Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Kontrol Sosial (Social Control)

Pengendalian sosial (sosial control) merupakan suatu sistem yang

mendidik, mengajak bahkan memaksa warga masyarakat untuk berperilaku sesuai

dengan nilai dan norma - norma sosial agar kehidupan masyarakat dapat berjalan

dengan tertib dan teratur. Berger dalam Kamanto (1993 : 65) mengartikan

pengendalian sosial sebagai cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan

anggota yang membangkang. Semantara, Roucek dalam Bagong (2010)

mendefenisikan pengendalian sosial tidak hanya pada tindakan terhadap mereka

yang membangkang, tetapi proses - proses yang dapat kita klasifikasikan sebagai

proses sosialisasi. Berbeda dengan, Veeger dalam Kolip (2010 : 252)

pengendalian sosial adalah titik kelanjutan dari proses sosialisasi dan berhubungan

dengan cara dan metode yang digunakan untuk mendorong seseorang agar

berperilaku selaras dengan kehendak kelompok atau masyarakat yang jika

dijalankan secara efektif, perilaku individu akan konsisten dengan tipe perilaku

yang diharapkan.

Proses - proses pengandalian sosial yang dilakuakan secara terus -

menerus maka sacara tidak langsung akan menyebabkan perilaku individu sesuai

dengan nilai - nilai dan pola - pola atau aturan - aturan yang telah disepakati

secara bersama oleh seluruh lapisan masyarakat tertentu.

Menurut Reucek (1987 : 2) proses pengendalian sosial dapat diklasifikasikan

dalam tiga bentuk, yaitu:

Universitas Sumatera Utara


a) Pengendalian sosial antara individu dan individu lainnya, dimana individu

yang satu mengawasi individu yang lainnya. Misalnya, seorang ayah yang

mendidik anak-anaknya untuk menaati peraturan dalam keluarga. Hal ini

merupakan contoh dari pengendalian sosial yang pada dasarnya

pengendalian sangat lazim dalam kehidupan sehari - hari, meskipun

kadang-kadang tidak disadari.

b) Pengendalian sosial antara individu dan kelompok terjadi ketika individu

mengawasi suatu kelompok.

c) Pengendalian sosial antara kelompok dan kelompok lainnya, terjadi ketika

suatu kelompok mengawasi kelompok lainnya.

Pengendalian sosial dapat terjadi dalam kehidupan sehari - hari agar

keserasian dan stabilitas dalam kehidupan sehari - hari tercapai. Dengan

pengendalian sosial ini, diharapkan penyimpangan yang terjadi di

masyarakat dapat berkurang khususnya penyimpangan yang dilakukan

oleh para anak - anak remaja. Oleh karena itu pengendalian sosial harus

mendapat perhatian yang mendalam dan mendasar.

3.2.1. Teori Kontrol Sosial (Social Control)

Ide utama dibelakang teori kontrol adalah bahwa penyimpangan

merupakan hasil dari kekosongan kontrol atau pengendalian sosial. Teori ini

dibangun atas dasar pandangan bahwa setiap manusia cendrung untuk tidak patuh

pada hukum atau memiliki dorongan untuk melakukan pelanggaran hukum. Oleh

sebab itu para ahli teori kontrol menilai perilaku menyimpang adalah konsekuensi

Universitas Sumatera Utara


logis dari kegagalan seseorang untuk menaati hukum. Dalam konteks ini teori

kontrol sosial pararel dengan teori conformitas (Bagong, 2004).

Salah satu ahli yang mengembangkan teori ini adalah Hirschi dalam

Atmasasamita (1992), Ia mengajukan beberapa proposisi teoritisnya, yaitu:

i. Bahwa berbagai bentuk pengingkaran terhadap aturan - aturan sosial adalah akibat

dari kegagalan mensosialisasi individu warga masyarakat untuk bertindak

conform terhadap aturan atau tata tertib yang ada.

ii. Penyimpangan dan bahkan kriminalitas atau perilaku menyimpang merupakan

bukti kegagalan kelompok - kelompok sosial konvensional untuk mengikat

individu agar tetap conform, seperti keluarga, sekolah atau institusi pendidikan

dan kelompok - kelompok dominan lainnya.

iii. Setip individu seharusnya belajar untuk conform dan tidak melakukan tindakan

menyimpang atau kriminal.

iv. Kontrol internal lebih berpengaruh daripada kontrol ekternal.

Masih berdasarkan proposisi, Hirschi dalam Atmasasmita (1992) kurang

lebih ada empat unsur utama didalam kontrol sosial internal, yaitu attachement

(kasih atau partisipasi); commitment (tanggung jawab), involvement (keterlibatan

atau partisipasi) dan believe (kepercayaan dan keyakinan). Keempat unsur

tersebut dianggap merupakan social bonds yang berfungsi untuk mengendalikan

perilaku individu.

Attachement atau kasih sayang adalah sumber kekuatan yang muncul dari

hasil sosialisasi di dalam kelompok primernya (misalnya keluarga), sehingga

individu punya komitmen kuat untuk patuh pada aturan. Terkait dengan kasih

Universitas Sumatera Utara


sayang, Formm dan Schindler dalam Horton dan Hunt (1996 : 277) menjelaskan

bahwa salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan kasih sayang

atau rasa dicintai. Pandangan psikiatrik berpendapat bahwa barangkali penyebab

gangguan emosional, masalah perilaku dan bahkan kesehatan fisik terbesar adalah

ketiadaan cinta, yakni tidak adanya kehangatan, hubungan kasih sayang dalam

satu lingkungan asosiasi yang intim. Sejalan dengan yang dijelaskan oleh Formm

dan kawan - kawannya, Soekanto (1990 : 18) menjelaskan bahwa mempersiapkan

masa depan anak dengan pada ketertiban belaka, maka hal ini akan menimbulkan

pemberontakan dalam diri anak tersebut. Mereka juga memerlukan ketentraman,

berdasarkan kasih sayang yang diberikan secara langsung dan tidak diwakilkan

pada kerabat atau bahkan mungkin pada pembantu. Penelitian serupa, Eggan dan

Dai dalam Horton dan Hunt (1996 : 98) menunjukkan bahwa suasana mesra dan

penuh kasih sayang dalam dunia yang hangat dan aman ternyata sangat

mempengaruhi perilaku dan kepribadian seseorang anak remaja.

