Di Susun Oleh : Nama : Muhammad Andry Wibowo NPM : 201745500027 Kelas : R6A Dosen : Ratu Arum, S.T, M.Ars Mata Kuliah : Perkembangan Arsitektur Nusantara
FAKULTAS TEKNIK ILMU KOMPUTER
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI TEKNIK ARSITEKTUR MASA LALU DAN MASA KINI Dari perspektif orang dalam, suksesi keberlanjutan dan perubahan dalam tradisi arsitektur dan langgam bangunan ini mungkin dipandang sebagai sebuah runtutan episode sejarah, ketika “yang lalu” atau “tradisi” dan “yang masa kini” masyarakat Indonesia yang berbeda-beda ditantang, tercermin, dikukuhkan, dan di contohkan dalam bentuk tipikal yang diwariskan oleh nenek moyang dan generasi sebelumnya secara turun menurun, atau dibentuk ulang, dimaknai ulang, dan dibangun ulang, dengan memperhitungkan yang baru yang ditawarkan oleh “yang masa kini”. Ini artinya “yang lalu dimasa kini” bukanlah hanya tema yang berulang dari tradisi arsitektur dan langgam bangunan di Indonesia pada umumnya, melainkan juga penting dalam sejarah tradisi arsitektur vernacular Indonesia pada khusunya. Pada tiap kurun perjalanan sejarah yang panjang ini, “yang lalu” dan “yang masa kini” mengasumsikan makna baru yang berbeda. Perubahan dalam arsitektur dan langgam bangunan di paro kedua abad kedua puluh tidak terkecuali. Yang Lalu: Evaluasi Tradisi Arsitektur Vernakular yang Unik Satu cara untuk membuat pegangan yang erat secara konseptual terhadap subjek materi yang sangat beragam dan rumit ini adalah dengan membuat pembedaan di antara sejumlah tradisi arsitektural secara umum. Tradisi-tradisi arsitektural yang unik ini dan didefinisikan sangat luas ini sangat dekat hubungan nya dengan runtutan “gelombang” atau ekspansi kultural yang berasal dari berbagai bagian dari dataran Asia, Eropa, dan Timur Tengah serta meyebar dalam jangka lima atau enam ribu tahun meliputi kepulauan Indonesia dan lebih jauh lagi. Arsitektur Vernakular Indonesia Bangunan yang paling penting dan paling sering dibangun yang termasuk dalam tradisi-tradisi arsitektur vernacular Indonesia adalah rumah (uma, rumah) yang dipakai sebagai tempat tinggal, gudang beras atau lumbung, serta berbagai jenis tempat penyimpanan dan bangunan umum (balai/bale) yang digunakan sebagai pusat komunitas di mana ritual, upacara atau pertemuan warga diselenggarakan. Contoh Contoh paling jelas bangunan adalah rumah-asli atau tongkrongan masyarakat Toraja di provinsi Sulawesi Selatan, rumah Batak di daerah Toba, Karo, dan Simalungun di Provinsi Sumatra Utara, rumah besar Minangkabau atau rumah gadang dan lumbung padi berciri langgam Minangkabau di Provinsi Sumatra Barat, uma atau rumah panjang masyarakat Sukkadai di Kepulauan Mentawai yang berlokasi di Samudra Hindia di sebelah barat Pulau Sumatra, rumah tradisional masyarakat Nias yang terletak di sebelah Utara Mentawai, rumah besar atau panjang ata uma dadoq masyarakat Kenyah di Pulau Kalimantan, kompleks permukiman rumah kampungan, limasan, dan joglo Jawa di Pulau Jawa, kompleks permukiman di sepanjang pantai dan daerah pegunungan di Pulau Bali, rumah dan lumbung padi Sasak di Pulau Lombok, uma mbatangu masyarakat Sumba atau rumah keluarga besar di bagian timur Pulau Sumba dan beragam tipe rumah yang dibangun oleh masyarakat Ttimor, serta demikian pula dengan komleks permukiman masyarakat Dani di Papua Barat. Keserupaan Asal Muasal Tradisi vernacular di Indonesia dan dipercaya mempunyai keserupaan asal muasal dari tradisi pembangunan kuno, terutama ditunjukan pada tradisi arsitektur Austronesia yang dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari ekpansi budaya Austronesia. Muasal dari tradisi arsitektur yang satu ini dapat dirunut kembali hingga budaya manusia kuno yang mendiami daerah pantai dan sungai-sungai Cina Selatan dan Vietnam Utara kurang lebih 4000 tahun SM. Dimasa itu kelompok-kelompok masyarakat melakukan migrasi dalam beberapa gelombang yang berurutan, pertama ke Pulau Taiwan (4000 SM) dan ke Filipina (3000 