Anda di halaman 1dari 10

Nama: Made Hari Ananta Hastagina

NIM: 2005521100
Kelas: PARALEL
MK: Arsitektur Bali 3

NILAI-NILAI ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI (ATB)


dan PENERAPAN pada ARSITEKTUR MASA KINI (AMK)

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI


Arsitektur tradisional adalah perwujudan ruang makro untuk menampung aktifitas
kehidupan dengan pengulangan pola ruang dari generasi ke generasi berukutnya dengan
sedikit atau tanpa perubahan, yang dilatarbelakangi oleh norma-norma agama dan dilandasi
oleh adat kebiasaan setempat serta dijiwai kondisi dan potensi alam lingkungannya.
Permukiman dan arsitekturnya yang berlokasi di Bali, dibangun, dihuni atau
digunakan oleh penduduk Bali yang berkebudayaan Bali, kebudayaan yang berwajah natural
dan berjiwa ritual. Permukiman dan arsitektur tradisional Bali, dihuni oleh masyarakat
Bali/mereka yang ingin berada dalam ruang-ruang Bali yang umumnya cenderung merancang
ruang-ruang yang dibangunnya dengan arsitektur tradisi dalam lingkungan binaan
bermukim/permukimannya.
Kenyataan, dalam perkembangannya permukiman dan arsitektur tradisional Bali telah
menyebar jauh ke luar batas-batas Bali. Untuk mengakrabkan dengan permasalahan
perkembangan pola arsitektur permukiman tradisionasl Bali, antara
mempertahankan/pelestarian nilai-nilai yang ada dan mengembangkannya agar dapat
berdampingan seirama dengan nilai-nilai baru peradaban, dianggap perlu kegiatan telaah
guna mendekatkan pada anggapan dan batasan dalam pola berfikir analisis untuk suatu
kesimpulan sebagai pedoman langkah penterapannya ke depan.
Konsep perencanaan kawasan dan permukimannya mengadaptasi pada tempat, waktu,
dan ruang serta orang/masyarakatnya. Konsep arsitekturnya yang berpedoman pada bentuk
dan fungsi peruntukannya.
Dalam permukiman dan arsitektur tradisional Bali, ada konsepsi sebagai pedoman tata
nilai normatif dalam profesi. Ada dimensi sebagai penjelmaan manusia pemiliknya yang
ditata dalam suatu komposisi bermakna untuk masing-masing massa bangunan dan
penempatannya.

IDENTIFIKASI ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI


Bali, lokasi permukiman/arsitektur desa-desa tradisional terletak antara 7ᵒ54’ dan 8ᵒ3’
lintang selatan, antara 114ᵒ25’ dan 115ᵒ43’ bujur timur. Dengan demikian Bali terletak di
daerah katulistiwa, tergolong dearah tropis dengan temperature rata-rata 26ᵒ C. Perbedaan
temperature pantai dan pegunungan berkisar sekitar 5ᵒ C. curah hujan sekitar 1500 mm di
daerah pantai dan sekitar 2000 mm di pegunungan dalam setahun.
Keadaan alam Bali, pegunungan di tengan-tengah membujur dari barat ke timur
dengan gunung-gunungnya, sehingga dataran terbelah di Bali Utara dan di Bali Selatan.
Letak astronomi, letak geografi serta kondisi geologi, iklim dan keadaan alam Bali serupa itu
sangat menentukan bentuik-bentuk perwujudan lingkungan binaan/arsitektur bermukim
tradisionalnya (desa). Performansi dan keberadaannya merupakan penyelaras kehidupan
manusia dan alamnya.
Kesinambungan alam/makrokosmos (bhuwana agung) dan manusia/mikrokosmos
(bhuwana alit). Kesinambungan diatur melalui unsur-unsurnya yang disebut Panca
Mahabhuta (5 unsur alam):
1. Apah;
2. Teja;
3. Bayu;
4. Akasa;
5. Pertiwi, atau air, sinar, angina, udara dan zat padat/tanah.
Dengan begitu arsitektur tradisional memperhatikan iklim sebaik-baiknya, penataan
pekarangan, pola ruang, struktur konstruksi dan pemilihan bahan diperhitungkan guna
keseimbangan dan pengkondisian manusia dengan lingkungan sekitarnya.
Konsepsi perancangan arsitekturnya didasarkan pada tata nilai ruang yang dibentuk
oleh 3(tiga) sumbu, yaitu;
1. Sumbu kosmos, bhur, bhwah, swah (hidrosfir, litosfir, atmosfir);
2. Sumbu ritual, kangin-kauh terbit dan terbenamnya matahari);
3. Sumbu natural, kaja-kelod (gunung-laut). Masing-masing dengan daerah tengah yang
bernilai madia.
Dengan adanya pegunungan di tengah, maka untuk Bali Selatan, kaja adalah ke arah
gunung di utara, kelod ke arah laut di selatan. Untuk Bali Utara, kaja adalah kea rah gunung
di selatan, kelod kea rah; laut di utara. Kedua sumbu lainnya berlaku sama. Demikian, letak
dan keadaan alam Bali memperngaruhi perwujudan arsitektur lingkungan binanya.

