Anda di halaman 1dari 39

Analisis Rumah Adat Sunda

Kelompok 4

1. Fajar Edista H 24117074


2. Fero Y Astomurti 24117114
3. M. Fahmi Firdaus 24117038
4. Restu Four P G 24117090
5. Saarah Salsabila S. 24117124
6. Yoan Feliks Siburian 24117086
Kosmologi dan Ritual Rumah Adat Sunda
 Berdasarkan bentuk bangunan, rumah berkonsep
panggung, bagian bangunan dibagi menjadi 3
DUNIA ATAS atau AMBU LUHUR
 Ambu luhur atau dunia atas adalah tempat dimana roh-
roh suci tinggal, oleh karena itu manusia tidak boleh
tinggal di ambu luhur yang merupakan bagian atap
bangunan.
DUNIA TENGAH(DUNIA TENGAH) & DUNIA
BAWAH(AMBU HANDAP)
 Ambu tengah adalah pusat alam semesta dan tempat
dimana manusia tinggal.
 Ambu handap atau bagian bawah adalah tempat
dimana roh-roh halus dan jahat tinggal, oleh karena itu
manusia tidak boleh tinggal langsung bersentuhan
dengan tanah. Ini juga sebabnya tiang / kolom
bangunan tidak boleh langsung bersentuhan dengan
tanah, harus diberi alas yang berfungsi untuk
memisahkannya dari tanah yaitu berupa batu yang
disebut dengan umpak.
di Kampung Naga Tasikmalaya, rumah / pondasinya
berbentuk panggung, sehingga menciptakan sebuah
ruang dibawah lantai yang disebut sebagai kolong.
Ruang ini, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya
adalah simbolisasi dari kehidupan bawah dimana
manusia tidak boleh tinggal disana kecuali yang sudah
meninggal (dikubur), atau sebagai kandang hewan
ternak seperti ayam / itik dan sebagai tempat
penyimpanan kayu bakar.
KOSMOLOGI ARSITEKTUR SUNDA
Berdasarkan penempatan bangunan yang bernilai filosofi.

Filosofi Tempat (Patempatan) yaitu berkaitan dengan keberadaan


suatu tempat berdasarkan tingkat kepentingannya diantaranya Lemah
Cai,Luhur Handap,Wadah Eusi,Kaca-kaca.
 Lemah Cai: Lemah berarti tanah dan Cai berarti air, filosofi ini
biasanya ada di perkampungan yang letak perkampungannya berada
di pegunungan.
 Luhur Handap: Konsep yang secara literal berarti atas-bawah, konsep
ini menunjukan hierarki penempatan suatu lokasi berdasarkan
tingkat kepentingan/ fungsinya.
 Wadah Eusi: Filosofi ini mempunyai arti bahwa setiap tempat dalam
sebuah perkampungan selalu menjadi wadah yang juga memiliki isi
(eusi) yang artinya memiliki kekuatan supranatural
WADAH
EUSI
 Secara garis besar, masyarakat kampung adat Sunda juga biasanya
membagi wilayah tempat tinggal mereka ke dalam tiga bagian.
Seperti yang bisa ditemukan di Kampung Naga, Tasikmalaya. Tiga
wilayah itu adalah : hutan larangan; peternakan, perkebunan,
perikanan, dan sawah; dan hunian atau tempat tinggal warga.
 Masyarakat adat Sunda memiliki peternakan, perkebunan,
perikanan dan persawahan, Padi-padi yang sudah dipanen
biasanya disimpan di bagian kolong rumah untuk persediaan
sampai panen selanjutnya.
 Kemudian ada hunian atau tempat tinggal warga yang semuanya
menggunakan konstruksi panggung yang sangat ringan dan
fleksibel. Di Kampung Naga, Tasikmalaya, terdapat lebih dari 100
unit hunian rumah panggung.
Analisis Filosofi Kampung Dukuh
 Menurut penuturan kuncen Kampung Dukuh bahwa bangunan
Kampung Adat Dukuh tidak boleh menggunakan penutup atap genteng
filosofi nya adalah “ hidup – hidup sudah di kubur”.
 Rumah berbentuk panggung filosofi nya adalah apabila di siang hari
menjadi sejuk.
 Perkampungan berada dekat dengan sumber air yaitu sungai
Cipasarangan dan sungai Cimangke dengan tingkat kesuburan tanah
yang baik, filosofinya Lemah Cai yaitu letak perkampungan tersebut
memiliki sumber mata air yang mengalir yang bisa dijadikan sebagai
kebutuhan sehari masyarakat perkampungan dengnn tanah yang subur
yang letaknya di pegunungan. Jadi unsur air dan tanah dalam filosofi
ini sangat mempengaruhi kehidupan perkampungan.
 Kampung Dukuh ini memiliki hutan larangan yang
dipercaya merupakan “makam karomah” yang letaknya
berada di kontur yang lebih tinggi di arah utara
perkampungan yang menunjukan hierarki dengn filosofi
panempatan Luhur Handap.
 Adanya batu besar di tengah tengah perkampungan yang
menurut warga merupakan batu yang memiliki kekuatan
supranatural dan makam karomah yang dikeramatkan
menunjukan filosofi Wadah Eusi dengan pengertian
bahwa setiap tempat memiliki isi (eusi) yang artinya
memiliki kekuatan supranatural.
 Dilihat dari filosofi arsitektur tradisional sunda Luhur
Handap, kampung dukuh merupakan kampung yang
masih menjaga filosofinya terlihat dari penempatan
lokasi berdasarkan tingkat kepentingannya.
 Filosofi kaca-kaca terlihat dengan adanya batas spasial
berupa pagar pembatas kampung dukuh dalam dan
luar maupun dengan makam karomah.
Kekerabatan dan Organisasi Sosial-Spasial Rumah
Adat Sunda

•Sistem organisasi masyarakat Sunda berarti kesepakatan abstrak


yang dimiliki oleh masyarakat Sunda.
•Pengorganisasian masyarakat Sunda ditentukan oleh sistem yang
mengatur masyarakat Sunda itu.
•Masyarakat Sunda telah membuat sistem organisasi
kemasyarakatannya secara bersama, dan diakui serta dijalankan
secara sukarela.
•Akal, rasa, dan karsa yang merupakan unsur kekuatan jiwa
manusia dapat mnciptakan hal-hal yang bermanfaat bagi
masyarakat itu sendiri.
•Orang Sunda mengenal pengelompokan status dalam masyarakat
berdasarkan materi. Ada orang kaya dan orang miskin. Orang
miskin biasanya bekerja sebagai petani, buruh, pedagang
asongan, dll. 
•Berdasarkan umur seseorang dalam masyarakat Sunda,
dikenal kelompok orang dewasa dan kelompok orang tua
yang berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosialnya.
Kelompok tua lebih berperan sebagai pembimbing.
•Terdapat etika dan adab yang dijalankan oleh setiap individu
pada masyarakat sunda tanpapemaksaan.
•Seorang anak (kelompok dewasa) yang bertingkah
mencampuri urusan orang tua (kelompok tua)
disebut kokolotbegog. Kurang baik apabila kelompok muda
lebih berpartisipasi aktif melampaui perang kelompok tua,
walaupun kapabilitas seorang pemuda lebih tinggi dari
seorang tua, hal ini terkait adat dan kebiasaan masyarakat
Sunda.
Teknologi dan Konstruksi pada Rumah Adat
Sunda
 Bangunan adat Sunda dibuat dengan konstruksi dan konstruksi yang
ringan dan sederhana.
 Konstruksi rumah panggung dengan ketinggian 40 – 60 cm.
 Materialnya terbuat dari material yang bisa ditemukan di sekitar
lingkungan seperti batu belah yang langsung diambil dari sungai,
bukit, atau gunung; seperti bambu, kayu, dan ijuk.
 Pembangunan rumah panggung dengan material-material alami seperti
kayu, bambu, serta atap ijuk adalah sebuah bentuk penyesuaian
masyarakat adat Sunda dengan lingkungan alamnya yang bergunung-
gunung dan berbukit-bukit dengan kemiringan lahan yang curam yang
juga berada pada jalur vulkanik dan tektonik yang mana merupakan
daerah rawan gempa. Contohnya bisa ditemukan di Kampung Naga,
Tasikmalaya. Kampung ini berdiri di wilayah perbukitan yang cukup
curam.
 Selain mampu merespon gempa, rumah dengan bahan
bangunan tersebut akan lebih ringan dibanding rumah
yang terbuat dari dinding tembok / beton dimana kondisi
ini akan berpengaruh terhadap daya dukung bangunan
terhadap potensi longsor.
 Rumah adat Sunda, seperti yang bisa ditemukan di
Kampung Naga secara struktur terbagi ke dalam 2 bagian,
yaitu struktur handap atau bawah dan struktur luhur atau
bagian atas bangunan.
A. Struktur bawah bangunan
Struktur handap atau bawah bangunan terdiri dari
lelemah atau tanah dasar dan tatapakan atau pondasi.
Rumah tradisional Sunda menggunakan pondasi yang
disebut dengan umpak. Umpak sendiri, terbagi ke dalam
tiga jenis yaitu : buleud, lisung dan balok.
 Pondasi buleud berbentuk lingkaran dengan diameter 35 – 40
cm dan tinggi 35 – 40 cm.
 Pondasi balok berbentuk kebus dengan ukuran panjang dan
lebar 35-40 cm dan tinggi 60 cm.
 Pondasi lisung adalah pondasi berbentuk trapesium dengan
ukuran panjang dan lebar sekitar 35-40 cm dan tinggi 60 cm.
Pemanfaatan ruang kolong pada rumah adat Sunda.
 Jika pada bangunan modern kita mengenal istilah
balok sloof sebagai sistem pengikat antar pondasi batu
kali, maka pada bangunan adat Sunda menggunakan
istilah balok panaggeuy. Ini adalah balok kayu
berukuran 10/12 yang digunakan untuk mengikat
pondasi satu dengan yang lainnya.
 Material yang digunakan pada bagian handap
bangunan adalah material lokal yang mudah
ditemukan di lingkungan sekitar warga.
 Menurut kepercayaan masyarakat adat Sunda, material
berat seperti batu tidak boleh digunakan untuk
konstruksi bangunan bagian luhur karena dapat
membahayakan.
 Pernyataan ini menjadi masuk akal karena ketika
terjadi gempa dan ada potensi keruntuhan bangunan,
material berat seperti batu atau beton akan membuat
reruntuhan yang akan membahayakan pengguna.
Batu kali sebagai tangga dan dinding penahan tanah
di kampong adat Sunda Naga di Tasikmalaya
 Penggunaan batu tidak hanya terbatas untuk pondasi
rumah saja, pada level kawasan, batu yang diambil dari
kali /sungai juga digunakan sebagai tangga dan dinding
penahan tanah untuk pengaturan terasering.
 Selain mudah dan murah, penggunaan batu dengan tekstur
dan ukuran yang beragam juga menjadi keunikan dan
keindahan tersendiri.
B. Struktur atas bangunan
 Struktur luhur atau struktur bagian atas bangunan
dibedakan ke dalam dua bagian : pangadeg, lalangit, dan
rarangka.
 Struktur pangadeg pada dasarnya adalah kerangka rumah yang
disusun berdasarkan dua komponen yaitu dinding dan lantai.
 Struktur dinding dibagi ke dalam tiga komponen utama,
 tihang adeg,
 pananggeuy
 tihang nu dibagi.
Penutup dinding terbuat dari bilik bambu. Sistem ikatannya
menggunakan pasak dan tali, namun pada contoh di rumah adat
Sunda yang ada di Kampung Naga, beberapa rumah sudah
menggunakan sambungan paku. Alasannya, selain lebih cepat,
penggunakan paku juga cenderung lebih murah dan praktis
daripada pasak dan tali.
 Pada struktur lantai, masyarakat adat Sunda biasanya
menggunakan tiga jenis lantai, yaitu : talupuh; papan dan
bilik.
 Talupuh sendiri adalah lantai yang terbuat dari material bambu
yang dirajam dengan ukuran tertentu sesuai kebutuhan
(Nuryanto dkk.,2015). Jenis bambu yang digunakan biasanya
dari jenis gombong dengan diameter 15-20 cm dan ketebalan
12-15 mm. Alasan menggunakan bambu ini adalah karena
ketika bambu ini dirajam lebarnya bisa mencapai kurang lebih
30 cm.
 Pada struktur atap, struktur lalangit dan rarangka pada dasarnya terbagi
berdasarkan dua komponen : kuda-kuda dan langit-langit.
 Kuda-kuda terdiri dari dua komponen : nu mikul atau dalam bahasa
Indonesia berarti yang menopang dan nu dipikul atau yang ditopang.
Oleh sebab itu, ukuran kayu untuk struktur nu mikul lebih besar dan
tebal dibanding struktru nu dipikul yang ukurannya lebih kecil dan
lebih ringan.
 Pada dasarnya, struktur atapnya hampir sama dengan struktur atap kayu
yang kita ketahui pada bangunan modern, hanya istilahnya saja yang
berbeda.
 Sambungan yang digunakan juga tidak menggunakan plat baja dan
paku, tapi menggunakan ikatan tali ijuk / rotan dan teknik sambungan
bibir lurus-berkait, miring-berkait, dan pen-lubang.
 Untuk material penutup atap, masyarakat kampung adat
Sunda biasanya menggunakan ijuk yang ditumpuk-tumpuk
dan diikat.
 Ijuk ini memiliki usia yang cukup panjang. Menurut
keterangan salah satu warga di Kampung Naga, ijuk ini baru
diganti minimal 30 tahun sekali. Bahkan ada yang lebih.
 Di Kampung Naga dalam dilarang menggunakan penutup
atap yang terbuat dari genteng / saripati tanah. Karena,
dalam kepercayaan mereka menggunakan penutup atap dari
genteng sama dengan mengubur diri hidup-hidup, karena
hanya orang yang sudah mati yang tinggal di bawah tanah.
(Nuryanto dkk.,2015 )
KESIMPULAN
 Masyarakat adat Sunda adalah masyarakat yang hidup
berdampingan dengan alam. Bukan di atas alam. Dengan
pemahaman sederhana ini, mereka berusaha untuk terus
memuliakan dan menjaga alam dari kerusakan.
 Menurut Pak Saria, warga kampung naga, ia mengatakan

“leuweung mah teu kudu dijagaan,tapi di antepkeun. Mun dijagaan


justru matak ngarusak.”
“hutan tidak perlu dijaga, tapi cukup didiamkan. Karena ketika dijaga,
nanti justru akan merusak”

 Karena bagi mereka, alam bukanlah sesuatu yang bisa dieksploitasi


sepuasnya. Nilai-nilai kearfian lokal ini yang juga tercermin dalam
realitas struktur dan konstruksi rumah adat mereka.
 Dengan rumah adat panggung, tidak ada satupun
rumah warga yang hancur akibat gempa. Justru
sebaliknya, berdasarkan wawancara penulis dengan
Pak Saria (warga kampung naga), ketika terjadi
gempa bumi warga khususnya anak-anak justru
bergegas masuk ke dalam rumah dan menunggu
datangnya gempa.
 Anak-anak merasa senang ketika terjadi gempa
karena mereka seperti sedang enjot-enjotan atau
seperti sedang melompat-melompat di dalam
bangunan. Bagi mereka, gempa hanyalah sebuah
fenomena alam yang wajar, bukan sebuah bencana
alam yang perlu ditakuti.
 Nilai kearifan lokal inilah yang perlu terus ada dan
diaplikasikan pada bangunan-bangunan modern.
Pemahaman untuk hidup bersama-sama dengan alam,
bukan di atas alam, tapi merasa menjadi bagian dari alam,
seperti yang masyarakat adat Sunda lakukan terbukti
membuat hidup mereaka tetap bersahaja, mengikuti ajraan
dan tuntunan yang diwariskan leluhur mereka secara turun
temurun dari generasi ke generasi.
 Hasil penelitian yang dilakukan Triyadi dan Harapan (2008)
membuktikan bahwa bangunan vernakular di Jawa Barat
bagian Selatan, adalah contoh konkrit bangunan tahan
gempa. Bangunan tersebut mampu bertahan dari
goncangan gempa sebesar 7,3 SR. Tidak seperti bangunan
non-vernakular lainnya yang justru banyak yang roboh.
Berbagai macam tipologi rumah vernakular Sunda
Gambar 5 Triyadi dan Harapan. (2008)

Anda mungkin juga menyukai