Anda di halaman 1dari 57

TUGAS

KULIAH KERJA LAPANGAN

ANALISIS DAN PENGAMATAN


KONSEP STRUKTUR DAN MATERIAL PADA KARYA
ARSITEKTUR KHAS BALI

Disusun oleh :
1.Eka Nanda S
2 . Muh Faizin
3. Windra Wiwid W

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS WIDYA MATARAM
YOGYAKARTA
2019
Halaman Sampul
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Gambar
Daftar Tabel
Daftar Lampiran
Abstract

BAB I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan
1.4. Manfaat

BAB II. KAJIAN TEORI


2.1. Sejarah Pulau Bali
2.2. Kebudayaan Masyarakat Bali
2.3. Konsep dan Perkembangan Arsitektur Bali
2.4. Konsep … (sesuai tema bahasan, missal : Tapak, Interior, Struktur-
Material, Ornamentasi)

BAB III. PEMBAHASAN


3.1. Konsep … (Tapak/Interior/Struktur-Material/Ornamentasi) pada
kompleks Taman Ayun
3.2. Konsep … (Tapak/Interior/Struktur-Material/Ornamentasi) pada Desa
Adat Panglipuran
3.3. Konsep … (Tapak/Interior/Struktur-Material/Ornamentasi) pada
kompleks Puri Agung Pamecutan
3.4. Konsep … (Tapak/Interior/Struktur-Material/Ornamentasi) pada
Tanadewa Resort and Spa
3.5. Analisis Perkembangan Konsep … (Tapak/Interior/Struktur-
Material/Ornamentasi) pada beberapa karya arsitektur khas Bali

BAB IV. PENUTUP


4.1. Kesimpulan
4.2. Saran

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
Pendahuluan

1.1.Latar Belakang

Pulau bali merupakan pulau dengan sejuta pesona alamnya yang sudah tenar di mata

dunia. Keadaan pulau bali yang minim dengan sumber daya alam migas, maka sector

pariwisata sangat berpengaruh untuk menunjang sektor perekonomian di bali. Daya jual

pariwisata di pulau bali sangat dipengaruhi oleh kebudayaan bali yang bersinergi dengan

agama hindu yang merupakan mayoritas di pulau bali.Namun fakta sekarang keadaan lahan

bali yang sempit serta penambahan penduduk yang sangat pesat mengakibatkan fenomena

keterbatasan lahan serta pergeseran gaya hidup akibat perkembangan pariwisata itu sendiri.

Fenomena itu juga telah berpengaruh pada kelestarian alam dan kebudayaan bali.

Arsitektur tradisonal bali merupakan arsitektur agama hindu. Dalam kata lain

munculnya arsitektur tradisonal bersinergi dengan ajaran-ajaran yang tertuang dalam kitab

suci agama hindu. Arsitektur tradisional bali merupakan cerminana dari karakter

masyarakan bali mengenai kebiasaan kebiasaan orang bali. Arsitektur tradisonal bali

memiliki kaedah kaedah tersendiri dalam pembangunannya. Berkaitan dengan fungsi,

kebutuhan, penempatannya, dan civitas di dalamnya.

Seiring dengan perkembangan pariwisata di bali maka akan berpengaruh pada gaya

hidup atau life style masyarakat bali pada khususnya. Maka gaya hidup juga akan

berpengaruh pada kebiasaan dan akan merambas kepada kebudayaan bali khususnya.

Dengan terkikisnya pemahaman tentang kebudayaan maka arsitektur tradisional bali


dikawatirkan akan mengalami degradasi tata nilai dan berlanjut pada krisis identitas dalam

pergaulan global dan disharmonisasi dengan lingkungan.

Kriris identitas tersebut akan berdampak pada pergesaran tata nilai atau kaedah kaedah

dalam pembangunan arsitektur tradisional bali. Pergeseran tata nilai bisa meliputi

perubahan fungsi, perubahan tempat dan makna, serta penempatan dan pemakaian ornamen

dan ragam hias pada suatu karya arsitektur.

Dewasa ini pergeseran fungsi suatu karya arsitektur kerap kita lihat dalam kehidupan

nyata. Pergeseran fungsi itu secara langsung akan berpengaruh pada karakteristik dan

kekhasan dari arsitektur tradisional bali. Maka dari itu perlu kita teliti dan telaah batasan-

batasan konsep atau kaedah-kaedah mengenai fungsi suatu bangunan dilihat dari teori

arsitektur secara umum dan disinergikan dengan konsep pada arsitektur tradisional bali.

1.2.Rumusan Masalah

 Penerapan kaedah-kaedah mengenai fungsi bangunan dalam kaitannya pada arsitektur

tradisional bali

 Pergeseran nilai pada fungsi bangunan arsitektur tradisional bali dengan bangunan

arsitektur bali masa kini


1.3.Tujuan

 Mendapatkan informasi mengeni kedah-kaedah fungsi bangunan dalam kaitannya

struktur dan material pada arsitektur tradisional bali

 Mengkaji dan meneliti struktur dan material yang mepunyai arti/nilai pada fungsi

bangunan arsitektur tradisional bali dengan bangunan arsitektur bali masa kini.

1.4.Manfaat
BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Sejarah Pulau Bali

Kebubudayaan Bali Mula merupakan kebudayaan yang masih

sederhana dari benda-benda alam disekitarnya. Bali aga

mengembangkan kebuday`an dengan bemrentuk benda-benda alam

dalam satu susunan yang harmonis dalam fungsinya menjaga

keseimbangan manusia dengan alam dan lingkungannya. Kebudayaan

Bali mula tidak banyak meninggalkan peninggalan budaya mengingat

kayu-kayu dan bebatuan yang dipakai sebagai bahan perwujudan

Arsitekturnya kurang tahan terhadapa iklim tropis pada kurun waktu

yang lama. Peninggalan-peninggalan kebudayaan Bali Aga masih

dapat ditemukan di beberapa tempat seperti Gunung Kawi, Tirta

Embul, Gua Gajah, dan beberapa tempat di Bedulu sebagai lokasi

pusat kerajaan pada masa Bali Aga.

Kebo Iwa merupakan arsitek besar pada masa Bali Aga yang

meninggalkan beberapa data arsitktur , diantaranya adalah konsep

Bale Agung yang sampai sekarang merupakan bagian dari setiap desa

adat Bali, Dalam lontarnya diungkapkan teori-teori Arsitekturnya


yaitu bangunan seperti pertahanan perang, dan pemanfaatan sungai

sebagai potensi site.Empu Kuturan Sebagai budayawan besar

mendampingi Anak Wungsu yang memerintah Bali sekitar abad ke-

11, juga merupakan seorang Arsitek yang banyak meninggalkan

teori-teori Arsitektur, sisiologi, adat dan agama.Tata pola desa adat,

Khyangan Tiga, Meru dan pedoman-pedoman upacara keagamaan

lainnya merupakan karya dari Empu Kuturan.

Dang Hyang Nirartha atau disebut juga Hyang Dwijendra atau

Pedanda sakti Wawurauh merupakan budayawan besar pada masa

pemerintahan Dalem Waturenggong sekitar pada abad ke-14 ( masa

Majapahit menguasai Bali). Beliau merupakan Arsitek besar dengan

peninggalan konsep-konsep Arsitektur, agama, dan pembaruan

diberbagai bidang budaya lainnya.Padmasana merupakan konsep

beliau untuk banguanan menuju Tuhan Yang Maha Esa.Tirtayatra

merupaka sebuah budaya di Bali yang berarti perjalanan suci atau

keagamaan. Tirtayatra ini juga merupakan peninggalan dari Dang

Hyang Nirartha, bermula dari perjalanan keagaman beliau

mengelilingi pantai di Bali, dilanjutkan menuju Lombok dan Nusa

Tenggara Timur, perjalanan ini menuju ke pura- pura di daerah-daerah

tersebut.
Setelah kerajaan Waturegong menyebar keseluruh Bali (sekarang

masing-masing sebagai ibu kota kabupaten) Arsitek tradisional tidak

lagi menokohkan dirinya< karena adanya pedoman berdasarkan teori

Kebo Iwa, Hyang Nirartha, dan Empu kuturan yang dikembangkan

oleh para undagi (tukang)Dewanya undagi adalah Asta Kosali sebagai

teori pelaksanaan bangunan Tradisional Bali. Setelah Bali dikuasai

Kolonial Belanda, Arsitektur Tradisional mangalami pengaruh asing

yang disesuaikan dengan Arsitektur Tradisional yang telah

ada.Bangunan-bangunan seperti wantilan, loji dan hiasan-hiasan

seperti Patra Cina, Patra Mesir, Patra Olanda.


2.2 Kebudayaan Masyarakat Bali

2.3 Konsep dan Perkembangan Arsitektur Bali

Terwujudnya pola perumahan tradisional sebagai lingkungan buatan sangat terkait

dengan sikap dan pandangan hidup masyarakat Bali, tidak terlepas dari sendi- sendi

agama, adat istiadat, kepercayan dan sistem religi yang melandasi aspek-aspek

kehidupan. Peranan dan pengaruh Agama Hindu dalam penataan lingkungan buatan,

yaitu terjadinya implikasi agama dengan berbagai kehidupan bermasyarakat.

Rumah tradisional Bali selain menampung aktivitas kebutuhan hidup seperti: tidur,

makan, istirahat juga untuk menampung kegiatan yang bertujuan untuk kepentingan

psikologis, seperti melaksanakan upacara keagamaan dan adat. (Sulistyawati. dkk,

1985:15). Dengan demikian rumah tradisional sebagai perwujudan budaya sangat kuat

dengan landasan filosofi yang berakar dari agama Hindu.Agama Hindu mengajarkan

agar manusia mengharmoniskan alam semesta dengan segala isinya yakni bhuana

agung (Makro kosmos) dengan bhuana alit (Mikro kosmos), dalam kaitan ini bhuana

agung adalah lingkungan buatan/bangunan dan bhuana alit adalah manusia yang

mendirikan dan menggunakan wadah tersebut .

Manusia (bhuana alit) merupakan bagian dari alam (bhuana agung), selain memiliki

unsur-unsur pembentuk yang sama, juga terdapat perbedaan ukuran dan fungsi.

Manusia sebagai isi dan alam sebagai wadah, senantiasa dalam keadaan harmonis dan

selaras seperti manik (janin) dalam cucupu (rahim ibu).Rahim sebagai tempat yang

memberikan kehidupan, perlindungan dan perkembangan janin tersebut, demikian pula


halnya manusia berada, hidup, berkembang dan berlindung pada alam semesta, ini yang

kemudian dikenal dengan konsep manik ring cucupu. Dengan alasan itu pula, setiap

wadah kehidupan atau lingkungan buatan, berusaha diciptakan senilai dengan suatu

Bhuana agung, dengan susuna unsur-unsur yang utuh, yaitu: Tri HitaKarana.

Tri Hita Karana yang secara harfiah Tri berarti tiga; Hita berarti kemakmuran, baik,

gembira, senang dan lestari; dan Karana berarti sebab musabab atau sumbernya sebab

(penyebab), atau tiga sebab/ unsur yang menjadikan kehidupan (kebaikan), yaitu: 1).

Atma (zat penghidup atau jiwa/roh), 2). Prana (tenaga), 3).Angga (jasad/fisik) (Majelis

Lembaga Adat, 1992:15).

Bhuana agung (alam semesta) yang sangat luas tidak mampu digambarkan oleh

manusia (bhuana alit), namun antara keduanya memiliki unsur yang sama, yaitu Tri

Hita Karana, oleh sebab itu manusia dipakai sebagai cerminan. Konsepsi Tri Hita

Karana dipakai dalam pola perumahan tradisional yang diidentifikasi; Parhyangan

/Kahyangan Tiga sebagai unsur Atma/jiwa, Krama/warga sebagai unsur Prana tenaga

dan Palemahan/tanah sebagai unsur Angga/jasad (Kaler, 1983:44).


Konsepsi Tri Hita Karana melandasi terwujudnya susunan kosmos dari yang paling

makro (bhuana agung/alam semesta) sampai hal yang paling mikro (bhuana

alit/manusia).Dalam alam semesta jiwa adalah paramatma (Tuhan Yang Maha Esa),

tenaga adalah berbagai tenaga alam dan jasad adalah Panca Maha Bhuta.Dalam

permukiman, jiwa adalah parhyangan (pura desa), tenaga adalah pawongan

(masyarakat) dan jasad adalah palemahan (wilayah desa).Demikian pula halnya dalam

banjar, jiwa adalah parhyangan (pura banjar), tenaga adalah pawongan (warga banjar)

dan jasad adalah palemahan (wilayah banjar). Pada rumah tinggal, jiwanya adalah

sanggah pemerajan (tempat suci), tenaga adalah penghuni dan jasad adalah pekarangan.

Sedangkan pada manusia, jiwa adalah atman, tenaga adalah sabda bayu idep dan jasad

adalah stula sarira/tubuh manusia. Penjabaran konsep Tri Hita Karana dalam susunan

kosmos, dapat dilihat dalam Tabel1.

Susunan/Unsur Jiwa/Atma Tenaga/Prana Fisik/Angga

Alam Semesta Paramatman Tenaga Unsur-unsur

(Bhuana Agung) (Tuhan Yang Maha (yang menggerakan panca maha

Desa Kahyangan Tiga Pawongan Palemahan

(pura desa) (warga desa) (wilayah desa)

Banjar Parhyangan Pawongan Palemahan

(pura banjar) (warga banjar) (wilayah banjar)

Rumah Sanggah (pemerajan) Penghuni rumah Pekarangan

Manusia Atman Prana Angga

(Bhuana Alit) (jiwa manusia) (tenaga sabda bayu idep) (badan manusia)

11
Sumber: Sulistyawati.

Tri Hita Karana (tiga unsur kehidupan) yang mengatur kesimbangan atau keharmonisan

manusia dengan lingkungan, tersusun dalam susunan jasad/angga, memberikan turunan

konsep ruang yang disebut Tri Angga. Secara harfiah Tri berarti tiga dan Angga berarti

badan, yang lebih menekankan tiga nilai fisik yaitu: Utama Angga, Madya Angga dan

Nista Angga. Dalam alam semesta/Bhuana agung, pembagian ini disebut Tri Loka, yaitu:

Bhur Loka (bumi), Bhuah Loka (angkasa), dan Swah Loka (Sorga). Ketiga nilai tersebut

didasarkan secara vertikal, dimana nilai utama pada posisi teratas/sakral,madya pada

posisi tengah dan nista pada posisi terendah/kotor.Tabel

2. Tri Angga dalam Susunan Kosmos

Susunan/Unsur Utama Angga Sakral Madya Angga Nista Angga Kotor

Netral

Alam Semesta Swah Loka Bwah Loka Bhur Loka

Wilayah Gunung Dataran Laut

Perumahan/Desa Kahyangan Tiga Pemukiman Setra/Kuburan

Rumah Tinggal Sanggah/Pemerajan Tegak Umah Tebe

Bangunan Atap Kolom/Dinding Lantai/Bataran

Manusia Kepala Badan Kaki

Masa/Waktu Masa depan Masa kini Masa lalu

Watamana Nagata Atita

12
Sumber: Sulistyawati.

Konsepsi Tri Angga berlaku dari yang bersifat makro (alam semesta/bhuana agung)

sampai yang paling mikro (manusia/bhuana alit). Dalam skala wilayah; gunung

memiliki nilai utama; dataran bernilai madya dan lautan pada nilai nista. Dalam

perumahan, Kahyangan Tiga (utama), Perumahan penduduk (madya), Kuburan (nista),

juga berlaku dalam skala rumah dan manusia. Susunan Tri Angga dalam susunan

Tri Angga yang memberi arahan tata nilai secara vertikal (secara horisontal ada yang

menyebut Tri Mandala), juga terdapat tata nilai Hulu-Teben, merupakan pedoman tata

nilai di dalam mencapai tujuan penyelarasan antara Bhuana agung dan Bhuana alit.

Hulu-Teben memiliki orientasi antara lain: 1). berdasarkan sumbu bumi yaitu: arah

kaja-kelod (gunung dan laut), 2). arah tinggi-rendah (tegeh dan lebah), 3). berdasarkan

sumbu Matahari yaitu; Timur- Barat (Matahari terbit dan terbenam) (Sulistyawati.

dkk,1985:7).

Tata nilai berdasarkan sumbu bumi (kaja/gunung-kelod/laut), memberikan nilai utama

pada arah kaja (gunung) dan nista pada arah kelod (laut), sedangkan berdasarkan sumbu

matahari; nilai utama pada arah matahari terbit dan nista pada arah matahari terbenam.

Jika kedua sistem tata nilai ini digabungkan, secara imajiner akan terbentuk pola Sanga

Mandala,yang membagi ruang menjadi sembilan segmen. (Adhika; 1994:19).

13
Konsep tata ruang Sanga Mandala juga lahir dari sembilan manifestasi Tuhan dalam

menjaga keseimbangan alam menuju kehidupan harmonis yang disebut Dewata Nawa

Sanga (Meganada, 1990:58) dan lihat Gambar 2.

Konsepsi tata ruang Sanga Mandala menjadi pertimbangan dalam penzoningan

kegiatan dan tata letak bangunan dalam pekarangan rumah, dimana kegiatan yang

dianggap utama, memerlukan ketenangan diletakkan pada daerah utamaning utama

(kaja- kangin), kegiatan yang dianggap kotor/sibuk diletakkan pada daerah nistaning

nista (klod- kauh), sedangkan kegiatan diantaranya diletakkan di tengah (Sulistyawati.

dkk, 1985:10). Dalam turunannya konsep ini menjadi Pola Natah (Adhika, 1994:24)

dan jelasnya lihat Gambar3

14
KELOD (LAUT)

KAJA (GUNUNG) KANGIN


KAUH

KELOD (LAUT)

BERDASARKAN
LINTASAN MATAHARI

TERBENAM TERBIT

SANGAMANDALA

UTAMANING UTAMANING UTAMANING

UTAMANING
MADYANING MADYANING
BERDASAR SUMBU KAJA MADYA

KELOD (GUNUNG LAUT)


NISTANING NISTANING UTAMANING
UTAMA
KAJA

MADYA
DATARAN

NISTA
MADYA
UTAMA

NISTA

Gambar 2. Konsep Arah Orientasi Ruang dan Konsep Sanga Mandala

11
A TYPICAL

Uma/Meten Sanggah
UTAMA

Natah
MADYA
PENJABARAN Bale
Bale

NISTA Lawang
Aling-aling
Bale Sakenam
K O N S EP

Lumbung
Paon

Gambar 3. Penjabaran Konsep Zoning Sanga Mandala dalam Rumah Sumber:

GUNUNG TUHAN ALAM

ARSITEKTUR

NISTA MADYA UTAMA


LAUT
MANUSIA

Gambar 4. Konsepsi Tata Ruang Tradisional Bali

12
Dalam skala perumahan (desa) konsep Sanga Mandala, menempatkan kegiatan yang

bersifat suci (Pura Desa) pada daerah utamaning utama (kaja-kangin), letak Pura Dalem

dan kuburan pada daerah nisthaning nista (klod- kauh), dan permukiman pada daerah

madya, ini terutama terlihat pada perumahan yang memiliki pola Perempatan (Catus

Patha). (Paturusi; 1988:91). Sedangkan Anindya (1991:34) dalam lingkup desa, konsep

Tri Mandala, menempatan: kegiatan yang bersifat sakral di daerah utama, kegiatan

yang bersifat keduniawian (sosial, ekonomi dan perumahan) madya, dan kegiatan yang

dipandang kotor mengandung limbah daerah nista. Ini tercermin pada perumahan yang

memiliki pola linier.Konsep tata ruang yang lebih bersifat fisik mempunyai berbagai

variasi, namun demikian pada dasarnya mempunyai kesamaan sebagai berikut yaitu: 1).

Keseimbangan kosmologis (Tri Hita Karana), 2). Hirarkhi tata nilai (Tri Angga),

3).Orientasi kosmologis (Sanga Mandala), 4).Konsep ruang terbuka (Natah),

5).Proporsi dan skala, 6).Kronologis dan prosesi pembangunan, 7).Kejujuran struktur

(clarity of structure), 8). Kejujuran pemakaian material (truth of material). (Juswadi

Salija, 1975; dalam Eko Budihardjo, 1986). Lihat Gambar4.

Munculnya variasi dalam pola tata ruang rumah dan perumahan di Bali karena adanya

konsep Tri Pramana, sebagai landasan taktis operasional yang dikenal dengan Desa-

Kala- Patra (tempat, waktu dan keadaan) dan Desa- Mawa-Cara yang menjelaskan

adanya fleksibilitas yang tetap terarah pada landasan filosofinya, dan ini ditunjukkan

oleh keragaman pola desa-desa di Bali. (Meganada: 1990:51).

13
Perumahan tradisional Bali juga memiliki konteks kehidupan pribadi dan masyarakat

serta pantangan-pantangan.Dalam konteks pribadi seperti halnya menentukan dimensi

pekarangan dan proporsi bangunan memakai ukuran bagian tubuh penghuni/kepala

keluarga, seperti; tangan, kaki dan lainnya.(Meganada: 1990:61). Dasar pengukuran

letak bangunan dalam pekarangan memakai telapak kaki dengan hitungan Asta Wara

(Sri, Guru, Yama, Rudra, Brahma, Kala, Uma) ditambah pengurip. (Adhika, 1994:25).

2.2 Pola Ruang Rumah Tinggal

Secara umum ada 3 macam pola tata ruang,yaitu:

a. Pola Perempatan (CatusPatha)

Pola Perempatan, jalan terbentuk dari perpotongan sumbu kaja - kelod

(utara-selatan) dengan sumbu kangin-kauh (timur-barat). Berdasarkan konsep

Sanga Mandala, pada daerah kaja-kangin diperuntukan untuk bangunan suci

yaitu pura desa.Letak Pura Dalem (kematian) dan kuburan desa pada daerah

kelod-kauh (barat daya) yang mengarah ke laut.Peruntukan perumahan dan

banjar berada pada peruntukan madya (barat-laut).Untuk jelasnya lihat

Gambar 8 dan11.

b. PolaLinear

Pada pola linear konsep Sanga Mandala tidak begitu berperan.Orientasi

kosmologis lebih didominasi oleh sumbu kaja-kelod (utara- selatan) dan

sumbu kangin-kauh (timur-barat).Pada bagian ujung Utara perumahan (kaja)

diperuntukan untuk Pura (pura bale agung dan pura puseh). Sedang di ujung

selatan (kelod) diperuntukan untuk Pura Dalem (kematian) dan kuburan

desa.Diantara kedua daerah tersebut terletak perumahan penduduk dan

18
fasilitas umum (bale banjar dan pasar) yang terletak di plaza umum, seperti

dijelaskan Gambar9.

Pola linear pada umumnya terdapat pada perumahan di daerah

pegunungan di Bali, dimana untuk mengatasi geografis yang berlereng

diatasi denganterasering.

c. PolaKombinasi

Pola kombinasi merupakan paduan antara pola perempatan (Catus patha)

dengan pola linear.Pola sumbu perumahan memakai pola perempatan, namun

demikian sistem peletakan elemen bangunan mengikuti pola

linear.Peruntukan pada fasilitas umum terletak pada ruang terbuka (plaza)

yang ada di tengah- tengah perumahan.Lokasi bagian sakral dan profan

masing-masing terletak pada ujung utara dan selatan perumahan.Jelasnya

lihat Gambar 10.Pola tata ruang yang dikemukakan di atas merupakan

penyederhanaan daripada pola tata ruang yang pada kenyataannya sangat

bervariasi. Setiap daerah perumahan di Bali mempunyai pola tersendiri yang

disebabkan oleh faktor yang telah dikemukakan pada uraian Aspek Sosial.

Dari ilustrasi tersebut perumahan tradisional Bali dapat diklasifikasikan

dalam 2 type,yaitu:

1. Type Bali Aga merupakan perumahan penduduk asli Bali yang

kurang dipengaruhi oleh Kerajaan Hindu Jawa. Lokasi perumahan

ini terletak di daerah pegunungan yang membentang membujur

19
di tangah- tangah Bali, sebagian beralokasi di Bali Utara dan

Selatan. Bentuk fisik pola perumahan Bali Aga dicirikan dengan

adanya jalan utama berbentuk linear yang berfungsi sebagai

ruang terbuka milik komunitas dan sekaligus sebagai sumbu

utama desa. Contoh perumahan Bali Aga: Julah (di Buleleng),

Tenganan, Timbrah dan Bugbug (diKarangasem).

