Anda di halaman 1dari 29

MATA KULIAH INTERIOR NUSANTARA

Disusun Oleh:
Salma Sahara (231501022)

FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN


INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………i

BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………………………………...…1

1.1 Latar Belakang……………………………………………………………….…………..1


1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………..……...….2
1.3 Tujuan…..………………………………………………………………………………..2
1.4 Manfaat…………………………………………………………………………….……2

BAB 2 PEMBAHASAN……………………………………………………………………...…...3

2.1 Latar Belakang Interior Nusantara …………………………………………………….3


2.2 Arsitektur Interior Tradisional Jawa……………………………………………….……4
2.3 Filosofi Arsitektur Tradisional Jawa …..…………………………………………….…4
2.4 Rumah Adat Jawa ………………………………………………………………….……6
2.5 Zoning dan Organisasi Ruang pada Bangunan Arsitektur Jawa………………………..11
2.6 Bentuk Aksesoris Ruang Arsitektur Interior Jawa……………………………………14
2.7 Ornamen Hias Arsitektur Interior Jawa………………………………………………16
2.8 Arsitektur Interior Tradisional Bali…………….……………………………….………18
2.9 Konsep Dasar Arsitektur Bali…………….…………………………………………….18
2.10 Rumah Tradisional Bali………………………………………………………………...19
2.11 Elemen Konstruksi Arsitektur Bali…………….……………………………………….22
2.12 Ornamen Arsitektur Bali…………….………………………………………………….23

BAB 3 PENUTUPAN…………………………………………………………………………...25

3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………...……….25
3.2 Saran……………………………………………………………………………………..26

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………...……..27

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring dengan perkembangan zaman, arsitektur pun ikut semakin berkembang pesat. Hal
ini, tidak lain disebabkan oleh perkembangan kehidupan manusia. Semakin peradaban manusia
berkembang, maka semakin menuntut perkembangan dunia arsitektur agar dapat memenuhi
kebutuhan hidup manusia

Telah kita ketahui, bahwa Bangsa Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa yang
mempunyai tata kehidupan masing-masing sesuai dengan perkembangan kebudayaan suku
bangsa tersebut. Salah satu hasil kebudayaan tersebut ialah rumah. Rumah merupakan salah satu
kebutuhan hidup umat manusia yang sangat penting untuk tempat berlindung setelah kebutuhan
makan dan pakaian. Setiap suku bangsa di Indonesia dan bangsa-bangsa didunia mempunyai
corak rumah masing-masing baik bentuk, ukuran maupun cara pengaturannya.

Selaras dengan keaberagaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia, Arsitektur di


Indonesia pun memiliki keberagaman tersendiri yang tentunya tidak lepas dari kebudayaan itu
sendiri, diantaranya yaitu Arsitektur Tradisional Bali dan Jawa yang merupakan warisan turun-
temurun dari masyarakat terdahulu yang masih berkembang hingga sekarang ini. Namun tak
dapat dipungkiri bahwa keberadaan Arsitektur Trdisional Bali dan Jawa sekarang ini sudah mulai
sulit ditemui dan mulai tergeser oleh adanya konsep-konsep Arsitektur modern yang dianggap
lebih membumi.

Hal ini tentu sangat disayangkan mengingat Arsitektur Tradisional sendiri merupakan
warisan dari para undagi terdahulu yang konsepnya didasari oleh berbagai lontar suci yang tak
perlu diragukan lagi tatanannya baik dari segi sekala dan niskala. Mengingat betapa berharga dan
pentingnya Arsitektur Tradisional Bali inilah diperlukan adanya upaya pelestarian yang
dimaksudkan agar kepunahan Arsitektur Tradisional di kemudian hari dapat dicegah.

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan arsitektur nusantara?


2. Bagaimana tata letak ruangan pada arsitektur interior jawa dan bali?
3. Bagaimana unsur pembentuk ruang pada arsitektur interior jawa dan bali?
4. Apa saja bentuk pengisi ruang pada arsitektur interior jawa dan bali?
5. Bagaimana bentuk aksesoris arsitektur interior jawa dan bali?
6. Bagaimana ornamen hias pada arsitektur interior jawa dan bali?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui pengertian ruang lingkup interior dan arsitektur nusantara


2. Mengetahui bagaimana tata letak ruangan pada arsitektur interior jawa dan bali
3. Mengetahui unsur pembentuk ruang pada arsitektur interior jawa dan bali
4. Mengetahui bentuk-bentuk pengisi rang arsitektur interior jawa dan bali
5. Mengetahui bentuk aksesoris ruang pada arsitektur interior jawa dan bali
6. Mengetahui omamen hias yang ada pasa arsitektur interior jawa dan bali

1.4 Manfaat

1. Dapat mengetahui dan memahami pengertian ruang lingkup interior dan arsitektur
nusantara
2. Dapat memahami tentang pembagian tata ruang dalam arsitektur interior jawa
3. Dapat mengetahui unsur pembentuk ruang pada arsitektur interior jawa
4. Dapat mengetahui bentuk pengisi ruang pada arsitektur interior jawa
5. Dapat mengetahui bentuk-bentuk aksesoris interior jawa
6. Dapat mengetahui ornamen hias pada arsitektur interior jawa

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Interior Nusantara

Keindahan arsitektur nusantara telah dikenal luas dan banyak dieksplorasi sejak
masa Kolonial atau penjajahan bangsa asing di kepulauan nusantara. Arsitektur nusantara
sebagian besar merupakan bangunan rumah tinggal yang dibangun berdasarkan adat dan
tradisi setempat. Proses pendirian rumah tradisional sejak awal penentuan lokasi hingga
didirikan dan dihuni, tidak pernah lepas dari pengaruh adat, kepercayaan dan tradisi. Oleh
karena itu, arsitektur nusantara seringkali disebut juga sebagai Arsitektur Tradisional atau
Rumah Adat Tradisional

Arsitektur tradisional merupakan hasil dari lingkungannya sehingga tiap daerah


memiliki berbagai varian yang dibangun sebagai respon dari kondisi alam, ketersediaan
material, iklim dan vegetasinya (Dawson & Gillow, 1994). Selain itu, pembangunan
Rumah Tradisional selalu melibatkan tidak hanya pemilik rumah namun juga seluruh
masyarakat setempat atau komunitas. Tahapan pembangunan rumah, dari pemilihan tapak
dan bahan, mempertimbangkan adat dan kondisi lingkungan. Teknik pembangunan
diturunkan dari generasi ke generasi baik melalui legenda, pantun, cerita ataupun melalui
proses magang. Pemilihan material bangunan menggunakan material lokal yang ditemui di
sekitar pemukiman. Sistem struktur dan konstruksi disusun bukan dari hasil perhitungan
mekanika namun berdasarkan uji coba (trial and error) yang berlangsung selama bertahun-
tahun. Karena itu, Rumah Tradisional mampu bertahan hingga puluhan bahkan ratusan
tahun dan sangat sesuai dengan kondisi iklim, cara hidup dan kondisi geografis nusantara
yang termasuk dalam garis patahan lempeng bumi yang rawan gempa.

3
2.2 Arsitektur Interior Tradisional Jawa

Arsitektur kerap diharapkan masyarakat dapat berarti lebih luas daripada sekadar sebuah
karya keteknikan. Arsitektur Jawa menjadi representasi bagi cita (ideals) penghuni/pemiliknya
yang berkenaan dengan kehidupan duniawi orang jawa. Adapun hal-hal yang mendasari
arsitektur tradisional jawa adalah sebagai berikut :

1 Arsitektur Jawa memperlihatkan diri sebagai rupa atau bentuk arsitektur yang
disebut "dhapur griya", mengingat masing-masing konfigurasi dari kerangka
bangunan; mendatangkan sosok rupa yang dinamakan tajug. joglo, limasan dan
kampung.
2 Arsitektur Jawa menjadi bentukan yang berdaya guna sebagai penerapan dari
fungsi arsitektur. Disini, Arsitektur Jawa menjadikan dirinya sebagai penaung
bagi kegiatan dan pemanfaatan arsitektur.
3 Arsitektur Jawa dimengerti sebagai rakitan yang merupakan kerja bersama dari
cita-fungsi-rupa, tiga komponen utama pengada Arsitektur Jawa, di mana cita
menjadi penyataan idealisasi kehidupan duniawi, fungsi menjadi penyedia daya
manfaat. serta penaung, dan rupa sebagai penyedia daya/kekuatan structural
bangunan serta sebagai penciri rupa.

2.3 Filosofi Arsitektur Tradisional Jawa

Arsitektur tradisional Jawa tidak hanya sekadar bentuk fisik bangunan, tetapi juga
mencerminkan filosofi dan nilai-nilai yang mendalam pada budaya Jawa. Beberapa filosofi
arsitektur tradisional Jawa yang mendasari arsitektur tradisional jawa adalah :

1. Masing-masing rumah dibedakan kepemilikannya berdasarkan status sosial


ataupun kedudukan pemiliknya dalam masyarakat. Dalam suasana kehidupan
feodal, sebagai raja, misalnya tidak dibenarkan membangun rumah tempat tinggal
(dhatulaya, istana) dengan menggunakan bangun sinom mangkurat untuk Sasana
Prabasuyasa, bangun limasan atau joglo atau kampung tetapi sebaliknya
menggunakan bangun sinom mangkurat untuk Sasana Prabasuyasa. Bangun

4
limasan atau joglo hanyalah untuk bangunan pelengkap saja. misalnya untuk
kantor, pertemuan, perlengkapan, paseban dan sejenisnya. Bagi golongan ningrat
(bangsawan sentana dalem) dan abdi dalem derajat tertentu berhak membuat
rumah tempat tinggal dengan bentuk limasan, sinom, ataupun joglo. Sedangkan
untuk bangunan pelengkap boleh membuat bangun rumah yang lain yang
tingkatannya: lebih rendah, misalnya daragepak, sethong. kalabang nyander, dan
sebagainya.

2. Di dalam bangunan rumah adat Jawa tersebut ditentukan ukuran, kondisi


perawatan rumah, kerangka, dan ruang-ruang di dalam rumah serta situasi di
sekeliling rumah, yang dikaitkan dengan status pemiliknya. Di samping itu, latar
belakang sosial, dan kepercayaannya ikut berperan.

