2. Fero Y Astomurti 24117114 3. M. Fahmi Firdaus 24117038 4. Restu Four P G 24117090 5. Saarah Salsabila S. 24117124 6. Yoan Feliks Siburian 24117086 Kosmologi dan Ritual Rumah Adat Sunda Berdasarkan bentuk bangunan, rumah berkonsep panggung, bagian bangunan dibagi menjadi 3 DUNIA ATAS atau AMBU LUHUR Ambu luhur atau dunia atas adalah tempat dimana roh- roh suci tinggal, oleh karena itu manusia tidak boleh tinggal di ambu luhur yang merupakan bagian atap bangunan. DUNIA TENGAH(DUNIA TENGAH) & DUNIA BAWAH(AMBU HANDAP) Ambu tengah adalah pusat alam semesta dan tempat dimana manusia tinggal. Ambu handap atau bagian bawah adalah tempat dimana roh-roh halus dan jahat tinggal, oleh karena itu manusia tidak boleh tinggal langsung bersentuhan dengan tanah. Ini juga sebabnya tiang / kolom bangunan tidak boleh langsung bersentuhan dengan tanah, harus diberi alas yang berfungsi untuk memisahkannya dari tanah yaitu berupa batu yang disebut dengan umpak. di Kampung Naga Tasikmalaya, rumah / pondasinya berbentuk panggung, sehingga menciptakan sebuah ruang dibawah lantai yang disebut sebagai kolong. Ruang ini, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya adalah simbolisasi dari kehidupan bawah dimana manusia tidak boleh tinggal disana kecuali yang sudah meninggal (dikubur), atau sebagai kandang hewan ternak seperti ayam / itik dan sebagai tempat penyimpanan kayu bakar. KOSMOLOGI ARSITEKTUR SUNDA Berdasarkan penempatan bangunan yang bernilai filosofi.
Filosofi Tempat (Patempatan) yaitu berkaitan dengan keberadaan
suatu tempat berdasarkan tingkat kepentingannya diantaranya Lemah Cai,Luhur Handap,Wadah Eusi,Kaca-kaca. Lemah Cai: Lemah berarti tanah dan Cai berarti air, filosofi ini biasanya ada di perkampungan yang letak perkampungannya berada di pegunungan. Luhur Handap: Konsep yang secara literal berarti atas-bawah, konsep ini menunjukan hierarki penempatan suatu lokasi berdasarkan tingkat kepentingan/ fungsinya. Wadah Eusi: Filosofi ini mempunyai arti bahwa setiap tempat dalam sebuah perkampungan selalu menjadi wadah yang juga memiliki isi (eusi) yang artinya memiliki kekuatan supranatural WADAH EUSI Secara garis besar, masyarakat kampung adat Sunda juga biasanya membagi wilayah tempat tinggal mereka ke dalam tiga bagian. Seperti yang bisa ditemukan di Kampung Naga, Tasikmalaya. Tiga wilayah itu adalah : hutan larangan; peternakan, perkebunan, perikanan, dan sawah; dan hunian atau tempat tinggal warga. Masyarakat adat Sunda memiliki peternakan, perkebunan, perikanan dan persawahan, Padi-padi yang sudah dipanen biasanya disimpan di bagian kolong rumah untuk persediaan sampai panen selanjutnya. Kemudian ada hunian atau tempat tinggal warga yang semuanya menggunakan konstruksi panggung yang sangat ringan dan fleksibel. Di Kampung Naga, Tasikmalaya, terdapat lebih dari 100 unit hunian rumah panggung. Analisis Filosofi Kampung Dukuh Menurut penuturan kuncen Kampung Dukuh bahwa bangunan Kampung Adat Dukuh tidak boleh menggunakan penutup atap genteng filosofi nya adalah “ hidup – hidup sudah di kubur”. Rumah berbentuk panggung filosofi nya adalah apabila di siang hari menjadi sejuk. Perkampungan berada dekat dengan sumber air yaitu sungai Cipasarangan dan sungai Cimangke dengan tingkat kesuburan tanah yang baik, filosofinya Lemah Cai yaitu letak perkampungan tersebut memiliki sumber mata air yang mengalir yang bisa dijadikan sebagai kebutuhan sehari masyarakat perkampungan dengnn tanah yang subur yang letaknya di pegunungan. Jadi unsur air dan tanah dalam filosofi ini sangat mempengaruhi kehidupan perkampungan. Kampung Dukuh ini memiliki hutan larangan yang dipercaya merupakan “makam karomah” yang letaknya berada di kontur yang lebih tinggi di arah utara perkampungan yang menunjukan hierarki dengn filosofi panempatan Luhur Handap. Adanya batu besar di tengah tengah perkampungan yang menurut warga merupakan batu yang memiliki kekuatan supranatural dan makam karomah yang dikeramatkan menunjukan filosofi Wadah Eusi dengan pengertian bahwa setiap tempat memiliki isi (eusi) yang artinya memiliki kekuatan supranatural. Dilihat dari filosofi arsitektur tradisional sunda Luhur Handap, kampung dukuh merupakan kampung yang masih menjaga filosofinya terlihat dari penempatan lokasi berdasarkan tingkat kepentingannya. Filosofi kaca-kaca terlihat dengan adanya batas spasial berupa pagar pembatas kampung dukuh dalam dan luar maupun dengan makam karomah. Kekerabatan dan Organisasi Sosial-Spasial Rumah Adat Sunda
•Sistem organisasi masyarakat Sunda berarti kesepakatan abstrak
yang dimiliki oleh masyarakat Sunda. •Pengorganisasian masyarakat Sunda ditentukan oleh sistem yang mengatur masyarakat Sunda itu. •Masyarakat Sunda telah membuat sistem organisasi kemasyarakatannya secara bersama, dan diakui serta dijalankan secara sukarela. •Akal, rasa, dan karsa yang merupakan unsur kekuatan jiwa manusia dapat mnciptakan hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat itu sendiri. •Orang Sunda mengenal pengelompokan status dalam masyarakat berdasarkan materi. Ada orang kaya dan orang miskin. Orang miskin biasanya bekerja sebagai petani, buruh, pedagang asongan, dll. •Berdasarkan umur seseorang dalam masyarakat Sunda, dikenal kelompok orang dewasa dan kelompok orang tua yang berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosialnya. Kelompok tua lebih berperan sebagai pembimbing. •Terdapat etika dan adab yang dijalankan oleh setiap individu pada masyarakat sunda tanpapemaksaan. •Seorang anak (kelompok dewasa) yang bertingkah mencampuri urusan orang tua (kelompok tua) disebut kokolotbegog. Kurang baik apabila kelompok muda lebih berpartisipasi aktif melampaui perang kelompok tua, walaupun kapabilitas seorang pemuda lebih tinggi dari seorang tua, hal ini terkait adat dan kebiasaan masyarakat Sunda. Teknologi dan Konstruksi pada Rumah Adat Sunda Bangunan adat Sunda dibuat dengan konstruksi dan konstruksi yang ringan dan sederhana. Konstruksi rumah panggung dengan ketinggian 40 – 60 cm. Materialnya terbuat dari material yang bisa ditemukan di sekitar lingkungan seperti batu belah yang langsung diambil dari sungai, bukit, atau gunung; seperti bambu, kayu, dan ijuk. Pembangunan rumah panggung dengan material-material alami seperti kayu, bambu, serta atap ijuk adalah sebuah bentuk penyesuaian masyarakat adat Sunda dengan lingkungan alamnya yang bergunung- gunung dan berbukit-bukit dengan kemiringan lahan yang curam yang juga berada pada jalur vulkanik dan tektonik yang mana merupakan daerah rawan gempa. Contohnya bisa ditemukan di Kampung Naga, Tasikmalaya. Kampung ini berdiri di wilayah perbukitan yang cukup curam. Selain mampu merespon gempa, rumah