Anda di halaman 1dari 51

BAHAN AJAR

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI

Ir. Ida Bagus Putera


I Nyoman Sunartha, ST

JURUSAN TEKNIK SIPIL


POLITEKNIK NEGERI BALI
2003
KATA PENGANTAR

Tidaklah berlebihan kiranya untuk mengawali kata pengantar ini kami


memanjatkan Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas perkenan-
Nya penyusunan buku Bahan Ajar ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI ini dapat
kami selesaikan.
Materi yang di sajikan dalam buku Bahan Ajar ini kami kumpulkan dari
berbagai sumber, baik sumber tertulis berupa pustaka Lontar, maupun buku-buku
tentang ke-Arsitektur-an Tradisional yang merupakan alih aksara dari pustaka
tradisional yang ada, dan hasil wawancara dengan Undagi (tukang tradisional Bali).
Karena keterbatasan pengetahuan yang kami miliki, dan sedikitnya buku
referensi yang ada, sudah barang tentu apa yang kami sajikan masih banyak
kekurangannya. Untuk itu dengan senang hati kami menunggu masukan-masukan
demi penyempurnaan buku Bahan Ajar ini.
Melalui kesempatan ini kami sampaikan ucapan terima kasih, utamanya
kepada Proyek Peningkatan Manajemen Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi yang telah membiayai penyusunan buku Bahan Ajar ini melalui
proyek Semi Que V tahap I.
Ucapan terima kasih pula kami sampaikan kepada semua pihak yang sudah ikut
membantu seperti : meminjamkan literatur, memberikan informasi lisan, dan memberi
dorongan moral, sehingga buku Bahan Ajar ini dapat kami selesaikan.
Dengan segala kekurangannya, kami berharap semoga buku Bahan Ajar
Arsitektur Tradisional Bali ini dapat dipakai sebagai langkah awal mempelajari,
mengenali, dan memahami, Arsitektur Tradisional yang ada di Bali.

Jimbaran, J u n i 2003

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi

Bab I. PENDAHULUAN
A. Maksud dan tujuan ......................................................... 1
B. Pengertian-pengertian ..................................................... 2

Bab II. ASPEK-ASPEK YANG MELANDASI DAN


MEMPENGARUHI ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI
A. Tinjauan dari segi Historis .............................................. 4
B. Tinjauan dari segi Filosofis ............................................. 8

Bab III. POLA TATA RUANG


DALAM ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI
A. Pola desa dan perumahan tradisional ............................... 13
B. Jenis bangunan tradisional sesuai peruntukannya ............ 21

Bab IV. KOMPONEN BANGUNAN TRADISIONAL


(DETAIL KONSTRUKSI)
A. Komponen Kaki ............................................................... 23
B. Komponen Badan ............................................................. 24
C. Komponen Kepala ............................................................ 26

Bab V. DIMENSI TRADISIONAL BALI ......................................... 28

Bab VI. ORNAMEN (RAGAM HIAS) ............................................... 34

Bab VII. LITERATUR ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI ......... 50

Daftar Pustaka

ii
BAB I.

PENDAHULUAN

A. Maksud dan Tujuan

Politeknik Negeri Bali dalam penyelenggaraan program diploma 3 (D3)


Teknik Sipil mengacu pada kurikulum nasional, mengisi muatan lokal yang
ada dengan Mata Kuliah Pengetahuan Arsitektur Tradisional Bali.

Mengingat keberadaan Bali sebagai daerah tujuan wisata Indonesia


Tengah yang mengunggulkan Pariwisata Budaya, maka sebagai tenaga teknik
walaupun sipil, karena keberadaan kita di Bali maka secara praktis dalam
praktek di lapangan kita akan bergelut dengan unsur-unsur arsitektur
tradisional Bali.

Untuk itu diperlukan pengetahuan Arsitektur Tradisional Bali menyangkut


: filosofis, landasan pemikiran, dan sebagainya, sehingga pemanfaatan
bangunan-bangunan tradisional tidak banyak mengalami penyimpangan,
dalam rangka menopang kegiatan pariwisata. Dan sebagai teknisi kita tidak
mengalami kesulitan dalam berkomunikasi khususnya yang menyangkut
istilah-istilah arsitektur tradisional.

Seperti telah kita maklumi bersama bahwa arsitektur adalah merupakan salah
satu dari unsur kebudayaan.

Untuk dapat memahami Arsitektur Tradisional Bali perlu dilihat


keberadaan masyarakat Bali secara utuh, menyangkut : kehidupan sosialnya,
jalan pikirannya, sikap hidup, serta aspek-aspek tradisional lainnya.

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali I-1


Arsitektur Tradisional Bali
Latar belakang budaya masyarakat di Bali sangat dominan dipengaruhi
oleh agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Bali, yaitu agama
Hindu. Dalam perkuliahan ini akan banyak dipakai istilah-istilah yang
berkaitan dengan ke-Hindu-an, semata-mata karena istilah tersebut tidak dapat
digantikan dengan tepat jika memakai istilah lain (khas adanya).

B. Pengertian-pengertian.

Arsitektur :
Secara umum adalah tata ruang dan waktu dari lingkungan hidup manusia
baik individu, maupun masyarakat keseluruhan.
Fungsi
Microcosmos, macrocosmos (bhuana alit, bhuana agung).

Arsitektur dapat pula dipandang sebagai pengetahuan yang memasalahkan


pemberian “bentuk” kepada lingkungan hidup manusia, baik individu maupun
masyarakat.
Modal utama : sektor-sektor lingkungan physik
Teknologi merupakan alat dan pemberi wujud.

Perkembangan arsitektur ini dipengaruhi oleh perkembangan ciri-ciri


kebudayaannya.

Tradisi :
Suatu kecenderungan bertahan dengan tata cara yang telah disepakati bersama.
- dilimpahkan secara turun temurun dari kebenaran mutlak universal
(hakiki), ke kenyataan dan kebenaran relatif.
- Bukan sesuatu yang ‘mandeg’, tetapi dapat berkembang sesuai dengan
alam lingkungan, asalkan tanpa kehilangan prinsip/ pengertian pokok
(muncul produk-produk baru).

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali I-2


Arsitektur Tradisional Bali
Tradisional adalah : hal-hal yang berkaitan dengan tradisi.

Bali :
Lokasi (wadahnya).
Dengan batas-batasnya, sebelah Utara : Laut Bali, sebelah Timur : Selat
Lombok, sebelah Selatan : Samudra Indonesia, dan sebelah Barat : Selat Bali.
Secara geografis terletak pada 7o54’ sd 8o3’ LS, 114o25’ sd 115o3’ BT masih
disekitar katulistiwa, termasuk daerah TROPIS.

Arsitektur Tradisional Bali adalah :


Suatu arsitektur yang mewadahi aktivitas masyarakat Bali dalam tata bentuk
dan tata ruang, material spiritual yang diselubungi oleh nilai-nilai magis
religius seperti agama Hindu, kepercayaan, kebudayaan, serta adat istiadat
setempat yang diturunkan/diwariskan dari suatu generasi ke generasi
berikutnya dengan pola-pola tertentu.

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali I-3


Arsitektur Tradisional Bali
BAB II

ASPEK-ASPEK YANG MELANDASI DAN


MEMPENGARUHI ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI

Dalam perkembangannya Arsitektur Tradisional Bali dilandasi dan dipengaruhi oleh


berbagai aspek, yang terdiri dari :
- Aspek Historis
- Aspek filosofis
- Tata ruang
- Teknik Bangunan
- Ornamen
- Aspek ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya.

A. Tinjauan dari segi Historis

Arsitektur Tradisional Bali yang ada, berpangkal dari arsitektur pra Hindu, kemudian
dikembangkan oleh konsepsi Hindu, dan akhirnya kini mengalami perubahan lagi
karena didesak oleh berbagai faktor.

Tahapan-tahapan sejarah Bali yang mempengaruhi corak arsitektur.

A.1. Zaman Pra Sejarah.

a. Hidup berkeliaran, tinggal di goa-goa alam, di pinggir sungai dekat hutan.


Saat ini belum mengenal arsitektur.

b. Hidup bercocok tanam, berpindah-pindah mencari lahan subur (nomaden).


Tidak cukup dengan goa-goa alam saja, maka membuat tempat berteduh
untuk melindungi keamanan diri, bentuknya masih sangat sederhana.
Pada masa ini sudah ada peninggalan budaya berkaitan dengan arsitektur :
 Menhir : batu besar untuk memuja roh besar dan
kekuatan alam.

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali II - 4


Arsitektur Tradisional Bali
 Sarkopagus : peti batu.
 Dolmen : batu besar datar (meja) untuk mengadakan
persembahan.
Peninggalan-peninggalan ini dapat ditemui di desa-desa tua yang ada di Bali
seperti di : Sembiran, Tenganan, Taro, dan Susut.

c. Hidup menetap

Pada masa ini sudah dikenal alat-alat kerja dari logam, sehingga dapat
membuat gubuk-gubuk yang lebih baik.
Di daerah-daerah lain di luar Bali peninggalan arsitektur pada masa ini
adalah : rumah-rumah panggung.
Di Bali tidak ada rumah panggung karena kondisi alamnya, yaitu:
- tidak ada banjir besar
- tidak ada binatang buas.

Disamping itu peninggalan arsitektur pada masa ini tidak banyak ditemukan,
kemungkinan karena bahan-bahan yang dipergunakan tidak dapat bertahan
lama.

A.2. Zaman Bali Kuna

a. Sebelum datangnya Mpu Kuturan atau zaman Bali Mula (Age)


Ada peninggalan prasasti, kerajaan Balingkang, Bedulu – Pejeng.
Terdapat istilah Kedatuan : tempat datu/cri.
Masyarakat pada zaman itu sudah tertata (ada pemerintahan)
Arsitek terkenal pada masa Bali Mula ini adalah Kebo Iwa, ahli bangunan-
bangunan pengairan : terowongan, bendungan, dan pencetus konsep Bale
Agung.

b. Periode masa Mpu Kuturan


(Pendamping Anak Wungsu, pada abad 11)
Zaman Airlangga – Jawa Timur 1019- 1042

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali II - 5


Arsitektur Tradisional Bali
Mpu Kuturan membawa konsep Parhyangan (Kahyangan Dewa), yaitu
tempat Hyang atau Tuhan.

Konsep beliau yang paling terkenal :


- Kahyangan Tiga (tingkat Desa)
- Sanggah Kemulan (untuk keluarga).

A.3. Zaman Pengaruh Majapahit

Dalam rangka mewujudkan Sumpah Palapanya, tidak terkecuali ke Bali, pada


awalnya pihak Majapahit mengutus Cri Kresna Kepakisan agar mengatur dan
menata masyarakat Bali agar tunduk terhadap Majapahit, tetapi beliau belum
berhasil, terbukti saat itu masih sering terjadi pemberontakan-pemberontakan.
Selanjutnya dikirim ke Bali Dalem Ketut Ngulesir, pada saat ini barulah bisa
diterapkan pola-pola Majapahit.
Masa keemasan kerajaan di Bali adalah pada masa pemerintahan Dalem
Baturenggong (abad 16).
Tempat tinggal/keratonnya masih bernama Pura. Baru setelah pusat
pemerintahannya dipindahkan ke Klungkung, baru menjadi Puri.
Saat ini datang pula ke Bali Dang Hyang Nirartha, membawa konsep
Padmasana, dan ada banyak pura peninggalan beliau tersebar di seluruh Bali.
Padmasana artinya : teratai untuk tempat duduk.

Selanjutnya perkembangan arsitektur di Bali tidak menokohkan perorangan


tetapi dilakukan oleh para undagi. Dan para undagi ini menyebutkan bahwa
Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewa undagi.
Peninggalan arsitektur masa ini :
Wantilan, asal katanya wanti berarti ulang atau bertumpang.
Banjar dari kata banjah artinya membentangkan permasalahan atau diskusi.

A.4. Zaman kedatangan orang asing

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali II - 6


Arsitektur Tradisional Bali
Orang-orang asing dari Cina dan Belanda banyak memberi pengaruh terhadap
perkembangan arsitektur tradisional di Bali terlihat adanya pengaruh pada
ornamen-ornamen (ragam hias), adanya jenis-jenis bangunan seperti : toko,
loteng, loji, los (panjang/lodge).
Pada Tahun 1938, Belanda menerapkan kebijakan yang disebut Balisering.

