Anda di halaman 1dari 8

Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 2, B093-100, Maret 2018

https://doi.org/10.32315/sem.2.b093

Elemen Dinding Bernafas pada Arsitektur Nusantara


Mochamad Risqi Junianto1, Reven Audia Rahmanda2, Reynold Johan Aleksander Telnoni3
1,2,3
Arsitektur Lingkungan, Magister Arsitektur, Program Pasca Sarjana, Universitas Merdeka Malang.
Korespondensi : kikirisqi0@gmail.com

Abstrak

Artikel membahas tentang bagaimana rumah tradisional di Indonesia merespon iklim setempat
dengan mengalirkan udara ke dalam bangunan. Selain dengan pencahayaan alami, aliran udara
diperlukan di dalam bangunan karena Indonesia berada di iklim tropis lembap di mana suhu dan
kelembapan relatif tinggi. Penelitian awal ini bertujuan untuk mengetahui adanya elemen dinding
bernafas pada beberapa rumah tradisonal. Pengumpulan data awal berdasarkan eksplorasi dari data-
data sekunder. Dinding bernafas mengalirkan udara melalui rongga atau celah yang terbentuk dari
material penyusun serta cara pemasangannya. Rumah tradisional yang dipilih adalah Rumah Lamin
Pepas Eheng, rumah Bale Sasak Sade, rumah tradisional Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa
Tenggara Timur. Material dinding Rumah Lamin Pepas Eheng adalah kulit kayu ulin, rumah Bale
menggunakan anyaman bambu dan rumah tradisional TTS menggunakan pelepah pohon kelapa.
Selanjutnya dilakukan pengambilan data primer terkait fisik bangunan, pengukuran suhu,
kelembapan, kecepatan angin pada bangunan. Diharapkan temuan penelitian bisa berkontribusi
dalam produk perancangan arsitektural di Indonesia.

Kata-kunci : Arsitektur Nusantara, Dinding Bernafas, Material Dinding

Pendahuluan

Pemanasan global telah menjadi isu yang paling sering dibahas pada abad ini. Kegiatan berarsitektur
khususnya pembangunan menjadi salah satu faktor pemanasan global. Efek pemanasan global yang
terjadi terutama sekali disebabkan oleh dua hal penting, yaitu: (a) makin sedikit dan rusaknya hutan
dunia yang berfungsi sebagai paru-paru ‘dunia’, dan (b) makin tingginya lapisan CO2 di lapisan
atmosfir bumi (Pawitro, 2016). Saat ini, banyak teori-teori arsitektur baru yang mengedepankan
tentang pemahaman lingkungan.

Indonesia berada di iklim tropis lembap, pada iklim ini hampir tidak ada perbedaan yang signifikan
antara kemarau dan penghujan, suhu udara rata-rata adalah 22-330C dengan kelembapan relatif
antara 60% (siang hari) dan 95% (malam hari) (Feriadi & Wong, 2004). Pada suhu 24-270C
kecepatan angin minimum adalah 0,4m/dtk, 27-29oC adalah 0,41-0.8m/dtk, dan 29-31oC adalah
>0,81m/dtk (Albatici & Passerini, 2011). Berdasarkan penelitian tersebut, perlu adanya
penggabungan antara penerimaan panas dan pergerakan angin untuk mencapai kenyamaan termal.
Menurut Laksmiani Wahjutami, dkk (2016) hubungan antara bangunan dan lingkungan alam sangat
penting untuk pengendalian kondisi kenyamanan dalam ruang dan kebutuhan energi. Dalam
pengembangan sistem pengendalian lingkungan ruang dalam, jenis bangunan dan iklim di luar
ruangan, termasuk musim, harus diperhitungkan.

Indonesia terletak di daerah beriklim tropis lembap. Sejatinya bangunan-bangunan yang ada di
Indonesia hendaknya menggunakan prinsip-prinsip Arsitektur Tropis Lembap. Hal utama sebagai
prinsip dasar yang harus diperhatikan pada arsitektur tropis lembap adalah: Pemanfaatan angin
untuk ventilasi, Perlindungan terhadap radiasi matahari yang masuk ke dalam ruangan dengan
Laboratorium Perkembangan Arsitektur, Departemen Arsitektur ITS, Surabaya Prosiding Semarnusa IPLBI | B 093
ISBN 978-602-51605-1-6 E-ISBN 978-602-51605-2-3
Elemen Dinding Bernafas pada Arsitektur Nusantara
memperhitungkan garis lintasan matahari, mencegah akumulasi kelembapan pada ruangan,
perlindungan terhadap air hujan yang masuk ke dalam ruangan (Gagoek Hardiman, 2012). Prinsip-
prinsip dasar itulah yang hendaknya digunakan dalam berarsitektur di Indonesia.

Dalam arsitektur tropis lembap, bahan material merupakan bagian yang penting. Bahan material
yang digunakan adalah bahan material yang dapat diperbarukan (renewable). Bahan-bahan tersebut
dapat ditemukan dari alam, yaitu kayu, bambu, ijuk, rotan dll. Pemanfaatan bahan-bahan tersebut
diaplikasikan pada elemen lantai, dinding, maupun atap.

Pada umumnya, prinsip arsitektur Nusantara ada kesamaannya dengan arsitektur tropis lembap
karena sama-sama mengantisipasi permasalahan pada daerah tropis lembap. Produk dari arsitektur
nusantara adalah rumah tinggal tradisional yang ada di Indonesia. Rumah tinggal menunjukkan
bahwa manusia mampu menguasai alam (natural environment) dengan sifat-sifat alaminya, antara
lain: kelembapan, suhu, angin, dan sebagainya, lalu diubahnya menjadi lingkungan buatan manusia
(built environment) yang lebih nyaman untuk ditinggali (Crowe, 1997).

Menurut Santosa (1997) rumah tinggal tradisional yang ada di Indonesia didominasi oleh kontruksi
atap, elemen dinding bukan merupakan elemen bangunan yang penting. Dinding vertikal tidak
dijumpai sebagai dinding pemikul, namun sebagai dinding pengisi yang dibuat dari bahan-bahan
yang relatif baik untuk menahan laju panas seperti gedeg atau panel kayu. Karena itulah, arsitektur
nusantara lebih dikenal sebagai arsitektur atap.

Sistem opening atau bukaan pada dinding, seperti jendela dan pintu di rumah tradisional memang
relatif sedikit atau minimum. Alasannya adalah aktivitas yang paling sering dilakukan di luar rumah.
Meski demikian ternyata ventilasi silang berjalan dengan baik. Karena dindingnya dibuat dari bahan-
bahan alami seperti kayu, bambu dll. Udara bisa mengalir melalui celah-celah dinding yang dibuat
tidak rapat atau renggang (Gagoek Hardiman, 2005). Oleh karena itu dinding ini bisa disebut
“dinding bernafas” karena bisa menjamin benar angin dapat masuk melalui celah-celah dinding.

Artikel ini, akan membahas 3 arsitektur tradisional berdasarkan material penyusun dindingnya untuk
menunjukan adanya dinding bernafas. Diantaranya adalah Rumah Lamin Pepas Eheng dari
Kalimantan Timur yang menggunakan papan kayu sebagai elemen dinding, Rumah Bale di Desa
Sade, Lombok Tengah, rumah tersebut menggunakan material bambu, dan Rumah Tradisional Timor
Tengah Selatan (TTS), Soe, NTT yang menggunakan pelepah kelapa pada dindingnya.

Objek dan Persoalan

1. Lamin Pepas Eheng

Lamin Pepas Eheng terletak di Desa Pepas Eheng, Kecamatan Borong Tongkok, Kabupaten Kutai
barat. Lamin Pepas Eheng adalah satu dari sekian banyak Lamin (rumah adat masyarakat Dayak)
yang masih bisa dilihat keberadaannya. Lamin Pepas Eheng dibangun pada tahun 1962 dan menjadi
cikal bakal kampung Pepas Eheng. Lamin Pepas Eheng didirikan oleh masyarakat Dayak Benuaq
yang bermukim di wilayah tersebut. Sebelumnya masyarakat Dayaq Benuaq di Pepas Eheng tinggal
di daerah Pepas. Namun, karena kebutuhan sehari-hari tidak mencukupi di wilayah Pepas maka
mereka berpindah ke wilayah yang kemudian diberi nama Pepas Eheng. Lamin ini digunakan sebagai
tempat tinggal pada awalnya. Seiring berjalannya waktu banyak penghuninya berpindah dan
membuat rumah pribadi sehingga sekarang hanya terdapat satu keluarga saja yang masih bertahan
sebagai penghuni di Lamin tersebut (Purwestri, 2015).

Bagian-bagian Lamin Pepas Eheng terdiri dari beberapa bagian komponen penyusun maupun
komponen pendukung. Bagian tersebut adalah bagian bawah bangunan, bagian tengah bangunan,
bagian atas bangunan. Bagian bawah bangunan adalah kolong, tangga, dan tiang bangunan. Bagian
B 094 | Prosiding Semarnusa IPLBI
Mochamad Risqi Junianto
tengah terdapat serambi depan, ruang utama, dan ruang privat. Sedangkan bagian atas bangunan
adalah atap dan kuda-kuda atap.

Gambar 1. Rumah Lamin Pepas Eheng (Purwestri, 2015)

Lamin menggunakan penutup atap sirap dengan bentuk atap perisai. Dindingnya menggunakan
lembaran kulit kayu ulin yang dipasang renggang. Tiang-tiang penyangga terdiri dari tiang utama
dengan diameter 40-80 cm dan tinggi mencapai 6 m sejumlah 70 buah yang dipasang menerus dari
atas tanah hingga tembus ke bagian dalam bangunan dan tiang-tiang pendukung yang lebih kecil.

Gambar 2. Rumah Lamin Menggunakan Atap Sirap dan Dinding serta Tiang Penyangga/Kolom Dari Kayu Ulin
(Purwestri, 2015)

2. Bale Desa Sade Lombok Tengah

Sade adalah salah satu dusun di desa Rembitan, Pujut, Lombok Tengah. Sade sangat menjunjung
tinggi adat istiadatnya. Suku Sasak Sade sudah sudah sangat terkenal di kalangan wisatawan.
Pemerintah setempat memang sudah menjadikan Sade sebagai desa wisata. Alasan tempat ini
dijadikan tempat wisata karena tempat ini memiliki keunikan yang menjadi daya tarik tersendiri dari
kampung ini (Wikipedia, 2017).

Prosiding Semarnusa IPLBI | B 095


Elemen Dinding Bernafas pada Arsitektur Nusantara

Gambar 3. Desa Wisata Sasak Sade (“Wisata Budaya Desa Sade Lombok dan Kehidupan Suku Sasak,” 2016)
Rumah adat suku Sasak (Bale Tani) terbuat dari kayu dengan dinding anyaman bambu (bedek) dan
juga beratapkan alang–alang yang sudah kering. Lantai dari rumah adat Bale Tani ini adalah
campuran tanah, getah pohon dan abu hasil pembakaran jerami yang kemudian diolesi dengan
kotoran kerbau. Bale Tani ini terdiri atas dua bagian yaitu Bale Dalam dan Bale Luar. Bale dalam
biasanya diperuntukkan untuk semua anggota keluarga wanita saja, dan berfungsi sebagai dapur.
Sedangkan ruangan Bale Luar diperuntukkan untuk anggota keluarga lainnya, yang juga berfungsi
sebagai ruang tamu.

Gambar 4. Rumah Baledi Desa Sasak Sade (Kurnia, 2017)

Menurut Yaniyuni (2016), Bale Dalam dan juga Bale Luar ini dipisahkan dengan sebuah pintu geser
dan juga anak tangga. Di ruangan Bale Dalam terdapat dua buah tungku yang terbuat dari tanah liat.
yang digunakan untuk memasak para wanita. Masyarakat yang ada di perkampungan Desa Sade ini
biasanya memasak dengan kayu sebagai bahan bakarnya. Untuk Bale Dalam tidak memiliki jendela,
dan hanya memiliki satu buah pintu saja sebagai jalan untuk keluar maupun masuk.

