Jimbaran, J u n i 2003
Penyusun
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I. PENDAHULUAN
A. Maksud dan tujuan ......................................................... 1
B. Pengertian-pengertian ..................................................... 2
Daftar Pustaka
ii
BAB I.
PENDAHULUAN
Seperti telah kita maklumi bersama bahwa arsitektur adalah merupakan salah
satu dari unsur kebudayaan.
B. Pengertian-pengertian.
Arsitektur :
Secara umum adalah tata ruang dan waktu dari lingkungan hidup manusia
baik individu, maupun masyarakat keseluruhan.
Fungsi
Microcosmos, macrocosmos (bhuana alit, bhuana agung).
Tradisi :
Suatu kecenderungan bertahan dengan tata cara yang telah disepakati bersama.
- dilimpahkan secara turun temurun dari kebenaran mutlak universal
(hakiki), ke kenyataan dan kebenaran relatif.
- Bukan sesuatu yang ‘mandeg’, tetapi dapat berkembang sesuai dengan
alam lingkungan, asalkan tanpa kehilangan prinsip/ pengertian pokok
(muncul produk-produk baru).
Bali :
Lokasi (wadahnya).
Dengan batas-batasnya, sebelah Utara : Laut Bali, sebelah Timur : Selat
Lombok, sebelah Selatan : Samudra Indonesia, dan sebelah Barat : Selat Bali.
Secara geografis terletak pada 7o54’ sd 8o3’ LS, 114o25’ sd 115o3’ BT masih
disekitar katulistiwa, termasuk daerah TROPIS.
Arsitektur Tradisional Bali yang ada, berpangkal dari arsitektur pra Hindu, kemudian
dikembangkan oleh konsepsi Hindu, dan akhirnya kini mengalami perubahan lagi
karena didesak oleh berbagai faktor.
c. Hidup menetap
Pada masa ini sudah dikenal alat-alat kerja dari logam, sehingga dapat
membuat gubuk-gubuk yang lebih baik.
Di daerah-daerah lain di luar Bali peninggalan arsitektur pada masa ini
adalah : rumah-rumah panggung.
Di Bali tidak ada rumah panggung karena kondisi alamnya, yaitu:
- tidak ada banjir besar
- tidak ada binatang buas.
Disamping itu peninggalan arsitektur pada masa ini tidak banyak ditemukan,
kemungkinan karena bahan-bahan yang dipergunakan tidak dapat bertahan
lama.
Seperti telah kita ketahui bersama masyarakat Bali sebagai penganut agama
Hindu yang taat, maka sistem releginya berpedoman pada : Panca Srada sebagai
pokok-pokok kepercayaan.
- Brahman (Tuhan)
- Atman (roh/jiwa kehidupan)
- Samsara (kelahiran kembali)
- Karmaphala (hukum sebab akibat)
- Moksha (kehidupan abadi)
Didasarkan pada tata nilai ruang yang dibentuk oleh tiga Sumbu, yaitu :
Sumbu Cosmos, terdiri dari :
- Bhur (hidrosfir / alam kehidupan kita)
- Bwah (lithosfir / alam roh-roh)
- Swah (atmosfir / alam para Dewa)
Sumbu ritual,
mengacu kepada arah tebit dan terbenamnya matahari yaitu Kangin dan Kauh
(Timur dan Barat).
Sumbu Natural,
berpedoman pada letak Gunung dan Laut (Kaja & Kelod).
Dari Sumbu-sumbu ini timbul nilai (diberi nilai) : Utama, madya, nista (baik,
sedang, dan kurang)
Tri hita karana adalah tiga hal yang membuat sesuatu menjadi senang, selaras,
atau seimbang.
Secara umum sering kita dengar yang disebut Tri Hita Karana adalah hubungan
manusia dengan Tuhan yang diwujudkan dengan adanya Parhyangan, hubungan
manusia dengan manusia disebut Pawongan, hubungan manusia dengan
lingkungan disebut Palemahan.