A.5. Zaman Kemerdekaan sampai dengan sekarang (Pariwisata)

Banyak terjadi perubahan-perubahan dalam berbagai segi meliputi :


- Bentuk bangunan (kekantoran)
- Tata ruang (praktis dan efisien)
- Penggunaan bahan (sesuai kemajuan teknologi)
Pesatnya kemajuan pariwisata memberi pengaruh terhadap arsitektur, yang tentu
saja bisa berupa pengaruh baik atau pengaruh buruk.

B. Tinjauan dari segi Filosofis

B.1. Sistem Relegi

Seperti telah kita ketahui bersama masyarakat Bali sebagai penganut agama
Hindu yang taat, maka sistem releginya berpedoman pada : Panca Srada sebagai
pokok-pokok kepercayaan.
- Brahman (Tuhan)
- Atman (roh/jiwa kehidupan)
- Samsara (kelahiran kembali)
- Karmaphala (hukum sebab akibat)
- Moksha (kehidupan abadi)

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali II - 7


Arsitektur Tradisional Bali
Selanjutnya sebagai pokok-pokok pelaksanaan upacara keagamaan berpedoman
pada Panca Yadnya, yaitu :
- Dewa Yadnya (korban suci kepada Tuhan)
- Rsi Yadnya (untuk para rsi/guru/orang suci)
- Manusa Yadnya (korban suci selama proses hidup manusia)
- Pitra Yadnya (untuk roh-roh leluhur)
- Bhuta Yadnya (untuk kekuatan alam di luar manusia).

B.2. Konsep perancangan Arsitektur Tradisional Bali

Didasarkan pada tata nilai ruang yang dibentuk oleh tiga Sumbu, yaitu :
Sumbu Cosmos, terdiri dari :
- Bhur (hidrosfir / alam kehidupan kita)
- Bwah (lithosfir / alam roh-roh)
- Swah (atmosfir / alam para Dewa)

Sumbu ritual,
mengacu kepada arah tebit dan terbenamnya matahari yaitu Kangin dan Kauh
(Timur dan Barat).

Sumbu Natural,
berpedoman pada letak Gunung dan Laut (Kaja & Kelod).

Dari Sumbu-sumbu ini timbul nilai (diberi nilai) : Utama, madya, nista (baik,
sedang, dan kurang)

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali II - 8


Arsitektur Tradisional Bali
B.3. Konsep Tri Hita Karana

Tri hita karana adalah tiga hal yang membuat sesuatu menjadi senang, selaras,
atau seimbang.
Secara umum sering kita dengar yang disebut Tri Hita Karana adalah hubungan
manusia dengan Tuhan yang diwujudkan dengan adanya Parhyangan, hubungan
manusia dengan manusia disebut Pawongan, hubungan manusia dengan
lingkungan disebut Palemahan.
Sehubungan dengan arsitektur yang disebut Tri Hita Karana adalah :
Atma (jiwa)
Angga (fisik)
Khaya (tenaga)

Dalam lingkungan desa adat :


Pura-pura kahyangan tiga sebagai Atma (jiwa)
Teritorial Desa sebagai Angga (fisik/wilayah)
Penduduk dan pemerintahan sebagai Khaya (tenaga)
termasuk sima krama desa.

B.4. Konsep Tri Angga.

Dalam alam raya Macrocosmos (bhuana Agung) yang dimaksud tri angga
adalah Tri Loka yaitu : Bhur, Bwah, dan Swah Loka.
Pada skala kecil Microcosmos (bhuana Alit)/manusia perwujudan tri angga ini
adalah : kaki, badan, dan kepala.

B.5. Pola berfikir Tradisional dalam perancangan, yaitu Tri Maya

Tri Maya terdiri dari:


 Atita (lampau)

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali II - 9


Arsitektur Tradisional Bali
 Anagata (yang akan datang)
 Wartamana (saat ini)

Selanjutnya dalam Arsitektur Tradisional Bali hubungan harmonis macrocosmos


dengan microcosmos jelas tampak, yang mana bangunan yang ada merupakan
bhuana agungnya (macrocosmos) yang terdiri dari bhur, bwah, swah diwakili
oleh : bataran, tiang serta dinding, dan atap.
Sedangkan manusia yang menempati/memanfaatkan bangunan tersebut
merupakan bhuana alitnya (microcosmos).

Hubungan harmonis ini terlihat pada pembuatan dimensi-dimensi bangunan


memakai ukuran metrik dari orang yang akan menggunakan bangunan itu.

Selain itu untuk menciptakan keharmonisan ada banyak pertimbangan yang


perlu diperhatikan seperti :
 Segi waktu pembangunan, dengan acuan wariga dewasa
 Segi bahan yang akan digunakan dan tata letak
 Segi proses pengerjaan
 Segi upacara-upacara (pemlaspas dan lain-lain).

Demikian dua tinjauan aspek yang melandasi dan mempengaruhi perkembangan


arsitektur tradisional Bali. Aspek-aspek lainnya akan diuraikan bersamaan dengan
pembahasan sesuai dengan topik yang akan disajikan pada perkuliahan-perkuliahan
berikutnya.

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali II - 10


Arsitektur Tradisional Bali
BAB III
POLA TATA RUANG
DALAM ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI

Tata ruang dalam arsitektur tradisional Bali mengikuti pola-pola yang


khas tentang “tata letak” dari masa-masa bangunan dalam suatu pekarangan
tradisional dan tata guna lahan dalam suatu kawasan desa atau pemukiman.

Bahasan kita pada bab ini meliputi :


 Letak suatu pekarangan (pelemahan) tempat bangunan-bangunan
tersebut didirikan.
 Letak masa bangunan dalam suatu pekarangan (palemahan).
 Jenis-jenis bangunan tradisional sesuai peruntukannya.

Tata letak seperti tersebut diatas diatur dalam lontar-lontar seperti : Hasta kosala-
hasta kosali dan Hasta bhumi.
Masing-masing bangunan dan pekarangan (palemahan) mempunyai tata letak
sesuai dengan fungsinya, yang dalam hal ini dapat dikelompokkan menjadi :
 Bangunan suci
 Bangunan pawongan
 Bangunan umum

Di Bali tata letak ini sangat beragam disebabkan oleh beberapa hal :
a. Perkembangan arsitektur, seperti yang sudah dijelaskan secara
historis.
b. Faktor situasi dan kondisi suatu wilayah (Desa, kala, patra).
c. Faktor “Lokadrsta” , yaitu masing-masing daerah/desa mempunyai
tata cara sendiri-sendiri (desa mawa cara), walaupun pada prinsipnya
mendekati kesamaan.

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali III - 12


Arsitektur Tradisional Bali
d. Faktor fleksibelitas, yaitu : tata letak itu mempunyai tingkatan-
tingkatan nista, madya, utama (kecil, sedang, besar).

A. Pola desa dan perumahan tradisional

Pola perkampungan tradisional menyangkut tata letak pekarangan atau


palemahan dipengaruhi oleh faktor-faktor :

- Faktor nilai ritual, zone sakral : arah terbitnya matahari sebagai arah utama.
- Faktor kondisi dan potensi alam, arah gunung diberi nilai utama.
- Faktor ekonomi, memperhatikan hubungan yang erat antara pola perkampungan
dengan area tempat kerja. Contohnya : desa nelayan ditata menghadap ke laut,
desa petani menghadap ke arah sawah atau perkebunan.

Secara umum perkampungan atau desa-desa di Bali berpola Pempatan Agung


yang sering disebut dengan istilah Nyatur Desa atau Nyatur Muka.
Dua jalan utama yang menyilang desa, arah Timur – Barat dan arah Utara –
Selatan, dengan persilangannya berada di pusat desa, dan tata guna kawasan
selengkapnya ditata sebagai berikut :
 Pempatan Agung sebagai pusat desa.
 Pura dan Puri menempati zone Kaja Kangin
 Balai Banjar/Wantilan menempati zone kaja kauh.
 Lapangan desa : Kelod Kangin, Pasar : Kelod Kauh atau sebaliknya.
 Kuburan ditempatkan diluar pemukiman pada arah Kelod atau Kauh.

Beberapa desa tradisional di Bali ada yang polanya khusus yaitu :

Desa dengan pola Plaza, contohnya desa Tenganan.


Desa berpola Plaza dengan jalan lingkar sisi contohnya desa Julah.
Pola Plaza dengan lorong-lorong dari plaza ke arah tepi, contohnya desa Bugbug.

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali III - 13


Arsitektur Tradisional Bali
Desa Nelayan umumnya memanjang searah pantai menghadap laut dengan pola
lingkungan mendekati linier dengan jalan searah pantai. Diperlukan ruang
terbuka kearah pantai untuk aktivitas bersama sesuai dengan profesi
penduduknya.

Pola perkampungan petani umumnya berorientasi ke tengah dengan ruang-ruang


terbuka di tengah sebagai tempat pelayanan bersama. Sedangkan arah ke luar
desa dimanfaatkan sebagai tempat untuk mendirikan kandang, atau arah menuju
tempat- tempat kerja.

Desa-desa di pegunungan cenderung berorientasi ke arah puncak gunung,


lintasan-lintasan jalan disesuaikan dengan transus lokasi, kemiringan, dan lereng-
lereng alam.

Tata guna lahan dan tata letak bangunan dalam suatu kawasan desa selanjutnya
dapat diuraikan sebagai berikut :

Tata letak Tempat suci :

a. Pura
Pada jaman dahulu letak pura sudah diatur pada tempat-tempat yang ideal,
tetapi karena perkembangan penduduk dan konsepsi-konsepsi agama yang
diterapkan, letaknya bisa menjadi di tengah-tengah kesibukan sehari-hari.
Ada lagi pura-pura yang disebut pura sanak dan pura-pura pesimpangan.

b. Pemerajan/Sanggah
Letak merajan pada bagian pekarangan tempat tinggal pawongan
umumnya di arah utama (Kaja Kangin – bagian Hulu) sesuai sumbu-
sumbu yang sudah diuraikan terdahulu.

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali III - 14


Arsitektur Tradisional Bali
c. Penunggun Karang
Lazimnya penunggun karang disebut Tugu, diletakkan di sudut Kaja
Kauh, sesuai dengan posisi ‘Kala Raksa’ atau penjaga.

Tata letak areal perumahan (pawongan) :

Letak pekarangan untuk pawongan (Geria, Puri, Jero, dan Umah) ada
ketentuan-ketentuan atau petunjuk dalam literatur arsitektur tradisional Bali.
Secara garis besar ada beberapa pantangan dalam aturan tata letak pekarangan
pawongan yang dianggap menimbulkan malapetaka bagi yang menempati :
a. Pekarangan rumah tidak boleh “Ngeluaning Pura” , bila tidak dibatasi
oleh lorong atau pekarangan lain (sawah, sungai, tegalan, dan
sebagainya).
b. Pekarangan rumah tidak boleh “Tumbak Rurung”.
c. Pekarangan rumah tidak boleh dilingkari oleh pekarangan sebuah
keluarga lain, yang sering disebut “Karang Kalingkuhan”.
d. Pekarangan rumah tidak boleh diapit oleh pekarangan/rumah sebuah
keluarga lain. Hal ini disebut “Karang Apitan”.
e. Pekarangan rumah tidak boleh dijatuhi cucuran air atap dari rumah orang
lain, disebut “Karang kalebon amuk”.
f. Pekarangan rumah tidak boleh berada sebelah menyebelah jalan umum
dan tepat berpapasan, disebut “Karang Negen”
g. Pekarangan perumahan tidak boleh pojok Kelod Kauh-nya bertemu
dengan pojok Kaja Kangin pekarangan rumah lain dan berada sebelah
menyebelah jalan umum. Disebut “Karang Celedu Nginyah”.

Tata Letak Fasilitas Umum :

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali III - 15


Arsitektur Tradisional Bali
Sebagai contoh bangunan fasilitas umum : Bale Banjar, Wantilan, Bale
Lantang.
Ketentuan tata letak bangunan fasilitas umum ini tidak dijumpai dalam
pustaka-pustaka tradisional, tetapi sesuai dengan fungsinya tentu harus dipilih
lokasi yang mudah dijangkau, dan tempatnya lapang.

