Anda di halaman 1dari 18

Arsitektur Tradisional

Di Indonesia
Jumat, 29 Mei 2015
ARSITEKTUR TRADISIONAL DI INDONESIA
Indonesia mempunyai berbagai macam suku bangsa yang berbeda-beda dari
Sabang sampai Merauke. Sudah tentu mempunyai ragam budaya yang berbeda
pula .Mulai dari adat istiadat sampai kepada bentuk bangunan mempunyai gaya
yang berbeda-beda juga. Jika kita mengamati bentuk-bentuk rumah tradisional
berbagai suku di Indonesia, jelaslah bahwa arsitektur tradisional Indonesia patut
dihargai dan dijaga kelestariannya. Kekayaan arsitektur tradisional Indonesia
terletak pada keunikan dan gaya bangunanyang dimilikinya. Misalnya, rumah-
rumah tradisional berdesain panggung mempunyai keunikan dari segi struktur
dan interiornya yang mengutamakan fungsionalitas.
Di Indonesia, rumah-rumah bergaya panggung bisa ditemukan di daerah
berpenduduk suku Batak danDayak. Bangunan dengan arsitektur yang unik juga
dapat kita temukan pada rumah adat orang Papua. Rumah adat ini disebut
Hanoi, mempunyai bentuk bangunan yang unik dengan proporsi tinggi atap
lebih besar daripada tembok keliling rumahnya. Namun, bangunan ini unik
karena strukturnya membuat spacedi  rumah itu memberikan sirkulasi yang
memadai bagi penghuninya. Bahkan penduduk Papua memasak di dalam rumahnya
dengan kayu bakar namun tetap merasa nyaman di dalam rumahnya. Jika kita
mengamati satu per satu arsitektur-arsitektur tradisional di Indonesia, kitaakan
takjub dan menyadari betapa uniknya negara kita. Bangsa yang
membutuhkan perubahan di sana-sini dalam segi politik, sosial, dll. Tetap
memiliki keunggulan dan keunikan. Banyak yang bisa kita pelajari, amati, dan
eksplorasi dari gaya-gaya tradisional ini. Kesimpulannya, Indonesia patut
bangga dengan kekayaan arsitektur tradisionalnya yang berbeda dan unggul dari
negara-negara lain. Kita perlu berupaya melestarikan gaya tradisional ini namun
tetap menyesuaikannya dengan kemajuan dan perkembangan jaman. Dengan
demikian, Indonesia akan dikenal sebagai bangsa yang menghargai budayanya
dan unggul dalam pengembangan di bidang arsitektur.
Apakah yang tradisional selalu tersingkir dijegal gaya modern? Yang baru kudu
menggusur old model? Mari merenung sejenak. Seringkali segala sesuatu yang
lama itu dibilang kuno, jadul, udik, ndeso. Tapi acap kali justru style tradisional
itulah yang dalam beberapa situasi menyelamatkan manusia dari ganasnya alam.
Nenek moyang kita ratusan, mungkin ribuan tahun lalu telah belajar bagaimana
bersahabat dengan alam. Ilmu gaul alam itu diturunkan dari generasi ke generasi
tentu tidak hanya untuk ditiru, tapi juga dikembangkan sesuai jaman. Sudah
lama saya yakin, manusia itu semestinya karib dengan alam.
Intinya, desain rumah tradisional berbahan kayu atau bambu itu, relative tahan
gempa karena lentur.
Arsitektur Tradisional Kerinci

