Anda di halaman 1dari 9

KONSEP SIRKULASI UDARA SEBAGAI KEARIFAN LOKAL

PADA RUMAH TRADISIONAL


Ega Sara, Nurrahman Wiyanto, Syahrul Aini
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Abstrak
Posisi wilayah Indonesia yang berada pada daerah tropis memberikan pengaruh besar
terhadap desain arsitekturnya. Kondisi panas yang disebabkan oleh sinar matahari selama
12 jam setiap harinya membuat kondisi termal pada bangunan-bangunan di Indonesia
cenderung tidak nyaman. Hal ini menyebabkan banyak teknologi-teknologi baru saat ini
untuk meningkatkan kenyamanan termal. Akan tetapi jika kita kembali ke masa arsitektur
tradisional, persoalan di atas sudah bisa di atasi oleh masyarakat terdahulu dengan
beberapa metode, salah satunya metode sirkulasi udara.
Hal ini sangat menarik untuk disimak mengingat dengan teknologi yang masih sangat
terbatas, masyarakat terdahulu bisa mengatasi berbagai permasalahan dalam dunia desain
dengan cara-cara yang sederhana dan berorientasi ke alam. Tulisan ini mencoba untuk
membahas tentang beberapa contoh arsitektur vernakular di Indonesia dalam mengatasi
masalah sirkulasi udara. Hal ini dimaksudkan agar kita lebih memahami bentuk kearifan
lokal yang ada di Indonesia, sehingga bentuk kearifan lokal tersebut bisa diangkat kembali
ke permukaan.
Kata kunci: Thermal, sirkulasi udara, arsitektur tradisional
1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Posisi wilayah Indonesia yang berada pada garis kahatulistiwa memiliki beberapa pengaruh
terhadap desain arsitektur, salah satunya mengenai kenyamanan thermal pada bangunan. Hal
ini dikarenakan wilayah Indonesia menerima sinar matahari sepanjang tahun yang
menyebabkan suhu pada bangunan cenderung tinggi. Konsekuensi dari suhu yang tinggi ini
membuat kenyamanan thermal pada suatu bangunan berkurang, sehingga saat ini banyak
sekali penggunaan teknologi (ventilasi buatan) untuk menurunkan suhu dalam ruangan.

Akan tetapi jika kita mengkaji kembali pola desain arsitektur tradisional, penggunaan
teknologi untuk meningkatkan kenyamanan thermal tidaklah diperlukan. Hal ini dikarenakan
desain arsitektur tradisional telah menjawab persoalan di atas dengan beberapa metode, salah
satunya melalui sirkulasi udara. Masyarakat terdahulu sangat paham mengenai bagaimana
cara mengkondisikan sirkulasi udara terhadap bangunan dengan mengamati kondisi alam.
Hal ini merupakan salah satu bentuk kearifan lokal (local wisdom/local genius) yang sangat
menarik untuk dibahas mengingat dunia desain dewasa ini memerlukan perubahan-perubahan
yang lebih berorientasi ke alam karena kondisi dari alam sendiri saat ini sangat
memprihatinkan.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari tulisan ini untuk membahas salah satu bentuk kearifan lokal pada
bangunan tradisional yaitu sirkulasi udara.
C. Metode Kajian
Metode yang digunakan adalah kajian pustaka dengan cara mencari literatur di internet dan
buku-buku panduan.
D. Batasan Kajian
Tulisan ini hanya membahas konsep sirkulasi udara pada rumah tradisional di Indonesia,
yaitu Rumah Joglo Kudus, dan Rumah Ibeiya.
2. DESKRIPSI OBJEK KAJIAN
A. Rumah Tradisional Kudus (Jawa Tengah)
Rumah adat Kudus atau Joglo Pencu atau
Joglo Kudus adalah rumah tradisional asal
Kudus, Jawa Tengah. Rumah Kudus
memiliki atap genteng yang disebut Atap
Pencu,

dengan

bangunan

yang

di

dominasi seni ukir khas kabupaten Kudus


yang merupakan perpaduan gaya dari
budaya Jawa (Hindu), Persia (Islam), Cina
(Tionghoa), dan Eropa (Belanda).

Gambar 1. Rumah Joglo Kudus, Sumber:


http://www.rumahuniqsilaturahim.com/images/rumah/kudus/2.jpg

Rumah ini diperkirakan mulai dibangun sekitar tahun 1500-an Masehi, dengan 95% kayu jati.
Rumah tradisional Kudus masih banyak terdapat di daerah Kudus Kulon yang merupakan
awal perkembangan Kota Kudus. Pola permukiman umum berderet memanjang dengan
orientasi ke selatan. Intesitas bangunan tinggi sehingga jarak antar bangunan rapat. Jalan
lingkungan sempit yang membentuk lorong menyusur diantara bangunan, bahkan melintasi
tapak.
B. Rumah Tradisional Ibeiya (Papua Barat)
Di

Indonesia,

identitas

nusantara

salah

satunya diwujudkan dalam bentuk rumah


tradisional seperti pada Rumah Tradisional
Honai yang menjadi identitas Papua. Tetapi
dibalik rumah tradisional masyarakat Papua,
terdapat bentuk rumah tradisional lain yang
selama ini tersembunyi, walaupun selama ini
hidup dalam masyarakat Papua, yaitu Rumah
Tradisional

Ibeiya

yang

Pegunungan Anggi, Papua Barat.

berada

di Gambar 2. Rumah Ibeiya, Sumber:


http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/ijc/article/vie
w/3085/3096

3. PEMBAHASAN/DISKUSI
A. Sirkulasi Udara
Gerakan udara yang terjadi disebabkan oleh pemanasan lapisan udara yang berbeda-beda.
Skalanya berkisar mulai dari angin sepoi-sepoi sampai angin topan, yakni kekuatan angin 0
sampai 12 (Skala Beaufort).
Angin yang diinginkan ,lokal, sepoi-sepoi yang memperbaiki iklim mikro mempunyai efek
khusus dalam perencanaan, seperti memiliki gerakan udara yang kuat yang tidak diharapkan
(badai, topan, siklon, tornado, tipone) berlawanan dengan ukuran pencegahan harus
diberikan.
Gerakan udara di dekat permukaan tanah dapat bersifat sangat berbeda dengan gerakan di
tempat yang tinggi. Semakin kasar permukaan yang dilalui, semakin tebal lapisan udara yang
tertinggal diam di dasar dan menghasilkan perubahan pada arah serta kecepatan gerakan
udara. Dengan demikian bentuk topografi yang berbukit, vegetasi dan tentunya bangunan
3

dapat menghambat atau membelokkan gerakan udara. Misalnya sebuah hutan lebat di daerah
tropika basah dan daerah dengan angin musim, angin darat menyebabkan kekuatan angin
berkurang setelah 30 m menjadi 60-80%, setelah 60-50% dan setelah 120m hanya tinggal 7%
dari kekuatan angin semula. Pada pepohonan yang jarang , misalnya pada hutan palem di
daerah tepi pantai dan di daerah savana, terjadi pengurangan kekuatan angin tetapi arah angin
tetap. Sebaliknya penebangan di tengah hutan yang akan mengakibatkan perputaran gerakan
udara.
Pada sebuah land sekap bebas yang datar yang tidak terlalu berpengaruh padda angin, angin
berhembus dengan arah yang berubah-ubah. Pengunungan, kota, lembah dapat mengubah
arah angin 1805 dan mengurangi kecepatannya. Penelitian di kota-kota besar menunjukkan
bahwa kecepatan angin di permukaan jalan rata-rata hanya sepertiga dari pada land sekap
terbuka. Bangunan tinggi memiliki pengedaraan yang lebih baik pada bagian sebelah atas,
karenan disini intensitas gerakan udara lebih besar daripada lantai.
Di belakang bangunan tinggi berbentuk angin putar dan arus udara yang berlawanan arah
yang dapat menghasilkan pengudaraan bagi bangunan rendah yang terletak di belakangnya.
Deretan rumah yang tertutup dan sejajar memerlukan jarak kira-kira tujuh kali tingginya.
Hanya dengan jarak ini kecepatan angin akan kembali seperti semula dan akan kembali ke
permukaan. Gerakan udara merupakan faktor perencanaan yang penting karena sangat
mempengaruhi kondisi iklim, baik untuk setiap rumah maupun seluruh kota. Gerakan udara
menimbulkan pelepasan panas dari permukaan kulit oleh penguapan. Semakin besar
kecepatan udara, semakin besar panas yang hilang. Tetapi ini hanya terjadi selama temperatur
udara lebih rendah daripada temperatur kulit. Jika tidak begitu maka akan terjadi
kebalikannya, yaitu pemanasan tubuh, karena efek pendinginan tidak mencukupi.
Jadi arah angin sangat menentukan orientasi bangunan. Jika di daerah lembab diperlukan
sirkulasi udara yang terus menerus, di daerah kering orang cenderung membiarkan sirkulasi
udara hanya pada waktu dingin atau malam hari. Karena itu di daerah tropika basah, dindingdinding luar sebuah bangunan terbuka untuk sirkulasi udara lebih besar daripda yang
dibutuhkan untuk pencahayaan. Sedangkan di daerah kering, lobang cahaya biasanya dibuat
lebih kecil daripada yang diperlukan. Data-data pengukuran lokasi bangunan yang di
rencanakan harus diikutsertakan dalam studi sebagai kontrol terhadap data-data meteorologi
umum. Karena dengan mengamati arah dan kecepatan angin serta faktor-faktor yang dapat
mengubahnya, kondisi iklim interior dapat diperbaiki.
4

