Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ekologi adalah ilmu hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Kehidupan
manusia sangat bergantung pada lingkungan, begitu juga sebaliknya. Dalam dunia
arsitektur, ekologi sangat penting untuk diperhatikan. Sebab, dalam membuat desain
seorang arsitek harus memperhatikan bagaimana karakter lingkungan, dimana
desainnya akan diwujudkan dalam bentuk bangunan. Apabila tidak sesuai, maka akan
berdampak buruk pada lingkungan tersebut dan sangat merugikan manusia. Jadi
dengan mempelajari ekologi, diharapkan dapat bermanfaat dalam membuat desain
suatu bangunan.
Dalam perkembangannya, kehidupan manusia dengan lingkungannya mengalami
evolusi. Dari hidup secara individu hingga membentuk suatu komunitas tertentu.
Maka perlu untuk diketahui, bagaimana sejarah perkembangan kehidupan manusia
dalam menggunakan dan memanfaatkan lingkungannya, dan bagaimana kaitannya
dalam dunia arsitektur. Desain-desain yang bermunculan saat ini merupakan
pencerminan dari masa lalu. Jadi segala sesuatu yang ada pada masa kini, berawal
dari sejarah dan untuk dapat menciptakan sesuatu yang lebih baik kita harus belajar
dari sejarah. Maka dari itu, sejarah ekologi dalam dunia arsitektur sangat penting
untuk dipelajari dan dipahami untuk dapat menghasilkan seuatu yang lebih berkualitas
dan bermanfaat, tanpa harus mencemarkan, merugikan, dan merusak lingkungan di
kemudian hari.

1.2 Tujuan
Ada pun tujuan yang ingin dicapai dalam penbuatan paper ini adalah sebagai
berikut.
a. Agar dapat memahami bagaimana perkembangan komunitas manusia dan
kaitannya dengan lingkungan dan ilmu arsitektur.
b. Agar dapat menciptakan desain yang bermanfaat dan tidak merugikan
lingkungan dan kenidupan manusia di masa depan.

1
1.3 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang dikemukakan di atas, muncul masalah yang akan dibahas
dalam paper ini, yaitu:
a. Bagaimana sejarah perkembangan komunitas manusia menurut para ahli?
b. Apa saja produk-produk arsitektur yang dihasilkan dari masa ke masa?
c. Bagaimana kaitan produk-produk arsitektur yang dihasilkan itu dengan
kondisi lingkungan pada masa itu?

1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dalam paper ini adalah sebagai berikut.
a. Dapat mengetahui sejarah perkembangan kehidupan manusia menurut para
ahli.
b. Dapat mengetahui beragam jenis produk arsitektur yang dihasilkan pada masa
lalu.
c. Dapat mengetahui bagaimana kaitan antara produk arsitektur yang dihasilkan
dengan kondisi lingkungan pada masa lalu.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Komunitas Manusia Menurut Para Ahli

a. Menurut Dansereau
Dansereau mengelompokkan perkembangan komunitas manusia menjadi 6
tingkatan atau stadium, yaitu:
1. Stadium I : Gathering
2. Stadium II : Hunting and fishing
3. Stadium III : Herding
4. Stadium IV : Agriculture
5. Stadium V : Industry
6. Stadium VI : Urbanization

b. Miller Jr.
Miller Jr. mengelompokkan perkembangan komunitas manusia menjadi 5
tingkatan, yaitu:
1. Masyarakat pemburu (pengumpul primitif)
2. Masyarakat pertanian
3. Masyarakat industri
4. Masyarakat warga bumi

c. Laura C. Zeiher
Laura C. Zeiher membagi perkembangan komunitas manusia menjadi 4
kelompok, yaitu:
1. Hunting and Gathering
2. Civilization
3. Agricultural Civilization
4. Industrial Civilization