 
Masjid Agung Pondok Tinggi di Kota Sungaipenuh di sebelah kabupaten Kerinci,
provinsi Jambi
Arsitektur berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani: yaitu arkhe dan tektoon.
Arkhe berarti yang asli, awal, utama, otentik. Tektoon berarti berdiri, stabil,
kokoh, stabil statis. Jadi arkhitekton diartikan sebagai pembangunan utama,
tukang ahli bangunan (Mangunwijaya dalam Budihardjo, 1996: 61). Jadi,
pengertian arsitektur dapat disimpulkan sebagai seni dan ilmu bangunan, praktik
keprofesian, proses membangun, bukan sekadar suatu bangunan.
Arsitektur
Arsitektur tradisional Kerinci adalah seni merancang bangunan yang bentuk,
struktur, fungsi, ragam hias dan cara pembuatannya diwariskan secara turun
temurun serta dapat dipakai untuk melakukan aktivitas kehidupan dan sebagai
salah satu identitas serta dapat memberi gambaran tentang tingkat kehidupan
masyarakat kerinci pada waktu itu.
Arsitektur tradisional Kerinci merupakan salah satu identitas dan dapat
memberikan gambaran tentang tingkat kehidupan masyarakat kerinci pada
waktu itu. Pada arsitektur tradisional Kerinci, terkandung secara terpadu wujud
ideal, wujud sosial, dan wujud material dari suatu kebudayaan.
Contoh bangunan tradisional Kerinci adalah rumah panjang atau yang disebut
juga "umoh panja" atau "umoh larik" atau "umoh laheik", yang merupakan
bangunan panjang berbentuk panggung yang terdiri dari beberapa deretan
rumah petak yang saling sambung menyambung yang berfungsi sebagai rumah
tinggal.

Bangunan ini disebut larik karena susunannya yang berlarik atau berderet-deret.
Larik ini dihuni oleh beberapa keluarga yang disebut “tumbi” atau “perut” yang
terdiri dari satu keturunan, yang dalam bahasa daerahnya disebut Kalbu. Setiap
kalbu dipimpin oleh seorang ninik mamak.
Tipologi
Tipologi rumah panjang atau larik adalah empat persegi panjang dan berbentuk
panggung, tidak ada ketentuan khusus mengenai ukurannya karena tergantung
dari banyaknya keluarga yang menghuninya. Setiap keluarga atau tumbi
mendiami satu petak, yang terdiri dari bapak, ibu dan anak yang belum
menikah. Ukuran tiap petak bangunan pada umumnya panjang 5 depa dan
lebarnya depa (8 meter x 6 meter).

Pola Rumah larik berjejer memanjang dari arah Timur ke Barat sambung


menyambung antara satu rumah dengan rumah di sebelahnya hingga
membentuk sebuah larik. Rumah Larik Limo Luhah merupakan salah satu
kawasan Rumah Larik yang terdapat dalam wilayah adat Depati Nan
BertujuhSungai Penuh selain kawasan Rumah Larik Pondok Tinggi dan Dusun
Baru.

Rumah ini menerapkan konsep sumbu vertikal (nilai ketuhanan) dan sumbu
horisontal (nilai kemanusiaan). Sumbu vertikal terlihat dari pembagian ruang
menjadi tiga bagian, yaitu bagian bawah sebagai kandang ternak, bagian tengah
untuk tempat manusia tinggal, dan bagian atas untuk menyimpan benda-benda
pusaka.
Sedangkan sumbu horisontal dapat dilihat dari pembagian ruang dalam rumah
yang tidak bersekat dan saling menyatu antara satu rumah dengan rumah di
sebelahnya, hal ini mengandung nilai kemanusiaan yang tinggi.
Pekarangan rumah pada umumnya dimanfaatkan untuk kegiatan menjemur hasil
pertanian seperti padi, kopi, dan kayu manis.

