Anda di halaman 1dari 72

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Arsitektur tradisional atau bangunan adat adalah salah satu aset


nasional yang sangat besar artinya dan perlu dilestarikan, di samping dapat
memberi wawasan  yang lebih luas kepada para perencana dalam
melakukan perancangan dan pembangunan, khususnya yang berkaitan
dengan ciri khas daerah tertentu (aliran vernakular). Seiring dengan
perkembangan zaman, arsitektur pun ikut semakin berkembang pesat. Hal ini
tidak lain disebabkan oleh perkembangan kehidupan manusia. Semakin
peradaban manusia berkembang, maka semakin menuntut perkembangan
dunia arsitektur agar dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia.

Oleh karena itu, demi memenuhi kebutuhan hidup manusia, arsitektur


harus berkembang sesuai dengan jaman dan lokasi keberadaannya. Karena,
pada lokasi yang berbeda, meiliki tingkat peradaban dan kebudayaan yang
berbeda pula. Hal ini sangatlah mempengaruhi perkembangan arsitektur.
Setiap wilayah di dunia, memiliki ciri khas masing-masing, termasuk pula
wilayah Sulawesi.

Untuk mengetahui seberapa jauh perkembangan arsitektur tradisional


suatu daerah di Indonesia maka perlu adanya pembahasan tentang arsitektur
tradisional masa ini. Terkait tentang bahasan ini daerah yang akan digunakan
di dalam bahasan adalah rumah tradisonal dari 6 provinsi di pulau Sulawesi.
Pembahasan ini akan membahas tentang gaya arsitekturnya mulai dari latar
belakang atau filosofi, struktur dan konstruksi, bentuk dan peruangan,
ornament serta ciri khas atau tipologi bangunan tradisional masing-masing
daerah.

Arsitektur Tradisional Sulawesi


1
1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa


permasalahan yaitu:
1. Bagaimana filosofi atau makna dari rumah tradisional daerah Sulawesi?
2. Bagaimana struktur dan konstruksi dari rumah tradisional Sulawesi?
3. Bagaimana bentuk dan peruangan dalam rumah tradisional Sulawesi?
4. Apa saja ornamen dan ciri khas dari rumah tradisional Sulawesi?

1.3 TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan penulisan dari makalah Arsitektur Tradisional Sulawesi


ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana filosofi atau makna dari rumah tradisional
daerah Sulawesi
2. Untuk mengetahui struktur dan konstruksi dari rumah tradisional
Sulawesi
3. Untuk mengetahui bentuk dan peruangan dalam rumah tradisional
Sulawesi
4. Untuk mengetahui ornamen dan ciri khas dari rumah tradisional Sulawesi

1.4 MANFAAT PENULISAN

Adapun manfaat dalam penulisan makalah Arsitektur Indonesia ini


adalah:
1. Dapat mengenal dan mengetahui arsitektur tradisional atau rumah
adat dari tiap-tiap daerah di pulau Sulawesi.

Arsitektur Tradisional Sulawesi


2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 ARSITEKTUR TRADISIONAL SULAWESI SELATAN

a) Latar Belakang dan Filosofi

Tana Toraja memiliki banyak tujuan wisata yang sangat menarik


bagi para pelancong. Bukan hanya karena letak daerahnya yang jauh
dari keramaian sehingga terasa tenang dan menenangkan, Tana Toraja
juga bisa menjadi ikon wisata Sulawesi Selatan karena wisata budaya
dan peninggalan arsitektur nenek moyang mereka yang berupa rumah
adat Tongkonan.

Gambar 2.1.1 Rumah Tongkonan, Sulawesi Selatan

Rumah adat Tongkonan adalah rumah adat Sulawesi Selatan yang


mempunyai bentuk unik menyerupai wujud perahu dari kerajaan Cina
pada jaman dahulu. Rumah adat tongkonan juga kerap kali disebut-
sebut mirip dengan rumah gadang dari daerah Sumatera Barat.

Arsitektur Tradisional Sulawesi


3
Tongkonan berasal dari kata “tongkon” yang berarti duduk. Rumah
tongkonan sendiri difungsikan sebagai pusat pemerintahan (to ma’
parenta), kekuasaan, dan strata sosial pada elemen masyarakat toraja.
Rumah adat Tongkonan tidak bisa dimiliki secara pribadi/perorangan
karena rumah ini adalah warisan nenek moyang dari setiap anggota
keluarga atau keturunan mereka.

b) Struktur dan Konstruksi

Struktur Bangunan Rumah Adat Tongkonan Struktur bangunan


mengikuti struktur makro-kosmos yang memiliki tiga lapisan
banua(rumah) yakni bagian atas (rattiangbanua), bagian tengah (kale
banua) dan bawah (sulluk banua).

Gambar 2.1.2 Struktur dan Konstruksi Rumah Tongkonan

 Bagian atas (rattiangbanua) digunakan sebagai tempat menyimpan


benda-benda pusaka yang mempunyai nilai sakral dan benda-benda
yang dianggap berharga. Pada bagian atap rumah terbuat dari
susunan bambu-bambu pilihan yang telah dibentuk sedemikian rupa

Arsitektur Tradisional Sulawesi


4
kemudian disusun dan diikat oleh rotan dan ijuk. Atap bambu ini dapat
bertahan hingga ratusan tahun.

 Bagian tengah (kale banua) rumah tongkonan memiliki 3 bagian


dengan fungsi yang berbeda. Pertama, Tengalok di bagian utara
difungsikan sebagai ruang untuk anak-anak tidur dan ruang tamu.
Namun terkadang, ruangan ini digunakan untuk menaruh sesaji.
Kedua, Sali dibagian tengah. Ruangan ini biasa difungsikan sebagai
tempat pertemuan keluarga, ruang makan, dapur dan tempat
disemayamkannya orang mati. Dan ruangan terakhir adalah ruang
sambung yang banyak digunakan oleh kepala keluarga .

Gambar 2.1.3 Struktur Rumah Tongkonan

 Bagian bawah (sulluk banua) digunakan sebagai tempat hewan


peliharaan dan tempat menaruh alat-alat pertanian. Fondasinya
terbuat dari batu pilihan yang dipahat berbentuk persegi.

Arsitektur Tradisional Sulawesi


5
1. Pondasi
Pada umumnya sistem
struktur yang dipakai untuk
bangunan Tongkonan adalah
sistem konstruksi pasak
(knock down). Yaitu teknik
konstruksi yang menggunakan
sistem sambungan tanpa paku
dan alat penyambung selain
kayu. Bahan pondasi sendiri
terbuat dari batu gunung

2. Kolom / Tiang A’riri

Terbuat dari kayu uru,bentuk


kolom persegi empat. Selain
itu, digunakan juga kayu
nibung agar tikus tidak dapat
naik ke atas, karena serat dari
kayu ini sangat keras dan
sapat sehingga terlihat licin.
Kolom disisi barat dan timur
jaraknya rapat dan berjumlah banyak, agar kuat menampung orang-
orang yang datang saat upacara kematian.

3. Balok

Seperti sloof, yaitu sebagai pengikat antara kolom-


kolom sehingga tidak terjadi pergeseran tiang
dengan pondasi. Hubungan balok dengan kolom
disambung dengan pasak yang terbuat dari kayu uru.

Arsitektur Tradisional Sulawesi


6
4. Lantai

Terbuat dari bahan papan


kayu uru yang disusun di
atas pembalokan lantai.
Disusun pada arah
memanjang sejajar balok
utama. Sedangkan untuk
alang terbuat dari kayu
banga.

5. Dinding

Dinding disusun
satu sama lain
dengan
sambungan pada
sisi-sisi papan
dengan pengikat
utama yang
dinamakan Sambo
Rinding. Fungsinya
sebagai rangka dinding yang memikul beban. Pada dinding dalam ,
tidak terdapat ornamen-ornamen, hanya dibuat pada bagian luar
bangunan.

6. Tangga

Tangga Rumah Tongkonan


terletak dibagian samping rumah,
menuju pada pintu masuk atau
terletak di bagian tengah rumah
menuju langsung ruang tengah

Arsitektur Tradisional Sulawesi


7
atau Sali. Tangga menggunakan kayu uru, yaitu sejenis kayu lokal
yang berasal dari Sulawesi.
7. Pintu

Pintu rumah Tongkonan nampak dihiasi


dengan beberapa motif ukiran. Salah satu
motif pada gambar pintu rumah tersebut
adalah motif Pa’ Tedong. Ukiran yang
melambangkan kemakmuran. Sebagai
pegangan, di pintu ditempatkan ekor kerbau
yang dipotong hingga pangkal ekor dan
telah dikeringkan. Memasuki rumah adat ini mempunyai cara tertentu
yaitu pintu masuk harus diketuk dengan membenturkan kepala
perlahan lahan.

8. Jendela

Jendela pada rumah


Tongkonan umumnya
terdapat 8 buah.
Masing-masing di
setiap arah mata angin
terdapat 2 jendela.
Fungsinya adalah
sebagai tempat
masuknya aliran angin
dan cahaya matahari
dari berbagai arah mata
angin.

Arsitektur Tradisional Sulawesi


8
9. Atap

Atapnya melengkung menyerupai


perahu (merupakan pengaruh
budaya Cina) terdiri atas susunan
bambu (saat ini sebagian
tongkonan menggunakan atap
seng) dan diatasnya dilapisi ijuk
hitam. Terbuat dari bambu pilihan
yang disusun tumpang tindih
dengan dikait oleh beberapa reng
bambu dan diikat oleh rotan/tali
bambu.

c) Bentuk dan Peruangan

Gambar 2.1.4 Denah Rumah Tongkonan

Rumah tongkonan mempunyai 3 bagian yang dengannya fungsi yang


berbeda yaitu :

1) Tengalok/ tandok di bagian utara digunakan menjdai ruang bagi atau


bisa juga dikatakan untuk anak-anak tidur serta ruang tamu. Akan

Arsitektur Tradisional Sulawesi


9
tetapi terkadang, ruangan ini dipakai bagi atau bisa juga dikatakan
untuk menaruh sesaji.
2) Sali dibagian tengah. Ruangan ini biasa digunakan menjdai tempat
pertemuan keluarga, ruang makan, dapur serta tempat
disemayamkannya orang mati.

3) Ruang sumbu yang tidak sedikit dipakai oleh kepala keluarga .

Rumah tongkonan memiliki 3 lapisan


berbentuk segi empat yang bermakna
empat peristiwa hidup pada manusia
yaitu, kelahiran, kehidupan, pemujaan
dan kematian. Segi empat ini juga
merupakan simbol dari empat penjuru
mata angin. Setiap rumah tongkonan
harus menghadap ke utara untuk
melambangkan awal kehidupan,
sedangkan pada bagian belakang yaitu
selatan melambangkan akhir dari
kehidupan.

d) Ornamen

Ornamen rumah tongkonan berupa tanduk kerbau serta empat


warna dasar yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih yang mewakili
kepercayaan asli Toraja (Aluk To Dolo). Tiap warna yang digunakan
melambangkan hal-hal yang berbeda. Warna hitam melambangkan
kematian dan kegelapan. Kuning adalah simbol anugerah dan
kekuasaan ilahi. Merah adalah warna darah yang melambangkan
kehidupan manusia. Dan, putih adalah warna daging dan tulang yang
artinya suci.

Arsitektur Tradisional Sulawesi


10
1. Ornamen Tanduk Kerbau

Ornamen tanduk
kerbau di depan
tongkonan
melambangkan
kemampuan
ekonomi sang
pemilik rumah saat
upacara penguburan anggota keluarganya. Setiap upacara adat di
Toraja seperti pemakaman akan mengorbankan kerbau dalam jumlah
yang banyak. Tanduk kerbau kemudian dipasang pada tongkonan
milik keluarga bersangkutan. Semakin banyak tanduk yang terpasang
di depan tongkonan maka semakin tinggi pula status sosial keluarga
pemilik rumah tongkonan tersebut.

2. Ukiran Dinding

Ukiran berwarna
pada dinding rumah
tongkonan terbuat
dari tanah liat.
Ukiran-ukiran
tersebut selalu
menggunakan 4
warna dasar yaitu hitam, merah, kuning dan putih. Bagi masyarakat
toraja, 4 warna itu memiliki arti dan makna tersendiri. Warna kuning
melambangkan anugrah dan kekuasaan Tuhan (Puang Matua), warna
hitam melambangkan kematian/duka, warna putih melambangkan
tulang yang berarti kesucian dan warna merah melambangkan
kehidupan manusia.

Arsitektur Tradisional Sulawesi


11
e) Ciri Khas

Ciri khas yang terdapat pada rumah tongkonan suku toraja yaitu
merupakan rumah adat yang berbentuk rumah panggung dan berjejer
serta bangunan nya mengarah kearah utara karena meyakini sebuah
pepatah leluhur yaitu, rumah tongkonan harus menghadap ke utara
untuk melambangkan awal kehidupan, sedangkan pada bagian belakang
yaitu selatan melambangkan akhir dari kehidupan.

