasa‟; Ketiga, Yang ada, setiap saat, adalah Kesepakatan di sini tidak berarti kepastian.
consensus atau kesepakatan relative berkenaan Berbagai persoalan yang muncul dalam
komunitas selalu memancing percakapan baru
Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 1, April 2013 56
Ambivalensi Pendekatan Yuridis Normatif dan Yuridis Sosiologis dalam menelaah Sistem Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam
dan diperdebatkan dengan anggota komunitas 2004) adalah : (1) Tidak seperti binatang yang
tentang bentuk kearifan loal yang bisa lebih rendah, manusia ditopang oleh kemam-
disepakati untuk penyelesaiannya. Jadi, lear- puan berpikir, (2) Kemampuan berpikir
ning community lebih bersifat dialogis, ko- dibentuk oleh interaksi sosial, (3) Dalam in-
laboratif, berbasis masalah, falsifikasionis dan teraksi sosial orang mempelajari makna dan
kreatif (Donny,2006). symbol yang memungkinkan mereka mengem-
Gagasan Donny Gahral Adian yang bangkan menggunakan kemampuan berpikir
menegaskan kearifan lokal sebagai bentuk tersebut, (4) Makna dan simbol memungkinkan
learning community secara ontologis mencoba orang melakukan tindakan dan interaksi khas
menafsirkan fenomena sosial dengan teori manusia, (5) Orang mampu memodifikasi atau
sosial kritis untuk menjelakan tindakan ma- mengubah makna dan symbol yang mereka
syarakat adat dalam kaitannya dengan pe- gunakan dalam tindakan dan interaksi ber-
ngelolaan sumber daya alam dan pertanian, dasarkan tafsir mereka terhadap situasi
yaitu dengan menggunakan teori interak- tersebut. (6) Orang mampu melakukan modi-
sionisme simbolik dari Herbert Blumer fikasi dan perubahan ini, sebagian karena
(Herbert,1969). kemampuan mereka sendiri, yang memung-
Istilah interaksionisme simbolik dibe- kinkan mereka memikirkan tindakan yang
rikan pertama kali oleh Herbert Blumer pada mungkin dilakukan, menjajagi keunggulan dan
1938 untuk menamai garis riset sosiologi dan kelemahan relative mereka, dan selanjutnya
sosio-psikologi. Fokusnya adalah proses-proses memilih, (7) Jalinan pola tindakan dengan
interaksi – yaitu tindakan sosial yang dicirikan interaksi ini memungkinkan menciptakan
oleh orientasi timbale balik langsung – dan kelompok dan masyarakat.
penyelidikan-penyelidikan terhadap proses- Berdasar prinsip-prinsip di atas dapat
proses tersebut didasarkan secara khusus disimpulkan bahwa interaksionisme simbolik
kepada konsep interaksi yang menitik beratkan menunjuk kepada sifat khas dari interaksi
ciri-ciri simbolik tindakan sosial. Pola dasar manusia, yakni manusia saling menerjemahkan
analisisnya adalah relasi-relasi sosial di mana dan mendefinisikan tindakannya dan bukan
tindakan bukan sekedar mengambil bentuk hanya sekedar reaksi belaka atas tindakan
penerjemahan preskripsi-preskripsi tertentu orang lain. Ini berarti bahwa tindakan mnusia
menjadi tindakan yang dikehendaki, melain- selalu didasarkan atas “makna” yang diberikan
kan juga mencakup tindakan yang di dalam- manusia atas tindakan orang lain. Oleh karena-
nya definisi relasi sosial diusulkan dan diben- nya interaksi antar individu selalu diperantarai
tuk entah secara simultan atau bertahap. Hu- oleh simbol-simbol (bahasa, gerakan dan lain-
bungan-hubungan sosial dilihat bukan sebagai lain) yang selalu diberi makna atas inter-
hubungan yang stabil sekali untuk selamanya, prestasi dari simbol-simbol tersebut (Syam,
melainkan terbuka dan terikat pada penga- 2009). Sebagai gambaran lebih lanjut beker-
kuan umum terus menerus (Anthony, 2008). janya teori interaksionisme simbolik dapat dili-
Prinsip-prinsip dasar teori interak- hat dalam ragaan 1 berikut ini.
si0nisme simbolik Herbert Blumer (George,
SIMBOL-SIMBOL
STIMULUS RESPON
INTERPRESTASI
MAKNA-MAKNA
Bertolak dari gagasan kearifan lokal sebagai menjelaskan berbagai fenomena sosial dan
learning communitas dan modal sosial, maka alam lainnya yang diantaranya dibentuk oleh
sikap sinis terhadap berbagai kearifan lokal perkembangan sains itu sendiri. Pada wak-
seperti yang dipraktekkan oleh kelompok-ke- tunya pra-paradigma menjadi lebih matang
lompok masyarakat adat di Indonesia sungguh dan menjelma menjadi paradigma yang
tidak berdasar. Sebab kearifan lokal mereka selanjtnya digunakan sebagai acuan dalam
terbukti hasil pembelajaran yang evaluatif, aktivitas dan cara berpikir manusia dalam me-
dialogis dan reflektif. Karifan lokal merupakan mahami alam semesta yang kemudian
hasil kesepakatan komunitas menanggapi melahirkan ilmu pengetahuan, teknologi dan
pelbagai persoalan dalam kesalinghubungan bahkan membentuk budaya masayarakat itu.