Commitment atau tanggung jawab yang kuat pada aturan yang dapat

memberikan kerangka kesadaran tentang masa depan. Bentuk komitmen ini antara

lain berupa kesadaran bahwa masa depannya akan suram apabila ia melakukan

tindakan menyimpang. Contohnya seorang mahasiswa yang memilki rasa

tanggung jawab pada dirinya sendiri dan keluarganya tidak akan membuat

kekacauan di kampus atau diluar kampus seperti misalnya berantam,

menggunakan obat terlarang selama mahasiswa tersebut sadar bahwa tindakan

tersebut akan merusak masa depannya. Sehingga dengan adanya kesadaran

Universitas Sumatera Utara


tersebut seorang mahasiswa tersebut cendrung untuk menahan dirinya untuk

melakukan tindakan yang menyimpang.

Involvement (keterlibatan) artinya dengan adanya kesadaran tersebut, maka

individu akan terdorong berperilaku partisipatif dan terlibat di dalam ketentuan -

ketentuan yang telah ditetapkan oleh masyarakat. Intensitas keterlibatan

seseorang terhadap aktivitas - aktivitas normatif konvensional dengan sendirinya

akan mengurangi peluang seseorang untuk melakukan tindakan - tindakan

melanggar hukum. Horton dan Hunt (1996 : 202) mengungkapkan bahwa,

semakin tinggi tingkat kesadaran akan salah satu lembaga kemasyarakatan, seperti

gereja, sekolah, dan organisasi setempat, maka semakin kecil pula kemungkinan

baginya untuk melakukan penyimpangan. Sejalan dengan diatas, Friday dan Hage

dalam Horton dan Hunt (1996 : 204) menyatakan “jika para remaja memiliki

hubungan kekerabatan, masyarakat, pendidikan, dan peranan kerja yang baik,

maka mereka akan terbina untuk mematuhi norma - norma yang dominan.

Belive atau kepercayaan, kesetian, dan kepatuhan pada norma-norma sosial

atau aturan masyarakat pada ahirnya akan tertanam pada diri seseorang dan itu

berarti aturan sosial telah self enforcing dan ekstensinya (bagi setiap indivindu)

juga semakin kokoh (Bagong, 2004 : 109 - 116). Reckless dalam Henslin (2006 :

154) mendefenisikan bahwa Belive dalam hal ini adalah adanya keyakinan

terhadap tindakan moral tersebut salah. Sehingga dengan adanya perasaan yang

demikian kecenderungan seseorang untuk melakukan penyimpangan akan

berkurang. Di lain pihak, Horton dan Hunt (1996 : 202) juga mengatakan bahwa

kepercayaan dalam hal ini mengacu pada norma yang dihayati; semakin kuat

Universitas Sumatera Utara


kepercayaan seseorang, maka semakin kecil kemungkinan terjadinya

penyimpangan. Contoh, seorang anak remaja tidak akan ikut bergabung dengan

kelompok Geng Motor dan melakukan tindakan anarkis apabila dia mempunyai

kesadaran dan keyakinan bahwa tindakan - tindakan yang dilakukan oleh Geng

Motor itu adalah suatu tindakan yang menyimpang dari nilai - nilai dan moral

masyarakat.

Menurut sosiolog, Gottfreson dan Hirschi dalam Henslin (2006 : 154) teori

tentang kontrol sosial dapat diringkas sebagai pengandalian diri. Kunci kearah

pembelajaran pengendalian diri yang tinggi ialah sosialisasi, khususnya dimasa

kanak-kanak. Para orang tua dapat membantu anak mereka untuk

mengembangkan pengendalian diri dengan jalan mengawasi mereka dan

menghukum tindakan mereka yang menyimpang. Berbeda dengan pendapat

Gottfreson dan Hirschi, Roucek (1987 : 2 - 3) mengungkapkan bahwa

pengendalian sosial dan pengendalian diri itu berbeda, walaupun keduanya

berkaitan erat. Pada taraf pribadi, pengendalian sosial mengacu pada usaha untuk

mempengaruhi pihak lain. Pengendalian diri mengacu pada usaha untuk

mempengaruhi atau membimbing perilaku pribadi tersebut menjadi anggotanya.

Dengan demikian, dari sudut pandang tersebut, pengendalian sosial mengacu pada

dan berasal dari pengendalian diri. Oleh karena itu harus ada pembedaan antara

pengendalian diri dengan pengendalian sosial, namun keterkaitannya haruslah

diakui.

Universitas Sumatera Utara


2.2. Teori Perspektif Interaksi Simbolik

2.2.1. Teori Reaksi Masyarakat atau Teori Pemberian Lebel

Horton dan Hunt (1996 : 206) Teori pemberian cap (lebeling theory)

memusatkan perhatian pada para pembuat peraturan dan pelanggar peraturan.

Pemberian cap pada seseorang seringkali mengubah perlakuan masyarakat

terhadap orang itu dan jaring - jaringan hubungannya. Hal tersebut mendesak

orang yang semula hanya melakukan penyimpangan primer (perbuatan

menyimpang yang dilakukan seseorang, bersifat temporer dan orang yang

melaukan penyimpangan tersebut masih dapat diterima secara sosial), ahirnya

melakukan penyimpangan skunder (penyimpangan yang dilakukan oleh

seseorang atau kelompok secara berulang - ulang bukan menjadi kebiasaan yang

secara umum tidak bisa ditoleransi oleh masyarakat) sehingga seluruh gaya hidup

orang itu diwarnai oleh penyimpangan semata.

Sejalan dengan, Horton dan Hunt, Henslin (2006 : 155 - 156) menjelaskan

bahwa teori pemberian lebel (lebeling theory), yang menempatkan fokus pada

signifikasi lebel (nama, reputasi) yang diberikan kepada kita. Lebih cendrung

menjadi bagian dari konsep diri kita dan membantu kita ke jalur yang mendorong

ke penyimpangan ataupun mengalihkan kita darinya. Sebagian besar diantara kita

melawan upaya pemberian lebel pada kita sebagai penyimpang, namun ada orang-

orang yang menggemari suatu identitas menyimpang (merangkul penyimpangan).

Salah satu contoh yang merangkul penyimpangan ialah Geng Sepeda Motor.

Watson dalam Henslin (2006 : 156) melakukan obeservasi partisipatif terhadap

para pengendara sepeda motor yang melanggar hukum. Ia merenovasi motor

Universitas Sumatera Utara


Harley bersama mereka, berkeliaran di sekitar bar dan rumah mereka, dan ikut

dalam melakukan ekspedisi bersama mereka. Ia menyimpulkan bahwa para

pengandara motor pelanggar hukum memandang bahwa dunia bersifat

“mengancam, lemah, dan banci”. Mereka membanggakan diri mereka yang

nampak “kotor, jahat, dan pada umumnya tidak disukai” dan memperoleh

kesenangan dengan jalan memprovokasi reaksi terkejut orang lain melalui

penampilan mereka. Dengan memandang rendah dunia konvensional mereka pun

membanggakan diri mereka karena terlibat dalam masalah, menertawakan maut,

dan memperlakukan perempuan sebagai mahluk lebih rendah, yang nilai

umumnya hanyalah untuk melayani mereka terutama dalam hal seks. Para

pengendara motor pelanggar hukum tersebut pun menganggap diri mereka sebagai

pencundang, suatu faktor yang terjalin dengan dirangkulnya penyimpangan secara

tidak lazim.

2.2.2. Teori Perilaku Sosial (Behaviorial Sociology)

Konsep dasar behaviorial sociology adalah “reinfocement” yang dapat

diartikan sebagai ganjaran (reward). Tak ada sesuatu yang melekat dalam obyek

yang dapat menimbulkan ganjaran. Suatu perilaku tidak akan diulagi apabila tidak

memiliki efek terhadap aktor yang melakukan tindakan/perilaku tersebut.

Perulangan tingkah laku dirumuskan dalam pengertian terhadap aktor. Suatu

ganjaran yang tidak membawa pengaruh terhadap aktor tidak akan diulang

(Ritzer, 1985 : 81 - 86). Contoh yang sederhana adalah tentang makanan.

Makanan dapat dinyatakan sebagai ganjaran umum dalam masyarakat. Tapi bila

seseorang tidak lapar maka tidak akan diulang. Lalu apakah sebenarnya yang

Universitas Sumatera Utara


menentukan: apakah ganjaran yang akan diperoleh itu yang menyebabkan

perulangan tingkah laku? bila aktor telah kehabisan makanan, maka ia akan lapar

dan makanan akan berfungsi sebagai pemaksa. Sebaliknya bila ia baru saja

makan, tingkat kerugiannya menurun sehingga makanan tidak menjadi pemaksa

yang efektif terhadap perulangan tingkah laku.

Berbeda dengan pandangan Skinner, Lewis dan Smith dalam Ritzer dan

Goodman (2008 : 268) mengatakan bahwa dalam teori behavorisme terbagi

menjadi dua basis, yaitu: Behaviorisme sosial yang dikembangkan oleh Herbert

Mead, dan beaviorisme radikal yang dikembangkan oleh Jhon B. Watson.

Behaviorisme radikal Watson memusatkan perhatian perilaku individu yang dapat

diamati. Sasaranya perhatiannya adalah pada stimuli atau perilaku yang

mendatangkan respon. Penganut behaviorisme radikal menyangkal atau tak mau

menghubungkan proses mental yang tersembunyi yang terjadi di antara saat

stimuli dipakai dan respon dipancarkan. Mead mengakui arti penting perilaku

yang dapat diamati, tetapi dia juga merasa bahwa ada aspek tersembunyi dari

perilaku yang diabaikan oleh behaviorisme radikal. Dalam menganalisis tindakan

Mead hampir sama dengan pendekatan behaviorisme dan memusatkan perhatian

pada rangsangan (stimulus) dan tanggapan (response). Tetapi stimulus disini tidak

menghasilkan respon manusia secara otomatis tanpa dipikirkan. Mead dalam

Ritzer dan Goodman (2008 : 274 - 276) mengindetifikasi empat basis dan tahap

tindakan yang saling berhubungan, yaitu:

Implus. Tahap pertama adalah dorongan hati/implus (impulse) yang

meliputi “stimulasi/ rangsangan spontan yang berhubungan dengan alat indra” dan

Universitas Sumatera Utara


reaksi aktor terhadap rangsangan, kebutuhan untuk melakukan sesuatu terhadap

rangsangan itu. Contoh, rasa puas adalah contoh dari Impuls. Anggota Geng

Motor yang merasa puas bila tindakan atau perilaku mereka dapat mengundang

perhatian banyak masyarakat. Atau bisa juga seseorang yang banyak bergaul

dengan teman - temannya yang sebagian besar adalah anggota Geng Motor,

akhirnya mempengaruhi dan memberikan dorongan pada aktor untuk ikut

bergabung dengan kelompok Geng Motor.

Persepsi. aktor menyelidiki dan bereaksi terhadap rangsangan yang

berhubungan dengan implus. Persepsi ini melibatkan rangsangan yang baru masuk

maupun citra mental yang ditimbulkannya. Aktor tidak secara spontan menilainya

melalui bayangan mental. Manusia tidak hanya tunduk pada rangsangan dari luar,

mereka juga secara aktif memilih ciri - ciri rangsangan mungkin mempunyai

beberapa dimensi dan aktor mampu memilih diantaranya. Contoh, dalam hal ini

rasa bangga, puas dan dorongan diri untuk bergabung dengan sebuah kelompok

sosial seperti Geng Motor dan dengan adanya dukungan sarana (sepeda motor)

ahirnya aktor berhadapan dengan banyak rangsangan yang ahirnya aktor dengan

kapasitasnya untuk memilih bergabung dengan Geng Motor atau tidak.

Manipulasi. Mengambil tindakan berkenaan dengan objek yang

dipahaminya. Contoh, setelah memutuskan bergabung dengan sebuah kelompok

sosial seperti Geng Motor, langkah selanjutnya adalah mengambil tindakan

berkenaan dengan objek Geng Motor tersebut. Seperti misalnya, apabila salah satu

anggota dari kelompok Geng Motor membuat suatu tindakan/perilaku (ngetrack,

Universitas Sumatera Utara


membuat keributan, bentrok), maka aktor yang baru bergabung juga ikut-ikutan

untuk melakukan hal yang sama dengan anggota Geng Motor tersebut.

Konsumasi. Tahap terahir adalah tahap pelaksanaan atau mengambil

tindakan yang memuaskan dorongan hati yang sebenarnya.

2.3. Jenis - Jenis Lembaga Pengendalian Sosial

2.3.1. Keluarga

Horton dan Hunt (1996 : 276) mendefenisikan bahwa, keluarga merupakan

kelompok primer (primary group) yang pertama dari seorang anak dan dari situlah

pengembangan kepribadian bermula. Ketika anak sudah cukup umur untuk

memasuki kelompok primer lain diluar keluarga, pondasi dasar kepribadiannya

sudah diarahkan dan terbentuk. Survei yang dilakukan oleh Yankelovich, dkk

dalam Horton dan Hunt (1996 : 104) menunjukkan bahwa sekalipun terdapat

dorongan yang kuat untuk suatu perubahan dikalangan remaja masa kini, namun

pada dasarnya mereka dapat menyetujui nilai-nilai dasar orang tua mereka.

2.3.2. Adat

Adat istiadat merupakan salah satu bentuk pengendalian sosial tertua.

Kalau hukum selalu dibentuk dan ditegakkan, maka adat - istiadat merupakan tata

cara yang berangsur - angsur muncul tanpa adanya suatu keputusan resmi maupun

pola penegakan tertentu. Dalam masyarakat bersahaja terdapat pengendalian yang

bersifat mutual dan adat - istiadat sekaligus bersifat demokratis maupun totaliter.

Hal ini bersifat demokratis oleh karena dibuat oleh kelompok, setiap orang

berperan dalam pertumbuhannya, setiap orang mempunyai sikap tertentu

terhadapnya, dan hal itu dapat ditafsirkan menurut perkembangan yang terjadi.

Universitas Sumatera Utara


Adat istiadat juga bersifat totaliter, oleh karena mempengaruhi setiap aspek

kehidupan manusia. Sehingga selama adat - istiadat serta merta tetap bertahan

maka adat - istiadat itu merupakan ikatan yang paling kuat dalam membentuk

suatu tertib sosial (Soekanto, 1985 : 112 - 113). Sejalan dengan Soekanto, Reucek

dalam Soekanto (1987 : 11) mengatakan bahwa, di masyarakat yang statis, adat -

istidat merupakan sarana yang kuat untuk mempengaruhi dan mengendalikan

individu yang menyimpang dari nilai-nilai dan norma masyarakat.

2.3.3. Lembaga Penegak Hukum

Lembaga Penegak Hukum di negara kita adalah pengadilan, kejaksaan,

dan kepolisian. Lembaga ini secara formal tugas dan fungsinya diatur dalam

undang - undang. Namun, apabila kita cermati tugas dan fungsinya ternyata

mempunyai dampak positif sebagai pengendalian sosial/kontrol sosial (Wahyuni,

2004). Dilain pihak, Prodjodikoro dalam Soedjono (1981 : 91) merumuskan

bahwa, “hukum adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang - orang

manusia atau badan - badan, baik badan hukum maupun bukan sebagai anggota

masyarakat”. Dalam masyarakat yang kompleks, dimana kontrol sosial yang

informal dengan cara-cara seperti mengolok - olok, mengucilkan sudah tidak

efektif lagi diterapkan maka salah satu cara terbaik utuk mengendalikan dan

mengawasi perilaku masyarakatnya adalah melalui lembaga - lembaga hukum.

2.3.4. Lembaga Pendidikan

Lembaga Pendidikan sangat besar andilnya dalam keikutsertaan sebagai

lembaga pengendalian sosial, khususnya terhadap peserta didik dan umumnya

terhadap semua jajaran dalam pendidikan itu. Nasution (2010 : 18) mancatatat

Universitas Sumatera Utara


bahwa kontrol langsung di sekolah bersumber pada kepala sekolah dan guru.

Merekalah yang menentukan kelakukan yang bagaimana yang diharapkan dari

murid - murid. Bila anak - anak melanggar peraturan, guru - guru dapat

menggunakan otoritas untuk menindak murid itu sehingga tidak akan

mengulanginya lagi.

2.3.5. Lembaga Keagamaan

Lembaga Agama merupakan sistem keyakinan dan peraktek keagamaan

yang penting dari masyarakat yang telah dilakukan dan dirumuskan serta dianut

secara luas dan dipandang sebagai perlu dan benar (Horton dan Hunt, 1996 : 304).

Lembaga keagamaan sering kali diyakin oleh masyarakat sebagai agent of social

control yang sangat efektif untuk mengurangi, mengandalikan banyaknya perilaku

menyimpang ditengah masyarakat yang semakin kompleks, karena ajaran - ajaran

agama itu sendiri adalah nilai - nilai dan moral yang nilai - nilainya juga diadopsi

oleh hukum dalam membuat suatu peraturan - peraturan tertentu dalam mengatasi

banyaknya perilaku menyimpang di masyarakat. Hal ini dapat kita lihat contohnya

dalam agama kristen, dimana dalam agama kristen telah jelas memiliki nilai - nilai

dan norma beserta doktrin - doktrinnya yang sangat menentang tentang adanya

perilaku menyimpang, seperti misalnya jangan membunuh, jangan mencuri,

jangan berjinah, dan lain - lain.

2.3.6. Lembaga Kemasyarakatan

Keberadaan Lembaga Kemasyarakatan seperti halnya RT, RW, LKMD

(Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), BPD (Badan Perwakilan Desa) dan

BKM (Badan keswadayaan Masyarakat) dalam kehidupan masyarakat yang

Universitas Sumatera Utara


semakin kompleks
k sangat pennting artiny
ya, sebab lembaga
l innilah merup
pakan

lembaga kontrol
k sosiial di tingkkatan paling
g bawah. Melalui
M tokooh - tokoh yang

berpengarruh, berwibawa, terperrcaya dilapiisan bawah


h ini, persoaalan - perssoalan

sosial kem
masyarakataan sebagaiaan besar disselesaikan oleh
o masyaarakat itu seendiri

(Wahyuni, 2004).

       Keluarga 

Agent ko
ontrol sosial
           Agama 

  Penegak H
Hukum 

    Pendidikan 

  Lembaga 
Kemasyarakatan 

Adat, tokoh y
yang dituakan, 
media massa dll 

Skema
S 2. 1. Konsep Ag
gen Kontroll Sosial

2.4. Peengendalian
n Sosial Berrdasarkan Caranya

Beerdasarkan caranya
c penngendalian sosial
s dapatt dibagi mennjadi dua bagian
b

[Stiadi daan Kolip (2


2010 : 264)), Basrowi (2005 : 98
8), Soekantto (1990 : 206),

Bagong, Wahyuni
W (20
004), Hortoon dan Huntt (1996 : 18
88), Bergerr dalam Wah
hyuni

(2004)], yaitu:
y

2.4.1. Caara Persuassif

Caara persuasif
if dilaksanakkan dengan
n membujuk
k dan mengaajak secara halus

(membujuuk, merayu) seseorang aatau sekelom


mpok orang
g agar mem
matuhi nilai - nilai

Universitas Sumatera Utara


dan norma - norma sosial yang berlaku di masyarakat. Biasanya cara ini

dilaksanakan pada masyarakat yang kondisinya relatif tentram (Basrowi, 2005 :

98). Secara lebih detail, Setiadi dan Kolip (2010 : 264) mendefenisikan bahwa

pengendalian sosial secara persuasif adalah dengan cara mempengaruhi

sekelompok orang agar orang yang dipengaruhi mau melaksanakan atau tidak

melaksanakan sesuatu sesuai dengan kehendak dari pihak yang dipengaruhi,

dihimbau untuk tidak melakukan sesuatu sesuai dengan pihak yang

mempengaruhi.

2.4.2. Cara Coersif (coercion)

Cara ini dilaksanakan dengan kekerasan fisik atau dengan cara ancaman.

Pengandalian sosial dengan cara kekerasan fisik biasanya menimbulkan korban

dan dendam. Contoh polisi terpaksa memukul, menendang bahkan menembak

para demonstran yang dengan sengaja menyerang aparat keamanan (Wahyuni,

2004). Sejalan dengan yang diungkapakan Wahyuni. Hal serupa juga

diungkapakan oleh, Backman dalam Horton dan Hunt (1996 : 188) yang

mengatakan bahwa manusia cenderung mematuhi orang yang berotoritas, maka

penjaga keamanan diberi pakaian seragam yang memberi kesan resmi. Dilain

pihak, Reucek dalam Basrowi (2005) mengungkapkan bahwa pengendalian secara

coercive lebih sering digunakan pada masyarakat yang mengalami perubahan. Hal

ini disebabkan karena dalam kondisi berubah, pengendalian soisial juga dapat

berfungsi untuk membentuk kaidah - kaidah yang baru untuk menggantikan

kaidah yang lama. Sementara itu, Berger dalam Bagong (2004 : 147), menyatakan

bahwa di berbagai komunitas cara - cara kekerasan dapat digunakan secara resmi

Universitas Sumatera Utara


dan sah manakala cara paksaan gagal dalam mengendalikan perilaku menyimpang

yang terjadi di masyarakat. Kerusuhan yang telah berkembang menjadi anarki.

Misalnya, sering kali secara terpaksa dibubarkan dan dibatasi oleh aparat petugas

dengan cara kekerasan, seperti melempar gas air mata atau membubarkan massa

yang berkumpul dengan pukulan pentungan. Kalangan masyarakat umum cukup

sering terpaksa menggunakan kekerasan untuk menegakkan norma - norma sosial

yang berlaku.

Dari kedua cara diatas menurut Soekanto (1990 : 206), cara mana yang

terbaik dalam mengandalikan berbagai perilaku menyimpang di masyarakat

adalah tergantung pada situasi yang dihadapi dan tujuan yang hendak dicapai.

Jangka waktu juga menjadi hal yang sangat penting dalam penyelesaian,

mengatasi dan mengawasi banyaknya perilaku menyimpang yang terjadi di

masyarakat.

Metode kontrol sosial bervariasi menurut tujuan dan sifat kelompok yang

bersangkutan. Disamping berbagai mekanisme seperti desas - desus, mengolok -

ngolok mengucilkan, menyakiti, bentuk pengendalian sosial juga bisa dilakukan

melalui idieologi, bahasa, seni, rekreasi, organisasi rahasia, cara - cara tanpa

kekerasan, kekerasan dan teror, pengendalian ekonomi, perencanaan ekonomi dan

sosial.

Roucek dalam Wahyuni (2004) berpendapat bahwa pengendalian sosial

pada dasarnya bisa dijalankan melalui institusi atau tidak, ada yang dilakukan

secara lisan dan secara simbolis, ada yang dilakukan secara kekerasan, ada yang

Universitas Sumatera Utara


menggunakan hukuman dan ada pula yang digunakan dengan cara pemberian

imbalan, serta ada yang bersifat formal dan ada yang bersifat informal.

Didalam kelompok primer atau komunitas yang relatif akrab dimana satu

sama lain saling kenal secara personal, mekanisme kontrol umumnya dilakukan

dengan cara langsung oleh anggota komunitas itu sendiri secara keseluruhan.

Tentang bentuknya bisa berupa mekanisme persuasif, menertawakan,

pergunjingan, atau penghinaan. Berbeda dengan daerah perkotaan dimana antar

anggota masyarakat saling acuh, individualis, dan rata - rata bersikap tidak mau

mencampuri urusan orang lain, didaerah pedesaan yang masih tradisional nyaris

apapun tindakan dan tingkah laku yang dilakukan oleh anggota warga masyarakat

akan ketahuan oleh semua warga yang ada. Jika ada suami istri yang mencoba

selingkuh atau menyeleweng, niscaya kesempatan ke arah itu relatif kecil karena

semua warga desa itu pasti akan semua tau dan akan memperjuangkannya .

Sejalan dengan yang diungkapkan oleh Seokanto, Berger dalam Wahyuni (2004)

mengatakan bahwa mengolok - olok dan perguncingan adalah kontrol sosial yang

kuat didalam kelompok primer. Disamping itu, mekanisme yang telah efektif

untuk menegakkan tertib sosial didalam komunitas primer adalah moralitas, adat -

istiadat, dan tata sopan santun. Seseorang yang dinilai sering bersikap tidak sopan,

biasanya jarang diundang ke dalam berbagai pertemuan warga desa. Disisi lain

jika ada seseorang bertindak amoral, seperti berzinah maka dia bukan saja

dikucilkan, tetapi tak jarang juga akan diberikan sanksi yang betul - betul

memalukan sehingga membuat orang lain yang mau berbuat demikian akan

berpikir seribu kali untuk melanggarnya.

Universitas Sumatera Utara


2.5. Teknik Pengendalian Sosial

Setiadi dan Kolip (2010 : 265) mengungkapkan bahwa pengendalian sosial

dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu sebagai berikut:

2.5.1. Compulsion (Paksaan)

Merupakan teknik pengendalian sosial yang diciptakan untuk memaksa

orang untuk mengubah sikapnya yang menyimpang dan secara tidak langsung

kembali patuh pada nilai dan norma - norma sosial. Dalam hal ini seseorang atau

suatu kelompok tertentu akan merasa dipaksa oleh faktor faktor eksternal untuk

melakukan hal - hal yang tidak disetujuinya. Misalnya, seseorang guru

memberikan tugas agar para siswanya mengumpulkan tepat waktu, maka guru

menentukan batas waktu tertentu jika terlambat, maka hasil tugasnya tidak

diterima dan tidak akan diberikan nilai.

2.5.2. Pervasion (Pengisian)

Merupakan teknik yang dilakukan dengan menyampaikan norma dan nilai

secara berulang - ulang. Dengan begitu, diharapkan kesadaran seseorang dapat

meningkat dan mematuhi norma - norma yang ada.

Terkait dengan kedua cara diatas menurut, Soekanto (1990 : 207) alat yang

digunakan dengan teknik ini berbagai macam. Suatu alat tertentu mungkin saja

akan efektif bila diterapkan dalam suatu masyarakat yang bersahaja. Akan tetapi,

hampir tidak mungkin digunakan pada masyarakat yang telah rumit susunannya.

Misalnya, sopan santun dalam hubungan kekerabatan hanya terbatas efektifitasnya

pada kelompok - kelompok yang bersangkutan. Sopan santun, umpamanya, dapat

berwujud sebagai pembatasan - pembatasan didalam pergaulan antara mertua dan

Universitas Sumatera Utara


menantu, antara paman atau bibi dengan keponakan - keponakannya, dan

seterusnya.

Soekanto (1990 : 206) mengungkapkan bahwa, pengendalian sosial dengan teknik

pervasion (pengisian) dapat dibagi menjadi dua begian, yaitu :

Pertama, Pengendalian yang bersifat preventif atau prevensi

Merupakan suatu usaha pencegahan terhadap terjadinya gangguan -

gangguan pada keserasian antara kepastian dan keadilan. Usaha - usaha preventif,

misalnya dijalankan melalui proses sosialisasi, pendidikan formal dan informal.

Sejalan dengan Soekanto, Horton dan Hunt (1996 : 178) menyatakan bahwa

melalui sosialisasi seseorang menginternalisasikan (menghayati) norma - norma,

nilai, dan hal - hal yang tabu dalam masyarakatnya. Menginternalisasikan hal

tersebut berarti menjadikannya bagian dari perilaku otomatis seseorang yang

dilakukannya tanpa pikir. Orang yang menginternalisasikan suatu nilai secara

penuh akan menerapkan nilai tersebut meskipun tidak ada seorang pun yang,

melihatnya, karena keinginan untuk melanggar nilai tersebut sangat kecil

kemungkinannya dibenak seseorang.

Kedua, Pengendalian sosial yang bersifat represif

Adalah bentuk pengendalian sosial yang bertujuan untuk mengembalikan

kekacauan sosial atau mengembalikan situasi deviasi menjadi keadaan kondusif

kembali (komformis). Dengan demikian, pengendalian sosial represif merupakan

bentuk pengendalian dimana penyimpangan sosial sudah terjadi kemudian

dikembalikan lagi agar situasi sosial menjadi normal, yaitu situasi dimana

masyarakat mematuhi norma sosial kembali. Contoh:

Universitas Sumatera Utara


a. Polisi menertibkan tawuranan antar desa dengan menggunakan tembakan

agar para pelaku tawuran membubarkan diri.

b. Polisi menggrebek rumah kontrakan yang digunakan sebagai tempat

penyimpanan ganja.

c. Seorang guru memberikan sanksi kepada siswanya yang bolos belajar

(Kolip, 2010)

2.6. Upaya Pengendalian Sosial

Menurut keontjaraningrat dalam Wahyuni (2004 : 153) terdapat lima

upaya pengandalian sosial, yaitu:

a. Mempertebal keyakinan para warga masyarakat akan kebaikan adat istiadat

dalam berbagai masyarakat melalui pendidikan, baik dalam lingkungan

keluarga, masyarakat maupun sekolah. Tujuan pendidikan dalam lingkungan

keluarga adalah untuk meletakkan dasar norma bagi anak dan untuk

mempertebal keyakinan pada norma yang berlaku merupakan peran dari

masyarakat dan sekolah. Mempertebal keyakinan pada norma ini juga dapat

dilakukan dengan sugesti sosial yaitu mempengaruhi perilaku seseorang lewat

cerita dongeng perjuangkan pahlawan yang mengandung nilai moral, dan

menonjolkan norma - norma tertentu kemudian membandingkannya dengan

norma-norma lain yang berlaku pada masyarakat lainnya. Beberapa yang

ditempuh dalam rangka mempertebal keyakinan masyarakat terhadap norma

sosial diantaranya : (1) melalui pendidikan, (2) sugesti sosial, dan (3)

menonjolakan kelebihan norma - norma (Kolip, 2010 : 268).

Universitas Sumatera Utara


b. Memberi penghargaan kepada warga masyarakat yang mematuhi adat istiadat

supaya mereka tetap berbuat baik dan selanjutnya menjadi contoh bagi warga

selanjutnya.

c. Mengembangkan rasa malu dalam jiwa warga masyarakat yang tidak

mematuhi adat istiadat. Biasanya kegiatan yang dianggap menyimpang dari

norma akan mendapat celaan dari warga masyarakat dan hal ini akan

mempengaruhi jiwa seseorang yang melakukan penyimpangan tersebut.

Untuk mengembangkan rasa malu juga dapat - dilakukan dengan gosip,

dengan begitu pelaku penyimpang juga akan merasa malu dan merubah

perilakunya.

d. Mengembangkan rasa takut dalam jiwa masyarakat yang hendak

menyeleweng dari adat dengan ancaman dan kekerasan. Dengan begitu,

seseorang akan menghindarkan diri dari suatu perbuatan yang diaggap

menyimpang dan mengandung resiko jika dia melanggarnya.

e. Memberlakukan hukuman yang merajuk pada sistem hukum yang ada dengan

mengenakan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya. Wujudnya berupa hukuman

pidana, kompensasi, terapi dan konsiliasi. Seseorang yang melakukan tindak

pidana akan menerima hukuman pidana yaitu dalam bentuk hukuman penjara,

sedangkan dalam bentuk kompensasi, seseorang yang melakukan

penyimpangan diharuskan membayar sejumlah uang kepada pihak yang

dirugikan akibat perbuatannya. Dalam hal konsiliasi, pengendalian sosial

dilakukan dengan kompromi yaitu dengan mengundang pihak ketiga sebagai

penengah dalam menyelesaikan persoalan dua pihak yang bersengketa.

Universitas Sumatera Utara


Berbeda dengan pengendalian sosial yang lainnya, terapi merupakan bentuk

pengendalian sosial yang muncul karena inisiatif dari pelaku untuk

memperbaiki dirinya sendiri dengan meminta bantuan pihak lain (Wahyuni,

2004 ; 144 - 154).

2.7. Kelompok Sosial

Sherif dalam Soedjono (198 : 47) mendefenisikan bahwa, kelompok sosial

adalah suatu kesatuan sosial yang terdiri atas dua atau lebih individu yang telah

mengadakan interaksi sosial yang cukup intensif dan teratur sehingga diantara

individu sudah terdapat pembagian tugas, struktur dan norma - norma tertentu

yang khas bagi kesatuan sosial tersebut. Jadi kelompok sosial dapat terdiri atas

hanya dua individu seperti suami istri dan dapat pula ratusan orang - orang dengan

syarat telah terjadi interaksi sosial diantara mereka. Sejalan dengan yang

diungkapkan Sherif, Sunarto (1993 : 53) mengatakan bahwa, kelompok sosial

merupakan suatu gejala yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena

sebagian besar kegiatan manusia berlangsung didalamnya. Hal yang serupa juga

diungkapkan oleh Seokanto (1990 : 116) bahwa, semua manusia pada awalnya

merupakan anggota kelompok sosial yang dinamakan keluarga, walaupun anggota

- anggota keluarga tadi selalu menyebar, pada waktu tertentu meraka pasti akan

berkumpul seperti misalnya pada makan pagi, siang dan malam.

Universitas Sumatera Utara


Tipe - tipe kelompok sosial [Soekanto (1990 : 136), Bagong (2010 : 28)]

diantaranya adalah:

I. Kelompok Formal (Formal Group)

Seokanto (1990 : 136) mendefenisikan bahwa kelompok formal (formal

group) adalah kelompok - kelompok yang mempunyai peraturan yang tegas

dan dengan sengaja diciptakan oleh anggota - anggotanya untuk mengatur

hubungan antar anggota - anggotanya. Sejalan dengan Seokanto, Bagong (2010

: 28) menyatakan bahwa kelompok formal (formal group) merupakan

organisasi kelompok yang mempunyai peraturan yang tegas dan dengan

sengaja dibuat oleh anggota - anggotanya untuk ditaati serta untuk mengatur

hubungan antar anggotanya. Loyalitas anggota bukan pada kelompok

melainkan pada peraturan, terdapat struktur organisasi yang jelas, terdapat

hierarki diantara anggota kelompok oleh karena terdapat pembatasan tugas dan

wewenang. Contoh, perkumpulan pelajar, himpunan wanita suatu instansi

pemerintah, persatuan sarjana - sarjana dari suatu perguruan tinggi tertentu, dan

lain - lainya.

II. Kelompok Informal (Informal Group)

Seokanto (1990 : 136) mendefenisikan bahwa kelompok informal

(informal group) adalah kelompok yang tidak mempunyai struktur dan

organisasi tertentu atau pasti. Kelompok - kelompok tersebut biasanya

terbentuk karena pertemuan yang berulang kali dan itu menjadi dasar bagi

bertemunya kepentingan - kepentingan dan pengalaman yang sama. Sejalan

dengan Soekanto, Bagong (2010 : 28) mengungkapkan bahwa, kelompok

Universitas Sumatera Utara


informal (informal group) merupakan organisasi kelompok organisasi yang

tidak resmi serta tidak mempunyai struktur dan organisasi yang pasti, jadi

kelompok ini tidak didukung oleh peraturan - peraturan anggaran dasar dan

anggaran rumah tangga secara tertulis. Biasanya kelompok ini terbentuk atas

dasar pengalaman - pengalaman dan kepentingan - kepentingan yang sama dari

anggotanya.

Sifat interaksinya (hubungan timbal balik) berdasarkan saling mengerti

yang lebih mendalam karena pengalaman - pengalaman dan pandangan yang

sama. Karena tidak mengenal peraturan tertulis, maka loyalitas anggota pada

anggota kelompok lain besar sekali, para anggotanya mengenal secara pribadi

dan sering bertemu muka dengan anggota lainnya. Contoh, clique yang

merupakan suatu kelompok kecil tanpa struktur formal yang sering timbul

dalam kelompok - kelompok besar. clique tersebut ditandai dengan adanya

pertemuan - pertemuan timbal balik antara anggotanya, biasanya hanya bersifat

antara kita saja.

2.8. Geng

Istilah geng umumnya dipakai untuk kelompok yang lebih besar dan

terbatas pada kelompok yang kecil. Defenisi tentang geng sangat jelas identik

dengan kehidupan berkelompok. Hanya saja geng memang memiliki makna yang

sedemikian negatif. Geng bukan sekedar kumpulan remaja yang bersifat informal.

Geng dalam bahasa inggris adalah sebuah kelompok penjahat yang terorganisasi

secara rapi. Dalam sebuah konsep yang moderat, geng merupakan sebuah

kelompok kaum muda yang pergi secara bersama - sama dan sering kali

Universitas Sumatera Utara


menyebabkan keributan. Kaum remaja yang terlibat dalam kehidupan geng

sebenarnya sedang mengalami distorsi komunikasi. Kaum remaja tidak mampu

memahami atau sengaja tidak sudi untuk menyepakati aturan - aturan budaya,

masyarakat, dan komunitas tempat berfungsinya dengan baik.

Dalam skripsi Hutabarat (2011) menyatakan bahwa, hal kenakalan remaja

yang terbentuk dalam suatu geng - geng atau gerombolan - gerombolan anak

muda, fokusnya bukan lagi pelanggaran individu tetapi sudah terhadap kelompok

sebagai keseluruhan dalam arti bahwa kolektifitas itu dipandang sebagai suatu

kesatuan yang mengandung kualitas - kualitas diluar jumlah individu anggota

semata - mata.

Berdasarkan pengertian dari kelompok sosial dan geng yang telah

dikemukakan diatas maka dapat dijelaskan bahwa Geng Motor adalah salah satu

contoh dari sekian banyak kelompok sosial, dimana anggotanya terdiri dari orang

- orang yang memiliki kecintaan terhadap motor atau balap motor dan biasanya

anggotanya terdiri dari kebanyakan dari laki - laki remaja, diikat oleh persamaan

tujuan, hobi, memiliki struktur yang terorganisir. Namun seiring dengan

banyaknya Geng Motor yang dalam aktivitas - akitivitasnya yang banyak

meresahkan masyarakat, seperti merampok para pengguna jalan, kebut - kebutan

di jalan, dan bahkan baru - baru ini ada yang sampai membunuh. Ahirnya

masyarakat memberikan penilaian negatif terhadap Geng Motor tersebut, sehingga

Geng Motor yang dulunya dimata masyarakat adalah kelompok sosial yang sering

disebut sebagai Club Motor sekarang berubah menjadi kelompok sosial informal

(Geng Motor) yang menyimpang.

Universitas Sumatera Utara


Cara penge
endalian 
sosial 

Preventive (seebelum terjadi  So
osioalisasi, penggawasan 
penyimpangaan)

Membujuk, men
M ngajak, 
Persuasif  
memberikan imb
m balan, 
menertawakan, 
m

Represif (sesuudah terjadi  Deviasi, membuaat 
penyimpangaan)  prraturan, membberikan 
ki t

Coersive (pakksaan,  Memukul, meng
M ghakimi 
kekerasan fisiik) se
endiri, menembbak gas air 

Skema
S 2. 2. Konsep Peengendalian
n Sosial

2.9. Peerilaku Meenyimpang

Secara umum
m perilaku menyimpan
ng dapat diartikan
d tinngkah laku
u dari

masyarakaat baik yan


ng dilakukaan secara perorangan
p maupun ssecara kelom
mpok

dimana tinngkah laku itu melangggar dan diianggap meenyimpang dari nilai - nilai

dan normaa yang berllaku di massyarakat terrtentu. Beck


ker dalam H
Hoton dan Hunt

(1984 : 191) meneraangkan bahhwa, penyim


mpangan bu
ukanlah kuualitas dari suatu

tindakan yang
y kan orang, melainkan konsekuenssi dari adanyya peraturan dan
dilakuk

penerapann sanksi yaang dilakukkan oleh orang lain terhadap


t peerilaku tind
dakan

tersebut. Penyimpang
P g dinyatakaan sebagai suatu
gan adalahh setiap perrilaku yang

pelanggaraan terhadap
p norma - nnorma kelom
mpok masy
yarakat. Dilaain pihak, Coser
C

dan Sagarrin dalam Hoton


H dan Hunt (1984 : 193) menyatakan
m bahwa perrilaku

menyimpaang merupaakan salah ssatu cara un


ntuk menyessuaikan kebbudayaan deengan

perubahann sosial. Haal serupa jugga diungkap


pkan, Zand
den dalam K
Kamanto (1
1993 :

Universitas Sumatera Utara


182) bahwa penyimpangan merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang

dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi. Berbeda halnya

dengan yang diugkapkan oleh Becker. Maka, Clinard dan Mainer (1989 : 4 - 7)

menyatakan bahwa perilaku menyimpang dapat didefenisikan berdasarkan empat

sudut pandang, yaitu:

Pertama, secara statistikal. Defenisi secara statisfikal adalah salah satu

yang paling umum dalam pembicaraan awam. Adapun yang dimaksud dengan

penyimpangan secara statistikal adalah segala perilaku yang bertolak dari suatu

tindakan yang bukan rata - rata atau perilaku yang jarang atau tidak sering

dilakukan. Pendekatan ini berasumsi bahwa sebagian besar masyarakat dianggap

melakukan cara - cara tindakan yang benar. Defenisi ini sulit untuk diterima

karena dapat mengarah pada beberapa kesimpulan yang membingungkan.

Misalnya, ada kelompok - kelompok minoritas yang memiliki kebiasaan berbeda

dari kelompok mayoritas, maka apabila menggunakan defenisi statistikal,

kelompok tersebut dianggap sebagai perilaku yang menyimpang.

Kedua, secara absolut atau mutlak. Defenisi perilaku menyimpang yang

berasal dari kaum absolutis ini berangkat dari aturan - aturan sosial yang dianggap

sebagai suatu yang mutlak atau jelas dan nyata, sudah ada sejak dulu, serta

berlaku tanpa terkecuali untuk semua warga masyarakat. Kelompok absolutis

berasumsi bahwa aturan - aturan dasar dari suatu masyarakat adalah jelas dan

anggota - anggotanya harus menyetujui tentang apa yang disebut sebagai

menyimpang dan bukan. Itu karena standar atau ukuran dari suatu perilaku yang

dianggap conform sudah ditentukan terlebih dahulu, begitu juga apa yang disebut

Universitas Sumatera Utara


menyimpang juga sudah ditetapkan secara tegas. Dengan demikian diharapkan

setiap orang bertindak dan berperilaku sesuai dengan nilai dan norma yang

dianggap benar dan jauh dari perilaku yang dianggap meyimpang. Contoh

penerapan defenisi perilaku meyimpang secara absolut, pada umumnya terjadi

pada masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadat serta nilai - nilai

tradisional. Kehidupan gotong - royong dan saling membantu masih sangat kental

di lingkungan pedesaan. Apabila ada salah satu ada warga yang tidak mau

membantu tetangganya atau enggan ikut gotong - royong ketika di komunitasnya

ada hajatan atau kerja bakti, maka dapat dipastikan ia akan dicap menyimpang

dari warga masyarakat lainnya.

Ketiga, secara reaktif. Perilaku menyimpang menurut kaum reaktivis bila

berkenaan dengan reaksi masyarakat atau agen kontrol sosial terhadap tindakan

yang dilakukan seseorang. Artinya apabila reaksi dari masyarakat atau agen

kontrol sosial dan kemudian mereka memberi cap atau tanda (lebeling) terhadap si

pelaku, maka perilaku itu telah dicap menyimpang, demikian juga si pelaku

dikatakan menyimpang. Menurut, Becker dalam Clinard dan Meiner (1989 : 5),

penyimpangan adalah suatu akibat yang kepada siapa cap itu telah berhasil,

diterapkan: perilaku menyimpang adalah perilaku yang telah dicapkan kepadanya

atau orang lain telah memberi cap kepadanya. Dengan demikian apa yang

menyimpang dan apa yang tidak tergantung dari ketetapan - ketetapan (reaksi-

reaksi) dari anggota masyarakat terhadap suatu tindakan.

Keempat, secara normatif. Sudut pandang ini didasarkan atas asumsi,

bahwa penyimpangan adalah suatu pelanggaran dari suatu norma sosial. Norma

Universitas Sumatera Utara


dalam hal ini adalah suatu standar tentang “apa yang seharusnya atau tidak

seharusnya dipikirkan, dikatakan atau dilakukan oleh warga masyarakat yang

merasa conform dengan norma - norma tersebut.

2.10. Perilaku Yang Digolongkan Menyimpang

Bagong (2010) menyatakan bahwa perilaku menyimpang dapat

digolongkan menjadi tiga, yaitu antara lain:

1. Tindakan yang non conform yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan

nilai-nilai atau norma yang ada. Contohnya misalnya memakai sendal

buntut ke kampus atau ke tempat - tempat formal; membolos atau

meninggalkan pelajaran pada jam tengah kuliah dan kemudian titip

tanda tangan pada teman, merokok di area larangan merokok,

membuang sampah pada tempat yang tidak semestinya.

2. Tindakan anti sosial atau asosial yaitu tindakan yang melawan

kebiasaan masyarakat atau kepentingan umum. Bentuk tindakan sosial

itu antara lain; menarik diri dari pergaulan, tidak mau berteman,

keinginan untuk bunuh diri, minum minuman keras, menggunakan

narkotika atau obat - obat berbahaya, terlibat di dunia prostitusi atau

pelacuran, penyimpangan seksual (homoseksual dan lesbianisme) dan

sebagainya.

3. Tindakan - tindakan kriminal yaitu tindakan yang nyata - nyata telah

melanggar aturan hukum tertulis dan mengancam jiwa atau

keselamatan orang lain. Tindakan yang sering kita temui itu misalnya;

perampokan, pembunuhan, korupsi, pemerkosaan, dan berbagai

Universitas Sumatera Utara


bentuk tindakan kejahatan lainnya, baik yang tercatat di kepolisian

maupun yang tidak karena tidak dilaporan oleh masyarakat, tapi nyata

- nyata mengancam kesejahtraan masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai