Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH ETNO EKONOMI TUMBUHAN

Potensi dan Pemanfaatan Tumbuhan Sebagai


Bahan Bangunan dan Non Bangunan

Dosen Pengampu :
Dr. Elis Tambaru, M.Si

Rafki Abdi Septiadi


T202310263

Departemen Biologi
Fakultas Matemaika Dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Hasanuddin
Makassar
2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas izinNya Saya
dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Potensi dan Pemanfaatan Tumbuhan
Sebagai Bahan Bangunan dan Non Bangunan” yang merupakan salah satupokok bahasan
dalam mata kuliah Etno Ekonomi Tumbuhan. Semoga dengan adanya makalah ini dapat
menambah pengetahuan dan bisa mengaplikasikannya.
Saya menyadari dalam penulisan makalah ini, masih banyak kekurangan maupun
kesalahan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang
sifatnya membangun.
Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam menyusun makalah ini, terutama pada dosen pengampu mata kuliah ini.

Makassar, 4 Oktober 2023

Rafki Abdi Septiadi


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tumbuhan merupakan sumber daya hayati yang telah digunakan oleh manusia sejak lama di seluruh
dunia. Tumbuhan di Indonesia dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti kebutuhan
bahan pangan, obat-obatan, kosmetik, bahan bangunan dan sebagainya. Indonesia merupakan salah
satu negara yang kaya, baik akan keanekaragaman hayati maupun keanekaragaman budaya antar
etnisnya. Kondisi demikian memunculkan adanya keragaman cara pemanfaatan tumbuhan oleh
masingmasing etnis berupa keterampilan untuk keperluan sehari-hari. Keterampilan ini diperoleh
dari pengetahuan berdasarkan pengalaman praktis dan pengetahuan tidak tertulis yang diwariskan
dari generasi ke generasi berikutnya (Supriati et al., 2013).
Menurut Meita (2013), etnobotani merupakan cabang ilmu biologi yang mendalami tentang
hubungan budaya manusia dan alam nabati di sekitarnya. Studi etnobotani berkaitan dengan
pemaknaan dan penggunaan tumbuhan oleh masyarakat di dalam lingkungan kehidupan sehari-hari,
dan dapat menjadi bentuk evaluasi terhadap tingkat pengetahuan dan fase-fase kehidupan masyarakat
(Walujo, 2009). Menurut Setiawan et al. (2014), etnobotani digunakan sebagai salah satu alat untuk
menggambarkan pengetahuan masyarakat yang telah menggunakan berbagai macam manfaat
tumbuhan untuk menunjang kehidupannya seperti, pengobatan, bahan bangunan, upacara adat,
budaya, dan sebagainya.
Bahan bangunan sangatlah diperlukan dan dibutuhkan disetiap daerahnya. Bahan bangunan
merupakan bahan yang dapat digunakan untuk membangun sebuah rumah ataupun gedung. Bahan
bangunan ada dua jenis yaitu bahan bangunan alami dan bahan bangunan buatan. Bahan bangunan
alami adalah bahan bangunan yang sudah tersedia dari alam dan terbentuk secara alami, bahan
bangunan alami meliputi tanah liat, pasir, kayu dan batu, bahkan ranting dan daun telah digunakan
untuk membangun bangunan. Sedangkan bahan bangunan buatan adalah bahan bangunan yang
terbentuk karena disengaja dengan proses yang dibantu manusia dengan segala perencanaannya,
bahan bangunan buatan meliputi pipa, atap, baja, besi dan lain sebagainya. Kayu didefinisikan
sebagai suatu bahan bangunan (konstruksi) yang didapat dari tumbuhan. Dengan atau tanpa
pengolahan lebih lanjut pun kayu dapat langsung digunakan. Salah satu kegunaan kayu sebagai
bahan bangunan misalnya untuk kuda-kuda, kusen, balok, kolom dan sebagainya. Dari segi
manfaatnya bagi kehidupan manusia, kayu dinilai mempunyai sifat-sifat yang menyebabkan kayu
selalu dibutuhkan (Frick, 1982).
Sebagai salah satu negara besar penghasil kayu, Indonesia memiliki kira-kira 4000 jenis kayu
(Tim Elsppat, 1997). Namun menurut RSNI revisi Peraturan kontruksi Kayu NI-5-2002, dari 4000
jenis kayu yang ada di Indonesia baru sekitar 150 jenis yang telah diselidiki dan dianggap penting
dalam perdagangan. Menurut Surya (2004), di Indonesia penggunaan kayu untuk keperluan
kontruksi, dilihat dari segi ekonomis, sangatlah menguntungkan karena jumlah dan jenisnya yang
sangat beragam. Kayu mudah untuk dikerjakan walaupun dengan menggunakan alat yang sederhana,
mudah untuk disambung, relatif kuat walaupun lebih ringan, cukup awet, dan memiliki nilai estetika
yang tinggi.
Dari keragaman sifat-sifat kayu yang digunakan sebagai bahan kontruksi khusunya pada bagian
struktur, maka pemilihan atau menilai kualitas kayu sebagai bahan banguan sangatlah penting sekali.
Seperti di kabupaten Wonogiri, banyak sekali rumah-rumah penduduk yang menggunakan bahan
bangunan berupa kayu sebagai bahan kontruksinya, dari mulai rangka atap, kolom, balok, kuda-kuda,
dan lain sebagainya. Kayu yang dianggap lebih ekonomis dan mudah didapatkan menjadi salah satu
alternatif untuk menjadi bahan bangunan.