3
2.2 Penjelasan Perkembangan Komunitas Manusia
Berikut penjelasan dari masing-masing stadium atau tingkatan perkembangan
komunitas manusia.
1. Stadium I atau Gathering
Gathering merupakan kegiatan penghidupan yang terdiri dari usaha
mengumpulkan bahan makanan dari alam, seperti umbi, daun-daun, buah-buahan,
telur, kerang, dan lain-lain. Lingkungan prilaku masyarakat pada stadium I tersebut
relatif terbatas. Kegiatan penghidupan sehari-hari dibatasi oleh daya gerak fisik tanpa
peralatan transportasi, keterbatasan dalam teknik menyimpan dan mengawetkan
makanan, jumlah tenaga kerja yang kecil (jumlah anggota masyarakat terbatas),
ketergantungan pada sumber air yang ada, dan keterbatasan pengetahuan mengenai
cara-cara menguasai dan mengadakan manipulasi unsur-unsur lingkungan hidup yang
penting untuk kelangsungan hidup sendiri dan keturunannya. Jadi kelangsungan hidup
masyarakat pada stadium I sangat bergantung pada lingkungan, karena mereka hanya
bisa mengambil bahan makanan langsung dari alam tanpa bisa menghasilkannya
kembali.
Mayarakat stadium I merupakan kelompok-kelompok sekitar 20-50 individu,
maka dampak konsumtif kelompok yang relatif kecil itu, dengan teknologinya yang
sederhana, praktis tidak berarti dalam kondisi ekologi yang normal. Alam dengan
mudah dapat mengisi kembali apa yang sudah diambil melalui berbagai proses
regenerasinya. Kehidupan masyarakatnya juga masih nomaden atau berpindah-
pindah. Jika bahan makanan di suatu tempat telah habis, maka mereka berpindah
menuju tempat lain yang masih menyediakan bahan makanan. Karena hidupnya
masih nomaden, maka tempat tinggal mereka pun berpindah-pindah. Tempat tinggal
masyarakat pada Stadium I ini masih terbilang sangat sederhana, karena mereka
hanya dapat memanfaatkan apa yang disediakan oleh alam, seperti goa atau tinggal di
bawah pepohonan.

2. Stadium II : Hunting and Fishing


Pada stadium II atau Hunting and Fishing adalah kegiatan berburu dan
menangkap ikan. Lingkungan perilaku masyarakatnya juga masih relatif terbatas
seperti masa Stadium II, alat-alat berburu dan menangkap ikan masih sederhana
seperti kapak perimbas. Kebudayaan masyarakat pada stadium II, pada umumnya

4
terdapat kode etik untuk membunuh hewan secara berlebihan, yaitu dalam jumlah
yang melebihi kebutuhan. Pola ini merupakan suatu faktor yang sangat berarti dan
berhubungan dengan pelestarian sumber-sumber material dan energi yang dibutuhkan
masyarakat itu.
Alat yang digunakan untuk berburu yakni terbuat dari batu, tulang, tanduk, dan
kayu. Peralatan pada masa itu antara lain kapak genggam, tombak, panah dan alat-alat
serpih. Bentuknya masih kasar dan tidak diasah.
Kehidupan masyarakat pada stadium II juga masih nomaden. Mereka hidup
mengembara dari hutan satu ke hutan yang lain. Daerah yang cocok untuk
menghindari hujan, terik matahari yang panas, dan hawa dingin biasanya tidak terlalu
jauh dari sungai, danau, atau sumber air yang lain. Ada juga yang berlindung di gua-
gua sebagai tempat tinggal sementara. Gua-gua yang dipilih biasanya terletak di
lereng-lereng bukit yang terjal. Untuk mencapainya, mereka menggunakan tangga
yang dapat ditarik ke dalam gua jika ada bahaya yang mengancam.
Masyarakat Food Gathering dan Hunting and Fishing terbatas pada sejumlah
suku asing tertentu seperti suku-suku asli Australia seperti Aborigin, Bushmen di
Afrika Selatan, suku-suku di Kepulauan Andaman, kaum Shoshoni di Benua
Amerika, kaum eskimo, dan suku Pigmi.
Sebagai contoh, suku Indian membuat Poeblo Bonito di Chaco Canyon, New
Mexico pada abad 10 dan 11. Kondisi topografinya menyediakan suatu habitat bagi
manusia dengan pertahan dan perlindungan dari cuaca dingin dan panas. Suatu
kawasan atau wilayah dihuni oleh 1200. Mereka membuat ruang bawah tanah untuk
upacara yang disebut Kivas yang terbuat dari batu dan teras bata. Dinding bagian
dalam dari Canyon berorientasi pada musim panas dan musim dingin. Untuk
mempertahankan temperatur di sepanjang tahun, siang dan malam. Suku Indian di
Amerika Utara membuat suatu tenda sebagai tempat tinggal mereka yang terbuat dari
kulit binatang yang dapat memberikan perlindungan dan menampung sejumlah
pengembara.
Hunting and gatering mempunyai efek atau pengaruh terhadap lingkungan dan
menimbulkan kerusakan. Jumlah binatang punah di daerah Eurasia masih dalam skala
kecil, tapi di tempat lain perusakan terjadi secara besar-besaran. Di Ausralia, 86%
binatang punah pada 100.000 tahun yang lalu. Penduduk asli atau Aborigin sudah
melakukan pemburuan yang menyebabkan kepunahan pada 40.000 tahun yang lalu.

5
Pemunahan terhadap sumber makanan dan habitat alami manusia itu berpengaruh
terhadap kematian. Hal ini sebanding dengan angka kepunahan di Amerika Selatan
yang mencapai 80% dan di Amerika Utara yang mencapai 73%.
Meskipun demikian, kehidupan berburu sangat stabil untuk ratusan ribu tahun.
Kemudian sekitar sepuluh ribu tahun yang lalu, metode yang digunakan manusia
untuk memperoleh makanan dan menciptakan tempat perlindungan mulai berubah.
Pengembangan dari penanaman agrikultur membuat suatu perubahan yang radikal
dalam sejarah manusia.

3. Stadium III atau Herding


Herding merupakan kegiatan mengembala atau kebudayaan nomadik. Ciri-ciri
kebudayaan mengembala meliputi kegiatan penghidupan yang terdiri dari memelihara
dan membiakkan hewan-hewan tertentu, menghasilkan produk-produk dari hewan itu
(kulit, bulu, produk susu, dan lain-lain), dan membarter produk-produk itu dengan
bahan makanan nabati. Dalam usaha memelihara dan membiakan hewan itu,
masyarakat perlu mengembala ternaknya dari satu tempat ke tempat lain untuk
memperoleh padang rumput yang cukup dan segar. Siklus berpindah-pindah itu
dengan sendirinya terpengaruh musim, baik dari segi persediaan makanan ternak
maupun dari persediaan bahan makanan nabati yang diperlukan oleh masyarakat
gembala itu sendiri.
Secara ekologi kebudayaan mengembala bertahan karena mengisi suatu
kekosongan. Dengan hidup berpindah-pindah, wilayah penunjang kehidupan ternak
sangat luas sehingga hal ini memungkinkan pembiakan ternak dalam jumlah yang
besar, sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan oleh petani yang bermukim tetap.
Sejarah penjinakan atau domestikasi berbagi hewan peliharaan yang dimulai dari
bentuk-bentuk yang liar adalah sebagai berikut untuk :
Domba : 9000 tahun SM di Shanidar, Irak.
Kambing : 7500 tahun SM di Ali Kosh, Iran.
Babi : 7000 tahun SM di Cayonu, Turki.
Unta : 3000 tahun SM di Rusia Selatan.
Kuda : 3000 tahun SM di Ukraine, Rusia.
Keledai : 3000 tahun SM di lembah sungai Nil, Mesir.

6
Penjinakan anjing (nenek moyang serigala), meskipun jasanya banyak dignakan di
kalangan masyarakat gembala, tetapi tidak dimulai di daerah bioma padang rumput.
Bekas-bekas anjing peliharaan anjing tertua ditemukan di Idaho, Amerika dan Inggris,
umurnya 8400-7500 tahun SM. Jasa anjing itu semula digunakan dalam kebudayaan
berburu (stadium II). Domestikasi berbagai jenis hewan pada hakekatnya merupakan
suatu penyederhanan proses berburu.
Di samping kegiatan mengembala, masyarakat nomadik masih mempunyai dua
usaha penghidupan. Yang pertama adalah mengumpulkan makanan dan berburu
seperti stadiun I dan II. Usaha yang merupakan warisan dari kebudayaan yang lebih
kuno, merupakan suatu usaha sambilan yang dapat mengurangi ketergantungan
masyarakat nomadik itu dari masyarakat agraris. Usaha yang kedua adalah berperang
atau menyerbu sasaran secara efisien. Pada suku Mongol dan Arab, kebudayaan
berperang telah berkembang sedemikian rupa sehingga mereka berhasil berkuasa di
suatu wilayah yang luas dan makmur karena bersifat agraris.
Dalam sejarah penyerbuan suku-suku nomadik ini terjadi secara besar-besaran
sejak 4000 tahun yang lalu, dan berlangsung secara bergelombang. Dari segi sosial-
budaya, sejarah penyerbuan suku nomadik itu juga meningkatkan difusi kebudayaan
antar daerah, suatu gejala yang juga menguntungkan dari segi ekologi.
Di Asia Tenggara termasuk wilayah Indonesia, kebudayaan tidak berkembang
karena keadaan alamnya yang berupa hutan tropis yang lebat dan hijau, adaptasi
terhadap alam tersebut merupakan kebudayaan Stadium I dan II yang berangsur-
angsur mengalih ke kebudayaan Stadium IV yaitu Agraris. Namun dengan catatan
bahwa pertanian yang dilaksanakan adalah pertanian yang berpindah-pindah.
Sebagian hutan diratakan untuk dijadikan ladang, dan kemudian ditinggalkan karena
hasil panen yang menurun dan penanaman menjadi sulit akibat pertumbuhan hutan
yang pulih kembali. Pertumbuhan nomadik agraris bukan saja meliputi suku-suku
terasing yang tersebar di Indonesia, tetapi juga dapat ditemukan di daerah-daerah
yang sudah mantap perkembangan agrarisnya seperti di Pulau Jawa.

4. Stadium IV atau Agriculture


Agriculture merupakan kebudayaan agraris. Setelah melewati masa berburu dan
mengumpulkan makanan manusia mulai mengenal masa bercocok tanam pada akhir
zaman mesolitikum. Cara bercocok tanam pertama kali dilakukan dengan berhuma,

7
yaitu dengan cara menebangi hutan, kemudian ditanami jenis padi-padian, ubi kayu,
dan ubi jalar. Dengan dikenalnya sistem berhuma ini, mereka terpaksa hidup lebih
lama ditempat itu. Pada masa inilah mulai berkembangnya perkampungan-
perkampungan dan selanjutnya terbentuklah kesatuan-kesatuan suku, dan marga yang
masing-masing dipimpin oleh kepala sukunya yang dipilih berdasarkan prinsip
primus interpares.
Kehidupan masyarakat yang makin teratur menuntut kerja sama dan gotong
royong dari para anggotanya. Pembagian kerja makin rinci sehingga terbentuklah
warga masyarakat dengan keahliannya masing-masing, seperti ada yang membuat
alat-alat pertanian, mengolah tanah pertanian, menjual hasil pertanian, membuat alat-
alat rumah tangga, dan lain-lain. Disamping mengenal cara-cara berhuma dan
bersawah, manusia pada masa itu memiliki kepandaian mengawetkan makanan.
Misalnya dengan cara memberi garam atau ramuan tertentu pada daging atau ikan
agar dapat bertahan lebih lama. Kegiatan perekonomian semakin kompleks. Pertanian,
perdagangan, pertukangan, dan pelayaran semakin maju. Hal itu memungkinkan pola
kehidupan masyarakat semakin beraneka ragam dan semakin makmur.
Kemakmuran masyarakat prasejarah pada masa bercocok tanam terlihat dari
peninggalan-peninggalan budayanya yang beraneka ragam, baik bentuk maupun
jenisnya. Bebarapa diantara peninggalan budaya tersebut berupa kapak persegi,
beliung, cangkul, kapak lonjong, gerabah dan bajak. Alat-alat tersebut sudah banyak
yang terbuat dari logam. Selain alat-alat tersebut, masyarakat prasejarah pada masa
bercocok tanam mulai mengenal tradisi Megalitikum, yaitu bangunan-bangunan yang
dibuat dari batu-batu besar atau batu utuh (Megalith). Bangunan-bangunan
Megalitikum ini dibuat untuk menghormati arwah nenek moyang. Berikut ini
dikemukakan beberapa bangunan-bangunan Megalitikum.
a. Menhir
Menhir adalah sebuah tugu dari batu tunggal yang didirikan untuk
menghormati roh nenek moyang.
b. Sarkofagus
Sarkofagus adalah peti mayat.
c. Dolmen
Dolmen berfungsi sebagai peti mayat, meja sesaji, dan sarana pemujaan.
d. Peti Kubur Batu

8
Peti Kubur Batu berupa peti mayat, hanya bentuknya berbeda dengan Dolmen
dan Sarkofagus. Dolmen dan Sarkofagus dibuat dengan batu utuh, sedangkan peti
kubur batu dibuat dari lempengan batu yang disusun menyerupai peti.
e. Punden Berundak-undak
Punden Berundak-undak merupakan tempat pemujaan. Bangunan ini dibuat
dengan menyusun batu secara berundak-undak (bertingkat).
f. Waruga
Waruga adalah peti kubur batu berbentuk kubus atau bulat yang dibuat dari
batu utuh.
g. Arca
Arca-arca terbuat dari batu utuh, ada yang menyerupai hewan dan ada juga
yang menyerupai manusia.
Sekitar 8000 tahun SM, kemunculan pedesaan dan perkotaan, dan peningkatan
populasi terkonsentrasi pada permintaan makanan dan sumber daya, dan usaha untuk
meningkatkan suplai yang tidak terelakkan pada area yang lebih kecil. Kebudayaan
agraris muncul dan permintan akan berbagai jenis barang baru mengalami tingkatan,
terutama terfokus pada material konstruksi untuk bangunan dan rumah permanen.
Ketika konstruksi arsitektur berlanjut mengikuti periode dalam sejarah,
perkembangan konruksi tipe arsitektur monumental dalam periode kebudayaan agraris
dengan pembangunannya yang dilakukan secara terorganisir.
Pada Antroposere stadium Agriculture ini manusia telah mencapai suatu
kemampuan adaptif yang hebat, baik dari segi destruktif maupun dari segi konstrukif
terhadap alam dan diri sendiri. Dia dapat mengadakan manipulasi tanah, genotipe
hewan dan tanaman tetapi terikat pada suatu sistim sosial yang teratur dan tetap yang
disebut adat. Selama daya tampung areal lingkungan hidup operasionalnya luas dan
populasinya rendah, tidak ada masalah yang betul- betul destruktif. Sekalipun
pertanian dilakukan dengan ladang yang berpindah pindah. Hutan yang diratakan dan
dibakar untuk ladang yang dipakai se;lama beberapa kali panen, lambat laun akan
pulih kembali setalah ladang itu ditinggalkan. Lain halnya bila dalam batas-batas
pengetahuan dan teknologi daya tampung areal lingkungan operasionalnya telah
dilampaui akibat usaha meningkatkan produksi, maka eksploitasi alam terbalik
menjadi destruktif karena alam tidak diberi kesempatan memulihkan diri kembali.

9
Dalam keadaan itu saingan anara unit unit desa dapat menjelma menjadi hubungan
perang. Gejala ini, dari segi ekologi juga merupakan suatu perilaku adaptasi.

5. Stadium V atau Industry


Perubahan tata hidup agraris ke tata hidup industri, yang juga disebut revolusi
industri pada umumnya dianggap telah dimulai beberapa abad yang lalu di Eropa,
khususnya di Inggris. Sebenarnya proses menuju ke stadium industri merupaka suatu
proses yang berlangsung cukup lama dan pusat-pusatnya tidak di Eropa. Di antara
9000 tahun SM sampai sekitar 500 SM, inovasi teknologi telah ditemukan di Mesir,
Anatolia (Turki), Timur Tengah, Lembah Indus dan Cina. Sedangkan di Eropa
keadaannya masih pada akhir stadium hunting and gathering atau pada stadium
agraris yang dini. Sekalipun demikian, harus diakui bahwa perkembangan pesat di
bidang teknologi industri terjadi di Eropa, khususnya di Inggris menjelang akhir abad
ke 18, dan kemudian merambah ke Amerika Serikat. Bahan baku industri itu tidak
hanya dari bahan pertambangan seperti logam, tetapi juga berasal dari tanaman.
Kemudian muncul suatu pertanian industri atau perkebunan.
Dampak perkembangan industri terhadap penyebaran manusia di dunia besar
sekali. Sebagai contoh, industri tekstil sampai akhir abad yang lalu membutuhkan
banyak bahan baku kapas. Untuk produksi kapas ini, antara tahun 1451 dan 1870,
telah diangkut sekitar 9,6 juta budak negro dari Afrika ke Amerika. Perkebunan di
koloni-koloni Inggris dan Belanda telah menyerap sekitar 16,8 juta orang India,
beberapa juta orang Cina Selatan dan beberapa ratus ribu penduduk dari Pulau Jawa.
Tenaga kasar yang ditransmigrasi ini tidak seluruhnya kembali ke tempat asalnya
sesudah “kontrak” nya selesai (Davis, 1974). Dampak pemindahan populasi ini
sampai sekarang masih terasa di berbagai daerah bekas kolonisasi dan bekas daerah
produksi bahan baku industri. Masalahnya bukan hanya masalah sosial sajua, tetapi
juga masalah kebudayaan, sebab dengan transmigrasi penduduk juga terjadi interaksi
kebudayaan.
Efisiensi yang rendah pada pertanian industrial, menimbulkan reaksi di negara
maju seperti Amerika Serikat. Penggunaan pupuk buatan membuat tanah kehilangan
strukturnya yang bisa menahan air dan erosi. Dengan hilangnya unsur organik dari
tanah, menyebabkan erosi bertambah dan tanah menjadi padat. Untuk mengolah tanah
yang padat itu diperlukan peralatan mekanis yang lebih berat. Dengan bobot yang

10
lebih berat itu juga membantu membuat tanah lebih padat lagi (Tucker, 1979). Oleh
karena itu usaha pertanian secara tradisional mulai populer kembali di Amerika
Serikat, terutama dari segi penggunaan pupuk organik atau pupuk kandang (Carter,
1980).
Industri membawa sejumlah masalah khusus. Di samping membuat berbagai
aspek kehidupan menjadi lebih mudah karena produksi alat-alat rumah tangga yang
praktis dan relatif murah, industri juga membawa sejumlah hal yang mengganggu.
Seperti misalnya polusi partikel, polusi bahan kimia, polusi suara, bahaya kebakaran,
dan bahaya ledakan. Selain itu juga menimbulkan tekanan jiwa, karena kecepatan
kerja ditentukan oleh mesin, bukan oleh selera manusia lagi. Demi efisiensi
penggunaan mesin, jumlah produksi yang diminimalisasi sudah diperhitungkan dan
jumlah produksi maksimal merupakan sasaran setiap industri yang ingin menjamin
kelangsungannya. Mengingat perkembangan ilmu dan teknologi juga sangat pesat,
maka banyak produk yang cepat sekali menjadi usang, dan banyak yang kurang laku
karena saingan produk yang baru dan lebih menarik. Tekanan lingkungan kerja ini
dengan sendirinya menuntut korban-korbannya. Tingkatan kebudayaan industrial
dapat diukur dari kelainan prilaku golongan sosial, penyakit jiwa dan penyakit
jantung, dan juga jumlah korban kecelakaan baik dalam usaha produksi maupun
akibat dari keracunan polusi.
Kebudayaan industri sangat bergantung dari sumber energi yang mempunyai
keterbatasan. Ketergantungan ini setingkat dengan perkembangan industri. Oleh
karena itu, konsumsi dan ketergantungan semacam itu berpusat di negara-negara
maju. Karena labilnya ekologi manusia pada tingkatan kebudayaan industri, maka
diusahakan sejumlah pendekatan untuk membuat suatu keadaan yang lebih mantap,
atau sekurang-kurangnya memperoleh tanda bahaya sedini mungkin sehingga proses
adaptasi yang paling tepat dapat direncanakan. Contoh usaha-usaha tersebut adalah
politik konservasi sumber energi, pengembangan penggunaan sumber energi yang
lebih awet, pengembangan sistem evaluasi, dan monitoring polusi.

6. Stadium 6 atau Urbanization


Di antara 10.000 dan 5000 tahun yang lalu, domestikasi tumbuh-tumbuhan dan
hewan serta kemajuan dalam pembuatan alat kerja telah memungkinkan manusia
bermukim tetap dan menghidupkan jumlah populasi yang besar. Tata hidup sosial

11
juga berubah dari sekumpulan manusia dengan struktur sosial yang sederhana ke
suatu masyarakat dengan wujud kepemimpinan yang jelas. Norma-norma sosial
ditetapkan melalui prasasti yang tahan zaman. Salah satu prasasti yang tertua adalah
prasasti Hammurabi yang berumur lebih dari 4000 tahun dan ditemukan di Babilon,
Irak. Isinya 282 peraturan hukum (Dir. Gen. of Ant. 1957).
Salah satu kota tertua adalah Jerikho di lembah sungai Jarden, yang 10.000 tahun
yang lalu susah berwujud lengkap dengan tembok perbentengan di sekelilingnya dan
menara-menara. Luasnya relatif kecil, sekitar 4 atau 5 ha dan penduduknya kurang
lebih hanya 2000 jiwa (Harris,1975). 4000 tahun kemudian dalam periode 6350
sampai 5200 tahun yang lalu, Timur Tengah mengenal kota-kota besar dengan jalan-
jalan raya, istana dan candi-candi seperti Eridu, Al Ubaid dan Uruk.
Dalam periode berikutnya sampai permulaan perhitungan Masehi, berbagai pusat
urban dunia telah berkembang menjadi kota-keraton, kota-benteng kerajaan-kerajaan
tertua atau berbentuk negara-kota. Kota-kota kuno itu bukan sekadar suatu tempat
pemukiman, tetapi merupakan jantung kegiatan ekonomi dan pemerintahan yang
didukung oleh kekuasaan religi setempat. Sebagai pusat yang relatif kaya terhadap
daerah sekitarnya, kota-kota tersebut mempunyai sistem pertahanan yang ampuh.
Kekayaan dan kemakmuran sebuah kota kuno dapat diukur dari sistem perbentengan,
tata kota yang berpusat pada sejumlah bangunan monumental, terutama istana-istana,
tempat pertemuan umum dan tempat ibadah yang besar. Beberapa contoh pusat urban
kuno antara lain Mesopotamia, Memphis, Mohenjo-Daro dan Harappa.
Beberapa abad menjelang perhitungan Masehi, pusat-pusat urban bertambah
dengan pesat. Ada diantaranya yang sudah berdiri cukup lama, tetapi pada permulaan
itu kota-kota tersebut tidak memegang peranan penting di luar wilayahnya.
Contohnya antara lain Athena, Roma, dan Kartago.
Beberapa hal mengenai sejarah urban ini telah dikemukakan untuk
memperlihatkan bahwa perkembangan kebudayaan kota merupakan suatu proses
adaptasi yang telah berlangsung cukup lama. Adaptasi tersebut berlangsung bukan
terhadap perubahan lingkungan hidup ekstern sebagai akibat kebudayaan yang
menggunakan lahan pertanian yang luas, tetapi juga terhadap lingkungan sosial yang
melalui kebudayaan agraris telah menuntut sejumlah perubahan tata hidup yang baru.
Perkembangan sebuah kota, sebagai ekspresi kebudayaan urban, telah disusun
oleh Mumford (1970) sebagai berikut:

12
Stadium 1 : Eopolis
Perkembangan sebuah desa menjadi suatu pemukiman yang tetap dengan
penggunaan tanah yang teratur.
Stadium 2 : Polis
Suatu kumpulan desa atau kelompok keluarga besar dengan adat istiadat serta
kegiatan agraris.
Stadium 3 : Metropolis
Sebuah kota yang tumbuh dari sejumlah desa atau kota kecil sehingga merupakan
suatu pemukiman induk dengan pusat perdagangan dan interaksi dari berbagai
macam-macam kebudayaan.
Stadium 4 : Megapolis
Sebuah kota besar dengan tanda-tanda permulaan kemunduran peradaban.
Stadium 5 : Tyranopolis
Sebuah kota besar yang hidup sebagai parasit di lingkungannya. Tampak detoriasi
di berbagai bidang kehidupan termasuk di bidang ekonomi dan usaha administratif.
Stadium 6 : Nekropolis
Sebuah kota besar dalam keadaan kemunduran umum, menuju kemusnahannya.
Klasifikasi kota tidak semudah seperti yang telah dikemukakan di atas. Patokan
yang dapat dipakai sebagai suatu kriteria dalam sebuah pemukiman adalah sebagai
berikut.
a. Status hukum
Sebuah pemukiman dapat berstatus kota berdasarkan suatu status hukum.
Misalnya kota kecamatan, kota kabupaten. Ukuran dan bentuk fisiknya tidak penting,
sebab status itu berdasarkan kedudukan suatu pusat pemerintahan. Istilah khusus
untuk pemukiman semacam ini adalah kota formal (Herbert, 1973).
b. Kepadatan penduduk atau jumlah penduduk
Breese (1966) mengemukakan patokan untuk urban area atau city, suatu area
pemukiman dengan populasi minimal 20.000 jiwa. Davis (1969) menggunakan
patokan yang lain, minimal 100.000 jiwa. Sedangkan Northam (1975) menyajikan
kriteria seperti berikut ini:
• Kota kecil : 2.500 sampai dengan 25.000 penduduk
• Kota medium : 25.000 sampai dengan 100.000 penduduk
• Kotas besar : 100.000 sampai dengan 800.000 penduduk

13
• Metropolis : lebih dari 800.000 penduduk
• Megapolis : sekurang-kurangnya beberapa juta penduduk
• Ecumenopolis : beberapa puluh juta penduduk
c. Bentuk fisik
Kriteria fisik adalah sekumpulan ciri-ciri kebudayaan material seperti bangunan
yang permanen yang berdiri sendiri-sendiri, tetapi berdekatan letaknya, menurut suatu
pola yang teratur. Di samping bangunan-bangunan pribadi, terdapat juga bangunan-
bangunan untuk keperluan umum.
d. Perilaku penduduk
Perilaku yang khas untuk patokan definisi kota sebenarnya juga menyangkut sikap
yang belum tentu tampak sebagai perilaku sehari-hari. Kriteria perilaku merupakan
suatu sindrom, misalnya perilaku yang mengarah ke individualisme, anonimitas,
materialistik, dan spesialistik dalam berbagai usaha mencari nafkah.
Kota sebagai suatu sistem ekologi tersendiri, pada permulaan sejarah tidak terasa
dampaknya. Dengan pertumbuhan urban dimana-mana, banyak negara yang
daerahnya lebih dominan dengan urban daripada rural. Misalnya Jepang, mempunyai
perbandingan areal urban terhadap areal agraris sebesar 1 : 5. Masyarakat Inggris juga
dapat disebut masyarakat urban, sekalipun tempat tinggalnya di pedesaan. Dampak
suatu pusat urban dapat dijelaskan sebagai berikut.
• Dampak land coverage
Perkembangan kota yang sangat pesat menyebabkan tertutupnya tanah yang
amat luas. Pusat-pusat pemukiman yang sebelumnya ditunjang oleh lahan
agraris, menjadi tertutup oleh bangunan-bangunan dan sistem lalu lintas, yang
memakai daerah pertanian yang biasanya berkualitas baik. Jadi yang tertinggal
adalah daerah pertanian yang kualitasnya lebih rendah. Penutupan tanah
membawa dampak pada saat musim penghujan. Air tidak dapat terserap ke
dalam tanah dan menyebabkan banjir.
• Dampak pola konsumtif kota
Sebuah kota besar mengambil material dan energi dari banyak daerah, tetapi
tidak mengembalikan zat-zat yang dipakai ke tempat asal zat-zat itu diambil.
Sampah ditimbun di daerah setempat atau dibuang ke sungai atau ke laut.
Sistem peredaran zat atau material ini membawa dampak pada daerah-daerah
penunjang kota metropolis. Jadi seolah-olah kekayaan mereka telah dirampok.

14
Khususnya dalam hal air. Sebuah kota besar, terutama kota industri yang
sangat boros, apabila air yang disalurkan dari luar tidak mencukupi, maka
langkah selanjutnya adalah mengebor air dari dalam tanah. Contohnya Kota
Meksiko, dengan sekitar 3000 sumur bor pribadi dan 220 sumur bor
pemerintah, telah menimbulkan penurunan tanah di kota itu mencapai 15
hingga 30 cm per tahun. Dalam periode 1891-1959, sudah ada bagian kota
yang tanahnya turun sebanyak 7,5 meter (Poland, 1971).
• Dampak iklim dan polusi kota
Polusi debu atau partikel di udara sebuah kota menyebabkan radiasi matahari
yagn sampai pada permukaan daerah urban sangat berkurang. Sekalipun
demikian, suhu di kota lebih tinggi dari suhu di daerah sekitarnya yang masih
bersifat agraris. Hal ini disebabkan oleh karena radiasi matahari yang diterima
di sebuah kota dipantulkan kembali melalui bangunan-bangunan dan aspal
jalan, ditambah dengan panas buatan manusia sendiri melalui pembakaran
yang terjadi pada mesin-mesin kendaraan dan industri.
• Dampak stres kehidupan kota
Hidup berdekatan dan berdesak-desakkan menyebabkan masyarakat lebih
sering bertatap muka dan tatap muka tersebut sering terjadi di luar keinginan
masyarakat itu sendiri. Dengan demikian mekanisme penyesuaian sosial selalu
harus siap siaga supaya hubungan baik antara individu terpelihara dengan
mantap (Zlutnick, 1972). Persaingan dalam bidang sosial-ekonomi di dalam
suatu lingkungan dengan banyak orang, dengan sendirinya meningkat untuk
bertahan hidup. Aspek kehidupan ini tidak sedikit menyebabkan tekanan batin
kepada banyak penduduk kota.

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perkembangan komunitas manusia mengalami evolusi melalui tingkatan-
tingkatan. Perkembangan tersebut berpengaruh pada kondisi lingkungan, habitat, jenis
tempat tinggal dan kebudayaan manusia. Semakin berkembang kebudayaan itu maka
semakin banyak potensi alam yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Penggunaan sumber daya alam itu menimbulkan pengaruh positif maupun negatif,
yang semuanya bergantung pada perilaku manusia itu sendiri.

3.2 SARAN
Kita sebagai manusia yang hidup pada masa ini di warisi kebudayaan dan
berbagai potensi alam yang melimpah harus bisa menjaga dan memanfaatkan sebaik
mungkin agar semua yang diwarisi tidak habis dipakai pada saat ini sehingga nanti
dapat diwariskan dan dinikmati juga oleh generasi selanjutnya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Sukadana, A. Adi. 1983. Antropo-Ekologi. Surabaya: Airlangga University Press.

Thamiend R., Nico dan M.P.B Manus. 2000. Sejarah untuk Kelas 1 SMA. Jakarta:
Jakarta.
Zaiher, Laura C. 1996. The Ecology of Architecture. New York

Frick, Heinz, Ir. 1988. Arsitektur dan Lingkungan. Yogyakarta: Kanisius

17

Anda mungkin juga menyukai