B. Sirkulasi Udara pada Rumah Tradisional Kudus


Seperti halnya bangunan-bangunan tradional di Indonesia, rumah tradisional kudus juga
memiliki karakteristik yang hampir sama, salah satu yang paling mencolok adalah bentuk
denah memanjang dimana arah memanjang menghadap utara dan selatan, sebagai jalan
masuk udara. Bentuk bangunan tipis, hal ini untuk menjamin sirkulasi udara silang/cross
ventilation yaitu posisi lubang ventilasi yang berhadapan. Lebar bukaan sekitar 20 % luasan
dinding yang digunakan sebagai ventilasi dan pencahayaan (didominasi oleh ventilasi).

Gambar 3. Denah dan Tampak Rumah Joglo Kudus, Sumber: Jurnal RESPON RUMAH
TRADISIONAL KUDUS TEHADAP IKLIM TROPIS, oleh Agung Budi Sardjono.

Dalam komposisi bangunan, rumah tradisional kudus ini bukan merupakan bangunan tunggal
tetapi kesatuan dari beberapa bangunan. Pola tata bangunan terdiri dari bangunan utama atau
dalem, jogosatru di depan serta pawon disamping. Halaman terletak di tengah tapak,
diseberang halaman terdapat kamar mandi serta sisir. Regol terletak di samping halaman.
Dalem selalu menghadap ke selatan, demikian juga dengan pawon.
Pola bangunan yang berderet membentuk lorong pada kelompok bangunan memberikan
keuntungan dari segi pergerakan udara, karena aliran udara mendapat saluran sehingga
5

Gambar 4. Aksonometri Rumah Joglo Kudus, Sumber: Jurnal RESPON RUMAH TRADISIONAL
KUDUS TEHADAP IKLIM TROPIS, oleh Agung Budi Sardjono.

mengalir lebih cepat diantara dalem dan sisir. Namun aliran ini menyamping terhadap dalem
sehingga tidak dapat menikmati aliran secara maksimal. Pada tata ruang rumah kudus, aliran
udara paling banyak terdapat pada jogosatru, karena berhubungan langsung dengan halaman
serta banyaknya bukaan. Pawon dengan pintu depan kurang memberikan kesempatan udara
mengalir.

Gambar 5. Pola Pergerakan Udara Pada Kelompok Rumah Joglo, Sumber: Jurnal
RESPON RUMAH TRADISIONAL KUDUS TEHADAP IKLIM TROPIS, oleh Agung
Budi Sardjono.

Penutup atap menggunakan genting tembikar. Sambungan genting memberikan ruang untuk
udara mengalir masuk ke dalam bangunan dan ke luar pada sisi yang lain, menggantikan
panas di bawah atap.
C. Sirkulasi Udara pada Rumah Tradisional Ibeiya
Berbeda

dengan

pembahasan

sebelumnya

yang

menganalisis

tentang

bagaimana

memasukkan udara ke dalam bangunan, pada bahasan kali ini yaitu rumah tradisional ibeiya
adalah kebalikannya, yaitu bagaimana menghalangi sirkulasi udara masuk ke dalam
bangunan.
Kondisi dingin yang disebabkan oleh posisi
kampung

yang

tinggi

menyebabkan

penghuni menghindari aliran angin masuk


ke dalam rumahnya. Dalam desain rumah
ibeiya bisa di lihat bahwa terdapat kearifan
dalam

mengatasi

suhu

dingin

oleh

masyarakatnya. Konsekuensi menghindari


pergerakan
Gambar 6. Posisi Rumah Ibeiya, Sumber: Jurnal
KEARIFAN LOKAL IBEIYA DAN KONSERVASI
ARSITEKTUR VERNAKULAR PAPUA BARAT Oleh
Erni Setyowati, dkk.

udara

adalah

peningkatan

kelembaban

rumah.

Mangunwijaya

mengungkapkan

menimbulkan
udara

bahwa

dalam
(1988)
untuk

meminimalisir kelembaban yang bersifat

merusak, kita harus selalu mengusahakan pengaliran hawa udara yang mudah menembus
rumah. Ventilasi diperoleh dengan memanfaatkan perbedaan bagian-bagian ruangan yang
berbeda suhunya, dan karena itu berbeda tekanan udaranya. Oleh sebab itu, walaupun
pergerakan udara dapat membawa angin dingin,
pergerakan udara tetap dibutuhkan di dalam ibeiya
agar penghuni dapat merasa lebih nyaman.
Dengan arif, masyarakat tetap mengusahakan adanya
pergerakan dalam rumah. Tetapi pergerakan udara di
atur hanya berada pada garis utama rumah yaitu dari
pintu depan ke pintu belakang atau sebaliknya. Denah
ruang dibagi menjadi dua area yaitu kiri dan kanan
Gambar 7. Pola pergerakan Udara Rumah Ibeiya,
Sumber: Jurnal KEARIFAN LOKAL IBEIYA
DAN KONSERVASI ARSITEKTUR VERNAKULAR
PAPUA BARAT Oleh Erni Setyowati, dkk.

dengan pintu depan dan belakang sebagai pembagi.


7

Nampak pada ilustrasi gambar di bawah, denah demikian menyebabkan aliran angin apabila
masuk melalui pintu akan lurus sejajar hingga akhirnya keluar melalui pintu lainnya. Dengan
demikian, ruangan sisi kiri dan kanan rumah tidak terkena banyak aliran angin dingin.
Masyarakat Kampung Demaisi tidak mendesain jendela di dalam ibeiya, karena jendela
mampu menambah masuknya angin dingin dari luar rumah. Alasan tidak adanya jendela, juga
karena oleh masyarakat setempat untuk menghindari mudahnya suanggi masuk rumah.
Suanggi adalah pembunuh bayaran yang ditakuti warga, dimana suanggi bekerja dengan
menggunakan kekuatan gaib.
Terdapat celah kotak yang sangat kecil yang
dapat dibuka tutup dari dalam rumah berukuran
10 cm X 15 cm, dua buah di depan dan dua buah
di belakang. Dimana fungsi kotak kecil ini
bukan

untuk

mengalirkan

udara

atau

memasukkan cahaya seperti fungsi jendela pada


umumnya melainkan sebagai sarana untuk
mengintip keadaan luar apakah ada bahaya atau
ancaman dari luar.

Gambar 8. Bukaan Pada Rumah Ibeiya, Sumber: Jurnal


KEARIFAN LOKAL IBEIYA DAN KONSERVASI
ARSITEKTUR VERNAKULAR PAPUA BARAT Oleh Erni
Setyowati, dkk.

4. KESIMPULAN
Dari dua pembahasan di atas dapat diketahui bahwa arsitektur vernakular di Indonesia
memiliki kearifan pada desainnya, dalam hal ini yang dibahas adalah konsep sirkulasi udara
sebagai kearifan lokal. Walaupun

konsep sirkulasi dari kedua contoh di atas bertolak

belakang, tetapi keduanya sama-sama memberikan contoh tentang bagaimana mengatur


sirkulasi udara pada bangunan ditinjau dari kondisi alam sekitar. Rumah Kudus mengatur
bagaimana memasukkan udara kedalam rumah dengan cara megkondisikan orientasi dan
komposisi bangunan secara berkelompok, sedangkan Rumah Ibeiya bagaimana menghalangi
masuknya udara ke dalam rumah (lokasi rumah berada pada daerah pegunungan yang
dingin). Selain itu ada perbedaan lain antara keduanya yaitu, pengaturan sirkulasi pada rumah
kudus tidak hanya ditinjau pada bangunan secara individu, tetapai juga pada bangunan secara
kelompok, sedangkan pada rumah ibeiya pengkondisian sirkulasinya hanya ditinjau pada
rumah secara individu.
8

DAFTAR PUSTAKA

Sardjono, Agung Budi. RESPON RUMAH TRADISIONAL KUDUS TEHADAP


IKLIM TROPIS. Modul Vol. 11 No. 1 Januari 2011. 1 Maret 2016.

http://ejournal.undip.ac.id/index.php/modul/article/view/1447/1214.
Setyowati, Erni. dkk. KEARIFAN LOKAL IBEIYA DAN KONSERVASI
ARSITEKTUR VERNAKULAR PAPUA BARAT. Indonesian Journal Conservation
Vol.

No.

Hal

16-25

Juni

2014.

Maret

2016.

http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/ijc/article/view/3085/3096.
Lipsmeier, Georg. 1994. Bangunan Tropis. Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai