Anda di halaman 1dari 10

“ARSITEKTUR TRADISIONAL MELAYU”

Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Bahasa Indonesia

Dosen pengampu : Wilda Sristuty Handayani Piliang, S. Pd., M.Pd

OLEH

DZAKY SEPTYANO ANGGANA

223110653

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS ISLAM RIAU

PEKANBARU 2023
PENDAHULUAN

Arsitektur Melayu dapat dijadikan sebagai pengenalan budaya Indonesia


kepada masyarakat baik dari dalam negeri maupun luar negeri karena berbatasan
dengan negara Singapura dan Malaysia, tetapi perkembangan arsitektur terbilang
sangat sedikit karena bangunan yang terdepat di daerah tersebut tidak lagi
menggunakan karakteristik arsitektur Melayu yang ada. Mayoritas Hotel & Resort
di Riau Batam memiliki karakteristik bangunan yang lebih modern oleh karena itu
pengembangan bangunan-bangunan dengan karakteristik Melayu sangat
diperlukan.

Arsitektur Melayu memiliki aspek yang dipengaruhi dan berkaitan dengan


adat budaya dan agama. Bangunan tradisional Melayu adalah suatu bangunan
yang utuh, yang dapat dijadikan tempat kediaman keluarga, musyawarah, tempat
beradat dan tempat berlindung. Dalam ranah adat bangunan tradisional Melayu
didirikan melalui tata cara yang sesuai dengan ketentuan adat, agar sebuah
bangunan dapat disebut “Rumah sebenar rumah”. Sedangkan, dalam ranah agama
dalam membangun rumah tradisional Melayu syariat agama sangat diperhatikan
seperti letak ruang kaum lelaki berbeda dengan ruang wanita.

Penelitian tentang arsitektur Melayu sebelum nya telah dilakukan


diantarannya “identifikasi tipologi arsitektur rumah tradisional melayu di
kabupaten langkat dan perubahannya” Oleh Asnah Rumiawati dan Yuri Hemawan
Prasetyo. “Studi tipomorfologi rumah melayu: inkrementasi ruang dan
konstruksi” oleh Imanuddin dan Yulianto P. Prihatmaji. “Langgam Arsitektur
melayu riau pada bangunan fasilitas umum di bengkalis objek studi museum
sultan syarif kasim”. (Aurelia et al., 2019)

Selembayung merupakan ornamen yang paling sering digunakan dalam


perancangan bangunan di kota Pekanbaru. Namun, apakah penggunaan
Selembayung yang merupakan salah satu Langgam Arsitektur Tradisonal Melayu,
merupakan upaya untuk menunjukan identitas kota Pekanbaru. Atau malah justru
sebaliknya, menjadikan selembayung hanya sebagai ornamen yang “ditempel”
dalam peracangan bangunan di kota Pekanbaru, inilah yang mesti kita telusuri
lebih jauh.

PEMBAHASAN

Arsitektur Tradisional Melayu

Arsitektur tradisional Melayu merupakan suatu bangunan dan


lingkungannya, yang bentuk, struktur, fungsi, ornamen, dan cara pembuatannya
diwariskan secara turun temurun yang berfungsi sebagai wadah bagi aktifitas
kehidupan manusia. Rumah tradisional melayu dalam konteks arsitektur,
dirancang dan dibangun dengan kreatifitas dan kemampuan estetika oleh
masyarakat Melayu sendiri.

Pada pembangunan Melayu terdapat beberapa komponen yang menjadikan


bangunan itu sebagai tempat melakukan aktifitas kehidupan. Komponen tersebut
merupakan materi dasar dari bangunan yang tersusun menjadi suatu kesatuan
bangunan yang menyeluruh. Komponen merupakan faktor utama dalam melihat
suatu arsitektur tradisional, yang mana terdiri dari: nama, bentuk bagian-bagian
bangunan, tipologi, massa bangunan, struktur, susunan dan fungsi ruang, ornamen
serta pembuatan yang di wariskan secara turun temurun. (Gun Faisal, 2013)