3. Rumah Tradisional Timor Tengah selatan

Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Pulau
Timor. Kabupaten TTS berjarak 110 Km dari Kota Kupang atau 3 Jam perjalanan darat. Kabupaten
TTS merupakan daerah berbukit dan berada pada ketinggian 800-1000 mdpl. Hal ini mengakibatkan
beberapa wilayah di daerah TTS memiliki suhu udara yang relatif dingin dengan suhu rata-rata 220 c.

B 096 | Prosiding Semarnusa IPLBI


Mochamad Risqi Junianto
Selain kondisi geografis yang merupakan ciri dari kabupaten TTS, ada juga ciri lain yang dapat
ditemui ketika berada di Kabupaten TTS yaitu hunian tradisionalnya. Kekhasan dari rumah tradisional
TTS adalah bagian dindingnya. Bagian dinding dari rumah tradisional TTS yang diambil dari pelepah
pohonn kelapa yang dikeringkan. Pelepah pohon kelapa juga dapat menghangatrkan kondisi dalam
rumah.

Gambar 5. Rumah Tradisional TTS

Pada daerah TTS banyak dijumpai pohon kelapa, sehingga material dindingnya menggunakan
pelepah pohon kelapa yang kering. Proses pembuatan dinding pelepah kelapa dibuat dengan cara
pelepah kelapa dibersihkan lalu ditusukkan pada jarum bambu sehingga tersusun teratur
membentuk lembaran dinding. Tiap lembar lebarnya kurang lebih 30-50 cm (Kana, 1986). Rumah
tradisional TTS umumnya terpisah antar bangunan rumah tinggal, dapur dan kamar mandi maka
penggunaan material pelepah kelapa ini tidak hanya digunakan pada hunian rumah tinggal, tetapi
juga digunakan untuk kamar mandi dan juga dapur.

Diskusi

Untuk mengetahui adanya dinding bernafas pada 3 tipologi rumah tradisional di atas, maka
pembahasan artikel ini ditiitik beratkan pada elemen dindingnya saja. Berdasarkan data rumah-
rumah tradisional tersebut, dicari hubungannya dengan menggunakan tabel pembanding. Tabel 1 di
bawah ini menunjukkan persamaan dan perbedaan elemen dinding dari ketiga rumah tradisional di
atas melalui indikator yang sama.

Prosiding Semarnusa IPLBI | B 097


Elemen Dinding Bernafas pada Arsitektur Nusantara
Tabel 1. Perbandingan pengaruh iklim terhadap pemakaian elemen dinding pada arsitektur nusantara

No Indikator Lamin Pepas Eheng Bale Desa Sasak Sade Rumah Tradisional TTS
Desa Pepas Eheng,
Desa Rembitan, Pujut, Kabupaten Timor Tengah
1 Lokasi Kecamatan Borong
Lombok Tengah Selatan (TTS), NTT
Tongkok, Kutai barat
Iklim tropis lembap
Iklim tropis lembap dengan Iklim tropis lembap dengan
dengan suhu 17,60C –
2 Iklim suhu 22,10 C – 35,10 C dan suhu 20,60 C – 32,10 C dan
37,30C dan kelembapan
kelembapan 83% - 87% kelembapan 71% - 95%
64% - 84%

3 Tampak

Detail
4
dinding

Rongga-
5 rongga
dinding

Bahan
6 material Kulit kayu ulin Anyaman bambu / bedek Pelepah kelapa
dinding
Pemilihan kayu ulin Bambu yang digunakan
dilakukan cukup lama adalah bambu yang sudah Diawali dengan
hingga mendapatkan kayu tua. Bambu tersebut dibelah mengeringkan pelepah
ulin yang dianggap cocok. menjadi 4 bagian lalu pohon kelapa. Setelah
Proses pembuatan dinding dibelah lagi menjadi bagian- pelepah pohon kelapa
diawali dengan mengulliti bagian yang lebih kecil. tersebut kering, lalu
batang pohon kayu ulin Setelah didapat bambu dibersihkan dari kotoran-
dengan cara dikupas dan sesuai ukuran, maka bilah kotoran dan serabut-
dipotong-potong. Kulit kayu bambu tersebut dibelah serabut yang masih
Cara yang masih basah lagi/ dikirat setipis mungkin tersisa. Pemasangannya
7 pemasangan kemudian ditekan dengan untuk mempermudah hingga menjadi dinding
kayu lainnya agar menjadi dianyam. Bilah bambu adalah dengan cara
lembaran, selanjutnya kemudian dijemur agar menusukan jarum yang
lembaran tersebut ditindih tidak lembap dan berjamur. terbuat dari bambu ke
lagi dan dijemur hingga Terakhir bambu siap pelepah tersebut hingga
kering. Penyusunanya dianyam menjadi bedek. membentuk lembaran
hingga membentuk dinding Pemasangan bedek menjadi dinding. Tiap lembar
dengan menyusun dinding menggunakan paku lebarnya kurang lebih 30
lembaran satu persatu dan yang terbuat dari bambu – 50 cm
dirangkai dengan rotan juga.

Dinding bernafas sangat dipengaruhi oleh material, cara pemasangan, dan kerenggangan material.
Material penyusun adalah bahan-bahan yang dengan mudah dijumpai di lingkungan sekitar. Seperti
pada rumah Lamin Pepas Eheng yang menggunakan kayu ulin, karena di daerah Kalimantan Timur
banyak dijumpai kayu tersebut. Kayu ulin atau dikenal sebagai kayu besi memiliki karakter yang kuat
terhadap suhu, kelembapan, dan air laut. Karena itulah kayu ulin cukup susah untuk dibentuk-
bentuk. Pada dinding rumah Lamin, bagian kayu ulin yang digunakan adalah kulitnya. Kulit kayu ulin
disusun menggunakan rotan, yang memungkinkan adanya rongga sehingga udara dapat masuk
melaluinya.

B 098 | Prosiding Semarnusa IPLBI


Mochamad Risqi Junianto
Anyaman bambu atau bedek merupakan bentuk kearifan lokal warga Desa Sade. Dinding yang
tersusun dari bedek inilah yang dapat memaksimalkan udara masuk pada rumah Bale, meskipun
rumah Bale memiliki jendela dan pintu yang kecil. Melalui celah-celah bedek, cahaya matahari juga
dapat masuk ke dalam ruangan.

Pada rumah tradisional TTS di NTT elemen dindingnya menggunakan pelepah pohon kelapa.
Pelepah pohon kelapa ini diyakini dapat menghangatkan ruangan, karena letak rumah tradisional
tersebut berada di dataran tinggi dan bersuhu rendah. Pemasangan pelepah pohon kelapa dengan
cara merangkainya menggunakan jarum bambu, mengakibatkan adanya celah-celah sebagai jalan
keluar masuknya udara. Hal ini memungkinkan adanya pergerakan udara di dalam ruangan.

Kesimpulan

Rumah Lamin Pepas Eheng, rumah Bale Desa Sasak Sade, dan rumah tradisional TTS NTT memiliki
persamaan yaitu elemen dindingnya dapat memasukan udara melalui celah atau rongga. Rongga
tersebut didapat dari bahan material pembentuk dinding dan cara merangkai materialnya yaitu tidak
secara massif (dengan paku besi atau sejenisnya) namun menggunakan ikatan atau simpul.
Perbedaanya terletak pada bahan material pembentuk dinding, diantaranya adalah kulit kayu ulin,
anyaman bambu atau bedek, dan pelepah pohon kelapa. Maka, esensi dinding bernafas pada rumah
tradisional adalah bahan yang digunakan merupakan bahan dari alam dan cara pemasangannya
dengan cara ikatan/ simpul.

Konsep dinding bernafas juga dapat dimanfaatkan pada rumah-rumah modern dengan
menggunakan material dinding yang berongga sebagai alternatif untuk mengalirkan udara. Konsep
dinding bernafas pada rumah tradisional ini memang perlu adanya beberapa modifikasi jika
diterpakan pada bangunan-bangunan advanced . Modifikasi tersebut dapat dilakukan pada sistem
penyambungan pada material yang digunakan, namun tetap tidak meninggalkan esensi dinding
bernafas.

Artikel ini masih merupakan sebuah wacana dan belum melalui penelitian secara mendalam. Untuk
langkah penelitian selanjutnya diperlukan penjelajahan lebih mendalam terhadap tektonika
bangunan, pengukuran suhu, kelembapan dan kecepatan angin di dalam bangunan untuk
membuktikan dugaan “dinding bernafas” dalam artikel ini. Artikel ini juga diharapkan dapat
memberikan sumbangsih pengetahuan dan dapat dikembangkan oleh generasi berikutnya sesuai
dengan perkembangan jaman.

Daftar Pustaka

Albatici, R., & Passerini, F. (2011). Bioclimatic design of buildings considering heating requirements in Italian
climatic conditions. A simplified approach. Building and Environment, 46(8), 1624–1631.
https://doi.org/10.1016/j.buildenv.2011.01.028
Ardiwinata, E. (2017). MENJELAJAH DESA SADE, GERBANG KEBUDAYAAN SUKU SASAK LOMBOK.
Crowe, N. (1997). Nature and the Idea of a Man-Made World. Cambridge: MIT Press.
Feriadi, H., & Wong, N. H. (2004). Thermal comfort for naturally ventilated houses in Indonesia. Energy and
Buildings, 36(7), 614–626. https://doi.org/10.1016/j.enbuild.2004.01.011
Hardiman, G. (2005). The Wisdom Of Traditional Architecture In Indonesia To Anticipate The Problem Of The
Thermal Comfort Inside Buiding. Architecture.
Hardiman, G. (2012). Pertimbangan iklim tropis lembap dalam konsep arsitektur bangunan modern, 77–82.
Kana, C. (1986). Arsitektur Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Kurnia, E. (2017). Desa Sade Lombok, Tempat Belajar dan Melihat Tradisi Asli Sasak. Retrieved from
https://lifestyle.okezone.com/read/2017/01/23/406/1598697/desa-sade-lombok-tempat-belajar-dan-melihat-
tradisi-asli-sasak
Laksmiani Wahjutami, E., Murti Nugroho, A., & Setyo Leksono, A. (2016). Relative humidity performance study as
the basic of design evaluation in small type residences. Eco. Env. & Cons. Copyright@ EM International ISSN,
22(4), 1647–1652.
Pawitro, U. (2016). PEMANASAN GLOBAL – PROTOKOL KYOTO DAN PENERAPAN KAIDAH “ARSITEKTUR
Prosiding Semarnusa IPLBI | B 099
Elemen Dinding Bernafas pada Arsitektur Nusantara
EKOLOGIS.” PEMANASAN GLOBAL – PROTOKOL KYOTO DAN PENERAPAN KAIDAH “ARSITEKTUR EKOLOGIS.”
Purwestri, N. (2015). Atlas Arsitektur Tradisional Indonesia Seri 2. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia.
Santosa, M. (1997). Arsitektur tradisional tropis lembap. Sebuah referensi untuk pengembangan arsitektur di
Indonesia. Bunga rampai Arsitektur ITS.
Wikipedia. (2017). No Title. Retrieved from https://id.wikipedia.org/wiki/Sade,_Lombok_Tengah
Wisata Budaya Desa Sade Lombok dan Kehidupan Suku Sasak. (2016). Retrieved from
http://www.dutawisata.co.id/wisata-budaya-desa-sade-lombok-dan-kehidupan-suku-sasak/
Yaniyuni. (2016). No Title. Retrieved from http://www.kivarvpark.com/keunikan-rumah-adat-di-desa-sade-
lombok/

B 0100 | Prosiding Semarnusa IPLBI

Anda mungkin juga menyukai