Gambar 2.1.5 Rumah Tongkonan

Rumah tongkonan juga memiliki ciri khas yang terdapat pada


bagian atapnya yang berbentuk kepala kerbau dan sebuah tanduk jika
dilihat dari samping, dan jika dilihat dari arah depan maka akan terlihat
seperti bentuk perahu. Ada anggapan, bahwa leluhur orang Toraja
datang menggunakan perahu dari negeri Cina. Ada pula asumsi, bahwa
atap rumah Tongkonan dibuat menyerupai tanduk kerbau, dikarenakan
kerbau merupakan simbol pokok dari harta benda bagi masyarakat
Toraja. Nuansa unik dari rumah Tongkonan yang luar biasa sekaligus

Arsitektur Tradisional Sulawesi


12
sarat makna, jika diperhatikan tumbuhan hijau merajalela ada di atas
atapnya menjadikan rumah Tongkonan tampak sangat sakral.

2.2 ARSITEKTUR TRADISIONAL SULAWESI UTARA

a) Latar Belakang dan Filosofi

Kota Manado secara hukum adat merupakan wilayah dari Tanah


Minahasa, dimana masyarakatnya sebagian besar berasal dari Suku
Minahasa yakni Sub Suku Tombulu, Tonsea, Tontemboan atau
Tompakewa, Toulour, Tonsawang, Pasan atau Ratahan, Ponosakan,
dan Bantik. Ada juga masyarakat pendatang dari luar negeri, seperti
Bangsa Cina yang telah kawin mawin dengan orang Manado-Minahasa
dan keturunannya disebut Cina Manado, Bangsa Portugis dan Spanyol
yang keturunannya disebut Orang Borgo Manado, Bangsa Belanda yang
keturunannya disebut Endo Manado serta Bangsa Arab, Jepang, dan
India dimana perkawinan mereka bersifat endogam.

Gambar 2.2.1 Rumah Walewangko, Sulawesi Utara

Arsitektur Tradisional Sulawesi


13
Pola perkampungan dari tiap-tiap kelurahan di wilayah Kota
Manado pada umumnya terletak diatas tanah dataran, baik dataran
tinggi maupun dataran rendah secara berkelompok padat. Kelurahan
yang satu dengan kelurahan yang lainnya sambung-menyambung
menjadi satu kesatuan mengikuti jalan raya maupun memanjang
mengikuti jalan-jalan kecil dan juga lorong-lorong.

Rumah Adat Sulawesi Utara Adapun bila kita berbicara mengenai


ikon budaya Provinsi Sulawesi Utara, maka yang paling sering diangkat
di kancah nasional adalah budaya suku Minahasa. Termasuk dalam hal
ini adalah ketika kita berbicara tentang rumah adat Sulawesi Utara.
Desain bangunan yang telah ditetapkan secara resmi menjadi desain
rumah adat Sulawesi Utara adalah desain rumah Walewangko. Desain
ini adalah desain rumah adat bagi penduduk Minahasa. Walewangko
atau juga bisa disebut rumah Pewaris memiliki beberapa keunikan dan
ciri khas tersendiri baik dari segei arsitektur, maupun struktur
bangunannya.

Yang pertama kali mempoluperkan rumah panggung Minahasa


yang memakai sistem bongkar pasang (knock down system) adalah
Paulus Tiow, warga Woloan, tahun 1942 silam. Ide membuat rumah ini
terurai setelah rumah adat Minahasa miliknya dibeli oleh seorang
serdadu Jepang.  Sejak saat itu Paulus mulai memproduksi rumah adat
Minahasa untuk dijual. Jejak Paulus kemudian diikuti oleh Beting Motulo.

Pemasaran rumah adat ini berkembang antara tahun 1960 sampai


dengan 1980, tapi masih sebatas daerah Minahasa saja. Baru setelah di
Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta berdiri rumah adat Minahasa pada
tahun 1980an, pesanan dari beberapa orang dari pulau Jawa dan luar
negeri mulai berdatangan.

Arsitektur Tradisional Sulawesi


14
Filosofi

Rumah adat
tradisional Minahasa
yang dikenal dengan
sebutan Wale atau
Bale, yang artinya
tempat melakukan
aktivitas dalam
kehidupan berkeluarga.

Berlandaskan filosofi masyarakat Minahasa, Rumah Panggung


Manado atau Rumah Minahasa yang berasal dari Desa Woloan, memiliki
dua tangga di serambi depan. Tangga di kiri dan kanan bagian depan
rumah itu berperan khusus saat terjadi pinangan secara adat. Pihak
lelaki yang hendak meminang si gadis yang tinggal di rumah itu, harus
masuk ke rumah dengan menaiki tangga yang kiri. Jika kita melihat
keluarga si lelaki keluar dari rumah dengan menuruni tangga yang
kanan, itu artinya pinangan mereka diterima oleh tuan rumah.
Sebaliknya, jika mereka turun melewati tangga yang kiri, yang mereka
pakai untuk naik ke rumah panggung itu, artinya pinangan mereka
ditolak pihak tuan rumah.

b) Struktur dan Konstruksi

1. Pondasi
Seperti yang terdapat pada rumah panggung di Indonesia umumnya,
bagian pondasi(kolong) bangunan tetap menggunakan material batu,

Arsitektur Tradisional Sulawesi


15
beton maupun kayu/kayukelapa itu sendiri dengan dimensi yang
tergantung volume bangunan yangdipikulnya. Takikan pada pondasi
beton bisa diganti dengan ikatan tulangan beton tersebut.

2. Lantai
Lantai bangunan tersusun dari konstruksi balok lantai kayu, yang
lantainya terbuat dari papan lebar kayu cempaka.

3. Kolom
- Material dari kayu keras (kayu besi,kayu ebony)
- Hubungan tiang dan balok dikancing antara 2 ruas kayu dengan
pasak dan  pen.
- Terdapat 16-18 tiang penyanggah.
- Tinggi tiang 1.5 m-2,5 m.
- Ukuran 80-200 cm
- Fungsi kolong sebagai tempat menyimpan hasil panen dan
binatang peliharaan yaitu kuda.

Tiang (thn 1845-1945)


- Tiang penyanggah berukuran lebih kecil dan lebih pendek, yaitu
sebesar 30/30 cm atau 40/40 cm.
- Tinggi 1,5-2,5 meter

4. Tangga. Tangga pada bangunan ini ada 2 yaitu  bagian serambi dan
servis area. Pada serambi ada 2 tangga arah masuk (kanan-kiri).
Menurut kepercayaan nenek moyang Minahasa peletakan tangga
tersebut dimaksudkan apabila ada roh jahat yang mencoba untuk naik
dari salah satu tangga maka roh jahat tersebut akan kembali turun di
tangga yang sebelahnya.
- Tangga terbuat dari kayu yang sama dengan lantainya.
- Pada anak tangga strukturnya terbuat dari kayu keras.
- Setiap anak tangga mengartikan tingkatan jumlah harta untuk
mempelai wanita.

Arsitektur Tradisional Sulawesi


16
5. Dinding. Material dinding dari papan atau anyaman bambu.
Sedangkan material dinding penyekat dari kayu lunak (kayu
cempaka,kayu merah). Mengunakan system sambungan pen.
6. Pintu.
- Tinggi pintu sekitar 1 m
- Melambangkan penghormatan pada tuan rumah
- Material terbuat dari kayu keras

7. Jendela.
- Kontruksi jendela 2 sayap
- Letaknya banyak diarea kanan maupun kiri
- Material jendela dari kaca nako atau jalusi

Gambar 2.2.2 Rumah Walewangko, Sulawesi Utara

8. Atap.
- Rangka atapnya adalah gabungan bentuk pelana dan limas.
- Atapnya berupa konstruksi kayu/ bambu batangan yang diikat
dengan tali ijuk pada usuk dari bambu.

Rumah dengan material penutup atap rumbia (bahan ijuk)

Arsitektur Tradisional Sulawesi


17
Sesuai penuturan penghuni rumah, umur atap rumbia adalah 10-15
tahun, dan saat ini material atap rumbia sulit diperoleh dan
kualitasnya menurun karena masa pakainya hanya 1-3 tahun.
c) Bentuk dan Peruangan

Gambar 2.2.3 Tampak Depan Rumah Walewangko

Nama lain dari Walewangko adalah Rumah Pewaris. Rumah adat


yang satu ini memiliki tampilan fisik yang apik. Ia secara umum
digolongkan sebagai rumah panggung. Tiang penopangnya dibuat dari
kayu yang kokoh. Dua di antara tiang penyanggah rumah ini, konon
kabarnya, tak boleh disambung dengan apapun. Bagian kolong rumah
pewaris ini lazim dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan hasil panen
atau godong. 

Gambar 2.2.4 Denah Rumah Walewangko, Sulawesi Utara

Arsitektur Tradisional Sulawesi


18
Seperti rumah adat lainnya, rumah adat Sulawesi Utara ini dibagi
juga ke dalam beberapa bagian utama antara lain: 

1. Bagian depan yang dikenal juga dengan istilah lesar. Bagian ini tidak
dilengkapi dengan didnding sehingga mirip dengan beranda. Lesar ini
biasanya digunakan sebagai tempat para tetau adat juga kepala suku
yang hendak memberikan maklumat kepada rakyat.

2. Bagian selanjutnya adalah Sekey atau serambi bagian depan.


Berbeda dengan Lesar, si Sekey ini dilengkapi dengan dinding dan
letaknya persis setelah pintu masuk. Ruangan ini sendiri difungsikan
sebagai tempat untuk menerima tetamu serta ruang untuk
menyelenggarakan upacara adat dan jejamuan untuk undangan.

3. Bagian selanjutnya disebut dengan nama Pores. Ia merupakan


tempat untuk menerima tamu yang masih memiliki hubungan
kekerabatan dengan pemilik rumah. Terkadang ruangan ini juga
digunakan sebagai tempat untuk menjamu tamu wanita dan juga tempat
anggota keluarga melakukan aktifitas sehari-harinya. Pores ini umumnya
bersambung langsung dengan dapur, tempat tidur dan juga makan.

d) Ornamen

Aplikasi ornamen dan ragam hias yang relatif kurang, menyiratkan


karakteristik orang Minahasa yang bersahaja dan cenderung lebih fokus
pada persoalan- persoalan yang praktis dalam kehidupannya.

- Dominasi corak ragam hias yang bersumber dari bentuk-bentuk


alamiah (flora dan fauna) juga menunjukkan tingginya apresiasi
masyarakat Minahasa terhadap lingkungan fisik alamiahnya yang
dipandang sebagai berkah terindah dari sang Opo Empung.

Arsitektur Tradisional Sulawesi


19
- Adapan corak ornamentasi dan dekorasi geometris yang belakangan
mentradisi, pada dasarnya menunjukkan tingkat akseptansi
masyarakat Minahasa yang tinggi terhadap introduksi rona kultural
yang baru dari komunitas masyarakat / bangsa lain yang berstatus
pendatang, sepanjang kultur yang dibawa dipandang positif. Hal ini
juga menyiratkan tingginya dinamika kultur masyarakat Minahasa.

- Ornamen hiasan banyak yang menggunakan warna merah


mengartikan keberanian.

- Ornamen ada yang berbentuk naga di samping kanan dan kiri


rumah,mengartikan arti tak gentar tidak takut.

- Ornamen Naga berasal dari negara Cina begitu pun warana merah
yang identik dengan Cina.

e) Ciri Khas

Keunikan rumah pewaris ini terletak dari arsitektur depan rumah.


Perhatikan saja susunan tangga yang berjumlah dua dan terletak di bagian
kiri dan kanan rumah. Konon kabarnya, dua buah tangga ini berkaitan erat
dengan kepercayaan suku Minahasa dalam mengusir roh jahat. Apabila roh
tersebut naik melalui tangga yang satu maka serta merta ia akan turun lagi
melalui tangga lainnya. 

Uniknya juga, rumah warga di Minahasa tak beratapkan genteng. Karena


folosofi yang dianut adalah tak baik jika hidup di bawah tanah (genteng
terbuat dari tanah). Rata-rata rumah mereka beratapkan seng, daun, atau
elemen besi lainnya. Mereka beranggapan hanya orang meninggal saja yang
bertempat tinggal di bawah tanah. Sekali pun ada yang beratapkan genteng,
umumnya rumah tersebut milik kaum pendatang. Meskipun demikian, banyak

Arsitektur Tradisional Sulawesi


20
juga rumah orang Minahasa yang beratapkan seng namun didesain seperti
genteng.

2.3 ARSITEKTUR TRADISIONAL SULAWESI TENGAH

a) Latar Belakang dan Filosofi

Banua oge atau Sou raja adalah rumah adat kota Palu. Dulu Sou
raja ini berfungsi sebagai tempat tinggal para raja dan keluarga dan juga
sebagai pusat pemerintahan kerajaan. Pembangunan Sou Raja ini atas
prakarsa Raja Yodjokodi pada sekitar abat 19 masehi.

Selama masa pendudukan bala tentara jepang di kota palu (1942-


1945)bangunan Sou Raja diambil alih dan dijadikan bsebagai kantor
pemerintahan pada saat itu. Kemudia pada tahun 1958, bangunan Sou
Raja digunakan oleh Tentara Nasional Indonesia sebagai markas militer
dalam oprasi penumpasan pemberontakan PERMESTA di Sulawesi
Tengah.

