P a g e 1 | 15
1. PENDAHULUAN
1. Suhu udara rata-rata yang tinggi, karena arah sinar matahari selalu vertikal dan
intensitas cahaya tinggi. Umumnya suhu udara berkisar antara 20 - 23°C, bahkan
di beberapa tempat rata-rata suhu tahunan dapat mencapai 30°C;
2. Amplitudo suhu rata-rata tahunan yang kecil. Di katulistiwa antara 1 – 5°C,
sedangkan amplitudo hariannya lebih besar;
3. Tekanan udara yang rendah dengan perubahan secara perlahan dan beraturan;
4. Curah hujan yang relatif tinggi, dengan kecepatan angin bervariasi dan
kelembaban udara tinggi.
Kondisi iklim tropis yang lembab dengan beberapa faktor spesifik yang hanya akan
dijumpai pada iklim tersebut memberikan konsekuensi logis berupa arsitektur yang
spesifik dan kemungkinan besar memiliki penyelesaian berbeda dengan arsitektur
bangunan di wilayah lain yang memiliki perbedaan kondisi iklim.
Arsitektur nusantara dalam konteks kajian ini merupakan arsitektur yang dibangun
berdasarkan tanggapannya terhadap iklim. Arsitektur yang tanggap iklim merupakan
sebuah keniscayaan mengingat kenyataan bahwa arsitektur memiliki persyaratan
dasar berupa ‘tempat’ beserta seluruh karakteristik alamiahnya termasuk iklim
sebagai syarat keberlangsungannya. Akan tetapi, ranah arsitektur kontemporer
Indonesia seakan tidak atau kurang mengindahkan arsitektur nusantara dalam
P a g e 2 | 15
perancangan bangunan karena tidak adanya paradigma-paradigma yang menjadi
dasar pengkinian dan keberlanjutan arsitektur nusantara. Oleh karena itu, dengan
merujuk pada aspek fungsional (utilitas) pada arsitektur tradisional Indonesia yang
tanggap iklim sebagai landasan idiil, maka implementasi pengkinian arsitektur
nusantara dapat menyesuaikan aspek tektonis/struktural bangunan dengan
paradigma dasar arsitektur tanggap iklim yang dirumuskan dalam kajian ini
Paparan dalam kajian ini merupakan upaya untuk merumuskan karakteristik dasar
arsitektur nusantara yang tanggap iklim melalui studi kasus beberapa bangunan
arsitektur tradisional di Indonesia. Karakteristik dasar tersebut dapat dikaji dan
disimpulkan sebagai asumsi dasar/paradigma untuk menentukan potensi
keberlanjutan arsitektur nusantara, yaitu melalui sumbangannya terhadap
pengetahuan ilmiah yang kontekstual terhadap karakteristik ‘tempat,’ dalam hal ini
adalah Nusantara dan potensi iklimnya.
P a g e 3 | 15
2. Tanggapan arsitektur nusantara terhadap variabel iklim di lingkungan
tropis lembab.
Penelitian yang dilakukan Said dan Aufa (2012) dan penelitian yang dilakukan
oleh Suwantara, Damayanti dan Suprijanto (2012) memberikan gambaran
pengaruh iklim terhadap bentuk arsitektur hunian melalui beberapa metode.
1
https://www.scribd.com/doc/315242261/Arsitektur-Nusantara-yang-Tanggap-Iklim-Paradigma-dalam-
penentuan-potensi-berkelanjutan-docx
P a g e 4 | 15
Pertama, melalui analisis terhadap tipe-tipe iklim dan relevansi tipe-tipe
tersebut dengan persyaratan bangunan, bentuk, dan material. Kedua, analisa
kondisi dan posisi berbagai tipe hunian dalam rentang skala iklim. Dan ketiga,
alternatif desain arsitektur hunian dalam batasan beberapa kombinasi variabel
iklim.
2
https://www.scribd.com/doc/315242261/Arsitektur-Nusantara-yang-Tanggap-Iklim-Paradigma-dalam-
penentuan-potensi-berkelanjutan-docx
P a g e 5 | 15
Rumah adat dari Sumba Barat yang dikenal dengan rumah menara adalah salah
satu rumah adat yang menarik untuk dibahas. Rumah adat ini memiliki ciri khas dari
bentuk atap yang tinggi dengan sistem struktur yang menggunakan material lokal
dan tenaga manusia untuk membangunnya. Secara keseluruhan ditinjau dari segi
aspek arsitekturalnya, semua rumah adat mempunyai keunikan dan daya tarik
tersendiri untuk ditelaah dan dipelajari lebih lanjut serta dikembangkan dan
diberikan informasi selengkap-lengkapnya kepada masyarakat dari segi bentuk
bangunan, fungsi ruang hingga sistem strukturnya. Dalam menata kampung adat,
masyarakat Sumba selalu mengaitkan tata ruang dengan fenomena alam
(menyesuaikan dan menggunakan orientasi yang terkait dengan peredaran
matahari-bulan, arah angin, arah gunung-laut, dsb.), serta meggunakan
bentukbentuk dasar (archetype) seperti lingkaran, elips, segi empat sebagai simbol-
simbol kehidupannya. (Windadari, dkk, 2006) Menurut kepercayaan masyarakat
Sumba, dunia terbagi menjadi tiga bagian yaitu dunia atas sebagai tempat para
dewa dan arwah leluhur, dunia tempat kehidupan manusia dan dunia bawah sebagai
tempat hewan. Kepercayaan ini terwujudkan dalam struktur rumah adat sumba yaitu
bagian atap menara (uma deta) yang melambangkan dunia atas, ruang dalam
rumah (uma dei) sebagai tempat kehidupan dan kolong rumah (kali kambunga)
sebagai tempat hewan. (Windadari, dkk, 2006) Secara struktural, rumah ini juga
terbagi menjadi bagian atas yaitu atap, bagian tengah adalah lantai, dan bagian
bawah adalah pondasi. Selain ketiga elemen struktural itu, ada juga elemen non-
struktural yaitu dinding. Rumah adat yang dikenal rumah adat menara menjadi
bahan/objek yang menarik untuk dianalisis dari segi konstruksi bangunan yang
tinggi dalam menahan beban angin, penggunaan material Sistem Struktur Rumah
Adat Barat.
P a g e 7 | 15
4) Prinsip gender pada kehidupan sosial. Peran pria sebagai manusia terpilih
yang dianugerahi kemampuan khusus, mendominasi di setiap upacara-
upacara adat suku We’e Lowo dan Anawara. Fenomena tersebut menjadi hal
yang lazim sebab pada hakikatnya pria yang berkemampuan khusus itulah
yang berperan aktif mempersatukan warga kampung Tarung yang masih
hidup dengan arwah anggota keluarga yang sudah meninggal dunia.
5) Implementasi gender pada elemen bangunan dan tata ruang rumah adat.
Elemen-elemen bangunan yang mengandung prinsip gender yaitu kado uma
(melambangkan pasangan suami istri) dan pata pari’i (melambangkan sebuah
simbol kehidupan keluarga utuh dan ideal, yang terdiri dari maselaatautiang
bapak, kawisu atau tiang ibu, lapale atau tiang anak laki-laki, dan ma poddu
atau tiang anak perempuan). Secara horizontal dalam tata ruang sebagian
besar rumah adat di kampung Tarung milik suku We’e Lowo, semua rumah
terbagi menjadi domain pria (kiri) dan domain wanita (kanan).
6) Peran tiap rumah pada masa Wulla Poddu. Pada masa Wulla Poddu 12 Tubba
diwajibkan berpartisipasi dalam menyambut datangnya bulan suci Merapu.
7) Pelataran ruang sakral untuk upacara adat. Unsur tata masa dalam pola
kampung Tarung memiliki kerakteristik pola kompak memanjang yang
berorientasi ke pelataran ruang sakral tempat pelaksanaan upacara-upacara
adat atau disebut juga dengan natara. Di dalam area natara terdapat
elemenelemen sakral yang membentuk satugaris atau poros linier sakral dari
sisi utara ke selatan dengan urutan sebagai berikut yaitu; 1) Uma kabubu, 2)
Katoda, 3) Watu dodo, dan 4) Adong.
P a g e 8 | 15
KAMPUNG TAMBERA
Terletak di desa Doka Kaka kecamatan Loli merupakan kampong Ina-
Ama atau kampong adat utama suku loli sekaligus pusat pelaksanaan ritual
Wulla Poddu, sebuah ritual suci penganut Marapu (kepercayaan tradisional
penduduk asli Sumba Barat) yang dilaksanakan selama satu bulan penuh.
Rato di kampong adat tambera bernama Yewa L. Kodi. Saat ini kampung
Tambera dihuni oleh 12 kabisu(sub-klan) yang mendiami 20 buah rumah adat
dengan nama dan fungsi tersendiri.
Di dalam kampung adat Tambera terdapat beberapa benda-benda
sakral yang kemudian di tetapkan sebagai benda cagar budaya. Berikut ini
adalah benda cagar budaya yang berada di situs Tambera.
1. Doddu/ ubbu ; Tambur suci yang hanya dibunyikan setahun sekali yaitu
sepanjang pelaksanaan Wulla Poddu(Bulan Suci) yang berlangsung antara
P a g e 9 | 15
bulan November sampai dengan oktober.
2. Lede Kodaka ; Gong suci yang terbuat dari serbuk besi. Gong ini hanya
boleh dibunyikan pada bulan Wulla Poddu.
3. Paleti Lango-Pedenga Rasi ; sepasang gong suci yang dibunyikan saat
perayaan ritual-ritual pemujaan yang berlangsung di dalam rumah.
4. Soro Bonu- Karawang Jawa ; sepasang gong suci yang dibunyikan saat
kemarau panjang dengan tujuan meminta datangnya hujan.
5. Kaleku Boru Podda/ kawuku; Simpul tali terbuat dari kulit pohon yang
dibentuk menyerupai bola. Dipercaya sebagai symbol perkembangan manusia
dan bahan pangan.
6. Kaweda; wadah kecil terbuat dari anyaman rotan atau pandan.
7. Dari dewa; untaian muti terbuat dari batuan alam sebagai pelengkap
busana adat rato Rumata Tambera dan Rumata Geila Koko yang digunakan
dengan cara dililitkan di sekeliling rahang.
8. Rewo/ kau; Sejumput rambut yang digunakan oleh rato rumata.
9. Nombu Wara; Tombak besi yang terbuat dari serbuk besi.
10. Nombo Tei; tombak suci yang digunakan sebagai kelengkapan busana
penari laki-lak yang tampil saat Wulla Poddu.
11. Nombu Tadaila Goro; Bahan Dasar tombak ini sama dengan nombu Wara
dan nombu Tei namun ujung-ujung nya tumpul dan dilengkapi hiasan bulu
ayam dan giring-giring.
12. Teko; Parang suci yang duigunakan berpasangan dengan tomabak suci
dan hanya digunakan pada saat wara serta kala berlangsung ritual-ritual
tertentu selama bulan suci.
P a g e 10 | 15
(Kampung Adat Tambera)
Sumber: Hasil Studi Lapangan
13. Kedde Kawuku; Gasing yang dibuat khusus dan dimainkan selepas
upacara pogo mawo oleh kabisu (sub-klan) wee Lowo dan dimainkan oleh
suka wee lwo dan suku ana wara.
14. Dinga Leba ; Guci keramat yang terbuat dari keramik kuno
15. Putta Pangede; Seutas tali yang konon digunakan untuk membunuh putri
kamuri.
16. Tukka Wee; Tempayang Suci yang terbuat dari tanah liat.
17. Daa walla Gole; kuda kepang beserta aksesoris penunggang yang terbuat
dari kulit kayu dan bahan alami lainnya.
18. Gading ponggu;gelang yang terbuat dari gading gajah dan dikenakan
pada lengan bagian atas.
19. Watu Bela; Hiasan dada terbuat dari logam campuran yang digunakan
sebagai aksesoris pelengkap busana penari wanita.
20. Padi Ana Gaga; Batu keramat berwarna hitam yang dipercaya sabagai
tempat bermukim atau symbol marapu kilat.
P a g e 11 | 15
4. Benang Merah Dari Kedua Pembahasan
Kajian dalam paparan ini diawali dengan terlebih dahulu merumuskan konsep
tentang arsitektur nusantara. Proses perumusan ini didasari atas kajian dari pustaka
berupa penelitian-penelitian sebelumnya. Konsep arsitektur nusantara yang
digunakan adalah rumusan Prijotomo (2012) tentang arsitektur nusantara yaitu
arsitektur yang ‘bertempat’ di wilayah Nusantara, merupakan arsitektur yang
dibangun berdasarkan tanggapan atas dua musim di lintasan khatulistiwa, memiliki
karakter kesetempatan dan kesementaraan, dibangun dalam konsep naungan dan
bukan perlindungan serta memiliki dasar filosofis terbangun yang berbeda dengan
arsitektur Eropa. Arsitektur Nusantara dapat dipahami sebagai sebuah sistem
pengetahuan yang mendasarkan diri pada sistem pengetahuan yang berakar pada
‘tempat’ terbangunnya, terutama dari konsep struktur yang tanggap gempa, dan
pemilihan material organik/kayu, berbeda dengan konsep arsitektur Eropa yang
tidak tanggap gempa dan dibangun dengan material batu/anorganik. Rumusan
tanggap iklim dari contoh-contoh arsitektur tradisional yang diteliti dalam kajian ini
merupakan sintesa dari pemahaman yang searas yaitu arsitektur yang dibangun
berdasarkan konteks ‘lokal’ dengan seluruh karakteristik spesifik, termasuk iklim
tropis lembab di mana arsitektur tersebut terbangun.
P a g e 12 | 15
Kesimpulan
P a g e 13 | 15
Daftar Pustaka
https://www.scribd.com/doc/315242261/Arsitektur-Nusantara-yang-Tanggap-Iklim-Paradigma-
dalam-penentuan-potensi-berkelanjutan-docx
P a g e 14 | 15
Lampiran Foto
P a g e 15 | 15