SM). Kelompok migran tersebut mencapai Sulawesi dan Indonesia Timur sekitar 2000 SM dan mencapai bagian barat Indonesia pada 1000 SM. Kebudayaan yang dibawa oleh kelompok ni adalah bercocok tanam dan pertanian yang memproduksi berbagai tanaman pangan dan padi, keterampilan beternak unggas dan memelihara ternak, teknik membuat perahu, pembakaran tembikar, serta menenun kain, beragam penggunaan alat dan peralatannya adalah kapak, kapak berlengan bengkok, dan tatah. Diperkirakan kelompok migran ini mempunyai keserupaan tradisi arsitektur yang dinamai tradisi Arsitektural Austronesia. Sebagai konsekuensi nya, sehamparan kepulauan Indonesia, rumah tradisional yang termasuk warisan arsitektur vernacular mempunyai keserupaan property dan bentuk morfologis struktur dasarnya. Properti dan Fitur Properti struktural dan fitur morfologis rumah-rumah tradisional Indonesia terdiri atas dua macam. Rumah tradisional Indonesia yang dibangun berdasar pada prinsip tipikal arsitektural Austronesia kuno: a) struktur yang didirikan di atas tiang fondasi kayu, yang dapat di tanam ke dalam tanah atau diletakkan di atas permukaan tanah dengan fondasi batu, b) lantai panggung c) atap miring dengan jurai yang diperpanjang d) bagian depan atap yang condong mencuat ke luar. Pada bagian timur Indonesia banyak tipe rumah tradisional yang digolongkan sebagai bagian dari tradisi arsitektur vernacular dan langgam bangunan yang biasanya memiliki a) bangunan dengan lantai berbentuk lingkaran dan b) berstruktur atap kerucut tinggi seperti bentuk sarang tawon atau struktur atap berbentuk kubah elips. Rumah tradisional di seluruh kepulauan Indonesia dibangun biasanya dengan kayu dan material alami lain bambu, daun palem, rumput dan serat yang utamanya diambil dari lingkungan alami. Berbeda dengan konstruksi fisiknya, rumah-rumah tradisional Indonesia di seluruh bentang kepulauan mempunyai kesamaan ciri dalam terminology makna simbolik yang dikandung oleh rumah. Yang paling penting adalah gagasan bahwa rumah menyimbolkan kelompok social yang didefinisikan oleh persaudaraan, gender, umur, posisi social, atau kombinasinya. Ukuran rumah dan property bentuknya mengidentifikasikan tingkat social dan status dari kelompok yang mediaminya dalam masyarakat lokal atau dalam masyarakat suku itu di area yang lebih besar. Penting pula penempatan berlangsungnya ritual dan upacara untuk menghormati dan menjunjung tinggi mereka, dan sebagai tempat untuk menyimpan objek-objek sakral dan pusaka nenek moyang. Ciri penting lain nya yaitu penggunaan berbagai jenis oposisi polar dalam ruang seperti depan dan belakang, timur dan barat, rendah dan tinggi, kiri dan kanan, serta dalam dan luar, yang berkesesuaian dengan pembedaan kelas di antara berbagai variasi kelompok social atau masyarakat kesukuan secara umum, dengan gender (lelaki-perempuan), umur (muda-tua), persaudaraan (turunan-perkawinan), asal muasal (masyarakat asli-masyarakat pendatang), status dan peningkat (merdeka-budak), yang menstrkturkan hubungan antar mereka dan memberi petunjuk bagaimana berinteraksi di antara mereka. Gagasan keempat yang biasanya terkait dengan rumah tradisional Indonesia adalah bagaimana para penghuninya melindungi diri dari dampak lingkungan alami, seperti : hujan, panas, dan binatang liar dan juga dari berbagai kekuatan spiritual yang tak nampak. Konsep Inti Terdapat 3 metafora tipikal yang digunakan untuk menggambarkan kesatuan struktural antara rumah dan bangunan tradisional Indonesia itu dan membedakan berbagai macam hubungan antara rumah dan lingkungannya. Pertama dari metafora ini yaitu dari tubuh manusia ataupun hewan seperti kerbau. Metafora tubuh manusia digunakan misalnya oleh masyarakat Bali. Metafora tubuh kerbau digunakan oleh masyarakat Laboya di bagian barat Pulau Sumba. Kedua adalah berkaitan dengan metafora makro-kosmos sebagai prinsip identifikasi, pembedaan, dan klasifikasi berbagai komponen rumah tradisional dan sebagai sarana untuk menghubungkan antara satu bagian dengan bagian lain, pengguna, dan lingkungannya. Penggunaan Metafora ini jamak di rumah lepo masyarakat Tana Ai di Flores Timur dan rumah Tradisional Indonesia adalah perahu. Ide ini ditemukan diantara masyarakat yang tinggal di kepulauan Maluku. Metafora-metafora ini merupakan konsep inti sebuah sistem klasifikasi yang sangat kompleks dan berperan penting dalam menyusun dan memproduksi pola-pola kultural dan praktik social serta berbagai hubungan yang utamanya sangat terkait dengan berbagai tipe rumah tradisional Indonesia. Pengaruh Asing Walau berbagai jenis rumah tradisional Indonesia memiliki karakter utama structural dan tradisi bersama, tetapi masing-masing juga jelas mengandung sejumlah karakter atau fitur yang dapat dikatakan sebagai pengaruh eksternal yang berasal dari sejumlah tradisi arsitektural asing. Arsitektur Hindu-Buddha Fitur utama tradisi arsitekural Hindu-Buddha ini dikenal sebagai candi. Dalam ukurannya yang paling besar dan paling terperinci serta paling megah di pulau Jawa. Tradisi Hindu-Buddha ini diwakili oleh stupa Borobudur dan Candi Lara Jonggrang, terletak di dekat desa Muntilan dan Prambanan di Jawa Tengah. Pemeran utama terjadinya penyebaran arsitektur Hindu-Buddha dan perkembangannya ke Asia Tenggara adalah adanya organisasi hirarki dan terpusat dari kerajaan dan kekaisaran yang muncul selama periode itu di beberapa tempat di kepulauan Indonesia dan susul-menyusul dalam dominasi politik. Yang paling di kenal dan secara kultural paling penting dalam mencapai dominasi politik adalah kerajaan Sriwijaya (abad ketujuh dan kedelapan masehi) yang berpusat secara politis di kota pedalaman Jawa Tengah.mHarus dicatat bahwa tradisi Arsitektural Hindu dan Buddha saat ini dipandang sebagai langgam bangunan yang menyatu dengan tradisi kultural yang ada di Indonesia sendiri jauh sebelum menggunakan batu alam sebagai material bangunan. Arsitektur Cina Cina hadir di kepulauan Indonesia sebagai pedagang sutra dan gerabah keramik sejak awal abad kelima masehi. Belakangan mereka kemudia menetap di daerah pantai di beberapa tempat di kepulauan sebagai penambang dan membuka toko. Orang Cina ini sering bertindak, atau diperalat, sebagai perantara bisnis antara masyarakat berstatus social tinggi dengan yang berstatus social rendah. Orang cina biasanya bertempat tinggal di bagian wilayah kota yang dibatasi dengan jelas, yang diperbolehkan untuk membangun rumah, toko, tempat ibadah, serta berbagai bangunan fasilitas lain yang cocok bagi tradisi arsitektur dan langgam bangunan mereka. Pengaruh tradisi arsitektur dan langgam banguan cina pada arsitektur vernacular Indonesia dianggap terbatas pada adopsi beberapa teknik kontruksi saja. Aristektur Islam Islam hadir di kepulauan Indonesia seawall abad kedelapan di Aceh, berlokasi di ujung utara Ppulau Sumatra. Adopsi baru ini berasal dari Timur Tengah, menandai ekspansi kultural Islam hingga ke kepulauan Indonesia, yang berkebang secara cepat ke daerah lain, terutama ke bagian pantai utara Pulau Jawa pada abad kesebelas atau kedua belas Masehi. Islam memperkenalkan tipe bangunan baru yaitu Masjid. Sejauh yang berkaitan arsitektur dan langgam bangunan tempat tinggal atau hunian berbagai masyarakat yang ada di Indonesia, perubahan paling penting yang diakibatkan oleh perkembangan kepercayaan islam adalah pada pembagian dan penggunaan ruang, terutama pada pengenalan dan artikulasi pembedaan gender antara bagian laki-laki dengan perempuan di dalam rumah, yang kebetulan bersamaan dengan pembagian social rumah antara bagian depan public dan belakang yang privat. Di banyak kepulauan Indonesia, kepercayaan islam diikuti oleh pembangunan masjid sesuai cara pengaturan dan peraturan islam serta pergantian atau hilangnya rumah-rumah kelurga besar (klan) dan komunitas yang dibangun berdasar tradisi arsitektur vernacular kuno. Arsitektur Eropa Sejak akhir abad kelima belas Masehi, kepulauan Indonesia menjadi tujuan bagi para pelaut dan perusahaan dagang maritime dari berbagai Negara di Eropa dalam rangka pencarian barang-barang dangangan yang berharga, terutama rempah-rempah. Ragam yang paling umum dari tradisi arsitektur Eropa adalah proses berkepanjangan penaklukan secara militer dan pengambilalihan secara paksa pasar dan sistem ekonomi, politik penjajahan, sentralisasi administrasi public, ekploitasi ekonomi dengan sistem perkebunan skala besar, perusahaan industry dan komersial yang berbasis pada investasi modal swasta, dan pembangunan skala besar sistem pelayanan public, pemerintahan dan kekuasaan kolonial. Dalam proses ini, belanda mengadopsi elemen tertentu dan fitur arsitektur tradisi Indonesia asli ke dalam tradisi membangun mereka, sementara elemen arsitektur Eropa, terutama pada teknik kontruksi tertentu secara simultan dimasukkan ke dalam tradisi arsitektur vernacular Indonesia. Tradisi membangun Indonesia yang berpengaruh arsitektur Eropa seperti itu yang muncul dan menjadi langgam bangunan colonial tropis yang dikenal sebagai arsitektur Hindia Timur. Kini : Warisan Tradisi Rumah Tradisional Indonesia Dalam konteks ini, pembedaan yang paling penting adalah terkait dengan area pegunungan dan di area pedalaman yang sampai saat ini masih sulit dicapai dan diarea dataran rendah sepanjang pantai di pulau Sumatra, Jawa, dan Papua. Dari sudut pandang ini, masyarakat yang mendiami pedalaman, terutama penduduk di pulau-pulau besar, dilihat sebagai bangsa asli, atau paling tidak dianggap sebagai masyarakat yang mempunyai tradisi yang bila dilihat dari perspektif sejarah kebudayaan dianggap lebih tua dibandingkan dengan masyrakat yang tinggal didataran rendah dan area pantai. Bangunan yang dibangun oleh masyarakat pedalaman dianggap memperlihatkan kemiripan dengan tradisi arsitektural dan ragam bangunan Austronesia yang tergambar di Candi Borobudur di Jawa Tegah daripada masyarakat yang tinggal di dataran rendah dan di pantai. Terutama rumah Toraja di Sulawesi Selatan dan Masyarakat Batak yang tinggal di Sumatra Uutara dipandang sebagai representasi yang paling kuat dengan ragam arsitektur vernacular dari nenek moyang mereka. Masyarakat Aceh di Sumatra Utara, masyarakat Baduy dan Tengger di Pulau Jawa, masyarakat Bali Aga (Bali Mula) di Bali, dan masyarakat Dayak di pulau Kalimantan, serta beberapa masyarakat di kepulauan Indonesia Timur, juga dianggap sebagai “masyarakat kuno”. Akan tetapi rumah tradisional mereka, di samping sangat jelas mempunyai elemen dan fitur dari tradisi arsitektur vernacular Austronesia, juga mengandung elemen dan fitur yang dari sudut pandang sejarah kebudayaan, sebenarnya termasuk dalam tradisi arsitektur asing yang muncul di kepulauan Indonesia di waktu yang lebih muda yang merupakan bagian dari ekpansi Hindu-Budha, Islam, dan Eropa. Disini dibedakan empat kategori tradisi vernacular arsitektur dan langgam bangunan Indonesia, yaitu bangunan tradisional yang dibangun berdasar a) tradisi kuno Austonesia, b) pencampuran dan sinkretik c) transformasi dan d) tradisi arsitektur vernacular dan langgam bangunan Indonesia timur. Rumah yang Merepresentasikan Tradisi Arsitektur Vernakular Kuno Austronesia Rumah tradisional Indonesia yang saat ini merupakan contoh rumah yang mempunyai karakteristik dasar dan fitur tradisi arsitektur vernacular yang masih tinggi dapat ditemukan di daerah pedalaman pelosok Kepulauan Indonesia. Namun beberapa contoh yang disebut dalam kategori ini menunjukan beberapa perbedaan bahwa rumah-rumah ini dibangun dengan megikuti tradisi arsitektur vernacular kuno dan langgam bangunan Austronesia sebelum adanya tradisi dan langgam Hindu-Buddha, Islam, dan colonial Belanda. Rumah Batak Bentuk dan fitur yang umum tradisi arsitektur kuno Austronesia di Indonesia masih dapat dilihat secara jelas pada rumah tradisional masyarakat Batak yang mendiami pedalaman pegunungan di sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir di provinsi Sumatra Utara.