dengan bahan bangunan tersebut akan lebih ringan dibanding rumah yang terbuat dari dinding tembok / beton dimana kondisi ini akan berpengaruh terhadap daya dukung bangunan terhadap potensi longsor. Rumah adat Sunda, seperti yang bisa ditemukan di Kampung Naga secara struktur terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu struktur handap atau bawah dan struktur luhur atau bagian atas bangunan. A. Struktur bawah bangunan Struktur handap atau bawah bangunan terdiri dari lelemah atau tanah dasar dan tatapakan atau pondasi. Rumah tradisional Sunda menggunakan pondasi yang disebut dengan umpak. Umpak sendiri, terbagi ke dalam tiga jenis yaitu : buleud, lisung dan balok. Pondasi buleud berbentuk lingkaran dengan diameter 35 – 40 cm dan tinggi 35 – 40 cm. Pondasi balok berbentuk kebus dengan ukuran panjang dan lebar 35-40 cm dan tinggi 60 cm. Pondasi lisung adalah pondasi berbentuk trapesium dengan ukuran panjang dan lebar sekitar 35-40 cm dan tinggi 60 cm. Pemanfaatan ruang kolong pada rumah adat Sunda. Jika pada bangunan modern kita mengenal istilah balok sloof sebagai sistem pengikat antar pondasi batu kali, maka pada bangunan adat Sunda menggunakan istilah balok panaggeuy. Ini adalah balok kayu berukuran 10/12 yang digunakan untuk mengikat pondasi satu dengan yang lainnya. Material yang digunakan pada bagian handap bangunan adalah material lokal yang mudah ditemukan di lingkungan sekitar warga. Menurut kepercayaan masyarakat adat Sunda, material berat seperti batu tidak boleh digunakan untuk konstruksi bangunan bagian luhur karena dapat membahayakan. Pernyataan ini menjadi masuk akal karena ketika terjadi gempa dan ada potensi keruntuhan bangunan, material berat seperti batu atau beton akan membuat reruntuhan yang akan membahayakan pengguna. Batu kali sebagai tangga dan dinding penahan tanah di kampong adat Sunda Naga di Tasikmalaya Penggunaan batu tidak hanya terbatas untuk pondasi rumah saja, pada level kawasan, batu yang diambil dari kali /sungai juga digunakan sebagai tangga dan dinding penahan tanah untuk pengaturan terasering. Selain mudah dan murah, penggunaan batu dengan tekstur dan ukuran yang beragam juga menjadi keunikan dan keindahan tersendiri. B. Struktur atas bangunan Struktur luhur atau struktur bagian atas bangunan dibedakan ke dalam dua bagian : pangadeg, lalangit, dan rarangka. Struktur pangadeg pada dasarnya adalah kerangka rumah yang disusun berdasarkan dua komponen yaitu dinding dan lantai. Struktur dinding dibagi ke dalam tiga komponen utama, tihang adeg, pananggeuy tihang nu dibagi. Penutup dinding terbuat dari bilik bambu. Sistem ikatannya menggunakan pasak dan tali, namun pada contoh di rumah adat Sunda yang ada di Kampung Naga, beberapa rumah sudah menggunakan sambungan paku. Alasannya, selain lebih cepat, penggunakan paku juga cenderung lebih murah dan praktis daripada pasak dan tali. Pada struktur lantai, masyarakat adat Sunda biasanya menggunakan tiga jenis lantai, yaitu : talupuh; papan dan bilik. Talupuh sendiri adalah lantai yang terbuat dari material bambu yang dirajam dengan ukuran tertentu sesuai kebutuhan (Nuryanto dkk.,2015). Jenis bambu yang digunakan biasanya dari jenis gombong dengan diameter 15-20 cm dan ketebalan 12-15 mm. Alasan menggunakan bambu ini adalah karena ketika bambu ini dirajam lebarnya bisa mencapai