Disusun oleh :
1.Eka Nanda S
2 . Muh Faizin
3. Windra Wiwid W
BAB I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan
1.4. Manfaat
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
Pendahuluan
1.1.Latar Belakang
Pulau bali merupakan pulau dengan sejuta pesona alamnya yang sudah tenar di mata
dunia. Keadaan pulau bali yang minim dengan sumber daya alam migas, maka sector
pariwisata sangat berpengaruh untuk menunjang sektor perekonomian di bali. Daya jual
pariwisata di pulau bali sangat dipengaruhi oleh kebudayaan bali yang bersinergi dengan
agama hindu yang merupakan mayoritas di pulau bali.Namun fakta sekarang keadaan lahan
bali yang sempit serta penambahan penduduk yang sangat pesat mengakibatkan fenomena
keterbatasan lahan serta pergeseran gaya hidup akibat perkembangan pariwisata itu sendiri.
Fenomena itu juga telah berpengaruh pada kelestarian alam dan kebudayaan bali.
Arsitektur tradisonal bali merupakan arsitektur agama hindu. Dalam kata lain
munculnya arsitektur tradisonal bersinergi dengan ajaran-ajaran yang tertuang dalam kitab
suci agama hindu. Arsitektur tradisional bali merupakan cerminana dari karakter
masyarakan bali mengenai kebiasaan kebiasaan orang bali. Arsitektur tradisonal bali
Seiring dengan perkembangan pariwisata di bali maka akan berpengaruh pada gaya
hidup atau life style masyarakat bali pada khususnya. Maka gaya hidup juga akan
berpengaruh pada kebiasaan dan akan merambas kepada kebudayaan bali khususnya.
Kriris identitas tersebut akan berdampak pada pergesaran tata nilai atau kaedah kaedah
dalam pembangunan arsitektur tradisional bali. Pergeseran tata nilai bisa meliputi
perubahan fungsi, perubahan tempat dan makna, serta penempatan dan pemakaian ornamen
Dewasa ini pergeseran fungsi suatu karya arsitektur kerap kita lihat dalam kehidupan
nyata. Pergeseran fungsi itu secara langsung akan berpengaruh pada karakteristik dan
kekhasan dari arsitektur tradisional bali. Maka dari itu perlu kita teliti dan telaah batasan-
batasan konsep atau kaedah-kaedah mengenai fungsi suatu bangunan dilihat dari teori
arsitektur secara umum dan disinergikan dengan konsep pada arsitektur tradisional bali.
1.2.Rumusan Masalah
tradisional bali
Pergeseran nilai pada fungsi bangunan arsitektur tradisional bali dengan bangunan
Mengkaji dan meneliti struktur dan material yang mepunyai arti/nilai pada fungsi
bangunan arsitektur tradisional bali dengan bangunan arsitektur bali masa kini.
1.4.Manfaat
BAB II
KAJIAN TEORI
Kebo Iwa merupakan arsitek besar pada masa Bali Aga yang
Bale Agung yang sampai sekarang merupakan bagian dari setiap desa
tersebut.
Setelah kerajaan Waturegong menyebar keseluruh Bali (sekarang
dengan sikap dan pandangan hidup masyarakat Bali, tidak terlepas dari sendi- sendi
agama, adat istiadat, kepercayan dan sistem religi yang melandasi aspek-aspek
kehidupan. Peranan dan pengaruh Agama Hindu dalam penataan lingkungan buatan,
Rumah tradisional Bali selain menampung aktivitas kebutuhan hidup seperti: tidur,
makan, istirahat juga untuk menampung kegiatan yang bertujuan untuk kepentingan
1985:15). Dengan demikian rumah tradisional sebagai perwujudan budaya sangat kuat
dengan landasan filosofi yang berakar dari agama Hindu.Agama Hindu mengajarkan
agar manusia mengharmoniskan alam semesta dengan segala isinya yakni bhuana
agung (Makro kosmos) dengan bhuana alit (Mikro kosmos), dalam kaitan ini bhuana
agung adalah lingkungan buatan/bangunan dan bhuana alit adalah manusia yang
Manusia (bhuana alit) merupakan bagian dari alam (bhuana agung), selain memiliki
unsur-unsur pembentuk yang sama, juga terdapat perbedaan ukuran dan fungsi.