Sehubungan dengan arsitektur yang disebut Tri Hita Karana adalah :
Atma (jiwa)
Angga (fisik)
Khaya (tenaga)
Dalam alam raya Macrocosmos (bhuana Agung) yang dimaksud tri angga
adalah Tri Loka yaitu : Bhur, Bwah, dan Swah Loka.
Pada skala kecil Microcosmos (bhuana Alit)/manusia perwujudan tri angga ini
adalah : kaki, badan, dan kepala.
Tata letak seperti tersebut diatas diatur dalam lontar-lontar seperti : Hasta kosala-
hasta kosali dan Hasta bhumi.
Masing-masing bangunan dan pekarangan (palemahan) mempunyai tata letak
sesuai dengan fungsinya, yang dalam hal ini dapat dikelompokkan menjadi :
Bangunan suci
Bangunan pawongan
Bangunan umum
Di Bali tata letak ini sangat beragam disebabkan oleh beberapa hal :
a. Perkembangan arsitektur, seperti yang sudah dijelaskan secara
historis.
b. Faktor situasi dan kondisi suatu wilayah (Desa, kala, patra).
c. Faktor “Lokadrsta” , yaitu masing-masing daerah/desa mempunyai
tata cara sendiri-sendiri (desa mawa cara), walaupun pada prinsipnya
mendekati kesamaan.
- Faktor nilai ritual, zone sakral : arah terbitnya matahari sebagai arah utama.
- Faktor kondisi dan potensi alam, arah gunung diberi nilai utama.
- Faktor ekonomi, memperhatikan hubungan yang erat antara pola perkampungan
dengan area tempat kerja. Contohnya : desa nelayan ditata menghadap ke laut,
desa petani menghadap ke arah sawah atau perkebunan.
Tata guna lahan dan tata letak bangunan dalam suatu kawasan desa selanjutnya
dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Pura
Pada jaman dahulu letak pura sudah diatur pada tempat-tempat yang ideal,
tetapi karena perkembangan penduduk dan konsepsi-konsepsi agama yang
diterapkan, letaknya bisa menjadi di tengah-tengah kesibukan sehari-hari.
Ada lagi pura-pura yang disebut pura sanak dan pura-pura pesimpangan.
b. Pemerajan/Sanggah
Letak merajan pada bagian pekarangan tempat tinggal pawongan
umumnya di arah utama (Kaja Kangin – bagian Hulu) sesuai sumbu-
sumbu yang sudah diuraikan terdahulu.
Letak pekarangan untuk pawongan (Geria, Puri, Jero, dan Umah) ada
ketentuan-ketentuan atau petunjuk dalam literatur arsitektur tradisional Bali.
Secara garis besar ada beberapa pantangan dalam aturan tata letak pekarangan
pawongan yang dianggap menimbulkan malapetaka bagi yang menempati :
a. Pekarangan rumah tidak boleh “Ngeluaning Pura” , bila tidak dibatasi
oleh lorong atau pekarangan lain (sawah, sungai, tegalan, dan
sebagainya).
b. Pekarangan rumah tidak boleh “Tumbak Rurung”.
c. Pekarangan rumah tidak boleh dilingkari oleh pekarangan sebuah
keluarga lain, yang sering disebut “Karang Kalingkuhan”.
d. Pekarangan rumah tidak boleh diapit oleh pekarangan/rumah sebuah
keluarga lain. Hal ini disebut “Karang Apitan”.
e. Pekarangan rumah tidak boleh dijatuhi cucuran air atap dari rumah orang
lain, disebut “Karang kalebon amuk”.
f. Pekarangan rumah tidak boleh berada sebelah menyebelah jalan umum
dan tepat berpapasan, disebut “Karang Negen”
g. Pekarangan perumahan tidak boleh pojok Kelod Kauh-nya bertemu
dengan pojok Kaja Kangin pekarangan rumah lain dan berada sebelah
menyebelah jalan umum. Disebut “Karang Celedu Nginyah”.
1. Bangunan Suci :
a. Pura :
Beragam sekali tata letak dan jumlah lapisan atau pelataran pura-pura
yang ada di Bali, hal ini dapat dikelompokkan seperti berikut :
Pura dengan satu lapisan halaman, sebagai contoh pura Jagat Natha
Denpasar.
Pura dengan dua halaman, contohnya pura Desa kota Denpasar (di Jl.
Gajah Mada).
Pura dengan tiga halaman, yang umum dan banyak kita lihat.
Pura dengan tujuh lapisan halaman, contohnya pura Besakih.
Keragaman ini tidak mengurangi arti filosofisnya, tetapi kembali pada
prinsip Desa, Kala, Patra dan pertimbangan ekonomis, serta adanya
tingkatan Nista, Madya, Utama.
c. Penunggun Karang
Letaknya di Posisi Kaja Kauh/di luar pekarangan dengan sebuah Tugu.
2. Bangunan Pawongan
a. Geria.
d. Umah
Pekarangan rumah sebagai tempat tinggal orang kebanyakan.
Untuk golongan “Pemekel” atau penghulu/pimpinan, ditata mirip Jero.
Pintu keluar (Kori) memakai ‘Cangkem Kodok’, yaitu letak korinya
agak kebelakang dari tembok disebelah kiri atau kanannya.
Biasanya tidak terdapat bangunan Singasari (bertiang sembilan).
Untuk krama biasa, masa-masa bangunan yang ada umumnya terdiri dari :
Meten Sakutus (Kaja)
Bale Mundak/Sakenem (Kelod)
3. Bangunan-bangunan Umum
a. Bale Banjar.
Sebagai tempat kegiatan-kegiatan Banjar, tidak memakai Kori sebagai
gerbang masuk seperti halnya rumah, ada bangunan sucinya.
Yang khas pada bale banjar adalah tenpat Kentongan (Kulkul) dibuat
agak tinggi. Bentuk dan ukuran bangunannya tidak ada ketentuan
khusus.
b. Bale Wantilan.
Secara historis bale wantilan adalah kelanjutan dari bale tempat berteduh
sementara/tetaring, yang pada umumnya dibuat di jaba pura untuk
menampung para pemedek/umat yang datang dari jauh.
c. Bale Lantang.
Pada umummnya dipakai untuk Peken (Pasar).
3. Bale Dauh
- Sakenem
- Tiang sanga
4. Paon (dapur)
5. Lumbung/Jineng/Gelebeg
- Dengan balai-balai
- Tanpa balai-balai
6. Angkul-angkul/pemesuan/pemedal/kori/bintang aring.
- Pasangan masif langsung sampai dengan atapnya
- Pasangan masif kombinasi atap memakai rangka & penutup atap
A. Komponen Kaki
Dalam Arsitektur tradisional Bali yang dimaksudkan komponen kaki adalah
“Bebaturan” atau bebataran.
Bebaturan/bebataran ini terdiri dari :
- Jongkok asu (pondasi tiang)
- Tepas hujan (perkerasan tepi bebataran)
- Bebaturan (lantai bangunan)
- Undag (tangga, turun/naik ke lantai)
Dalam menentukan tinggi suatu bebataran ada aturan tradisional yang harus
dipenuhi yaitu memakai satuan dasar “a musti”, kurang lebih 15 centi meter.
Dan sloka kelipatannya dari bawah ke atas adalah sebagai berikut :
- Candi untuk bebataran parhyangan
- Watu untuk bebataran perumahan
- Segara untuk bebataran sumur dan kolam
- Gunung untuk tembok penyengker
- Rubuh dihindari
B. Komponen Badan
1. Dinding
Untuk bangunan-bangunan yang tergolong sederhana, bidang- bidang
pembatas sisi memakai dinding anyaman bambu/gedeg dengan berbagai
jenis motif, atau berdinding anyaman daun kelapa.
Penutup dinding dipasang pada rangka dengan diikat memakai tali bambu
atau tali ijuk.
2. Tembok
Pada bangunan-bangunan tingkat madya sampai dengan utama, bidang-
bidang pembata sisi ditembok dengan pasangan bahan-bahan bata/batu
alam (paras).
Bata cetakan tanah mentah/tanpa dibakar disebut citakan biasanya
dimanfaatkan untuk tembok bangunan tingkat madya.
Celah diantara tembok dan sisi bawah atap berfungsi sebagai ventilasi
udara.
3. Sesaka/saka (tiang)
Sesaka adalah elemen utama konstruksi dalam bangunan tradisional
Bali.
Bentuk sesaka dari yang paling sederhana berupa kayu bulat (dolken)
bercabang ditancapkan ditanah, sampai dengan sesaka yang berhiaskan
ornamen-ornamen berukir.
Selain tiang sebagai penyangga struktur utama ada lagi tiang pandak
yang menyangga salah satu sisi balai-balai, dan tiang/sesaka tugeh,
C. Komponen Kepala
1. Iga-iga (usuk)
2. Raab (atap)
Penutup atap bangunan tradisional mempergunakan bahan-bahan alami
lokal seperti :
ijuk
alang-alang
sirap bambu
anyaman daun kelapa
dari daun salak yang dirangkai
dari kelopak batang pisang
Belakangan dengan adanya dukungan teknologi dan transportasi,
pemakaian penutup atap dari bahan non alami/luar daerah banyak dipakai
seperti genteng, sirap kayu yang didatangkan dari luar daerah, dan
sebagainya.
Untuk lebih jelasnya dimensi-dimensi tersebut diatas dapat dilihat pada gambar di
halaman 30, 31 dan seterusnya.
Pekarangan tradisional Bali diukur berdasarkan satuan ukuran Depa dari kepala
keluarga.
Ukuran pekarangan tradisional dibuat persegi empat panjang dengan
memperhatikan petunjuk lontar “Asta Bumi”, kutipannya sbb :
Luwir tingkahe nyikut, matunain aneh, Purwa Luwih, Utara Longin.
Dalam lontar Asta Bumi juga disebutkan jenis-jenis ukuran pekarangan antara lain
:
1. Pekarangan ukuran Gajah 15 x 14 depa
2. Pekarangan ukuran Dwaja 10 x 9 depa
3. Pekarangan ukuran Singa 9 x 8 depa
4. Pekarangan ukuran Wreksa12 x 11 depa
Tata letak bangunan berpedoman kepada kekuatan Dewa yang tercantum sesuai
dengan Astawara : Sri, Indra, Guru, Yama, Rudra, Brahma, Kala, Uma.
Letak bangunan suci/parhyangan sesuai hitungan : Guru/Indra.
Letak bangunan pawongan pada perhitungan : Uma
Letak Jineng pada perhitungan : Sri
Letak Dapur/paon pada perhitungan : Brahma
Letak pintu gerbang/kori/angkul-angkul pada hitungan : Kala
Letak kandang pada perhitungan : Rudra atau Ludra.
Standard ukuran yang dipakai adalah Tapak kaki ditambah atapak ngandang
sebagai pengurip.
Gambar salah satu jenis tata letak bangunan tradisional pada satu pekarangan
dapat dilihat di halaman 32, dan contoh dimensi saka atau tiang lengkap dengan
detail ‘kupakannya’ pada halaman 33.
Tim Penyusun Proyek Inventarisasi & Dokumentasi Budaya Daerah, 1981/1982. Arsitektur
Tradisional daerah Bali. Denpasar.
Ir. Nyoman Gelebet, Arsitektur Tradisional Bali (Bahan Ajar pada Fakultas Teknik Jurusan
Arsitektur Universitas Udayana). Denpasar.
I Made Suandra, 1999/2000. Tuntunan Tata Cara Ngwangun Karang Paumahan Manut
Smrti Agama Hindu. Denpasar.