Anda di halaman 1dari 24

TUGAS MATA KULIA : ARSITEKTUR NUSANTARA

DOSEN PENGAMPUH MATA KULIAH : Ir. PILIPUS JERAMAN , MT

TUGAS MINGGUAN 2

“Konsep Arsitektur Nusantara Berdenah Lingkaran”

DI SUSUN OLEH :

RUPERTUS DORECYANO BILLSHILA (221 18 009)

PROGRAM STUDI TEKNIK ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA

KUPANG

2020

Konsep Arsitektur Nusantara

Berdenah Lingkaran & Beratap Kerucut


Oleh

Rupertus Dorecyano BillShila


(Mahasiswa Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Widya Mandira, Kupang)

Abstrak

Arsitektur Nusantara adalah sebagai wujud fisik kebudayaan manusia yang memiliki wujud
dimensi sebagai wadah atau alat yang bermakna dalam kehidupan manusia. Ada berbagai
macam bentuk arsitektur nusantara yang dibuat sesuai kepercayan serta filosofi dari daerah
masing-masing, tetapi ada juga bentuk dari arsitektur yang sama dari daerah yang berbeda
seperti pada arsitektur Manggarai, Dawan, dan Papua. Ketiga daerah ini memiliki bentuk
arsitektur yang hampir serupa, ditinjau dari bentuk denahNya yang bulat, serta atap kerucut.

Metoda yang digunakan dalam tulisan ini adalah metoda deskriptif dan komparatif dimana
saya menjelaskan dan membandingkan arsitektur Manggarai, Dawan, dan Papua.

Tujuan yang ingin dicapai melalui kajian ini adalah ditemukannya perbedaan dari ke-tiga
arsitektur ini.
1. Pendahuluan

Indonesia atau Nusantara merupakan kepulauan yang menjadi silang budaya pergerakan
manusia pada abad-abad pra sejarah. Persilangan tersebut pada akhirnya membentuk
suatu persebaran budaya yang beraneka ragam. Keragaman budaya arsitektur pun juga
memiliki perjalanan panjang diantara budaya suku-suku di Nusantara ini hasil karya
budaya tersebut adalah kekayaan arsitektur yang mengagumkan.

Arsitektur Nusantara identik dengan arsitektur Indonesia adalah suatu unsur kebudayaan
yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan suatu suku bangsa atau
bangsa. Sedangkan Budaya terbentuk karena adat istiadat dan tradisi yang
berkesinambungan dan mengalami titik tumbuhnya sendiri-sendiri.

Hunian tradisional nusantara memiliki nilai kebudayaan yang kaya akan makna. Nilai
kebuadayaan setiap daerah berbeda-beda. Tetapi bentuk arsitektur dari beberapa daerah
ada yang hampir serupa . Diantaranya adalah Hunian masyarakat Manggarai, Dawan,
dan Papua. Mereka memiliki Bangunan arstektur yang hampir sama, yakni beratap
kerucut dengan denah berbentuk bulat tetapi dengan Budaya yang berbeda.
4.1 Arsitektur Atoni/Dawan
a) Tipologi Bangunan.

Denah rumah rakyat biasa berbentuk bundar. Luasnya


tergantung pada kebutuhan serta status sosial
pemiliknya. Rumah dengan denah berbentuk bundar
ini disebut juga Ume Kbubu (Rumah Bulat). Kadang
disebut juga Ume Bife (Rumah Perempuan), karena
sebagian besar kegiatan dari wanita terfokus pada
rumah ini, misalnya : melahirkan, memasak, menenun,
dan sebagainya. Sedangkan kegiatan pria lebih banyak
di ladang.

b) Pondasi (Baki).

Pondasi dibentuk dari batu kali ceper yang disusun


membentuk lingkaran sesuai dengan luasnya. Tinggi
pondasi dari permukaan tanah antara 20 cm–40 cm.
Fungsinya untuk mencegah masuknya air pada saat
musim penghujan.

c) Lantai (Nijan).
Lantai bangunan terbuat dari tanah yang diurug diatas/di dalam fondasi yang sudah
berbentuk (bundar). Permukaan lantai kemudian diratakan.

d)Tiang (Ni).
Tiang ume to ana‘ disini dibagi menjadi 3 bagian :

1. Ni Ana’ :
Tiang yang mengelilingi bangunan. Tiang ini ditanam sesuai dengan bentuk denah
(secara melingkar). Jumlah tiang tergantung dari luasnya. Jarak antara tiangnya
juga bervariasi, namun rata–rata antara 1,5–2,5 m. Bentuk tiang diambil dari alam
dan langsung digunakan tanpa dibentuk lagi, hanya dirapikan. Tiang ini dipilih yang
agak lurus dan bercabang pada bagian atas yang mana nanti berfungsi untuk
menopang Neu’ Nono. Jenis kayu yang digunakan antara lain : kayu merah atau
kayu putih. Tinggi tiang Ni Ana‘, makin dekat dengan pintu makin tinggi hingga kira
– kira 1,25 m, sedangkan yang terpendek yang terjauh dari pintu 60 – 80 cm.
Diameter tiang antara 10–15 cm.