Arsitektur Tradisional Sulawesi


21
Gambar 2.3.1 Rumah Adat Souraja, Sulawesi Tengah

b) Struktur dan Kontruksi

Bangunan Banua Oge atau Sou Raja adalah bangunan panggung


yang memakai konstruksi dari kayu dan dengan paduan arsitektur bugis
dan kaili. Luas keseluruhan Banua Oge atau Sou Raja adalah 32x11,5
meter. Tiang pada bangunan induk berjumlah 28 buah dan bagian dapur
8 buah. Atapnya berbentuk piramide segitiga, bagian depan dan
belakang atapnya ditutup dengan papan yang dihiasi dengan ukiran
disebut panapiri dan pada ujung bubungan bagian depan dan belakang
diletakkan mahkota berukir disebut bangko-bangko.

Bangunan Induk sendiri berukuran 11,5 x 24,30 meter, terbagi atas 4


bagian

Gambar 2.3.2 Denah Rumah Adat Souraja, Sulawesi Tengah

Arsitektur Tradisional Sulawesi


22
Gambar 2.3.3 Konstruksi Rumah Adat Souraja

Catatan :
Pembagian struktur banua mbaso secara vertikal dan pembagian zona
material dinding secara horizontal panjang 32m  dan lebar 11,5m. 

1. Struktur Bawah (Sub Structure) 

Arsitektur Tradisional Sulawesi


23
Catatan : 
Jumlah anak tangga 9 buah
Jumlah tiang rumah induk 28 buah
Jumlah tiang rumah dapur 8 buah

2. Struktur Tengah (Mid Structure)

Jumlah tiang kolom untuk rumah induk dan gandaria yaitu 28 buah

Arsitektur Tradisional Sulawesi


24
3. Struktur Atap (Up Structure)

Jumlah kuda-kuda 11 buah

c) Bentuk dan Peruangan

Gambar 2.3.4 Denah Rumah Adat Souraja, Sulawesi Tengah

Arsitektur Tradisional Sulawesi


25
Gambar 2.3.5 Potongan Rumah Adat Souraja, Sulawesi Tengah

Gambar 2.3.6 Potongan Rumah Adat Souraja, Sulawesi Tengah

Arsitektur Tradisional Sulawesi


26
Gambar 2.3.7 Potongan Rumah Adat Souraja, Sulawesi Tengah

Bagian Tengah

1. Pintu Masuk/Keluar (3 buah)


Pada ruang ini terdapat 3 arah
pintu masuk/keluar, pintu yang
terdapat pada sebelah kanan dan
tengah bangunan difungsikan
sebagai penghubung menuju
ruang tamu dan pintu yang
terdapat pada sebelah kiri
bangunan difungsikan sebagai
penghubung menuju
kamar magau (raja).

2. Pintu Kamar (3 buah)


Ruang ini memiliki 3 buah pintu,
dua buah pintu menuju kamar
tidur dan terdapat satu pintu
yang menghubungkan ruang
tidur magau dan ruang
keluarga magau. Pintu ini
berfungsi untuk mengontrol
anak gadis.

Arsitektur Tradisional Sulawesi


27
3. Jendela (4 buah)
Posisi jendela ini terletak satu
garis lurus yang berfungsi sebagai
sirkulasi udara dan pencahayaan.
Konon menurut kepercayaan
animisme dahulu posisi jendela
satu garis lurus ini dapat
mempermudah roh-roh maupun
arwah leluhur untuk masuk ke
dalam rumah.

4. Pintu Belakang (3 buah) 


Terdapat tiga buah pintu pada ruang belakang yang menghubungkan
ruang tengah menuju dapur, menghubungkan ruang bawah dengan
dapur dan ruang belakang menuju dapur masak.

Bagian Bawah

1. Tangga Depan (2 buah)


Tangga depan menuju
ruang tengah terdapat
pada bagian kiri dan
kanan, tangga pada
posisi kanan bangunan
berfungsi sebagai jalan
untuk naik sedangkan
yang terdapat pada kiri
bangunan berfungsi
sebagai jalan untuk turun.

Arsitektur Tradisional Sulawesi


28
2. Tangga Belakang. Tangga belakang
berfungsi untuk menghubungkan ruang
bawah dan dapur.

Fungsi Ruangan Souraja

Gambar 2.3.8 Pembagian Ruang Rumah Adat Souraja

Bagian Atas

1. Landue (loteng)
Difungsikan sebagai tempat menenun, tempat menyimpan benda
puasaka (bulo), dan juga tempat untuk anak gadis.

Arsitektur Tradisional Sulawesi


29
Bagian Tengah

1. Gandaria (Serambi)
Gandaria berfungsi sebagai ruang tunggu untuk tamu. 
Dibagian depan terdapat anjungan tempat bertumpunya tangga yang
diletakkan pada bagian kiri dan kanan dalam posisi saling
berhadapan. Jumlah anak tangganya 9 buah. Dan dibagian ruang ini
masih diperbolehkan menggunakan alas kaki.

2. Lonta Karavana (Ruang Depan)


Ruang ini digunakan sebagai tempat menerima tamu dan biasa juga
difungsikan sebagai tempat molibu (musyawarah). Selain itu juga
digunakan sebagai tempat tidur kaum laki-laki.

3. Lonta Tatangana (Ruang Tengah)


Lonta tatangana  terbagi atas tiga buah ruang yaitu :
- Toda (Ruang tamu). Berfungsi sebagai tempat menerima tamu dan
temapat musyawarah raja bersama dewan adat.

Arsitektur Tradisional Sulawesi


30
- Ruang tidur magau palu (raja). Merupakan tempat tidur untuk raja
dimana terdapat dua buah pintu.
- Ruang tidur keluarga magau. Merupakan tempat tidur untuk
keluarga magau dimana terdapat 2 buah pintu dari arah ruang
tamu dan yang menghubungkan ke ruang tidur magau.

4. Lonta Rarana (Ruang Belakang)

Lonta rarana  terbagi atas lima buah ruang yaitu :


- Avu 1 (Dapur). Bagian ruang ini difungsikan untuk menyimpan
barang-barang yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan di
lonta rarana. Bagian ini tidak memiliki atap. 
- Avu 2 (Dapur). Ruang ini difungsikan sebagai tempat memasak
- Ruang Makan. Ruang ini berfungsi tempat makan dan juga
diperuntukkan untuk kaum wanita dan anak-anak gadis.
Selain itu ruang ini juga digunakan untuk menerima kerabat dekat.

d) Ornamen

Pada bangunan Souraja terdapat hiasan berupa kaligrafi huruf


Arab tertampang pada jelusi-jelusi pintu atau jendela, atau ukiran pada
dinding, loteng, dibagian lonta-karavana, pinggira cucuran atap,
papanini, bangko-bangko dengan motif bunga-bungaan dan daun-
daunan. Semua hiasan tersebut melambangkan kesuburan, kemuliaan,
keramah-tamahan dan kesejahteraan bagi penghuninya.

Bangunan Souraja memiliki arsitektur bangunan yang cukup


sederhana, baik dilihat dari segi bentuknya, ukirannya, desainnya, tata
ruangannya dan keadaan di dalam dan di luar ruangannya. Ukiran yang
ada dalam Baruga itu sangat sederhana dan tidak mempunyai simbol
tertentu, hanya sekedar seni tradisional, khususnya yang terdapat pada
ruang tengah.

Arsitektur Tradisional Sulawesi


31
e) Ciri Khas

 Bangunan ini berbentuk rumah panggung yang ditunjang sejumlah


tiang kayu balok persegi empat dari kayu tertentu yang memiliki kualitas
yang baik serta tahan lama. Bagian Atap Souraja  berbentuk piramide
segitiga, bagian depan dan belakang atapnya ditutup dengan papan
yang dihiasi dengan ukiran dengan motif yang sangat khas dan disebut
panapiri, pada ujung bubungan  depan dan belakang terdapat  mahkota
berukir disebut bangko-bangko.

Gambar 2.3.9 Rumah Adat Souraja

Bagian yang paling mencolok dan unik dari desain bangunan ini
adalah bagian depan dimana terdapat teras yang cukup besar, ditambah
bagian teras tambahan yang sedikit menjorok kedepan, dan anak tangga
dari dua sisi kiri dan kanan sebagai akses utama memasuki bangunan
ini. Desain Souraja sangat khas dan artistic, terbuat dari kayu-kayu
pilihan, dengan hiasan kaligrafi disekelilingnya, serta tambahan struktur

Arsitektur Tradisional Sulawesi


32
seperti bangko dan lainnya. Yang melambangkan keramahan, kemuliaan
dan kesejahteraan penghuninya.

2.4 ARSITEKTUR TRADISIONAL SULAWESI BARAT

a) Latar Belakang dan Filosofi

Gambar 2.4.1 Rumah Boyang, Mandar, Sulawesi Barat

Rumah adat Mandar berbentuk panggung yang terdiri atas tiga


bahagian, sama ”Ethos Kosmos” yang berlaku pada etnis Bugis
Makassar. Bagian pertama disebut ”tapang” yang letaknya paling atas,
meliputi atap dan loteng. Bagian kedua disebut ”roang boyang”, yaitu
ruang yang ditempati manusia, dan bagian ketiga disebut ”naong
boyang” yang letaknya paling bawah. Demikian pula bentuk pola
lantainya yang segi empat, terdiri atas ”tallu lotang” (tiga petak). Petak
pertama disebut ”samboyang” (petak bagian depan), petak kedua
disebut ”tangnga boyang” (petak bagian tengah) dan petak ketiga
disebut ”bui’ lotang” (petak belakang). Rumah Adat Mandar disebut
”boyang”. dikenal adanya dua jenis boyang, yaitu : ”boyang adaq” dan

Arsitektur Tradisional Sulawesi


33
”boyang beasa”. ”Boyang adaq” ditempati oleh keturunan bangsawan,
sedangkan ”boyang beasa” ditempati oleh orang biasa. 

Pada ”boyang adaq” diberi penanda sebagai simbolik identitas


tertentu sesuai tingkat status sosial penghuninya. Simbolik tersebut,
misalnya ”tumbaq layar” yang bersusun antara 3 sampai 7 susun,
semakin banyak susunannya semakin tinggi derajat kebangsawanan
seseorang. Sedangkan pada boyang beasa, ”tumbag layar” nya tidak
bersusun. Simbolik lain dapat dilihat pada struktur tangga. Pada boyang
adaq, tangganya terdiri atas dua susun, susunan pertama yang terdiri
atas tiga anak tangga, sedangkan susunan kedua terdiri atas sembilan
atau sebelas anak tangga. Kedua susunan anak tangga tersebut
diantarai oleh pararang, sedangkan boyang beasa, tangga tidak
bersusun.

b) Struktur dan Konstruksi

Rumah adat Polman ini memiliki pekarangan yang cukup luas,


dengan lebar sekitar 15 meter dan panjang 20 meter dengan tanaman
pelindung dan bunga yang ditanam disisi pekarangan, cukup terawat
dengan baik. Mengingat struktur dari rumah adat ini berupa rumah
panggung, maka rumah adat dari suku Mandar ini juga dilengkapi
dengan 2 (dua) buah tangga, satu di bagian depan dan satunya lagi
berada di bagian belakang rumah. Tangga-tangga tersebut mempunyai
anak tangga yang berjumlah ganjil, umumnya antara 7 sampai 13 buah
serta dilengkapi dengan sebuah pegangan dibagian sisi kanan dan
kirinya. 

Untuk dinding dan juga lantainya, rumah Boyang ini memakai material
papan. Khusus di bagian dinding, papan yang dipasang biasanya
merupakan papan yang sudah diukir sedemikian rupa sesuai dengan

Arsitektur Tradisional Sulawesi


34
motif khas dari suku Mandar. Pada dinding juga dilengkapi dengan
beberapa jendela yang berfungsi sebagai pengatur sirkulasi udara. 

Atap rumah Boyang memiliki bentuk prisma dan memanjang dari bagian
depan ke bagian belakang menutupi keseluruhan bagian rumah. Atap ini
terbuat dari daun rumbia serta dihiasi dengan berbagai ornamen-
ornamen khusus, seperti halnya ukiran bunga melati ujung bubungan,
tumbaq layar, ukiran burung atau ayam jantan di bagian ujung atap,
serta ornamen teppang di bagian atas bubungan.

Gambar 2.4.2 Dinding Rumah Boyang, terbuat dari kayu

Struktur bangunan rumah orang mandar, terdiri dari bagian paling


atas, yaitu ”ate” (atap). Atap rumah berbentuk prisma yang memanjang
ke belakang menutupi seluruh bagian atas rumah. Rumah ini memiliki
panjang 20 meter dan lebar 15 meter. Pada masa lalu, rumah-rumah
penduduk, baik boyang adaq maupun boyang beasa menggunakan atap
rumbia. Hal ini disebabkan karena bahan tersebut banyak tersedia dan
mudah untuk mendapatkannya. Pada bagian depan atap terdapat
”tumbaq layar” yang memberi ”identitas” tentang status penghuninya.
Pada ”tumbaq layar” tersebut dipasang ornamen ukiran bunga melati. Di
ujung bawah atap, baik pada bagian kanan maupun kiri diberi ornamen
ukiran burung atau ayam jantan. Pada bagian atas penutup bubungan,

Arsitektur Tradisional Sulawesi


35
baik di depan maupun belakang dipasang ornamen yang tegak ke atas.
Ornamen itu disebut ”teppang”.

Bagian yang lain pada rumah adalah rinding (dinding). Dinding


rumah terbuat dari kayu (papan) dan bambu (taqta dan alisi). Pada
umumnya, boyang adaq mempunyai dinding yang terbuat dari papan.
Sedangkan boyang beasa selain berdinding papan, juga ada yang
berdinding taqta dan alisi, rumah yang berdinding taqta dan alisi,
penghuninya berasal dari golongan ata (beasa). Dinding rumah
dirancang dan dibuat sedemikian rupa sesuai tinggi dan panjang setiap
sisi rumah dan dilengkapi jendela pada setiap antara tiang. Hal itu dibuat
secara utuh sebelum dipasang atau dilengketkan pada tiang rumah.
Pembuatan dinding seperti itu dimaksudkan untuk lebih memudahkan
pasangannya, demikian pula untuk membukanya jika rumah tersebut
akan dibongkar atau dipindahkan.

Dinding. Dinding rumah tradisional Mandar pada umumnya terbuat dari


papan, alisi dan taqta. Pada dinding sisi depan rumah, biasanya
dilengkapi tiga ”pepattuang” (jendela) dan satu ”ba’ba” (pintu). Dinding
sisi depan ini biasanya dilengkapi ornamen pada bagian luar di bawah
jendela. Pada dinding sisi kanan dan kiri rumah biasanya juga dilengkapi
dengan pepattuang sebanyak dua atau tiga buah.

Pepattuang berbentuk segi empat yang rata-rata terdiri atas dua daun
jendela yang berukuran sekitar 100 x 40 cm. Daun jendela itu dapat
dibuka ke kiri dan ke kanan. Letak pepattuang biasanya berada antara
dua buah tiang rumah. Untuk memperindah, pepattuang ini biasanya
diberi ornamen berupa ukiran dan terali dari kayu yang jumlahnya selalu
ganjil. Terali-terali tersebut ada yang dipasang secara vertikal dan ada
yang horisontal. Secara vertikal mempunyai makna hubungan yang
harmonis dengan Tuhannya. Sedangkan secara horisontal mempunyai
makna hubungan yang harmonis dengan sesama manusia.
Pemasangan ornamen seperti itu hanya tampak pada jendela yang ada

Arsitektur Tradisional Sulawesi


36
di bagian depan dan sisi kiri kanan rumah. Pemasangan ornamen
berupa ukiran dan terali-terali juga dapat dilihat pada bangunan
tambahan di depan rumah, yaitu lego-lego.

Gambar 2.4.3 Tampak Pekarangan Rumah Boyang

Dibangun dengan struktur kayu yang cukup kokoh, dengan detail


pekerjaan ornamen di tiap sisinya yang penuh dengan ukiran. Struktur
tangga yang berada disisi lateral rumah dengan cungkup yang agak
menjorok kedepan menjadi salah satu ciri khasnya sendiri. 

Gambar 2.4.4 Bagian Depan Rumah Boyang

Arsitektur Tradisional Sulawesi


37
Rumah adat memang kadang dibuat dengan ornamen yang rumit
dan kompleks seperti arsitektur diatas beranda atau sering disebut
dalam bahasa daerah Mandar (Bolloq-Bolloq)

Secara umum rumah adat Mandar


memiliki struktur tangga dua susun, ini yang
membedakan rumah adat (boyang adaq) dan
rumah biasa (boyang biasa) 

Bagian dalam rumah adat ini


juga terdiri atas dua bagian, satu
bagian dengan posisi agak dibawah,
satunya lagi dengan posisi agak
tinggi, mirip dengan posisi
panggung, atau lesehan. Memiliki
ruang tengah yang cukup luas tanpa
pembatas. Bagian bawah atau
kolong rumah adat sangat luas,
dengan gambaran tiang dan lantai
yang sangat kokoh, ditopang oleh
puluhan tiang rumah berukuran tidak
biasa berukuran cukup tinggi,
berbeda dengan rumah-rumah
panggung yang biasa kita temukan
di tanah Mandar

Arsitektur Tradisional Sulawesi


38
c) Bentuk dan Peruangan

Untuk dapat menunjang kegunaan dan juga fungsinya tersebut,


maka rumah adat Provinsi Sulawesi Barat ini dibagi menjadi beberapa
bagian ruangan yang disebut dengan lotang. Lotang utama berjumlah 3
(tiga), yakni Tangnga boyang, Samboyang, dan Bui Boyang, sementara
pada lotang tambahan berjumlah 4 (empat), yakni Tapang, Lego-lego,
Paceko, dan Naong Boyang. Berikut ini penjelasan masing lotang :

1. Samboyang. Samboyang merupakan ruangan yang berada di bagian


paling depan. Ukurannya pun cukup lebar dan kerap digunakan
sebagai ruang tamu. Bila sedang ada acara adat, maka ruangan ini
juga kerap menjadi ruang utama dalam berkumpul bagi para pria.

2. Tangnga Boyang. Tangnga Boyang merupakan ruangan yang


berada di tengah rumah sesudah ruang Samboyang. Ukurannya pun
lebih luas dan digunakan sebagai tempat berkumpul dan juga
melakukan aktivitas ketika di malam hari bersama dengan keluarga.

3. Bui Boyang. Bui Boyang merupakan ruangan yang berada di bagian


paling belakang. Ada beberapa kamar (songi) khusus yang digunakan
untuk tidur bagi penghuni rumah. Ada kamar bagi anak bujang, anak
gadis, kakek, nenek, dan juga kamar bagi kepala rumah tangga.
Masing-masing kamar tersebut mempunyai ukuran yang beraneka
ragam.

4. Tapang. Tapang merupakan ruangan yang berada di bagian loteng


rumah dan umumnya dipakai sebagai tempat menyimpan barang atau

Arsitektur Tradisional Sulawesi


39
gudang. Di masa lampau, tapang juga sering digunakan sebagai
kamar calon para pengantin. Letaknya yang tersembunyi
menyimbolkan jika calon pengantin diharuskan benar-benar menjaga
kesuciannya. 

5. Paceko. Paceko merupakan ruangan yang berada menyilang dengan


bangunan induknya dan mempunyai lebar yang sama. Paceko sendiri
dalam bahasa Indonesia artinya adalah dapur. Oleh sebab itu,
ruangan ini juga dipakai untuk tempat memasak dan juga menyimpan
berbagai macam persediaan makanan. Dalam Paceko juga ada
ruangan yang bernama pattetemeangang atau kamar mandi.

6. Lego-lego. Lego-lego merupakan ruangan yang berada di bagian


depan rumah dan beratap namun tak berdinding. Fungsinya dari
ruangan ini adalah sebagai teras rumah dan dipakai sebagai tempat
bersantai ketika dipagi atau sore hari.

