Tradisional, Vernakular,
Nusantara
Mata Kuliah : Sejarah, Budayaan Kritik Arsitektur Nusantara
Dosen : Ir. Farida Murti, MT.
Universitas : Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
1. Kayu Kayu yang biasanya digunakan adalah kayu Sentang/ barang/pohon nangka/kayu bak mane dll. Kayu-
kayu ini digunakan untuk konstruksi utama yaitu kolom (tameh) dan balok (rhoek) dan konstruksi atap; kuda-kuda
dan Gording. Selain itu kayu juga digunakan untuk membuat tangga dan pasak. Setiap masyarakat Aceh
biasanya memiliki Lampoeh atau kebun yang ditanami kayu untuk keperluan membangun Rumah. Sehingga
mereka bisa membangun rumah dengan kayu yang didapat dari kebun sendiri. Selain menghemat biaya hal ini
juga menjaga kelestarian hutan dimana setiap pohon yang ditebang akan kembali ditanam untuk
dipergunakan dalam membangun rumah di generasi yang berikutnya. Kayu yang dipilih adalah kayu dengan
kualitas yang sangat bagus sehingga dapat bertahan lama. Struktur Utama dari Rumoh Aceh biasanya bisa
bertahan lebih dari seratus tahun jika dijaga dengan baik.Kayu untuk struktur Rumoh Aceh jika tidak
dipergunakan lagi sering dijual kembali untuk dibangun kembali menjadi rumah yang baru.
2. Papan Material papan biasanya dipergunakan untuk konstruksi dinding dan lantai.Kayu yang digunakan untuk
papan adalah kayu sentangaau kayu barang serta ada juga yang menggunakan kayu pohon kelapa.
3. Bambu Selain kayu, material yang dpergunakan untuk lantai dan dinding adalah bamboo.Bamboo ini nantinya
dibelah dan diikat/digabungkan dengan tali yang dibuat dari kulit bambu sendiri ataupun tali ijuk. Penggunaan
tanaman bambu sebagai material rumah juga merupakan upaya untuk melestarikan lingkungan agar tetap
hijau.Bambu merupakan tanaman yang sangat mudah hidup dimana saja dan dapat tumbuh lagi dalam waktu
yang singkat.Sehingga bamboo bisa dikategorikan kepada material yang ramah lingkungan dan dapat
diperbaharui karena sifatnya yang cepat tumbuh kembali.
4. Tali Ijuk Tali ijuk dipergunakan untuk menggabungkan belahan bamboo untuk material dinding ataupun
lantai.Selain itu juga untuk mengikat konstruksi atap dan daun rumbia sebagai penutup atap.
5. Daun Rumbia/daun kelapa Daun rumbia biasanya dipergunakan sebagai penutup atap.Penggunaan daun
rumbia dan atau daun kelapa ini karena memang di daerah Aceh dahulunya banyak terdapat daun rumbia
dan atau daun kelapa.Sehingga material sangat mudah untuk didapatkan.Mempergunakan atap daun
rumbia dan atau kelapa sangat bermamfaat didaerah yang beriklim tropis, dimana material penutup atap ini
merupakan material yang tidak mudah menghantarkan panas sehingga ruangan dibawahnya tetap terasa
sejuk.
6. Batu Batu kali yang berbentuk pipih biasanya dipergunakan sebagai alas pondasi. Pondasi seperti ini
dinamakanjuga gaki tameh/keuneuleung atau pondasi umpak dimana kolom kayu hanya diletakkan diatas
batu sebagai pembatas kayu dengan tanah agar tidak mudah lapuk. Penggunaan material yang berasal
dari lingkungan sekitar ini menegaskan kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan mikro kosmos dan makro
kosmos. Proses penggunaan material setempat dan kebiasaan menanam kembali pohon yang dipergunakan
dapat melestarikan dan menjaga lingkungan. Proses ini juga secara tidak langsung akan memaksa manusia
utk tetap menjaga dan mengembalikan apa yang sudah diambil dari alam, karena untuk kebutuhan
pembangunan selanjutnya. Hal ini tidak hanya bermamfaat bagi kelestarian lingkungan saja tetapi juga
berpengaruh kepada banyak factor, misalnya berpengaruh pada tetap terjaganya (memperlambat
perubahan) iklim dan makhluk hidup lainnya yang juga hidup bersama-sama kita.
Sumber
Suatu kondisi yang alami apabila suatu kebudayaan pasti akan mengalami perubahan kebudayaan setempat,
namun perubahan yang diinginkan adalah perubahan yang akan tetap memelihara karakter inti dan akan
menyesuaikan dengan kondisi pada saat ini, sehingga akan dapat terus dipertahankan. Menurut
Papanek(1995), arsitektur vernakular merupakan pengembangan dari arsitektur rakyat yang memiliki nilai
ekologis, arsitektonis dan alami karena mengacu pada kondisi alambudaya danmasyarakat lingkungannya.
Sementara menurut Oliver (1997), dalam arsitektur vernakular terdapat saling pengaruhantara unsur
alam/lingkungan dengan budaya masyarakatnya.
Rumah vernakular di Kuala Tripa adalah suatu bentuk kearifan lokal untuk
menghadapi iklim dan menyesuaikannya dengan lingkungan sekitar, yang
merefleksikan suatu masyarakat yang akrab dengan alamnya dengan
memperhatikan potensi lokal, seperti potensi udara, tanaman, material alam, dan
sebagainya hingga melahirkan suatu hunian yang menggunakan teknologi
sederhana dan tepat guna. Kesederhanaan inilah yang merupakan keunikan
sehingga tercipta bentuk khas dari rumah vernakular serta menunjukkan
bagaimana menggunakan material secara wajar dan tidak berlebihan. Menurut
Sartini (2004), Kearifan lokal merupakan gagasan- gagasan setempat (lokal) yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh
anggota masyarakatnya.
Rumah vernakular yang masih ada di sepanjang DAS Rawa Tripa hingga saat ini
sudah dihuni oleh empat generasi. Rumah bentuk panggung bermaterial kayu ini
disebut rumoh santeut atau rumoh tampong limong. Rumah ini adalah varian lain
dari Rumoh Atjeh yang merupakan rumah tradisional. Rumah vernakular ini
terbukti mampu bertahan dari bencana gempa bumi dan banjir hingga tetap
berdiri kokoh sampai sekarang. Hunian ini mampu bertahan hingga ratusan tahun
tentunya didukung oleh konstruksi yang kokoh dan mutu bahan bangunan yang
berkualitas.
Kearifan Lokal Bentuk Bangunan
Hunian ini memiliki tata ruang yang sederhana, tegas, dan relatif seimbang,
sesuai dengan prinsip bangunan tahan gempa. Rumah ini berkembang
sejajar dengan perkembangan taraf kemajuan pikiran manusia mencari
keselamatan dengan cara mengatasi atau menghindarkan diri dari
gangguan dan bahaya.
Adapun zona rumah berawal dari pekarangan (leun rumoh) yang seperti
menjadi milik bersama (konsep ukhuwah Islamiah), setiap bangunan rumah
biasanya terdiri dari ruang seuramo likeu (serambi depan), jure (ruang
keluarga), seuramo likot (serambi belakang), dan dapue (dapur). Di bagian
bawah rumah (lantai satu atau kadang disebut kolong rumah) dibiarkan
kosong. Ruang utama atau rambat diisi dengan hamparan “tikar ngom lapis”
tikar pandan. Kondisi ini memberikan keleluasaan ruang sehingga bisa
multifungsi dan memberi sirkulasi udara yang baik. Secara kualitas ruang,
ruang utama seperti ini juga mampu menghadirkansuasana kehangatan
persaudaraan.
c. Sistem struktur
Rumah vernakular ini terbukti mampu bertahan dari gempa karena struktur
utama yang kokoh dan elastis, sama seperti konstruksi pada Rumoh Atjeh
(rumah tradisional Aceh).Struktur utama konstruksi bangunan elastis karena
antara tiang dan lantai diikat dengan pasak (bajoe) tanpa menggunakan
paku, serta membentuk rigid (kotak tiga dimensional yang utuh). Karena
elastis dan saling mengunci, struktur hunian ini kokoh dan tahan getaran dan
goyangan. Karena hubungan antara struktur utama dengan lainnya saling
mengunci, sehingga bila terjadi goyangan seperti gempa, struktur ini bisa
mengikuti arah gerakan tersebut sehingga tidak terjadi kerusakan. Tiga
komponen struktur yang menjadikan hunian kokoh terhadap getaran dan
goyangan, yaitu 1). Pondasi sebagai pusat beban bangunan yang besar; 2).
Tiang dan balok sebagai tumpuan semua konstruksi, sebagai penyalur
beban dari atas dan dari samping; serta 3). rangka atap yang menjadi
penyangga dari atas.
d. Bentuk ventilasi
Terkait dengan iklim tropis, penghawaan ruang dalam sangat baik karena
udara dapat mengalir dengan baik melalui tingkap krepyak (jendela), sela-
sela antara lantai yang terbuat dari papan kayu, maupun sela-sela antara
atap dan dinding, dan ornamen pada atap yang bisa mengalirkan udara.
Selain itu, sela-sela antara lantai jugamempermudah pembuangan kotoran
di dalam ruang.
e. Bentuk atap
Secara keseluruhan material yang digunakan untuk konstruksi rumah vernakular di Kuala Tripa adalah material
yang adaptif terhadap iklim dan lingkungan setempat. Material utamayangdigunakansepenuhnya adalahkayu,
mengingat ketersediaannya yangmelimpahdi hutan-hutan Pesisir Barat Aceh. Kecuali pada pondasi
menggunakan material beton dan pada atap menggunakan material seng. Kayu yang digunakan untuk tiang
dan balok adalah jenis kayu keras. Tiang atau tameh terbuat dari material kayu pilihan yang berasal dari bak
mane (pohon laban), kayu merbau, ataupun kayu enau (temor) yang sangat kokoh dan pohon-pohon yang di
dapat dari sumber daya alam Aceh berupa material yang tahan rayap. Bobot material dari tiang dan balok
sangat ringan serta dapat meneruskan getaran dan tidak memberikan beban getaran yang berlebih pada tiang
sehingga tidak menyebabkan patahan atau retakan. Material kayu yang digunakan untuk tiang dan balok lantai
sangat adaptif dengan kondisi luar ruangan terutama ketahanannya terhadap panas dan hujan. Untuk lantai
pada ruang dalam juga menggunakan kayu yang berupa bilah-bilah papan yang disusun rapat. Dinding dari
papan kayu disusun vertikal untuk mempercepat limpahan air hujan yang tampias. Celah-celah antar
sambungan digunakan untuk memasukkan angin sekaligus pencahayaan selain melalui bukaan. Atap berbentuk
pelana menggunakan material kayu untuk rangka atap dan seng sebagai material penutup atap. Dahulu
material penutup atap adalah anyaman daun rumbia. Namun semenjak material seng ada di pasaran,
masyarakat sudah menggunakan material ini ringan, lebih aman terhadap angin kencang yang kerap melanda
wilayah pesisir Barat, dan juga lebih aman terhadap kebakaran. Konstruksi rumah panggung harus ringan,
sebaiknya menggunakan konstruksi kayu dengan pondasi umpak. Selain lebih ringan dari konstruksi beton juga
sudah teruji kekuatannya. Sambungan di tiap pertemuan kayu biasanya juga menggunakan kayu. Sambungan
kayu bersifat lentur sehingga memungkinkan bangunan bergerak mengikuti arah gempa. Hal ini akan membuat
konstruksi terhindar dari patahan struktur.
Sumber
Masyarakat nusantara terdahulu telah membagi spasial dunia dalam tiga lapis, dunia atas disimbolkan sebagai
(surga, kahyangan), dunia bawah yang bermakna dunia maut dan dunia tengah yang merupakan dunia bagi
manusia untuk bertempat tinggal. Pola yang terdapat pada dunia mikro hunian merupakan cerminan dari
dunia makro alam raya. Oleh sebab itu, wujud bentuk suatu hunian selalu memiliki beberapa analogi bentuk
dasar, contohnya bentuk atap yang menyerupai bentuk gunung, gunung dalam hal ini selalu diidentifikasi
sebagai tanah tinggi, suatu tempat yang dianggap paling dekat dengan Tuhan di dunia atas (Mangunwijaya,
1988). Rumah dianggap sebagai bentuk mikro kosmos, sebagai penjelmaan dari bentuk makro kosmos (alam
raya), yaitu dunia atas, tengah dan bawah (Moerdjoko dalam Mashuri, 2012).
Rumah tradisional Jawa dibangun dengan menggunakan konsep keharmonisan antara manusia dengan Sang
Pencipta, manusia dengan alam semesta (moncopat, kolomudheng, ponco sudho, papat keblat kalima
pancer) dan hubungan antara manusia dengan manusa (Roesmanto, 1999). Struktur spasial tradisional rumah
tinggal perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai aturan-aturan yang berlaku, di Jawa sama halnya di tempat
lain, manusia adalah ukuran benda (protagoras), sedangkan benda-benda dan alat-alat memakai ukuran
yang sesuai dengan badan manusia (Atmadi dalam Frick, 2001).
c. Konsep Orientasi
Arsitektur tradisional tidak lahir begitu saja, namun syarat dengan filsafat, nilai tradisi, dan kepercayaan, seperti
arah dan letak permukiman dan rumah terkait dengan faktor keberuntungan dan keselamatan penghuni
rumah, penentuan arah ini menjadi sangat penting bahkan disakralkan dan hal yang menjadi patokan
biasanya adalah gunung, matahari, laut, dan kiblat (Idawarni, 2011).
d. Konsep Struktur
Struktur dan konstruksi pada arsitektur tradisional merupakan elemen pembentuk spasial yang mengandung nilai
dan makna. Contohnya pada rumah joglo, konstruksi bangunan yang khas dengan fungsi setiap bagian yang
berbeda satu sama lain yang mengandung unsur filosofis terkait nilai dan makna, seperti struktur tiang
penyangga utama (saka guru) yang berjumlah empat membentuk formasi persegi (Djono et al, 2012). Elemen
struktur berfungsi mempertegas dan memperkuat keberadaan spasial dimana aktifitas berlangsung dan
terbentuk sebagai spasial diantara dua elemen massa yang berbeda dan berperan sebagai spasi atau spasial
antara/penghubung (Zuhri, 2005).
Rumah Nias Cimanggis