Tata letak Bangunan :

1. Bangunan Suci :

a. Pura :

Beragam sekali tata letak dan jumlah lapisan atau pelataran pura-pura
yang ada di Bali, hal ini dapat dikelompokkan seperti berikut :
 Pura dengan satu lapisan halaman, sebagai contoh pura Jagat Natha
Denpasar.
 Pura dengan dua halaman, contohnya pura Desa kota Denpasar (di Jl.
Gajah Mada).
 Pura dengan tiga halaman, yang umum dan banyak kita lihat.
 Pura dengan tujuh lapisan halaman, contohnya pura Besakih.
Keragaman ini tidak mengurangi arti filosofisnya, tetapi kembali pada
prinsip Desa, Kala, Patra dan pertimbangan ekonomis, serta adanya
tingkatan Nista, Madya, Utama.

Pelinggih-pelinggih yang ada di pura terdiri dari :


Pelinggih Pokok sesuai dengan yang distanakan menurut Lontar
Usana Dewa dan Dewa Tatwa.
Pelinggih Pelengkap sebagai tempat untuk penyelenggaraan upacara
tertentu, contohnya : Pengaruman, Piyasan, Bale
Paselang.

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali III - 16


Arsitektur Tradisional Bali
Pelinggih Tambahan sebagai pendamping pelinggih pokok, misalnya
Padmasana, Manjangan Saluang, Padma rong tiga.

Tata letak bangunan di halaman dalam (jeroan) dari suatu pura :


Membentuk letter/huruf O (pr. Panarajon Penulisan, pr. Gunung Raung
Taro)
Membentuk letter/huruf U (pr. Samuan Tiga, pr. Indra Kila Kintamani)
Membentuk letter/huruf L (pr. Maospahit, pr. Kehen Bangli)
Membentuk letter/huruf I (pr. Dalem Nyanggelan Yangbatu, pr. Jati -
Batur).
Hanya terdiri dari 1 (satu) pelinggih saja, contohnya pr. Candi Dasa.

Tata letak bangunan di halaman tengah (jaba tengah) dari suatu


pura :
Biasanya bangunan-bangunan di jaba tengah ini dipergunakan sebagai
tempat persiapan penyelenggaraan upakara-upakara dan juga sebagai
tempat makemit atau berjaga. Ada juga difungsikan sebagai tempat
Gambelan.

Tata letak bangunan di halaman luar (jaba) dari suatu pura :


Di Jaba pura biasanya ditempatkan bangunan Bale Kulkul (tempat
kentongan), yang dibangun pada arah Teben/Kelod Kauh. Sering pula kita
temui bangunan Wantilan/tempat hiburan, dan sebagainya.
b. Pemerajan/Sanggah :

Pemerajan biasanya dibuat hanya satu halaman, dengan pintu keluar-


masuknya ada yang menuju ke pekarangan, ada pula yang menuju
langsung ke jalan raya.
Tata letak dan pelinggih-pelinggihnya seperti pura karena latar belakang
filosofisnya sama, hanya fungsinya yang berbeda-beda.

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali III - 17


Arsitektur Tradisional Bali
Sebagai palinggih pokok :
Palinggih Rong Tiga (Pajenengan/Kemulan/Kamimitan)
Fungsinya sebagai tempat memuja roh leluhur yang telah
suci.
Posisinya di Timur menghadap ke Barat (tengah-tengah)
Palinggih Gedong Catu (Gedong Simpen)
Fungsinya sebagai pengatur ekonomi secara spiritual
(linggih Dewi Sri/kemakmuran).
Posisinya di sebelah kanan palinggih Rong Tiga.
Palinggih Taksu
Fungsinya sebagai pengendali energi dan memberi
bimbingan ke arah mencari sumber
penghidupan.
Posisinya di Utara menghadap ke Selatan.
Palinggih Ratu Ngerurah
Sebagai linggih Sang Hyang Panca Maha Butha yang
senantiasa mengendalikan kehidupan manusia.
Posisinya di sebelah kiri palinggih Rong Tiga.

Sebagai palinggih pelengkap dibuat Piyasan di arah Barat menghadap ke


arah palinggih Rong Tiga.

c. Penunggun Karang
Letaknya di Posisi Kaja Kauh/di luar pekarangan dengan sebuah Tugu.

2. Bangunan Pawongan

a. Geria.

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali III - 18


Arsitektur Tradisional Bali
Rumah yang diperuntukkan bagi para pendeta (golongan brahmana),
terdiri dari unit-unit bangunan sebagai berikut :
 Meten Bandung (Gedong atau bale Daja)
 Bale Gde (dengan posisi Kelod – agak Kangin)
 Pewaregan atau dapur (posisi Kelod – agak Kauh)
 Bale Singasari (posisi Kauh)
Bangunan lain : Bale Murdha, Jineng
b. Puri.
Areal perumahan yang diperuntukkan bagi Raja. Pola puri mendekati pola
pura karena pada jaman dahulu ada pengkultusan “Dewa Raja” (Raja
dianggap sebagai titisan Dewa).
Bagian-bagian puri lebih komplex dari pura, terdiri dari :
 Bencingah (luar)
 Ancak saji (jaba tengah), disini terdapat bale Kulkul, bale
Paninjoan atau bale Bengong.
 Sumanggen
 Saren, mempunyai pemedal masing-masing.
Lebih lengkapnya sesuai dengan acuan yang disebut : Sanga Mandala.
c. Jero.
Areal perumahan untuk tempat tinggal para Patih atau Manca.
Penataannya mirip Puri, tetapi tidak mengacu pada Sanga Mandala.

d. Umah
Pekarangan rumah sebagai tempat tinggal orang kebanyakan.
Untuk golongan “Pemekel” atau penghulu/pimpinan, ditata mirip Jero.
Pintu keluar (Kori) memakai ‘Cangkem Kodok’, yaitu letak korinya
agak kebelakang dari tembok disebelah kiri atau kanannya.
Biasanya tidak terdapat bangunan Singasari (bertiang sembilan).
Untuk krama biasa, masa-masa bangunan yang ada umumnya terdiri dari :
Meten Sakutus (Kaja)
Bale Mundak/Sakenem (Kelod)

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali III - 19


Arsitektur Tradisional Bali
Jineng/lumbung (Kauh, menghadap Kelod)
Paon/dapur (Kelod, menghadap Kaja).

3. Bangunan-bangunan Umum

a. Bale Banjar.
Sebagai tempat kegiatan-kegiatan Banjar, tidak memakai Kori sebagai
gerbang masuk seperti halnya rumah, ada bangunan sucinya.
Yang khas pada bale banjar adalah tenpat Kentongan (Kulkul) dibuat
agak tinggi. Bentuk dan ukuran bangunannya tidak ada ketentuan
khusus.

b. Bale Wantilan.
Secara historis bale wantilan adalah kelanjutan dari bale tempat berteduh
sementara/tetaring, yang pada umumnya dibuat di jaba pura untuk
menampung para pemedek/umat yang datang dari jauh.

c. Bale Lantang.
Pada umummnya dipakai untuk Peken (Pasar).

B. Jenis bangunan tradisional sesuai dengan peruntukannya

Sebelum kita membahas lebih jauh bangunan-bangunan tradisional


Bali sesuai dengan pemanfaatannya untuk suatu keperluan, marilah kita lihat
terlebih dahulu jenis-jenis bangunan tradisional yang ada sesuai dengan
jumlah tiang penyangganya.
Berdasarkan jumlah tiang penyangga, bangunan tradisional Bali dapat
dibedakan menjadi :
 Bangunan bertiang dua, bale timbang biasanya dengan turus hidup.
 Sakepat, dengan modul kurang lebih 3 x 2,5 m2 dengan atau tanpa balai-
balai.

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali III - 20


Arsitektur Tradisional Bali
 Paca sari, dimanfaatkan untuk piyasan dengan memberi tiang tengah pada
bangunan sakepat, sebagai penyangga balai-balai diberi tiang pandak.
 Sakenem, modul berkisar 6 x 2 m2 dengan satu balai-balai atau dengan
dua balai-balai ditambah lagi dengan dua tiang pandak.
 Sakutus, dengan modul berkisar 5 x 2,5 m2 biasanya dilengkapi dengan
dua buah balai-balai.
 Asta sari, modul 4 x 5 m2 bertiang delapan biasanya dengan satu balai-
balai
 Tiang sanga, modulnya lebih luas dari asta sari, dengan penataan letak
tiang bervariasi.
 Sake roras (Bale gede/bale murdha), modul 6 x 6 m2.

Berdasarkan pemanfaatan/fungsi atau peruntukannya bangunan-


bangunan seperti tersebut diatas khususnya untuk pawongan digolongkan
menjadi :

1. Bale Daja, Meten, Gedong


- Sakutus gagopelan
- Sakutus dengan 4 tiang jajar (maamben)
- Gunung rata
2. Bale Dangin
- Sakenem dengan 1 balai, atau 2 balai-balai
- Astasari
- Tiang sanga
- Saka roras : Bale gede, bale murdha, beremper (diberi tiang jajar)

3. Bale Dauh
- Sakenem
- Tiang sanga

4. Paon (dapur)

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali III - 21


Arsitektur Tradisional Bali
- Sakepat
- Sakenem

5. Lumbung/Jineng/Gelebeg
- Dengan balai-balai
- Tanpa balai-balai

6. Angkul-angkul/pemesuan/pemedal/kori/bintang aring.
- Pasangan masif langsung sampai dengan atapnya
- Pasangan masif kombinasi atap memakai rangka & penutup atap

7. Penyengker (batas pekarangan)


- Memakai pasangan
- ada pula yang memanfaatkan tumbuh-tumbuhan/tanaman hias.

8. Kandang (bade) & Kubu

9. Tetaring (bangunan-bangunan sementara)

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali III - 22


Arsitektur Tradisional Bali
BAB IV
KOMPONEN-KOMPONEN BANGUNAN
TRADISIONAL
(DETAIL KONSTRUKSI)

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa bangunan tradisional Bali secara


umum terdiri dari 3 (tiga) bagian atau komponen, yaitu :
- Komponen Kaki
- Komponen Badan
- Komponen Kepala
Dari masing-masing bagian tersebut kemudian dibagi-bagi lagi menjadi tiga
bagian, dan seterusnya sampai bagian terkecil.

A. Komponen Kaki
Dalam Arsitektur tradisional Bali yang dimaksudkan komponen kaki adalah
“Bebaturan” atau bebataran.
Bebaturan/bebataran ini terdiri dari :
- Jongkok asu (pondasi tiang)
- Tepas hujan (perkerasan tepi bebataran)
- Bebaturan (lantai bangunan)
- Undag (tangga, turun/naik ke lantai)
Dalam menentukan tinggi suatu bebataran ada aturan tradisional yang harus
dipenuhi yaitu memakai satuan dasar “a musti”, kurang lebih 15 centi meter.
Dan sloka kelipatannya dari bawah ke atas adalah sebagai berikut :
- Candi untuk bebataran parhyangan
- Watu untuk bebataran perumahan
- Segara untuk bebataran sumur dan kolam
- Gunung untuk tembok penyengker
- Rubuh dihindari

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali IV - 23


Arsitektur Tradisional Bali
Biasanya tinggi rendah bebataran suatu bangunan di sesuaikan dengan
sirkulasi fungsi dari bangunan tersebut, dimana semakin sering kita akan
naik/turun atau manfaatkan bangunan tersebut, batarannya dibuat semakin
rendah.
Sebagai contoh : bebataran paon dibuat lebih rendah dari sumanggen,
bebataran sumanggen lebih rendah dari meten.

B. Komponen Badan

Yang mewakili bagian badan dari bangunan tradisional Bali adalah :


1. Dinding
2. Tembok
3. Saka/Sesaka (tiang)
4. Lambang sineb/pementang (Balok-balok belandar).

1. Dinding
Untuk bangunan-bangunan yang tergolong sederhana, bidang- bidang
pembatas sisi memakai dinding anyaman bambu/gedeg dengan berbagai
jenis motif, atau berdinding anyaman daun kelapa.
Penutup dinding dipasang pada rangka dengan diikat memakai tali bambu
atau tali ijuk.

2. Tembok
Pada bangunan-bangunan tingkat madya sampai dengan utama, bidang-
bidang pembata sisi ditembok dengan pasangan bahan-bahan bata/batu
alam (paras).
Bata cetakan tanah mentah/tanpa dibakar disebut citakan biasanya
dimanfaatkan untuk tembok bangunan tingkat madya.