2. Type Bali Dataran, merupakan perumahan tradisional yang

banyak dipengaruhi oleh Kerajaan Hindu Jawa. Perumahan type

ini tersebar di dataran bagian selatan Bali yang berpenduduk

lebih besar diabndingkan type pertama. Ciri utama perumahan

ini adalah adanya Pola perempatan jalan yang mempunyai 2

sumbu utama, sumbu pertama adalah jalan yang membujur arah

Utara- Selatan yang memotong sumbu kedua berupa jalan

membujur Timur-Barat

BULELEN BANGL GIANYA

KARANGASE

20
TABANA DENPASA KLUNGK

KETERANGAN :

1 = PURI

2 = PASAR

3 = ALUN - ALUN

4 = WANTILA

Gambar 11. Pusat Kerajaan Berkembang menjadi Pusat Kabupaten

Rumah tinggal masyarakat Bali sangat unik karena rumah tinggal tidak

merupakam satu kesatuan dalam satu atap tetapi terbagi dalam beberapa ruang-ruang

yang berdiri sendiri dalam pola ruang yang diatur menurut konsep arah angin dan sumbu

gunung Agung.Hal ini terjadi karena hirarki yang ada menuntut adanya perbedaan strata

dalam pengaturan ruang-ruang pada rumah tinggal tersebut.Seperti halnya tempat tidur

orang tua dan anak-anak harus terpisah, dan juga hubungan antara dapur dan tempat

pemujaan keluarga.Untuk memahami hirarki penataan ruang tempat tinggal di Bali ini

haruslah dipahami keberadaan sembilan mata angin yang identik dengan arah utara,
21
selatan, timur dan barat.Bagi mereka arah timur dengan sumbu hadap ke gunung Agung

adalah lokasi utama dalam rumah tinggal, sehingga lokasi tersebut biasa dipakai untuk

meletakkan tempat pemujaan atau di Bali di sebut pamerajan.Bagian-bagian pada rumah

tinggal tradisional Bali sebagai berikut.

1. Angkul-angkul yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura

yaitu sebagai gapura jalan masuk. Angkul-angkul biasanya teletak di kauh kelod.

2. Aling-aling adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk

sehingga jalan masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini

dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam. Aling-

aling terletak di kaluh kelod.

3. Natah atau halaman tengah merupakan pusat dari pekarangan yang dikelilingi

bale-bale.

4. Mrajan atau sanggah, terleteak dibagian timur laut atau kaja kangin pada

sembilan petak pola ruang, merupakan area suci pada rumah berfungsi sebagai

tempat pemujaan.

5. Bale Dangin yaitu bangunan perumahan tradisional Bali yang komposisinya

berada di sisi timur disebut dengan bale dangin, Type yang dibangun type sake

nem dalam perumahan tergolong sederhana bila bahan dan penyelesaiannya

sederhana, dapat pula digolongkan madia bila ditinjau dari penyelesaiannya

22
dibangun dengan bahan penyelesaian madia. Untuk areal perumahan

yang besar digunakan type Sake roras yang sering disebut dengan bale gede Sake

roras dalam perumahan tergolong utama. Type Sake roras / Bale Gede bentuk

bangunan bujur sangkar, dengan ukuran 4,8 m x 4,8 m, dengan tinggi lantai

sekitar 0,8 m dengan dua atau tiga anak tangga kearah natah, lantai lebih rendah

dari bangunan bale daja. Konstruksi terdiri dari dua belas tiang yang dirangkai

empat empat menjadi dua balai-balai atau bila menggunakan satu balai-balai

rangkaian empat tiang dapat di tepi atau di tengah. Masing-masing balai-balai

memanjang kangin kauh dengan kepala kearah timur . Tiang-tiang dirangkaikan

dengan sunduk waton/selimar likah dan galar. Stabilitas konstruksi dengan sistim

lait pada pepurus sunduk dengan lubang tiang. Untuk tiang yang tidak dirangkai

balai-balai menggunakan senggawang sebagai stabiltas konstruksi. Bangunan

dengan dinding penuh pada sisi timur dan sisi selatan.

6. Bale Delod Dalam komposisi bangunan rumah saka kutus ini menempati letak

bagian kelod yang juga disebut Bale delod, dalam proses pembangunan bale

delod letaknya dari bale meten diukur dengan menggunakan tapak kaki dengan

pengurip angandang tergantung dari kecenderungan penghuni rumah. Bale

delod difungsikan sebagai sumanggem, bangunan untuk upacara adat, tamu

dan tempat bekerja atau serbaguna. Bentuk bangunan segi empat panjang,

dengan ukuran 355 m x 570 m, dengan tinggi lantai sekitar 0,8 m dengan tiga

anak tangga kearah natah. Konstruksi terdiri delapan tiang tiga deret di depan

dan ditengah dua deret dibelakang, dengan satu balai balai mengikat empat

tiang hubungan balai balai dengan konstruksi perangkai sunduk waton dan

empat tiang lainnya berdiri dengan senggawang sebagai stabilitas. Bangunan


23
dengan dinding penuh pada luan sisi kangin dan sisi kelod dan terbuka kearah

natah, konstruksi atap limas.

7. Bale Daje Bangun rumah yang paling awal dibangun dalam perumahan, type

bangunan sake kutus diklasifikasikan sebagai bangunan madia dengan fungsi

tunggal sebagai tempat tidur yang disebut bale meten. Komposisinya berada

disisi kaja natah (halaman tengah) menghadap kelod berhadapan dengan

sumanggem/bale delod. Dalam proses membangun rumah bale meten merupakan

bangunan awal. Jaraknya delapan tapak kaki dengan pengurip angandang diukur dari

tembok pekarangan sisi kaja. Selanjutnya bangunan yang lainnya di bangun dengan

jarak yang diukur dari bale meten.Bentuk bangunan segi empat panjang, dengan

ukuran 5 m x 2,5 m, dengan tinggi lantai sekitar 1,2 m dengan empat atau lima anak

tangga kearah natah lantai lebih tinggi dari bangunan lainnya untuk estetika. Konstruksi

terdiri delapan tiang yang dirangkai empat empat menjadi dua balai-balai. Masing-

masing balai-balai memanjang kaja kelod dengan kepala kearah luan kaja. Tiang-tiang

dirangkaikan dengan sunduk waton/selimar likah dan galar. Stabilitas konstruksi

dengan sistim lait pada pepurus sunduk dengan lubang tiang senggawang tidak ada

pada bale sekutus. Bangunan dengan dinding penuh pada keempat sisi dan pintu keluar

masuk kearah natah.