Ornamen Bangunan Melayu

Ornamen berasal dari bahasa Yunani, yaitu onare yang berarti hiasan atau
perhiasan. Perhiasan dalam hal ini dapat diartikan sebagai sesuatu yang
keberadaannya berfungsi untuk menghiasi, memperindah atau sebagai tambahan
yang dirasa perlu, dan terkadang memiliki arti atau maksud tertentu bagi orang
yang memakai atau membuatnya. Dalam kamus besar bahasa Indonesia ornamen
berarti; hiasan dalam arsitektur, kerajinan tangan lukisan dan hiasan. Atau hiasan
yang dibuat, digambar atau dipahat pada candi, gereja atau bangunan lain. John
Summerson, seorang sejarawan arsitektur, dalam sebuah esai tahun 1941,
menyebut ornamen sebagai "modulasi permukaan". Dekorasi dan ornamen telah
menjadi saksi dalam peradaban sejak awal sejarah mulai dari "arsitektur Mesir
Kuno" hingga berkurangnya ornamen secara nyata padaarsitektur modern abad
ke-20.

Sedangkan Noah Webster mengatakan ornamen adalah sesuatu yang


berfungsi untuk menghiasi dekorasi dan perhiasan. Ornamen bisa dibentuk oleh
elemen-elemen bangunan walaupun bentuk dasar dari elemen tersebut bukan
bentuk yang dekoratif seperti susunan papan yang dipasang standar sebagai
dinding bukanlah sebuah ornamen namun bila papan tersebut dipotong dan
dibentuk menjadi pola-pola tertentu dan memiliki nilai estetika atau terlihat indah
maka susunan papan tersebut menjadi sebuah dekorasi pada bangunan. Dapat
disimpulkan bahwa antara ornamen dan dekorasi adalah identik atau bersinonim,
karena mempunyai fungsi yang sama yaitu untuk memperindah atau menghiasi
sesuatu dalam sebuah karya arsitektur.

Motif dasar dari ornamen Arsitektur Tradisional Melayu pada umumnya


bersumber dari alam, yaitu terdiri atas flora, fauna, dan benda-benda lainnya.
Bendabenda tersebut kemudian diubah menjadi bentuk-bentuk tertentu, baik
menurut bentuk asalnya seperti bunga-bungaan, maupun dalam bentuk yang telah
dimodifikasi sehingga tidak lagi memperlihatkan wujud asalnya, tetapi hanya
menggunakan namanya saja seperti itik pulang petang, itik sekawan, semut
beriring, dan lebah bergantung.

Motif hewan yang dipilih umumnya yang mengandung sifat tertentu atau
yang berkaitan dengan mitos atau kepercayaan setempat. Contohnya motif semut,
walaupun tidak dalam bentuk sesungguhnya, disebut dengan motif semut beriring
dikarenakan sifat semut yang rukun dan tolong-menolong, yang mana sifat inilah
yang menjadi dasar sifat orang-orang Melayu. Begitu pula halnya dengan motif
lebah yang disebut dengan motif lebah bergantung, karena sifat lebah yang selalu
memakan sesuatu (bunga) yang bersih, kemudian mengeluarkannya untuk
dimanfaatkan oleh orang banyak (madu). Motif naga digunakan karena berkaitan
dengan mitos tentang keperkasaan naga sebagai penguasa lautan. Sedangkan
benda-benda lain, seperti bulan, bintang, matahari, dan awan, digunakan karena
mengandung nilai falsafah tertentu.
Selain itu, ada pula motif yang bersumber dari bentuk-bentuk tertentu,
seperti wajik, lingkaran, kubus, segi, dan sebagainya. Di samping itu, ada juga
motif kaligrafi yang diambil dari kitab Al-Qur’an. Pengembangan motif-motif ini,
selain memperkaya bentuk hiasan, juga memperkaya nilai falsafah yang
terkandung di dalamnya.

Selembayung

Selembayung yang disebut juga Sulo Bayuang dan Tanduak Buang, adalah
hiasan yang terletak bersilang pada kedua ujung perabung bangunan. Pada bagian
bawah adakalanya diberi pula hiasan tambahan seperti tombak terhunus,
menyambung kedua ujung perabung. Selembayung mengandung beberapa makna,
antara lain:

(1) Tajuk Bangunan

Selembayung membangkitkan seri dan cahaya bangunan.

(2) Pekasih Bangunan

Lambang keserasian dalam bangunan.

(3) Pasak Atap

lambang hidup yang tahu diri.

(4) Tangga Dewa

lambang tempat turun para dewa, mambang, akuan, soko, keramat, dan sisi yang
membawa keselamatan bagi manusia.

(5) Rumah Beradat

tanda bahwa bangunan itu adalah tempat kediaman orang berbangsa, balai atau
tempat orang patut-patut.

(6) Tuah Rumah

yakni sebagai lambang bahwa bangunan itu mendatangkan tuah kepada


pemilikinya.
(7) Lambang keperkasaan dan wibawa

(8) Lambang kasih sayang

Tipologi Bangunan Melayu

Tipologi rumah tradisional Melayu adalah rumah panggung atau berkolong


dan memiliki tiang-tiang tinggi. Ruangan pada rumah Melayu memiliki nama dan
fungsi, tiap-tiap daerah juga memiliki penamaan yang berbeda, akan tetapi
fungsinnya masih sama. Rumah Melayu diberi penamaan berdasarkan bentuk
atap, sebulan lain adalah berdasarkan bentuk atap dan kemiringan atap,
berdasarkan pada posisi rumah terhadap jalan raya, serta sebutan berdasarkan
bentuk bubungan atap. Sedangkan secara umum rumah Melayu terdapat tiga ciri
fisik di dalam cara konstruksinya, yaitu : fakta bahwa rumah tersebut mengatakan
atap rumah Melayu secara tradisional tidak hanya mencerminkan asal-usul
penghuninya, tetapi juga status sosial dan keuangan mereka.

Susunan ruang pada rumah tradisional Melayu bisa dikatakan beragam,


susunan ruang tersebut tergantung kebutuhan dan perubahan yang dilakukan
masyarakat setempat. Secara garis besar, bahwa rumah orang asli ataupun rumah
vernakular di sepanjang pantai timur Sumatera terdiri dari 3 (tiga) ruangan, yang
memiiliki fungsi yang hampir sama, namun berbeda dari penyebutannya saja.
Rumah tradisional Melayu-Riau1 umumnnya dipisahkan menjadi tiga bagian:
selasar, rumah induk dan penaggah. Menambahkan susunan rumah melayu
menjadi 4 (empat) ruangan, yaitu selasar, rumah induk, telo dan penanggah.
Membagi susunan rumah melayu menjadi 7 (tujuh) ruangan.

Tata ruang adalah karakteristik yang paling penting dari bentuk melayu
karena ia lahir dari hierarki fungsi koneksi rumah dan kehidupan keluarga.
DImana dalam penjelasannya Ruang dibagi antara publik, swasta, dan transisi
atau semi-publik. gagasan privasi keluarga tercermin dalam bentuk dan
pengaturannya. (Faisal, 2019)

Karakteristik Rumah Tradisional Melayu


Karakteristik rumah Melayu dipengaruhi oleh aspek iklim setempat dan
syarat agama. Pengaruh iklim dimanifestasikan dalam bentuk rumah
berkolong/panggung dan bertiang tinggi serta ditunjukkan dengan adanya banyak
jendela yang ukurannya hampir sama tinggi dengan pintu, banyaknya jendela dan
lubang-lubang angin tujuannya untuk memberi udara dan cahaya yang cukup bagi
penghuninya. Sementara syarat agama (Syariat Islam) mempengaruhi arsitektur
Melayu, di antaranya berupa pemisahan ruang lelaki dengan ruang kaum
perempuan. Serta terlihat dari ukiran-ukiran dinding dan tiang yang menghindari
motif hewan ataupun manusia dengan dominan digunakan adalah berbentuk
bunga, daun, dan buah, serta sulur-suluran. Bahan bangunan yang digunakan
dalam pembuatan rumah Melayu di Kabupaten Langkat ini sebagian besar juga
masih terbuat dari kayu, sedangkan atapnya masih menggunakan rumbia. Bahwa
kayu untuk rumah berasal dari kayu yang tahan lama dan tahan air. Jenis-jenis
kayu yang digunakan antara lain kayu cengal, merbau, damar laut, kulim,
petaling, cingkam, damuli, lagan, dan sebagainya.

Karakteristik permukiman tradisional Melayu awalnya berupa pola sebaran


rumah yang berbanjar mengikuti sungai atau jalan. Jarak antar rumah yang satu
dengan rumah lainnya tidak terlalu dekat dan kepadatan bangunannya rendah
dengan vegetasi alami yang rindang di sekitarnya. tidak seperti pola sebaran
rumah di permukiman modern yang rigid, pola sebaran rumah tradisional Melayu,
dibangun secara acak dan tidak terpola sehingga memungkinkan angin dapat
bergerak secara alami dengan bebas mengikuti alirannya tanpa terhalang oleh
bangunan rumah. Selain itu, tidak ada batasan yang jelas antara area lahan rumah
yang satu dengan lainnya. Terkadang tidak semua rumah memiliki akses langsung
terhadap jalan utama, namun harus melalui pekarangan rumah tetangga yang ada
di depannya.

Fenomena yang terjadi saat ini, RTM dimana-mana banyak yang mulai
ditinggalkan oleh penghuninya dan memilih tinggal di rumah modern. Rumah
tradisional dianggap ketinggalan zaman dan kurang mengakomodasi kebutuhan
ruang pada penghuninya.
Arsitektur rakyat vernakular bukan hanya sekedar bentuk identitas lokal
atau sebagai karakter kawasan namun kehadirannya merupakan bentuk dari
respon terhadap lingkungan alam dan sosial ekonomi budaya masyakakat
setempat. Perkembangan informasi yang pesat menyebabkan pemahaman generik
mengenai budaya berhuni sehingga mengikis lokalitas yang sebenarnya
merupakan bentuk keberlanjutan arsitektur lokal dan aktifitas di dalamnya.
kedominanan bentuk yang terdapat pada rumah tradisional Melayu baik secara
vertikal maupun horizontal pada elemen pembentuk fasad adalah untuk
memberikan perlindungan dan kebebasan bagi anggota keluarga.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan identifikasi tipologi


RTM di Kabupaten Langkat, sekaligus menggambarkan perubahan yang terjadi
saat ini pada rumah tradisional tersebut. Diharapkan hasil kajian ini dapat
menunjang pelestarian dan memperkaya data arsitektur tradisional Nusantara,
khususnya rumah Melayu dilihat dari fenomena yang terjadi saat ini. (Rumiati &
Prasetyo, 2013)
KESIMPULAN

Bangunan tradisional Melayu adalah suatu bangunan yang utuh, yang dapat
dijadikan tempat kediaman keluarga, musyawarah, tempat beradat dan tempat
berlindung. Dalam ranah adat bangunan tradisional Melayu didirikan melalui tata
cara yang sesuai dengan ketentuan adat, agar sebuah bangunan dapat disebut
“Rumah sebenar rumah”. Sedangkan, dalam ranah agama dalam membangun
rumah tradisional Melayu syariat agama sangat diperhatikan seperti letak ruang
kaum lelaki berbeda dengan ruang wanita.

SARAN

Sebaiknnya dalam melakukan penelitian tentang arsitektur Tradisional Melayu


harus di dapat dari sumber-sumber yang terpercaya.
DAFTAR PUSAKA

Aurelia, N., Winandari, M. I. R., & Iskandar, J. (2019). Tipologi Fasad Arsitektur
Tradisional Melayu Riau. Mintakat: Jurnal Arsitektur, 20(1), 1–8.
https://doi.org/10.26905/mj.v20i1.3240

Faisal, G. (2019). Arsitektur Melayu: Identifikasi Rumah Melayu Lontiak Suku


Majo Kampar. Langkau Betang: Jurnal Arsitektur, 6(1), 1.
https://doi.org/10.26418/lantang.v6i1.31007

Gun Faisal, D. (2013). Selembayung Sebagai Identitas Kota Pekanbaru: Kajian


Langgam Arsitektur Melayu. Indonesian Journal of Conservation, 2(1), 51–
59.

Rumiati, A., & Prasetyo, Y. H. (2013). Identifikasi Tipologi Arsitektur Rumah


Tradisional Melayu di Kabupaten Langkat dan Perubahannya. Jurnal
Permukiman, 8(2), 78. https://doi.org/10.31815/jp.2013.8.78-88

Anda mungkin juga menyukai