Anda di halaman 1dari 2

Penerapan Arsitektur Berkelanjutan Berdasarkan Prinsip Arsitektur

Tradisional, Kearifan Lokal, dan Iklim Tropis di Indonesia


Sarah Alya (1804104010032)
Pendahuluan
Arsitektur berkelanjutan menjadi satu hal yang sangat populer di era modern, disaat
pertambahan penduduk dan perkembangan aktivitas manusia memicu pembangunan fisik kota,
meningkatkan jumlah bangunan untuk mengakomodir pertambahan manusia dan aktivitasnya.
Semakin banyak lahan terbuka hijau atau lingkungan alami diubah menjadi lingkungan binaan
yang padat bangunan dan infrastruktur. Terjadi penurunan daya dukung lingkungan untuk
mendukung aktivitas manusia. Menurunnya kemampuan alam untuk mensuplai air bersih,
menurunnya kemampuan lingkungan untuk memproses limbah cair menjadi air tanah yang
layak untuk dikonsumsi manusia, menurunnya kemampuan lingkungan memproses limbah
padat dan gas yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Terjadi pencemaran tanah akibat
timbunan limbah padat, kontaminasi air tanah, dan polusi udara. Kesadaran akan pentingnya
konsep berkelanjutan pun muncul. Hubungan bangunan dengan konteksnya, menjadi
pertimbangan dalam proses desain. Dalam menuju kosep keberlanjutan, kita dapat belajar dari
kearifan arsitektur nusantara. Bagaimana arsitektur nusantara mengakomodasi konsep
keberlanjutan, baik dalam memanfaatkan energi terbarukan, menentukan sistem struktur
bangunan, proses menentukan bentuk, ruang dan material yang juga dipengaruhi oleh iklim
tropis.1
Pembahasan
Ketika komisi PBB untuk Lingkungan dan Pembangunan mencetuskan suatu deklarasi
yang populer dengan Brundtland report, dimana didalamnya diformulasikan definisi
Pembangunan Berkelanjutan : Sustainable development is development that meets the needs
oft he present without compromising the ability of future generations to meet their own needs,
para arsitek mulai mencerna dan mengambil sikap terhadap kandungan deklarasi tersebut.
Deklarasi ini sangat terkait dengan kepentingan perencana maupun perancang kota
serta arsitek, yakni masalah lingkungan binaan: baik kota, bagian kota, maupun bangunan yang
dituntut selaras dengan kemampuan daya dukung alam. Bagaimana perencana dan perancang
kota harus mampu merencanakan dan merancang kota yang dapat menekan semaksimal
mungkin penggunaan sumber daya alam serta mampu menekan semaksimal mungkin dampak
negatif yang ditimbulkan oleh kota terhadap alam, terhadap lingkungan dimana manusia
hidup.2
Arsitektur berkelanjutan sebagai konsep perancangan yang mampu
mempertimbangkan masa kini dan masa mendatang, baik dalam memenuhi kebutuhan maupun
ketersediaan pemenuh kebutuhan manusia yang ramah terhadap lingkungan. Dalam hal ini,
kita dapat belajar dari kearifan lokal nenek moyang kita yang telah merancang arsitektur
tradisional di tanah air. Arsitektur tradisional mampu menyelaraskan kebutuhan manusia
dengan alam, dan menjaga kelestarian serta ketersediaan sumber daya alam yang ada. Konsep
arsitektur tradisional seringkali berangkat dari budaya setempat yang terkait dengan

1
Tri Harso Karyono, “Arsitektur Permukiman Tropis Berkelajutan di Indonesia”, dalam Seminar ‘Arsitektur
Berkelanjutan bagi Perumahan dan Permukiman di Wilayah Topis’ Universitas Budi Luhur, Jakarta, 26 Maret
2008
2
Tri Harso Karyono “Kota Tropis Hemat Energi: Menuju Kota yang Berkelanjutan di Indonesia (2006), Tek. Ling
P3TL-BPPT 7 . (1): 63 - 71
kepercayaan yang mengatur hubungan manusia dengan alam yang menaunginya. Berdasarkan
konsep tersebut, maka arsitektur tradisional merupakan bentuk arsitektur yang mampu
bertahan terhadap perkembangan zaman dan berbasis alam.3
Arsitektur tradisional secara anatomi dapat dibedakan dalam 3 komponen utama yaitu
atap, dinding, dan lantai (termasuk tiang panggung). Tiga komponen ini mempunyai fungsi
yang berbeda-beda. Atap terdiri dari komponen utama penutup atap, rangka atap dan ornamen.
Dinding tersiri dari dinding masif dan dinding bukaan berupa pintu atau jendela. Sedangkan
kaki terdiri dari lantai, tiang, kolom dan pondasi. Wujud dari bentuk meliputi aspek material,
struktur dan konstruksi.
Pada umumnya prinsip Arsitektur Tradisional mempunyai kesamaan karena sama-sama
mengantisipasi permasalahan pada daerah tropis lembab, antara lain: atap untuk perlindungan
terhadap radiasi matahari dan air hujan, dinding yang memiliki celah-celah untuk udara masuk
sebagai ventilasi alam, dan rumah panggung untuk menghindarkan kelembaban dari air tanah.
Perbedaan hanya pada ekspresi tampilan karena adanya keanekaragaman budaya dan
kepercayaan pada setiap daerah.
Secara trial and error prinsip dasar yang harus diperhatikan pada arsitektur tropis
seperti: Pemanfaatan angin untuk ventilasi, Perlindungan terhadap radiasi matahari yang
masuk kedalam ruangan dengan memperhitungkan garis lintasan matahari, mencegah
akumulasi kelembaban pada ruangan,, Perlindungan terhadap air hujan yang masuk kedalam
ruangan, sudah dikuasai oleh leluhur kita dalam merencanakan bangunan tradisional di
berbagai kawasan Nusantara dari Sabang sampai Merauke. 4
Berdasarkan hal diatas, saat ini dibutuhkan arsitektur yang mampu mengantisipasi
berbagai masalah dari iklim tropis. Arsitektur ini dapat bercorak atau berwarna apa saja
sepanjang bangunan tersebut dapat mengubah kondisi yang tidak nyaman menjadi kondisi
nyaman bagi penyelenggaraan aktivitas manusia yang berada didalamnya. Selain itu juga dapat
menghadirkan kualitas fisik ruang yang ada didalamnya: suhu ruang rendah, kelembaban tidak
terlalu tinggi, pencahayaan alam cukup, pergerakan udara (angin) memadai, terhindar dari
hujan, dan terhindar dari terik matahari.
Kesimpulan
Secara Geografis wilayah Indonesia beriklim tropis lembab karena berada di garis
katulistiwa dan berbentuk kepulauan (dominasi perairan). Sinar matahari menyinari sepanjang
tahun dan curah hujan yang tinggi. Semua bangunan di Indonesia harus dapat mengantisipasi
permasalahan dan memanfaatkan pontensi iklim topis lembab, dan juga dapat
mempertimbangkan kondisi fisik lingkungan setempat.
Belajar dari Arsitektur Tradisional yang telah dibangun dengan kosep keberlanjutan.
Penggunaan material yang tidak melalui proses pabrikasi, pengawetan material alami,
merupakan contoh pendekatan keberlanjutan yang digunakan. Sistem struktur yang merespon
gempa, kondisi tanah dan faktor alam lainnya, menunjukkan pendekatan yang konterktual.
Demikian halnya dengan upaya menciptakan kenyamanan dalam bangunan, desain yang
mengoptimalkan masuknya cahaya alami dan penghawaan alami menunjukkan pedekatan
desain yang hemat energi dan mampu menjawab permasalahan mengenai iklim tropis.

3
Lintang Saiti M. dan Arum Septi R. ‘‘Arsitektur Lingkungan Berkelanjutan pada Permukiman Tradisional (Studi
Kasus: Desa Tenganan, Bali)” dalam Seminar Arsitektur Nusantara 2, Universitas Brawijaya (2013)
4
Gagoek Hardiman “Pertimbangan Iklim Tropis Lembab dalam Konsep Arsitektur Bangunan Modern”,
Universitas Bandar Lampung, Juni 2012

Anda mungkin juga menyukai