Manusia sebagai isi dan alam sebagai wadah, senantiasa dalam keadaan harmonis dan
selaras seperti manik (janin) dalam cucupu (rahim ibu).Rahim sebagai tempat yang
kemudian dikenal dengan konsep manik ring cucupu. Dengan alasan itu pula, setiap
wadah kehidupan atau lingkungan buatan, berusaha diciptakan senilai dengan suatu
Bhuana agung, dengan susuna unsur-unsur yang utuh, yaitu: Tri HitaKarana.
Tri Hita Karana yang secara harfiah Tri berarti tiga; Hita berarti kemakmuran, baik,
gembira, senang dan lestari; dan Karana berarti sebab musabab atau sumbernya sebab
(penyebab), atau tiga sebab/ unsur yang menjadikan kehidupan (kebaikan), yaitu: 1).
Atma (zat penghidup atau jiwa/roh), 2). Prana (tenaga), 3).Angga (jasad/fisik) (Majelis
Bhuana agung (alam semesta) yang sangat luas tidak mampu digambarkan oleh
manusia (bhuana alit), namun antara keduanya memiliki unsur yang sama, yaitu Tri
Hita Karana, oleh sebab itu manusia dipakai sebagai cerminan. Konsepsi Tri Hita
/Kahyangan Tiga sebagai unsur Atma/jiwa, Krama/warga sebagai unsur Prana tenaga
makro (bhuana agung/alam semesta) sampai hal yang paling mikro (bhuana
alit/manusia).Dalam alam semesta jiwa adalah paramatma (Tuhan Yang Maha Esa),
tenaga adalah berbagai tenaga alam dan jasad adalah Panca Maha Bhuta.Dalam
(masyarakat) dan jasad adalah palemahan (wilayah desa).Demikian pula halnya dalam
banjar, jiwa adalah parhyangan (pura banjar), tenaga adalah pawongan (warga banjar)
dan jasad adalah palemahan (wilayah banjar). Pada rumah tinggal, jiwanya adalah
sanggah pemerajan (tempat suci), tenaga adalah penghuni dan jasad adalah pekarangan.
Sedangkan pada manusia, jiwa adalah atman, tenaga adalah sabda bayu idep dan jasad
adalah stula sarira/tubuh manusia. Penjabaran konsep Tri Hita Karana dalam susunan
(Bhuana Alit) (jiwa manusia) (tenaga sabda bayu idep) (badan manusia)
11
Sumber: Sulistyawati.
Tri Hita Karana (tiga unsur kehidupan) yang mengatur kesimbangan atau keharmonisan
konsep ruang yang disebut Tri Angga. Secara harfiah Tri berarti tiga dan Angga berarti
badan, yang lebih menekankan tiga nilai fisik yaitu: Utama Angga, Madya Angga dan
Nista Angga. Dalam alam semesta/Bhuana agung, pembagian ini disebut Tri Loka, yaitu:
Bhur Loka (bumi), Bhuah Loka (angkasa), dan Swah Loka (Sorga). Ketiga nilai tersebut
didasarkan secara vertikal, dimana nilai utama pada posisi teratas/sakral,madya pada
Netral
12
Sumber: Sulistyawati.
Konsepsi Tri Angga berlaku dari yang bersifat makro (alam semesta/bhuana agung)
sampai yang paling mikro (manusia/bhuana alit). Dalam skala wilayah; gunung
memiliki nilai utama; dataran bernilai madya dan lautan pada nilai nista. Dalam
juga berlaku dalam skala rumah dan manusia. Susunan Tri Angga dalam susunan
Tri Angga yang memberi arahan tata nilai secara vertikal (secara horisontal ada yang
menyebut Tri Mandala), juga terdapat tata nilai Hulu-Teben, merupakan pedoman tata
nilai di dalam mencapai tujuan penyelarasan antara Bhuana agung dan Bhuana alit.
Hulu-Teben memiliki orientasi antara lain: 1). berdasarkan sumbu bumi yaitu: arah
kaja-kelod (gunung dan laut), 2). arah tinggi-rendah (tegeh dan lebah), 3). berdasarkan
sumbu Matahari yaitu; Timur- Barat (Matahari terbit dan terbenam) (Sulistyawati.
dkk,1985:7).
pada arah kaja (gunung) dan nista pada arah kelod (laut), sedangkan berdasarkan sumbu
matahari; nilai utama pada arah matahari terbit dan nista pada arah matahari terbenam.