mereka dengan lingkungannya. Dalam perjalanan keberadaannya, setiap pa-
Kebijaksanaan pemerintah selama ini radigma akan menghadapi anomaly, yaitu
memisahkan masyarakat adat dengan ling- adanya keadaan atau fenomena alam dan atau
kungan sumber daya alam dan pertaniannya. sosial yang tidak dapat dijelaskan. Jika
Demi menggenjot pertumbuhan ekonomi atau berbagai anomali terakumulasi, maka terjadi
peningkatan pendapatan asli daerah, hak pergeseran atau perluasan paradigma, yaitu
ulayat diabaikan, hutan adatpun diubah per- ditinggalkannya asumsi-sumsi lama yang
untukan dan statusnya menjadi hutan Negara terbukti tidak benar yang selanjutnya digu-
untuk dibagi-bagikan kepada HPH. Pada nakan sekaligus terus diuji untuk menerangkan
akhirnya, masyarakat adatpun tersingkir dari fenomena alam dan sosial yang ditemui. Jika
lingkungan praksis kesehariannya dan dipaksa pengujian itu berhasil maka paradigma baru
melihat lingkungan bukan lagi sesama subyek itu akan terbentuk. Proses pergeseran para-
melainkan barang ekonomi yang tak digma ini diperlihatkan dalam Ragaan 2.
bernyawa. Kearifan lokal dikalahkan oleh eko- Penggunaan paradigma penilitian di
nomi modern dengan perhitungan utilita- bidang ilmu hukum juga tunduk pada teori
riannya. Keuntungan dari HPH lebih besar dinamika paradigma sebagaimana yang dikon-
dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan sepsikan oleh Thomas Khun. Penunggalan dan
untuk konservasi hak-hak budaya masyarakat mengabsolutkan sebuah paradigma yang sam-
adat. pai saat ini dikukuhi oleh para akademisi dan
Setiap paradigma memiliki jamannya para penstudi hukum sebagai satu kebenaran
sendiri dan secara pelan tetapi pasti akan dan satu-satunya cara dalam menjawab per-
digantikan oleh paradigm baru. Pergantian ini masalahan hukum nampaknya perlu dikaji
umumnya disebabkan karena paradigma lama ulang dan ditinggalkan. Kedua pendekatan,
tidak lagi memadai untuk digunakan mema- baik pendekatan yuridis normatif maupun
hami fenomena alam atau sosial yang sebe- yuridis sosiologis tidaklah berdiri sendiri dan
lumnya tidak dikenal. Thomas S. Kuhn men- dapat digunakan untuk menjawab perma-
jelaskan bahwa pergeseran paradigma terjadi salahan sistem kearifan lokal masyarakat adat
ketika ada sekian banyak anomali yang tidak dalam pengelolaan sumber daya alam. Kedua-
dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan. Jika nya sudah waktunya melakukan kolaborasi
akumulasi anomali tidak dapat ditolerir, maka dan mengintegrasikan ke dua pendekatan guna
tibalah saatnya menggati asumsi dasar yang menjawab permasalahan penelitian yang
selama ini dianut sebagai pilar-pilar utama il- memfokuskan kajiannya pada sistem kearifan
mu pengetahuan dengan kata lain sudah lokal. Bukankah melakukan penelitian dan
saatnya mengubah paradigm yang selama ini pengembangan ilmu hukum bukan untuk ilmu
dikukuhi (Suryaman, 2005). hukum itu sendiri, tetapi untuk lebih mense-
Proses pergeseran paradigma pada jahterakan dan membahagiakan masyarakat.
awalnya, suatu kelompok masyarakat me- Model kolaborasi dan integrasi ini
ngumpulkan dan berusaha memahami ber- diharapakan dapat menghilangkan ambivalen-
bagai fenomena alam dan sosial. Pemahaman si sikap para peneliti menggunakan pende-
ini bermuara terbentuknya pra-paradigma katan yuridis normatif dan yuridis sosiologis
yang terus diuji dan dikembangkan untuk dalam melakukan kajian dan penelaahan
mendalam atas sistem kearifan lokal ma- yang digunakan dalam menjawab permasa-
syarakat adat dalam pengelolaan sumber daya lahan penelitian bidang hukum. Model elabo-
alam. Untuk keperluan ini diperlukan pemaha- rasi dan integrasi ini sebagaimana tertuang da-
man yang komprehensih perkembangan para- lam Ragaan 3.
digma teori hukum dan implikasi metodologi
PRA PARADIGMA
PARADIGMA
ILMU PENGETAHUAN
IMPLEMENTASI DAN
PENGEMBANGAN IPTEK
DINAMIKA
MASYARAKAT
Noer Fauzi dan Nyoman I Nurjaya. Sumber Thomas Khun. The Struktur of Scientific
Daya Alam Untuk Rakyat. Lembaga Revolutions. Chicago: Chicago
Studi dan Advokasi Masyarakat, University Press, 1962. Diterjemahkan
Jakarta, 2000. dalam bahasa Indonesia oleh Tjun
Suryaman, (Cetakan ke lima) Peran
Nur Syam. Model Analisis Teori Sosial. Surabaya: Paradigma Dalam Revolusi Sains.
ITS Press dan PMN, 2009. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.