Anda di halaman 1dari 11

penerapan prinsip Penghawaan alami dengan

MEMANFAATKAN BENTUK KONSTRUKSI ATAP JOGLO DI RUMAH PINTAR "LENTERA"DI


KEC. BANYUMANIK, SEMARANG

ANDI MUHAMAD JAYA SAKTI

Mahasiswa Prodi Arsitektur ,Fakultas Sains dan Teknik,


Universitas Widya Mataram, Yogyakarta

Pendahuluan

Jauh sebelum masalah ekologi menjadi tuntutan global, para leluhur masyarakat jawa sudah memiliki kesadaran
tinggi dalam menghormati alamnya. Masyarakat jawa menganggap rumah sebagai penghubung antara langit
dan bumi karena letaknya yang berada di keduanya. Artinya, rumah merupakan pertemuan antara hidup ke-
Tuhanan dan kehidupan duniawi. Masyarakat Jawa menyebut tempat tinggalnya dengan sebutan omah yang
merupakan bentukan dari dua kata: om, yang diartikan sebagai angkasa dan bersifat kebapakan; dan mah yang
bersifat keibuan. Rumah dan bangunan yang dirancang oleh masyarakat jawa dimaknai sebagai simbolisasi dari
jagad manusia yang terdiri dari Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi.Namun sayangnya, rasa cinta masyarakat
kepada alam dan kepasrahan mereka terhadap Tuhan makin lama makin berkurang. Hal tersebut berdampak
terhadap hilangnya nilai budaya lokal dalam berbagai karya, termasuk arsitektur. Gaya arsitektur masyarakat
berkembang sebagai karya yang mengutamakan fungsi dan estetika dan mengesampingkan kecintaan pada alam
yang dipegang oleh para leluhur. Alam Indonesia sendiri penuh dengan keunikan. Dibelah oleh garis
khatulistiwa, Indonesia memiliki iklim tropika basah. Karakter iklim tersebut ditandai dengan curah hujan
tinggi yang melebihi 1500mm, kelembaban udara yang sering di atas 90%, dan temperatur rata-rata tahunan
yang tinggi, yaitu lebih besar dari 18 oC (biasanya 23 oC), bahkan bisa mencapai 38 oC pada musim panas.
Beda antar musim hampir tidak ada, kecuali antara musim di periode sedikit hujan dengan banyak hujan yang
disertai angin keras. Fluktuasi temperatur harian dan tahunan lebih kecil (rendah) dibanding tropika kering.
Radiasi matahari yang ada pun terasa menyengat dan mengganggu aktivitas. Rumah sebagai tempat untuk
berlindung, saat ini dirasa tidak cukup melindungi manusia dari efek radiasi sinar matahari. Kondisi iklim dan
cuaca yang dirasa panas mendorong masyarakat untuk menggunakan pendingin ruangan. Hal tersebut
menimbulkan pemborosan energi yang sangat membebani ekosistem. Selain itu, penggunaan freon dari
pendingin ruangan yang berlebihan telah memicu kerusakan pada ozon. International Energy Agency (IEA)
pada tahun 2007 menyatakan bahwa diantara peralatan rumah tangga, AC, kulkas dan alat pencahayaan adalah
tiga pengkonsumsi listrik terbesar di negara berkembang. Atas dasar tersebut, muncul berbagai metode dalam
mengurangi pemakaian pendingin ruangan, salah satunya adalah menciptakan rumah yang sejuk dengan
memaksimalkan sistem sirkulasi udara. Dengan penerapan prinsip penghawaan alami, energi yang digunakan
akan berkurang dan beban yang diterima oleh ekosistem akan menjadi lebih ringan.Desain atap Joglo pada
mulanya tercipta berdasarkan nilai-nilai yang dipercaya oleh masyarakat Jawa. Meski tidak direncanakan secara
ilmiah, ternyata atap Joglo dapat mengurangi hawa panas yang ada di dalam rumah. Penerapan atap joglo ini
dapat menjadi alternatif yang baik bagi para arsitek untuk menghemat energi dan membangun kembali nilai
budaya leluhur. Dengan membentuk gaya arsitektur yang hemat energi dan memiliki nilai budaya, arsitek dapat
berperan dalam membangun masa depan bangsa yang berkelanjutan dan berkarakter.

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang menggunakan pendekatan kualitatif dan pengukuran kuantitatif
sederhana. Metode dominan yang digunakan adalah analisis data sekunder dan kajian pustaka. Data primer juga
diambil, namun hanya melalui pengukuran dengan alat yang sederhana dan objek kajian di daerah Kota
Semarang bagian Selatan.