3. Agar memperoleh ketentraman, kesejahteraan, kemakmuran, maka sebelum


membuat rumah perlu diperhitungkan dahulu tentang waktu, letak, arah, cetak
pintu utama: rumah, letak pintu pekarangan, kerangka rumah, ukuran dan
bangunan rumah yang akan dibuat, dan sebagainya.

4. Di dalam suasana kehidupan kepercayaan masyarakat Jawa, setiap akan membuat


rumah baru, tidak dilupakan adanya sesajen, yaitu benda-benda tertentu yang
disajikan untuk badan halus, danghyang desa, kemulan desa dan sebagainya, agar
dalam usaha pembangunan rumah baru tersebut memperoleh keselamatan.

5. Alam perkembangan selanjutnya, bangunan rumah adat Jawa berkembang sesuai


dengan kemajuan. Berdasarkan tinjauan perubahan atapnya, maka bangunan
rumah adat Jawa digolongkan menjadi lima macam yaitu, bentuk panggang-pe,
limasan, joglo, tajug, dan kampung.

5
2.4 Rumah Adat Jawa

Berdasarkan pada sejarah pembelajaran perkembangan bentuk rumah tinggal orang jawa
dapat dikategorikaan menjadi 4 macam bentukan yang mendasarinya sebagai bentuk rumah
tinggal yaitu:

1. Rumah Panggangpe

Rumah “panggangpe” merupakan bentuk bangunan yang paling sederhana dan bahkan
merupakan bentuk bangunan dasar. Bangunan “panggangpe” ini merupakan bangunan pertama
yang dipakai orang untuk berlindung dari gangguan angin, dingin, panas matahari dan hujan.

 Ciri-ciri dari rumah tradisional jawa bentuk panggang pe adalah sebagai berikut :
 Bangunannya berbentuk sederhana
 Mempunyai bentuk pokok berupa tiang atau “saka” sebanyak 4 atau 6 buah.
 Pada bagian sisi sekelilingnya diberi dinding yang hanya sekedar untuk menahan
hawa lingkungan sekitar atau dapat dikatakan sebagai bentuk perlindungan yang
lebih bersifat privat dari gangguan alam.

Gambar 1. Rumah Panggangpe

6
2. Rumah Kampung

Rumah bentuk Kampung adalah rumah dengan denah empat persegi panjang, bertiang
empat dengan dua buah atap persegi panjang pada sisi samping atas ditutup dengan tutup
keyong. Rumah ini kebanyakan dimiliki oleh orang kampung atau orang jawa menyebutnya
desa. Kampung berarti desa. Pada masa lalu rumah bentuk kampung merupakan tempat tinggal
yang paling banyak ditemukan. Sehingga ada sebagian masyarakat yang berpendapat bahwa
rumah kampung sebagian besar dimiliki oleh orang-orang desa yang kemampuan finansial/
ekonominya berada di bawah.

Gambar 2. Rumah Kampung

3. Rumah Limasan
Rumah Limasan merupakan salah satu bentuk rumah tradisional jawa yang dipergunakan
sebagai tempat tinggal, khususnya di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur dan beberapa daerah di
Jawa barat serta pesisir pantai utara dan selatan.
Ciri-ciri rumah Limasan :
 Dinamakan Limasan, karena jenis rumah tradisional ini mempunyai denah empat
persegi panjang atau berbentuk limas.

7
 Pada masa lalu rumah jenis ini kebanyakan dimiliki oleh masyarakat dengan
status ekonomi menengah.
 Terdiri dari empat buah atap, dua buah atap bernama kejen/ cocor serta dua buah
atap bernama bronjong yang berbentuk jajaran genjang sama kaki. Kejen
berbentuk segi tiga sama kaki seperti enam atap keyong, namun memiliki fungsi
yang berbeda. Pada perkembangan selanjutnya rumah limasan diberi penambahan
pada sisi-sisinya yang disebut empyak emper atau atap emper.
 Sistim dari kostruksi bangunannya dapat dibongkar pasang (knock down) tanpa
merusak keadaan rumah tersebut.
 Menggunakan material kayu jati secara keseluruhan pada sistem konstruksinya.
 Selain dari Kontruksi utamanya yang terbuat dari kayu, konstruksi dinding
pengisi juga terbuat dari lembaran kayu solid dengan bukaan-bukaan jendela yang
juga terbuat dari kayu.

Gambar 3. Rumah Limasan Gambar 4. Rumah Limasan

4. Rumah Joglo
Bentuk Rumah Joglo mempunyai ukuran lebih besar dibandingkan dengan bentuk bangunan
lainnya seperti “panggangpe”, “kampung” dan “limasan” yang merupakan tradisi bentuk
bangunan rumah di tanah Jawa. Disebut joglo karena atapnya yang berbentuk joglo. Joglo
merupakan bangunan yang paling populer, bahkan masyarakat awam sering menganggap jenis
rumah tradisional ini sebagai satu-satunya bentuk rumah tradisional masyarakat Jawa. Jenis
rumah tipe ini kebanyakan dimiliki oleh anggota masyarakat dengan strata sosial menengah ke

8
atas, baik itu golongan bangsawan ataupun priyayi. Hal ini dapat dipahami, karena bentuk rumah
Joglo membutuhkan bahan bangunan yang lebih banyak dan lahan yang lebih luas daripada jenis
rumah yang lain. Mungkin karena faktor itu pula, muncul mitos dalam masyarakat bahwa joglo
tidak pantas untuk dimiliki oleh rakyat jelata, melainkan hanya dapat dimiliki orang terpandang
atau terhormat.