Jika kedua sistem tata nilai ini digabungkan, secara imajiner akan terbentuk pola Sanga
13
Konsep tata ruang Sanga Mandala juga lahir dari sembilan manifestasi Tuhan dalam
menjaga keseimbangan alam menuju kehidupan harmonis yang disebut Dewata Nawa
kegiatan dan tata letak bangunan dalam pekarangan rumah, dimana kegiatan yang
(kaja- kangin), kegiatan yang dianggap kotor/sibuk diletakkan pada daerah nistaning
dkk, 1985:10). Dalam turunannya konsep ini menjadi Pola Natah (Adhika, 1994:24)
14
KELOD (LAUT)
KELOD (LAUT)
BERDASARKAN
LINTASAN MATAHARI
TERBENAM TERBIT
SANGAMANDALA
UTAMANING
MADYANING MADYANING
BERDASAR SUMBU KAJA MADYA
MADYA
DATARAN
NISTA
MADYA
UTAMA
NISTA
11
A TYPICAL
Uma/Meten Sanggah
UTAMA
Natah
MADYA
PENJABARAN Bale
Bale
NISTA Lawang
Aling-aling
Bale Sakenam
K O N S EP
Lumbung
Paon
ARSITEKTUR
12
Dalam skala perumahan (desa) konsep Sanga Mandala, menempatkan kegiatan yang
bersifat suci (Pura Desa) pada daerah utamaning utama (kaja-kangin), letak Pura Dalem
dan kuburan pada daerah nisthaning nista (klod- kauh), dan permukiman pada daerah
madya, ini terutama terlihat pada perumahan yang memiliki pola Perempatan (Catus
Patha). (Paturusi; 1988:91). Sedangkan Anindya (1991:34) dalam lingkup desa, konsep
Tri Mandala, menempatan: kegiatan yang bersifat sakral di daerah utama, kegiatan
yang bersifat keduniawian (sosial, ekonomi dan perumahan) madya, dan kegiatan yang
dipandang kotor mengandung limbah daerah nista. Ini tercermin pada perumahan yang
memiliki pola linier.Konsep tata ruang yang lebih bersifat fisik mempunyai berbagai
variasi, namun demikian pada dasarnya mempunyai kesamaan sebagai berikut yaitu: 1).
Keseimbangan kosmologis (Tri Hita Karana), 2). Hirarkhi tata nilai (Tri Angga),
Munculnya variasi dalam pola tata ruang rumah dan perumahan di Bali karena adanya
konsep Tri Pramana, sebagai landasan taktis operasional yang dikenal dengan Desa-
Kala- Patra (tempat, waktu dan keadaan) dan Desa- Mawa-Cara yang menjelaskan
adanya fleksibilitas yang tetap terarah pada landasan filosofinya, dan ini ditunjukkan
13
Perumahan tradisional Bali juga memiliki konteks kehidupan pribadi dan masyarakat
letak bangunan dalam pekarangan memakai telapak kaki dengan hitungan Asta Wara
(Sri, Guru, Yama, Rudra, Brahma, Kala, Uma) ditambah pengurip. (Adhika, 1994:25).
yaitu pura desa.Letak Pura Dalem (kematian) dan kuburan desa pada daerah
Gambar 8 dan11.
b. PolaLinear
diperuntukan untuk Pura (pura bale agung dan pura puseh). Sedang di ujung
18
fasilitas umum (bale banjar dan pasar) yang terletak di plaza umum, seperti
dijelaskan Gambar9.
diatasi denganterasering.
c. PolaKombinasi
disebabkan oleh faktor yang telah dikemukakan pada uraian Aspek Sosial.
dalam 2 type,yaitu:
19
di tangah- tangah Bali, sebagian beralokasi di Bali Utara dan
membujur Timur-Barat
KARANGASE
20
TABANA DENPASA KLUNGK
KETERANGAN :
1 = PURI
2 = PASAR
3 = ALUN - ALUN
4 = WANTILA
Rumah tinggal masyarakat Bali sangat unik karena rumah tinggal tidak
merupakam satu kesatuan dalam satu atap tetapi terbagi dalam beberapa ruang-ruang
yang berdiri sendiri dalam pola ruang yang diatur menurut konsep arah angin dan sumbu
gunung Agung.Hal ini terjadi karena hirarki yang ada menuntut adanya perbedaan strata
dalam pengaturan ruang-ruang pada rumah tinggal tersebut.Seperti halnya tempat tidur
orang tua dan anak-anak harus terpisah, dan juga hubungan antara dapur dan tempat
pemujaan keluarga.Untuk memahami hirarki penataan ruang tempat tinggal di Bali ini
haruslah dipahami keberadaan sembilan mata angin yang identik dengan arah utara,
21
selatan, timur dan barat.Bagi mereka arah timur dengan sumbu hadap ke gunung Agung
adalah lokasi utama dalam rumah tinggal, sehingga lokasi tersebut biasa dipakai untuk
1. Angkul-angkul yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura
yaitu sebagai gapura jalan masuk. Angkul-angkul biasanya teletak di kauh kelod.
2. Aling-aling adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk
sehingga jalan masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini
dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam. Aling-
3. Natah atau halaman tengah merupakan pusat dari pekarangan yang dikelilingi
bale-bale.
4. Mrajan atau sanggah, terleteak dibagian timur laut atau kaja kangin pada
sembilan petak pola ruang, merupakan area suci pada rumah berfungsi sebagai
tempat pemujaan.
berada di sisi timur disebut dengan bale dangin, Type yang dibangun type sake
22
dibangun dengan bahan penyelesaian madia. Untuk areal perumahan
yang besar digunakan type Sake roras yang sering disebut dengan bale gede Sake
roras dalam perumahan tergolong utama. Type Sake roras / Bale Gede bentuk
bangunan bujur sangkar, dengan ukuran 4,8 m x 4,8 m, dengan tinggi lantai
sekitar 0,8 m dengan dua atau tiga anak tangga kearah natah, lantai lebih rendah
dari bangunan bale daja. Konstruksi terdiri dari dua belas tiang yang dirangkai
empat empat menjadi dua balai-balai atau bila menggunakan satu balai-balai
dengan sunduk waton/selimar likah dan galar. Stabilitas konstruksi dengan sistim
lait pada pepurus sunduk dengan lubang tiang. Untuk tiang yang tidak dirangkai
6. Bale Delod Dalam komposisi bangunan rumah saka kutus ini menempati letak
bagian kelod yang juga disebut Bale delod, dalam proses pembangunan bale
delod letaknya dari bale meten diukur dengan menggunakan tapak kaki dengan
dan tempat bekerja atau serbaguna. Bentuk bangunan segi empat panjang,
dengan ukuran 355 m x 570 m, dengan tinggi lantai sekitar 0,8 m dengan tiga
anak tangga kearah natah. Konstruksi terdiri delapan tiang tiga deret di depan
dan ditengah dua deret dibelakang, dengan satu balai balai mengikat empat
tiang hubungan balai balai dengan konstruksi perangkai sunduk waton dan
7. Bale Daje Bangun rumah yang paling awal dibangun dalam perumahan, type
tunggal sebagai tempat tidur yang disebut bale meten. Komposisinya berada
bangunan awal. Jaraknya delapan tapak kaki dengan pengurip angandang diukur dari
tembok pekarangan sisi kaja. Selanjutnya bangunan yang lainnya di bangun dengan
jarak yang diukur dari bale meten.Bentuk bangunan segi empat panjang, dengan
ukuran 5 m x 2,5 m, dengan tinggi lantai sekitar 1,2 m dengan empat atau lima anak
tangga kearah natah lantai lebih tinggi dari bangunan lainnya untuk estetika. Konstruksi
terdiri delapan tiang yang dirangkai empat empat menjadi dua balai-balai. Masing-
masing balai-balai memanjang kaja kelod dengan kepala kearah luan kaja. Tiang-tiang
dengan sistim lait pada pepurus sunduk dengan lubang tiang senggawang tidak ada