Umoh laheik, dibangun sambung-menyambung satu dengan yang lainnya


sehingga menyerupai gerbong kereta yang sangat panjang, sepanjang larik atau
lorong desa, dibangun di sisi kiri dan kanan sepanjang jalan.
Konsep Landscape
Konsep landscape, Rumah larik dapat dibagi berdasarkan konsep ruang makro,
meso, dan mikro. Ruang makro terdiri dari ruang hutan, ruangpertanian, dan
ruang pemukiman.
Hutan yang berada di daerah perbukitan dengan kemiringan yang cukup curam
tidak diizinkan untuk dimanfaatkan oleh manusia karena berfungsi sebagai
daerah resapan dan sumber air bagi pertanian dan pemukiman.
Ruang pertanian terdiri dari ladang (tanah kering) dan sawah (tanah basah)
terdapat di kaki–kaki bukit yang berfungsi sebagai lahan untuk bercocok tanam
bagi masyarakat dan sebagai lahan cadangan untuk mendirikan pemukiman
baru.
Sawah atau tanah basah merupakan tanah adat yang berstatus hak milik pribadi
sesuai dengan pembagian yang telah diatur oleh Ninik Mamak.
Ruang pemukiman berada dalam area yang disebut tanah “parit sudut empat”
yang merupakan batas pemukiman tradisional masyarakat adat dengan
pemukiman di luarnya.
Status tanah dan rumah dalam parit sudut empat ini berstatus hak milik kaum
yaitu milik anak batino dan tidak boleh diperjual belikan.
Konstruksi
Pada umumnya Konstruksi bangunan tanpa menggunakan fondasi permanen,
hanya tumpukan batu alam tempat tiang ditenggerkan, juga tanpa
menggunakan paku, hanya mengandalkan pasak dan ikatan tambang ijuk.
Atap
Penutup bangunan atau atap pada masa awalnya bukan seng atau gentengseperti
masa sekarang, melainkan hanya jalinan ijuk.
Dinding
Dindingnya dulu adalah pelupuh (bambu yang disamak) atau kelukup (sejenis
kulit kayu) dan lantainya papan yang di-tarah dengan beliung. Material-material
itu tidaklah memberatkan rumah.
Umoh laheik ini merupakan tempat tinggal tumbi (keluarga besar), dengan
sistem sikat atau sekat-sekat seperti rumah bedeng. Setiap keluarga menempati
satu “sikat” yang terdiri dari kamar, ruang depan, ruang belakang, selasar, dan
dapur.
Setiap sikat memiliki dua pintu dan dua jendela, yakni bagian depan dan
belakang. Material pintu adalah papan tebal di tarah beliung. Antara sekat sikat
terdapat pintu kecil sebagai penghubung.
Jendela
Jendela yang disebut “singap” sekaligus merupakan ventilasi angin dibuat tidak
terlalu lebar, tanpa penutup seperti layaknya rumah modern saat sekarang,
hanya dibatasi jeruji berukir.
Sementara bagian bawah yang disebut “umin” sering hanya sebagai gudang
tempat menyimpan perkakas pertanian, seperti imbeh, jangki, dan jala, atau
terkadang juga menjadi kandang ternak seperti ayam, bebek, kelinci, kambing,
dan domba. Tak jarang juga dibiarkan kosong melompong menjadi arena
tempat bermain anak-anak.
Plafond
Di bagian atas loteng terdapat bumbungan yang disebut “parra”. Atap di dekat
parra itu biasanya dibuat lagi singap kecil yang bisa buka-tutup, yang disebut
“hintu ahai” atau pintu hari atau pintu matahari. Di situlah keluarga
bersangkutan sering menyimpan “sko” (benda-benda pusaka) keluarga.

