Pendahuluan
Jauh sebelum masalah ekologi menjadi tuntutan global, para leluhur masyarakat jawa sudah memiliki kesadaran
tinggi dalam menghormati alamnya. Masyarakat jawa menganggap rumah sebagai penghubung antara langit
dan bumi karena letaknya yang berada di keduanya. Artinya, rumah merupakan pertemuan antara hidup ke-
Tuhanan dan kehidupan duniawi. Masyarakat Jawa menyebut tempat tinggalnya dengan sebutan omah yang
merupakan bentukan dari dua kata: om, yang diartikan sebagai angkasa dan bersifat kebapakan; dan mah yang
bersifat keibuan. Rumah dan bangunan yang dirancang oleh masyarakat jawa dimaknai sebagai simbolisasi dari
jagad manusia yang terdiri dari Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi.Namun sayangnya, rasa cinta masyarakat
kepada alam dan kepasrahan mereka terhadap Tuhan makin lama makin berkurang. Hal tersebut berdampak
terhadap hilangnya nilai budaya lokal dalam berbagai karya, termasuk arsitektur. Gaya arsitektur masyarakat
berkembang sebagai karya yang mengutamakan fungsi dan estetika dan mengesampingkan kecintaan pada alam
yang dipegang oleh para leluhur. Alam Indonesia sendiri penuh dengan keunikan. Dibelah oleh garis
khatulistiwa, Indonesia memiliki iklim tropika basah. Karakter iklim tersebut ditandai dengan curah hujan
tinggi yang melebihi 1500mm, kelembaban udara yang sering di atas 90%, dan temperatur rata-rata tahunan
yang tinggi, yaitu lebih besar dari 18 oC (biasanya 23 oC), bahkan bisa mencapai 38 oC pada musim panas.
Beda antar musim hampir tidak ada, kecuali antara musim di periode sedikit hujan dengan banyak hujan yang
disertai angin keras. Fluktuasi temperatur harian dan tahunan lebih kecil (rendah) dibanding tropika kering.
Radiasi matahari yang ada pun terasa menyengat dan mengganggu aktivitas. Rumah sebagai tempat untuk
berlindung, saat ini dirasa tidak cukup melindungi manusia dari efek radiasi sinar matahari. Kondisi iklim dan
cuaca yang dirasa panas mendorong masyarakat untuk menggunakan pendingin ruangan. Hal tersebut
menimbulkan pemborosan energi yang sangat membebani ekosistem. Selain itu, penggunaan freon dari
pendingin ruangan yang berlebihan telah memicu kerusakan pada ozon. International Energy Agency (IEA)
pada tahun 2007 menyatakan bahwa diantara peralatan rumah tangga, AC, kulkas dan alat pencahayaan adalah
tiga pengkonsumsi listrik terbesar di negara berkembang. Atas dasar tersebut, muncul berbagai metode dalam
mengurangi pemakaian pendingin ruangan, salah satunya adalah menciptakan rumah yang sejuk dengan
memaksimalkan sistem sirkulasi udara. Dengan penerapan prinsip penghawaan alami, energi yang digunakan
akan berkurang dan beban yang diterima oleh ekosistem akan menjadi lebih ringan.Desain atap Joglo pada
mulanya tercipta berdasarkan nilai-nilai yang dipercaya oleh masyarakat Jawa. Meski tidak direncanakan secara
ilmiah, ternyata atap Joglo dapat mengurangi hawa panas yang ada di dalam rumah. Penerapan atap joglo ini
dapat menjadi alternatif yang baik bagi para arsitek untuk menghemat energi dan membangun kembali nilai
budaya leluhur. Dengan membentuk gaya arsitektur yang hemat energi dan memiliki nilai budaya, arsitek dapat
berperan dalam membangun masa depan bangsa yang berkelanjutan dan berkarakter.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang menggunakan pendekatan kualitatif dan pengukuran kuantitatif
sederhana. Metode dominan yang digunakan adalah analisis data sekunder dan kajian pustaka. Data primer juga
diambil, namun hanya melalui pengukuran dengan alat yang sederhana dan objek kajian di daerah Kota
Semarang bagian Selatan.
Pada atap joglo lambangsari, atap brunjung dan atap pananggap disambungkan secara menerus tanpa celah.
Tidak terdapat atap emper. Atap brunjung ditopang oleh empat buah soko guru, membentuk ruang pusat yang
disebut pamidangan. Atap pananggap ditopang oleh dua belas buah soko pananggap, masing-masing soko
ditopang oleh umpak dengan sistem purus.
Dengan mekanisme tersebut, panas yang masuk ke dalam bangunan dapat dihambat dengan memperbesar
rongga atap yang berada di antara atap dan plafon. Menurut Edwin Hicma Rosadi et al. (2012), semakin besar
sudut kemiringan atap semakin dingin suhu yang dihasilkan di dalam ruangan karena pengaruh besaran ruangan
sudut yang dihasilkan menyebabkan penyerapan panas lebih maksimal.
Untuk memperkuat dugaan bahwa konstruksi atap joglo memiiki pengaruh langsung kepada sistem penghawaan
di dalam rumah, dilakukan pengukuran kuantitatif secara langsung untuk membandingkan konstruksi atap joglo
dengan konstruksi atap yang konservatif. Objek yang diambil sebagai sampel adalah Rumah Pintar "Lentera"di
Kec. Banyumanik, Semarang yang mewakili bangunan konstruksi atap joglo dan Rumah makan "Sevendays" di
Kec. Tembalang, Semarang yang mewakili bangunan dengan konstruksi atap yang konservatif.
Gambar 12. Eksterior "Lentera" dan "Sevendays" yang digunakan sebagai sampel
Kedua bangunan ini dipilih sebagai sampel karena berbagai pertimbangan. Pertimbangan yang pertama adalah
karena lokasi keduanya tidak terlalu jauh, yaitu berada di pinggir kecamatan yang bersebelahan dengan iklim dan
cuaca yang dianggap identik. Selain itu, keduanya memiliki bentuk dan luasan yang dianggap sama (tidak jauh
berbeda). Keduanya juga memiliki tingkat keramaian yang serupa, yaitu sepi pengunjung pada siang hari. Baik
Rumah Pintar "Lentera" maupun Rumah Makan "Sevendays" juga sama-sama tidak menggunakan struktur
dinding bata, sehingga diharapkan meminimalisir bias. Pengukuran dilakukan di jam yang sama di lain hari,
dengan cuaca dan suhu luar ruangan yang relatif sama yaitu sekitar 32,5oC.
Setelah menimbang berbagai hal tadi, akhirnya dilakukan pengukuran langsung di kedua tempat tersebut. Berikut
adalah hasil pengukurannya:
Dari hasil tersebut, didapat data primer yaitu suhu di dalam ruangan Sevendays yaitu kurang lebih 29,5oC
sementara di dalam Lentera suhunya 28oC. Terbukti bahwa Rumah Pintar "Lentera" mampu menurunkan suhu
luar kurang lebih sebanyak 1,5oC lebih banyak dibandingkan dengan Rumah Makan "Sevendays", sehingga
memperkuat dugaan bahwa konstruksi joglo memiliki kaitan dengan sistem penghawaan alami.