Anda di halaman 1dari 5

Latar belakang

Negara Indonesia memiliki banyak suku, agama, ras dan budaya dari sabang sampai
merauke, karena pada dasarnya Indonesia adalah negara kepulauan dimana setiap pulau
memiliki keistimewaan yang berbeda-beda. Banyak faktor yang mempengaruhi
keistimewaan tersebut salah satunya letak geografis. Letak geografis dapat mempengaruhi
tempat tinggal, iklim, cuaca, hubungan sosial, dan kebiasaan masyarakat. Dalam dunia
interior bangunan yang dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan iklim disebut
bangunan bioklimatik. Rumah tradisional masyarakat Manggarai, Nusa Tenggara Timur
menjadi contoh bentuk rumah yang dapat dijadikan sebuah acuan bangunan bioklimatik.
Saat ini rumah tradisional manggarai hanya terdapat di beberapa kampung tertentu yang
masih termasuk wilayah adat yang disebut Dalu.
Adapun nama-nama kampung yang masih menerapkan rumah tradisional yakni kampung
Ruteng Pu'u, kampung Todo, kampung Wae Rebo. Ketiga kampung tersebut terletak di
kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Tiap kampung memiliki pola yang
berbeda tergantung dengan pemahaman kehidupan adat isitiadat setempat. Masyarakat
Manggarai sendiri memiliki unsur spiritual dan nilai simbolis yang sangat kuat. Hal inilah
yang membuat masyarakat Manggarai tidak terlepas dengan tradisi dan ritual-ritual adat
dalam kehidupan mereka. Kondisi geografis di rumah adat Manggarai ini terletak di atas
lembah yang dikelilingi pegunungan dengan hutan yang sangat lebat dan letaknya sangat
terpencil serta berada jauh dari desa-desa lainnya. Desa tersebut terletak pada ketinggian
1100 meter di atas permukaan laut, dengan hawa yang cukup dingin.
Pada masa lampau yang belum tersentuh teknologi membuat manusia harus berpikir cerdas
untuk bertahan hidup di alam, berdasarkan pemikiran ini para pendahulu telah mampu
membuat bangunan tradisional yang dapat bertahan dalam segala kondisi iklim saat itu.
Namun saat ini isu bioklimatik menjadi perbincangan yang cukup hangat, terjadinya
perubahan suhu yang drastis membuat banyak perubahan seperti lingkungan yang
mengalami kenaikan suhu dari yang sebelumnya rendah menjadi lebih tinggi dan lain
sebagainya maka dari itu keefektifan rumah tradisional tidak lagi sama seperti dahulu
sehingga hal ini perlu diulas lebih lanjut.
Berdasarkan isu bioklimatik tersebut rumah tradisional Manggarai yang disebut dengan
Mbaru Niang ini dibangun menggunakan rangka bambu, dengan sambungan memanfaatkan
simpul ikatan menggunakan tali rotan, atap lontar yang dilapisi ijuk, kayu teno, kayu lokal,
tanduk kerbau sebagai hiasan dan lain sebagainya. Penggunaan bahan-bahan ini dianggap
mampu memberikan efek psikologis kepada penghuni untuk merasa nyaman pada cuaca
tertentu.
Rumah tradisional Manggarai telah menghadapi berbagai kejadian dan bencana alam
seperti gempa, alih-alih runtuh rumah tradisional ini justru dikatakan lebih kuat dan kokoh
karena struktur bangunannya terpisah dari permukaan bumi (tanah) dan ditopang dengan
batu-batu untuk memberi batas antar permukaan bumi dengan rumah.
Masyarakat Manggarai percaya bangunan tradisional tidak hanya digunakan sebagai
perlindungan terhadap cuaca atau iklim, dan lain sebagainya, akan tetapi memiliki hal-hal
spiritual yang mendalam seperti bentuk bangunan, rangka, atap, dan tanduk kerbau. Maka
bangunan tidak hanya berfungsi sebagai pelindung namun juga sebagai berfungsi sebagai
simbol kehidupan sosial.
PEMBAHASAN