8. Bale Dauh / Loji ini terletak di bagian Barat ( Dauh natah umah ), dan sering pula

disebut dengan Bale Loji, serta Tiang Sanga. Fungsi Bale Dauh ini adalah untuk

tempat menerima tamu dan juga digunakan sebagai tempat tidur anak remaja

atau anak muda. Fasilitas pada bangunan Bale Dauh ini adalah 1 buah bale –

bale yang terletak di bagian dalam. Bentuk Bangunan Bale Dauh adalah persegi

panjang, dan menggunakan saka atau tiang yang terbuat dari kayu. Bila tiangnya
24
berjumlah 6 disebut sakenem, bila berjumlah 8 disebut sakutus / astasari, dan

bila tiangnya bejumlah 9 disebut sangasari. Bangunan Bale Dauh adalah rumah

tinggal yang memakai bebaturan dengan lantai yang lebih rendah dari Bale

Dangin serta Bale Meten.

9. Paon ( Dapur ) yaitu tempat memasak bagi keluarga. Bagian yang terpenting

dari rumah dapur orang bali tempatnya terpisah dengan bagian – bagian rumah

yang lain. Dapur biasanya ditempatkan disebelah barat bale delod berdekatan

dengan pintu masuk rumah atau dalam bahasa bali biasa disebut lebuh. Fungsi

dapur di bali memang sama dengan dapur – dapur pada umumnya akan

tetapi bagian –

bagian dapur tradisional bali harus memiliki tungku dalam bahasa bali

disebut Bungut Paon. Tungku ini fungsinya sebagai pengganti kompor atau

hanya symbol saja tetapi tidak digunakan. Tungku ini juga berfungsi sebagai

tempat meletakan yadnya sesa atau banten jotan ( sesajen setelah selesai

memasak di pagi hari ). Diatas bungut paon itu biasa dibuatkan Langgatan (

sejenis rak tradisional ). Jika memasak menggunakan bungut paon langgatan

berfungsi sebagai tempat meletakan kayu bakar yang sudah kering dan siap

digunakan.

10. Jineng/lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi

dan hasil kebun lainnya. Fungsinya sebagai penyimpanan hasil panen yang

berupa gabah di bagian atapnya. Dan dibawahnya dibentuk menyerupai bale

untuk tempat bersantai dan bercengkrama bersama keluarga. Orang – orang

yang memiliki jineng ini biasanya golongan petani yang memiliki hasil panen

25
setiap tahun. Jineng biasanya terletak bersebelahan dengan dapur yang pada

umumnya berada pada bagian depan areal rumah.

Sumber :https://en.wikipedia.org/wiki/Balinese_traditional_house

26
2.4 Konsep Struktur dan Material Arsitektur Tradisional Bali

BAB III

PEMBAHASAN

1.1. Konsep Struktur-Material pada kompleks Taman Ayun

Pura Taman Ayun adalah salah satu destinasi yang wajib anda kunjungi saat pertama kali ke

Bali. Pura ini dianggap sebagai “pura Ibu” (Paibon) bagi Kerajaan Mengwi – Bali. Taman

Ayun artinya adalah taman yang indah (beatutiful garden), karena memang pura ini berada di

sebuah taman yang indah, luas, tertata rapi, dan dikelilingi oleh kolam ikan.

Untuk menuju kompleks pura, kita harus berjalan melewati halaman depan berupa taman

yang cukup luas. Kompleks bangunan pura-nya sendiri tidak diperbolehkan dimasuki

wisatawan umum. Hanya bisa menyaksikan dari luar pagar batu yang mengelilingi pura.

Pura Taman Ayun dibangun pada tahun 1556 Saka (1634 Masehi) oleh Raja Mengwi, I Gusti

Agung Putu dengan arsitek yang konon berasal dari Negeri Cina. Arsitektur bangunan-

bangunan yang ada di Taman Ayun sungguh unik. Dengan ciri khas bentuk atap yang

bertingkat-tingkat menjulang tinggi ke angkasa. Jumlah tingkat atap selalu ganjil. Yang

tertinggi bertingkat 11, kemudian diikuti 9 tingkat, 7 tingkat, 5 tingkat, 3 tingkat, dan yang

terpendek adalah 1 atap.

Setiap hari Selasa Kliwon wuku Medangsia (menurut pananggalan Saka) di pura ini

27
diselenggarakan piodalan (upacara) untuk merayakan ulang tahun berdirinya pura. Karena
memang pura ini diresmikan pada hari Selasa Kliwon-Medangsia bulan keempat tahun 1556

Saka.

Pelataran Luar Pura Taman Ayun

Taman Ayun menempati areal seluas sekitar 2,5 hektar (100 x 200 m2), terbagi menjadi,

pelataran luar dan Pelataran Dalam. Dari luar ke dalam, letaknya semakin tinggi. Pelataran

Luar, yang disebut Jaba, terdapat disisi luar kolam. Terdapat sebuah jembatan melintasi

kolam dari Pelataran Luar menuju Gapura Bentar yang merupakan pintu masuk ke Pelataran

Dalam. Palataran Dalam ini dikelilingi tembok yang terbuat dari batu.

Di Pelataran Luar ini terdapat sebuah wantilan, semacam pendapa tempat pertemuan.

Wantilan merupakan tempat umum yang biasanya digunakan untuk pelaksanaan upacara dan

juga sebagai arena sabung ayam, yang dilaksanakan dalam kaitan dengan penyelenggaraan

upacara di pura. Bangunan-bangunan keagamaan yang ada di pelataran ini antara lain adalah

Meru, Candi, Gedong, Padmasana, dan Padma Rong Telu.

Pelataran Dalam Pura Taman Ayun

Pelataran Dalam di Pura Taman Ayun terbagi menjadi 3 bagian. Yang pertama adalah tempat

untuk menikmati keindahan pura sambil beristirahat di sebuah bale bundar. Di sebelah bale

bundar terdapat sebuah kolam yang ditumbuhi tanaman teratai. Di tengahnya berdiri sebuah

tugu yang memancarkan air ke sembilan arah mata angin. Di sisi timur terdapat sekumpulan

pura kecil yang disebut Pura Luhuring Purnama.

Pelataran Dalam kedua lokasinya lebih tinggi dari pelataran dalam pertama, terdapat 9 relief

penjaga setiap penjuru mata angin atau menurut kepercayaan Hindu merupakan simbol
28

kekuatan Dewata Nawa Sanga. Di sisi sebelah timur terdapat sebuah pura kecil yang disebut
Pura Dalem Bekak. Sedangkan di sudut barat terdapat balai Kulkul yang atapnya menjulang

tinggi.

Pelataran Dalam ketiga, terletak paling tinggi. Terdapat pintu Gelung dengan posisi ada di

tengah. Pintu ini hanya dibuka pada saat upacara khusus. Pintu lain ada di sisi kiridan kanan,

biasanya digunakan untuk aktifitas keluar masuk kegiatan sehari hari. Pelataran dalam ketiga

ini dianggap sebagai tempat paling penting dan disucikan. Bangunan-bangunan candi dan

meru terdapat di sini, diperuntukkan sebagai tempat pemujaan umat Hindu Bali. Bangunan-

bangunan keagamaan yang terdapat dihalaman ini diantaranya adalah Meru, Candi, Gedong,

Padmasana dan Padma Rong Telu *).

Pura Taman Ayun, dari sisi belakang

Suasana di Pura Taman Ayun ini terkesan sunyi, menenangkan dan magis. Mungkin ini

muncul oleh adanya perpaduan taman luas yang terawat, bersih dan rapi denga pura hindu

yang dianggap sangat sakral bagi masyarakat Hindu Bali.

Saya banyak menemukan berbagai macam tanaman-tanaman langka yang tumbuh di Taman

Pura. Seperti misalnya pohon Maja (Crescentia Cujete) yang terlihat atraktif memamerkan

buah-buah besar berwarna hijau segar. Meru adalah salah satu jenis tempat pemujaan untuk

Istadewata, bhatara- bhatari yang melambangkan gunung Mahameru. Landasan filosofis dan

meru adalah berlatar belakang pada anggapan adanya gunung suci sebagai stana para dewa

dan roh suci leluhur. Untuk kepentingan pemujaan akhirnya gunung suci itu dibuatkan

berbentuk replika (tiruan) berbentuk bangunan yang dinamai candi, prasada dan meru. (ref:

babadbali.com)
29
 Gedong adalah semacam tugu, bagian atasnya berupa konstruksi kayu, atapnya dari

alang-alang, ijuk atau bahan-bahan penutup lain mengikut bentuk dan fungsinya.

 Padmasana adalah sebuah tempat untuk bersembahyang dan menaruh sesaji bagi umat

Hindu Bali.

 Padma Rong Telu : Padma kurung 3 ruangan.

1.2. Konsep Struktur-Material pada Desa Adat Panglipuran

Penduduk penglipuran awalnya berasal dari desa Buyung Gede. Arti kata dari

Penglipuran adalah kata adalah pertama “Pengeliang dan kata Pura”. Kedua “kata Pelipur

dan Lara “adalah tempat untuk menghibur raja yang sedang bersedih ketika menghadapi

masalah. Ketiga “pangling dan pura” yang berarti orang yang datang kedesa ini akan

melewati empat buah pura

Letak desa Desa adat Penglipuran berada di bawah administrasi Kelurahan Kubu,

Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Desa Panglipuran berada pada

ketinggian 500-625 m di atas permukaan laut. Permukaan tanah relatif berkontur,

jenis tanahnya merah kekuning- kuningan.Luas Desa Tradisional Penglipuran112 ha,

terdiri dari pekarangan 5.5 Ha, hutan bambu 45 Ha, hutan vegetasi lainnya 10 Ha dan lahan

pertanian 21.5 Ha, dengan batas- batas wilayah sebagai berikut. Utara: Desa Adat Kaya,

selatan: Desa Adat Cempaga, Timur: Desa Adat Kubu, Barat: desa Adat Cekeng. (

30
Gambar 1. Pola Pemukiman desa adat

Penglipuran

Suhu rata-rata di Desa Penglipuran adalah 18oC-32oC, dengan curah hujan

rata-rata setiap tahunnya antara 2.000-2500 mm per tahun.

Desa Penglipuran termasuk dalam katagori wilayah sejuk dan meliliki

cadangan air dalam jumlah cukup besar (monografi desa penglipuran, 2013).

Pemerintah kabupaten Bangli memberikan hak khusus kepada masyarakat adat

yang ada di desa Penglipuran untuk mengelola pemerintahan adat yang ada di

desanya sehingga, terbentuknya suatu tatanan lingkungan yang harmonis merupakan

bentukan dari arsitektur nusantara yang telah menjamah wilayah Indonesia dalam

hal ini fisik dalam wujud bangunan nusantara bergantung pada bahan bangunan

31
yang mengadopsi iklim tropis dan budaya yang menjadi sebagai kekuatan .

Berdasarkan hasil observasi di pemukiman adat Penglipuran, desa adat

Penglipuran merupakan kompleks pemukiman tradisional terpadu dan mempunyai

keunikan arsitektur yang keberadaannya masih tetap terjaga sampai saat ini. Desa

adat Penglipuran ini merupakan salah satu desa yang masih mempertahankan nilai-

nilai budaya, sehingga masuk dalam arsitektur nusantara dan keberlanjutannya.

setiap pekaragan bangunan mempunyai keteraturan sendiri yang berbeda dengan

desa- desa yang lain walaupu sudah perubahan pada beberapa bangunan intinya

tetapi setiap bangunan masih menonjolkan arsitektur tradisionalnya

Teknologi Bambu sebagai Bahan Material Pemukiman Desa Adat

Penglipuran

Bambu di Indonesia banyak ditemukan di daerah pegunungan yang berada di

perdesaan maupun di kawasan hutan. Bambu juga dapat tumbuh pada semua jenis

tanah, kecuali pada daerah dekat pantai. Bambu pertumbuhannya lambat dan

batangnya kecil.

Daerah perdesaan merupakan daerah tumbuhnya bambu, karena

kelenturannya dan tanggap terhadap alam serta bersifat ringgan bambu

dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Arsitektur tradisional cenderung mendapat

pengaruh dari lingkungan sekitar yang kemudian diolah berdasarkan kemampuan

dasar. Sifat yang ditimbulkan dari arsitektur ini akhirnya membentuk arsitektur

32
yang bersifat lokal dengan karakternya masing-masing.

Karakter dari masyarakat adat di Penglipuran dapat dilihat dari sikap menjaga

hutan bambu Penglipuran yang akhirnya menjadi satu bagian sikap warga dalam

menjaga kekhasan Penglipuran sebagai salah satu desa Bali Aga atau Bali Tua.

Kondisi ini sinergis dengan semangat memelihara keaslian sekaligus keunikan desa

yang juga sebagai desa wisata.

Gambar 2. Hutan bambu desa adat Penglipuran

33
Karakter bangunanan pemukimanan adat yang memperlihatkan kesenergisan

masyarakat dengan alam dapat dilihat pola bangunan yang disucikan atau yang

dianggap paling tinggi derajatnya. Tercantum dalam awig-awig desa bahwa setiap

warga yang ada di desa perkaranganya harus memiliki antara lain:

1. Pawon

Bangunan ini merupakan ruang tertutup yang dapat difungsikan untuk

dapur yang didalamnya terdapat lumbung padi serta untuk tempat

tidur/peristirahatan. Secara fisik bangunan ini menggunaan material bambu

yang tampak pada konstruksi dinding, atap, tempat tidur, bahkan peralatan

makan juga terlihat dalam ruangan ini. Semuanya bercirikan masyarakat adat

Penglipuran. Bangunan Pawon mepunyai ukuran 4 x 3 meter persegi, tidak

terdapat jendela dan hanya memiliki satu buah pintu. Hal ini hubungannya

dengan keadaan cuaca yang agak dingin terutama pada waktu malam hari.

Selain berfungsi untuk memasak juga membuat ruangan menjadi hangat

Gambar 3. Pawon

34
2. Bale Sakenem

Bangunan ini ada pada setiap unit pemukiman, Bale Sakenem ini

merupakan tempat dilaksanakannya upacara agama yang hanya di khususkan

untuk keluarga yang tinggal di dalamnya. Bangunan ini tidak tertutup hanya

diberi tembok pad dua sisinya. Upacara agama yang sering dilakukan pada

Bale Sakenem ini adalah upacara Pitra Yadnya (Ngaben) dan upacara Manusa

Yadnya seperti upacara perkawinan/pewiwahan. Ciri khas bangunan ini

memakai atap sirap dari bahan bambu.

Gambar 4. Bale sakenem

35
3. Angkul-angkul

Angkul-angkul merupakan pintu masuk yang berupa gerbang yang ada pada setiap

pekerangan rumah masyarakat Penglipuran. Bentuknya masih dipertahankan akan tetapi

baha/materianya sudah dimodifikasi.

Bahan atap angkul-angkul menunjukkan ciri khas angkul- angkul

rumah tradisional Penglipuran yaitu dari bahan sirap dari bambu,

bagian dinding penyangga juga sudah bervariasi, dapat terbuat dari campuran

tanah liat dicampur dengan air kemudian dipadatkan dengan cara diijak-injak

sampai lembut (bahan tanah popolan) langsung diaplikasikan membentuk pintu

gerbang, bahan batu bata bataku yang diplester. Mengingat makin

banyak masyarakat memiliki kendaraan sepeda motor, untuk

angkul-angkul pada sisi barat tidak lagi berundak melainkan dalam bentuk

ramp supaya sepeda motor mudah dibawa kedalam rumah.

36
Gambar 5. Angkul-angkul

4. Bale Banjar

Bangunan bale banjar ini merupakan bangunan yang dapat digunakan bersama

oleh seluruh masyarakat adat di Penglipuran. Balai banjar ini konstruk bangunannya

tidak memiliki dinding, hanya memiliki tiang penyangga, biasanya digunakan dalam

prosesi upacara Ngaben masal dan pertemuan warga.

37
Gambar 6. Bale banjar

5. Atap

Aplikasi bambu yang ada di desa adat penglipuran ditemukan di atap

bangunan paon, sakenem, angkul-angkul dan bale banjar, tata cara penyusunan atap

ditumpuh antara 4-5 lapisan antar lapisan dikaitkan antara lapisan atas di tumpuk.

Gambar 7. Atap

38
Gambar 8. Tata Cara Penyusunan Atap Sirap Bambu

1. Dinding

Dinding merupakan elemen yang pada bangunan berfungsi sebagai pembatas

dan sebagian sebagai peyokong struktur selain itu juga sebagai pemisah antara ruang

terbuka maupun ruang dalam. Dinding yang ada di pemukiman adat penglipuran

dapat ditemukan di paon dan sakenem. Berbahan bambu yang dianyam dengan

anyaman sederhana.

39
Gambar 9. Dinding bambu

1.3. Konsep Struktur-Material pada kompleks Puri Agung Pamecutan

1.4. Konsep Struktur-Material pada Tanadewa Resort and Spa

1.5. Analisis Perkembangan Konsep … (Tapak/Interior/Struktur-

Material/Ornamentasi) pada beberapa karya arsitektur khas Bali

40
41
Tata Cara Penulisan
1. Kertas A4-70gram
2. Font Times New Roman ukuran 12 dengan Spasi 2
3. Margin : 4 cm (atas), 3cm (bawah), 3cm (kanan), 4cm (kiri)
4. Daftar Pustaka, Abstrak, Lampiran ditulis 1 spasi
5. Sampul menggunakan kertas Buffalo/linen jilid hardcov
52
53
54
55
56
57

Anda mungkin juga menyukai