1
Tri Harso Karyono, “Arsitektur Permukiman Tropis Berkelajutan di Indonesia”, dalam Seminar ‘Arsitektur
Berkelanjutan bagi Perumahan dan Permukiman di Wilayah Topis’ Universitas Budi Luhur, Jakarta, 26 Maret
2008
2
Tri Harso Karyono “Kota Tropis Hemat Energi: Menuju Kota yang Berkelanjutan di Indonesia (2006), Tek. Ling
P3TL-BPPT 7 . (1): 63 - 71
kepercayaan yang mengatur hubungan manusia dengan alam yang menaunginya. Berdasarkan
konsep tersebut, maka arsitektur tradisional merupakan bentuk arsitektur yang mampu
bertahan terhadap perkembangan zaman dan berbasis alam.3
Arsitektur tradisional secara anatomi dapat dibedakan dalam 3 komponen utama yaitu
atap, dinding, dan lantai (termasuk tiang panggung). Tiga komponen ini mempunyai fungsi
yang berbeda-beda. Atap terdiri dari komponen utama penutup atap, rangka atap dan ornamen.
Dinding tersiri dari dinding masif dan dinding bukaan berupa pintu atau jendela. Sedangkan
kaki terdiri dari lantai, tiang, kolom dan pondasi. Wujud dari bentuk meliputi aspek material,
struktur dan konstruksi.
Pada umumnya prinsip Arsitektur Tradisional mempunyai kesamaan karena sama-sama
mengantisipasi permasalahan pada daerah tropis lembab, antara lain: atap untuk perlindungan
terhadap radiasi matahari dan air hujan, dinding yang memiliki celah-celah untuk udara masuk
sebagai ventilasi alam, dan rumah panggung untuk menghindarkan kelembaban dari air tanah.
Perbedaan hanya pada ekspresi tampilan karena adanya keanekaragaman budaya dan
kepercayaan pada setiap daerah.
Secara trial and error prinsip dasar yang harus diperhatikan pada arsitektur tropis
seperti: Pemanfaatan angin untuk ventilasi, Perlindungan terhadap radiasi matahari yang
masuk kedalam ruangan dengan memperhitungkan garis lintasan matahari, mencegah
akumulasi kelembaban pada ruangan,, Perlindungan terhadap air hujan yang masuk kedalam
ruangan, sudah dikuasai oleh leluhur kita dalam merencanakan bangunan tradisional di
berbagai kawasan Nusantara dari Sabang sampai Merauke. 4
Berdasarkan hal diatas, saat ini dibutuhkan arsitektur yang mampu mengantisipasi
berbagai masalah dari iklim tropis. Arsitektur ini dapat bercorak atau berwarna apa saja
sepanjang bangunan tersebut dapat mengubah kondisi yang tidak nyaman menjadi kondisi
nyaman bagi penyelenggaraan aktivitas manusia yang berada didalamnya. Selain itu juga dapat
menghadirkan kualitas fisik ruang yang ada didalamnya: suhu ruang rendah, kelembaban tidak
terlalu tinggi, pencahayaan alam cukup, pergerakan udara (angin) memadai, terhindar dari
hujan, dan terhindar dari terik matahari.
Kesimpulan
Secara Geografis wilayah Indonesia beriklim tropis lembab karena berada di garis
katulistiwa dan berbentuk kepulauan (dominasi perairan). Sinar matahari menyinari sepanjang
tahun dan curah hujan yang tinggi. Semua bangunan di Indonesia harus dapat mengantisipasi
permasalahan dan memanfaatkan pontensi iklim topis lembab, dan juga dapat
mempertimbangkan kondisi fisik lingkungan setempat.
Belajar dari Arsitektur Tradisional yang telah dibangun dengan kosep keberlanjutan.
Penggunaan material yang tidak melalui proses pabrikasi, pengawetan material alami,
merupakan contoh pendekatan keberlanjutan yang digunakan. Sistem struktur yang merespon
gempa, kondisi tanah dan faktor alam lainnya, menunjukkan pendekatan yang konterktual.
Demikian halnya dengan upaya menciptakan kenyamanan dalam bangunan, desain yang
mengoptimalkan masuknya cahaya alami dan penghawaan alami menunjukkan pedekatan
desain yang hemat energi dan mampu menjawab permasalahan mengenai iklim tropis.
3
Lintang Saiti M. dan Arum Septi R. ‘‘Arsitektur Lingkungan Berkelanjutan pada Permukiman Tradisional (Studi
Kasus: Desa Tenganan, Bali)” dalam Seminar Arsitektur Nusantara 2, Universitas Brawijaya (2013)
4
Gagoek Hardiman “Pertimbangan Iklim Tropis Lembab dalam Konsep Arsitektur Bangunan Modern”,
Universitas Bandar Lampung, Juni 2012