2. Ni Tetu (tiang loteng/pelindung).


Tiang ini dipakai sebagai tumpuan utama dari bangunan secara keseluruhan dan
juga sebagai tumpuan untuk meletakan balok–balok loteng. Tiang ini juga
meneruskan semua gaya–gaya vertikal ke tanah. Jumlah tiang ini adalah empat
buah dan di tanam dalam tanah sedalam 50 cm. Demikian pula halnya dengan Ni
Tetu ini, kayu yang digunakan harus dipilih yang bercabang pada puncaknya.
Fungsinya sebagai tumpuan balok–balok loteng. Pada saat sekarang ini dengan
peralatan yang cukup baik tiang yang bercabang ini diganti dengan bagian puncak
yang ditakik menyerupai cabang asli. Karena berfungsi sebagai penerima seluruh
gaya vertikal ke tanah maka konsekuensinya dimensi tiang harus cukup besar.
Bentuk tiang ini bulat dan berdiameter antara 20–25 cm dan dipilih dari teras kayu
merah/kayu putih, asam dan lain sebagainya. Tinggi tiang rata – rata berkisar
antara 2,50–3,00 m.
3. Ni Enaf (Tiang Penopang Bangunan).
Tiang ini diletakan dibaian tengah–atas balok loteng. Jumlahnya satu buah. Pada
bagian bawah diberi takikan untuk memasukannya dalam Tunis, yang kemudian
diperkuat dengan ikatan. Sedangkan bagian atas bercabang dan berfungsi untuk
menopang balok bubungan. Bentuk Ni Enaf bulat, tingginya 2,00–2,50 m.

e) Dinding (Niki).
Dinding dipasang melingkari tiang (Ni Ana‘). Beberapa kayu/bilah bambu melintang
terdiri dari dua jalur diikatkan pada kayu/bambu melintang sekaligus merupakan
perkuatan pada dinding. Tinggi dinding ± 0,50–0,80 m. Semakin dekat ke pintu
semakin tinggi, dindingnya sampai 100 cm. Bahan dinding dipilih dari beberapa jenis
bahan antara lain : papan, bambu cincang, batang pinang cincang, pelepah gewang,
kulit kayu dan sebagainya. Bagian bawah/ujung dinding dimuat diatas batu dengan
tujuan agar tidak mudah rusak akibat rayap atau air.

F) Atap (Tefi)
Bentuk atap agak berbeda dengan Ume
Kbubu terutama pada bagian bubungan yang
lebih panjang dan pada bagian depan
teritisnya tidak sampai ke tanah malah agak
tinggi. Elemen – elemen konstruksi atap Sonaf
:

1. Nono Ana’/Neu’ Nono.


Berupa kayu–kayu kecil (cemara) yang berdiameter antara 2–4 cm yang diikat
menjadi satu kesatuan yang berbentuk lingkaran. Neu Nono ini bisa berfungsi
sebagai ring balok, karena dipasang melingkari seluruh bangunan dengan bertumpu
pada tiang– tiang keliling (Ni Ana‘) kemudian diikat (tali Mausak).
2. Nono Tetu.
Bahan dan diameter sama dengan Nono Ana‘ tapi ukuran ikatannya sedikit lebih
kecil. Fungsi untuk memberikan bentukan melingkar pada atap bagian tengah.

3. Nono Nifu/Nono Sene.


Fungsinya sama yakni pemberi bentuk lingkaran pada bagian atas atap. Bahan serta
ukurannya sama dengan Nono Tetu. Kadang hanya dipakai Nono Nifu saja/Nono
Sene saja.Pada Rumah Raja (sonaf) digunakan kedua–duanya.
4. Suaf.
Adalah sebuah balok bulat dan lurus, berdiameter 5 -7 cm (untuk Ume Kbubu) yang
diletakan/diikatkan diatas semua Nono (Nono Ana‘, Nono Tetu, Nono Sene/Nono
Nifu). Balok ini diambil dari alam, yakni batang pohon cemara/yang lainnya, dan
harus lurus dan panjang, utuh, tidak boleh disambung–sambung pada saat
dipasangkan. Fungsi Suaf adalah : Sebagai pembentuk rangka atap, dan sebagai
tempat untuk mengikatkan Takpani.
5. Takpani
Adalah batang – batang kecil cemara berdiameter 2-3 cm yang diikatkan arah
melintang terhadap Suaf. Jarak antar Takpani 30–40 cm.
Fungsi Takpani adalah sebagai tempat untuk mengikatkan alang – alang.
6. Penutup Atap
Penutup rangka atap menggunakan alang – alang (Hun).

g) Loteng (Tetu).
Loteng terdiri dari dua balok yang menumpu diatas empat tiang pendukung (Ni Tet )
yang disebut Suif. Diatas Suif diletakan melintang balok Nono, dan diatas Nono ini
diletakan secara melintang balok Tunis. Di atas Tunis in digelar bambu cincang/
batang pinang cincang.
h) Pintu (Enok).
Pintu terbentuk dari susunan papan, bilah bambu/gewang secara vertikal. Tingginya
1m–1,25m, lebarnya 0,80–1,00 m. Pintu biasanya dibuka kedalam. Secara garis
besar pintu orang Dawan dibagi atas : Daun Pintu (Bena) yang berarti ceper/datar
dan balok diatas pintu (kbafnesu Fafof) dan balok dibawah pintu (Kbafnesu Penif).
Pada kedua balok ini dibuat berlubang sebagai tempat memasukan Utin (Lidah
Pintu). Lubang tersebut dinamakan Bola’/Kona’. Utin dan Bola melambangkan pria
dan wanita. Selain lubang tempat memasukan Utin tadi, juga terdapat lubang lain
yang disebut Kona Falo yaitu tempat memasukan Falo yang berfungsi sebagai kunci
tradisional.
i) Tangga (Elak).
Tangga yang dimaksudkan disini adalah tangga yang digunakan untuk naik ke
loteng yang disebut Elak. Elak dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
Elak Ma’bola ( tangga berlubang ), terbuat dari sebatang kayu yang dilubangi
empat sampai lima lubang.
Elak Se’at yakni sebuah bambu yang ditakik 4 – 5 takikakan.
Elak Haunua, Terdiri dari dua batang bambu yang dihubungkan dengan
beberapa kayu pendek sekaligus sebagai anak tangga.

2. Rumah Raja / Istana ( Sonaf ).


a) Tipologi Bangunan.
Tidak seperti rumah rakyat biasa yang bundar, denah Sonaf agak lonjong/elips.
Bentuk tersebut melambangkan alam semesta dan sebagai pemersatu/perangkul
suku – suku. Luasnya juga lebih besar dari Ume Kbubu. Ruangan dibagi dua yaitu :
Sulak : Ruang yang digunakan untuk pertemuan kepala–kepala suku.
Bife : Ruang tempat tinggal, memasak, tidur, menyimpan benda pusaka. Ruang
ini hanya bolh dimasuki oleh pemiliknya saja, tidak sembarang orang yang boleh
memasukinya kecuali diberi ijin khusus dan sanggup mentaati pantangan-
pantangan yang ada.

b) Pondasi (Baki).
Seperti halnya dengan Ume Kbubu, bahan pondasi berasal dari batu kali ceper yang
disusun setinggi 20–40 cm dari permukaan dan membentuk lingkaran. Fungsinya
sama yaitu mencegah masuknya air hujan ke dalam ruangan.

c) Lantai (Nijan).
Setelah pondasi terbentuk, pada bagian tengah lingkaran yang sudah dibatasi
dengan batu kali dimasukan batu kerikil dan diatasnya diurug dengan tanah sampai
rata.

d) Tiang (Nono).
Tiang struktur pada Sonaf ini dibagi 3 bagian yakni :

1. Ni Ana’ :
Tiang yang dipasang keliling bangunan. Jumlah tiang ini melambangkan suku–suku
yang berada di bawah naungan kepemimpinan raja yang mendiami Sonaf ini. Tinggi
tiang dan jarak antara tiang sekitar 150 cm. Tiang–tiang ini diberi ukiran. Untuk
bahan tiang ini digunakan teras pohon kayu merah / teras kayu putih yang lurus.
Pada bagian atas tiang diberi takikan yang menyerupai cabang (Tatone).

