Jadi, Arsitektur Nusantara adalah sebuah ilmu seni arsitektural yang berfokus
pada potensi-potensi dari kebudayaan , tradisi , serta kondisi iklim di daerah negara
kepulauan Indonesia.
Letak Geografis dan Iklim Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar 18.018 buah pulau
tersebar di sekitar khatulistiwa. Diantara puluhan ribu pulau tersebut terdapat 5 pulau
besar, yaitu Jawa, Sumatra,Kalimantan,Sulawesi dan
Irian Jaya.Pulau Jawa merupakan pulau dengan jumlah penduduk
terpadat, dimana sekitar 65% populasi Indonesia hidup di pulau ini.Banyaknya jumlah
pulau Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki keberagaman etnis, dimana masing-
masing etnis memiliki keunikan adat istiadat dan kebudayaan yang direfleksikan dalam
keunikan arsitektur lokal.Keberagaman arsitektur lokal merupakan kekayaan yang tiada
tara bagi Indonesia.
Setiap propinsi memiliki ciri khas tersendiri dari rumah adatnya. Ciri tersebut tercermin
dalam pola perkampungan, rumah dan tatanan ruang, serta teknologi bangunan (sistem
sturktur dan bahan bangunan).
Pola perkampungan
Tipikal perkampungan di Indonesia pada dasarnya menggambarkan respon terhadap
kondisi alam, tatanan sosial, system bercocok tanam, dan kosmologi masyarakat yang
mendiaminya. Di
Indonesia terdapat dua tipe tatanan permukiman dan rumah dari perkampungan
tradisional Indonesia, yaitu linear dan konsentris. Kampung-kampung dengan tatanan
linear umumnya terdapat dipesisir Pantai Indonesia dan juga di pedalaman Sumatera,
Nias, Kalimantan,Sulawesi, Bali dan beberapa wilayah di Jawa.
Di Sumatera contohnya adalah pola perkampungan masyarakat Batak yang berjejer
lurus menghadap jalan desa, di Jawa contohnya adalah pola perkampungan
masyarakat Betawi yang rumah-rumahnya berjejer menghadap sungai. Di Nias,
bangunan-bangunan pada kampungnya
Berjejer lurus saling berhadapan, dimana diantara barisan bangunan tersebut terdapat
ruang bersama untuk berkumpul, kegiatan ritual keagamaan atau acara kesenian.
Kampung dengan pola linear menggambarkan demokrasi dari distribusi kekuasaan
dengan strata sosial lebih sederhana.
Perkampungan dengan pola kosentris terdapat di Flores, Sumba dan Jawa Tengah.
Tatanan perkampungan seperti ini memiliki bagian tengah yang dianggap sacral dan
penting, misalnya ruang terbuka tempat berkumpul, batu megalith, tugu atau kuburan
para nenek moyang.Orientasi dari barisan rumah menghadap ke titik tersebut yang
terdiri dari beberapa layer berdasarkan hirarki atau status social
masyarakat.Kampung dengan pola kosentris menyimbolkan penerapan sistem
pemerintahan pada kekuatan tunggal yang memusat. Terdapat strata sosial agak
kompleks dengan kekuatan terpusat pada satu orang, grup atau kelompok.
B.Rumah dan tatanan ruang
Konsep tatanan ruang rumah tradisonal Indonesia di bagi menjadi tatanan horizontal
dan vertikal. Untuk tatanan horizontal, rumah tradisional Indonesian umumnya dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu bagian depan (publik), tengah (private), dan belakang
(servis).Bagian depan yang merupakan bagian publik umumnya diwadahi oleh serambi
depan, bagian tengah terdapat kamar-kamar, dan bagian belakang terdapat dapur.
Secara vertikal, pembagian ruang terdiri dari bagian atas,tengah,bawah.Ruang atas
merupakan ruang paling sakral dan private yang biasa digunakan untuk menyimpan
benda-benda berharga dan keramat, bagian tengah merupakan bagian untuk
kehidupan manusia,dan bagian bawah untuk binatang ternak atau gudang.Dari segi
bentuk dan morfologi ruang, umumnya rumah
Tradisional Indonesia umumnya berbentuk persegi panjang dan bujur
sangkar, seperti rumah di Aceh, Melayu, Batak, Nias Selatan, Mentawai, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Sumba. Namun ada juga yang menggunakan bentuk
lingkaran dan elips, seperti rumah di Nias Utara, Lombok, dan Papua. Bentuk dan
organisasi ruang bergantung pada kebiasaan dan adat istiadat setempat. Beberapa
rumah tradisional Indonesia merupakan tipe rumah komunal artinya terdapat beberapa
generasi yang berbeda, tinggal dalam satu rumah besar seperti rumah Batak Toba,
Karo, Minangkabau, Mentawai, Kalimantan, Lio, Sumba.
c. Teknologi bangunan
Salah satu ciri arsitektur tradisional Indonesia adalah menggunakan bahan yang alami
dan teknik konstruksi yang sederhana dengan penyusunan tiang dan balok atau biasa
disebut dengan struktur rangka. Rumah tradisionalnya umumnya berbentuk panggung,
dengan jarak dari tanah ke lantai bangunan bervariasi, sesuai dengan kebudayaan
masing-masing daerah. Rumah-rumah tradisional Indonesia dibangun oleh masyarakat
setempat dengan kemampuan akan konstruksi dan bahan yang dipelajari secara
turun temurun dan didapat dari lokasi setempat. Hasil karya ‘rakyat’ ini merefleksikan
sebuah masyarakat yang akrab dengan alamnya, kepercayaannya, dan norma-
normanya dengan bijaksana.
Dari keberagaman tipe arsitektur tradisional Indonesia, jika ditelusuri terdapat beberapa
persamaan yang dapat dijadikan ciri dari arsitektur Indonesia, antara lain:
Pola perkampungan
Tatanan ruang
Material
Pembahasan pada buku ajar ini tentang perkembangan arsitektur Indonesia dapat
diurutkan sebagai berikut :
Arsitektur vernakular
Arsitektur klasik atau candi
Arsitektur pada masa perabadan atau kebudayaan Islam
Arsitektur Kolonial
Arsitektur Modern (pasca kemerdekaan)
Pada bidang perumahan juga terjadi akulturasi, dimana banyak rumah-rumah dalam
kompleks perumahan mengambil style Mediteranian, Klasik dan Minimalis. Sedikit
sekali yang menampilkan wajah kelokalan arsitekturnya.
Makin banyak pula kompleks-kompleks perumahan di Indonesia yang mengambil nama
berbau asing seperti : “San Diego”, “Raffles Garden”, “Rich Palace” dan lain-lain.
Bahkan di beberapa tempat ditemukan adanya pemakaian bentuk-bentuk yang
merupakan simbol negara lain seperti “Patung Liberty”, “Patung Bethoven” dan “Jam
Gadang London”, demi memburu predikat “modernisasi”, masyarakat rela
meninggalkan nilai-nilai kelokalannya.
Indonesia memiliki budaya yang beraneka ragam yang tersebar di seluruh wilayahnya
yang berupa kepulauan.Sebagai sebuah negara kesatuan, Indonesia juga belum
memiliki identitas arsitektur kenegaraan, yang ada adalah arsitektur yang beraneka
ragam di masing-masing wilayah kepulauannya. Kata Nusantara terbentuk dari nusa
(pulau) dan antara, yang artinya adalah kepulauan, antar pulau. Karena itulah namanya
bukan Arsitektur Indonesia.
Sementara, arsitektur tradisional adalah arsitektur yang berasal dari tradisi atau adat
istiadat yang berlaku di masing-masing wilayah. Penggunaan istilah arsitektur
tradisional memiliki konsekuensi, yaitu penggunaannya harus sesuai dengan peraturan
tradisi yang berlaku di sebuah wilayah atau suku bangsa. Hal ini mengakibatkan
arsitektur tidak memiliki kesempatan untuk berkembang dan arsitektur hanya menjadi
romantisme masa lalu. Arsitektur tradisional adalah obyek studi bagi domain sejarah
maupun antropologi karena mempelajari bagaimana manusia-manusia di sebuah
wilayah atau suku bangsa berinteraksi dengan lingkungannya. Sementara dalam
domain arsitektur sendiri, yang dipelajari adalah seni bangunan termasuk dengan
dasar-dasar pemikiran, estetika, juga kemungkinan pengembangan ide di masa depan
dengan tetap berakar pada filosofi awal yang terdalam. Hal inilah yang melahirkan
Arsitektur Nusantara. Arsitektur yang bertuan rumah di wilayah Nusantara, dihidupkan
oleh masyarakat Nusantara dan menghidupi mereka dari waktu ke waktu.
Proses rancang arsitektur Nusantara dilandasi oleh pemikiran rasional dan spiritual.
Masyarakat menghargai arsitek Nusantara sebagai tokoh yang menempa diri untuk
memperdalam ilmu rancang bangun dan memperkayanya dengan pengalaman
spiritual. Arsitek Nusantara adalah orang yang menghargai karua dan keahlian rekan
sesama arsitek serta karya-karya terdahulu dari leluhurnya dengan melakukan evolusi.
Hasil dari penelitian ini merupakan sebuah perwujudan architectonic dari arsitektur
Nusantara yang merupakan cerminan dari regionalisme arsitektur di Indonesia
yang dipengaruhi oleh kesetempatan dan kesemestaan. Pengaruh inilah yang
menunjukkan akan regionalisme ke Nusantara an arsitektur yang berbeda dengan
regionalisme pada umumnya. Unsur kesemestaan dan kesetempatan mempunyai
peran penting dalam regionalisme arsitektur di Indonesia. Dari kekayaan perwujudan
architectonic ditemukan adanya benang merah pada penyelesaian baik detail
konstruksi dan struktur secara hakekat maupun bentuk secara garis besar. Sementara
itu pengetahuan lokal dan potensi lokal memberikan sentuhan penyelesesaian yang
beragam sesuai dengan kearifan lokal masyarakat setempat, sehingga pada setiap
daerah/ region mempunyai kekhasannya masing-masing dan inilah yang disebut
sebagai kesetempatan. Bineka Tunggal Ika tercermin dalam perwujudan architectonic
pada arsitektur Nusantara, berbeda tetapi tetap satu. Hal ini dapat ditunjukan melalui
pembahasan karya-karya arsitektur Nusantara dari beberapa daerah dengan
mempertajam pada bentuk dan detail konstruksi serta struktur secara arsitektural.
sisi dindingnya
Gambar 2
Gambar 3
bentuk rumah Batak Toba dengan Tongkonan, perhatikan pada bentuk atap dan kolongnya.
Demikian juga dengan bentuk arsitektur rumah Batak Karo dengan Lobo di
Ngata Toro Sulawesi Tengah. Bentuk atap, rumah panggung, bentuk dinding yang
melebar ke atas. Dari diskusi yang telah dilakukan keduanya mempunyai fungsi
yang berbeda yakni Batak Karo adalah sebagai rumah tinggal untuk beberapa
keluarga, sedangkan Lobo dipergunakan untuk pertemuan warga dan penerimaan
tamu-tamu penting dalam masyarakat, walaupun demikian bentuk ini sangat
dipengaruhi oleh kondisi alam setempat. Alam Ngata Toro dan alam Batak Karo
mempunyai persamaan berada pada daerah yang tinggi atau pegunungan. Atap yang
lebar memberikan pengertian akan kebutuhan perlindungan terhadap matahari dan
hujan yang cukup banyak dan panas di pegunungan yang cukup menyengat pada
siang hari, sehingga atap besar diperlukan guna memberi pernaungan
Gambar 4
bentuk rumah Batak karo dan Lobo, atap sebagai ungkapan pernaungan arsitektur tropis
lembab.
Dari beberapa contoh di atas nilai kesemestaan terasa sekali selalu muncul ketika
eksekusi dalam bentuk mempunyai kesamaan. Kesamaan yang di artikan sebagai
kesemestaan memperlihatkan cara berpikir dan pengetahuan yang sama walaupun
unsur lokalitas tetap menjadi ciri yang dapat membedakan antara keduanya atau lebih.
Antara struktur dan detail konstruksi seringkali tidak dapat dipisahkan dalam
tinjauannya,
bahkan kadang menjadi satu kesatuan yang utuh. Dalam beberapa kasus detail-detail
konstruksi merupakan bagian yang erat hubungannya dengan pengetahuan dan
kemampuan teknologi yang dipunyai masyarakatnya, bahkan sampai pada
kepercayaan yang dianutnya. Kesamaan prinsip struktur pada bangunan antara satu
daerah dengan daerah lainnya dikarenakan oleh kondisi geologis alam, ketersediaan
bahan dan pengetahuan terhadap konsep berteduh (secara prinsip),
sehingga bukan merupakan perlindungan semata terhadap gangguan alam tetapi
terlebih karena perlindungan terhadap cuaca. Sebagai contoh struktur yang
mempunyai kesamaan adalah struktur bangunan rumah Jawa Joglo dengan bangunan
Uma di Sumba. Keduanya mempunyai empat saka guru atau empat tiang utama
sebagai struktur utamanya. Hal ini termauk juga bagaimana balok-balok melintang
diatas saka guru merupakan beban yang memperberat struktur, sehingga tahan
terhadap gaya lateral.
Gambar 5
struktur utama rumah Jawa dan rumah Sumba, dengan empat saka guru dan penyelesaian
pembebanan pada bagian atas untuk menahan gaya lateral
Saat ini dunia pendidikan arsitektur di Indonesia tengah di ramaikan dengan hadirnya
sosok warna arsitektur, yakni nusantara. Kehadirannya telah mendapat sambutan yang
beragam, ada yang menganggap sebuah hal biasa, ada yang melihat sebagai
kemunduran, ada juga sebagai pencerahan arsitektur yang menjadi masa depan
arsitektur Indonesia. Tanpa mengetahui lebih mendalam apa itu dan bagaimanakah
arsitektur Nusantara niscaya kita akan kesulitan melihatnya. Guna mengenal lebih
dekat maka kita lihat dahulu beberapa hal tentang arsitektur Nusantara melalui apa itu
arsitektur Nusantara dan cara pandangnya.
1. Indonesia oleh UNESCO telah diakui dan ditetapkan sebagai negara dengan
peninggalan budaya paling banyak, kita kaya ragam budaya 570-an rumah adat
tersebar di 17.000-an pulau dengan 570 rumah adat, berarti kita kaya akan produk
budaya.
2. Kita hidup di antara ring of fire dimana sesar gempa bumi aktif berada di kepulauan
Indonesia sehingga banyak pembelajaran tentang arsitektur nusantara yang relefan
untuk masa kini
3. Kita hidup di negara beriklim dua musim, negara kita hanya ada musim hujan dan
musim kemarau. Kalau kita melihat karakter tersebut bukanlah kita ini mensyaratkan
menghuni bebas kena panas dan hujan, dengan kata lain kita ini hidup ini hidup
bernaung, berarti atap menjadi syarat minimal jika kita berarsitektur.
2. Karena lama kurang dibahas sehingga arsitektur nusantara menjadi terkesan sangat
kuno dan ketinggalan jaman, namun menyimpan banyak keunikan.
Pernyataan Pak Galih (Alm) :, ”Kita memiliki laboratorium paling lengkap di dunia,
tinggal bagaimana kita mempelajari’’ Ada baiknya untuk melihat secara dekat perlu
pembahasan apa itu arsitektur Nusantara. Globalisasi adalah kesempatan untuk
mengglobalkan arsitektur Nusantara, untuk menjadikan arsitektur Nusantara sebagai
sumbangan internasional dibidang arsitektur (Prijotomo. 2004: 7). Arsitektur Nusantara
dibangun sebagai sebuah pengetahuan yang dilandaskan dan dipangkalkan dari
filsafat, ilmu dan pengetahuan arsitektur.
Sebuah tulisan menarik, ternyata salah satu penyebab kerusakan arsitektur nusantara
adalah sehubungan dengan lamanya penjajahan. Semula setiap pembangunan di
Indonesia awalnya didasarkan atas prasarat kedewaan, seperti pada keraton, konsep
ini diwujudkan dan merupakan hal yang pantas ditiru dan di perbaharui konsep sudah
lama nyaris hilang oleh penjajahan Belanda atas arsitektur Indonesia.
Pendidikan arsitektur pertama kali ada di ITB tahun 1950 disusun atas dasar kurikulum
yang berasal dari Belanda sehingga kurang sesuai dengan kondisi Indonesia.
Kurikulum berorientasi pada Barat, dikombinasi dengan para dosen hasil didikan Barat
(Frick: 1997: 3) kadang cukup menghambat perkembangan arsitektur bercirikan
Nusantara. Guna melihat dari dekat tentang karakter arsitektur Nusantara, maka perlu
diurai atas beberapa aspek dasar arsitektur nusantara (disarikan dan dikembangkan
dari berbagai tulisan Prijotomo):
1. Geografis, melibatkan lautan dan daratan. Kita hidup di negara kepulauan Nusanara
dengan 17.000-an pulau dan 70% lautan dan 30% daratan, tentunya lautan juga
menjadi fokus kajian.
2. Iklim, dua musim, panas dan hujan. Kita hidup di negara dengan dua musim, musim
hujan dan musim kemarau, yang keduanya merujuk pada bagaimana kita tetap bisa
hidup dengan dua sifat iklim tersebut.
3. Sifat dengan alam, pernaungan Menyadari sifat alam di negara tropis maka
bagaimana kita menyiasatinya, sehingga istilah pernaungan, payung serta shelter
menjadi prasarat agar kita secara minimal terbebas dari segala unsur negarif dari sifat
alam. Logikanya sebuah bangunan sebuah struktur bertiang dan beratap tapi tidak
berdinding. Serta berselimut alam
5. Tampang, bersolek diluar Tidak ada perbedaan perlakuan hidup di dalam dan di luar
rumah, sehingga kehidupan manusia di luar pun dipandang sebagai proses
berarsitektur. tampangpun menjadi obyek saat kita di luar.
6. Dilalui jalur gempa bumi, bangunan aman gempa. Kepulauan Nusantara dilalui
banyak jalur gempa bumi, sering kali terjadi gempa bumi dan memakan korban
manusia. Arsitektur Nusantara pada umumnya menggunakan struktur bergoyang,
secara visual bisa kita jumpai konstruksi ikat, sambungan pen lubang dan pasak, jenis-
jenis konstruksi ini memungkinkan struktur bergoyang pada saat terjadi gempa bumi.
7. Kelembapan tinggi, Curah hujan yang tinggi menyebabkan kelembapan dan butuh
banyak resapan dan ketika panas menyengat maka air yang meresap didalam tanah
dapat dikembalikan keudara yang panas melalui penguapan, mengapa dahulu kita
menerapkan rumah panggung sebagai karakter arsitektur ? Serangkaian hal ihwal
berikut ini dicoba untuk dimunculkan sebagai penegas dan pemastian atas perbedaan
arsitektur Nusantara dan arsitektur tradisional. Arsitektur Nusantara dibangun sebagai
sebuah pengetahuan yang dilandaskan dan dipangkalkan dari filsafat, ilmu
pengetahuan arsitektur.
Profesor Josef Prijotomo menyampaikan secara singkat butir-butir yang perlu untuk
dipahami mengenai Arsitektur Nusantara. Butir-butir tersebut berupaya saya
interpretasikan menjadi sebuah tulisan, sebagai pertimbangan bagaimana pola pikir
(mindset) mengenai Arsitektur Nusantara terhadap pola pikir yang tidak berlandaskan
Arsitektur Nusantara. Memang dalam penginterpretasian ini terjadi sebuah perubahan
pemahaman besar terhadap pengertian arsitektur yang dalam pendidikan arsitektur di
Indonesia sampai dengan saat ini selalu mengunggulkan arsitektur
Barat/Eropa/Vitruvian dan menganak-tirikan arsitektur lokal di Indonesia/Nusantara.
Arsitektur berkaitan dengan budaya, jika sebagian budaya Malaysia di utara pulau
kalimantan kemudian sama dengan budaya Indonesia di Kalimantan Utara, maka hal
tersebut tidak terpengaruh dengan kekuasaan politis sebuah wilayah negara. Misalnya
jika arsitektur vernakular di Pulau Sebatik itu memiliki identitas tertentu, maka Pulau
Sebatik sisi Utara yang merupakan bagian dari wilayah Malaysia dengan Pulau Sebatik
di sisi Selatan yang merupakan bagian dari wilayah Indonesia akan memiliki arsitektur
vernakular yang tidak berbeda. Jika menggunakan istilah Arsitektur Nusantara, maka
tidak lagi dipikirkan wilayah negara, tetapi wilayah budaya, sehingga arsitektur
vernakular di pulau sebatik sisi Utara maupun sisi Selatan tetap jelas teridentifikasi
sebagai bagian dari Arsitektur Nusantara. Sama sekali istilah Arsitektur Nusantara tidak
dimaksudkan untuk melakukan klaim apapun terhadap urusan negara, justru sebaliknya
Arsitektur Nusantara bisa mendekatkan negara yang berbeda untuk tetap menjaga
persaudaraan sebagai masyarakat yang memiliki budaya yang sama.
Kita perlu memikirkan apakah pembangunan yang dilakukan untuk Candi Borobudur
tidak memiliki kesetaraan dengan Arsitektur Klasik yang ada di Yunani/Romawi.
Langgam-langgam yang terdapat pada Arsitektur Klasik berupa kolom tipe Ionic, Doria
dan Corinthian dipergunakan terus menerus di Eropa secara turun temurun sampai
ratusan tahun. Di sisi lain penggunaan gapura bentar, gapura paduraksa, komposisi
antara kala dan makara juga terpakai dari candi borobudur abad ke 8 di masa Medang
Kamulan juga turun temurun terpakai sampai pada bentuk di Candi Penataran pada
abad ke 14 di masa Majapahit. Sepertinya memang arsitektur klasik dari Yunani yang
kemudian terpakai di Eropa memiliki kesetaraan dengan arsitektur di masa Kerajaan
Hindu Budha, hanya saja ketika Portugis mulai datang ke Nusantara, dilanjutkan
dengan Belanda, maka langgam Arsitektur Klasik dari Eropa ini dibawa pula dan
ditanamkan di bumi pertiwi sampai sekarang. Langgam mengenai gapura bentar,
gapura paduraksa dan kala serta makara menjadi berhenti dan berganti dengan
langgam Arsitektur Klasik dari Eropa tersebut di negara kita.
Sungguh hal yang sulit menjelaskan perbedaan antara pola pikir Arsitektur Nusantara
dengan pola pikir Arsitektur Barat/Eropa/Vitruvian jika kita tidak pernah membuka
pemahaman bahwa kita memiliki sejarah yang berbeda. Apalagi ilmu Arsitektur
Barat/Eropa/Vitruvian itulah yang telah menjadi dasar dari kita dalam berpikir arsitektur
karena hal itu yang diajarkan di pendidikan arsitektur kita. Jelas-jelas bahwa bangunan
Rumah Bolon yang ada di Batak tidak didesain dengan dasar Arsitektur
Barat/Eropa/Vitruvian masih terpakai dan terbangun sampai sekarang, walaupun di sisi
lain arsitektur yang ada di perkotaan sudah sama sekali tidak melanjutkan tradisi dan
tetap menggunakan dasar berarsitektur dari ilmu Arsitektur Barat/Eropa/Vitruvian. Akan
perlu banyak penelitian untuk membukukan tradisi lisan dalam berarsitektur dari para
undagi, para kalang, para kepala tukang arsitektur tradisional agar bisa merumuskan
Arsitektur Nusantara. Penulisan yang ditujukan sebagai dasar dari metoda desain
arsitektur yang berlandaskan filsafat dan sains, bukan penulisan antropologi yang akan
membuatnya berhenti sebagai produk budaya saja. Saat melihat rumah panggung
tradisional jangan hanya berpikir hal tersebut dibuat meniru rumah tradisional lain,
tetapi perlu dipikirkan bahwa hal tersebut adalah desain yang dipertimbangkan untuk
menghindari binatang buas yang berjalan di tanah. Atau lebih mendalam lagi bisa
dihitung dan diukur bagaimana rumah panggung tersebut sengaja di desain untuk
mengantisipasi kelembaban udara. Selanjutnya bisa ada penelitian yang
mempertimbangkan kearifan efektifitas penggunaan bahan serta kekuatan konstruksi
hingga tidak lagi digunakan bangunan panggung tetapi menggunakan bangunan
dengan bebatur yang tinggi. Contoh-contoh ini adalah desain arsitektur yang
mempertimbangkan filsafat dan sains, bukan hanya tradisi yang melanjutkan untuk
meniru bangunan yang sudah ada saja.
Jika kita mau mempertimbangkan lagi, bisa dibedakan antara penggunaan kuda-kuda
dari bangunan yang dibuat berdasarkan ilmu konstruksi Arsitektur
Barat/Eropa/Vitruvian dengan bangunan tradisional Nusantara yang tanpa kuda-kuda.
Atap bangunan tradisional Nusantara lebih menyerupai konstruksi tenda yang disangga
tiang agar berdiri. Tenda tersebut diisi dengan susunan atap berupa genting atau sirap
kayu. Kita bisa mengamati pada bangunan tradisional Bali bahwa rerangka atap
bukanlah bidang yang lemah dari rangkaian usuk/reng hingga perlu ditopang kuda-kuda
melalui gording/blandar. Bahkan tanpa gording/blandar maka atap bangunan bali dibuat
dengan usuk/reng yang disusun sedemikian rapat sehingga menjadi bidang yang kuat.
Lebih mendalam lagi kita bisa mengamati bagaimana bangunan tradisional dengan
desain yang dipikirkan sejak awal bangunan tersebut dibuat sudah ada upaya untuk
mengantisipasi gempa. Mengantisipasi bukan dengan melawannya, tetapi dengan
mengikutinya sehingga sambungan-sambungan bangunan juga bersifat fleksibel.
Sambungan yang tidak rapat tetapi longgar, sambungan dengan konstruksi engsel dan
bukan konstruksi portal. Demikian banyak yang bisa dituliskan, dirumuskan dan
dijadikan dasar sebagai ilmu desain Arsitektur Nusantara.
Kearifan lokal yang ditinjau dari segi budaya di mana para kepala tukang arsitektur
tradisional hanya meniru bangunan yang sudah ada tentu akan membuat keserupaan
bangunan saja. Akan tetapi kenyataannya bangunan tradisional tersebut jika diamati
lebih dalam sebenarnya tidak benar-benar serupa. Ketidak serupaan tersebut bukan
hanya terjadi apa adanya, tetapi dibuat dengan berbagai pemikiran. Sampai pada hal
yang paling detail mengenai ornamentasi, contohnya dekorasi dan warna dari rumah
Gorga di Batak saja ke-bhineka-rupa-an tersebut terjadi disesuaikan dengan karakter
dari penghuninya. Penyesuaian karakter ukiran dan warna tersebut bukan hanya
dengan pertimbangan estetika atau selera penghuni saja, tetapi lebih mendalam
disesuaikan dengan aspek keyakinan mengenai ukiran magis dan warnanya agar
penghuni bisa nyenyak tidur dan berkehidupan yang lebih baik.
kita perlu memahami betapa sulitnya mengembangkan Arsitektur Nusantara karena
beragam anggapan-anggapan yang timbul. Anggapan bahwa arsitektur nusantara
sama dengan arsitektur tradisional/vernakular di Nusantara membuat kita bertanya-
tanya hal baru apa yang kita dapat dari Arsitektur Nusantara, toh hal tersebut sudah
berlangsung di masa lalu dan berganti dengan arsitektur modern yang lebih sesuai
dengan kehidupan kita sekarang. Anggapan bahwa mengusung Arsitektur Nusantara
hanyalah romantisme masa lalu yang ingin kita hadirkan di masa kini saja, tanpa kita
mau mempertimbangkan bahwa desain dengan mindset Arsitektur Nusantara yang
akan membuat kita sebanding dengan Arsitektur Barat/Eropa/Vitruvian. Sebanding di
sini dimaksudkan untuk menjajarkan apa yang telah kita miliki dari para leluhur
Nusantara dengan apa yang telah dimiliki dari para pemikir Arsitektur
Barat/Eropa/Vitruvian. Keinginan untuk menjajarkan bukan berarti menolak Arsitektur
Barat/Eropa/Vitruvian¸ tetapi lebih cenderung merupakan upaya untuk memikirkan
kembali, memfilter, sampai dengan mengakulturasikan antara Arsitektur
Barat/Eropa/Vitruvian dengan Arsitektur Lokal di Nusantara. Memang perlu dicari
alasan yang lebih baik mengenai perlunya Arsitektur Nusantara ini dianalisa dan
dipahami, jika tidak ada alasan yang lebih baik maka Arsitektur Nusantara ini hanya
akan menjadi wacana yang tidak penting untuk diajarkan dalam pendidikan arsitektur di
Negara Kita. Akan tetapi jika kita masih mau menjaga harga diri sebagai bangsa yang
juga sudah memiliki filsafat dan sains yang tinggi dalam bidang arsitektur, maka
Arsitektur Nusantara akan menjadi wahana yang tepat sebagai ajang penelitian dan
perintisan karir dalam bidang arsitektur.
TUGAS
PERKEMBANGAN ARSITEKTUR II
OLEH :
KELAS : C2
JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
MAKASSAR
2018