TUGAS MINGGUAN 2
DI SUSUN OLEH :
KUPANG
2020
Abstrak
Arsitektur Nusantara adalah sebagai wujud fisik kebudayaan manusia yang memiliki wujud
dimensi sebagai wadah atau alat yang bermakna dalam kehidupan manusia. Ada berbagai
macam bentuk arsitektur nusantara yang dibuat sesuai kepercayan serta filosofi dari daerah
masing-masing, tetapi ada juga bentuk dari arsitektur yang sama dari daerah yang berbeda
seperti pada arsitektur Manggarai, Dawan, dan Papua. Ketiga daerah ini memiliki bentuk
arsitektur yang hampir serupa, ditinjau dari bentuk denahNya yang bulat, serta atap kerucut.
Metoda yang digunakan dalam tulisan ini adalah metoda deskriptif dan komparatif dimana
saya menjelaskan dan membandingkan arsitektur Manggarai, Dawan, dan Papua.
Tujuan yang ingin dicapai melalui kajian ini adalah ditemukannya perbedaan dari ke-tiga
arsitektur ini.
1. Pendahuluan
Indonesia atau Nusantara merupakan kepulauan yang menjadi silang budaya pergerakan
manusia pada abad-abad pra sejarah. Persilangan tersebut pada akhirnya membentuk
suatu persebaran budaya yang beraneka ragam. Keragaman budaya arsitektur pun juga
memiliki perjalanan panjang diantara budaya suku-suku di Nusantara ini hasil karya
budaya tersebut adalah kekayaan arsitektur yang mengagumkan.
Arsitektur Nusantara identik dengan arsitektur Indonesia adalah suatu unsur kebudayaan
yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan suatu suku bangsa atau
bangsa. Sedangkan Budaya terbentuk karena adat istiadat dan tradisi yang
berkesinambungan dan mengalami titik tumbuhnya sendiri-sendiri.
Hunian tradisional nusantara memiliki nilai kebudayaan yang kaya akan makna. Nilai
kebuadayaan setiap daerah berbeda-beda. Tetapi bentuk arsitektur dari beberapa daerah
ada yang hampir serupa . Diantaranya adalah Hunian masyarakat Manggarai, Dawan,
dan Papua. Mereka memiliki Bangunan arstektur yang hampir sama, yakni beratap
kerucut dengan denah berbentuk bulat tetapi dengan Budaya yang berbeda.
4.1 Arsitektur Atoni/Dawan
a) Tipologi Bangunan.
b) Pondasi (Baki).
c) Lantai (Nijan).
Lantai bangunan terbuat dari tanah yang diurug diatas/di dalam fondasi yang sudah
berbentuk (bundar). Permukaan lantai kemudian diratakan.
d)Tiang (Ni).
Tiang ume to ana‘ disini dibagi menjadi 3 bagian :
1. Ni Ana’ :
Tiang yang mengelilingi bangunan. Tiang ini ditanam sesuai dengan bentuk denah
(secara melingkar). Jumlah tiang tergantung dari luasnya. Jarak antara tiangnya
juga bervariasi, namun rata–rata antara 1,5–2,5 m. Bentuk tiang diambil dari alam
dan langsung digunakan tanpa dibentuk lagi, hanya dirapikan. Tiang ini dipilih yang
agak lurus dan bercabang pada bagian atas yang mana nanti berfungsi untuk
menopang Neu’ Nono. Jenis kayu yang digunakan antara lain : kayu merah atau
kayu putih. Tinggi tiang Ni Ana‘, makin dekat dengan pintu makin tinggi hingga kira
– kira 1,25 m, sedangkan yang terpendek yang terjauh dari pintu 60 – 80 cm.
Diameter tiang antara 10–15 cm.
e) Dinding (Niki).
Dinding dipasang melingkari tiang (Ni Ana‘). Beberapa kayu/bilah bambu melintang
terdiri dari dua jalur diikatkan pada kayu/bambu melintang sekaligus merupakan
perkuatan pada dinding. Tinggi dinding ± 0,50–0,80 m. Semakin dekat ke pintu
semakin tinggi, dindingnya sampai 100 cm. Bahan dinding dipilih dari beberapa jenis
bahan antara lain : papan, bambu cincang, batang pinang cincang, pelepah gewang,
kulit kayu dan sebagainya. Bagian bawah/ujung dinding dimuat diatas batu dengan
tujuan agar tidak mudah rusak akibat rayap atau air.
F) Atap (Tefi)
Bentuk atap agak berbeda dengan Ume
Kbubu terutama pada bagian bubungan yang
lebih panjang dan pada bagian depan
teritisnya tidak sampai ke tanah malah agak
tinggi. Elemen – elemen konstruksi atap Sonaf
:
g) Loteng (Tetu).
Loteng terdiri dari dua balok yang menumpu diatas empat tiang pendukung (Ni Tet )
yang disebut Suif. Diatas Suif diletakan melintang balok Nono, dan diatas Nono ini
diletakan secara melintang balok Tunis. Di atas Tunis in digelar bambu cincang/
batang pinang cincang.
h) Pintu (Enok).
Pintu terbentuk dari susunan papan, bilah bambu/gewang secara vertikal. Tingginya
1m–1,25m, lebarnya 0,80–1,00 m. Pintu biasanya dibuka kedalam. Secara garis
besar pintu orang Dawan dibagi atas : Daun Pintu (Bena) yang berarti ceper/datar
dan balok diatas pintu (kbafnesu Fafof) dan balok dibawah pintu (Kbafnesu Penif).
Pada kedua balok ini dibuat berlubang sebagai tempat memasukan Utin (Lidah
Pintu). Lubang tersebut dinamakan Bola’/Kona’. Utin dan Bola melambangkan pria
dan wanita. Selain lubang tempat memasukan Utin tadi, juga terdapat lubang lain
yang disebut Kona Falo yaitu tempat memasukan Falo yang berfungsi sebagai kunci
tradisional.
i) Tangga (Elak).
Tangga yang dimaksudkan disini adalah tangga yang digunakan untuk naik ke
loteng yang disebut Elak. Elak dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
Elak Ma’bola ( tangga berlubang ), terbuat dari sebatang kayu yang dilubangi
empat sampai lima lubang.
Elak Se’at yakni sebuah bambu yang ditakik 4 – 5 takikakan.
Elak Haunua, Terdiri dari dua batang bambu yang dihubungkan dengan
beberapa kayu pendek sekaligus sebagai anak tangga.
b) Pondasi (Baki).
Seperti halnya dengan Ume Kbubu, bahan pondasi berasal dari batu kali ceper yang
disusun setinggi 20–40 cm dari permukaan dan membentuk lingkaran. Fungsinya
sama yaitu mencegah masuknya air hujan ke dalam ruangan.
c) Lantai (Nijan).
Setelah pondasi terbentuk, pada bagian tengah lingkaran yang sudah dibatasi
dengan batu kali dimasukan batu kerikil dan diatasnya diurug dengan tanah sampai
rata.
d) Tiang (Nono).
Tiang struktur pada Sonaf ini dibagi 3 bagian yakni :
1. Ni Ana’ :
Tiang yang dipasang keliling bangunan. Jumlah tiang ini melambangkan suku–suku
yang berada di bawah naungan kepemimpinan raja yang mendiami Sonaf ini. Tinggi
tiang dan jarak antara tiang sekitar 150 cm. Tiang–tiang ini diberi ukiran. Untuk
bahan tiang ini digunakan teras pohon kayu merah / teras kayu putih yang lurus.
Pada bagian atas tiang diberi takikan yang menyerupai cabang (Tatone).
3. Ni Enaf :
Tiang Utama. Tiang ini lebih tinggi dari tiang yang lain (4,00 m) dan melambangkan
adanya makhluk yang supra natural. Jumlah tiang ini ada dua. Yang satu berada di
ruang dalam/ruang perempuan (Bife) dan yang lainnya berada di luar/tempat
pertemuan (Sulak). Diameter tiang ini lebih besar dari tiang lain (25 cm) dan pada
puncaknya terdapat cabang alamiah. Cabang tersebut berfungsi sebagai penopang
balok bubungan (Lael) di atasnya. Bahan yang dipilih sebagi tiang utama ini adalah
teras kayu merah / putih yuang diberi bentuk bulat polos tanpa ukiran.
e) Dinding (Niki).
Bahan dinding berasal dari pohon kayu merah yang dibelah menjadi papan. Papan
dipasan melintang dengan perkuatan dua kayu melintang, papan–papan disatukan
dengan diikatkan pada tiang–tiang (Ni Ana‘). Tinggi dan tebal papan yang
mengelilingi bangunan adalah 1,50 m dan 2cm. Sedangkan dinding yang membatasi
ruang Bife dan Sulak tingginya 2,50 m dan tebalnya 4 cm. Pada bagian bawah
dinding diberi alas dari balok kayu yang diberi sponing untuk memasukan papan
tersebut kedalam. Tujuannya untuk mencegah merembesnya air ke atas dinding dan
menghindari serangan rayap–rayap. Balok–balok ini disebut Penif.
F) Atap (Tefi)
Bentuk atap agak berbeda dengan Ume Kbubu terutama pada bagian bubungan
yang lebih panjang dan pada bagian depan teritisnya tidak sampai ke tanah malah
agak tinggi. Elemen – elemen konstruksi atap Sonaf :
2. Non Loti :
Rangkaian batang–batang cemara. Ukuran ikatan lebih kecil dari Non Ni Ana.
Fungsinya sebagai tempat untuk mengikat Loti dan diikat melingkari ujung–ujung
balok loteng. Fungsinya selain sebagai pembentuk lingkaran juga untuk mengikat
ujung–ujung balok loteng.
3. Non Nifu & Nono :
Fungsinya sama yakni pemberi bentuk (lingkaran) dan juga sebagai tumpuan Suaf.
4. Non Sene :
Berfungsi sebagai pemberi bentuk bagian atas.
5. Loti.
Loti ditempatkan di teritisan depan rumah. Fungsinya untuk menopang bagian teritis
depan rumah agar lebih tinggi dari bagian teritis yang lain. Jumlah Loti
mencerminkan jumlah suku–suku yang tergabung.
6. Suaf.
Ukuran Suaf pada Sonaf umumnya lebih besar dari Ume Kbubu. Diameter batang 7–
10 cm. Bahan Suaf dari batang–batang cemara yang lurus utuh tanpa adanya
sambungan. Suaf diikat diikat diatas semua Nono. Pada bagian bawah diberi takikan
(Tkoma) yang fungsinya sebagai tempat untuk mengaitkan tali–tali yang diikatkan
pada Non Ni Ana‘.
7. Takpani :
adalah batang–batang kecil yang diikatkan melingkar diatas Suaf. Diameter Takpani
2–3 cm. Fungsi Takpani sebagai tempat mengikatkan bahan penutup atap (alang–
alang / Hun).
g) Loteng.
Sistem konstruksi loteng sama dengan pada Ume Kbubu, tapi tiang penopang balok
bubungan tidak menopang pada balok loteng namun berasal dari tiang induk (Ni
Ainaf) yang ditanam dalam tanah.
h) Pintu.
Pintu asli untuk Sonaf terbuat dari dua lembar papan yang tingginya 2,00 m. Tebal
masing–masing papan sampai dengan pegangannya 15 cm. Tebal papannya sendiri
kira–kira setengah dari tebal sampai dengan pegangannya. Lebar masing–masing
papan 50 cm. Pegangan pintu (Eka Kolok) masing–masing dua buah yaitu disebalah
kiri dan kanan. Pegangan pintu ini dibuat dengan cara memahat sebuah papan yang
tebal (15 cm) sampai terbentuknya pegangan tersebut. Jadi pegengan pintu ini
menyatu dengan pintu tanpa adanya paku, pasak, lem, tali pengikat dan
sebagainya. Pada permukaan pintu ini juga diberi Ukiran serta lubang yang tembus
pada sisi- sisinya sebagai tempat untuk memasukan sejenis palang pintu tradisional
(Hau Eka). Pintu ini juga terbagi atas 3 bagian besar :
1. Daun pintu ( Bena ).
2. Balok di atas pintu ( Kbafnesu Fafof ).
3. Balok di bawah pintu (Kbafnesu Penif).
Pada bagian atas dan bawah balok ini diberi lubang (Bola‗) tempat memasukan
lidah pintu (Utin). Utin dan Bola‘ berfungsi sebagai engsel pintu dan melambangkan
pria dan wanita.
3. Rumah Tempat Pertemuan Umum (Lopo/ Ume Buat)
1. Tiang ( Ni )
Bentuk tiang lopo adalah bulat denagan diameter 20–30 cm. Jumlah tiang adalah 4
buah (Ni Tetu), sebagai pendukung balok–balok loteng yakni sebuah tiang
pendukung balok–balok loteng. Di tengah–tengah persilangan diagonal loteng
terdapat sebatang kolom disebut Ni Enaf yang bertumpu pada balok–balok loteng
(Tunis). Jenis pohon yang dipakai sebagai tiang adalah teras kayu Kmel (jenis kayu
merah), teras kayu putih (Hu‘e), Matani (sejenis kayu marambi), Ayotias (teras
Kasuari), Kiu Tias (teras asam). Ke-empat tiang Ni Tetu setinggi 3,00 m ditanam
sedalam 0,50 m. Ujung tiang (Ni) bagian atas yang berdiameter paling kecil disebut
Utin. Bagian ini berfungsi sebabagai sambungan yang akan dimasukan kedalam
lubang pahatan yang terdapat pada balok melintang (Suif). Dibawah Utin terdapat
sebuah alur untuk penempatan Benatu‘as (lempengan kayu/batu bundar) sebagai
pencegah tikus agar tidak naik ke loteng. Bagian bawah Benatu‘as terdapat Tkoma
Maeka yakni bagian yang diukir untuk memperindah tiang.
2. Atap.
Bentuk maupun konstruksi atap ume lopo pada dasarnya sama seperti pada ume
kbubu. Perbedaannya hanya pada teritis atap lopo yang tidak sampai menyentuh
tanah, tetapi berjarak dari permukaan tanah 150-200 cm.
Bentuk puncak atap lopo ada 2 macam, yaitu :
a. Berbetnuk pelana/palungan terbalik, dan
b. Berbentuk kerucut.
4.2 ARSITEKTUR MANGGARAI
Rumah Gendang
Rumah tradisional Manggarai biasa disebut dengan nama Mbaru Gendang atau
Mbaru Tembong. Bentuknya menyerupai seperti kerucut yang terbuat dari
rerumputan kering. Struktur bangunan menerus dari atap sampai lantai.
Sistem Pemukiman Dan Budidaya
MATERIAL BANGUANAN
17
Honai adalah rumah tradisional masyarakat di pegunungan tengah Papua. Rumah
memiliki bentuk bulat dan biasanya dihuni oleh 5-10 orang. Terbuat dari papan kayu
kasar dengan atap ilalang/jerami, dengan tinggi sekitar 4-6 meter dan diameter 5-7
meter. Anyaman bambu ini telah diatur mengelilingi dinding interior rumah dan satu
pintu di bagian depan. Rumah tersebut memiliki dukungan empat tiang di tengah dan
perapian untuk mengejar keluar udara dingin di malam hari, juga merupakan tempat
untuk masak,spt.; hipere (ubi jalar), WAM (babi), dan sayuran. Lantainya dari tanahdan
ditutupi dengan rumput kering. Honai terdiri dari 2 lantai yaitu lantai pertama sebagai
tempat tidur dan lantai kedua untuk tempat bersantai, makan, dan mengerjakan
kerajinan tangan. Karena dibangun 2 lantai. Pada bagian tengah rumah disiapkan
tempat untuk membuat api unggun untuk menghangatkan diri. Rumah Honai terbagi
dalam tiga tipe, yaitu untuk kaum laki-laki (disebut Honai), wanita (disebut Ebei), dan
kandang babi (disebut Wamai).
18
Honai - Rumah Adat Papua
Rumah Honai terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari
jerami atau ilalang. Honai mempunyai pintu yang kecil dan tidak memiliki jendela
yang bertujuan untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua.
Arsitektur tak selalu mewujud dalam bangunan yang besar, megah, mewah dan
serba wah. Bisa saja kecil, sederhana, tetapi memiliki kualitas yang baik.. Lebih
dari itu, arsitektur adalah wujud anasir hasil proses pergumulan, pemikiran, dan
perenungan arsitek untuk melahirkan ide arsitektural.
Sebutlah di daerah Wamena, Papua, ada gaya arsitektur tradisional yang begitu
terkenal, yaitu honai. Rumah khas masyarakat Papua ini berbentuk lingkaran,
terbuat dari kayu dan beratap jerami atau ilalang berbentuk kerucut. Satu
keluarga bisa memiliki beberapa honai yang berkumpul menjadi satu dan
dibatasi pagar kayu di sekelilingnya. Tiap rumah dihuni satu pria beserta istri-istri
dan anak-anak mereka.
Rumah tradisional itu memiliki pintu yang kecil dan rendah, dan tak memiliki
jendela sebagai ventilasi udara. Komposisi demikian bertujuan untuk menahan
hawa dingin pegunungan Papua. Struktur rumah tradisinal tersebut tersusun atas
19
dua lantai— lantai dasar sebagai tempat tidur dan lantai kedua untuk tempat
bersantai, makan, dan mengerjakan kerajinan tangan. Karena dibangun dua
lantai, ia memiliki tinggi kurang lebih 2,5 meter. Pada bagian tengah rumah,
disiapkan tempat untuk membuat api unggun untuk menghangatkan diri,
sekaligus sebagai tempat untuk memasak.
Gaya arsitektur honai memang memiliki banyak kekhasan sebagai wujud cara
arsitek terdahulu dalam memandang, memahami, dan mewujudkannya dengan
mengandalkan bahan yang sederhana dan sangat natural. Bagaimana eksplorasi
material dibuat sedemikian efektif dan ekonomis, tanpa mengurangi kualitas dan
nilai fungsional suatu bangunan.
20
Mempunyai kemiripan bentuk rumah adatnya.
4.5.1 Kesimpulan
Arsitektur Nusantara merupakan julukan bagi arsitektur Indonesia secara
keseluruhan dari sabang sampai Marauke. Nusantara sendiri sebenarnya
merupakan kata majemuk dari bahasa Jawa Kuno (Kawi), terdiri dari kata
21
Nusa yang berarti pulau Antara yang berarti lain. Istilah ini biasa
digunakan dalam konsep kenegaraan ―Jawa‖, artinya dikenakan pada
daerah di luar pengaruh budaya Jawa.
22
limas.
DAFTAR PUSTAKA
23
Sumintardja, D. 1978. Kompendium Sejarah Arsitektur Indonesia. Yayasan LPMB
24