Anda di halaman 1dari 1

Topi : Arsitektur Berkelanjutan Dan Nilai Budaya

ARSITEKTUR BERKELANJUTAN, BELAJAR DARI KEARIFAN


ARSITEKTUR NUSANTARA
Arsitektur tradisional di tanah air telah dirancang dibangun dan dihuni dengan
konsep berkelanjutan.Penggunaan material alam yang tidak melalui proses pabrikasi
yang tidak ramah lingkungan, pengawetan material seperti bambu yang dilakukan
secara alami, merupakan satu contoh pendekatan keberlanjutan yang
digunakan.Sistem struktur yang merespon gempa, kondisi tanah, dan faktor alam
lainnya, menunjukkan pendekatan yang kontekstual dan responsif.1
Demikian halnya dalam upaya menciptakan kenyamanan di dalam bangunan,
desain yang mengoptimalkan masuknya cahaya alami dan penghawaan alami
menujukkan pendekatan desain hemat energi dan penggunaan energi terbarukan.
Dalam menciptakan arsitektur yang berkelanjutan pada bangunan modern, maka
metode perancangan yang dilakukan nenek moyang kita pada arsitektur tradisional
dapat digunakan.Seperti yang telah dilakukan sebelumnya dalam studi literatur, dapat
disimpulkan bahwa bangunan tradisional dirancang, dibangun dan digunakan dengan
metode konstruksi berkelanjutan.2
Dari segi struktur dan konstruksi, kita dapat melihat contoh bangunan
tradisional yang berfokus pada sistem struktur berkelanjutan, seperti Omo Hada di
rumah Nias yang merespon gaya gempa dengan menggunakan struktur diagonal
sebagai perkuatan rangka kaku. Dirancang untuk menahan gaya seismik lateral selama
konstruksi, sistem struktur ini tidak akan merusak bumi seperti sistem struktur tiang
pada bangunan modern. Struktur bangunan ditempatkan pada alas, mengurangi
dampak pada struktur tanah. Hal ini terjadi pada rumah Toraja, rumah Tongkonan di
Sulawesi Selatan, rumah Joglo di Jawa, dan rumah adat lainnya yang menggunakan
tumpuan untuk menopang sistem struktur bangunannya.
Bahan yang digunakan belum mengalami proses manufaktur yang tidak ramah
lingkungan. Begitu pula dengan sistem struktur atap, seperti sistem struktur atap
rumah Tongkonan yang memiliki dua bahan atap, yaitu atap bambu dan atap batu.
Atap bambu terbuat dari bambu, dan air hujan tidak bisa masuk ke dalam bangunan.
Bambu busuk justru menghasilkan lumut yang melapisi permukaan atap dan berfungsi
sebagai pelapis untuk menahan air agar tidak masuk ke dalam bangunan, sedangkan
atap batu terbuat dari batu ukir berukuran sekitar 50 x 30 cm dan memiliki ketebalan
sekitar 2. 3 cm. Batu tersebut kemudian ditempatkan pada struktur atap menggunakan
kulit bambu sebagai perekat. Dengan sistem pengikat, atap batu tidak akan jatuh.3

1
Mclennan, (2004), "The Philosophy of Sustainable Design", Ecotone LLC, Missouri.
2
Manurung, P., (2011), “Belajar Kearifan Arsitektur Nusantara Melalui Service-Learning”, Prosiding Seminar
Nasional RAPI ke 10 Universitas Muhammadiyah Surakarta, 13 Desember 2011.
3
Koentjoroningrat, (1974), “Kebudayaan Mentalieit dan Pembangunan”, Gramedia, Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai