Anda di halaman 1dari 24

ARSITEKTUR NUSANTARA

Definisi Arsitektur Nusantara


Arsitektur adalah seni dan ilmu dalam merancang bangunan. Dalam artian yang
lebih luas, arsitektur mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan
binaan, mulai dari level makro yaitu perencanaan kota, perancangan perkotaan,
arsitektur lansekap, hingga ke level mikro yaitu desain bangunan, desain perabot dan
desain produk.

Sedangkan Nusantara merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan


wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatera sampai Papua, yang sekarang
sebagian besar merupakan wilayah negara Indonesia. Kata ini tercatat pertama kali
dalam literatur berbahasa Jawa Pertengahan (abad ke-12 hingga ke-16) untuk
menggambarkan konsep kenegaraan yang dianut Majapahit. Setelah sempat
terlupakan, pada awal abad ke-20 istilah ini dihidupkan kembali oleh Ki Hajar
Dewantara sebagai salah satu nama alternatif untuk negara merdeka pelanjut Hindia
Belanda yang belum terwujud. Ketika penggunaan nama "Indonesia" (berarti Kepulauan
Hindia) disetujui untuk dipakai untuk ide itu, kata Nusantara tetap dipakai sebagai
sinonim untuk kepulauan Indonesia. Pengertian ini sampai sekarang dipakai di
Indonesia. Akibat perkembangan politik selanjutnya, istilah ini kemudian dipakai pula
untuk menggambarkan kesatuan geografi-antropologi kepulauan yang terletak di antara
benua Asia dan Australia, termasuk Semenanjung Malaya namun biasanya tidak
mencakup Filipina. Dalam pengertian terakhir ini, Nusantara merupakan padanan bagi
Kepulauan Melayu (Malay Archipelago), suatu istilah yang populer pada akhir abad ke-
19 sampai awal abad ke-20, terutama dalam literatur berbahasa Inggris.

Jadi, Arsitektur Nusantara adalah sebuah ilmu seni arsitektural yang berfokus
pada potensi-potensi dari kebudayaan , tradisi , serta kondisi iklim di daerah negara
kepulauan Indonesia.
Letak Geografis dan Iklim Indonesia

Secara geografis, nusantara beriklim tropis sesuai dengan letaknya


yang melintang di sepanjang garis khatulistiwa. Dataran Indonesia memiliki luasan
sekitar 1.902.000 km²,terletak antara 6 garis lintang utara dan 11 garis lintang selatan
serta 95 dan 140 garis bujur timur.Dataran ini terbagi menjadi 4 satuan geografis, yaitu
kepulauan Sunda Besar (Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi), kepulauan Sunda
Kecil (Lombok, Sumba, Sumbawa,
Komodo, Flores, Alor, Sayu, dan Lembata), kepulauan Maluku (Halmahera,
Ternate, Tidore, Seram, dan Ambon), dan Irian Jaya beserta kepulauan Aru.
Indonesia termasuk dalam Negara beriklim tropis
lembab dengan ciri-ciri sebagai berikut:
 Suhu udara rata-rata cukup tinggi (18-35 C)
 Variasi iklim kecil, perbedaan suhu maksimum dan minimum kecil
 Radiasi matahari cukup tinggi, langit cenderung berawan
 Kelembaban Tinggi (di atas 60%)
 Kecepatan angin relatif rendah, sebagai contoh kecepatan angin di Jakarta
dalam satu hari berkisar antara 1 m/s – 4 m/s.
 Curah hujan tinggi (1500-5000 mm/thn)
 Habitat yang baik untuk perkembangbiakan flora dan fauna (banyak serangga)
Negara beriklim tropis lembab memiliki beberapa masalah yang umumnya terjadi pada
bangunan antara lain:
 Panas yang tidak menyenangkan dan hujan yang cukup lebat.
 Penguapan sedikit karena gerakan udara lambat.
 Perlu perlindungan terhadap radiasi matahari, hujan,serangga,dan disekitar
lautan perlu perlindungan terhadap angin keras.
Dari masalah-masalah di atas,maka hal-hal yang perlu diperhatikan pada bangunan di
Negara beriklim tropis lembab adalah:
 Bangunan sebaiknya terbuka, dengan jarak yang cukup antara masing-
masing bangunan untuk menjamin sirkulasi udara yang baik.
 Orientasi utara-selatan, untuk mencegah pemanasan fasad yang lebih lebar.
 Ruang sekitar bangunan diberi peneduh, tanpa mengganggu sirkulasi udara.
 Persiapan penyaluran air hujan dari atap dan halaman.
 Bangunan ringan dengan daya serap panas yang rendah.
 Teritisan yang lebar pada bangunan guna melindungi penghuni bangunan dari
hujan yang berlangsung sepanjang tahun dan juga dari terik matahari yang
menyengat.
Iklim secara tidak langsung dapat membentuk kebiasaan hidupmasyarakatnya.
Dalam iklim tropis, manusia akan merasa nyaman, baik ketika
 Berada di luar maupun di dalam bangunan.Berbeda dengan negara-negara
beriklim dingin. Sehingga masyarakat Indonesia senang menikmati berbincang
dengan rekan-rekannya di luar bangunan. Pengaruh iklim tersebut akan
mempengaruhi parancangan ruang dalam dan ruang luar bangunan. Sebagai
contoh, pada rumah tradisional Indonesia umumnya memiliki serambi depan
yang terbuka,hal ini menjawab perilaku masyarakat Indonesia akan
kesenangannya dengan ruang terbuka.

Keragaman Arsitektur Tradisional Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar 18.018 buah pulau
tersebar di sekitar khatulistiwa. Diantara puluhan ribu pulau tersebut terdapat 5 pulau
besar, yaitu Jawa, Sumatra,Kalimantan,Sulawesi dan
Irian Jaya.Pulau Jawa merupakan pulau dengan jumlah penduduk
terpadat, dimana sekitar 65% populasi Indonesia hidup di pulau ini.Banyaknya jumlah
pulau Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki keberagaman etnis, dimana masing-
masing etnis memiliki keunikan adat istiadat dan kebudayaan yang direfleksikan dalam
keunikan arsitektur lokal.Keberagaman arsitektur lokal merupakan kekayaan yang tiada
tara bagi Indonesia.

Setiap propinsi memiliki ciri khas tersendiri dari rumah adatnya. Ciri tersebut tercermin
dalam pola perkampungan, rumah dan tatanan ruang, serta teknologi bangunan (sistem
sturktur dan bahan bangunan).
 Pola perkampungan
Tipikal perkampungan di Indonesia pada dasarnya menggambarkan respon terhadap
kondisi alam, tatanan sosial, system bercocok tanam, dan kosmologi masyarakat yang
mendiaminya. Di
Indonesia terdapat dua tipe tatanan permukiman dan rumah dari perkampungan
tradisional Indonesia, yaitu linear dan konsentris. Kampung-kampung dengan tatanan
linear umumnya terdapat dipesisir Pantai Indonesia dan juga di pedalaman Sumatera,
Nias, Kalimantan,Sulawesi, Bali dan beberapa wilayah di Jawa.
Di Sumatera contohnya adalah pola perkampungan masyarakat Batak yang berjejer
lurus menghadap jalan desa, di Jawa contohnya adalah pola perkampungan
masyarakat Betawi yang rumah-rumahnya berjejer menghadap sungai. Di Nias,
bangunan-bangunan pada kampungnya
Berjejer lurus saling berhadapan, dimana diantara barisan bangunan tersebut terdapat
ruang bersama untuk berkumpul, kegiatan ritual keagamaan atau acara kesenian.
Kampung dengan pola linear menggambarkan demokrasi dari distribusi kekuasaan
dengan strata sosial lebih sederhana.
Perkampungan dengan pola kosentris terdapat di Flores, Sumba dan Jawa Tengah.
Tatanan perkampungan seperti ini memiliki bagian tengah yang dianggap sacral dan
penting, misalnya ruang terbuka tempat berkumpul, batu megalith, tugu atau kuburan
para nenek moyang.Orientasi dari barisan rumah menghadap ke titik tersebut yang
terdiri dari beberapa layer berdasarkan hirarki atau status social
masyarakat.Kampung dengan pola kosentris menyimbolkan penerapan sistem
pemerintahan pada kekuatan tunggal yang memusat. Terdapat strata sosial agak
kompleks dengan kekuatan terpusat pada satu orang, grup atau kelompok.
B.Rumah dan tatanan ruang
Konsep tatanan ruang rumah tradisonal Indonesia di bagi menjadi tatanan horizontal
dan vertikal. Untuk tatanan horizontal, rumah tradisional Indonesian umumnya dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu bagian depan (publik), tengah (private), dan belakang
(servis).Bagian depan yang merupakan bagian publik umumnya diwadahi oleh serambi
depan, bagian tengah terdapat kamar-kamar, dan bagian belakang terdapat dapur.
Secara vertikal, pembagian ruang terdiri dari bagian atas,tengah,bawah.Ruang atas
merupakan ruang paling sakral dan private yang biasa digunakan untuk menyimpan
benda-benda berharga dan keramat, bagian tengah merupakan bagian untuk
kehidupan manusia,dan bagian bawah untuk binatang ternak atau gudang.Dari segi
bentuk dan morfologi ruang, umumnya rumah
Tradisional Indonesia umumnya berbentuk persegi panjang dan bujur
sangkar, seperti rumah di Aceh, Melayu, Batak, Nias Selatan, Mentawai, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Sumba. Namun ada juga yang menggunakan bentuk
lingkaran dan elips, seperti rumah di Nias Utara, Lombok, dan Papua. Bentuk dan
organisasi ruang bergantung pada kebiasaan dan adat istiadat setempat. Beberapa
rumah tradisional Indonesia merupakan tipe rumah komunal artinya terdapat beberapa
generasi yang berbeda, tinggal dalam satu rumah besar seperti rumah Batak Toba,
Karo, Minangkabau, Mentawai, Kalimantan, Lio, Sumba.

c. Teknologi bangunan

Salah satu ciri arsitektur tradisional Indonesia adalah menggunakan bahan yang alami
dan teknik konstruksi yang sederhana dengan penyusunan tiang dan balok atau biasa
disebut dengan struktur rangka. Rumah tradisionalnya umumnya berbentuk panggung,
dengan jarak dari tanah ke lantai bangunan bervariasi, sesuai dengan kebudayaan
masing-masing daerah. Rumah-rumah tradisional Indonesia dibangun oleh masyarakat
setempat dengan kemampuan akan konstruksi dan bahan yang dipelajari secara
turun temurun dan didapat dari lokasi setempat. Hasil karya ‘rakyat’ ini merefleksikan
sebuah masyarakat yang akrab dengan alamnya, kepercayaannya, dan norma-
normanya dengan bijaksana.

Bentuk, proporsi, dan dekorasinya merupakan simbol-simbol yang berarti. Mereka


tidak meletakkan tujuan untuk suatu keindahan tetapi menciptakan ruang dengan
prinsip-prinsip kehidupan menghadirkan bentuk struktur yang telah teruji oleh alam.
Bahan bangunan yang digunakan pada rumah tradisional Indonesia umumnya
menggunakan bahan lokal seperti bambu, kayu, alang-alang untuk atap, nipa, anyaman
rotan, dll.

 Ciri Arsitektur Nusantara Berdasarkan Pengaruh Iklim dan Arsitektur Tradisional


Indonesia

Dari keberagaman tipe arsitektur tradisional Indonesia, jika ditelusuri terdapat beberapa
persamaan yang dapat dijadikan ciri dari arsitektur Indonesia, antara lain:

 Sebagian besar rumah tradisional Indonesia menggunakan sistem rumah


panggung, sebagai adaptasi terhadap iklim dan geografis.
 Beranda atau teras yang terdapat pada mayoritas rumah tradisional Indonesia
merupakan ruang perantara antara ruang dalam dan ruang luar, cocok untuk
diterapkan di Indonesia yang beriklim tropis lembab dan juga pas untuk
mewadahi perilaku masyarakatnya yang senang berkumpul dan bercengkrama.

Pola perkampungan

 Tatanan massa bangunan di perkampungan Indonesia mayoritas menggunakan


pola linear, yang kini mulai dikombinasikan dengan pola lainnya.

Tatanan ruang

 Mayoritas rumah tradisional Indonesia, terutama di daerah Jawa, tatanan ruang


horizontal pada rumah terbagi menjadi 3bagian yaitu, bagian kepala (publik),
bagian badan (privat)dan bagian kaki (servis). Servis (kaki) Private (badan)
Publik (kepala)

Material

Material yang digunakan pada rumah tradisional Indonesia umumnya menggunakan


bahan-bahan lokal seperti kayu dan bambu. Kesimpulan Mengenai Arsitektur
Nusantara Keragaman budaya yang dimiliki Indonesia serta terpisah-pisahnya rakyat
Indonesia dalam beribu-ribu kepulauan, disatukan dalam satu kesamaan, yaitu
iklim iklim tropis yang cenderung panas dan lembab. Iklim tropis akan berpengaruh
pada perilaku masyarakat dan bentuk bangunannya, dimana dari sekian banyak rumah
tradisional Indonesia,semuanya menanggapi iklim tropis lembab Indonesia.Arsitektur
nusantara dapat disimpulkan sebagai arsitektur yang tanggap akan iklim tropis lembab
nusantara, dan budaya masyarakatnya,sehingga dengan memadukan lokalitas bangsa
Indonesia dan arsitektur masa kini, akan muncul suatu konsep arsitektur yang
beridentitaskan Indonesia.

Sejarah Perkembangan Arsitektur Indonesia

Perkembangan kebudayaan erat kaitannya dengan sejarah kebangsaan. Secara umum


periodisasi sejarah budaya Indonesia dibagi atas tiga bagian besar yaitu Zaman Hindu-
Budha, Zaman Islamisasi dan Zaman Modern, dengan proses oksidentalisasi.
Sebenarnya terdapat satu zaman lagi sebelum zaman Hindu Buddha yaitu Zaman
prasejarah akan tetapi pembahasan serta diskusi tentang zaman ini tidak banyak
contoh yang tersisa dalam bidang arsitektur terutama pada masa prasejarah awal.1
Perkembangan arsitektur mulai dari masa Prasejarah Akhir yang ditandai dengan
ditemukannya kubur batu di Pasemah, Gunung Kidul dan Bondowoso. Kemudian situs-
situs megalitikum punden berundak di Leuwilang, Matesih, Pasirangin. Sebagaimana
diketahui bahwa sejarah budaya yang melahirkan peninggalan budaya termasuk
arsitektur sejalan dengan periodisasi tersebut diatas, maka dapat dikategorikan sebagai
arsitektur percandian, arsitektur selama peradaban Islam (bisa termasuk arsitektur lokal
atau tradisional, dan pra modern) dan arsitektur modern (termasuk arsitektur kolonial
dan pasca kolonial). Keberadaan arsitektur lokal yang identik dengan bangunan
panggung berstruktur kayu telah ada sebelum atau bersamaan dengan pembangunan
candi-candi. Hal ini ditunjukkan dari berbagai keterangan pada relief candi-candi
dimana terdapat informasi tentang arsitektur lokal/domestik atau tradisional atau
vernakular nusantara. Akan tetapi jikalau menilik usia dari bangunan vernakular yang

Ada di Indonesia,tidak ada yang lebih dari 150 tahun.

Pembahasan pada buku ajar ini tentang perkembangan arsitektur Indonesia dapat
diurutkan sebagai berikut :

 Arsitektur vernakular
 Arsitektur klasik atau candi
 Arsitektur pada masa perabadan atau kebudayaan Islam
 Arsitektur Kolonial
 Arsitektur Modern (pasca kemerdekaan)

Pengaruh Terhadap Arsitektur Indonesia


Dampak yang pertama dari globalisasi bagi arsitektur adalah menghilangnya
budaya atau tradisi yang ada di masyarakat dan diganti dengan sesuatu yang umum
atau global, kalau para arsitek dan kliennya tidak memandang tradisi sebagai suatu
yang layak dipertahankan. dan belum tentu sesuatu yang global itu sesuai dengan nilai-
nilai dalam masyarakat. Contoh hal ini dapat kita lihat pada rumah khas jogja yaitu
joglodi mana sekarang rumah itu sudah jarang kita jumpai di masyarakat dan diganti
dengan rumah-rumah yang minimalis.

Pada bidang perumahan juga terjadi akulturasi, dimana banyak rumah-rumah dalam
kompleks perumahan mengambil style Mediteranian, Klasik dan Minimalis. Sedikit
sekali yang menampilkan wajah kelokalan arsitekturnya.
Makin banyak pula kompleks-kompleks perumahan di Indonesia yang mengambil nama
berbau asing seperti : “San Diego”, “Raffles Garden”, “Rich Palace” dan lain-lain.
Bahkan di beberapa tempat ditemukan adanya pemakaian bentuk-bentuk yang
merupakan simbol negara lain seperti “Patung Liberty”, “Patung Bethoven” dan “Jam
Gadang London”, demi memburu predikat “modernisasi”, masyarakat rela
meninggalkan nilai-nilai kelokalannya.

Arsitektur Nusantara Sebagai Jati Diri Bangsa Indonesia

Indonesia memiliki budaya yang beraneka ragam yang tersebar di seluruh wilayahnya
yang berupa kepulauan.Sebagai sebuah negara kesatuan, Indonesia juga belum
memiliki identitas arsitektur kenegaraan, yang ada adalah arsitektur yang beraneka
ragam di masing-masing wilayah kepulauannya. Kata Nusantara terbentuk dari nusa
(pulau) dan antara, yang artinya adalah kepulauan, antar pulau. Karena itulah namanya
bukan Arsitektur Indonesia.
Sementara, arsitektur tradisional adalah arsitektur yang berasal dari tradisi atau adat
istiadat yang berlaku di masing-masing wilayah. Penggunaan istilah arsitektur
tradisional memiliki konsekuensi, yaitu penggunaannya harus sesuai dengan peraturan
tradisi yang berlaku di sebuah wilayah atau suku bangsa. Hal ini mengakibatkan
arsitektur tidak memiliki kesempatan untuk berkembang dan arsitektur hanya menjadi
romantisme masa lalu. Arsitektur tradisional adalah obyek studi bagi domain sejarah
maupun antropologi karena mempelajari bagaimana manusia-manusia di sebuah
wilayah atau suku bangsa berinteraksi dengan lingkungannya. Sementara dalam
domain arsitektur sendiri, yang dipelajari adalah seni bangunan termasuk dengan
dasar-dasar pemikiran, estetika, juga kemungkinan pengembangan ide di masa depan
dengan tetap berakar pada filosofi awal yang terdalam. Hal inilah yang melahirkan
Arsitektur Nusantara. Arsitektur yang bertuan rumah di wilayah Nusantara, dihidupkan
oleh masyarakat Nusantara dan menghidupi mereka dari waktu ke waktu.

Arsitektur Nusantara dibangun sebagai sebuah pengetahuan yang dilandaskan dan


dipangkalkan dari filsafat, ilmu dan pengetahuan arsitektur, dan dengan demikian
segenap pengetahuan yang ditumbuhkembangkan dan diwarisi dari antropologi,
etnologi dan geografi budaya diletakkan sebgai pengetahuan sekunder (atau bahkan
tersier).

Arsitektur Nusantara itu arsitektur pernaungan, bukan arsitektur perlindungan. Dengan


demikian, atap dan geladak menjadi unsur paling utama, pertama atau primer; dinding
tidak lagi primer tetapi sekunder.

Arsitektur Nusantara mendasarkan pemahamannya atas arsitektur anak bangsa


Nusantara pada pertama, kenyataan geoklimatik (kepulauan dan tropik lembab) serta
yang kedua adalah kenyataan tradisi tanpa tulisan. Di sini ihwal adat hingga upacara
dan artefak menjadi rekaman-rekaman pengetahuan arsitektur.

Proses rancang arsitektur Nusantara dilandasi oleh pemikiran rasional dan spiritual.
Masyarakat menghargai arsitek Nusantara sebagai tokoh yang menempa diri untuk
memperdalam ilmu rancang bangun dan memperkayanya dengan pengalaman
spiritual. Arsitek Nusantara adalah orang yang menghargai karua dan keahlian rekan
sesama arsitek serta karya-karya terdahulu dari leluhurnya dengan melakukan evolusi.

Merancang dengan potensi arsitektur Nusantara berarti mencari karakteristik arsitektur


dari sebuah wilayah geografis pulau-pulau yang tidak terbatasi oleh luasnya wilayah
suatu negara. Bahkan kegiatan tersebut membawa visi bagi terciptanya kerja sama
yang baik antara berbagai negara dalam bidang arsitektur. Menetapkan arsitektur
Nusantara sebagai sesuatu yang sulit dan berbeda dengan arsitektur masa kini akan
membuatnya semakin ditinggalkan oleh generasi muda arsitek Nusantara sendiri. Baik
asli maupun paduan, baik diterapkan dalam aspek rinupa maupun tanrinupa, karya
arsitektur masa kini yang sudah berusaha dirancang dengan penggalian adat dan
budaya Nusantara pantas disebut sebagai arsitektur Nusantara. Pada akhirnya tetap
diperlukan penilaian tentang arsitektur Nusantara yang lebih berkualitas atau tidak.
Penyetaraan dengan arsitektur Western hanya perlu dilakukan pada aspek artifisial
yang merupakan kegiatan akhir perancangan sedang aspek esensial perancangan
arsitektur Nusantara adalah hasil eksplorasi dari potensi yang ada di bumi Nusantara
sendiri.

Architectonic Pada Arsitektur Nusantara Sebagai Cerminan


Regionalisme Arsitektur Di Indonesia

Hasil dari penelitian ini merupakan sebuah perwujudan architectonic dari arsitektur
Nusantara yang merupakan cerminan dari regionalisme arsitektur di Indonesia
yang dipengaruhi oleh kesetempatan dan kesemestaan. Pengaruh inilah yang
menunjukkan akan regionalisme ke Nusantara an arsitektur yang berbeda dengan
regionalisme pada umumnya. Unsur kesemestaan dan kesetempatan mempunyai
peran penting dalam regionalisme arsitektur di Indonesia. Dari kekayaan perwujudan
architectonic ditemukan adanya benang merah pada penyelesaian baik detail
konstruksi dan struktur secara hakekat maupun bentuk secara garis besar. Sementara
itu pengetahuan lokal dan potensi lokal memberikan sentuhan penyelesesaian yang
beragam sesuai dengan kearifan lokal masyarakat setempat, sehingga pada setiap
daerah/ region mempunyai kekhasannya masing-masing dan inilah yang disebut
sebagai kesetempatan. Bineka Tunggal Ika tercermin dalam perwujudan architectonic
pada arsitektur Nusantara, berbeda tetapi tetap satu. Hal ini dapat ditunjukan melalui
pembahasan karya-karya arsitektur Nusantara dari beberapa daerah dengan
mempertajam pada bentuk dan detail konstruksi serta struktur secara arsitektural.

Bentuk merupakan perwujudan Architectonic yang mengandung nilai


kesemestaan dalam regionalisme arsitektur Nusantara.

Dalam pembahasan ditemukan adanya bentuk-bentuk arsitektural pada bangunan


rumah tinggal di beberapa daerah yang mempunyai kesamaan dalam bentuk dasar.
Hal ini dapat ditemukan dalam bentuk arsitektur rumah tinggal Jawa yang mempunyai
bentuk atap joglo dengan bentuk rumah tinggal Sumba yang disebut sebagai Uma.
Bentuk atap yang memusat di tengah dan yang disebut menara pada rumah sumba
memberikan fungsi pendinginan, karena udara panas dalam ruang akan tersedot
ke atas melalui lorong menara tersebut, sehingga udara akan terus bergerak dan ini
mengakibatkan ruangan menjadi dingin. Pemikiran ini rupanya dilatar belakangi oleh
kondisi alam yang panas kering. Sementara itu pada bentuk atap rumah Jawa yang
biasa disebut dengan Joglo, juga mempunyai menara tepat ditengah, akan tetapi
menara tersebut tidak setinggi Uma di Sumba. Dasar pemikirannya berbeda
dengan Uma, karena potensi alam dan lingkungannya berbeda. Jawa mempunyai
curah hujan yang cukup tinggi, sementara suhu udara panas tidak terlalu tinggi,
yang dibutuhkan adalah aliran udara yang cukup dengan memberikan pembukaan pada
ke empat

sisi dindingnya

Gambar 2

bentuk rumah Jawa dan


rumah Sumba, sama
tetapi beda.
Kesemestaan juga dapat dijumpai pada bentuk arsitektur rumah Batak Toba yang
disebut Banua dan Toraja yang disebut Tongkonan, keduanya mempunyai bentuk atap
melengkung di kedua ujungnya menjulang ke atas. Bentuk ini lebih didasarkan
pada orientasi yang mengarah ke gunung. Keduanya merupakan rumah panggung,
dengan kolong bagian bawah yang difungsikan sebagai tempat untuk hewan piaraan
dan tempat peralatan. Kemiripan kolong dengan penyelesaian bentuk yang
dikarenakan struktur menjadikan hal ini semakin memperkuat adanya nilai
kesemestaan yang sama antara rumah Batak Toba dan rumah Toraja (Tongkonan).

Gambar 3

bentuk rumah Batak Toba dengan Tongkonan, perhatikan pada bentuk atap dan kolongnya.

Demikian juga dengan bentuk arsitektur rumah Batak Karo dengan Lobo di
Ngata Toro Sulawesi Tengah. Bentuk atap, rumah panggung, bentuk dinding yang
melebar ke atas. Dari diskusi yang telah dilakukan keduanya mempunyai fungsi
yang berbeda yakni Batak Karo adalah sebagai rumah tinggal untuk beberapa
keluarga, sedangkan Lobo dipergunakan untuk pertemuan warga dan penerimaan
tamu-tamu penting dalam masyarakat, walaupun demikian bentuk ini sangat
dipengaruhi oleh kondisi alam setempat. Alam Ngata Toro dan alam Batak Karo
mempunyai persamaan berada pada daerah yang tinggi atau pegunungan. Atap yang
lebar memberikan pengertian akan kebutuhan perlindungan terhadap matahari dan
hujan yang cukup banyak dan panas di pegunungan yang cukup menyengat pada
siang hari, sehingga atap besar diperlukan guna memberi pernaungan
Gambar 4

bentuk rumah Batak karo dan Lobo, atap sebagai ungkapan pernaungan arsitektur tropis

lembab.

Dari beberapa contoh di atas nilai kesemestaan terasa sekali selalu muncul ketika
eksekusi dalam bentuk mempunyai kesamaan. Kesamaan yang di artikan sebagai
kesemestaan memperlihatkan cara berpikir dan pengetahuan yang sama walaupun
unsur lokalitas tetap menjadi ciri yang dapat membedakan antara keduanya atau lebih.

Struktur dan detail konstruksi mengandung nilai kesetempatan dan


kesemestaan pada perwujudan architectonic dalam arsitektur Nusantara.

Antara struktur dan detail konstruksi seringkali tidak dapat dipisahkan dalam
tinjauannya,

bahkan kadang menjadi satu kesatuan yang utuh. Dalam beberapa kasus detail-detail
konstruksi merupakan bagian yang erat hubungannya dengan pengetahuan dan
kemampuan teknologi yang dipunyai masyarakatnya, bahkan sampai pada
kepercayaan yang dianutnya. Kesamaan prinsip struktur pada bangunan antara satu
daerah dengan daerah lainnya dikarenakan oleh kondisi geologis alam, ketersediaan
bahan dan pengetahuan terhadap konsep berteduh (secara prinsip),
sehingga bukan merupakan perlindungan semata terhadap gangguan alam tetapi
terlebih karena perlindungan terhadap cuaca. Sebagai contoh struktur yang
mempunyai kesamaan adalah struktur bangunan rumah Jawa Joglo dengan bangunan
Uma di Sumba. Keduanya mempunyai empat saka guru atau empat tiang utama
sebagai struktur utamanya. Hal ini termauk juga bagaimana balok-balok melintang
diatas saka guru merupakan beban yang memperberat struktur, sehingga tahan
terhadap gaya lateral.

Gambar 5

struktur utama rumah Jawa dan rumah Sumba, dengan empat saka guru dan penyelesaian
pembebanan pada bagian atas untuk menahan gaya lateral

Mengenal Arsitektur Nusantara Lebih Mendalam

Saat ini dunia pendidikan arsitektur di Indonesia tengah di ramaikan dengan hadirnya
sosok warna arsitektur, yakni nusantara. Kehadirannya telah mendapat sambutan yang
beragam, ada yang menganggap sebuah hal biasa, ada yang melihat sebagai
kemunduran, ada juga sebagai pencerahan arsitektur yang menjadi masa depan
arsitektur Indonesia. Tanpa mengetahui lebih mendalam apa itu dan bagaimanakah
arsitektur Nusantara niscaya kita akan kesulitan melihatnya. Guna mengenal lebih
dekat maka kita lihat dahulu beberapa hal tentang arsitektur Nusantara melalui apa itu
arsitektur Nusantara dan cara pandangnya.

1. Indonesia oleh UNESCO telah diakui dan ditetapkan sebagai negara dengan
peninggalan budaya paling banyak, kita kaya ragam budaya 570-an rumah adat
tersebar di 17.000-an pulau dengan 570 rumah adat, berarti kita kaya akan produk
budaya.

2. Kita hidup di antara ring of fire dimana sesar gempa bumi aktif berada di kepulauan
Indonesia sehingga banyak pembelajaran tentang arsitektur nusantara yang relefan
untuk masa kini

3. Kita hidup di negara beriklim dua musim, negara kita hanya ada musim hujan dan
musim kemarau. Kalau kita melihat karakter tersebut bukanlah kita ini mensyaratkan
menghuni bebas kena panas dan hujan, dengan kata lain kita ini hidup ini hidup
bernaung, berarti atap menjadi syarat minimal jika kita berarsitektur.

Hal ikhwal tentang Arsitektur Nusantara

1. Arsitektur Nusantara, arsitektur Indonesia, arsitektur anak bangsa, tujuannya adalah


lebih mengenalkan akan arsitektur di Bumi Pertiwi sendiri bahkan ke mancanegara

2. Karena lama kurang dibahas sehingga arsitektur nusantara menjadi terkesan sangat
kuno dan ketinggalan jaman, namun menyimpan banyak keunikan.

3. Objek pembelajaran arsitektur nusantara dicapai melalui kasuskasus rumah adat


yang tersebar di Indonesia, sedang tujuan utama adalah bagaimana menyajikan karya
anak bangsa tersebut dalam bentuk mengkini/ modern. Kita tidak bisa mengungkap
arsitektur anak bangsa yang modern tanpa belajar dari rumahrumah adat yang ada di
Indonesia sebagai obyek kajian yang bisa dimodernkan.

Pernyataan Pak Galih (Alm) :, ”Kita memiliki laboratorium paling lengkap di dunia,
tinggal bagaimana kita mempelajari’’ Ada baiknya untuk melihat secara dekat perlu
pembahasan apa itu arsitektur Nusantara. Globalisasi adalah kesempatan untuk
mengglobalkan arsitektur Nusantara, untuk menjadikan arsitektur Nusantara sebagai
sumbangan internasional dibidang arsitektur (Prijotomo. 2004: 7). Arsitektur Nusantara
dibangun sebagai sebuah pengetahuan yang dilandaskan dan dipangkalkan dari
filsafat, ilmu dan pengetahuan arsitektur.

Mengenali dan belajar arsitektur Nusantara berarti memahami karakter kesetempatan,


termasuk di dalamnya iklim dwi musim dan kegempaan sebagai karakter pembentuk.
Jadi arsitektur Nusantara dilihat sebagai karakter arsitektur pernaungan, sehingga atap
menjadi unsur utama, pertama dan primer, dinding tidak lagi primer tetapi sekunder.
Arsitektur Nusantara bukanlah arsitektur tradisional, walaupun keduanya menunjuk
pada sosok arsitektur yang sama yakni arsitektur yang ditumbuhkembangkan oleh
demikian banyak anak bangsa atau suku bangsa di Indonesia. Serangkaian ikwal
berikut ini dicoba untuk dimunculkan sebagai penegas dan pemastian atas kebedaan
arsitektur Nusantara dari arsitektur tradisional.

Arsitektur Nusantara dibangun sebagai sebuah pengetahuan yang dilandaskan dan


dipangkalkan dari filsafat ilmu, ilmu dan pengetahuan arsitektur (Prijotomo. 2004: 9).
Mengapa selama ini arsitektur nusantara begitu tenggelam ?

Sebuah tulisan menarik, ternyata salah satu penyebab kerusakan arsitektur nusantara
adalah sehubungan dengan lamanya penjajahan. Semula setiap pembangunan di
Indonesia awalnya didasarkan atas prasarat kedewaan, seperti pada keraton, konsep
ini diwujudkan dan merupakan hal yang pantas ditiru dan di perbaharui konsep sudah
lama nyaris hilang oleh penjajahan Belanda atas arsitektur Indonesia.

Penjajahan ini mengakibatkan kekosongan dalam interpretasi simbolik dan kosmis


dalam bidang arsitektur dengan kerugian yang sampai saat ini belum dapat diperbaiki
(Frick. 1997: 63) Di dalam pendidikan arsitektur nampak lekat dengan pengaruh Barat
khususnya dalam proses desainnya, yang bermula dari penelusuran, pencarian
konsepkonsep, pembuatan diagram, studi bentuk yang akhirnya bermuara pada
perwujudan bentuk. Lain halnya dengan kebiasaan kita (Timur) dalam mendesain
adalah melalui proses-proses, mencoba, memperbaiki, meralat (Frick Heinz. 1997: 54),
inilah yang sebenarnya perlu di capai karena sebenarnya kita berasal dari arsitektur
tanpa tulis, sehingga sketsa arsitektur sebagai program inilah yang perlu
dikembangkan.

Pendidikan arsitektur pertama kali ada di ITB tahun 1950 disusun atas dasar kurikulum
yang berasal dari Belanda sehingga kurang sesuai dengan kondisi Indonesia.
Kurikulum berorientasi pada Barat, dikombinasi dengan para dosen hasil didikan Barat
(Frick: 1997: 3) kadang cukup menghambat perkembangan arsitektur bercirikan
Nusantara. Guna melihat dari dekat tentang karakter arsitektur Nusantara, maka perlu
diurai atas beberapa aspek dasar arsitektur nusantara (disarikan dan dikembangkan
dari berbagai tulisan Prijotomo):

1. Geografis, melibatkan lautan dan daratan. Kita hidup di negara kepulauan Nusanara
dengan 17.000-an pulau dan 70% lautan dan 30% daratan, tentunya lautan juga
menjadi fokus kajian.

2. Iklim, dua musim, panas dan hujan. Kita hidup di negara dengan dua musim, musim
hujan dan musim kemarau, yang keduanya merujuk pada bagaimana kita tetap bisa
hidup dengan dua sifat iklim tersebut.
3. Sifat dengan alam, pernaungan Menyadari sifat alam di negara tropis maka
bagaimana kita menyiasatinya, sehingga istilah pernaungan, payung serta shelter
menjadi prasarat agar kita secara minimal terbebas dari segala unsur negarif dari sifat
alam. Logikanya sebuah bangunan sebuah struktur bertiang dan beratap tapi tidak
berdinding. Serta berselimut alam

4. Material, arsitektur organic (kayu), pelestarian dan pengawetannya Bangunan


arsitektur nusantara melalui rumah-rumah adat terbuat dari kayu pada masa lalu
perapian digunakan untuk mengawetkan konstruksi. Sedang pelestariannya dilakukan
dengan cara mengganti sehingga bisa dikatakan sebagai kesementaraan.

5. Tampang, bersolek diluar Tidak ada perbedaan perlakuan hidup di dalam dan di luar
rumah, sehingga kehidupan manusia di luar pun dipandang sebagai proses
berarsitektur. tampangpun menjadi obyek saat kita di luar.

6. Dilalui jalur gempa bumi, bangunan aman gempa. Kepulauan Nusantara dilalui
banyak jalur gempa bumi, sering kali terjadi gempa bumi dan memakan korban
manusia. Arsitektur Nusantara pada umumnya menggunakan struktur bergoyang,
secara visual bisa kita jumpai konstruksi ikat, sambungan pen lubang dan pasak, jenis-
jenis konstruksi ini memungkinkan struktur bergoyang pada saat terjadi gempa bumi.

7. Kelembapan tinggi, Curah hujan yang tinggi menyebabkan kelembapan dan butuh
banyak resapan dan ketika panas menyengat maka air yang meresap didalam tanah
dapat dikembalikan keudara yang panas melalui penguapan, mengapa dahulu kita
menerapkan rumah panggung sebagai karakter arsitektur ? Serangkaian hal ihwal
berikut ini dicoba untuk dimunculkan sebagai penegas dan pemastian atas perbedaan
arsitektur Nusantara dan arsitektur tradisional. Arsitektur Nusantara dibangun sebagai
sebuah pengetahuan yang dilandaskan dan dipangkalkan dari filsafat, ilmu
pengetahuan arsitektur.

Jati Diri Arsitektur Nusantara

Profesor Josef Prijotomo menyampaikan secara singkat butir-butir yang perlu untuk
dipahami mengenai Arsitektur Nusantara. Butir-butir tersebut berupaya saya
interpretasikan menjadi sebuah tulisan, sebagai pertimbangan bagaimana pola pikir
(mindset) mengenai Arsitektur Nusantara terhadap pola pikir yang tidak berlandaskan
Arsitektur Nusantara. Memang dalam penginterpretasian ini terjadi sebuah perubahan
pemahaman besar terhadap pengertian arsitektur yang dalam pendidikan arsitektur di
Indonesia sampai dengan saat ini selalu mengunggulkan arsitektur
Barat/Eropa/Vitruvian dan menganak-tirikan arsitektur lokal di Indonesia/Nusantara.

Sebelum membahas butir-butir yang dikemukakan Profesor Josef Prijotomo, terlebih


dahulu perlu diinterpretasikan untuk memahami mengapa menyebut Arsitektur
Nusantara dan bukan Arsitektur Indonesia. Indonesia adalah nama negara yang lahir
pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan luas wilayah yang persis sama dengan luas
wilayah jajahan Hindia Belanda. Garis batas yang membelah bagian Utara Pulau
kalimantan antara wilayah negara Reublik Indonesia dengan wilayah negara Malaysia
merupakan batas untuk mempertegas wilayah jajahan Hindia Belanda di Indonesia
dengan wilayah jajahan Inggris yang saat ini menjadi wilayah Negara Malaysia. Dengan
garis batas tersebut, tidak kemudian menjadikan arsitektur tradisional di wilayah yang
dekat di Utara perbatasan menjadi berbeda dengan arsitektur tradisional di wilayah
yang dekat di Selatan perbatasan. Sehingga sebutan sebagai arsitektur Indonesia
dengan arsitektur Malaysia menjadi membingungkan.

Arsitektur berkaitan dengan budaya, jika sebagian budaya Malaysia di utara pulau
kalimantan kemudian sama dengan budaya Indonesia di Kalimantan Utara, maka hal
tersebut tidak terpengaruh dengan kekuasaan politis sebuah wilayah negara. Misalnya
jika arsitektur vernakular di Pulau Sebatik itu memiliki identitas tertentu, maka Pulau
Sebatik sisi Utara yang merupakan bagian dari wilayah Malaysia dengan Pulau Sebatik
di sisi Selatan yang merupakan bagian dari wilayah Indonesia akan memiliki arsitektur
vernakular yang tidak berbeda. Jika menggunakan istilah Arsitektur Nusantara, maka
tidak lagi dipikirkan wilayah negara, tetapi wilayah budaya, sehingga arsitektur
vernakular di pulau sebatik sisi Utara maupun sisi Selatan tetap jelas teridentifikasi
sebagai bagian dari Arsitektur Nusantara. Sama sekali istilah Arsitektur Nusantara tidak
dimaksudkan untuk melakukan klaim apapun terhadap urusan negara, justru sebaliknya
Arsitektur Nusantara bisa mendekatkan negara yang berbeda untuk tetap menjaga
persaudaraan sebagai masyarakat yang memiliki budaya yang sama.

Kembali kepada butir-butir Arsitektur Nusantara yang dituliskan Profesor Josef


Prijotomo, diawali dengan ajakan untuk memahami pernyataan seorang sejarawan
bidang arsitektur bernama Nikolaus Prevsner terhadap kasus gedung Lincoln
Chatedral. Dalam bukunya berjudul “An Outline of European Architecture” yang
diterbitkan tahun 1943, Nikolaus Prevsner menuliskan bahwa sebuah gudang sepeda
adalah sebentuk bangunan, sedangkan Lincoln Chatedral adalah sebuah bagian dari
Arsitektur. Pada intinya banyak bangunan yang ada di sekitar kita, namun jika tidak
didesain dengan mempertimbangkan estetika, maka bangunan tersebut tetap menjadi
sebuah bangunan saja, tidak bisa disebut sebagai sebuah karya arsitektur. Jika ditarik
ke masa kini, ke wilayah kita sendiri, mungkin kita bisa mempertimbangkan apakah
sebuah ruko yang didesain dengan biaya semurah mungkin agar laku dijual akan
memiliki nilai arsitektur yang lebih tinggi dibandingkan dengan sebuah bangunan
vernakular yang tidak didesain oleh seorang arsitek akademis. Pola pikir untuk
menganak-tirikan arsitektur tradisional dalam pendidikan arsitektur di Indonesia lebih
mengutamakan untuk menghargai bangunan ruko di pinggiran kota besar dibandingkan
dengan desain rumah tradisional/vernakular seperti yang ada di Pulau Sebatik.
Bangunan ruko di pinggiran kota besar dirancang berdasarkan ilmu Arsitektur
Barat/Eropa/Vitruvian yang telah diajarkan di institusi/universitas, sedangkan rumah
vernakular di Pulau Sebatik tidak dirancang dengan metoda desain yang dipaparkan di
buku-buku pendidikan arsitektur, dan tidak dibangun pula oleh seorang arsitek. Hal
seperti ini perlu menjadi perhatian bersama berkaitan dengan pola pikir Arsitektur
Nusantara, untuk menata kembali pola pikir yang sudah ada di benak kita agar bisa
lebih bijak dan lebih benar dalam berarsitektur.

Selanjutnya Profesor Josef Prijotomo mengajak untuk memahami istilah yang


dipergunakan oleh Amos Rapoport mengenai ‘Grand Design’. Dalam bukunya berjudul
‘House Form and Culture’ (1969) Amos Rapoport menuliskan pembedaan antara
‘Grand Design’ dengan ‘Folk Design’. Selanjutnya di buku berjudul ‘Human Aspects of
Urban Form’ (1977) Amos Rapoport mengulas mengenai ‘Traditional Design’. Sampai
seberapa jauh kita menganak-tirikan arsitektur tradisional/vernakular sebagai ‘bukan
Grand Design’ sehingga tidak menjadikannya sebagai sumber filsafat dan sains untuk
berarsitektur di masa kini, padahal arsitektur tradisional/vernakular lahir dan
beradaptasi di bumi pertiwi dalam proses desain yang tidak harus akademis hingga
mengalami perubahan bentuk serta penyempurnaan selama ratusan tahun hingga
cocok atau tidaknya dipergunakan untuk berkehidupan dan bermasyarakat. Buku-buku
sejarah arsitektur yang diajarkan di institusi atau universitas menjelaskan sejarah
perkembangan arsitektur dari bangunan di Yunani/Romawi sampai kemudian menjadi
bangunan Gothic, lalu Art Deco sampai pada era modern dan dilanjutkan era Post
Modern/Late Modern. sejarah perkembangan arsitektur yang terjadi di negara kita
padahal tidak sama dengan sejarah yang kita pahami dalam pendidikan arsitektur
tersebut. Sejarah perkembangan arsitektur di Nusantara dari bangunan era kerajaan
Hindu/Budha, kemudian pada era Penjajahan Belanda, sampai dengan Era
Kemerdekaan, dan pada saat ini di Era Pembangunan menjadi lepas dari pengamatan
kita.

Kita perlu memikirkan apakah pembangunan yang dilakukan untuk Candi Borobudur
tidak memiliki kesetaraan dengan Arsitektur Klasik yang ada di Yunani/Romawi.
Langgam-langgam yang terdapat pada Arsitektur Klasik berupa kolom tipe Ionic, Doria
dan Corinthian dipergunakan terus menerus di Eropa secara turun temurun sampai
ratusan tahun. Di sisi lain penggunaan gapura bentar, gapura paduraksa, komposisi
antara kala dan makara juga terpakai dari candi borobudur abad ke 8 di masa Medang
Kamulan juga turun temurun terpakai sampai pada bentuk di Candi Penataran pada
abad ke 14 di masa Majapahit. Sepertinya memang arsitektur klasik dari Yunani yang
kemudian terpakai di Eropa memiliki kesetaraan dengan arsitektur di masa Kerajaan
Hindu Budha, hanya saja ketika Portugis mulai datang ke Nusantara, dilanjutkan
dengan Belanda, maka langgam Arsitektur Klasik dari Eropa ini dibawa pula dan
ditanamkan di bumi pertiwi sampai sekarang. Langgam mengenai gapura bentar,
gapura paduraksa dan kala serta makara menjadi berhenti dan berganti dengan
langgam Arsitektur Klasik dari Eropa tersebut di negara kita.

Pemikiran mengenai Arsitektur Nusantara membawa kita untuk menelaah bangunan-


bangunan batu (termasuk bata) dan kayu sebelum abad ke 17, sebelum kedatangan
bangsa Eropa menjajah Nusantara. Jika kita menganggap bangunan-bangunan
tersebut sebagai Arsitektur Nusantara, maka kita akan memikirkan beragam filsafat dan
sains dari desain arsitektur pada bangunan tersebut. Akan tetapi jika kita
menganggapnya sebagai bangunan tradisional/vernakular saja, maka kita akan
berhenti dan memandangnya sebagai peninggalan arkeologi saja. Kita hanya akan
mengulasnya secara antropologi sebagai produk budaya yang hanya ditiru dan
disesuaikan tanpa didesain. Apalagi jika pemikiran kita mengenai desain arsitektur itu
terpaku pada teori desain arsitektur di pendidikan pada institusi/universitas, maka kita
tidak akan bisa menelaah teori desain yang dilakukan oleh arsitek bernama
Gunadharma saat mendesain candi Borobudur. Kita akan melupakan undagi-undagi di
Bali yang mendesain Pura Tanah Lot dan melihatnya bukan sebagai arsitek, tetapi
tukang atau kepala tukang saja yang tidak mendesain dan hanya melanjutkan tradisi
meniru bangunan sebelumnya. Kita menjadi kehilangan ilmu bagaimana filsafat dan
sains dari Pura Tanah Lot, apalagi jika dibandingkan dengan Pura Uluwatu atau Pura
Besakih.

Sungguh hal yang sulit menjelaskan perbedaan antara pola pikir Arsitektur Nusantara
dengan pola pikir Arsitektur Barat/Eropa/Vitruvian jika kita tidak pernah membuka
pemahaman bahwa kita memiliki sejarah yang berbeda. Apalagi ilmu Arsitektur
Barat/Eropa/Vitruvian itulah yang telah menjadi dasar dari kita dalam berpikir arsitektur
karena hal itu yang diajarkan di pendidikan arsitektur kita. Jelas-jelas bahwa bangunan
Rumah Bolon yang ada di Batak tidak didesain dengan dasar Arsitektur
Barat/Eropa/Vitruvian masih terpakai dan terbangun sampai sekarang, walaupun di sisi
lain arsitektur yang ada di perkotaan sudah sama sekali tidak melanjutkan tradisi dan
tetap menggunakan dasar berarsitektur dari ilmu Arsitektur Barat/Eropa/Vitruvian. Akan
perlu banyak penelitian untuk membukukan tradisi lisan dalam berarsitektur dari para
undagi, para kalang, para kepala tukang arsitektur tradisional agar bisa merumuskan
Arsitektur Nusantara. Penulisan yang ditujukan sebagai dasar dari metoda desain
arsitektur yang berlandaskan filsafat dan sains, bukan penulisan antropologi yang akan
membuatnya berhenti sebagai produk budaya saja. Saat melihat rumah panggung
tradisional jangan hanya berpikir hal tersebut dibuat meniru rumah tradisional lain,
tetapi perlu dipikirkan bahwa hal tersebut adalah desain yang dipertimbangkan untuk
menghindari binatang buas yang berjalan di tanah. Atau lebih mendalam lagi bisa
dihitung dan diukur bagaimana rumah panggung tersebut sengaja di desain untuk
mengantisipasi kelembaban udara. Selanjutnya bisa ada penelitian yang
mempertimbangkan kearifan efektifitas penggunaan bahan serta kekuatan konstruksi
hingga tidak lagi digunakan bangunan panggung tetapi menggunakan bangunan
dengan bebatur yang tinggi. Contoh-contoh ini adalah desain arsitektur yang
mempertimbangkan filsafat dan sains, bukan hanya tradisi yang melanjutkan untuk
meniru bangunan yang sudah ada saja.

Jika kita mau mempertimbangkan lagi, bisa dibedakan antara penggunaan kuda-kuda
dari bangunan yang dibuat berdasarkan ilmu konstruksi Arsitektur
Barat/Eropa/Vitruvian dengan bangunan tradisional Nusantara yang tanpa kuda-kuda.
Atap bangunan tradisional Nusantara lebih menyerupai konstruksi tenda yang disangga
tiang agar berdiri. Tenda tersebut diisi dengan susunan atap berupa genting atau sirap
kayu. Kita bisa mengamati pada bangunan tradisional Bali bahwa rerangka atap
bukanlah bidang yang lemah dari rangkaian usuk/reng hingga perlu ditopang kuda-kuda
melalui gording/blandar. Bahkan tanpa gording/blandar maka atap bangunan bali dibuat
dengan usuk/reng yang disusun sedemikian rapat sehingga menjadi bidang yang kuat.
Lebih mendalam lagi kita bisa mengamati bagaimana bangunan tradisional dengan
desain yang dipikirkan sejak awal bangunan tersebut dibuat sudah ada upaya untuk
mengantisipasi gempa. Mengantisipasi bukan dengan melawannya, tetapi dengan
mengikutinya sehingga sambungan-sambungan bangunan juga bersifat fleksibel.
Sambungan yang tidak rapat tetapi longgar, sambungan dengan konstruksi engsel dan
bukan konstruksi portal. Demikian banyak yang bisa dituliskan, dirumuskan dan
dijadikan dasar sebagai ilmu desain Arsitektur Nusantara.

Kearifan lokal yang ditinjau dari segi budaya di mana para kepala tukang arsitektur
tradisional hanya meniru bangunan yang sudah ada tentu akan membuat keserupaan
bangunan saja. Akan tetapi kenyataannya bangunan tradisional tersebut jika diamati
lebih dalam sebenarnya tidak benar-benar serupa. Ketidak serupaan tersebut bukan
hanya terjadi apa adanya, tetapi dibuat dengan berbagai pemikiran. Sampai pada hal
yang paling detail mengenai ornamentasi, contohnya dekorasi dan warna dari rumah
Gorga di Batak saja ke-bhineka-rupa-an tersebut terjadi disesuaikan dengan karakter
dari penghuninya. Penyesuaian karakter ukiran dan warna tersebut bukan hanya
dengan pertimbangan estetika atau selera penghuni saja, tetapi lebih mendalam
disesuaikan dengan aspek keyakinan mengenai ukiran magis dan warnanya agar
penghuni bisa nyenyak tidur dan berkehidupan yang lebih baik.
kita perlu memahami betapa sulitnya mengembangkan Arsitektur Nusantara karena
beragam anggapan-anggapan yang timbul. Anggapan bahwa arsitektur nusantara
sama dengan arsitektur tradisional/vernakular di Nusantara membuat kita bertanya-
tanya hal baru apa yang kita dapat dari Arsitektur Nusantara, toh hal tersebut sudah
berlangsung di masa lalu dan berganti dengan arsitektur modern yang lebih sesuai
dengan kehidupan kita sekarang. Anggapan bahwa mengusung Arsitektur Nusantara
hanyalah romantisme masa lalu yang ingin kita hadirkan di masa kini saja, tanpa kita
mau mempertimbangkan bahwa desain dengan mindset Arsitektur Nusantara yang
akan membuat kita sebanding dengan Arsitektur Barat/Eropa/Vitruvian. Sebanding di
sini dimaksudkan untuk menjajarkan apa yang telah kita miliki dari para leluhur
Nusantara dengan apa yang telah dimiliki dari para pemikir Arsitektur
Barat/Eropa/Vitruvian. Keinginan untuk menjajarkan bukan berarti menolak Arsitektur
Barat/Eropa/Vitruvian¸ tetapi lebih cenderung merupakan upaya untuk memikirkan
kembali, memfilter, sampai dengan mengakulturasikan antara Arsitektur
Barat/Eropa/Vitruvian dengan Arsitektur Lokal di Nusantara. Memang perlu dicari
alasan yang lebih baik mengenai perlunya Arsitektur Nusantara ini dianalisa dan
dipahami, jika tidak ada alasan yang lebih baik maka Arsitektur Nusantara ini hanya
akan menjadi wacana yang tidak penting untuk diajarkan dalam pendidikan arsitektur di
Negara Kita. Akan tetapi jika kita masih mau menjaga harga diri sebagai bangsa yang
juga sudah memiliki filsafat dan sains yang tinggi dalam bidang arsitektur, maka
Arsitektur Nusantara akan menjadi wahana yang tepat sebagai ajang penelitian dan
perintisan karir dalam bidang arsitektur.
TUGAS

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR II

OLEH :

NAMA : DANDI DARMAWAN

STAMBUK : 034 2017 0047

KELAS : C2

JURUSAN ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2018

Anda mungkin juga menyukai