pada bale sekutus. Bangunan dengan dinding penuh pada keempat sisi dan pintu keluar
8. Bale Dauh / Loji ini terletak di bagian Barat ( Dauh natah umah ), dan sering pula
disebut dengan Bale Loji, serta Tiang Sanga. Fungsi Bale Dauh ini adalah untuk
tempat menerima tamu dan juga digunakan sebagai tempat tidur anak remaja
atau anak muda. Fasilitas pada bangunan Bale Dauh ini adalah 1 buah bale –
bale yang terletak di bagian dalam. Bentuk Bangunan Bale Dauh adalah persegi
panjang, dan menggunakan saka atau tiang yang terbuat dari kayu. Bila tiangnya
24
berjumlah 6 disebut sakenem, bila berjumlah 8 disebut sakutus / astasari, dan
bila tiangnya bejumlah 9 disebut sangasari. Bangunan Bale Dauh adalah rumah
tinggal yang memakai bebaturan dengan lantai yang lebih rendah dari Bale
9. Paon ( Dapur ) yaitu tempat memasak bagi keluarga. Bagian yang terpenting
dari rumah dapur orang bali tempatnya terpisah dengan bagian – bagian rumah
yang lain. Dapur biasanya ditempatkan disebelah barat bale delod berdekatan
dengan pintu masuk rumah atau dalam bahasa bali biasa disebut lebuh. Fungsi
dapur di bali memang sama dengan dapur – dapur pada umumnya akan
tetapi bagian –
bagian dapur tradisional bali harus memiliki tungku dalam bahasa bali
disebut Bungut Paon. Tungku ini fungsinya sebagai pengganti kompor atau
hanya symbol saja tetapi tidak digunakan. Tungku ini juga berfungsi sebagai
tempat meletakan yadnya sesa atau banten jotan ( sesajen setelah selesai
memasak di pagi hari ). Diatas bungut paon itu biasa dibuatkan Langgatan (
berfungsi sebagai tempat meletakan kayu bakar yang sudah kering dan siap
digunakan.
10. Jineng/lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi
dan hasil kebun lainnya. Fungsinya sebagai penyimpanan hasil panen yang
yang memiliki jineng ini biasanya golongan petani yang memiliki hasil panen
25
setiap tahun. Jineng biasanya terletak bersebelahan dengan dapur yang pada
Sumber :https://en.wikipedia.org/wiki/Balinese_traditional_house
26
2.4 Konsep Struktur dan Material Arsitektur Tradisional Bali
BAB III
PEMBAHASAN
Pura Taman Ayun adalah salah satu destinasi yang wajib anda kunjungi saat pertama kali ke
Bali. Pura ini dianggap sebagai “pura Ibu” (Paibon) bagi Kerajaan Mengwi – Bali. Taman
Ayun artinya adalah taman yang indah (beatutiful garden), karena memang pura ini berada di
sebuah taman yang indah, luas, tertata rapi, dan dikelilingi oleh kolam ikan.
Untuk menuju kompleks pura, kita harus berjalan melewati halaman depan berupa taman
yang cukup luas. Kompleks bangunan pura-nya sendiri tidak diperbolehkan dimasuki
wisatawan umum. Hanya bisa menyaksikan dari luar pagar batu yang mengelilingi pura.
Pura Taman Ayun dibangun pada tahun 1556 Saka (1634 Masehi) oleh Raja Mengwi, I Gusti
Agung Putu dengan arsitek yang konon berasal dari Negeri Cina. Arsitektur bangunan-
bangunan yang ada di Taman Ayun sungguh unik. Dengan ciri khas bentuk atap yang
bertingkat-tingkat menjulang tinggi ke angkasa. Jumlah tingkat atap selalu ganjil. Yang
tertinggi bertingkat 11, kemudian diikuti 9 tingkat, 7 tingkat, 5 tingkat, 3 tingkat, dan yang
Setiap hari Selasa Kliwon wuku Medangsia (menurut pananggalan Saka) di pura ini
27
diselenggarakan piodalan (upacara) untuk merayakan ulang tahun berdirinya pura. Karena
memang pura ini diresmikan pada hari Selasa Kliwon-Medangsia bulan keempat tahun 1556
Saka.
Taman Ayun menempati areal seluas sekitar 2,5 hektar (100 x 200 m2), terbagi menjadi,
pelataran luar dan Pelataran Dalam. Dari luar ke dalam, letaknya semakin tinggi. Pelataran
Luar, yang disebut Jaba, terdapat disisi luar kolam. Terdapat sebuah jembatan melintasi
kolam dari Pelataran Luar menuju Gapura Bentar yang merupakan pintu masuk ke Pelataran
Dalam. Palataran Dalam ini dikelilingi tembok yang terbuat dari batu.
Di Pelataran Luar ini terdapat sebuah wantilan, semacam pendapa tempat pertemuan.
Wantilan merupakan tempat umum yang biasanya digunakan untuk pelaksanaan upacara dan
juga sebagai arena sabung ayam, yang dilaksanakan dalam kaitan dengan penyelenggaraan
upacara di pura. Bangunan-bangunan keagamaan yang ada di pelataran ini antara lain adalah
Pelataran Dalam di Pura Taman Ayun terbagi menjadi 3 bagian. Yang pertama adalah tempat
untuk menikmati keindahan pura sambil beristirahat di sebuah bale bundar. Di sebelah bale
bundar terdapat sebuah kolam yang ditumbuhi tanaman teratai. Di tengahnya berdiri sebuah
tugu yang memancarkan air ke sembilan arah mata angin. Di sisi timur terdapat sekumpulan
Pelataran Dalam kedua lokasinya lebih tinggi dari pelataran dalam pertama, terdapat 9 relief
penjaga setiap penjuru mata angin atau menurut kepercayaan Hindu merupakan simbol
28
kekuatan Dewata Nawa Sanga. Di sisi sebelah timur terdapat sebuah pura kecil yang disebut
Pura Dalem Bekak. Sedangkan di sudut barat terdapat balai Kulkul yang atapnya menjulang
tinggi.
Pelataran Dalam ketiga, terletak paling tinggi. Terdapat pintu Gelung dengan posisi ada di
tengah. Pintu ini hanya dibuka pada saat upacara khusus. Pintu lain ada di sisi kiridan kanan,
biasanya digunakan untuk aktifitas keluar masuk kegiatan sehari hari. Pelataran dalam ketiga
ini dianggap sebagai tempat paling penting dan disucikan. Bangunan-bangunan candi dan
meru terdapat di sini, diperuntukkan sebagai tempat pemujaan umat Hindu Bali. Bangunan-
bangunan keagamaan yang terdapat dihalaman ini diantaranya adalah Meru, Candi, Gedong,
Suasana di Pura Taman Ayun ini terkesan sunyi, menenangkan dan magis. Mungkin ini
muncul oleh adanya perpaduan taman luas yang terawat, bersih dan rapi denga pura hindu
Saya banyak menemukan berbagai macam tanaman-tanaman langka yang tumbuh di Taman
Pura. Seperti misalnya pohon Maja (Crescentia Cujete) yang terlihat atraktif memamerkan
buah-buah besar berwarna hijau segar. Meru adalah salah satu jenis tempat pemujaan untuk
Istadewata, bhatara- bhatari yang melambangkan gunung Mahameru. Landasan filosofis dan
meru adalah berlatar belakang pada anggapan adanya gunung suci sebagai stana para dewa
dan roh suci leluhur. Untuk kepentingan pemujaan akhirnya gunung suci itu dibuatkan
berbentuk replika (tiruan) berbentuk bangunan yang dinamai candi, prasada dan meru. (ref:
babadbali.com)
29
Gedong adalah semacam tugu, bagian atasnya berupa konstruksi kayu, atapnya dari
alang-alang, ijuk atau bahan-bahan penutup lain mengikut bentuk dan fungsinya.
Padmasana adalah sebuah tempat untuk bersembahyang dan menaruh sesaji bagi umat
Hindu Bali.
Penduduk penglipuran awalnya berasal dari desa Buyung Gede. Arti kata dari
Penglipuran adalah kata adalah pertama “Pengeliang dan kata Pura”. Kedua “kata Pelipur
dan Lara “adalah tempat untuk menghibur raja yang sedang bersedih ketika menghadapi
masalah. Ketiga “pangling dan pura” yang berarti orang yang datang kedesa ini akan
Letak desa Desa adat Penglipuran berada di bawah administrasi Kelurahan Kubu,
terdiri dari pekarangan 5.5 Ha, hutan bambu 45 Ha, hutan vegetasi lainnya 10 Ha dan lahan
pertanian 21.5 Ha, dengan batas- batas wilayah sebagai berikut. Utara: Desa Adat Kaya,
selatan: Desa Adat Cempaga, Timur: Desa Adat Kubu, Barat: desa Adat Cekeng. (
30
Gambar 1. Pola Pemukiman desa adat
Penglipuran
cadangan air dalam jumlah cukup besar (monografi desa penglipuran, 2013).