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali IV - 24


Arsitektur Tradisional Bali
Tembok dan pilar dibangun dengan pola : kaki badan dan kepala, di beri
hiasan pepalihan dan ornamen-ornamen pada bagian tertentu.
Tembok tradisional dibangun terlepas dengan konstruksi rangka bangunan
sehingga tidak memikul beban struktur. Dengan demikian tembok tidak
akan terpengaruh bila terjadi guncangan pada konstruksi rangka bangunan,
atau sebaliknya bila tembok roboh konstruksi rangka bangunan tidak akan
terpengaruh.

Celah diantara tembok dan sisi bawah atap berfungsi sebagai ventilasi
udara.

3. Sesaka/saka (tiang)
Sesaka adalah elemen utama konstruksi dalam bangunan tradisional
Bali.
Bentuk sesaka dari yang paling sederhana berupa kayu bulat (dolken)
bercabang ditancapkan ditanah, sampai dengan sesaka yang berhiaskan
ornamen-ornamen berukir.

Kedudukan tiang distabilkan oleh elemen-elemen pengaku sebagai


berikut :
 Tiang penyangga balai-balai, distabilkan oleh : sunduk, waton, dan
likah.
 Tiang tanpa balai-balai, distabilkan dengan : Sanggawang (canggah
wang).
 Tiang tanpa beban (bebas beban) kepalanya dihiasi dengan Kencut
(konstruksi kencut ada penampang ceking sebagai pernyataan
bebas beban).

Selain tiang sebagai penyangga struktur utama ada lagi tiang pandak
yang menyangga salah satu sisi balai-balai, dan tiang/sesaka tugeh,

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali IV - 25


Arsitektur Tradisional Bali
yaitu tiang diatas tada-paksi bebas beban (tiang maya) bagian atasnya
dihiasi dengan kencut sebagai kepala tiang.
Pada bagian bawah tiang distabilkan dengan pebuntar/buntar atau
umpak tiang.

4. Lambang Sineb dan Pementang

Balok belandar sekeliling rangkaian tiang-tiang tepi dalam bangunan


tradisional Bali disebut Lambang. Jika memakai lambang rangkap maka
namanya adalah lambang untuk bagian bawah dan bagian atasnya
disebut sineb.
Balok tarik yang mengikat jajaran tiang tengah disebut pementang.
Balok yang mengikat pementang berakhir diatas tiang tengah disebut
Tada paksi.
Pementang dan tada paksi merupakan balok tarik yang menstabilkan
lambang sineb dan tiang-tiang penyangga.

C. Komponen Kepala

1. Iga-iga (usuk)

Pangkal iga-iga dirangkai dengan kolong atau dedalas yang merupakan


bingkai tepi luar atap.
Pada ujung atas yang menyatu (satu titik puncak) dipasang Petaka.
Pada ujung atas untuk puncak memanjang dipasang Dedeleg.
Pada ujung atas untuk puncak memanjang bukan lelimasan dipakai langit-
langit dan iga-iga dirangkai dengan mempergunakan jejuluh.
Sebagai penopang struktur atap dalam bangunan tradisional Bali adalah
pemucu dan pemade.

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali IV - 26


Arsitektur Tradisional Bali
Iga-iga dirangkai dengan apit-apit, sebagai hiasan pasak dari apit apit
dipasang tapuk manggis.
Untuk membuat patahan bidang atap, memakai sistem gerantang (iga-iga
bersambung).
Dalam menentukan jumlah iga-iga (usuk) bangunan tradisional pada satu
sisi bidang atap mengikuti sloka sebagai berikut :
- Sri (jineng)
- Wreddhi (meten)
- Naga (kori)
- Hyang (sanggar)
- Mas (berbagai macam/mulya)
- Pirak (warung).

2. Raab (atap)
Penutup atap bangunan tradisional mempergunakan bahan-bahan alami
lokal seperti :
 ijuk
 alang-alang
 sirap bambu
 anyaman daun kelapa
 dari daun salak yang dirangkai
 dari kelopak batang pisang
Belakangan dengan adanya dukungan teknologi dan transportasi,
pemakaian penutup atap dari bahan non alami/luar daerah banyak dipakai
seperti genteng, sirap kayu yang didatangkan dari luar daerah, dan
sebagainya.

Hubungan elemen-elemen konstruksi dikerjakan dengan sistem pasak, baji,


tali ikatan, dan lait. Sehingga didapat konstruksi yang tahan gempa, serta
mudah dibongkar pasang.

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali IV - 27


Arsitektur Tradisional Bali
BAB V
DIMENSI TRADISIONAL BALI

Pada bab sebelumnya sudah disampaikan bahwa dimensi bangunan tradisional


Bali ditentukan sesuai dengan yang akan memanfaatkan bangunan tersebut,
biasanya dalam sebuah keluarga jika akan membangun maka ukuran-ukuran organ
tubuh dari kepala keluarga yang dipakai sebagai dimensi standard dalam
pembuatan gegulak, sesuai dengan keperluan pembangunan yang akan
diselenggarakan.

Dimensi tradisional Bali dibedakan menjadi :


 Dimensi tradisional untuk konstruksi bangunan
 Dimensi tradisional untuk pekarangan
 Dimensi tradisional konstruksi khusus tapak untuk halaman

Untuk lebih jelasnya dimensi-dimensi tersebut diatas dapat dilihat pada gambar di
halaman 30, 31 dan seterusnya.

Contoh pemakaian dimensi-dimensi tradisional

Sikut Karang (ukuran areal pekarangan tradisional)

Pekarangan tradisional Bali diukur berdasarkan satuan ukuran Depa dari kepala
keluarga.
Ukuran pekarangan tradisional dibuat persegi empat panjang dengan
memperhatikan petunjuk lontar “Asta Bumi”, kutipannya sbb :
Luwir tingkahe nyikut, matunain aneh, Purwa Luwih, Utara Longin.

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali V - 28


Arsitektur Tradisional Bali
artinya : pelaksanaan pengukuran mengurangi sebelah, ke arah Timur dibuat lebih,
ke arah Utara dikurangi.
Dengan demikian maka pekarangan yang memanjang arah Timur lebih baik dari
pada yang memanjang arah Utara.

Dalam lontar Asta Bumi juga disebutkan jenis-jenis ukuran pekarangan antara lain
:
1. Pekarangan ukuran Gajah 15 x 14 depa
2. Pekarangan ukuran Dwaja 10 x 9 depa
3. Pekarangan ukuran Singa 9 x 8 depa
4. Pekarangan ukuran Wreksa12 x 11 depa

Pengukuran dilakukan mulai dari pojok ‘Kaja Kangin’ .

Tata letak bangunan berpedoman kepada kekuatan Dewa yang tercantum sesuai
dengan Astawara : Sri, Indra, Guru, Yama, Rudra, Brahma, Kala, Uma.
Letak bangunan suci/parhyangan sesuai hitungan : Guru/Indra.
Letak bangunan pawongan pada perhitungan : Uma
Letak Jineng pada perhitungan : Sri
Letak Dapur/paon pada perhitungan : Brahma
Letak pintu gerbang/kori/angkul-angkul pada hitungan : Kala
Letak kandang pada perhitungan : Rudra atau Ludra.
Standard ukuran yang dipakai adalah Tapak kaki ditambah atapak ngandang
sebagai pengurip.

Gambar salah satu jenis tata letak bangunan tradisional pada satu pekarangan
dapat dilihat di halaman 32, dan contoh dimensi saka atau tiang lengkap dengan
detail ‘kupakannya’ pada halaman 33.

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali V - 29


Arsitektur Tradisional Bali
Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali V - 30
Arsitektur Tradisional Bali
Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali V - 31
Arsitektur Tradisional Bali
Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali V - 32
Arsitektur Tradisional Bali
BAB VI

ORNAMEN (RAGAM HIAS)

Perkembangan pemakaian ornamen (ragam hias) dalam Arsitektur Tradisional


Bali sesuai dengan perkembangan arsitektur menurut tahapan tahapan sejarah.

Fungsi ornamen : sebagai pelengkap dan atribut terutama pada bangunan-


bangunan suci yang banyak mengandung nilai simbolis dan sakral.

Ornamen-ornamen tertua bentuknya berupa garis-garis dan hiasan-hiasan


geometrik berupa lingkaran atau garis lengkung dan lurus yang diulang-ulang
secara ritmik.
Pada ornamen kuno, objek yang disajikan biasanya distilir ideopalstik, sedangkan
ornamen yang usianya lebih muda penyajian objek distilir mendekati wujud asli
atau naturalistik.
Berbagai jenis ornamen menyerap pengaruh luar seperti : Tiongkok, Mesir,
Belanda dan sebagainya.
Ada pula ornamen yang mengambil inspirasi dari Flora dan Fauna.

Bentuk Ornamen sesuai dengan media penyajiannya :


1. Ukiran, yaitu ornamen detail untuk massa-massa yang masif.
2. Tatahan : ornamen yang dibuat pada lembaran (Logam, kertas, kulit).
3. Pepulasan : menggunakan cat, perada, atau pewarna tradisional.
4. Pepalihan : biasanya dipakai pada bebataran secara akit-akitan.
5. Lelengisan : hiasan tanpa ukiran dengan variasi timbul tenggelam.

Dari berbagai ornamen yang ada dapat digolongkan menjadi :

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali V - 33


Arsitektur Tradisional Bali
 Pepatran
 Kekarangan
 Patung (Arca)
 Rerajahan (untuk ulap-ulap, dan Tumbal-tumbal)

Kadang-kadang para akhli sejarah memperkirakan umur/jaman suatu peninggalan,


dari jenis hiasan atau ornamen yang ada.

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali V - 34


Arsitektur Tradisional Bali
Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali V - 35
Arsitektur Tradisional Bali
Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali V - 36
Arsitektur Tradisional Bali
Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali V - 37
Arsitektur Tradisional Bali
Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali V - 38
Arsitektur Tradisional Bali
Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali V - 39
Arsitektur Tradisional Bali
Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali V - 40
Arsitektur Tradisional Bali
Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali V - 41
Arsitektur Tradisional Bali
Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali V - 42
Arsitektur Tradisional Bali
Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali V - 43
Arsitektur Tradisional Bali
Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali V - 44
Arsitektur Tradisional Bali
Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali V - 45
Arsitektur Tradisional Bali
Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali V - 46
Arsitektur Tradisional Bali
Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali V - 47
Arsitektur Tradisional Bali
BAB VII

LITERATUR ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI

Ada banyak sekali literatur yang menyangkut ke-arsitektur-an secara tradisional


berupa lontar-lontar dapat kita temui di Bali. Bahkan beberapa sudah dibukukan
dan dialih aksarakan.
Literatur yang berupa lontar beraksara Bali dan bahasanya kadang-kadang masih
berbahasa Jawa kuno.

Berikut ini adalah beberapa diantaranya :

Wiswakarma Tentang tata cara menjadi ‘architec tradisional’ (darmaning


undagi) dan sebagainya.
Hasta Kosali Tentang ukuran-ukuran metrik dan tangan (hasta) dan kaki,
untuk berbagai jenis bangunan, baik bangunan suci, maupun
bangunan- bangunan perumahan dan sebagainya.
Hasta Bumi Tentang tata letak dan denah bangunan-bangunan.
Padma Bhumi Tentang historis meletakkan “Pura-pura” di Bali berdasarkan
letak huruf-huruf sakral (dasa aksara) dalam macrocosmos.
Bhamakrti Tentang upacara-upacara dalam proses mendirikan suatu
bangunan dan sebagainya.
Dewa Tatwa Tentang jenis-jenis pedagingan untuk masing-masing bentuk
pelinggih dan juga upacara-upacara pemlaspas bangunan suci.
Janantaka Tentang klasifikasi kayu untuk bangunan-bangunan suci,
bangunan perumahan dan sebagainya.

Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali V - 48


Arsitektur Tradisional Bali
DAFTAR PUSTAKA

Tim Penyusun Proyek Inventarisasi & Dokumentasi Budaya Daerah, 1981/1982. Arsitektur
Tradisional daerah Bali. Denpasar.

Ir. Nyoman Gelebet, Arsitektur Tradisional Bali (Bahan Ajar pada Fakultas Teknik Jurusan
Arsitektur Universitas Udayana). Denpasar.

I Made Suandra, 1999/2000. Tuntunan Tata Cara Ngwangun Karang Paumahan Manut
Smrti Agama Hindu. Denpasar.

Koleksi Pribadi, Lontar Asta Kosala/Kosali, Asta Bhumi.

Anda mungkin juga menyukai