Di luar rumah, tepatnya di depan pintu, biasanya terdapat beranda panggung


kecil yang disebut “pelasa”, yang langsung terhubung dengan jenjang atau
tangga. Di situ pemilik rumah sering berangin-angin sepulang kerja. Bahkan,
tak jarang para tamu pria sering dijamu duduk di atas bangku sambil minum
"sebuk kawo" atau kopi dan mengisap rokok lintingan daun enau.
Bagian halaman depan rumah sering dipenuhi oleh tumpukan
batu sungaisebagai teras sehingga rumah terkesan tidak berpekarangan.
Pekarangan rumah keluarga tersebut sebenarnya berada di halaman belakang
yang biasanya sangat luas dan panjang.
Arsitektur Tradisional Ternate ,Tidore dan Halmahera
Indonesia memiliki banyak sekali arsitektur lokal semacam ini, dengan
ragamnya yang amat kaya tersebar di seantero kepulauan kita. Berjenis
arsitektur lokal di pelbagai daerah di Indonesia ini, jelas merupakan sumber-
sumber informasi bagi pengetahuan khususnya tentang bangunan-bangunan dan
lingkungan fisik yang khas dari masyarakat pribumi daerah yang bersangkutan.
Sudah diakui, bahwa dunia kini memiliki satu corak arsitektur. Perwujudannya
adalah “Arsitektur Modern” yang disebut pula sebagai Arsitektur “Gaya
Internasional”. Corak ini merupakan hasil dari kemajuan dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi abad 19 dan 20 yang mengakibatkan sebagian
kebutuhan dan persyaratan hidup menjadi relatif sama pada masyarakat-
masyarakat di dunia.
Pemilikan teknik bangunan, teknologi membangun. bahan bangunan produk
industri serta standar pendidikan arsitek/teknisi yang sama, terpakai dan berlaku
di mana-mana, yang kemudian memperkuat kecenderungan wajah arsitektur di
kota-kota dan kota-kota besar di dunia menjadi senada dan sebahasa. Asal usul
gaya ini dan sejarah perkembangannya, sudah lama difikirkan dan ditulis orang,
dan kini sudah merupakan pengetahuan tentang sejarah arsitektur dunia.
Di pihak lain, walaupun belum (atau tidak) dimasukkan dalam bagian
pengetahuan tentang sejarah arsitektur dunia tersebut di atas, sesungguhnya di
bagian-bagian lain di dunia ini masih ada lagi arsitektur dengan corak yang
sangat berbeda dengan corak modern. Banyak orang belum pernah tahu, bahkan
memang orang belum memberikan nama pada arsitektur jenis ini. Kita boleh
menamakannya arsitektur diaiek (vernacular), arsitektur tanpa nama
(anonymus), arsitektur pedesaan (rural), arsitektur asli (indigenous), arsitektur
alamiah (spontaneous), atau apa pun, tapi yang jelas ia adalah arsitektur lokal,
setempat, sangat khas, yang dibangun menurut tradisi budaya masyarakat yang
bersangkutan.

Arsitektur-arsitektur lokal ini pada dasarnya berkaitan erat dengan hunian atau
tempat tinggal beserta bangunan-bangunan dan struktur pelengkapnya
(lumbung, tempat pemujaan, bangunan-bangunan tambahan, dll). Bangunan-
bangunan hunian itu didirikan menurut konsep-konsep, nilai-nilai dan norma-
norma yang diwariskan nenek moyang mereka. Perwujudan bentuk sebagai
hasilnya seperti terlihat saat ini dapat dianggap tidak berbeda jauh dari
perwujudan bentuk hasil tradisi yang sama pada masa-masa yang lampau
walaupun perubahan-perubahan kecil maupun besar bisa saja terjadi pada masa
yang silam.
Dengan demikian, kalau kita mengamati bangunan-bangunan dalam “enclave”
arsitektur lokal sekarang ini, yang dianggap oleh para anggota masyarakat
setempat sebagai bangunan yang struktur dan bentuknya adalah sesuai dengan
tradisi budaya mereka, paling tidak, ia dapat dianggap sebagai perwujudan
tradisi mereka yang sama di masa lampau.
Atas dasar anggapan ini, arsitektur lokal seperti yang dimaksud di atas dalam
tulisan ini akan disebut sebagai arsitektur tradisional karena pernyataan
bentuknya sesuai dengan kaidah-kaidah yang diakui bersama atau masih dianut
oleh sebagian besar anggota masyarakat sebagai tradisi yang turun temurun.
Kini, apa yang sedang terjadi pada kantong-kantong arsitektur tradisional kita ?
Beberapa kasus dapat disebutkan berikut Ini :
— Masyarakat To Lore yang sudah ribuan tahun beranak pinak dan hidup serasi
dengan tanah dan- hutan di dataran tinggi Sulawesi Tengah, mungkin akan
segera dipindahkan dan dimukimkan kembali ke daerah lain. Hutan dan lembah
di lereng Gunung Nokilalaki tempat mereka bermukim ini akan dijadikan cagar
alam dan taman nasional “Lore Kalamanta”. Tidakkah pemisahan secara drastis
semacam ini, akan menimbulkan dekadensi kebudayaan dan punahnya suatu
tradisi lama sebelum kita mengenalnya secara mendalam.
— Program “pemukiman kembali” yang teratur dan terarah terhadap
masyarakat Badui Luar di Jawa Barat dari daerah asalnya di Kanekes ke
Gunung Tunggal merupakan contoh yang sejenis dengan kasus masyarakat To
Lore. Cepat atau lambat kemungkinan besar^masyarakat Badui Dalam akan
mengalami pula gilirannya.
— Contoh lain adalah program “turun ke tanah” yang dilaksahakan terhadap
masyarakat Dayak di pedalaman Kalimantan Timur, yang selain dimukimkan
kembali akibat daerah pemukiman asalnya termasuk hutan yang
di-”konsesikan” mereka juga diajar untuk tinggal satu keluarga dalam satu
rumah, tidak lagi bersama-sama dengan keluarga-keluarga lain semasyarakat.
— Banyak sekali lingkungan dan bangunan tradisional harus dibongkar dan
dihancurkan akibat dilaksanakannya rencana pelebaran jalan, atau
pembangunan “fasilitas” baru bagi lingkungan (shopping center, perkantoran
dll.), baik pada tingkat kota, kecamatan maupun kabupaten.

Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa bangunan-bangunan dan lingkungan


tradisional kini berada dalam masa transisi di mana ia sedang mengalami
perubahan-perubahan besar yang mengandung unsur kecenderungan untuk
punah. Keinginan untuk memperbanyak usaha melakukan pencatatan dan
perekaman pengetahuan tentang arsitektur tradisional adalah dalam rangka
menyelamatkan pengetahuan ini agar tidak musnah bersamaan dengan
musnahnya arsitektur itu sendiri.
Penelitian arsitektur tradisional di Ternate, Halmahera dan sekitarnya yang
dipaparkan dalam tulisan ini, merupakan realisasi dari keinginan dan usaha
tersebut di atas. Penelitian ini masih merupakan penelitian awal dari serentetan
rencana penelitian serupa yang akan dilakukan pada sebanyak mungkin
arsitektur tradisional daerah-daerah lain di Indonesia. Penelitian-penelitian awal
ini dilaksanakan dalam kerangka “Pra-Penelitian Sejarah Arsitektur Indonesia”
oleh Jurusan llmu-ilmu Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
PENELITIAN-PENELITIAN AWAL YANG TELAH DILAKSANAKAN

1. Ruang Lingkup.
Penelitian awal ini berusaha merekam arsitektur tradisional sebagaimana ia
dibangun dan sebagaimana adanya dari beberapa lokasi di Ternate, Halmahera
dan sekitarnya. Pengertian arsitektur, demikian pula arsitektur tradisional
sebenarnya luas sekali. la mencakup bagian-bagian yang teraga dan juga yang
tidak teraga. la mengandung standar-standar fisik dan simbolik dan ia memiliki
pula banyak aspek, baik alamiah maupun manusiawi. Sebagai tahap paling awal
penelitian ini membatasi diri pada perekaman kenyataan-kenyataan fisik saja
dari bangunan-bangunan yang berkaitan dengan hunian atau tempat hnggal
beserta bangunan-bangunan lain sebagai pelengkapnya. 
2. Metode Penelitian.
a. Menentukan contoh-contoh yang kiranya mewakili bentuk hunian atau
lingkungan suatu wilayah dengan bantuan kepustakaan yang ada serta
wawancara di lapangan.
b. Melakukan pengukuran terhadap bangunan secara keseluruhan dan detail-
detail bagian-bagian yang dianggap penting dalam arti mengandung telaah yang
kaya dan majemuk. Untuk mendapatkan kesan-kesan yang menyeluruh
digunakan alat potret sehingga terekam keterangan visual seperti suasana
gelap/terang, warna, tekstur, hubungan-hubungan konstruksi dan bentuk-bentuk
hiasan yang rumit.
c. Untuk mencatat kemungkinan adanya varian dalam suatu ‘penyelesaian
arsitektural, adanya bagian-bagian yang pernah diubah atau perubahan-
perubahan akibat pengaruh ikiim dan cuaca, dilakukan wawancara dengan
orang-orang terpandang yang tahu dalam bidang yang bersangkutan dengan
menggunakan pita kaset.
d. Menghubungkan data-data pengukuran dengan keterangan-keterangan hasil
wawancara maupun literatur dan menuangkannya dalam bentuk “penggambaran
kembali”. .
e. Hasil yang diperoleh adalah data-data dalam bentuk gambar-gambar yang
terukur dan terskala sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
3. Hasil-hasil Penelitian Awal
Hasil-hasil penelitian awal ini merupakan arsitektur-arsitektur daerah-daerah
Siko dan Facei di Ternate, Dokiri di Tidore, Taraudu (Sahu), Cempaka (Sahu),
Katana (Tobelo) dan Galela di Halmahera. Gambar-gambar dan keterangan-
keterangan yang diberikan di sini, diambil dan merupakan sebagian kecil dari
bahan laporan data.
KESIMPULAN-KESIMPULAN SEMENTARA