POLA DESA pada ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI


Di Bali, dengan 9 wilayah administratif pemerintahan kabupaten / kota, terdiri atas ±
54 Kecamatan serta 568 Desa yang dikepalai oleh seorang Perbekel/Kepala Desa (beberapa
telah berubah status menjadi Kelurahan).
Pola-pola permukiman tradisional yang selanjutnya disebut Desa Tradisional di Bali
umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tata nilai ruang dari tata nilai ritual yang
menempatkan zona ‘sakral’ dibagian kangin (timur) arah terbitnya matahari sebagai arah
yang diutamakan. Berlanjut sampai pada penempatan zona ‘provan’ dibagian kauh (barat)
arah terbenamnya matahari. Faktor kondisi dan potensi alam, nilai utama ada pada arah
gunung dan kearah laut dinilai lebih rendah. Faktor sosioekonomi juga berpengaruh, bahwa
desa nelayan menghadap ke-arah laut, desa petani menghadap kearah persawahan atau
perkebunannya. Terjadi hubungan yang erat dan seimbang antara pola desanya dengan area
tempat kerjanya.

Pada kondisi lain di Bali, pola permukiman ada yang berpola Pempatan Agung yang
disebut pula Nyatur Desa atau Nyatur Muka. Dua jalan utama yang menyilang Desa, Timur –
Barat dan Utara – Selatan, membentuk silang perempatan sebagai pusat desa (cross road).
Balai Banjar sebagai pusat pelayanan sub lingkungan meneliti kearah sisi desa dengan jalan-
jalan sub lingkungan sebagai cabang-cabang jalan utama, dan Di pempatan agung sebagai
pusat lingkungan Pura Desa dan Pura Puseh atau Puri menempati zona kaja kangin, Balai
Banjar atau wantilan desa ditempatkan di zone kaja kauh, lapangan desa menempati zone
kelod kanginzone kelod kauh di tempati pasar desa.
Pada kondisi lain di Bali, pola permukiman ada yang berpola Pempatan Agung yang
disebut pula Nyatur Desa atau Nyatur Muka. Dua jalan utama yang menyilang Desa, Timur –
Barat dan Utara – Selatan, membentuk silang perempatan sebagai pusat desa (cross road).
Balai Banjar sebagai pusat pelayanan sub lingkungan meneliti kearah sisi desa dengan jalan-
jalan sub lingkungan sebagai cabang-cabang jalan utama, dan Di pempatan agung sebagai
pusat lingkungan Pura Desa dan Pura Puseh atau Puri menempati zona kaja kangin, Balai
Banjar atau wantilan desa ditempatkan di zone kaja kauh, lapangan desa menempati zone
kelod kanginzone kelod kauh di tempati pasar desa.

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI


Sebagai bagian dari kebudayaan, arsitektur dan lingkungan permukiman tradisional di
Bali cenderung berkembang, terjadi pembaharuan-pembaharuan, perubahan-perubahan yang
menimbulkan dilema antara tradisi dan perkembangannya dengan kecenderungan merombak
norma-norma dengan nilai-nilai baru.
Maka untuk mengakrabkan konflik-konflik yang terjadi pada perkembangan pola
arsitektur permukiman(desa-desa) di Bali, dipandang perlu untuk dilaksanakan kegiatan
penelusuran observatif dan telaah permasalahan perkembangan yang terjadi dalam ruang
lingkup studi komparasi literatur untuk tujuan pelestarian dan pengembangan nilai-nilai yang
adaptif dengan kekinian.
Pola berfikir tradisional atitha,warthamana dan nagatha, sebagai landasan bahwa
mengenal masa lampau dengan memprediksi kemungkinan di masa datang berpijak pada
kenyataan masa sekarang, menjadikan ketidak pastian dan segala konflik, memerlukan telaah
untuk pendekatan anggapan dan batasan dalam pola-pola analisis untuk suatu kesimpulan
sebagai langkah penterapan.

PERMASALAHAN YANG AKAN DIHADAPI ATB


1. Dalam era kesejagatan yang ditandai oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
berasaskan ratio, sangat sulit menerima dan memahami hal-hal yang bersifat dogmatis
dan mistis. Masalahnya sekarang pemikiran rasional telah mengabaikan rasa, rasa
hanya dapat dirasakan secara individu dan bersifat subyektif, sedang rasio dapat
membutikan kebenarannya secara ilmiah. Ketidak pahaman tersebut berdampak
terhadap menurunnya keyakinan akan nilai-nilai dan makna yang ada dibalik
perwujudan fisik arsitekturnya. Akhirnya pola spasial hunian tradisional banyak
ditinggalkan penghuninya berpaling ke pola spasial hunian non tradisional.
2. Disamping ke-modern-an masyarakat, pertambahan penghuni dan makin
sempit/mahalnya lahan sebagai faktor pengubah pola spasial hunian tradisional.
Keberadaan arsitektur tanpa Undagi dan/atau Arsitek telah memunculkan degradasi
sistem nilai spasial hunian menjadi disharmonis, akhirnya hubungan antara manusia
(bhuana alit) selaku isi tidak harmonis lagi dengan huniannya (bhuana agung) selaku
wadahnya. Disamping secara filosofis hunian tradisional Bali hanya harmonis bila
dihuni oleh satu keluarga, karena dasar pengukuran (sikut/sukat) hanya berpatokan
kepada penghuni utama (anangga ayah). Keterbatasan lahan dan pertambahan
penghuni (jumlah KK) telah memunculkan “rumah” di dalam “umah”, bukan “bale”
di dalam “umah”.

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI MASA KINI


Dalam perkembangan kekinian , prediksi serta proyeksi gerakan perubahan penduduk
(Bali) yang umumnya merupakan gerakan yang cenderung semakin meningkat dari tahun
ketahun, yang disebabkan oleh peningkatan pertambahan alamiah (kelahiran–kematian), dan
pertambahan gerak perpindahan (mobilitas/migrasi – transmigrasi). Pertambahan penduduk
dari tahun ketahun meningkat dan oleh karena pertambahan alamiah, ternyata pertambahan
penduduk di pedesaan lebih tinggi (sepuluh tahun terakhir, rata-rata 1,5% per tahun).
Sejalan dengan itu morfologi desa berkembang, sesuai dengan pemenuhan kebutuhan
akan pengadaan perumahan, tempat-tempat pemujaan dan bangun-bangunan untuk
akomodasi/fungsi aktifitas adat/agama (bale adat, bale delod, bale dangin, bale gede, dll) juga
bertambah. Di sisi lain kecenderungan terpandang ‘baru’ nmembutuhkan ruang-ruang
berkatifitas atas nama aktifitas modernitas.

EKSPLORASI ARSITEKTUR – “PAWONGAN-’’


Mengeksplorasi pernik dan manik (nilai-nilai unik) arsitektur tempat tinggal/hunian
pawongan, karena pada wilayah ini sangat banyak muncul permasalahan hidup dan
penghidupan. Walaupun pustakanya lengkap, namun transformasi arsitekturnya diturunkan
dari generasi ke generasi secara mentradisi melalui praktek langsung dan berlangsung secara
gugon tuwon, sehingga bersifat dogmatis dan mistis. Sedang lingkup penjelajahan mencakup
unsur-unsur utama rancangan yaitu:
1. Tata ruang dan Orientasi;
2. Tata-letak/Setting massa;
3. Tata-bangunan terdiri atas:
 Sosok dan bentuk,
 Skala dan proporsi,
 Struktur/konstruksi dan bahan,
 Ornamen dan dekorasi.

PENJELAJAHAN ATB pada MASA KINI di BALI


PENELITIAN YANG ADA
Ditemukan beberapa beberapa nilai dan ide pelestarian dan pengembangan ATB ke
depan. Secara umum hasil yang dicapai baru sampai tahap deskripsi dan interpretasi masing-
masing dan belum sampai tingkat konsep maupun action plan pelestarian dan pengemba`ngan
ATB di masa datang.

ORIENTASI JELAJAH
NILAI-NILAI FAKTOR DAN UNSUR UTAMA RANCANGAN
1. Nilai-nilai tata ruang dan orientasi;
b. Nilai-nilai tata bangunan;
c. Nilai-nilai tata letak.

MASALAH ATB MASA KINI di BALI adalah MASALAH


“PERKAWINAN/ HYBRID” dengan AMK
IDENTIFIKASI MASALAH:
1. ATB, terdiri atas tiga kelompok tipologi:
 1. Parhyangan, bangunan/arsitektur tempat suci.
 2. Pawongan, bangunan/arsitektur tempat tinggal/perumahan.
 3. Palemahan, bangunan/arsitektur fasilitas umum.
2. Perubahan & perkembangan sebagian terjadi pada Pawongan
3. Perubahan dan perkembangan yang sangat pesat terjadi pada kelompok Palemahan/
Bangunan fasilitas umum:
1. Acuan/tipologi ATB untuk kelompok ini terbatas.
2. Pertumbuhan dan perkembangan aktivitas baru/kontemporer.
3. Fungsinya tidak terkait dengan aktivitas agama dan adat
NILAI-NILAI FAKTOR DAN UNSUR UTAMA RANCANGAN pada
ATB dan AMK
a. Nilai-nilai Tata ruang dan Orientasi:
- hirarki pencapaian: nista - madya - utama = publik - semi publik - private.
- pola pempatan agung = pola cross road.
b. Nilai-nilai Tata bangunan:
- sosok dan/atau bentuk adalah Tri angga: kepala = atap, badan = dinding/
kolom, kaki = batur.
- proporsi: antropometri sosok manusia (wirama, wiraga, wirasa) =
prinsip-prinsip golden section.
- struktur dan bahan: sistem struktur modern dapat mendukung wujud
dan bentuk ATB.
c. Tata letak/Setting Massa:
- setting atas dasar skala manusia (ATB) x setting atas dasar skala urban
(AMK).

RUMUSAN MASALAH
1. Nilai-nilai ATB mana yang dapat diaplikasikan masa kini?
2. Bagaimana rumusan aplikasinya?
3. Konskuensi aplikasi ATB pada Arsitektur Masa Kini / AMK.