2. Ni Tetu (Tiang Loteng) :


Tiang ini berfungsi menopang balok–balok loteng di atasnya. Jumlah tiang ini 4 buah
yang terletak dibagian dalam (Ruang perempuan/ruang tinggal). Tinggi tiang adalah
2,50 cm dan berdiameter 20 cm. Tiang dipilih yang lurus dan bahan dari teras
pohon kayu merah. Bagian atas tiang ditakik menyerupai cabang (Tatone), dipakai
sebagai tempat menumpuk balok Suif. Ke empat tiang ini melambangkan 4 suku
besar yakni : Uis Sanak, Uis Lake, Uis Bana, dan Uis Atoh.

3. Ni Enaf :
Tiang Utama. Tiang ini lebih tinggi dari tiang yang lain (4,00 m) dan melambangkan
adanya makhluk yang supra natural. Jumlah tiang ini ada dua. Yang satu berada di
ruang dalam/ruang perempuan (Bife) dan yang lainnya berada di luar/tempat
pertemuan (Sulak). Diameter tiang ini lebih besar dari tiang lain (25 cm) dan pada
puncaknya terdapat cabang alamiah. Cabang tersebut berfungsi sebagai penopang
balok bubungan (Lael) di atasnya. Bahan yang dipilih sebagi tiang utama ini adalah
teras kayu merah / putih yuang diberi bentuk bulat polos tanpa ukiran.

e) Dinding (Niki).
Bahan dinding berasal dari pohon kayu merah yang dibelah menjadi papan. Papan
dipasan melintang dengan perkuatan dua kayu melintang, papan–papan disatukan
dengan diikatkan pada tiang–tiang (Ni Ana‘). Tinggi dan tebal papan yang
mengelilingi bangunan adalah 1,50 m dan 2cm. Sedangkan dinding yang membatasi
ruang Bife dan Sulak tingginya 2,50 m dan tebalnya 4 cm. Pada bagian bawah
dinding diberi alas dari balok kayu yang diberi sponing untuk memasukan papan
tersebut kedalam. Tujuannya untuk mencegah merembesnya air ke atas dinding dan
menghindari serangan rayap–rayap. Balok–balok ini disebut Penif.

F) Atap (Tefi)
Bentuk atap agak berbeda dengan Ume Kbubu terutama pada bagian bubungan
yang lebih panjang dan pada bagian depan teritisnya tidak sampai ke tanah malah
agak tinggi. Elemen – elemen konstruksi atap Sonaf :

1. Non Ni Ana’/Neu Nono :


Adalah rangkaian batang–batang cemara berdiameter 2 – 4 cm, yang diikatsatukan
dan diletekan di atas Ni Ana‘ (tiang anak) secara melingkar sesuai dengan bentuk
denah yang ada. Fungsinya untuk menyatukan/mengikat tiang–tiang secara
keseluruhan dan sebagai tumpuan Suaf.

2. Non Loti :
Rangkaian batang–batang cemara. Ukuran ikatan lebih kecil dari Non Ni Ana.
Fungsinya sebagai tempat untuk mengikat Loti dan diikat melingkari ujung–ujung
balok loteng. Fungsinya selain sebagai pembentuk lingkaran juga untuk mengikat
ujung–ujung balok loteng.
3. Non Nifu & Nono :
Fungsinya sama yakni pemberi bentuk (lingkaran) dan juga sebagai tumpuan Suaf.
4. Non Sene :
Berfungsi sebagai pemberi bentuk bagian atas.
5. Loti.
Loti ditempatkan di teritisan depan rumah. Fungsinya untuk menopang bagian teritis
depan rumah agar lebih tinggi dari bagian teritis yang lain. Jumlah Loti
mencerminkan jumlah suku–suku yang tergabung.

6. Suaf.
Ukuran Suaf pada Sonaf umumnya lebih besar dari Ume Kbubu. Diameter batang 7–
10 cm. Bahan Suaf dari batang–batang cemara yang lurus utuh tanpa adanya
sambungan. Suaf diikat diikat diatas semua Nono. Pada bagian bawah diberi takikan
(Tkoma) yang fungsinya sebagai tempat untuk mengaitkan tali–tali yang diikatkan
pada Non Ni Ana‘.
7. Takpani :
adalah batang–batang kecil yang diikatkan melingkar diatas Suaf. Diameter Takpani
2–3 cm. Fungsi Takpani sebagai tempat mengikatkan bahan penutup atap (alang–
alang / Hun).
g) Loteng.
Sistem konstruksi loteng sama dengan pada Ume Kbubu, tapi tiang penopang balok
bubungan tidak menopang pada balok loteng namun berasal dari tiang induk (Ni
Ainaf) yang ditanam dalam tanah.
h) Pintu.
Pintu asli untuk Sonaf terbuat dari dua lembar papan yang tingginya 2,00 m. Tebal
masing–masing papan sampai dengan pegangannya 15 cm. Tebal papannya sendiri
kira–kira setengah dari tebal sampai dengan pegangannya. Lebar masing–masing
papan 50 cm. Pegangan pintu (Eka Kolok) masing–masing dua buah yaitu disebalah
kiri dan kanan. Pegangan pintu ini dibuat dengan cara memahat sebuah papan yang
tebal (15 cm) sampai terbentuknya pegangan tersebut. Jadi pegengan pintu ini
menyatu dengan pintu tanpa adanya paku, pasak, lem, tali pengikat dan
sebagainya. Pada permukaan pintu ini juga diberi Ukiran serta lubang yang tembus
pada sisi- sisinya sebagai tempat untuk memasukan sejenis palang pintu tradisional
(Hau Eka). Pintu ini juga terbagi atas 3 bagian besar :
1. Daun pintu ( Bena ).
2. Balok di atas pintu ( Kbafnesu Fafof ).
3. Balok di bawah pintu (Kbafnesu Penif).
Pada bagian atas dan bawah balok ini diberi lubang (Bola‗) tempat memasukan
lidah pintu (Utin). Utin dan Bola‘ berfungsi sebagai engsel pintu dan melambangkan
pria dan wanita.
3. Rumah Tempat Pertemuan Umum (Lopo/ Ume Buat)

Lopo dalam bahasa Dawan berarti rumah tempat musyawarah/tempat pertemuan


umum. Ume Lopo sering disebut pula sebagai rumah Ume Atoni (Rumah laki–laki)
karena lebih sering ditempati, dimasuki, dipakai oleh kaum laki–laki. Konstruksi Ume
Lopo secara keseluruhan sama dengan Ume Kbubu. Yang membedakannya adalah
teritisnya tidak sampai ke tanah. Jaraknya dari permukaan tanah antara 150–200
cm, tidak berdinding dan tidak berpintu. Nama Ume Lopo diberikan sesuai dengan
keadaan teritis yang tidak sampai ke tanah. Sedangkan Ume Buat berarti rumah
tempat berkumpul.
a. Tipologi.
Denah Ume Lopo sama dengan rumah tinggal (Ume Kbubu). Bentuknya bundar
dengan garis tengah 6,00–8,00 m. Letaknya berada di depan. Ume Bife (rumah
perempuan) atau Ume Kbubu memberikan makna simbolik sebagai pelindung. b.
Bentuk bagian – bagian.

1. Tiang ( Ni )
Bentuk tiang lopo adalah bulat denagan diameter 20–30 cm. Jumlah tiang adalah 4
buah (Ni Tetu), sebagai pendukung balok–balok loteng yakni sebuah tiang
pendukung balok–balok loteng. Di tengah–tengah persilangan diagonal loteng
terdapat sebatang kolom disebut Ni Enaf yang bertumpu pada balok–balok loteng
(Tunis). Jenis pohon yang dipakai sebagai tiang adalah teras kayu Kmel (jenis kayu
merah), teras kayu putih (Hu‘e), Matani (sejenis kayu marambi), Ayotias (teras
Kasuari), Kiu Tias (teras asam). Ke-empat tiang Ni Tetu setinggi 3,00 m ditanam
sedalam 0,50 m. Ujung tiang (Ni) bagian atas yang berdiameter paling kecil disebut
Utin. Bagian ini berfungsi sebabagai sambungan yang akan dimasukan kedalam
lubang pahatan yang terdapat pada balok melintang (Suif). Dibawah Utin terdapat
sebuah alur untuk penempatan Benatu‘as (lempengan kayu/batu bundar) sebagai
pencegah tikus agar tidak naik ke loteng. Bagian bawah Benatu‘as terdapat Tkoma
Maeka yakni bagian yang diukir untuk memperindah tiang.

2. Atap.
Bentuk maupun konstruksi atap ume lopo pada dasarnya sama seperti pada ume
kbubu. Perbedaannya hanya pada teritis atap lopo yang tidak sampai menyentuh
tanah, tetapi berjarak dari permukaan tanah 150-200 cm.
Bentuk puncak atap lopo ada 2 macam, yaitu :
a. Berbetnuk pelana/palungan terbalik, dan
b. Berbentuk kerucut.
4.2 ARSITEKTUR MANGGARAI

Pola Perkampungan Dan Rumah Adat Masyarakat Manggarai

Kampung tradisional di Manggarai


berbentuk bundar dengan pintu
saling berhadapan. Bentuk bulat
memiliki makna keutuhan atau
kebulatan. Bentuk kampung
demikian diperkuat oleh tuturan
ritual. Secara mistis kampung
dibagi atas tiga, yaitu pa’ang
(bagian depan), ngandu (pusat),
dan ngaung atau musi (bagian
belakang kampung).
Pada saat ini, terdapat tiga obyek kampung adat di Kabupaten Manggarai Barat, yaitu
Pacar Pu‘u di Kecamatan Macang Pacar, Kampung Todo dan Kampung Kmododi
Pulau Komodo.

Arsitektur tradisional, termanifestasikan dalam bentuk rumah gendang dan


compang.

Rumah Gendang
Rumah tradisional Manggarai biasa disebut dengan nama Mbaru Gendang atau
Mbaru Tembong. Bentuknya menyerupai seperti kerucut yang terbuat dari
rerumputan kering. Struktur bangunan menerus dari atap sampai lantai.
Sistem Pemukiman Dan Budidaya

Sistem pemukiman sebagian masyarakat tradisional Manggarai, berkelompok dan


melingkar dan biasanya memilih puncak sebuah bukit sebagai pusat kampungnya. •
Secara tipologi rumah tradisional di manggarai dapat ditinjau dari tipologi bentuk,
fungsi dan langgam, dari tipologi fungsi
rumah tradisional manggarai dapat
dibedakan atas 3 jenis yakni rumah
adat (niang wowing) rumah tempat
menerima sebelum memasuki rumah
adat (mbau tekur) dan rumah tinggal
biasa.

• Di tinjau dari segi tipologi bentuk rumah tradisional manggarai awalnya


hanya terdapat 2 macam yakni rumah beratap kerucut dan tumah beratap pelana,
namun dalam perkembangannya dewasa ini di kenal ada atap berbentuk limas.
• Dan di tinjau dari tipologi langgam, maka arsitektur rumah tradisional
manggarai mengenal langgam khas manggarai (atap kerucut yang menjulang tinggi)
dan
tipologi ini memiliki keserupaaan dengan tipologi langgam sumbawa dan bugis
adalah mbau tekur yang memiliki atap berbentuk pelana. Namun walaupun secara
tipologi fungsi, bentuk, dan langgam rumah tradisional manggarai dimasa lampau
memiliki perbedaan akan tetapi secara structural memiliki keserupaan yaitu rumah
dengan memiliki tipologi berbentuk panggang atau rumah panggung.

• Demikian juga dengan bentuk denah antara rumah


adat dengan rumah tinggal biasa yang secara
geometrik memiliki keserupaan bentuk yakni
lingkaran, akan tetapi ukuran bangunannya berbeda
dimana rumah adat ukurannya lebih besar dari
rumah tinggal biasa, perbedaan ukuran bangunan
disini erat kaitannya dengan status dan fungsi
bangunan.

• Secara horisontal pola ruang pada arsitektur


tradisional manggarai ini berintikan pada ruang
tengah yang mengintari sembilan buah tiang
utama. Pada bagian tengah ini ada terdapat 2
ruang penting dan saling mendukung, yakni ruang
bersama (lutur), bagian depan dan perapian (sapo)
bagian belakang yang memiliki fungsi ganda yakni
bagian ruang yang bersifat profan dan sekaligus
bersifat sakral dikatakan bersifat profan karena pada bagian ruangan ini dipakai
untuk aktifitas penghuni rumah (makan, istirahat) namun juga sebagai tempat
pelaksanaan aktifitas adat (upacara adat).

POLA RUANG DALAM ARSITEKTUR MANGGARAI

- Secara horisontal pola ruang pada arsitektur tradisional manggarai ini


berintikan pada ruang tengah yang mengintari sembilan buah tiang utama. Pada
bagian tengah ini ada terdapat 2 ruang penting dan saling mendukung, yakni ruang
bersama (lutur), bagian depan dan perapian (sapo) bagian belakang yang memiliki
fungsi ganda yakni bagian ruang yang bersifat profan dan sekaligus bersifat sakral
dikatakan bersifat profan karena pada bagian ruangan ini dipakai untuk aktifitas
penghuni rumah (makan, istirahat) namun juga sebagai tempat pelaksanaan
aktifitas adat (upacara adat).
- Secara vertikal, rumah tradisional manggarai, dibagi menjadi beberapa
bagian, yakni
• ngaung (kolong rumah) digunakan sebagai tempat memelihara ternak dan
untuk menenun.
• waselele (tempat tinggal manusia)
• wasemese (tempat penyimpanan hasil panen)
• lamparae (tempat penyimpanan benih tanaman)
• sekang kode (tempat penyimpanan benda-benda pusaka)
• ruang koe (ruang kosong yang bersifat sakral)

MATERIAL BANGUANAN

pada dasarnya material bangunan yang digunakan untuk bangunan di NTT


khususnya manggarai untuk tipologi fungsi yang satu dengan yang lain tidak ada
perbedaan yang significant, terkecuali penggunan material tertentu untuk rumah
adat yang tidak diperkenankan untuk rumah tinggal biasa dalam hal ini seperti kayu
khusus yang digunakan untuk tiang utama rumah adat.

• Secara umum bahan bangunan yang


digunakan dibagi atas 2 yaitu bahan yang
struktural dan bahan yang non struktural,
bahan bangunan yang digunakan umumnya
terbuat dari kayu dan bambu sebagai bahan
struktural dan bahan yang non struktural
berupa alang-alang dan ijuk sebagai bahan
penutup atap dan juga raham hias yang di
gantung pada bidang atap bagian dalam.
4.3 ARSITEKTUR PAPUA (HONAI)

Egi. Doc. Perkembangan


arsitektur

17
Honai adalah rumah tradisional masyarakat di pegunungan tengah Papua. Rumah
memiliki bentuk bulat dan biasanya dihuni oleh 5-10 orang. Terbuat dari papan kayu
kasar dengan atap ilalang/jerami, dengan tinggi sekitar 4-6 meter dan diameter 5-7
meter. Anyaman bambu ini telah diatur mengelilingi dinding interior rumah dan satu
pintu di bagian depan. Rumah tersebut memiliki dukungan empat tiang di tengah dan
perapian untuk mengejar keluar udara dingin di malam hari, juga merupakan tempat
untuk masak,spt.; hipere (ubi jalar), WAM (babi), dan sayuran. Lantainya dari tanahdan
ditutupi dengan rumput kering. Honai terdiri dari 2 lantai yaitu lantai pertama sebagai
tempat tidur dan lantai kedua untuk tempat bersantai, makan, dan mengerjakan
kerajinan tangan. Karena dibangun 2 lantai. Pada bagian tengah rumah disiapkan
tempat untuk membuat api unggun untuk menghangatkan diri. Rumah Honai terbagi
dalam tiga tipe, yaitu untuk kaum laki-laki (disebut Honai), wanita (disebut Ebei), dan
kandang babi (disebut Wamai).

18
Honai - Rumah Adat Papua

Rumah Honai terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari
jerami atau ilalang. Honai mempunyai pintu yang kecil dan tidak memiliki jendela
yang bertujuan untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua.

Arsitektur tak selalu mewujud dalam bangunan yang besar, megah, mewah dan
serba wah. Bisa saja kecil, sederhana, tetapi memiliki kualitas yang baik.. Lebih
dari itu, arsitektur adalah wujud anasir hasil proses pergumulan, pemikiran, dan
perenungan arsitek untuk melahirkan ide arsitektural.

Sebutlah di daerah Wamena, Papua, ada gaya arsitektur tradisional yang begitu
terkenal, yaitu honai. Rumah khas masyarakat Papua ini berbentuk lingkaran,
terbuat dari kayu dan beratap jerami atau ilalang berbentuk kerucut. Satu
keluarga bisa memiliki beberapa honai yang berkumpul menjadi satu dan
dibatasi pagar kayu di sekelilingnya. Tiap rumah dihuni satu pria beserta istri-istri
dan anak-anak mereka.

Rumah tradisional itu memiliki pintu yang kecil dan rendah, dan tak memiliki
jendela sebagai ventilasi udara. Komposisi demikian bertujuan untuk menahan
hawa dingin pegunungan Papua. Struktur rumah tradisinal tersebut tersusun atas

19
dua lantai— lantai dasar sebagai tempat tidur dan lantai kedua untuk tempat
bersantai, makan, dan mengerjakan kerajinan tangan. Karena dibangun dua
lantai, ia memiliki tinggi kurang lebih 2,5 meter. Pada bagian tengah rumah,
disiapkan tempat untuk membuat api unggun untuk menghangatkan diri,
sekaligus sebagai tempat untuk memasak.

Gaya arsitektur honai memang memiliki banyak kekhasan sebagai wujud cara
arsitek terdahulu dalam memandang, memahami, dan mewujudkannya dengan
mengandalkan bahan yang sederhana dan sangat natural. Bagaimana eksplorasi
material dibuat sedemikian efektif dan ekonomis, tanpa mengurangi kualitas dan
nilai fungsional suatu bangunan.

Dalam perkampungan Suku Dani biasanya terdapat sebuah tempat khusus


untuk mengadakan upacara yang berhubungan dengan perang. Tempat ini
umumnya hanya dipakai oleh kaum pria. Sementara kaum wanitanya memiliki
tempat tersendiri, yang disebut Eba-ae, tempat para wanita makan dan tidur
dengan anak-anaknya. Eba-ae ini juga menjadi tempat pria datang mengunjungi
istri-istrinya.

4.4 PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DARI KETIGA ARSITEKTUR DI

ATAS a). PERSAMAAN

Sistem pemukiman ketiga arsitektur di atas biasanya memilih puncak sebuah


bukit sebagai pusat kampungnya.

20
Mempunyai kemiripan bentuk rumah adatnya.

Arsitektur Atoni Arsitektur Manggarai

Bahan penutup atap umumnya sama-sama menggunakan ilalang (alang-alang)


disamping bahan-bahan penutup atap lainnya, spt; jerami (honai),daun
gewang).

4.5 KESIMPULAN DAN SARAN

4.5.1 Kesimpulan
Arsitektur Nusantara merupakan julukan bagi arsitektur Indonesia secara
keseluruhan dari sabang sampai Marauke. Nusantara sendiri sebenarnya
merupakan kata majemuk dari bahasa Jawa Kuno (Kawi), terdiri dari kata

21
Nusa yang berarti pulau Antara yang berarti lain. Istilah ini biasa
digunakan dalam konsep kenegaraan ―Jawa‖, artinya dikenakan pada
daerah di luar pengaruh budaya Jawa.

Karakteristik budaya Indonesia sendiri dipengaruhi oleh budaya bangsa


Austronesia yang merupakan cikal bakalnya, begitu pun arsitektur
sebagai produk budaya memiliki ciri dan karakter yang sama dengan
austonesia dalam materi maupun makna simboliknya.

Arsitektur vernakular Manggarai, Atoni, dan Papua sebagai bagaian dari


arsitektur Nusantara dengan variannya yang mempunyai kesamaan
terhadap arsitektur Austronesia namun mempunyai perbedaan terhadap
pengertian dan maksud penyampaiannya terhadap segi arsitektur.

Perihal wujud Arsitektur Vernakular (Tradisional) adalah Arsitektur tertua


dalam perkembangannya, walaupun dalam keberadaannya pada suatu
lingkungan kawasan yang sama, tetapi memiliki bentuk, makna dan nilai
simbolis yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, hal ini
menunjukkan, bahwa gagasan lahir dari cara hidup yang berbeda pula.

Antara Arsitektur Atoni, Manggarai, dan Papua ditemukan perbedaan


yang signifikan baik dari segi pola ruang , pola permukiman, bentuk
denah, tampilan dan juga wujud ritual adatnya, tetapi memiliki makna dan
nilai simbolis yang hampir sama, kondisi lingkungan (site) dan juga cara
hidup masyarakat adat.

Berdasarkan pemahaman Tipologi arstitektur, maka dapat dijabarkan


bahwa Arsitektur Tradisional (vernacular) Atoni, Manggarai, dan Papua,
termasuk dalam satu Tipologi, yaitu tipologi fungsi sosial dan fungsi
religius; Tipologi langgam geometri arsitektur rumah panggung beratap

22
limas.

DAFTAR PUSTAKA

F.Isnen, ST, Meng. 2006. Kopendium Arsitektur Indonesia dan Asia.


Atmadi, Parmono. 1990. Arsitektur Candi Indoensia. Gadjah Mada University Press :
Yogyakarta.
Budihardjo, Eko, 1991. Jatidiri Arsitektur Indonesia. Alumni : Bandung.
Hanafi, Zulkifli. 1985. Kompendium Sejarah: Seni Bina Timur. USM Press : P.Pinang.
Mangunwijaya, Y.B. 1992. Wastu Citra. Penerbit Gramedia : Jakarta.
Prijotomo, Josef. 1988. Pasang Surut Arsitektur di Indonesia. Surabaya: Penerbit CV.
Ardjun
Soekmono, 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia volume 1. Kanisius:
Yogyakarta.
Sumalyo, Yulianto. 1993. Arsitektur Masjid Kuno. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta.
Sumalyo, Yulianto. 1993. Arsitektur Kolonial Belanda. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta.

23
Sumintardja, D. 1978. Kompendium Sejarah Arsitektur Indonesia. Yayasan LPMB

24

Anda mungkin juga menyukai