Anda di halaman 1dari 5

Uraian Kebudayaan

Dari Ketinggian Turun Ke Sungai : Rumah Lanting dan Rumah Adat Mbaru Niang

Bangsa Indonesia memiliki berbagai ragam budaya bergantung pada


lingkungan tempat budaya tersebut berasal. Keragaman ini bisa dilihat salah
satunya pada keanekaragaman tempat tinggal setiap penduduknya atau yang
sekarang kita kenal sebagai rumah adat. Bentuk rumah adat ini bisa menceritakan
bagaimana penduduknya beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang terjadi
atau bahkan bagaimana mereka bisa memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai
keunggulan tersendiri. Dua contoh yang bisa kita lihat adalah Rumah Lanting yang
berasal dari Kalimantan dan Mbaru Niang atau Mbaru Gendang yang berasal dari
Manggarai, Flores
Rumah Lanting dibangun dengan dasar bahwa penduduk menggunakan
sungai untuk berbagai macam aktivitas, sebagai jalur transportasi dari hulu ke hilir,
kegiatan ekonomi dalam bentuk aktivitas jual beli, interaksi sosial antar
masyarakat, dan MCK. Hal ini menyebabkan munculnya jenis rumah yang mirip
dengan Rumah Lanting, yakni Rumah Rakit yang berasal dari Sumatra. Kenapa
tidak menggunakan jalur transportasi darat? Dua hal, karena perjalanan yang jauh
akan memakan waktu yang lama dan kondisi lingkungan yang dipenuhi oleh
sungai. Oleh karenanya untuk memaksimalkan aktivitas masyarakat, diciptakanlah
rumah lanting.
Rumah Lanting menurut Syamsiar S. dan Irhamna (2001:87 – 88), memiliki
atap pelana, dinding menggunakan kayu lanan dengan layout berbentuk persegi
panjang atau balok jika dilihat secara 3 dimensi, dan fondasi berupa pelampung
batang kayu besar dan gelagar ulin sebagai penyokong lantai papan. M. Aulia Ur
Rahman menemukan bahwa Rumah Lanting memiliki 2 orientasi bukaan, yakni
orientasi bukaan ke arah sungai dan daratan dengan alasan karena sebeum memiliki
bukaan daratan, rumah lanting berfokus pada aktivitas di sungai.
Berbeda dengan Rumah Lanting yang dibangun dengan kehidupan diatas
permukaan air sebagai intinya, Mbaru Niang dibangun dengan kehidupan di dataran
tinggi sebagai dasarnya. Kenapa Mbaru Niang memiliki bentuk kerucut? Hal ini
dilakukan dengan tujuan simbolik serta memberikan gambaran pandangan spiritual
yang dianut oleh penduduk setempat.
Mbaru Niang dibuat dengan bentuk kerucut dengan dinding/atap yang
terbuat dari ijuk dan memiliki 3 bagian, yakni bagian peternakan, bagian tempat
tinggal dan 4 lantai atau 4 loteng (leba), yakni leba sekang kode, leba ruang koe,
leba lempa rae, dan leba mese yang masing – masing dibangun dengan tujuan
untuk tempat menyimpan air, tempat menyimpan barang pusaka, tempat
menyimpan hasil bumi, dan tempat menyimpan cadangan makanan.
Terlihat bahwa Rumah Lanting dan Mbaru Niang memiliki fokus yang
berbeda. Jika Rumah Lnting dibangun seringan mungkin, Mbaru Niang dibuat
sekokoh mungkin. Jika Rumah Lanting dibangun dengan kegiatan sosial diatas
permukaan air sebagai tujuannya, Mbaru Niang dibangun dengan keamanan dan
konsep spiritual sebagai tujuannya.
Uraian Kebudayaan

Membangun Rumah Adat

Jika seseorang mau membangun rumah, maka fondasi rumah itu haruslah
dibuat dengan kuat dengan tiang utama yang kokoh supaya rumah itu bisa bertahan
lama. Tapi bagaimana caranya membuat rumah dengan bentuk kerucut? Atau
Bagaimana caranya membuat fondasi dari rumah yang mengapung diatas air?
Membangun rumah yang bisa mengapung diatas permukaan air artinya
rumah tersebut harus memiliki fondasi yang ringan, tetapi juga disusun erat agar
riak – riak air tidak masuk menggenangi rumah. Hal ini bisa dicapai dengan cara
menggunakan bambu sebagai material utama bahan fondasi dan menyusun bambu
tersebut kedalam bentuk balok. Tapi bagaimana caranya membuat balok dengan
menggunakan bambu yang berbentuk tabung? Tentunya hal ini bisa dilakukan
dengan menyusun bambu sejajar satu sama lain, sebelum akhirnya diikat erat
menggunakan tali. Kegiatan ini dilakukan hingga pembangun rumah mendapatkan
ukuran fondasi yang diinginkan sebelum akhirnya memasang tiang penyangga,
dinding kayu, kemudian atap dari rumah lanting.
Membangun Mbaru Niang berbeda dengan membangun Rumah Lanting
bukan hanya secara teknik, tetapi juga secara material. Ketika membangun rumah
dengan bentuk kerucut, hal yang akan dibuat pertama adalah menentukan seberapa
besar rumah yang akan dibangun. Hal ini dilakukan sebelum akhirnya membuat
fondasi yang sangat kokoh dan dilanjutkan dengan membuat tiang penyangga
utama. Setelah fondasi dan tiang penyangga berdiri dengan kokoh, barulah langit –
langit dibuat dengan menghubungkan titik tertinggi dari tiang penyangga dengan
beberapa titik di ujung fondasi membentuk sebuah segitiga. Kegiatan pembuatan
segitiga ini dilakukan secara berulang sesuai dengan pengukuran penduduk
setempat hingga segitiga tersebut mengelilingi fondasi yang sudah dibuat, barulah
bisa ditaruh langit – langit yang terbuat dari ijuk.
Uraian Kebudayaan

Membangun Rumah Adat

Ketika teman – teman hendak membuat rumah, teman – teman harus


mengetahui terlebih dahulu ukuran dari rumah yang hendak dibuat. Sebagai contoh,
jika Andri hendak membuat rumah berukuran 10 meter x 10 meter, maka material
yang perlu disiapkan haruslah cukup untuk rumah berukuran 10 meter x 10 meter.
Oleh karenanya diperlukan
Daftar Pustaka

Afdholy, A. R. (2017). Rumah Lanting Arsitektur Vernakular Suku Banjar Yang Mulai
Punah. Local Wisdom: Jurnal Ilmiah Kajian Kearifan Lokal, 9(1), 103-117.

Daryanto, B. (2016). Rumah Lanting: Rumah Terapung Diatas Air Tinjauan Aspek Tipologi
Bangunan. Info-Teknik, 5(2), 73-82.

Louis, M. (2015). Fungsi Dan Makna Ruang Pada Rumah Adat Mbaru Niang Wae Rebo.
Intra, 3(2), 580-585.

Muliani, M. M., Makur, A. P., Kurnila, V. S., & Sutam, I. (2020). Mbaru Niang Dalam
Perspektif Etnomatematika Di Kampung Ruteng Pu’U. Journal of Honai Math, 3(1), 57-76.

PANDJAITAN, T., & ELLISA, E. INTERIOR ARCHITECTURE OF VERNACULAR


MBARU NIANG OF WAE REBO.

Putro, J. D., & Zain, Z. (2021). Active and passive adaptation of floating houses (Rumah
Lanting) to the tides of the Melawi river in West Kalimantan, Indonesia. Geographica
Pannonica, 25(2), 72-84.

Rahman, M. A. U. (2014). Pelestarian Rumah Lanting Berlandaskan Budaya Sungai


Masyarakat Kota Banjarmasin. E-Journal Graduate Unpar, 1(2), 221-231.

Anda mungkin juga menyukai