DISKUSI HASIL ANALISIS


Metode Penelitian
1. JENIS – JENIS ATAP RUMAH TRADISIONAL JAWA
Bangunan Tradisional Jawa menurut Dakung (1987) dibedakan menurut bentuk atapnya, yaitu atap Panggang
Pe, atap Kampung, atap Limasan, atap Joglo dan atap Tajug. Klasifikasi tersebut merupakan pembagian fungsi
dan penghuninya berdasarkan status sosial yang menempatinya. Untuk Panggang pe digunakan sebagai
lumbung, kios, warung dan sebagainya. Bangunan Kampung digunakan untuk masyarakat biasa yang
mempunyai status sosial yang rendah. Limasan diperuntukkan bagi masyarakat yang mempunyai status sosial
menengah ke atas, misalnya priyayi dan bangsawan. Bangunan Joglo adalah bangunan tradisional Jawa yang
paling bagus, paling lengkap baik susunan bangunan maupun tata ruangnya, diperuntukkan bagi golongan atas,
misalnya raja dan kerabatnya, dan Tajug digunakan sebagai tempat ibadat.
Gambar 1. Atap bangunan tradisional Jawa
Atap joglo merupakan perpaduan antara atap brunjung (bidang atap segi tiga) dengan atap pananggap (bidang
atap trapesium), yang masing-masing mempunyai sudut kemiringan yang berbeda dan tidak sama besar.
Beban atap rumah joglo ditopang oleh enam belas buah tiang atau kolom yang disebut soko. Empat diantaranya
merupakan soko guru yaitu empat kolom utama yang menopang beban atap brunjung. Selain itu, beban atap
juga ditopang oleh balok utama bernama blandar tumpang yang disusun secara bertumpuk dan saling mengunci.
Atap joglo dibagi menjadi dua jenis, dilihat dari sambungan atap brunjung dan atap pananggapnya, yaitu:

- Atap Joglo Lambangsari

Gambar 2. Atap joglo lambangsari

Pada atap joglo lambangsari, atap brunjung dan atap pananggap disambungkan secara menerus tanpa celah.
Tidak terdapat atap emper. Atap brunjung ditopang oleh empat buah soko guru, membentuk ruang pusat yang
disebut pamidangan. Atap pananggap ditopang oleh dua belas buah soko pananggap, masing-masing soko
ditopang oleh umpak dengan sistem purus.

- Atap Joglo Lambang Gantung

Gambar 3. Atap joglo lambang gantung


Pada atap joglo lambang gantung, terdapat celah pada sambungan di antara atap brunjung, atap pananggap, dan
atap emper yang berfungsi sebagai celah masuknya cahaya dan udara ke dalam ruangan. Beban atap ditopang
oleh soko (kolom) yang terdapat pada setiap sudut. Atap brunjung ditopang oleh empat buah soko guru, atap
pananggap ditopang oleh soko rowo, dan atap emper ditopang oleh soko emper.

2. KONTEKS UMUM JOGLO DENGAN ALAM SEKITAR


Selain atapnya, rumah Joglo sebagai rumah tradisional memiliki beberapa karakter yang khas untuk merespon
iklim di sekitarnya. Beberapa diantaranya adalah orientasi bangunan yang umumnya selalu menghadap utara
dan selatan, dan konstruksi plafon yang diganti dengan balok-balok yang disebut tumpang yang diletakkan
cukup tinggi di atap brunjung. Disamping konstruksi atap, karakter-karakter tadi juga ikut mempengaruhi
micro-climate dari rumah joglo. Bentuk fasad joglo yang memiliki bukaan terbanyak di bagian depan membuat
orientasi Utara-Selatan menjadi menguntungkan untuk mengurangi radiasi matahari. Sebab, dengan orientasi
seperti itu matahari tidak akan menyinari bagian fasad secara langsung ketika pagi maupun sore hari. Bahkan di
daerah Kudus, masyarakat memiliki budaya yang menganggap bahwa dalam membangun rumah harus
menghadap ke Selatan, maknanya agar si pemilik rumah seolah-olah tidak “memangku” Gunung Muria (yang
terletak di sebelah utara). Arah hadap ke Selatan ini secara teori lebih menguntungkan dibanding Utara jika
diterapkan di Pulau Jawa yang berada di sebelah selatan garis khatulistiwa. Sebab, ketika musim kemarau
matahari akan berada di sebelah utara ekuator, sehingga penyinaran akan datang dari arah belakang rumah dan
tidak mengenai fasad secara langsung. Dan sebaliknya, di musim hujan matahari justru menyinari bagian fasad
sehingga menjaga temperatur joglo agar tetap optimal.

Gambar 4. Gerak semu tahunan matahari


Gambar 5. Pembayangan pada joglo
Konstruksi plafon di atap joglo menggunakan balok-balok kayu yang digunakan secara tumpang tindih.
Terdapat 5 tingkat tumpang (balok) pada sistem atap joglo lambangsari. Balok pertama disebut pananggap, balok
kedua disebut tumpang, balok ketiga dan empat disebut tumpangsari, dan balok terakhir merupakan tutup kepuh
yang berfungsi sebagai balok tumpuan ujung-ujung usuk atap. Letaknya di dalam ruangan cukup tinggi sehingga
memperbesar volume ruangan di bawahnya sehingga mempengaruhi akumulasi radiasi panas pada bidang atap.

Gambar 6. Konstruksi balok tumpang

3. MEKANISME PENGHAWAAN ALAMI OLEH ATAP


Untuk menciptakan penghawaan alami di daerah dengan temperatur relatif tinggi, diperlukan sirkulasi udara
yang dapat menyejukan ruangan di dalam rumah. Udara dalam ruangan harus memiliki sirkulasi yang baik dan
tidak menambah kepenatan dalam ruangan.Udara itu sendiri terdiri atas molekul-molekul yang terus bergerak.
Pada bangunan, ketika suhu udara di dalam ruangan memanas, molekul-molekul udara mulai bergetar dan saling
berbenturan. Karena setiap molekul menggunakan ruang yang lebih banyak untuk bergerak,udara mengembang
dan menjadi lebih ringan, memenuhi ruang. Tekanan udara dalam ruangan pun meningkat. Sebaliknya, saat suhu
udara di dalam ruangan menurun, molekul-molekul udara bergerak lebih lambat.Ruang yang dibutuhkan oleh
molekul udara menjadi lebih sedikit. Sehingga, tekanan udara dalam ruangan menurun.Udara bergerak karena
adanya arus konveksi natural yang disebabkan oleh perbedaan suhu atau adanya perbedaan tekanan (Lechner,
2015). Udara bergerak dari tempat dengan tekanan udara tinggi ke tempat dengan tekanan udara rendah. Itu
berarti pancaran kalor juga akan mempengaruhi pergerakan udara. Kenaikan temperatur akan meningkatkan
tekanan udara naik dan mengakibatkan pergerakan udara dalam ruang. Saat atap bangunan terpapar radiasi
matahari, atap akan menangkap kalor dan menjadi sumber panas. Jika tidak ada plafon, kalor akan diteruskan
secara langsung ke ruangan di bawahnya. Hal tersebut membuat udara di ruangan menjadi cepat panas dan tidak
nyaman untuk ditempati. Namun jika terdapat plafon, kalor dari atap akan disimpan di rongga atap dan ditangkap
oleh plafon, sehingga ruangan yang berada di bawahnya tidak menerima kalor secara langsung. Panas tersebut
kemudian tetap akan diteruskan ke ruangan, mulai dari bagian atas ruangan ke bagian bawah ruangan bangunan
yang tekanannya lebih rendah. Udara panas di dalam bangunan lalu terdesak ke luar ruangan yang tekanan
udaranya bahkan lebih rendah lagi. Setelah udara panas dari dalam bangunan berhasil keluar, suhu udara di
dalam bangunan pun menurun.

Gambar 7. Ilustrasi penghawaan pada bangunan

Dengan mekanisme tersebut, panas yang masuk ke dalam bangunan dapat dihambat dengan memperbesar
rongga atap yang berada di antara atap dan plafon. Menurut Edwin Hicma Rosadi et al. (2012), semakin besar
sudut kemiringan atap semakin dingin suhu yang dihasilkan di dalam ruangan karena pengaruh besaran ruangan
sudut yang dihasilkan menyebabkan penyerapan panas lebih maksimal.