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui potensi dan manfaat dari tumbuhan sebagai bangunan dan non
bangunan.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan yang digunakan sebagai bahan bangunan dan
non bangunan.
3. Untuk mengetahui peranan tumbuhan sebagai bahan bangunan dan non bangunan dalam
adat dan budaya di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

3.1 TumbuhanKelapa (Coco nucifera L.)

Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan komoditas strategis yang


memiliki peran sosial, budaya, dan ekonomi dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Tumbuhan ini dimanfaatkan hampir semua bagiannya oleh manusia sehingga dianggap
sebagai tumbuhan serba guna, khususnya bagi masyarakat pesisir. Hasil kelapa yang
diperdagangkan sejak zaman dahulu adalah minyak kelapa, yang sejak abad ke 17 telah
dimasukkan ke Eropa dari Asia (Setyamidjaja, 2008).

Penelitian etnobotani kelapa telah banyak dilakukan di berbagai wilayah di


Indonesia. Hal ini karena setiap masyarakat memiliki kearifan lokal tersendiri dalam
berinteraksi dengan alam sekitarnya. Secara etnofarmakologi, kelapa banyak
dimanfaatkan sebagai obat tradisional oleh masyarakat, diantaranya sebagai obat
penyakit panas dalam (Eni, dkk., 2019). Secara etnoantropologi, kelapa dimanfaatkan
dalam berbagai ritual atau upacara adat seperti upacara asrokalan, upacara panen,
upacara meminta kelancaran hidup, upacara hamil empat bulnaan, dan maulidan
(Silvia, dkk, 2017). Hal ini senada dengan hasil penelitian Linna, dkk., (2017), kelapa
dimanfaatkan dalam ritual acara mitoni tujuh bulan kehamilan dan puputan (lepasnya
ari-ari bayi). Selain itu, kelapa juga dimanfaatkan sebagai pelengkap sesaji racik
pinangan dan jenang sengkala dalam ritual kebo-keboan oleh masyarakat suku Using
desa Alas Malang (Nuchayati & Ardiyansyah, 2018).

Secara etnoekonomi, hampir seluruh bagian organ tumbuhan kelapa dapat


dimanfaatkan yang kemudian dijual sehingga memiliki nilai ekonomi. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Fahliana, dkk. (2019, h.64), kelapa menjadi salah satu sumber
pendapatan masyarakat di Desa Manunggal Makmur, yaitu tempurung kelapa yang
dimanfaatkan sebagai arang (bahan bakar) dijual keluar daerah dengan harga Rp
3.000,-/kg. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Ryandita, dkk., (2019. h.56),
tempurung kelapa dimanfaatkan oleh masyarakat Kampung Kuta sebagai kerajinan
tangan, yang dapat dibuat gelas, teko, asbak, gayung, dan sapu lidi (bagian tulang
daun). Hasil kerajinan tangan tersebut kemudian dijual dan menjadi sumber tambahan
pendapatan sehari-hari.

Bagian kelapa yang dimanfaatkan yaitu daun, bunga, buah kelapa, dan tunas
kelapa atau anak pohon kelapa yang baru tumbuh. Daun kelapa digunakan pada saat
acara pernikahan sebagai janur kuning, bunga kelapa digunakan pada saat ritual
siraman menjelang pernikahan dan ritual mandi-mandi 7 bulanan kehamilan. Buah
kelapa digunakan pada saat acara pernikahan adat Banjar yaitu sebagai salah satu isi
piduduk, serta tunas kelapa atau anak pohon kelapa yang baru tumbuh juga digunakan
dalam pernikahan adat Banjar yaitu dalam prosesi beantaran jujuran. Tunas kelapa
dijadikan sebagai isi hantaran yang wajib ada pada saat beantaran jujuran. Adanya
pemanfaatan bagian kelapa pada saat ritual adat tersebut merupakan tradisi yang sudah
dilakukan secara turun temurun dan tentu memiliki makna yang baik.

Batang kelapa dimanfaatkan sebagai jembatan penghubung atau jembatan


darurat jika ada jembatan yang mengalami kerusakan dan sebagai tempat duduk untuk
bersantai. Pada bagian dasar batang kelapa terdapat umbut, biasanya umbut ini
dimanfaatkan sebagai sayur umbut kelapa atau masyarakat Desa Sungai Kupang
biasanya menyebutnya dengan ganggan humbut. Pemanfaatan lain dari daun kelapa
yaitu sebagai atap kandang ayam dan itik. Daun yang digunakan untuk membuat atap
tersebut adalah daun yang setengah kering kemudian dianyam menggunakan tali
bambu.

3.2 Tumbuhan Rotan Manau (Calamus manan Miquel)


Rotan manau merupakan tumbuhan yang sering ditemui di Kawasan Asia Tenggara
khususnya Indonesia. Sebagai salah satu jenis tumbuhan Hasil
Hutan Non Kayu (HHNK), rotan manau biasanya digunakan sebagai bahan baku
industri. Selain itu, rotan manau juga dapat dijadikan sebagai pelengkap dalam
kehidupan sehari-hari seperti meja, kursi, tudung saji (Pane, dkk, 2013). Sebagai bahan
baku industri mebel, rotan manau memiliki kualitas bahan sangat baik sehingga rotan
manau memiliki nilai jual yang tinggi.
Selain digunakan sebagai bahan mebel, tumbuhan ini juga dapat digunakan
sebagai bahan obat. Masyarakat Suku Anak Dalam di Bukit Duabelas Taman Nasional
menggunakan bagian batang rotan manau untuk mengobati penyakit asma dan sakit
perut. Batang rotan manau dipotong runcing kemudian air dari batang tersebut
ditampung dan dapat langsung diminum (Mairida, dkk., 2016). Selain itu, Hariadi dan
Ticktin (2012) menjelaskan bahwa getah rotan manau uga dapat digunakan untuk
mengobati sariawan.
Kajian etnobotani tersebut mengindikasikan bahwa rotan manau berpotensi
memiliki metabolit sekunder yang berguna untuk pengobatan. Pemanfaatan rotan manau
tidak hanya pada bagian batang saja namun juga pada organ tumbuhan lain seperti buah
maupun getahnya. Apalagi diketahui bahwa rotan manau memiliki buah yang dapat
dimakan (edible fruit) dan hanya diperjualbelikan secara lokal oleh masyarakat setempat.
Buah rotan manau juga masih kurang diminati masyarakat pada umumnya sehingga
memiliki nilai jual yang rendah. Eksplorasi kandungan kimiawi rotan manau akan dapat
menemukan kegunaan lain yang dimiliki. Potensi ini selanjutnya akan dapat menaikkan
nilai jual rotan manau seutuhnya.
Sebagian besar jenis-jenis tumbuhan rotan yang tumbuh secara alami hanya dapat
hidup dalam tahap semai (seedling) dan hanya sedikit yang hidup hingga tahap dewasa.
Rotan manau hidup dengan ketinggian antara 50-1000 m dan paling banyak tumbuh di
ketinggian antara 600-1000 m (Dransfield dan Manokaran, 2013). Rotan manau tumbuh
dengan dipengaruhi oleh faktor-faktor klimatik seperti intensitas cahaya, suhu 24°-29°C
dan kelembaban 75% serta faktor edapik seperti sifat fisik tanah, kondisi serasah
(Irnawati dan Nanlohy, 2018).

Rotan manau merupakan jenis tumbuhan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang
memiliki nilai jual tinggi. Hal ini disebabkan batang rotan manau memiliki kualitas yang
baik untuk digunakan sebagai bahan perabot. Dalam Jasni, dkk (2007) dijelaskan bahwa
rotan manau memiliki kualitas yang baik untuk membuat kerangka mebel karena
memiliki diameter yang besar. Sejalan dengan Pane, dkk (2013) bahwa rotan manau
memiliki diameter >18mm dan tergolong ke dalam rotan berdiameter besar. Selain pada
ukuran diameter batang, sifat kimia yang dimiliki dapat mempengaruhi kualitas rotan.
Semakin tinggi kadar lignin dan silika maka akan semakin baik kualitas rotan. Lignin dan
silika mengisi ruang di dinding sel sehingga menyebabkan tingkat kekuatan dan
keawetan rotan menjadi lebih tinggi (Sanusi, 2003).

Rotan manau memiliki kandungan metabolit sekunder berupa alkaloid sehingga


memiliki potensi sebagai antimikroba. Diketahui bahwa alkaloid dapat masuk ke dalam
komponen peptidoglikan pada dinding sel bakteri. Peptidoglikan merupakan komponen
dinding sel bakteri yang jika mengalami gangguan akan menyebabkan lapisan dinding sel
tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel (Rahman, dkk., 2017).
Alkaloid juga dapat merusak proses pembelahan sel bakteri karena alkaloid memiliki
ikatan aromatik kuater (quaternary aromatic group) yang dapat berinteraksi dengan DNA
(Hassan dan Raheema, 2016). Buah rotan manau berpotensi dapat digunakan sebagai
antifungi. Hal ini disebabkan oleh buah rotan manau mengandung senyawa metabolit
sekunder berupa tannin, baik pada kulit buah, daging buah maupun pada bijinya (Salusu,
2018; Salusu, 2021). Tannin merupakan senyawa metabolit sekunder dan tergolong ke
dalam kelompok senyawa polifenol (Hagerman, 2002).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari makalah yang telah disusun, didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Tumbuhan sebagai bahan bangunan dan non bangunan yang sama-sama memiliki
potensi dalam nilai etno ekonomi dan budaya
2. Salah satu contoh tumbuhan bangunan yaitu kelapa. Kajian etnoekonomi, kelapa
dimanfaatkan dengan diolah yang kemudian dijual untuk meningkatkan
perekonomian.
3. tanaman lainnya yang merupakan tumbuhan non bangunan yaitu rotan manau,
Potensi yang dimiliki tumbuhan ini akan berkontribusi secara signifikan oleh
masyarakat lokal di masa mendatang dengan meningkatkan jumlah produksi
tumbuhan rotan manau.
DAFTAR PUSTAKA

Eni, N.N., Sukenti K., Muspiah, A., Rohyani, I.S. (2019). Studi Etnobotani Tumbuhan
Obat Masyarakat Komunitas Hindu Desa Jagaraga, Kabupaten Lombok Barat,
Nusa Tenggara Barat. Biotropika: Journal of Tropical Biology,Vol.7 No.3.
Fahliana, S.I. (2019).Study Etnobotani Tentang Pemanfaatan Cocos nucifera oleh
Masyarakat Desa Manunggal Makmur Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
(SkripsiFakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi, 2019).
Frick, Heinz. 1982. “Ilmu Konstruksi Bangunan Kayu”. Yogyakarta : Kanisius.
Hagerman, A. E., 2002. Tannin Handbook. Departemen of Chemistry and
Biochemistry. Miami University.
Hassan, R.M., dan Raheema, R.H., 2016, Evaluation The Antibacterial Effect of
Alkaloids and Phenols Extraction from Hibiscus sabdariffa Against Uti Infection
In Vitro, European Journal of Pharmaceutical and Medical Research, 3(3), hal
22-25
Liina, A.S.A., Fauziah, H.A., & Nurmiyati. (2017). Studi Etnobotani Tumbuhan
Upacara Ritual Adat Kelahiran di Desa Banmati, Kecamatan Tawangsari,
Kabupaten Sukoharjo. Biosfer, J. Bio. & Pend. Bio. Vol.2., No.2, Desember 2017
Mairida, D., Muhadiono, dan Hilwan, I. 2016. Ethnobotanical Study of Rattans on Suku
Anak Dalam Community in Bukit Duabelas Nasional Park, Biosaintifika, 8 (1),
Hal: 64-72.
Meita, F.P. (2013). Etnobotani Kelapa (Cocos nucifera L.) di Wilayah Denpasar dan
Badung. Jurnal Simbiosis, 1(2), 102-111.
Nurchayati, N. & Ardiyansyah, F. (2018). Etnobotani Tanaman Ritual Upacara Adat
Kebo-keboan Suku Using di Desa Alas Malang Kabupaten Banyuwangi.
Prosiding Seminar Nasional Sins, Teknologi dan Analisis Ke-1 2018.
Pane, O.P., Azhar, I dan Sucipto, T. 2013. Jenis Rotan, Produk Rotan Olahan dan
Analisis Ekonomi pada Industri Pengolahan Rotan Komersial di Kota Medan,
PERONEMA FORESTRY SCIENCE, Vol 2(1), Hal. 168-175.
Ryandita, F.R., Hernawati, D.,& Putra, R.R. (2020). Indigenous Poeple Kampung Kuta
Kabupaten Ciamis: Kajian Etnobotani Pemanfaatan Kelapa (Cocos nucifera
L.).Jurnal Biologi dan Pembelajarannya.7 (2): 56.
Setyamidjaja, Djoehana. 2008. Bertanam Kelapa. Kanisius. Yogyakarta.
Setiawan, H., dan Qibtiyah, M. (2014). Kajian Etnobotani Masyarakat Adat Suku
Moronene di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Jurnal Penelitian
Kehutanan Wallacea, 3(2), 107–117.
Silvia, Y., Hasanuddin, & Djufri. (2017). Etnobotani Tumbuhan Anggota Arecaceae di
Kecamatan Seulimum. Jurnal Ilmiah. 2 (2): 30-40.
Supriati, R., Timi J., & R.R. Sri A. (2013). Tumbuhan Obat yang dimanfaatkan oleh
Masyarakat Desa Sukarami Kecamatan air Nipis Kabupaten Bengkulu Selatan.
Konservasi Hayati, 9(2), 33-43.
Walujo, E. B. (2009). Etnobotani: Memfasilitasi Penghayatan, Pemutakhiran
Pengetahuan dan Kearifan Lokal dengan Menggunakan Prinsip-Prinsip Dasar
Ilmu. Bogor: LIPI

Anda mungkin juga menyukai