Anda di halaman 1dari 21

Studi Literatur Arsitektur

Tradisional, Vernakular,
Nusantara
Mata Kuliah : Sejarah, Budayaan Kritik Arsitektur Nusantara
Dosen : Ir. Farida Murti, MT.
Universitas : Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Nama : Ahmad Fahmil Ulum


NBI : 1442000082
Kelas : A
Arsitektur Tradisional
Arsitektur tradisional sebagai sebuah tradisi harus dijaga keberadaannya dengan mengembangkannya.
Menjaga atau meeruskan tradisi dalam arsitektur tradisional tidak berarti dengan mengulang bentuk yang
sama, karena didalam arsitektur perkembangan desain dan struktur berlanjut seiiring dengan
perkembangan/ perubahan budaya dan teknologi. Hal ini perlu dijaga agar kreativitas tidak mati. Hal ini
bisa terwujud dengan meneruskan tradisi kebijakan lokal sebagai konsep dalam membangun. Kebijakan
lokal yang diteruskan memberikan banyak memberi mamfaat bagi kehidupan manusia. Karena kebijakan
lokal sendiri adalah bagian dari budaya yang dihasilkan dari pengalamanpengalaman dan tindakan
manusia secara trial dan eror demi mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Kebijakan lokal tidak
hanya merupakan suatu tradisi yang harus di teruskan tetapi membentuk identitas dak karakter
kewilayahan manusia sendiri, terutama didalam budaya dan arsitektur. Kebijakan lokal ini juga menjaga
keseimbangan hidup antara manusia dan lingkungannya. Nenek moyang kita belajar dari pengalaman
mereka hidup bersama dengan alam dan belajar bagaimana memberi kepada dan menerima dari alam
sehingga alam tetap terjaga kelestariannya. Hal-hal ini lah yang dijadikan kebijakan lokal dan tradisi ini
perlu diteruskan karena dengan menjaga tradisi ini maka kita akan tetap hidup seimbang bersama
lingkungan kita.
Arsitektur tradisional Indonesia mengalami puncak perkembangannya pada masa berkembangnya agama Hindu dan
Budha.Tidak bisa dipungkiri bahwa arsitektur Indonesia mendapat banyak pengaruh dari luar seperti Cina, India, Arab dan
Eropa seperti yang dikatakan oleh Hasbi (2012) “arsitektur Indonesia banyak dipengaruhi oleh arsitektur dari luar wilayah
Indonesia seperti arsitektur Hindu, Budha, Islam dan Kolonial” . Pengaruh-pengaruh ini memberikan nilai positif dan negatif
pada arsitektur tradisional Indonesia. Dimulai dengan arsitektur tradisional kuno Austronesia dengan ciri khas rumah
panggung dan atap yang tinggi dan melengkung, hingga kemudian ketika Hindu dan Budha masuk memberi pengaruh
baru pada arsitektur tradisional ini dimana arsitektur Hindu dan Budha menjadikan arsitektur tradisional Indonesia
berkembang sangat signifikan dan dianggap menjadikan arsitektur tradisional Indonesia berada pada titik puncak
perkembangannya. Hal ini dapat kita lihat pada arsitektur candi yaitu candi Borobudur , candi prambanan dll yang
keindahannya masih bisa kita lihat hingga sekarang. Pada arsitektur hunian arsitektur Hindu dan Budha mempengaruhi
bentuk atap (atap tumpang Tiga), perubahan dari rumah panggung menjadi rumah yg berada diatas tanah, gapura dll.
Pada periode kolonialisasi arsitektur Indonesia mendapat saingannya yaitu arsitektur kolonial Belanda. Perkembangan
arsitektur tradisional mengalami kemunduran pada masa ini dimana arsitektur Eropa/colonial Belanda lebih dominan
perkembangannya daripada arsitektur tradisional Indonesia. Fenomena ini terjadi karena perkembangan teknologi dan
material di era globalisasi dan modern, dimana dengan teknologi yang baru mampu menbuat material yang
pengerjaannya praktis, cepat dan tahan lama. Hal ini menyebabkan masyarakat Indonesia ikut beralih dari material yang
berasal dari lingkungan sekitar ke material baru yang lebih praktis dan tahan lama. Ditambah dengan berkembangnya
arsitektur modern terutama International Style yang tidak memilki jiwa kedaerahan/ kelokalan yang menghasilkan arsitektur
yang tidak memiliki identitas atau karakter kewilayahan. Akibatnya kita akan menemukan karakter yang sama pada
arsitektur diseluruh dunia karena pengaruh ini, seperti yang diakatakan oleh Zarzar, (2008); Berry, (2008) dalam Dahliani (2015)
the process of globalization causes cultural homogeneity, ketika budaya sudah homogen bisa dipastikan arsitekturya akan
menjadi homogen juga karena arsitektur merupakan produk dari budaya. Hal ini juga didukung oleh pernyataan dari
Soedigdo,dkk (2014) yang mengatakan bahwa dengan semakin berkembangnya arsitektur dunia, identitas dari arsitektur
Indonesia sendiri telah luntur digerus oleh arsitektur Eropa dan Amerika
Arsitektur Rumoh Aceh
Arsitektur rumoh Aceh memiliki ciri khas arsitektur kuno Austronesia dimana denah dari rumoh Aceh berbentuk persegi panjang,
berbentuk rumah panggung dan atap yang tinggi.Rumoh Aceh terdiri dari 3 hingga 5 ruang (reueung dengan 16 hingga 24 buah
pilar/kolom ddengan jumlah tiang yang selalu genap. Terdiri dari tiga ruang utama yaitu seuramo keu (serambi depan) sebagai ruang
tamu dan tempat tidur anak laki-laki, seuramo teunggoh yang terdiri dari anjong, rambat dan juree (kamar bagi orang tua/pengantin
baru) dan yang terakhir adalah seuramo likot yang berfungsi sebagai ruang utk tamu perempuan, ruang tidur dan makan keluarga
serta dapur. Pada rumah yang lebih besar dapur dibuat dismaping sueramo likot.Rumoh Aceh biasanya dibangun menghadap kearah
utara dan selatan (bagian memanjang dari rumah), atap pelana menghadap kearah timu dan barat.Rumah Aceh termasuk Rumang
panggung yang dibangun dengan ketinggian sekitar 2,5 - 3meter dari Tanah, hal ini juga dimaksudkan untuk menghindari binatang
buas dan banjir. Kolong rumah dibuat agak tinggi karena dibawah rumah inilah kegiatan bersosialisasi diadakan. Kolong rumah ini
dipergunakan untuk berkumpul, para wanita mengerjakan kerajinan tangan seperti membuat jeue (tampi beras) mneupas melinjo
atau buah pinang untuk dijual, menenun, dll. Dimasa setelah panen para wanita juga menumbuk padi bersama-sama dibawah rumah
dengan alat yang dinamakan dengan jeungki.Tangga rumah diletakkan dibagian utara (sebagai pintu masuk utama) dan selatan
rumah.Jumlah anak tangga selalu ganjil. Untuk menjaga agar rumah tetap bersih.Karena di masa dahulu masyarakat belum
menggunakan alas kaki, sebelum masuk ke rumah biasanya di samping tangga pintu masuk disediakan guci untuk membersihkan diri
sebelum masuk kerumah. Disebelah guci terdapat tongkat kayu untuk menaruh gayung untuk mengambil air dari guci dan didekat
guci disusun batu-batu kerikil sebagai alas kaki ketika mencuci kaki. Rumah Aceh dibangun dengan menggunakan metode pasak dan
metode ikat tanpa paku.Terdiri dari tiang dan balok yang diletakkan diatas pondasi batu yang datar.Hal ini disesuaikan dengan Aceh
yang merupakan wilayah yang lumayan sering mengalami bencana gempa. Balok dan tiang biasanya mempergunakan kayu Pintu
rumah memiliki ketinggian sekitar 120-150, sehingga ketika masuk orang dewasa harus menunduk, ini berhubungan dengan adat untuk
memberi hormat pada pemilik rumah.Walaupun begitu ruangan yang dimiliki oleh masyarakat Aceh sangat luas dan tanpa perabot.
Disekitar rumoh aceh terdapat kebun yang merupakan tanaman-tanaman yang menghasilkan buah dan dapat dijual. Biasanya
adalah manga, rambutan, pisang, melinjo, pinang hingga kopi. Pagar rumah merupakan tanaman-tanaman yang juga dapat
dimamfaatkan baik untuk dimakan buahnya ataupun untuk obat-obatan seperti pohon glundong atau keudundong. Kamar mandi
biasanya terpisah dari rumah dengan bentuk yang sederhana, hanya dikelilingi dinding dengan atap yang terbuka. Didalam kamar
mandi terdapat sumur yamerupakan sumber air bagi segala kegiatan yang terdapat pada rumah tersebut.
Bahan material

1. Kayu Kayu yang biasanya digunakan adalah kayu Sentang/ barang/pohon nangka/kayu bak mane dll. Kayu-
kayu ini digunakan untuk konstruksi utama yaitu kolom (tameh) dan balok (rhoek) dan konstruksi atap; kuda-kuda
dan Gording. Selain itu kayu juga digunakan untuk membuat tangga dan pasak. Setiap masyarakat Aceh
biasanya memiliki Lampoeh atau kebun yang ditanami kayu untuk keperluan membangun Rumah. Sehingga
mereka bisa membangun rumah dengan kayu yang didapat dari kebun sendiri. Selain menghemat biaya hal ini
juga menjaga kelestarian hutan dimana setiap pohon yang ditebang akan kembali ditanam untuk
dipergunakan dalam membangun rumah di generasi yang berikutnya. Kayu yang dipilih adalah kayu dengan
kualitas yang sangat bagus sehingga dapat bertahan lama. Struktur Utama dari Rumoh Aceh biasanya bisa
bertahan lebih dari seratus tahun jika dijaga dengan baik.Kayu untuk struktur Rumoh Aceh jika tidak
dipergunakan lagi sering dijual kembali untuk dibangun kembali menjadi rumah yang baru.

2. Papan Material papan biasanya dipergunakan untuk konstruksi dinding dan lantai.Kayu yang digunakan untuk
papan adalah kayu sentangaau kayu barang serta ada juga yang menggunakan kayu pohon kelapa.

3. Bambu Selain kayu, material yang dpergunakan untuk lantai dan dinding adalah bamboo.Bamboo ini nantinya
dibelah dan diikat/digabungkan dengan tali yang dibuat dari kulit bambu sendiri ataupun tali ijuk. Penggunaan
tanaman bambu sebagai material rumah juga merupakan upaya untuk melestarikan lingkungan agar tetap
hijau.Bambu merupakan tanaman yang sangat mudah hidup dimana saja dan dapat tumbuh lagi dalam waktu
yang singkat.Sehingga bamboo bisa dikategorikan kepada material yang ramah lingkungan dan dapat
diperbaharui karena sifatnya yang cepat tumbuh kembali.

4. Tali Ijuk Tali ijuk dipergunakan untuk menggabungkan belahan bamboo untuk material dinding ataupun
lantai.Selain itu juga untuk mengikat konstruksi atap dan daun rumbia sebagai penutup atap.
5. Daun Rumbia/daun kelapa Daun rumbia biasanya dipergunakan sebagai penutup atap.Penggunaan daun
rumbia dan atau daun kelapa ini karena memang di daerah Aceh dahulunya banyak terdapat daun rumbia
dan atau daun kelapa.Sehingga material sangat mudah untuk didapatkan.Mempergunakan atap daun
rumbia dan atau kelapa sangat bermamfaat didaerah yang beriklim tropis, dimana material penutup atap ini
merupakan material yang tidak mudah menghantarkan panas sehingga ruangan dibawahnya tetap terasa
sejuk.

6. Batu Batu kali yang berbentuk pipih biasanya dipergunakan sebagai alas pondasi. Pondasi seperti ini
dinamakanjuga gaki tameh/keuneuleung atau pondasi umpak dimana kolom kayu hanya diletakkan diatas
batu sebagai pembatas kayu dengan tanah agar tidak mudah lapuk. Penggunaan material yang berasal
dari lingkungan sekitar ini menegaskan kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan mikro kosmos dan makro
kosmos. Proses penggunaan material setempat dan kebiasaan menanam kembali pohon yang dipergunakan
dapat melestarikan dan menjaga lingkungan. Proses ini juga secara tidak langsung akan memaksa manusia
utk tetap menjaga dan mengembalikan apa yang sudah diambil dari alam, karena untuk kebutuhan
pembangunan selanjutnya. Hal ini tidak hanya bermamfaat bagi kelestarian lingkungan saja tetapi juga
berpengaruh kepada banyak factor, misalnya berpengaruh pada tetap terjaganya (memperlambat
perubahan) iklim dan makhluk hidup lainnya yang juga hidup bersama-sama kita.
Sumber

Penulis : Rahil Muhammad Hasbi


Judul jurnal : KAJIAN KEARIFAN LOKAL PADA ARSITEKTUR TRADISIONAL RUMOH ACEH
Tahun Terbit : 2017
Link : https://publikasi.mercubuana.ac.id/index.php/virtuvian/article/view/2717/1603
Arsitektur Vernakular
Arsitektur vernakular merupakan arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari arsitektur rakyat serta dibangun
oleh tukang berdasarkan pengalaman (trial and error), menggunakan teknik dan material lokal serta merupakan
respon adaptasi atas kondisi geografis lingkungannya. Bagaimana masyarakat lokal beradaptasi terhadap
alam, akan memunculkan berbagai cara untuk menanggulanginya. Arsitektur vernakular mengalami
perkembangan secara perlahan seiring perubahan kebiasaan masyarakatnya, antara lain pengaruh teknologi
modern dan bahan bangunan modern.

Suatu kondisi yang alami apabila suatu kebudayaan pasti akan mengalami perubahan kebudayaan setempat,
namun perubahan yang diinginkan adalah perubahan yang akan tetap memelihara karakter inti dan akan
menyesuaikan dengan kondisi pada saat ini, sehingga akan dapat terus dipertahankan. Menurut
Papanek(1995), arsitektur vernakular merupakan pengembangan dari arsitektur rakyat yang memiliki nilai
ekologis, arsitektonis dan alami karena mengacu pada kondisi alambudaya danmasyarakat lingkungannya.
Sementara menurut Oliver (1997), dalam arsitektur vernakular terdapat saling pengaruhantara unsur
alam/lingkungan dengan budaya masyarakatnya.
Rumah vernakular di Kuala Tripa adalah suatu bentuk kearifan lokal untuk
menghadapi iklim dan menyesuaikannya dengan lingkungan sekitar, yang
merefleksikan suatu masyarakat yang akrab dengan alamnya dengan
memperhatikan potensi lokal, seperti potensi udara, tanaman, material alam, dan
sebagainya hingga melahirkan suatu hunian yang menggunakan teknologi
sederhana dan tepat guna. Kesederhanaan inilah yang merupakan keunikan
sehingga tercipta bentuk khas dari rumah vernakular serta menunjukkan
bagaimana menggunakan material secara wajar dan tidak berlebihan. Menurut
Sartini (2004), Kearifan lokal merupakan gagasan- gagasan setempat (lokal) yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh
anggota masyarakatnya.

Rumah vernakular yang masih ada di sepanjang DAS Rawa Tripa hingga saat ini
sudah dihuni oleh empat generasi. Rumah bentuk panggung bermaterial kayu ini
disebut rumoh santeut atau rumoh tampong limong. Rumah ini adalah varian lain
dari Rumoh Atjeh yang merupakan rumah tradisional. Rumah vernakular ini
terbukti mampu bertahan dari bencana gempa bumi dan banjir hingga tetap
berdiri kokoh sampai sekarang. Hunian ini mampu bertahan hingga ratusan tahun
tentunya didukung oleh konstruksi yang kokoh dan mutu bahan bangunan yang
berkualitas.
Kearifan Lokal Bentuk Bangunan

a. Bentuk hunian panggung

Bentuk hunian vernakular di Kuala Tripa dicirikan olehbentukrumah panggung


kayudengan ketinggian panggung 0,8-1 meter dari permukaan tanah. Bagian
bawah rumah/kolong dibiarkan kosong. Peninggianlantai melalui konstruksi
panggung dilakukan karena tanah berupa rawa yang mengalamiair pasang
dansurut disepanjangtahunnya, dan banjir dari luapan sungai Krueng Tripa.
Peninggian ini difungsikan untuk menghindari pasangsurut air rawa, menghindari
luapan banjir Sungai Krueng Tripa, dan untuk mengurangi tingkat kelembaban
dengan menjauhkan lantai dari permukaan tanah. Bentuk konstruksi panggung
tanpa menutup area kolong bangunan, memungkinkan masih tersedianya area
resapan air di permukiman. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya banjir
berulang di Kuala Tripa adalah karena kurangnya daerah resapan air, akibat
pembangunan hunian sekarang yang menutup permukaan tanah. Bentuk rumah
panggung ini merupakan hasil adaptasi masyarakat terhadap lingkungan alam,
seperti pasang surut air, dan menghindari banjir. Bentuk panggung yang tidak tinggi
ini juga merupakan solusi terhadap keberadaan lingkungan permukiman di daerah
rawa dan daerah zona gempa kuat, seperti Aceh. Rumah panggung merupakan
solusi untuk meningkatkan penyegaran udara secara alamiah, karena angin juga
dapat bergerak di bawah lantai sehingga seluruh permukaan rumah dikenai udara
segar.
b. Bentuk denah

Hunian ini memiliki tata ruang yang sederhana, tegas, dan relatif seimbang,
sesuai dengan prinsip bangunan tahan gempa. Rumah ini berkembang
sejajar dengan perkembangan taraf kemajuan pikiran manusia mencari
keselamatan dengan cara mengatasi atau menghindarkan diri dari
gangguan dan bahaya.

Adapun zona rumah berawal dari pekarangan (leun rumoh) yang seperti
menjadi milik bersama (konsep ukhuwah Islamiah), setiap bangunan rumah
biasanya terdiri dari ruang seuramo likeu (serambi depan), jure (ruang
keluarga), seuramo likot (serambi belakang), dan dapue (dapur). Di bagian
bawah rumah (lantai satu atau kadang disebut kolong rumah) dibiarkan
kosong. Ruang utama atau rambat diisi dengan hamparan “tikar ngom lapis”
tikar pandan. Kondisi ini memberikan keleluasaan ruang sehingga bisa
multifungsi dan memberi sirkulasi udara yang baik. Secara kualitas ruang,
ruang utama seperti ini juga mampu menghadirkansuasana kehangatan
persaudaraan.
c. Sistem struktur

Dari segi konstruksi, penempatan tiang rumah menyebabkan pembagian


ruang pada umumnya terdiri tiga ruang dan bertiang 16. Konstruksi tiang
kayu dan balok kayu dengan sistem lubang dan pasak seperti konstruksi
tiang dan balok pada rumoh Atjeh, berperilaku jepit elastis berfungsi untuk
merespon gempa. Sistem struktur yang fleksibel dari rumah vernakular Kuala
Tripa ini sangat sesuai dengan prinsip rumah tahan gempa.

Rumah vernakular ini terbukti mampu bertahan dari gempa karena struktur
utama yang kokoh dan elastis, sama seperti konstruksi pada Rumoh Atjeh
(rumah tradisional Aceh).Struktur utama konstruksi bangunan elastis karena
antara tiang dan lantai diikat dengan pasak (bajoe) tanpa menggunakan
paku, serta membentuk rigid (kotak tiga dimensional yang utuh). Karena
elastis dan saling mengunci, struktur hunian ini kokoh dan tahan getaran dan
goyangan. Karena hubungan antara struktur utama dengan lainnya saling
mengunci, sehingga bila terjadi goyangan seperti gempa, struktur ini bisa
mengikuti arah gerakan tersebut sehingga tidak terjadi kerusakan. Tiga
komponen struktur yang menjadikan hunian kokoh terhadap getaran dan
goyangan, yaitu 1). Pondasi sebagai pusat beban bangunan yang besar; 2).
Tiang dan balok sebagai tumpuan semua konstruksi, sebagai penyalur
beban dari atas dan dari samping; serta 3). rangka atap yang menjadi
penyangga dari atas.
d. Bentuk ventilasi

Terkait dengan iklim tropis, penghawaan ruang dalam sangat baik karena
udara dapat mengalir dengan baik melalui tingkap krepyak (jendela), sela-
sela antara lantai yang terbuat dari papan kayu, maupun sela-sela antara
atap dan dinding, dan ornamen pada atap yang bisa mengalirkan udara.
Selain itu, sela-sela antara lantai jugamempermudah pembuangan kotoran
di dalam ruang.

e. Bentuk atap

Bentuk atap segitiga yang bervolume besar berfungsi untuk melindungi


rumah dari panas, hujan, petir, angin, dan sebagainya. Atap rumah
vernakular ini juga berfungsi proteksi untuk menahan panas yang berlebihan,
mencegah tampias hujan, dan mengurangi pergerakan
angin.Kemiringanatap 35 derajat digunakan untuk mempercepat limpahan
air hujan.Teritisan lebar terdapat di sekeliling bangunan untuk menaungi
hunian dari tampias hujan maupun sinar matahari langsung.
Bahan bangunan

Secara keseluruhan material yang digunakan untuk konstruksi rumah vernakular di Kuala Tripa adalah material
yang adaptif terhadap iklim dan lingkungan setempat. Material utamayangdigunakansepenuhnya adalahkayu,
mengingat ketersediaannya yangmelimpahdi hutan-hutan Pesisir Barat Aceh. Kecuali pada pondasi
menggunakan material beton dan pada atap menggunakan material seng. Kayu yang digunakan untuk tiang
dan balok adalah jenis kayu keras. Tiang atau tameh terbuat dari material kayu pilihan yang berasal dari bak
mane (pohon laban), kayu merbau, ataupun kayu enau (temor) yang sangat kokoh dan pohon-pohon yang di
dapat dari sumber daya alam Aceh berupa material yang tahan rayap. Bobot material dari tiang dan balok
sangat ringan serta dapat meneruskan getaran dan tidak memberikan beban getaran yang berlebih pada tiang
sehingga tidak menyebabkan patahan atau retakan. Material kayu yang digunakan untuk tiang dan balok lantai
sangat adaptif dengan kondisi luar ruangan terutama ketahanannya terhadap panas dan hujan. Untuk lantai
pada ruang dalam juga menggunakan kayu yang berupa bilah-bilah papan yang disusun rapat. Dinding dari
papan kayu disusun vertikal untuk mempercepat limpahan air hujan yang tampias. Celah-celah antar
sambungan digunakan untuk memasukkan angin sekaligus pencahayaan selain melalui bukaan. Atap berbentuk
pelana menggunakan material kayu untuk rangka atap dan seng sebagai material penutup atap. Dahulu
material penutup atap adalah anyaman daun rumbia. Namun semenjak material seng ada di pasaran,
masyarakat sudah menggunakan material ini ringan, lebih aman terhadap angin kencang yang kerap melanda
wilayah pesisir Barat, dan juga lebih aman terhadap kebakaran. Konstruksi rumah panggung harus ringan,
sebaiknya menggunakan konstruksi kayu dengan pondasi umpak. Selain lebih ringan dari konstruksi beton juga
sudah teruji kekuatannya. Sambungan di tiap pertemuan kayu biasanya juga menggunakan kayu. Sambungan
kayu bersifat lentur sehingga memungkinkan bangunan bergerak mengikuti arah gempa. Hal ini akan membuat
konstruksi terhindar dari patahan struktur.
Sumber

Penulis : Cut Nursaniah, Izziah, Laila Qadri


Judul jurnal : MENGENALI KEARIFAN LOKAL RUMAH VERNAKULARMELALUI BENTUK
DAN BAHAN BANGUNAN PADA RUMAHDI KUALA TRIPA, ACEH
Tahun Terbit : 2017
Link :
http://digilib.mercubuana.ac.id/manager/t%21@file_artikel_abstrak/Isi_Artikel_859656704591.pdf
Arsitektur Nusantara
Arsitektur nusantara memiliki pemaknaan yang berbeda-beda oleh berbagai kalangan, namun yang menjadi
fokus dari arsitektur nusantara ini adalah bagaimana mempertahankan kearifan lokal yang terkandung
didalamnya, baik secara tampilan, konsep lingkungan, sosial dan budaya didalam sebuah rancangan.
Permasalahan yang muncul dalam memaknai kembali arsitektur nusantara dalam sebuah rancangan sering kali
ditemui pada wujud tampilannya. Banyak desain-desain yang hanya memperhatikan tampilan saja dan
melupakan unsur-unsur penting lainnya, sehingga menjadikan desain tersebut hanya meniru dan mengulang
tanpa ada pembaharuan. Fokus penelitian ini adalah pada penerapan unsurunsur arsitektur nusantara pada
karya desain arsitek Indonesia Yusing yang ide-ide desainnya banyak mengangkat nilai kearifan lokal arsitektur
nusantara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu metode kualitatif, dengan teknik pengumpulan
data melalui observasi data karya desain arsitek Yusing, hasil analisis tersebut kemudian diuraikan kualitatif untuk
mendapatkan sebuah kesimpulan akhir. Hasil penelitian ini adalah bahwa unsur aspek nusantara secara umum
telah diterapkan pada keempat desain karya Yu-sing meskipun tidak diterapkan secara utuh. Desainnya
mencoba untuk menginterpretasikan kembali dalam wujud yang baru sesuai dengan perkembangan teknologi
saat ini, bukan menghadirkan kembali masa lalu ke masa kini
Konsep Arsitektur Nusantara
a. Konsep hirarki pada sumbu vertikal dan horizontal

Masyarakat nusantara terdahulu telah membagi spasial dunia dalam tiga lapis, dunia atas disimbolkan sebagai
(surga, kahyangan), dunia bawah yang bermakna dunia maut dan dunia tengah yang merupakan dunia bagi
manusia untuk bertempat tinggal. Pola yang terdapat pada dunia mikro hunian merupakan cerminan dari
dunia makro alam raya. Oleh sebab itu, wujud bentuk suatu hunian selalu memiliki beberapa analogi bentuk
dasar, contohnya bentuk atap yang menyerupai bentuk gunung, gunung dalam hal ini selalu diidentifikasi
sebagai tanah tinggi, suatu tempat yang dianggap paling dekat dengan Tuhan di dunia atas (Mangunwijaya,
1988). Rumah dianggap sebagai bentuk mikro kosmos, sebagai penjelmaan dari bentuk makro kosmos (alam
raya), yaitu dunia atas, tengah dan bawah (Moerdjoko dalam Mashuri, 2012).

b. Konsep Skala dan Proporsi Manusia

Rumah tradisional Jawa dibangun dengan menggunakan konsep keharmonisan antara manusia dengan Sang
Pencipta, manusia dengan alam semesta (moncopat, kolomudheng, ponco sudho, papat keblat kalima
pancer) dan hubungan antara manusia dengan manusa (Roesmanto, 1999). Struktur spasial tradisional rumah
tinggal perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai aturan-aturan yang berlaku, di Jawa sama halnya di tempat
lain, manusia adalah ukuran benda (protagoras), sedangkan benda-benda dan alat-alat memakai ukuran
yang sesuai dengan badan manusia (Atmadi dalam Frick, 2001).
c. Konsep Orientasi

Arsitektur tradisional tidak lahir begitu saja, namun syarat dengan filsafat, nilai tradisi, dan kepercayaan, seperti
arah dan letak permukiman dan rumah terkait dengan faktor keberuntungan dan keselamatan penghuni
rumah, penentuan arah ini menjadi sangat penting bahkan disakralkan dan hal yang menjadi patokan
biasanya adalah gunung, matahari, laut, dan kiblat (Idawarni, 2011).

d. Konsep Struktur

Struktur dan konstruksi pada arsitektur tradisional merupakan elemen pembentuk spasial yang mengandung nilai
dan makna. Contohnya pada rumah joglo, konstruksi bangunan yang khas dengan fungsi setiap bagian yang
berbeda satu sama lain yang mengandung unsur filosofis terkait nilai dan makna, seperti struktur tiang
penyangga utama (saka guru) yang berjumlah empat membentuk formasi persegi (Djono et al, 2012). Elemen
struktur berfungsi mempertegas dan memperkuat keberadaan spasial dimana aktifitas berlangsung dan
terbentuk sebagai spasial diantara dua elemen massa yang berbeda dan berperan sebagai spasi atau spasial
antara/penghubung (Zuhri, 2005).
Rumah Nias Cimanggis

Rumah Nias Cimanggis merupakan reinterpretasi dari Rumah adat Nias.


Bentuk bangunan semi panggung dengan model atap di
sederhanakan. Sedangkan untuk pola rumah juga berderet seperti di
kampung Nias Selatan dengan pola yang tidak terpisah-pisah.
Bangunan rumah Cimanggis ini memiliki ruang pesta yang menyatukan
taman gasebo, kolam, teras dan ruang keluarga, letaknya berada
dibawah panggung. Untuk fasad bangunannya terdapat jalusi-jalusi
kayu.

Penerapan pola tata letak pada rumah cimanggis tidak sepenuhnya


sesuai dengan rumah tradisional aslinya, terjadi perubahan pola.
Konstruksi Hanya pada tampilan kolom bulat yang disesuaikan dengan
tampilan pada rumah tradisional aslinya Bentuk Diterapkan melalui
metode transformasi
Orientasi Sesuai dengan konsep rumah tradisional nias yang asli
Material Sudah mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan,
namun terdapat beberapa material seperti bamboo dan kayu yang
masih dipertahankan pada beberapa spot ornamentasi.
Ornamentasi Penerapan ornamentasi pada kisi-kisi jendela yang
tampilannya disesuaikan dengan tampilan asli dari rumah tradisional
nias.
Sumber

Penulis : Sri Winarni, Hamka


Judul jurnal : PENERAPAN UNSUR ARSITEKTUR NUSANTARA PADA KARYA DESAIN
ARSITEK YU-SING
Tahun Terbit : 2015
Link : https://media.neliti.com/media/publications/325970-penerapan-
unsur-arsitektur-nusantara-pad-13cfad53.pdf

Anda mungkin juga menyukai