Anda di halaman 1dari 6

1.

Eco ARK Gedung Berbahan Plastik Pertama di Dunia Karya Arsitek


Arthur Hang

Arthur Huang ( Tionghoa : 黃 謙 智 ; lahir 1978) adalah pendiri dan CEO Miniwiz Co, Ltd
Dia adalah insinyur struktur, arsitek, inovator solusi bahan bangunan lingkaran ekonomi dan
berspesialisasi dalam aplikasi daur ulang sampah pasca-konsumen untuk membantu
mempercepat pergeseran ke ekonomi lingkaran dekat. Pada tahun 2005, ia mendirikan
Miniwiz, sebuah perusahaan yang beroperasi secara internasional yang berbasis di Taiwan ,
Singapura , Beijing dan Milan , dan didedikasikan untuk daur ulang dan sampah konsumen dan
limbah industri . Dikenal karena konsep dan karyanya yang inovatif dan ambisius, banyak dari
karyanya menantang ekonomi kapal tradisional, mulai dari perwakilan produk konsumen
hingga arsitektur. Arthur dan Miniwiz diakui sebagai Pelopor Teknologi oleh World Economic
Forum pada tahun 2015.
Eco ARK memiliki panjang 130 meter dan tinggi 26 meter. Arthur Huang membutuhkan
waktu selama tiga tahun untuk membangun gedung yang menghabiskan dana sekitar US$ 3
juta. Gedung yang kemudian diberi nama Eco ARK tersebut menghabiskan 1,5 juta botol
plastik bekas. Eco ARK sendiri dibangun dengan tiga tujuan, yakni reduce (mengurangi), reuse
(menggunakan kembali), dan recycle (mendaur ulang). Dengan membangun Eco ARK, Arthur
Huang berharap dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya daur ulang.
Eco ARK memiliki dua ruang utama, yakni ruang amphiteather dan ruang exhibition.
Bangunan ini memiliki fasilitas screen water fall, yang digunakan untuk mengumpulkan air
hujan yang akan dipergunakan sebagai penyejuk udara. Selain itu, gedung ini juga memiliki
sistem penerangan yang alami. Hal ini dikarenakan botol-botol plastik tersebut berwarna
transparan, sehingga sinar matahari dapat menerangi gedung tersebut. Eco ARK yang dibuat
oleh Arthur Huang bersama timnya tersebut memberikan inspirasi tentang bagaimana
seharusnya sampah botol plastik tersebut didaur ulang agar menjadi sesuatu yang berguna,
sekaligus memiliki nilai estetika yang tinggi.
2. Microlibrary Bima Karya SHAU Architectur

Microlibrary Bima adalah perpustakaan kecil yang terletak di Taman Bima, Kelurahan Arjuna,
Kecamatan Cicendo, Bandung. Dibuat oleh firma arsitektur SHAU Architecture & Urbanism,
proyek yang dipimpin oleh Florian Heinzelmann dan Daliana Suryawinata ini memiliki tujuan
meningkatkan literasi dan kesadaran lingkungan masyarakat. Bangunan ini memenangkan
Penghargaan Komunitas Arsitektur Dunia putaran ke-23 dalam Proyek Arsitektur
Terealisasikan Pemenang Penghargaan pada 2016 dan Penghargaan Architizer A+ sebagai
Pemenang Juri dan Pemenang Populer dalam kategori Architecture+Community pada 2017
Tercantum 10 nama arsitek dari SHAU yang turut merancang perpustakaan kelurahan ini.
Mereka adalah Florian Heinzelmann, Daliana Suryawinata, Yogi Ferdinand bersama Rizki
Supratman, Roland Tejo Prayitno, Aditya Kusuma, Octavia Tunggal, Timmy Haryanto,
Telesilla Bristogianni, dan Margaret Jo.

Rancangan dan desain Microlibrary Bima dibangun untuk mengatasi permasalahan tingkat
iliterasi dan anak putus sekolah yang tinggi melalui kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan di
dalamnya, seperti kegiatan mengajar. Konsep desentralisasi yang dibawa Microlibrary Bima
mendekatkan perpustakaan dengan masyarakat sehingga mampu meningkatkan budaya
membaca. Perpustakaan ini menjadi purwarupa pertama dalam pembangunan perpustakaan
kecil lainnya di Indonesia. Microlibrary Bima didesain sebagai perpustakaan yang ramah
lingkungan. Dua ribu ember plastik es krim digunakan untuk menyusun fasad bangunan.
Ember-ember ini berfungsi sebagai pencahayaan dan ventilasi alami. Di samping itu, ember-
ember plastik ini disusun membentuk kode biner berdasarkan permukaan ember yang berbeda,
yang diterjemahkan menjadi "buku adalah jendela dunia".Pada awalnya, alih-alih ember es
krim, jerigen plastik akan digunakan sebagai fasad bangunan ini. Akan tetapi, jumlahnya tidak
mencukupi ketika pembangunan berlangsung.
3. Rumah Pharmindo Karya Yu Sing

Rumah ini terletak di kawasan perumahan sederhana yang berada di daerah pinggiran kota
Bandung dengan harga tanah masif relatif murah, dengan luas lahan136.5 m2 dan luas
bangunan 125 m2. Pilihan untuk tinggal di pinggiran kota merupakan pilihan sebagian besar
masyarakat sebagai akibat melonjaknya harga tanah di kota. Rumah ini berupaya memberikan
alternatif desain sebagai rumah murah dengan dana yang sangat terbatas dan kebutuhan ruang
yang banyak, namun tidak mengorbankan kualitas ruang. Selain sebagai solusi desain akibat
dana yang terbatas, rumah ini sebenarnya mencoba untuk memberikan pengertian dan contoh
kepada masyarakat luas bahwa rumah yang nyaman tidak hanya bisa dimiliki oleh rumah-
rumah yang luas. Bahwa kehadiran arsitek tidak selalu hanya bagi rumah-rumah mewah.
Bahwa dengan biaya yang sama, apabila didesain dengan serius akan menghasilkan kualitas
ruang yang jauh lebih baik daripada membangun rumah tanpa arsitek. Karena itu, hampir
seluruh material yang dipilih merupakan material murah yang umumnya dipakai pada ‘rumah
rakyat’ yang biasanya tanpa bantuan arsitek dan banyak dipakai pada rumah-rumah dalam
perumahan di mana rumah ini berada. Rumah pharmindo 2 ini memiliki kapling berukuran
10.5mx13m, dengan luas bangunan total 125 m2. Dengan luas rumah yang hanya 125 m2,
masih dapat didesain 4 kamar tidur (luas kamar paling kecil 10m2 yaitu kamar tidur untuk 3-4
orang karyawan karena profesi pemilik sebagai pedagang masakan), 3 kamar mandi, dapur
12m2, balkon di depan dan belakang rumah, serta ruang keluarga yang berukuran 4mx7.5m
(menyatu dengan ruang makan dan pantri) dengan pemandangan depan kolam waterfall dan
taman kecil di belakang. Pilihan untuk tinggal di pinggiran kota merupakan pilihan sebagian
besar masyarakat sebagai akibat melonjaknya harga tanah di kota. Bentuk bangunan
menampilkan komposisi empat massa kotak dengan material yang berbeda-beda. Dinding luar
massa kotak 1 dilapis bilah bambu hitam. Massa kotak 2 kantilever di atas massa 1 – sekaligus
menjadi kanopi buat teras pintu masuk di bawahnya – yang dindingnya dilapis potongan-
potongan berbagai kayu keras yang merupakan kayu ‘perca’ sisa-sisa kusen yang dibelah
dengan ketebalan 1cm, 2cm, 3cm. Kayu ’perca’ ini didapatkan dari suplier kayu dengan hanya
membayar ongkos potongnya. Sedangkan massa kotak 3 menggunakan konblok ekspos dan
diletakkan mundur satu meter di atas massa 1, untuk menciptakan ruang balkon. Atap rumah
menggunakan zincalum, diletakkan bersembunyi di balik dinding massa 2 & 3, sehingga
bentuk kubisme rumah tidak terganggu. Massa kotak 4 menempel di bagian belakang massa 1,
dengan material acian semen ekspos yang sudah dicampur mil (campuran semen pada rumah-
rumah di desa untuk mengurangi volume pemakaian semen) berfungsi sebagai balkon kamar
tidur utama dan area penampungan air di atasnya. Dinding-dinding pembatas lahan
menggunakan bata merah ekspos. Dinding bata merah pada pagar depan dipadukan dengan
tiang-tiang bambu haur supaya rumah tidak terlalu tertutup. Rangka kanopi area jemur dan
dapur kotor menggunakan kayu dolken bekas perancah pada saat konstruksi. Teras dan kayu
jendela menggunakan kayu kihiang yang merupakan kayu lokal Jawa Barat (sehingga cukup
murah) dan cukup tahan terhadap cuaca tropis. Seluruh pintu tanpa kusen, sebagian pintu dan
jendela menggunakan kaca nako yang sangat efektif untuk mengalirkan udara sebanyak
mungkin ke dalam rumah, tanpa menghalangi ruang di depannya ketika dibuka. Kusen antar
jendela hanya pada tiang vertikalnya saja.
Pintu-pintu kamar menggunakan bambu yang dirapatkan dan ditusuk besi beton. Plafon lantai
2 menggunakan tripleks dengan ukuran kotak-kotak yang berbeda-beda dan dilapisi tipis-tipis
wall sealer putih sehingga tekstur tripleks masih bisa terlihat. Plafon dan salah satu dinding
kamar tidur ibu pada massa 2 menggunakan anyaman bilik bambu. Dinding bilik bambu ini
dapat dibuka tutup, sehingga memiliki hubungan ruang dengan lantai 1, memudahkan ibu
untuk berinteraksi dengan anggota keluarga lain di bawah. Seluruh bidang lantai dan dinding
dalam lantai satu hanya menggunakan semen ekspos, sedangkan lantai dua menggunakan
marmer ‘perca’ (sisa-sisa potongan pabrik) dengan ukuran 10x30 cm yang harganya lebih
murah dari keramik.
STUDIOPERANCANGAN
ARSITEKTUR II
*BANGUNAN DARI BAHAN RECYCLE*

Dibuat Oleh :
Nama : Aprizal Ramdhani Lalu
NIM : F221 18 109
Kelas : A

UNIVERSITAS TADULAKO
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN S1 ARSITEKTUR

Anda mungkin juga menyukai