kurang lebih 30 cm. Pada struktur atap, struktur lalangit dan rarangka pada dasarnya terbagi berdasarkan dua komponen : kuda-kuda dan langit-langit. Kuda-kuda terdiri dari dua komponen : nu mikul atau dalam bahasa Indonesia berarti yang menopang dan nu dipikul atau yang ditopang. Oleh sebab itu, ukuran kayu untuk struktur nu mikul lebih besar dan tebal dibanding struktru nu dipikul yang ukurannya lebih kecil dan lebih ringan. Pada dasarnya, struktur atapnya hampir sama dengan struktur atap kayu yang kita ketahui pada bangunan modern, hanya istilahnya saja yang berbeda. Sambungan yang digunakan juga tidak menggunakan plat baja dan paku, tapi menggunakan ikatan tali ijuk / rotan dan teknik sambungan bibir lurus-berkait, miring-berkait, dan pen-lubang. Untuk material penutup atap, masyarakat kampung adat Sunda biasanya menggunakan ijuk yang ditumpuk-tumpuk dan diikat. Ijuk ini memiliki usia yang cukup panjang. Menurut keterangan salah satu warga di Kampung Naga, ijuk ini baru diganti minimal 30 tahun sekali. Bahkan ada yang lebih. Di Kampung Naga dalam dilarang menggunakan penutup atap yang terbuat dari genteng / saripati tanah. Karena, dalam kepercayaan mereka menggunakan penutup atap dari genteng sama dengan mengubur diri hidup-hidup, karena hanya orang yang sudah mati yang tinggal di bawah tanah. (Nuryanto dkk.,2015 ) KESIMPULAN Masyarakat adat Sunda adalah masyarakat yang hidup berdampingan dengan alam. Bukan di atas alam. Dengan pemahaman sederhana ini, mereka berusaha untuk terus memuliakan dan menjaga alam dari kerusakan. Menurut Pak Saria, warga kampung naga, ia mengatakan
“leuweung mah teu kudu dijagaan,tapi di antepkeun. Mun dijagaan
justru matak ngarusak.” “hutan tidak perlu dijaga, tapi cukup didiamkan. Karena ketika dijaga, nanti justru akan merusak”
Karena bagi mereka, alam bukanlah sesuatu yang bisa dieksploitasi
sepuasnya. Nilai-nilai kearfian lokal ini yang juga tercermin dalam realitas struktur dan konstruksi rumah adat mereka. Dengan rumah adat panggung, tidak ada satupun rumah warga yang hancur akibat gempa. Justru sebaliknya, berdasarkan wawancara penulis dengan Pak Saria (warga kampung naga), ketika terjadi gempa bumi warga khususnya anak-anak justru bergegas masuk ke dalam rumah dan menunggu datangnya gempa. Anak-anak merasa senang ketika terjadi gempa karena mereka seperti sedang enjot-enjotan atau seperti sedang melompat-melompat di dalam bangunan. Bagi mereka, gempa hanyalah sebuah fenomena alam yang wajar, bukan sebuah bencana alam yang perlu ditakuti. Nilai kearifan lokal inilah yang perlu terus ada dan diaplikasikan pada bangunan-bangunan modern. Pemahaman untuk hidup bersama-sama dengan alam, bukan di atas alam, tapi merasa menjadi bagian dari alam, seperti yang masyarakat adat Sunda lakukan terbukti membuat hidup mereaka tetap bersahaja, mengikuti ajraan dan tuntunan yang diwariskan leluhur mereka secara turun temurun dari generasi ke generasi. Hasil penelitian yang dilakukan Triyadi dan Harapan (2008) membuktikan bahwa bangunan vernakular di Jawa Barat bagian Selatan, adalah contoh konkrit bangunan tahan gempa. Bangunan tersebut mampu bertahan dari goncangan gempa sebesar 7,3 SR. Tidak seperti bangunan non-vernakular lainnya yang justru banyak yang roboh. Berbagai macam tipologi rumah vernakular Sunda Gambar 5 Triyadi dan Harapan. (2008)