yang ada di desa Penglipuran untuk mengelola pemerintahan adat yang ada di
bentukan dari arsitektur nusantara yang telah menjamah wilayah Indonesia dalam
hal ini fisik dalam wujud bangunan nusantara bergantung pada bahan bangunan
31
yang mengadopsi iklim tropis dan budaya yang menjadi sebagai kekuatan .
keunikan arsitektur yang keberadaannya masih tetap terjaga sampai saat ini. Desa
adat Penglipuran ini merupakan salah satu desa yang masih mempertahankan nilai-
desa- desa yang lain walaupu sudah perubahan pada beberapa bangunan intinya
Penglipuran
perdesaan maupun di kawasan hutan. Bambu juga dapat tumbuh pada semua jenis
tanah, kecuali pada daerah dekat pantai. Bambu pertumbuhannya lambat dan
batangnya kecil.
dasar. Sifat yang ditimbulkan dari arsitektur ini akhirnya membentuk arsitektur
32
yang bersifat lokal dengan karakternya masing-masing.
Karakter dari masyarakat adat di Penglipuran dapat dilihat dari sikap menjaga
hutan bambu Penglipuran yang akhirnya menjadi satu bagian sikap warga dalam
menjaga kekhasan Penglipuran sebagai salah satu desa Bali Aga atau Bali Tua.
Kondisi ini sinergis dengan semangat memelihara keaslian sekaligus keunikan desa
33
Karakter bangunanan pemukimanan adat yang memperlihatkan kesenergisan
masyarakat dengan alam dapat dilihat pola bangunan yang disucikan atau yang
dianggap paling tinggi derajatnya. Tercantum dalam awig-awig desa bahwa setiap
1. Pawon
yang tampak pada konstruksi dinding, atap, tempat tidur, bahkan peralatan
makan juga terlihat dalam ruangan ini. Semuanya bercirikan masyarakat adat
terdapat jendela dan hanya memiliki satu buah pintu. Hal ini hubungannya
dengan keadaan cuaca yang agak dingin terutama pada waktu malam hari.
Gambar 3. Pawon
34
2. Bale Sakenem
Bangunan ini ada pada setiap unit pemukiman, Bale Sakenem ini
untuk keluarga yang tinggal di dalamnya. Bangunan ini tidak tertutup hanya
diberi tembok pad dua sisinya. Upacara agama yang sering dilakukan pada
Bale Sakenem ini adalah upacara Pitra Yadnya (Ngaben) dan upacara Manusa
35
3. Angkul-angkul
Angkul-angkul merupakan pintu masuk yang berupa gerbang yang ada pada setiap
bagian dinding penyangga juga sudah bervariasi, dapat terbuat dari campuran
tanah liat dicampur dengan air kemudian dipadatkan dengan cara diijak-injak
angkul-angkul pada sisi barat tidak lagi berundak melainkan dalam bentuk
36
Gambar 5. Angkul-angkul
4. Bale Banjar
Bangunan bale banjar ini merupakan bangunan yang dapat digunakan bersama
oleh seluruh masyarakat adat di Penglipuran. Balai banjar ini konstruk bangunannya
tidak memiliki dinding, hanya memiliki tiang penyangga, biasanya digunakan dalam
37
Gambar 6. Bale banjar
5. Atap
bangunan paon, sakenem, angkul-angkul dan bale banjar, tata cara penyusunan atap
ditumpuh antara 4-5 lapisan antar lapisan dikaitkan antara lapisan atas di tumpuk.
Gambar 7. Atap
38
Gambar 8. Tata Cara Penyusunan Atap Sirap Bambu
1. Dinding
dan sebagian sebagai peyokong struktur selain itu juga sebagai pemisah antara ruang
terbuka maupun ruang dalam. Dinding yang ada di pemukiman adat penglipuran
dapat ditemukan di paon dan sakenem. Berbahan bambu yang dianyam dengan
anyaman sederhana.
39
Gambar 9. Dinding bambu
40
41
Tata Cara Penulisan
1. Kertas A4-70gram
2. Font Times New Roman ukuran 12 dengan Spasi 2
3. Margin : 4 cm (atas), 3cm (bawah), 3cm (kanan), 4cm (kiri)
4. Daftar Pustaka, Abstrak, Lampiran ditulis 1 spasi
5. Sampul menggunakan kertas Buffalo/linen jilid hardcov
52
53
54
55
56
57