Ciri-ciri dari rumah joglo ini adalah :


 Bentuk denah persegi panjang
 Memakai pondasi bebatur, yaitu tanah yang diratakan dan lebih tinggi dari tanah
disekelilingnya. Diatas bebatur ini dipasang umpak yang sudah diberi purus
wedokan.
 Terdapat 4 saka guru sebagai penahan atap brunjung yang membentuk ruang
pamidangan yang merupakan ruang pusat dan 12 saka pananggap yang menyangga
atap pananggap (tiang pengikut), masing-masing saka ditopang oleh umpak
menggunakan sistem purus
 Memakai blandar, pengeret, sunduk, serta kilil. masing- masing blandar dan
pengeret dilengkapi dengan sunduk dan kili sebagai stabilisator.
 Menggunakan tumpang dengan 5 tingkat. Balok pertama disebut pananggap, balok
ke dua disebut tumpang, balok ke tiga dan empat disebut tumpangsari, dan balok
terakhir merupakan tutup kepuh yang berfungsi sebagai balok tumpuan ujung- ujung
usuk atap.
 Uleng/ruang yang terbentuk oleh balok tumpang di bawah atap ada 2 (uleng ganda)
 Terdapat godhegan sebagai stabilisator yang biasanya berbentuk ragam hias ular-
ularan.
 Menggunakan atap sistem empyak. 4 sistem empyak yang digunakan : brunjung dan
cocor pada bagian atas, serta pananggap dan penangkur di bagian bawah
 Terdapat balok molo pada bagian paling atas yang diikat oleh kecer dan dudur.
 Menggunakan usuk peniyung yaitu usuk yang dipasang miring atau memusat ke
molo. Joglo ini juga tidak memiliki emper
 Pada umumnya bangunan ini menggunakan bahan-bahan kayu yang lebih banyak.
Sehingga sangat memungkinkan untuk membuat tambahan ruangan.

9
Gambar 5. Rumah Joglo

5. Rumah Tajug
Rumah Tajuk tidak dipakai sebagai rumah tinggal, melainkan dipakai sebagai rumah ibadah.
Ciri-ciri rumah Tajuk adalah pada langgar tanpa pananggap berkeliling serta payonnya gathuk
(bertemu-beradu). Rumah ini mempunyai denah bujursangkar, dan bentuk inilah yang masih
mempertahankan bentuk aslinya hingga sekarang.

Gambar 6. Rumah Tajug

10
2.5 Zoning dan Organisasi Ruang pada Bangunan Arsitektur Jawa

Dalam membuat suatu perancangan, nilai lebih akan terlihat tidak hanya dari hasil
jadi perancangannya namun juga dilihat dari penataan ruang yang tepat sesuai
penempatannya yang diatur dari organisasi ruang. Organisasi ruang didasari dari
pemahaman akan kebutuhan dan hubungan antar tiap ruang yang ada (Kubba, 2003).
Sehingga pada suatu perancangan, organisasi ruang dapat dibahas dengan berbagai cara
salah satunya yang paling umum yakni zoning (Karlen, 2007). Zoning merupakan
penempatan ruang didasari dari sifat tiap ruangnya , dibagi menjadi 3 jenis antara lain :
zona publik, zona privat, dan zona semi privat

1. Zona Publik adalah area yang dapat diakses oleh umum, dan merupakan area yang
paling dekat dengan kebisingan jalan, dan kepadatan lalu lintas. Biasanya dipilih area
yang paling dekat dengan jalan

2. Zona Semi Publik, Area yang dapat di akses secara khusus, area ini memiliki
kebisingan dan lalu lintas kegiatan sedang. Biasanya Perancang memilih area ini
berada di tengah-tengah lahan perencanaan.

3. Zona Privat, Area yang tidak bisa di akses oleh umum, hanya orang-orang tertentu
yang dapat memasukinya. Area ini yang paling terhindar dari kebisingan jalan dan
lingkungan sekitar. Zona Privat di pilih area yang jauh dari kebisingan jalan umum.

11
Zoning dalam konteks rumah adat Jawa mengacu pada pembagian atau penataan
ruang berdasarkan fungsinya. Rumah adat Jawa umumnya memiliki zona-zona tertentu
yang mencerminkan struktur sosial, kebutuhan sehari-hari, dan kegiatan-kegiatan
tertentu, Zoning ini mencerminkan tata letak yang berdasarkan pada kebutuhan dan
kebiasaan masyarakat Jawa. Berikut adalah beberapa zona umum dalam rumah adat Jawa

1. Zoning pada rumah tinggal dengan atap jolopong

Gambar 7. Bentuk dan Zoning pada Rumah Jolopong

Pada rumah tinggal dengan atap jolopong, pada umumnya terdiri atas :

- Ruangan depan. disebut emper atau tepas, Ruang tepas yang aslinya terbuka
menjadi tertutup oleh dinding dan pagar dengan penambahan pintu-pintu di kanan
kirinya. beberapa ruangan seperti ruang "tepas" yang semula dipergunakan
sebagai ruangan tamu, kini dipergunakan untuk ruangan tidur anggota keluarga
atau pembantu rumah tangga selama masa tanam padi (disebut dengan istilah
"bujang")

- Ruangan tengah, disebut tengah imah atau patengahan. Dalam konteks rumah adat
Sunda di Jawa Barat, "Tengah Imah" dapat mencerminkan sebuah konsep ruang
pusat atau pusat aktivitas dalam rumah. Ini mungkin mencakup pendopo (ruang
terbuka tanpa dinding yang umumnya digunakan untuk pertemuan atau dapat
merujuk pada bagian tertentu dari rumah yang dianggap pusat dari kegiatan
keluarga

12
- Ruangan samping, disebut pangkeng dipergunakan sebagai tempat tidur.

- Ruangan belakang disebut pawon, terdiri atas dapur dan tempat menyimpan beras
yang disebut "padaringan".

- Goah merupakan sebuah ruangan khusus yang digunakan untuk penyimpan beras
(pedaringan) dan juga tempat menyimpan sesajen ketika hajatan. Biasanya ketika
hajatan pemilik rumah atau sesepuh setempat membaca mantra di ruangan ini.

2. Zoning pada rumah tinggal dengan atap jure (limas)

Gambar 8. Bentuk dan Zoning pada Rumah Limas

Pada rumah tinggal dengan atap jure, pada umumnya terdiri atas :

- Ruangan paling depan bawah atap, disebut Balandongan, berfungsi untuk


menambah kesejukan bagi penghuninya di dalam rumah.

- Ruangan depan dalam rumah disebut "tepas''

- Enggon, sering digunakan sebagai tempat pelaksanaan upacara adat, ritual


keagamaan, atau acara-acara kebudayaan lainnya.

- Tengah Imah merupakan bagian ruangan yang berukuran cukup luas yang
dipergunakan sebagai tempat berkumpulnya seluruh anggota keluarga di rumah
itu.

- Goah tempat penyelenggaraan upacara keagamaan atau pemujaan.

- Pawon atau dapur

13
- Ruangan yang disebut "pangkeng", dipergunakan sebagai tempat tidur

2.6 Bentuk Aksesoris Ruang Arsitektur Interior Jawa

1. Penerapan saka guru pada bangunan public space selalu diikuti dengan pendapa.
Keduanya tidak bisa dilepaskan, karena merupakan satu kesatuan pengertian yang
utuh. Bangunan joglo lengkap dengan rangkaian saka guru, brunjung, dan balok
tumpangsari banyak digunakan pada bangunan-bangunan public space. Misalnya
saja, hotel dan kantor pemerintah, terutama lobby dan pendapa sebagai rang
tunggu atau-ruang penerima. Lobby pada hotel dibuat seperti pendapa pada
bangunan Jawa. lengkap dengan ornamen. Lobby pada hotel lebih menunjukkan
citra, prestise, dan kesan megah.

Gambar 9. Penggunaan saka guru pada bangunan karaton kasunanan dan bangunan
kantor pemerintah daerah

14
2. Tumpangsari yang digunakan pada pendapa yang terdapat pada lobby sebagai
point of inferest pada saka guru. Di samping lobby sering pula diterapkan pada
ruang-rang pertemuan

Gambar 10. Penggunaan tumpangsari pada bangunan dalem kepangeranan dan


perkantoran

3. Gebyok, Digunakan sebagai penyakat antara ruang satu dengan ruang lainnya. Fungsi
Gebyok sebagai daya tarik ruang, biasanya diterapkan pada restoran, lobby, lounge dan
pada ruang pertemuan dan penjamuan.

Gambar 11. Penggunaan gebyok pada bangunan museum dan untuk display pada acara
resepsi pernikahan.

15
2.7 Ornamen Hias Arsitektur Interior Jawa
Ornamen tradisional Jawa atu bentuk tambahan pada suatu bengunan dengan
lebih mementingkan estetika dan tanpa mempengaruhi fungsi, Namun kepercayaan
zaman dulu ragam hias memiliki fungsi filosofis, seperti sebagai penunjuk derajat dari
sang pemilik. Ragam hias pada bangunan tradisional jawa pun memiliki jenis yang cukup
beragam, peletakannya pun berbedabeda. Untuk ragam hias pada pendopo ataupun
bangunan yang lain pada rumah tradisional jawa.

1. Flora
- Saton Berasal dari kata ‘Satu” ialah nama jenis makanan berbentuk kotak dengan hiasan
daun/bunga. Memiliki Warna dasar: merah tua, hijau tua; warna lung-lungan: kuning
emas,sunggingan. Peletakan berada pada Tiang bag. Bawah, balok blandar, sunduk,
pengeret, tumpang, ander,pengisipada ujung dan pangkal.

Gambar 12.Ornamen Saton

- Patron Dari kata ‘patra’ yang berarti daun, memiliki warna polos atau sunggingan,
terletak pada Balok-balok kerangka bangunan, blandar.

Gambar 13.Ornamen Patron

16
2. Fauna
- Kemamang Arti menelan segala sesuatu yang bersifat jahat yang hendak masuk, memiliki
warna polos atau sunggingan, terletak pada pintu regol.

Gambar 13.Ornamen Kemamang

- Peksi garuda Sebagai lambang pemberantas kejahatan, memiliki Warna polos/


sunggingan, kuning emas, terletak pada Bubungan, tebeng, pintu gerbang

Gambar 14.Ornamen Peksi Garuda

3. Alam
- Makutha Dimaksudkan agar raja sebagai wakil tuhan memberkahi seisi rumah. memiliki
warna natural, terletak pada Bubungan bag. Tengah atau tepi kanan dan kiri.

Gambar 15.Ornamen Makutha

17
2.8 Arsitektur Interior Tradisional Bali

Arsitektur Bali/Arsitektur Tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah
kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan-
aturan yang diwarisi dari zaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri
fisik yang terungkap pada lontar Asta Kosala-Kosali, Asta Patali dan sumber-sumber lainnya,
sampai pada penyesuaian-penyesuaian oleh para undagi yang masih selaras dengan
petunjukpetunjuk yang dimaksud

2.9 Konsep Dasar Arsitektur Bali

Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang
memengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah :
1. Konsep Tri Hita Karana
Tri Hita Karana yang secara etimologi terbentuk dari kata : tri yang berarti tiga,
hitaberarti kebahagiaan, dan karana yang berarti sebab atau yang menyebabkan, dapat
dimaknai sebagai tiga hubungan yang harmonis yang menyebabkan kebahagian. Ketiga
hubungan tersebut meliputi :
a. Prhyangan : Hubungan yang harmonis antara manusia dengan Ida SangHyang
Widhi Wasa,
b. Pawongan : Hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesamanya, dan
c. Palemahan : Hubungan yang harmonis antara manusia denganlingkungannya.

Dalam arsitektur Bali, hal ini sangat di utamakan dan selalu menjadi landasan pokok
dalam membangun. Konsep Tri Hita Karana menjelaskan bagaimana suatu tatanan ruang
arsitektur yang harmonis di antara ketiga unsur tersebut sehingga terjadilah penataan
ruang yang seimbang.

2. Hirarki Ruang / Tri Angga/Tri Loka


Tri Angga adalah salah satu bagian dari Tri Hita Karana, (Atma, Angga dan
Khaya). Tri Angga merupakan sistem pembagian zona atau area dalam perencanaan
arsitektur tradisional Bali, yaitu :

18
a. Utama, bagian yang diposisikan pada kedudukan yang paling tinggi,
b. Madya, bagian yang terletak di tengah
c. Nista, bagian yang terletak di bagian bawah, kotor, rendah

3. Asta Kosala Kosali


Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan
bangunan suci. Penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh pemilik.
Pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh sang empunya rumah. Mereka
tidak menggunakan meter tetapi menggunakan ukuran seperti :
 Musti (ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari
yangmenghadap ke atas),
 Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengahtangan
sampai ujung jari tengah yang terbuka)
 Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kirike
kanan), dll.

2.10 Rumah Tradisional Bali


Istilah “rumah” dalam budaya Bali dibedakan berdasarkan warna. Ada lima istilah yang
dikenal, yaitu :
 Gena (Rumah untuk Brahmana)
 Puri (rumah untuk ksatria)
 ero (rumah untuk ksatria yang tidak memegang pemerintahan secara langsung)
 Umah (rumah untuk weisya dan sudra), serta
 Kubu/pakubon (rumah tinggal di luar pemukiman)

Seberti bangunan tradisional bali lainnya yang didasari oleh konsepkonsep tersendiri,
rumah arsitektur tradisional bali juga memiliki konsepsikonsepsi yang sama yang dilandasi
oleh ajaran agama Hindu dan merupakan perwujudan budaya, dimana karakter perumahan
tradisional Bali sangat ditentukan norma-norma agama Hindu, adat istiadat serta rasa seni
yang mencerminkan kebudayaan. (Bappeda, 1982:119).

19
Rumah tradisional Bali selain menampung aktivitas kebutuhan hidup seperti: tidur,
makan, istirahat juga untuk menampung kegiatan yang bertujuan untuk kepentingan
psikologis, seperti melaksanakan upacara keagamaan dan adat. (Sulistyawati. dkk, 1985:15).
Dengan demikian rumah tradisional sebagai perwujudan budaya sangat kuat dengan landasan
filosofi yang berakar dari agama Hindu.
Rumah tinggal masyarakat Bali/rumah tradisional Bali sendiri sangatlah unik
karena rumah tinggal ini tidak merupakam satu kesatuan dalam satu atap melainkan terbagi
dalam beberapa ruang-ruang yang berdiri sendiri dalam pola ruang yang diatur menurut
konsep arah angin dan sumbu gunung Agung. Hal ini terjadi karena hirarki yang ada
menuntut adanya perbedaan strata dalam pengaturan ruang-ruang pada rumah tinggal
tersebut. Seperti halnya tempat tidur orang tua dan anak-anak harus terpisah, dan juga
hubungan antara dapur dan tempat pemujaan keluarga.

Untuk mengetahui pola ruang rumah tradisional Bali maka sebaiknya kita mengenali
bagian-bagian ruang pada rumah tinggal tradisional Bali, diantaranya
1. Angkul-angkul/pamesuan/kori yaitu entrance yang berfungsi seperti candi
bentar pada pura yaitu sebagai gapura jalan masuk. Angkul-angkul
biasanya teletak di kauh kelod.
2. Aling-aling adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan
masuk sehingga jalan masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal
ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam.
Dipercaya pula sebagai penghalau energy negatif yang masuk dari luar.
Aling-aling terletak di kaluh kelod.
3. Natah atau halaman tengah sebagai ruang luar.
4. Pamerajan ini adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan
pada perkampungan tradisional biasanya setiap keluarga mempunyai
pamerajan yang letaknya di kaja kangin pada sembilan petak pola ruang.
5. Umah Meten/Bale Daja yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kapala
keluarga sehingga posisinya harus cukup terhormat yaitu di kaja.
6. Bale tiang sanga/Bale Dauh biasanya digunakan sebagai ruang untuk
menerima tamu yang diletakkan di lokasi kauh.

20
7. Bale Sakepat/Bale Delod, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur
anak-anak atau anggota keluarga lain yang masih junior. Bale sakepat
biasanya terletak di kelod.
8. Bale Dangin biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat benda-benda
seni atau merajut pakaian bagi anak dan suaminya. Bale Dangin terletak di
lokasi kangin.
9. Paon/perapen yaitu tempat memasak bagi keluarga, posisinya berada pada
kangin kelod.
10. Jineng/lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa
padi dan hasil kebun lainnya.
11. Tebe yaitu area terbuka kosong yang biasanya digunakan sebagai kandang
hewan atau kebu

Selain pola ruang/pembagian ruang di atas, terdapat pula aturan dalam memilih tata letak
pekarangan menurut aturan tradisional Bali, yaitu :
 Pekarangan rumah tidak boleh bersebelahan langsung disebelah Timur atau Utara
pura, bila tidak dibatasi dengan lorong atau pekarangan lain seperti : sawah,
ladang/sungai. Pantangan itu disebut : Ngeluanin Pura.
 Pekarangan rumah tidak boleh Numbak Rurung, atau Tusuk Sate. Artinya jalan
lurus langsung bertemu dengan pekarangan rumah.
 Pekarangan rumah tidak boleh diapit oleh pekarangan/rumah sebuah keluarga
lain. Pantangan ini dinamakan : Karang Kalingkuhan.
 Pekarangan rumah tidak boleh dijatuhi oleh cucuran atap dari rumah orang lain.
Pantangan ini dinamakan : Karang Kalebon Amuk.
 Pekarangan rumah sebuah keluarga tidak boleh berada sebelah- menyebelah jalan
umum dan berpapasan. Pantangan ini dinamakan : Karang Negen.
 Pekarangan rumah yang sudut Barat Dayanya bertemu dengan sudut Timur
Lautnya pekarangan rumah keluarga itu juga berada sebelah-menyebelah jalan
umum, ini tidak boleh. Pantangan ini dinamakan : Celedu Nginyah.

21
2.11 Elemen Konstruksi Arsitektur Bali
A. Atap
Struktur rangka atap umumnya memakai bahan kayu dan batang kelapa (sese)
untuk tang dan lambang sedangkan untuk elemen iga-iga (usuk) menggunakan bambu
yang dihubungkan dengan sistem pasak dan ikat. Pada bangunan suci, struktur rangka
atap menggunakan bahan kayu. Di samping pemakaian bahan bambu, khusus pada
bangunan suci memakai bahan ijuk, dan hal ini merupakan suatu keharusan pada
beberapa bangunan suci tertentu.

Gambar 16

B. Dinding
Dining Dinding pembatas ruangan pada bangunan rumah tinggal tradisional
Bali pada umumnya memakai bahan dari tanah, bata dan cadas. Beberapa dinding rumah telah
menggunakan material batako sebagai akibat perkembangan material dinding. Batako dipilih
hanya karena kekuatannya lebih lama dari tanah.

Gambar 17
C. Lantai
Lantai /Bebaturan Lantai bangunan umumnya mash tetap memakai bahan tanah, cadas dan bata,
khususnya pada lantai bangunan tradisional. Sesuai dengan perkembangan zaman beberapa
lantai bangunan rumah tinggal Bali telah beralih pada pemakaian bahan-bahan modern seperti

22
semen, marmer. teraso, tegel dan keramik. Umumnya lantai dibuat sederhana dan tidak banyak
menggunakan permainan lantai

Gambar 18.

2.12 Ornamen Arsitektur Bali

Dalam budaya masyarakat Bali terdapat Asta Kosala Kosali yang digunakan untuk
mengatur tata letak dan tata bangunan rumah atau tempat suci yang berada di Bali. Hal ini
mengarah pada harmonisasi hidup antara penghuni rumah dengan lingkungannya. Selain itu,
terdapat juga beberapa ornamen yang memiliki fungsi dan makna tersendiri apabila diletakkan
pada bangunan

1. Kekarangan
Kekarangan merupakan motif yang seperti tumbuhan lebat atau daun terurai. Motif ini
biasa diterapkan pada rumah bangsawan.

Gambar 19. Ornamen Kekarangan

23
2. Keketusan
Keketusan merupakan motif tumbuhan dengan lengkungan yang cukup besar, motif ini di
sematkan pada bagian rumah bidang cukup luas.

Gambar 20. Ornamen Keketusan


3. Pepatran
Pepatran merupakan motif yang ditempatkan pada sudut yang tergolong sulit untuk
diberikan hiasan.

Gambar 21. Ornamen Pepatran

4. Pengijeng Karang
penginjeng karang digunakan untuk menjaga pekarangan.
Setiap rumah adat Bali pasti memiliki pekarangan. Untuk itu, dibutuhkan tempat agar
pekarangan terjaga dengan baik.

Gambar 22. Ornamen Pengijeng Karang

24
BAB 3

KESIMPULAN

Dari uraian tesebut jelaslah bahwa begitu kaya dan dalam nilainya kebudayaan nenek
moyang kita itu. Nenek moyang kita berdasarkan pengalaman dalam hidupnya telah menemukan
dan menetapkan persyaratan-persyaratan itu demi keselamatan dan kesejahteraan penghuninya.
Memang perhitungan mereka yang bersifat tradisional itu tentu akan berbeda dengan perhitungan
masyarakat sekarang yang sudah masuk dalam alam modern. Pertemuan antara alam tradisional
dan modern ini tentu membawa pengaruh misalnya dalam bentuk pergeseran-pergesaran tertentu
dalam masyarakat dan budayanya .

Arsitektur Tradisional Jawa merupakan salah satu kekayaan arsitektur nusantara yang
patut dilestarikan. Rumah ini digolongkan menjadi 5 bagian yaitu, panggangpe, limasan, joglo,
tajug, dan kampung. Masing-masing rumah memiliki ciri khas dan fungsi yang berbeda-beda
sesuai dengan status sosial kepemilikan dan kedudukan pemiliknya dalam lingkungan
masyarakat. Tiap-tiap rumah diatas juga memiliki jenis-jenis rumah yang beraneka ragam pula.
Bentuk fisik dari rumah adat jawa ini sangatlah sederhana dengan bentuk serupa yaitu
bujursangkar, dan dengan atap berbentuk limasan. Selain itu, rumah ini juga terdiri dari saka-
saka yang menopangnya. Bentuk ini tidak jauh berbeda dengan rumah tradisional bali.

Arsitektur Tradisional Bali memiliki konsepsi-konsepsi yang tidak hanya bersumber dari
ajaran agama Hindu, melainkan pula dipengaruhi oleh adat istiadat, kepercayaan, sistem religi,
serta sikap dan pandangan hidup masyarakat sekitar (Bali). Oleh karena itulah diperoleh
keanekaragaman pola rumah arsitektur tradisional bali. Selain itu, perkembangan zaman dan
tuntutan akan kebutuhan serta keadaan membawa pola rumah arsitektur bali semakin
berkembang untuk menyelaraskan dengan keadaan masyarakat terkini. Salah satu contoh nyata,
dapat dilihat pada objek obsevasi yang digunakan pada makalah ini, dimana jineng yang
memiliki fungsi asli dimasa lalu berkembang sesuai dengan kebutuhan dan keadaan saat ini pula.

25
SARAN

Tugas kita bersama untuk berusaha mempertahankan warisan bangsa yang tak ternilai
harganya ini. Untuk itu sudah wajarlah apabila dalam alam pembangunan ini kita mencari jalan
agar arsitektur tradisional tetap menempati posisi. sehingga unsur-unsur tradisional dan modern
bisa terpadu di dalamnya.

Perlu adanya pengetahuan dan pemahaman tentang budaya daerah dan budaya nasional
bagi generasi muda yang menekuni bidang desain interior dan arsitektur sebagai bekal dalam
merancang ruang bergaya tradisonal serta pengetahuan dan pemahaman yang baik bagi para
calon desainer interior dalam memahami hasil-hasil kebudayaan bangsanya, sebagai bekal dalam
mengemban tanggungjawab pelestarian budaya bangsa dan menerapkannya dalam merancang
fasilitas-fasilitas umum.

26
DAFTAR PUSTAKA

Sagimin. M.D .. Pandangan Umum Tentang Aristektur Tradisional. Makalah dalam Penataran
Tenaga Peneliti/Penulis Daerah Seluruh Indonesia. 17 s/d 24 Mei 1981. Cisarua Bogar.

Herwindo, R. P (2016). Dialog Pengembangan Potensi Bentuk dan Ruang Pada Arsitektur
Tradisional Indonesia dengan Konteks Masa Kini dan Mendatang. Prosising Seminar Nasional
Jelajah Arsitektur Nusantara, 1-12.

Ilham, A. N., Sofyan, A. (2012). Tipologi Bangunan Rumah Tinggal Adat Sunda Di Kampung
Naga Jawa Barat. J. Tesa Arsitektur, 10(1) : 1-8.

Budiwiyanto, Joko. 2007.Bentuk dan Fungsi Ragam Hias pada Pendapa Keraton Kasunanan
Surakarta, dalam Gelar, Surakarta, STSI Press

Dakung, Sugiyarto. 1982/1983.Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta:


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Daerah,

Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin. 2003. Perumahan dan Permukiman Tradisional Bali.
Denpasar : Fakultas Teknik Universitas Udayana

Arrafiani. n.d. Rumah Etnik Bali. Jakarta : Griya Kreasi

27

Anda mungkin juga menyukai