 Struktur Atap
Stuktur rumah adat Manggarai, Mbaru Niang, memiliki tata letak yang tidak seperti
pada rumah-rumah adat lainnya dimana rumah-rumah adat lainnya memiliki sistem
pola pertahanan untuk desanya. Namun rumah adat Manggarai, Mbaru Niang ini
memilih untuk hidup terpencil dan lebih dekat dengan alam.
Mbaru niang memiliki atap yang hampir menyentuh tanah. Konstruksi atap kerucut
dibuat dari rangka bambu utuh untuk mengikatkan atap ijuk dan ilalang. Rangka ini
terdiri daru dua jenis, yaitu ada rangka utama dan rangka biasa. Rangka utama yang
memegang peran besar dan berjumlah delapan serta dipasang di delapan penjuru
mata angin. Ujung rangka utama ini dibuat menyatu di puncak atap.
Rangka biasa ukurannya tidak terlalu panjang dan jumlahnya tergantung dari besar-
kecilnya atap. Semakin besar atap maka semakin banyak diperlukan. Umumnya
jumlah rangka biasa pada satu atap mencapai sekitar seratus.
Penutup atap dibuat dari dua lapisan. Lapisan pertama adalah lontar, lalu lapisan
kedua yang paling luar adalah ijuk. Sebelum ijuk dipasang menjadi atap, ada proses
pengeringan dengan cara disapi di tungku dapur milik masyarakat. Semakin kering
ijuknya maka atap akan semakin awet. Pemasangan daun lontar dan ijuk ini dimulai
dari bawah ke atas dengan cara mengikat jalinan ijuk atau alang-alang.
https://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/public/objek/newdetail/PO2018053000002/r
umah-adat-#:~:text=Bagi%20masyarakat%20Wae%20Rebo%2C%20mbaru,yang
%20selalu%20mengayomi%20dan%20melindungi.
 Stuktur Tiang Penyangga
Mbaru niang disangga oleh tiang-tiang penyangga rumah yang terdiri dari dua jenis,
yaitu hiri ngaung dan hiri mehe (tiang utama). Keduanya memiliki fungsi berbeda,
yaitu hiri ngaung berfungsi untuk menanggung beban lantai dasar, sedangkan hiri
mehe berfungsi sebagai tiang utama penyangga beban bangunan. Seluruh tiang
penyangga ditancapkan ke tanah dan dilapisi ijuk serta plastik agar tidak cepat lapuk.
Perbedaan antara keduanya adalah hiri ngaung ditancapkan dengan kedalaman
minimal 80 cm dan di bagian bawahnya diberi umpak batu, sedangkan hiri mehe
kedalamannya minimal 100 cm.
Dalam satu mbaru niang, hiri mehe biasanya berjumlah sembilan sedangkan hiri
ngaung berjumlah sekitar empat puluh dua. Oleh masyarakat sekitar, sembilan hiri
mehe tersebut melambangkan jumlah bulan ketika seorang ibu mengandung. Setiap
mbaru niang memiliki tinggi kolong (ngaung) sekitar 1 m dan biasanya digunakan
untuk menenun, meletakkan kayu atau barang lainnya, serta memelihara ternak.
https://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/public/objek/newdetail/PO2018053000002/r
umah-adat-#:~:text=Bagi%20masyarakat%20Wae%20Rebo%2C%20mbaru,yang
%20selalu%20mengayomi%20dan%20melindungi.

Pemasangan wehang dimulai dari bawah ke atas dengan cara mengikat jalinan ijuk
atau alang-alang ke buku menggunakan tali rotan. Masyarakat Wae Rebo memiliki
aturan tersendiri dalam hal pemasangan wehang. Susunan dimulai dengan dua
lapisan alang-alang kemudian ditumpuk satu lapisan ijuk (perbandingan 2:1) di
atasnya. Pola ini terus berlanjut hingga mencapai bagian lemparae (tingkat empat).
Pada bagian tersebut pola pemasangan atap berubah menjadi satu lapisan ilalang
lalu satu lapisan ijuk (perbandingan 1:1). Pola berbeda juga diterapkan pada bagian
puncak atap (tingkat kelima). Pada tingkat lima, atap hanya ditutup dengan lapisan
ijuk saja yang dibalut dengan wolet ngondo atau ikatan ijuk.
 Isu Bioklimatik
Bangunan ini mampu bertahan dan menjadi tempat pernaungan di bawah kondisi suhu
udara luar rata-rata 24°C, suhu terendah bisa mencapai 18°C, dengan alang-alang maupun
ijuk sebagai bahan penutup atap. Hasil penelitian terdahulu didapat bahwa selubung
bangunan berpengaruh besar terhadap kinerja termal. Dimana bahan penutup atap tersebut
memiliki kemampuan menyerap panas (absorbtance) yang besar dan juga memiliki
trasmittansi panas (transmittance) yang rendah. Panas dari luar tidak langsung memanaskan
udara ruangan, tetapi tertahan oleh atap.

Struktur Kolom dan Balok


Adapun struktur konstruksi kolom dan balok pada Mbaru Niang di kampung Wae Rebo.
Konstruksi kolom dan balok tersebut disambung dengan sambungan ikat yang
menggunakan bermacam-macam metode modifikasi ikatan. Bahan material kolom yang
digunakan adalah kayu lokal. Untuk balok bahan material yang digunakan adalah kayu kenti
dimana kayu kenti ini bersifat lentur dan tidak getas.

https://jlbi.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2012/07/V1N1-p075-p086-Penguasaan-
Teknologi-Struktur-dan-Konstruksi-Bangunan-Tradisional-Manggarai-Sebagai-Kunci-
Keberhasilan-dalam-Upaya-Pelestariannya.pdf

https://jlbi.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2012/07/V1N1-p075-p086-Penguasaan-
Teknologi-Struktur-dan-Konstruksi-Bangunan-Tradisional-Manggarai-Sebagai-Kunci-
Keberhasilan-dalam-Upaya-Pelestariannya.pdf
Rumusan Masalah
1. Isu Bioklimatik
2. Penggunaan Material Alami
3. Struktur Rumah Adat
4. Filosofi Budaya Antara Bangunan dan Alam
Tujuan dan Manfaat

References
Capur, Y. (2018, April 25). BUDAYA ARSITEKTUR MBARU GENDANG MANGGARAI. Retrieved from
worlddestinationtourism: http://worlddestinationtourism.blogspot.com/2018/04/budaya-
arsitektur-mbaru-gendang.html?m=1

Damayanti, D. P., & Suprijanto, I. (2012). Penguasaan Tenkologi Struktur dan Konstruksi Bangunan
Tradisional Manggarai segagai Kunci Keberhasilan dalam Upaya Pelestariannya. Ikatan
Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia, 4-8.

Desa Adat Wae Rebo, Perkampungan Adat Lestari di Pegunungan Flores. (21, Mei 2019). Retrieved
from Masterplandesa.com: https://www.masterplandesa.com/desa-adat/desa-adat-wae-
rebo-perkampungan-adat-lestari-di-pegunungan-flores/

Hutapea, E. (2018, Oktober 18). Terbukti Tahan Gempa, Rumah Tradisional Wajib Dilestarikan.
Retrieved from KOMPAS.com:
https://amp.kompas.com/properti/read/2018/10/13/153306821/terbukti-tahan-gempa-
rumah-tradisional-wajib-dilestarikan

Jhe, M. (2019, Oktober 12). genpi.id. Retrieved from 8 Keunikan Rumah Adat Mbaru Niang di Wae
Rebo Manggarai: https://genpi.id/rumah-adat-mbaru-niang-di-wae-rebo-
manggarai/#:~:text=Mbaru%20Niang%20adalah%20rumah%20adat,pegunungan%20dengan
%20ketinggian%201.117%20mdpl.&text=Saat%20ini%2C%20Wae%20Rebo
%20menjadi,masih%20mempertahankan%20eksistensi%20Mbaru%20Niang

Kemdikbud. (2018, Mei 30). PERKAMPUNGAN ADAT MBARU NIANG WAE REBO. Retrieved from
Kemdikbud.go.id:
https://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/public/objek/newdetail/PO2018053000002/rumah-
adat-#:~:text=Bagi%20masyarakat%20Wae%20Rebo%2C%20mbaru,yang%20selalu
%20mengayomi%20dan%20melindungi.

Louis, M. (2015). Fungsi Dan Makna Ruang Pada Rumah Adat Mbaru Niang Wae Rebo. JURNAL
INTRA.

Terisno, V. H., Tulistyantoro, L., & Nilasari, P. F. (2019). Studi Makna dan Ruang dalam Hunian
Tradisional Manggarai, Flores Nusa Tenggara Timur. JURNAL INTRA, 1-4.

Anda mungkin juga menyukai