FOKUS KAJIAN DAN METODA


FOKUS KAJIAN:
ATB sangat menyatu dengan agama dan adat-istiadat, sehingga lingkup bahasan
difokuskan pada nilai-nilai yang terkait langsung dengan arsitektur yaitu:
a. Nilai-nilai nirupa (paras isi / content / tertib langgam) selaku faktor-faktor utama
rancangan terdiri atas: ide / filosofi yang menurunkan norma, konsep dan rinsip.
b. Nilai-nilai rupa (paras ekspresi / expression / langgam) selaku unsur-unsur utama
rancangan terdiri atas:
1. Tata ruang dan Orientasi.
2. Tata letak/Setting Massa
3. Tata bangunan:
a. Sosok/wujud;
b. Bentuk;
c. Skala dan proporsi;
d. Struktur dan bahan dan;
e. Ornamen dan dekorasi (ragam hias).

NILAI-NILAI ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI


1. Nilai-nilai substansi konsep (substance of content) tata-ruang pada tingkat agama adalah:
Nilai-nilai/kerangka dasar agama Hindu (tattwa, susila/etika dan upacara) dan Tri Hita
Karana sebagai unsur bhuana alit dan bhuana agung:
KERANGKA BHUANA PALEMAHAN PALEMAHAN BHUANA ALIT
DASAR AGUNG DESA UMAH
HINDU

Tattwa/Kepala Paramatma Parhyangan Sangah/Mrajan Atma

Susila/Hati Prana/segenap Pawongan/Kerama Penghuni Umah Prana


Tenaga Alam Desa (bayu,sabda,idep)

Upacara/Kaki Panca Mahabhuta Palemahan Palemahan Sarira


2. Nilai-nilai konsep (form of content) Tata-Ruang pada tingkat gama adalah: nilai hulu -
(tengah) - teben baik arah horizontal maupun vertikal yaitu, kesetaraan Tri Loka dan Tri
Angga sebagai susunan unsur Angga :

NILAI ALAM PALEMAHAN PALEMAHAN PALEMAHAN BANGUNA MANUSIA


SEMESTA DESA PURA UMAH N
(BHUANA (BHUANA
AGUNG) ALIT)

1. Swah Loka/ Parhyangan Jeroan Sanggah/ Atap Kepala


UTAMA / Gunung/Kaja/ Parhyangan
HULU Kangin

2. Buah Loka/ Paumahan Jaba Tengah Tegak Umah/ Pengawak/ Badan


MADYA Dataran/Tengah Pawongan Badan
/
TENGA
H

3. Bhur Loka/ Setra Jaba Pisan Teba/Sesa Batur Kaki


NISTA/ Laut/Klod/Kauh
TEBEN

3. Nilai-nilai ekspresi (form of expression) Tata-Ruang pada tingkat lokal/desa


pekraman/sima adalah: Tri Loka (tiga zona vertikal); Tri Mandala (tiga zona horizontal);
Sanga Mandala (sembilan nilai horizontal) dan Natah sebagai ruang Inti/Pusat/centrality
dan Sesa sebagai ruang tepi/marginality.
4. Penyengker, Paduraksa dan Angkul-angkul adalah sebagai penanda Umah, sehingga Bale
yang ada dalam penyengker adalah setara bilik/room. Dari ekspresi/tipologi Angkul-
angkul, Penyengker dan Paduraksa dapat pula diketahui “status warna” penghuni
Jaba/luar ataukah Tri Wangsa, lain kata sebagai penunjuk jati diri penghuni.
5. Bale setara bilik diberi julukan/sebutan bukan karena fungsinya, namun karena letak dan
nilai guna. Bila ditelusuri lebih jauh jejak-jejak bale dan disandingkan dengan metode
dan strategi rancangan dekonstruksi, maka ada kesamaan prinsip bahwa “umah” berasal
dari “rumah” setelah diexplosed kemudian direkomposisi menjadilah umah. Hal ini
sebagai upaya mendekatkan diri terhadap alam selama dua puluh empat jam sehari.
6. Sosok/wujud dan bentuk fisik ruang dan bangunan tradisional muncul dari upaya
penyeimbangan yang harmonis antara manusia selaku isi (bhuana alit) dengan ruang dan
bangunan selaku wadah (bhuana agung). Sosok dan bentuk dianalogikan sebagai proporsi
fisik/angga manusia yakni Tri Angga (kepala nilai utama, badan nilai madya dan kaki
nilai nista). Pembagian ini diberlakukan secara konsisten dan konskuen hingga ke bagian
yang sekecil-kecilnya dari unsur-unsur sosok dan bentuk. Komponen bentuk bangunan
tradisional Bali merupakan bagian-bagian ornamentalis.
7. Skala dan proporsi ruang dan bangunan tradisional Bali menggunakan sikut
dewek/antropometri dengan modul dasar “r a i” dari penghuni utama (anangga ayah),
sehingga skala dan proporsi ruang dan bangunan yang didapat tidak pernah “out of
human scale” dan “out of human proportion”serta akan selalu harmonis. Kebutuhan ruang
yang lebih luas didapat dengan menggandakan dimensi/modul ruang, bukan memperbesar
dimensi ruang dan banguna, misal Sakanem = 2 x Sakepat; Tiangsanga = 4 x Sakapat.
8. Struktur dan bahan tradisional Bali bersifat ekologis dan natural, sangat menghormati
alam dan lingkungan sebagian besar bahan berasal dari kebun yang dibudi-dayakan dan
dapat didaur-ulang. Bahan disusun dari bawah yang berkarakter berat makin keatas makin
berkarakter ringan, hal ini sejalan dengan logika pembebanan yang meberikan tingkat
keamanan bangunan yang tinggi. Prinsip tektonika selalu diterapkan pada penyelesaian
konstruksi, sehingga memiliki nilai tambah keindahan.
9. Penggunaan bahan organis yang memiliki umur terbatas menuntut penyelesaian kontruksi
sistem knock down yang gampang dibongkar-pasang, serta penggunaan sukat sikut
dewek penhuni utama (anangga ayah); mengidikasikan bahwa umah tradisional Bali
hanya harmonis bila dihuni oleh “hanya satu keluarga yang beragama Hindu” dan tidak
sebagai obyek warisan. Setiap keluarga baru (mulai hidup ghrahasta) wajib “Ngarangin”
dan membuat bangunan yang sesuai dengan sikut antropometri diri dan kemampuannya.
10. Ornamen dan Dekorasi merupakan penghargaan atas keindahan yang telah diberikan oleh
alam dan penciptaNya kepada tanah Bali. Ornamen diciptakan sebagai upaya
memperkuat harmonisasi, sedang dekorasi lebih menekankan perubahan suasana yang
diinginkan. Ornamen dan dekorasi bersifat kontekstual sesuai dengan tata-nilai atau
karakter tema/wujud obyek yang ingin diciptakan (karang Gajah ditaruh di bawah, karang
Tapel di tengah dan karang Guak ditaruh di atas).

RAMPATAN NILAI-NILAI FAKTOR & UNSUR UTAMA


RANCANGAN
1. NILAI-NIILAI YANG SETARA:
a. Nilai-nilai Tata ruang dan Orientasi:
 hirarki pencapaian: nista - madya - utama = publik - semi publik - private.
 pola pempatan agung = pola cross road.
b. Nilai-nilai Tata bangunan:
 sosok dan/atau bentuk adalah Tri angga: kepala = atap, badan = dinding/kolom,
kaki = batur.
 proporsi: antropometri sosok manusia (wirama, wiraga, wirasa) = prinsip-
prinsip golden section.
 struktur dan bahan: sistem struktur modern dapat mendukung wujud dan bentuk
ATB.
2. NILAI-NILAI YANG TIDAK SETARA:
a. Nilai-nilai Tata ruang:
 hirarki sakral-profan (ATB) x nilai sekuler, penting/tidak penting (AMK)
b. Nilai Orientasi / Kiblat:
 kiblat kosmos dan kosmik (ATB) x diabaikan, view yang utama (AMK).
 orientasi jelas dan tegas (ATB) di tengah kosmos x bebas berada di seluruh jagat
 kosmos (AMK).
c. Tata letak/Setting Massa:
 setting atas dasar skala manusia (ATB) x setting atas dasar skala urban (AMK).
d. Tata bangunan:
 sosok/wujud refleksi Tri Angga (ATB) x universal (AMK)
 bentuk Bali ornamentalis (ATB) x bebas, polos/puritis (AMK)
 skala dan proporsi humanis, nuansa rural, poetic dan total (ATB) x nuansa urban,
prosaic dan parsial (AMK)
 ornamen dan dekorasi penting, sebagai harmonisasi, handicraft, sence of beauty
(ATB) x AMK tidak perlu, rasional, fungsional, materialistis, karakter mesin

3. NILAI-NILAI LEBIH:
Nilai-nilai ATB sebagai agen pelestari atas dasar keselarasan buana alit buana agung
(statis, intuitif, handicraft, poetic-sence dan total); AMK agen pembaruan dan dapat
memenuhi sifat-sifat manusia yang selalu menggandrungi ke-kini-an dan didukung IPTEK
(logikal, analitikal, hitech, prosaic dan partial)

PENGEMBANGAN ATB ke DEPAN


1. LANDASAN KEBIJAKAN PERKAWINAN/PERSILANGAN [ RE-FORMASI]:
DESA KALA PATRA SEBAGAI PERTIMBANGAN KEBIJAKAN
Penyesuaian terhadap:
1. Tempat,
2. Waktu dan
3. Situasi & Keadaan
CATUR DRESTA SEBAGAI PEDOMAN KEBIJAKAN
1. Kuna Dresta - Kebiasaan/aturan yang bersifat kuna/pengalaman
2. Sastra Dresta - Kebiasaan/aturan sastra/ilmu pengetahuan/landasan teori
3. Loka Dresta - Kebiasaan/aturan lokal/situasi & kondisi lingk.Lokasi/Site
4. Desa Dresta - Kebiasaan/aturan setempat/lokal/regional
2. TITIK TOLAK PENDEKATAN PERKAWINAN/PERSILANGAN:
Nilai-nilai ATB dan AMK dikelompokkan atas dasar perspektif/aspek yang sama,
meliputi faktor-faktor dan unsur-unsur utama rancangan (nilai-nilai rupa dan nirupa) yakni:
1. konsep dan ekspresi tata ruang dan orientasi;
2. konsep dan ekpresi tata letak/setting massa, dan
3. konsep dan ekspresi tata bangunan:
a) sosok dan/atau bentuk bangunan,
b) skala dan proporsi,
c) ornamen dan dekorasi,
d) struktur dan bahan
1. PRINSIP-PRINSIP ‘PERKAWINAN’
a. Integrasi / Keterpaduan
b. Potensi alam dan sosial-budaya masyarakat.
2. STRATEGI DAN METODA REFORMASI
a. Perlanggaman dalam perancangan arsitektur.
1. Taat asas pada langgam
2. Perpaduan/hibrida langgam:
a) wujud ATB mendominasi AMK
b) Melakukan ubah-suai ATB, sehingga bernuansa AMK
b. Penghadiran elemen-elemen khas/spesifik sebagai jati-diri berupa ornamen dan
dekorasi (ragam hias arsitektur).

PERKAWINAN KELIRU SALING MERUGIKAN

PERKAWINAN DOMINASI ATB PADA AMK

Anda mungkin juga menyukai