4. PENGHAWAAN PADA ATAP JOGLO


Terdapat sedikit perbedaan antara pergerakan udara pada joglo lambangsari dan joglo lambang gantung. Pada
joglo lambangsari, udara bergerak sejajar melewati bagian ruang tengah, kemudian bergerak ke atas, namun
kembali bergerak ke bawah. Hal ini terjadi karena atap pada joglo lambangsari tidak memiliki ventilasi dan
berupa atap menerus. Sementara pada joglo lambang gantung, terdapat celah pada atap, sehingga udara dapat
keluar atau masuk melewati rongga tersebut.
Gambar 8. Pergerakan udara dalam joglo lambangsari

Gambar 9. Pergerakan udara dalam joglo lambang gantung


Kemiringan atap joglo yang lebih tinggi daripada rumah biasa membuat volume rongga atap menjadi lebih
besar. Panas yang berasal dari matahari tidak akan disalurkan secara langsung ke dalam ruangan, akan tetapi
ditangkap oleh ruang yang berada di antara atap dan tumpang. Hal ini akan membuat udara ruangan di
bawahnya menjadi lebih sejuk dibanding rumah yang menggunakan atap biasa.Selain itu, menurut Sardjono, A.
B. (2011) bentuk atap dengan sudut tinggi juga memberikan keuntungan dalam penanggulangan radiasi sinar
matahari karena sudut jatuh sinar menjadi kecil sehingga intensitas radiasi berkurang. Letak brunjung yang
tinggi juga mengurangi panas yang diakibatkan rambatan panas sinar matahari pada atap genting serta aliran
udara panas di bawah atap.

Gambar 10. Sudut jatuhnya matahari pada atap joglo


Menurut Iqbal, M. et al., (2009), saat manusia berada pada rumah joglo paling pinggir, sebagai perbatasan
antara ruang luar dengan ruang dalam, manusia masih merasakan hawa udara dari luar, namun saat manusia
bergerak semakin ke tengah, udara yang dirasakan semakin sejuk, hal ini dikarenakan volume ruang di bawah
atap, semakin ke tengah semakin besar.Seperti teori yang ada pada fisika bangunan, efek volume sebenarnya
memanfaatkan prinsip bahwa volume udara yang lebih besar akan menjadi panas lebih lama apabila
dibandingkan dengan volume udara yang kecil.Saat manusia kembali ingin keluar, udara yang terasa kembali
mengalami perubahan, dari udara sejuk menuju udara yang terasa di luar ruangan. Ini menunjukkan bahwa
penghawaan pada Rumah Joglo, memperhatikan penyesuaian tubuh manusia pada cuaca disekitarnya.

Gambar 11. Kondisi udara dalam joglo

Untuk memperkuat dugaan bahwa konstruksi atap joglo memiiki pengaruh langsung kepada sistem penghawaan
di dalam rumah, dilakukan pengukuran kuantitatif secara langsung untuk membandingkan konstruksi atap joglo
dengan konstruksi atap yang konservatif. Objek yang diambil sebagai sampel adalah Rumah Pintar "Lentera"di
Kec. Banyumanik, Semarang yang mewakili bangunan konstruksi atap joglo dan Rumah makan "Sevendays" di
Kec. Tembalang, Semarang yang mewakili bangunan dengan konstruksi atap yang konservatif.
Gambar 12. Eksterior "Lentera" dan "Sevendays" yang digunakan sebagai sampel
Kedua bangunan ini dipilih sebagai sampel karena berbagai pertimbangan. Pertimbangan yang pertama adalah
karena lokasi keduanya tidak terlalu jauh, yaitu berada di pinggir kecamatan yang bersebelahan dengan iklim dan
cuaca yang dianggap identik. Selain itu, keduanya memiliki bentuk dan luasan yang dianggap sama (tidak jauh
berbeda). Keduanya juga memiliki tingkat keramaian yang serupa, yaitu sepi pengunjung pada siang hari. Baik
Rumah Pintar "Lentera" maupun Rumah Makan "Sevendays" juga sama-sama tidak menggunakan struktur
dinding bata, sehingga diharapkan meminimalisir bias. Pengukuran dilakukan di jam yang sama di lain hari,
dengan cuaca dan suhu luar ruangan yang relatif sama yaitu sekitar 32,5oC.

Gambar 13. Suhu udara di luar Lentera dan Sevendays

Setelah menimbang berbagai hal tadi, akhirnya dilakukan pengukuran langsung di kedua tempat tersebut. Berikut
adalah hasil pengukurannya:

Gambar 14. Foto pengukuran suhu dalam ruangan

Dari hasil tersebut, didapat data primer yaitu suhu di dalam ruangan Sevendays yaitu kurang lebih 29,5oC
sementara di dalam Lentera suhunya 28oC. Terbukti bahwa Rumah Pintar "Lentera" mampu menurunkan suhu
luar kurang lebih sebanyak 1,5oC lebih banyak dibandingkan dengan Rumah Makan "Sevendays", sehingga
memperkuat dugaan bahwa konstruksi joglo memiliki kaitan dengan sistem penghawaan alami.

Anda mungkin juga menyukai