Anda di halaman 1dari 6

Perkembangan Moral

Perkembangan moral (moral development) berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai


mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. Ketika dilahirkan,
anak-anak tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang siap untuk
dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua,
saudara dan teman sebaya), seorang anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang
boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.

2.1 Teori Perkembangan Moral Piaget

Jean Piaget (1896-1980) menyusun teori perkembangan moralnya yang dikenal sebagai teori struktural-
kognitif. Teori ini melihat perkembangan moral sebagai suatu hasil interaksi antara pelaksana aturan,
pengikut atau pembuatnya secara individual dengan kerangka jalinan aturan yang bersangkutan yang
menunjukkan esensi moralitas itu. Fokus teori ini ada pada sikap, perasaan (afeksi), serta kognisi dari
individu terhadap perangkat aturan yang bersangkutan (Kurtines, 1992: 513). Teori struktur-kognitif
Piaget dibangun berdasarkan penelitiannya mengenai struktur kognitif dan perkembangan penalaran
moral (moral reasoning) yang termuat dalam karya klasiknya yang terbit pertama kali pada 1932, The
Moral Judgement of the Child (Conn, 1982: 378). Piaget melakukan penelitiannya dengan mengamati
anak-anak yang bermain kelereng. Pengamatan Piaget menunjukkan adanya kontradiksi yang jelas
antara perubahan persepsi yang berkaitan dengan usia dan ketaatan terhadap aturan. Kontradiksi yang
dimaksud diselesaikan dengan jalan mengklasifikasikan penalaran moral dan anak-anak yang agak kecil
dan yang agak besar (Burton, 1992: 323-324). Berdasarkan penelitian itu dirumuskan dua buah urutan
perkembangan yang paralel: satu rumusan urutan perkembangan berkenaan dengan pelaksanaan
aturan, sedang rumusan lainnya berkenaan dengan kesadaran akan peraturan. Masing-masing urutan
perkembangan melukiskan adanya peralihan dari orientasi yang bersifat eksternal, egosentris dan
heteronom, ke arah orientasi yang menunjukkan adanya keinginan untuk bekerjasama dan berpegang
pada aturan itu sebagai hasil perjanjian bersama (Turiel dan Smetana, 1992:459).

Piaget mengemukakaan bahwa penalaran moral berkembang dalam tiga tahapan, yaitu:

1. Praoprasional

Pada tahap ini biasanya terjadi pada kira-kira usia 2 sampai 7 tahun. Penalaran moral seseorang
didasarkan atas kepatuhan pada pihak otoritas. Anak kecil berpikir kaku mengenai konsep-konsep
moral. Mereka tidak dapat membayangkan lebih dari satu cara untuk melihat persoalan moral. Mereka
meyakini bahwa aturan berasal dari otoritas pihak dewasa dan tidak dapat diubah, tidak peduli perilaku
itu benar ataupun salah, dan semua kesalahan harus diberikan hukuman tanpa memedulikan niatnya.

2. Oprasional Kongkret

Pada tahap ini biasanya terjadi pada kira-kira usia 8 sampai 11 tahun. Tahap ini dicirikan dengan
fleksibilitas. Anak-anak berinteraksi dengan lebih banyak orang yang memiliki sudut pandang yang
berbeda-beda sehingga mereka lebih memiliki pandangan yang luas. Mereka mulai membuang ide
bahwa ada standar benar dan salah yang tunggal dan mutlak. Mereka dapat mempertimbangkan lebih
dari satu aspek dalam sebuah situasi dan dapat membuat penilaian moral yang lebih halus, seperti
mempertimbangkan niatnya. pelaksanaan peraturan sudah mulai bersifat sebagai aktivitas sosial, sifat
egosentrik sudah mulai ditinggalkan. Dalam tahap ini sudah ada keinginan yang kuat untuk memahami
peraturan, dan setia mengikuti peraturan tersebut. Sifat heteronomi mulai bergeser pada sifat otonomi.

3. Oprasional Formal

Seseorang biasanya mencapai masa perkembanganini pada usia 11 atau 12 tahun. Pada tahap ini
seseorang sudah dapat memahami penalaran moral lebih baik dari tahap-tahap sebelumnya. Sudah ada
kemampuan untuk berpikir abstrak, sudah ada kesadaran bahwa peraturan merupakan hasil
kesepakatan bersama. Tahap ini merupakan tahap kodifikasi atau tahap pemantapan peraturan
(Soenarjati dan Cholisin, 1989: 34-35) Ia sudah dapat menilai suatu masalah dengan mempertimbangkan
situasi yang lebih spesifik, seperti lebih mempertimbangkan niat dari suatu perilaku.

Keputusan moral anak berubah seiring dengan pertumbuhan usianya (Conn, 1982: 378). Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan moral terdapat pergeseran yang sifatnya alami, yang
terjadi secara bersamaan dengan atau segera setelah peralihan kognitif dari pemikiran pra-operasional
ke arah pemikiran operasional, di sekitar usia tujuh tahun. Pergeseran tersebut berlangsung sedemikian,
sehingga anak yang bersangkutan untuk pertamakalinya mulai menyadari maksudnya sendiri serta
memanfaatkan informasi ini dalam mengadakan pertimbangan moral yang menyangkut orang lain
(Liebert, 1992: 291).Pada bagian lain, pertimbangan moral berkembang sejalan dengan prinsip-prinsip
dasar Piaget tentang konflik moral-kognitif dengan organisasi tahapan urutan. Tahapan perkembangan
pertimbangan moral Piaget mengandung suatu proses berjalur tunggal. Artinya, pertimbangan moral
tidak timbul dari tindakan moral itu sendiri. Suatu tahapan dari 36 pertimbangan moral mungkin
mengandung suatu perilaku baru, demikian pula halnya suatu tindakan yang mengandung konflik dan
pilihan mungkin membawa orang untuk menata suatu tahapan baru dari pertimbangan moral.

2.2 Teori Perkembangan Moral Kohlberg

Perkembangan moral pada teori Kohlberg terbagi menjadi 3 tahap, yaitu:

a. Preconventional morality (4-10)

1. Orientasi kepatuhan dan hukuman, pada tahap ini seseorang akan mematuhi aturan atas dasar
alasan eksternal yaitu untuk menghindari hukuman atau mendapatkan hadiah.

2. Orientasi minat pribadi, berperilaku atas dasar kepentingan pribadinya seperti apa keuntungan
untuknya jika ia melakukan atau tidak melakukan hal itu.
b. Conventional Morality (setelah 10 tahun)

3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas, pada tahap ini seseorang telah
menginternalisasi standar dari figur otoritas, ia peduli untuk menjadi seseorang yang baik dan
meyenangkan bagi orang lain.

4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial, seseorang akan berusaha untuk
mempertahankan aturan sosial.

c.Postconventional Morality (dewasa awal 21-40 th)

5. Orientasi kontrak sosial

aturan dianggap sebagai kontrak sosial bukan sebagai keputusan yang kaku, dimana bila ada aturan yang
dapat memunculkan ketidaksejahteraan aturan tersebut harus diubah melalui pendapat mayoritas dan
kompromi.

6. Prinsip etika universal,

pada tahap ini keputusan mengenai perilaku-pwerilaku sosial berdasarkan atas prinsip-prinsip moral,
pribadi yang bersumber dari hukum universal yang selaras dengan kebaikan umum dan kepentingan
orang lain, keyakinan terhadap moral pribadi dan nilai-nilai tetap melekat meskipun sewaktu-waktu
berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk menetapkan aturan sosial.

2.3 Teori Bioekologi Bronfenbrenner

Menurut sudut pandang kontekstual, perkembangan manusia tidak dapat dipisahkan dari
lingkungannya. Teori bioekologi bronfenbrenner menjelaskan berbagai proses yang saling berinteraksi
dan mempengaruhi dalam perkembangan manusia. Setiap organisme berkembang dalam konteks
sistem ekologi yang mendukung atau menghambat perkembangannya. Menurut Bronfenbrenner,
perkembangan muncul dari berbagai proses yang rutin dan berkembang menjadi semakin rumit. Untuk
memahami proses ini kita harus mempelajari berbagai konteks dimana mereka berada, seperti rumah,
sekolah dan lingkungan tempat tinggal. Bronfenbrenner mengidentifikasi lima sistem kontekstual yang
saling terkait, yaitu:

a. Mikrosistem

Mikrosistem adalah setting tempat individu banyak menghabiskan waktu. Beberapa konteks dalam
sistem ini antara lain adalah keluarga, teman sebaya, sekolah, dan tetangga. Dalam mikrosistem inilah
individu berinteraksi dengan agen sosial secara langsung (keluarga, teman sebaya, guru). Menurut
Bronfenbenner, dalam setting ini individu bukanlah penerima pengalaman yang pasif, tetapi sebagai
individu yang berinteraksi secara timbal balik dengan orang lain. Bronfrenbrenner menunjukkan bahwa
kebanyakan penelitian tentang dampak-dampak sosio kultural berfokus pada mikrosistem.

b. Mesosistem

Mesosistem adalah hubungan antara beberapa mikrosistem atau hubungan antara beberapa
konteks. Contohnya adalah hubungan antara pengalaman keluarga dengan pengalaman sekolah,
pengalaman sekolah dengan pengalaman keagamaan, dan pengalaman keluarga dengan pengalaman
teman sebaya.

Dalam studi terhadap seribu anak kelas delapan (3 SMP), diteliti dampak gabungan dari pengalaman
di keluarga dan di sekolah terhadap sikap dan prestasi siswa saat siswa melewati masa transisi dari
tahun terakhir SMP ke awal SMA (Epstein,1983 dalam Santrock, 2008). Siswa yang diberi kesempatan
lebih banyak untuk berkomunikasi dan mengambil keputusan (baik di rumah maupun di kelas)
menunjukkan inisiatif dan nilai akademik yang baik.

c. Eksosistem

Eksosistem dilibatkan ketika pengalaman-pengalaman dalam setting sosial lain, ketika individu tidak
memiliki peran yang aktif mempengaruhi hal yang individu alami dalam konteks yang dekat. Atau
sederhananya menurut eksosistem melibatkan pengalaman individu yang tak memiliki peran aktif di
dalamnya. Misalnya, pengalaman kerja dapat mempengaruhi hubungan seorang perempuan dengan
suami dan anaknya. Seorang ibu dapat menerima promosi yang menuntutnya melakukan lebih banyak
pekerjaan, yang dapat meningkatkan konflik perkawinan dan perubahan pola interaksi orang tua-anak.

Contoh lain eksosistem adalah pemerintah kota yang bertanggung jawab bagi kualitas taman, pusat
rekreasi dan fasilitas perpustakaan bagi anak-anak dan remaja. Keputusan mereka bisa membantu bisa
menghambat atau membantu perkembangan individu secara tidak langsung.

d. Makrosistem

Makrosistem adalah kultur yang lebih luas. Kultur merupakan istilah yang luas yang mencakup peran
etnis dan faktor sosioekonomi dalam perkembangan anak. Kultur adalah konteks terluas tempat siswa
dan guru tinggal, termasuk nilai dan adat istiadat masyarakat

Misalnya, beberapa kultur (seperti Mesir dan Iran sebagai negara Islam), menekankan pada peran
gender yang tradisioanal. Kultur lain (seperti di Amerika Serikat) menerima peran gender yang lebih
bervariasi. Di kebanyakan negara Islam sistem pendidikannya mengutamakan dominasi pria. Di Amerika,
sekolah-sekolah semakin mendukung nilai kesetaraan antara pria dan wanita.

Satu dari aspek atatus sosioekonomi murid adalah faktor perkembangan dalam kemiskinan.
Kemiskinan dapat memengaruhi perkembangan anak dan merusak kemampuan mereka untuk belajar,
meskipun beberapa anak di lingkungan miskin sangat rajin.
e. Kronosistem

Kronosistem meliputi pengolahan peristiwa-peristiwa sepanjang rangkaian kehidupan dan keadaan


sosiohistoris dari perkembangan individu. Misalnya, dalam mempelajari dampak perceraian terhadap
anak-anak, para peneliti menemukan bahwa dampak negatif sering memuncak pada tahun pertama
setelah percaraian dan bahwa dampaknya lebih negatif bagi anak laki-laki daripada anak perempuan
(Hetherington, 1989 dalam Santrock, 2008). Dua tahun setelah perceraian, interaksi dalam keluarga
tidak begitu kacau dan lebih stabil.

Bronfenbrenner semakin banyak memberi perhatian kepada kronosistem sebagai sistem lingkungan
yang penting. Dia memperhatikan dua problem penting, yaitu banyaknya anak Amerika yang hidup
dalam kemiskinan (terutama dalam keluarga single-parent) dan penurunan nilai-nilai.

Bronfenbenner juga berpendapat bahwa anak-anak sekarang adalah generasi pertama yang
mendapatkan perhatian setiap hari, generasi pertama yang tumbuh dalam lingkungan elektronik yang
dipenuhi oleh komputer dan bentuk media baru, generasi pertama yang tumbuh dalam revolusi seksual,
dan generasi pertama yang tumbuh di dalam kota yang semraut dan tak terpusat, yang tidak lagi jelas
batas antara kota, pedesaan atau subkota. (Santrock, Psikologi Pendidikan, 2008)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral

Berdasarkan sejumlah hasil penelitian, perkembangan internalisasi nilai-nilai terjadi melalui identifikasi
dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Moral adalah sebagai berikut:

1. Kurangnya perhatian dan pendidikan agama oleh keluarga. Orang tua adalah tokoh percontohan
oleh anak-anak termasuk didalam aspek kehidupan sehari-hari tetapi didalam soal keagamaan hal itu
seakan-akan terabaikan. Sehingga akan lahir generasi baru yang bertindak tidak sesuai ajaran agama dan
bersikap materialistik.

2. Pengaruh lingkungan yang tidak baik

Kebanyakan remaja yang tinggal di kota besar menjalankan kehidupan yang individualistik dan
materialistik. Sehingga kadang kala didalam mengejar kemewahan tersebut mereka sanggup berbuat
apa saja tanpa menghiraukan hal itu bertentangan dengan agama atau tidak, baik atau buruk.

3. Tekanan psikologi yang dialami

Beberapa remaja mengalami tekanan psikologi ketika di rumah diakibarkan adanya perceraian atau
pertengkaran orang tua yang menyebabkan si anak tidak betah di rumah dan menyebabkan dia mencari
pelampiasan.

4. Gagal dalam pendidikan


Remaja yang gagal dalam pendidikan atau tidak mendapat pendidikan, mempunyai waktu senggang
yang banyak, jika waktu itu tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya, bisa menjadi hal yang buruk ketika dia
berkenalan dengan hal-hal yang tidak baik untuk mengisi kekosongan waktunya.

5. Peranan Media Massa

Remaja adalah kelompok atau golongan yang mudah dipengaruhi karena remaja sedang mencari
identitas diri sehingga mereka dengan mudah untuk meniru atau mencontoh apa yang dia lihat, seperti
pada film atau berita yang sifatnya kekerasan, dan sebagainya

6. Perkembangan teknologi modern

Dengan perkembangan teknologi modern saat ini seperti mengakses informasi dengan cepat, mudah
dan tanpa batas juga memudahkan remaja untuk mendapatkan hiburan yang tidak sesuai dengan
mereka.

Anda mungkin juga menyukai