Pra-penelitian yang hanya mengamati kenyataan-kenyataan fisik ini sangat


dibatasi oleh obyek yang ada, sifat-sifatnya dan jumlah yang berhasil diamati.
Sesungguhnya makin beragam dan majemuk serta makin banyak jumlah obyek
yang diamati, akan makin memperhalus hasil yang dapat diperoleh. Pada
penelitian awal yang telah dilakukan ini masih dianggap bahwa obyek yang
diamati terlampau sedikit sehingga dalam menarik hasil daripadanya peneliti
banyak melakukan “rampatan” (generalization). Oleh karena itu hasil-hasil ini
perlu dianggap sebagai hasil yang masih bersifat sementara.
Dari hasil rekaman yang sudah dikumpulkan, dapat diambil kesimpulan-
kesimpulan sementara yang menunjukkan sifat-sifat umum arsitektur tradisional
Halmahera dan sekitarnya, sebagai benkut :
a. Bangunan-bangunan tempat tinggal umumnya konsentris, terdiri dari bagian
inti di tengah (bilik dalam) dan bagian-bagian luar yang mengelilingi bagian inti
(bilik luar).
b. Bangunan-bangunan ini sebagian berdiri dengan lantai diangkat ±90 -150 cm
di atas tanah (Siko, Pacei, Taraudu) dan sebagian lagi berlantai langsung di atas
tanah (Dokiri, Katana, Galela). (c) Struktur bangunan adalah s’stem rangka
(skeleton) dari kayu, bambu dan kombinasi dari keduanya.
d. Bentuk bangunan adalah geometris, bentuk tetap segi delapan, dengan bagian
yang tertinggi berbentuk pelana mengindikasikan bilik dalam sebagai bagian
yang terpenting dari rumah.
e. Bahan bangunan yang dipakai adalah bahan bangunan lokal, yang langsung
terdapat di daerah itu seperti : kayu untuk rangka rumah; bambu untuk tulangan
utama dinding, untuk tulangan dasar dari dinding, untuk bahan dinding/lantai
(bambu belah); daun nipah untuk bahan atap, dan untuk dinding (pelepahnya).

f. Tiang-tiang utama rangka rumah dan tulangan dasar dinding berdiri di atas
umpak batu.
g. Penyelesaian-penyelesaian detail sambungan konstruksi dan ke-mampuan
membuat aneka ragam ornamen cukup unik, menun-jukkan adanya potensi
pertukangan yang besar (skilled).
h. Bangunan-bangunan memberikan asosiasi pada bentuk kapal.
KEMUNGKINAN-KEMUNGKINAN PENELITIAN LEBIH LANJUT
Dalam Laporan Pra-penelitian Sejarah Arsitektur Indonesia, telah disebut
kemungkinan-kemungkinan penelitian lebih lanjut, yang jelas berlaku pula bagi
kelanjutan penelitian awal terhadap arsitektur tradisional Ternate dan
Halmahera. Kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Rekaman-rekaman yang telah diperoleh, merupakan rekaman dari
keadaannya pada satu waktu tertentu. Dengan perkataan lain, perekaman ini
pada waktu-waktu tertentu di masa yang akan datang perlu dikerjakan lagi
secara berkala tapi terus menerus agar dapat menghasilkan rekaman-rekaman
yang dapat memperlihatkan po/a perubahannya di kemudian hari. Perekaman
terus menerus ini akan dapat memberikan petunjuk akan arah-arah perubahan
yang disukai oleh seseorang atau sekelompok masyarakat yang bersangkutan.
Langkah selanjutnya adalah meneliti perangai seseorang atau sekelompok
masyarakat tersebut, dalam menghadapi setiap bentuk perubahan di tengah-
tengah pembangunan ini.
2. Rekaman-rekaman yang telah diperoleh, merupakan rekaman petunjuk-
petunjuk untuk menyempurnakan metode penelitian yang dianut sebelumnya.
Dengan metode yang disempurnakan ini penelitian-penelitian serupa dapat
segera diterapkan pada daerah-daerah lain guna memperkaya jumlah obyek
yang diamati sehingga dengan demikian generalisasi yang terpaksa telah di-
lakukan pada hasil-hasil penelitian yang sekarang dapat diper-halus.
3. Penelitian ini pun dapat membuka mata ke arah kenyataan akan adanya
hubungan timbal balik antara “kepercayaan” (yakni hu-bungan kejiwaan antara
manusia dengan alam lingkungannya) dengan pemanfaatan atau pengolahan
benda. Hal ini menunjuk kepada gejala-gejala semiologik/semiotika, kaidah-
kaidah linguis-tik atau penciptaan simbol-simbol, yang pada gilirannya merupa-
kan bagian dari environmental communication. Hasil dari kegiatan ini akan
mencakup berbagai bidang keilmuan.
ARSITEKTUR TRADISIONAL TANA TORAJA
Tana Toraja memiliki arsitektur tradisonal berupa rumah adat Tongkonan yang
berada di desa Kete Kesu.Tongkonan berasal dari kata Tongkon yang artinya 
duduk.Desa Kete Kesu merupakan desa tertua di Toraja yang berumur 700
tahun lebih.Unesco menetapkan Bori Parinding  tempat melakukan upacara adat
pemakaman yang terdapat di Tana Toraja sebagai warisan budaya dunia.Ciri
utama rumah adat Toraja adalah tanduk kerbau yang terdpat di depan
Tongkonan.
Kepercayaan : Aluk Todolo –agama leleuhur/agama purba Yang dibawa pada
Dinasti 9 Tangdilino
Upacara adat tradisonal terdiri dari:
 Rambu Tuko yaitu upacara kegembiraan, kelahiran, pernikahan
 Rambu Solo yaitu upacara kematian
Dinasti Tomanurung adalah yang memperkenalkan system kerajaan, pelapisan
social masyarakat di Tana Toraja.
Jenis rumah Tongkonan ada 3 yaitu:
 Tongkonan Layuk untuk Raja
 Tongkonan Pekamberan untuk rumah adat
 Tongkonan Batu Ariri untuk rakyat/ keluarga
Ragam Hias Tana Toraja yaitu:
 Kabongo adalah kepala kerbau belang hitam putih
 Katik adalah ornament kepala ayam jantan yang merupakan symbol
norma dan adat yang harus dipatuhi
Rumah adat Tongkonan menghadap kearah utara sedangkan alang atau
lumbung menghadap ke selatan.Maka sering disebut sebagai sepasang sejoli.
Bagian-bagian rumah Tongkonan yaitu
 Ulu Banua (atap)
 Kalle Banua (badan)
 Suluk Banua (kaki)
Struktur Tongkonan
 Ulu Banua / atap (dari rotan dan ijuk) yaitu atap terbuat dari bambu
pilihan yang disusun tumpang tindih kemudian diikat dengan reng bambu dan
tali bamboo/rotan.
 Kalle Banua/badan(dari kayu uru, kayu kecapi)  yaitu lantai Tongkonan
terbuat dari papan kayu uru yang disususn diatas pembalokan lantai.kemudian
disusun memanjang sejajar balok utama.Sedangkan untuk alang atau lumbung
terbuat dari kayu banga.
 Suluk Banua ( kaki ) yaitu kolom/ tiang ariri terbuat dari kayu
uru,sedangkan untuk alang digunakan kayu nibung sejenis pohon
palem.Bentuk kolomnya persegi panjang,pada alang bentuk kolom bulat

Anda mungkin juga menyukai