7. Naong Boyang. Naong Boyang atau yang disebut juga dengan


kolong rumah ini merupakan ruangan yang berada dibagian bawah
lantai rumah dan beralaskan tanah. Biasanya ruangan ini digunakan
sebagai kandang ternak sekaligus juga sebagai tempat beraktivitas
bagi para wanita untuk mengisi waktu luang, seperti untuk tempat
manette atau menenun kain sarung bagi kaum wanita.

Di bawah atap terdapat ruang yang diberi lantai menyerupai lantai


rumah. Ruang tersebut diberi nama ”tapang”. Lantai tapang tidak
menutupi seluruh bagian loteng. Pada umumnya hanya separuh bagian
loteng yang letaknya di atas ruang tamu dan ruang keluarga. Tapang
berfungsi sebagai gudang untuk menyimpang barang-barang. Bila ada
hajatan dirumah tersebut, tapang berfungsi sebagai tempat menyimpan
bahan makanan sebelum dihidangkan atau didistribusikan. Pada masa
lalu, ”tapang” tersebut sebagai tempat atau kamar calon pengantin

Arsitektur Tradisional Sulawesi


40
wanita. Ia ditempatkan pada kamar tersebut sebagai tindakan preventif
untuk menjaga ”siriq” (harga diri). Untuk naik ke tapang, terdapat tangga
yang terbuat dari balok kayu atau bambu. Tangga tersebut dirancang
untuk tidak dipasang secara permanen, hanya dipasang pada saat akan
digunakan.

Rumah orang Mandar, baik boyang adaq maupun boyang beasa


mengenal tiga petak ruangan yang disebut lotang. Ruangan tersebut
terletak di bawah tapang yang menggunakan lantai yang terbuat dari
papan atau bilah bambu. Adapun ketiga ”lotang” ruangan tersebut
adalah : ”Samboyang”, yaitu petak paling depan.

Gambar 2.4.5 Interior Rumah Boyang

”Tangnga boyang”, petak bagian tengah rumah. Petak ini berfungsi


sebagai ruang keluarga, di mana aktivitas keluarga dan hubungan sosial
antara sesama anggota rumah tangga. ”Bui’ boyang”, petak paling
belakang. Petak ini sering ditempatkan ”songi” (kamar) untuk anak gadis
atau para orang tua seperti nenek dan kakek. Penempatan songi untuk
anak gadis lebih menekankan pada fungsi pengamanan dan
perlindungan untuk menjaga harkat dan martabat keluarga. Sesuai

Arsitektur Tradisional Sulawesi


41
kodratnya anak gadis memerlukan perlindungan yang lebih baik dan
terjamin.

d) Ornamen

Suatu bangunan rumah ”boyang” tidak hanya berfungsi sebagai


tempat tinggal, tetapi memiliki nilai dan makna tersendiri sesuai dengan
adat istiadat masyarakat tradisional Mandar. Olehnya itu, suatu rumah
tradisional memiliki ciri khas terutama pada tipologi, interior/eksterior,
dan ornamen yang ada didalamnya.

Gambar 2.4.6 Ornamen Pada Dinding

Pada umumnya rumah tradisional, baik rumah bangsawan maupun


rumah orang biasa di tana Mandar, memakai ”ragam hias ornamen”.
Pada bagian atap, dinding, plafon dan sebagainya. ”Ornamen” selain
berfungsi sebagai hiasan atau ornamen, juga berfungsi sebagai identitas
sosial, dan makna-makna budaya dalam masyarakat. Corak “ornamen”
umumnya bersumber dari alam sekitar manusia seperti flora, fauna,

Arsitektur Tradisional Sulawesi


42
gambaran alam, agama dan kepercayaan namun tidak semua flora,
fauna dan sebagainya dapat dijadikan corak “ornamen”.

e) Ciri Khas

Gambar 2.4.7 Rumah Boyang, Sulawesi Barat

Terdapat beberapa keunikan yang ada pada desain arsitektur


rumah adat Provinsi Sulawesi ini. Keunikan-keunikan tersebut tentunya
bisa menjadi ciri khas tersendiri yang membedakan antara rumah adat
suku Mandar ini dengan rumah adat lainnya yang ada di Indonesia. Ciri
khas dan keunikan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut : 

1. Berupa rumah panggung dan mempunyai tiang balok berukuran


besar. Rumah adat ini juga dilengkapi dengan 2 buah tangga, yaitu
di bagian depan dan bagian belakang rumah.
2. Mempunyai atap berbentuk pelana dan memanjang dari bagian
depan ke bagian belakang menutupi rumah. 
3. Dibangun menghadap ke arah timur atau ke arah matahari terbit
sebagai simbol akan keselarasan kehidupan. 

Arsitektur Tradisional Sulawesi


43
4. Rumah adat ini dihiasi oleh beberapa ornamen, baik itu pada bagian
atap, dinding, tangga, plafon, sampai ke bagian-bagian lainnya.
Ornamen tersebut selain berfungsi sebagai hiasan juga mempunyai
nilai filosofis yang menjadi identitas dari sosial kemasyarakatan bagi
suku Mandar.

2.5 ARSITEKTUR TRADISIONAL GORONTALO

a) Latar Belakang dan Filosofi

Gambar 2.5.1 Rumah Adat Dulohupa, Gorontalo

Menurut sejarahnya Gorontalo pada mulanya adalah sebuah


wilayah yang berbentuk kerajaan terkenal dengan nama Dulowo limo lo
pohalaa, artinya dari dua kerajaan induk (hulonthalo dan Limutu) menjadi
lima kerajaan yang terdiri kerajaan Hulontalo, Limutu, Suwawa, Bolango,
dan Bualemo. Daerah yang baru terbentuk menjadi propinsi ke 32 ini
bahkan telah diberikan kategori daerah adat yang ke 19. Namun
sayangnya atrtefak istana para raja yang pernah memerintah seperti
kerajaan Hulonthalo (kota Gorontalo) maupun Kerajaan Limutu
(sekarang kabupaten Gorontalo) sudah tidak ditemukan lagi. Konsistensi

Arsitektur Tradisional Sulawesi


44
pelaksanaan adat selama ini hanya sebatas acara ritual/upacara-
upacara adat yang lebih bersifat non fisik seperti penyelenggaraan pesta
kelahiran, pernikahan, kematian, dan lain-lain sementara pelestarian
budaya dalam wujud fisik bangunan berangsur-angsur sudah mulai
ditinggalkan.

Ditengah-tengah bangunan modern di Gorontalo terdapat rumah


yang merupakan rumah sisa-sisa peninggalan masa lalu yang berbentuk
panggung yang oleh masyarakat setempat dinamakan Rumah Budel,
yaitu istilah masyarakat lokal dalam menyebut rumah warisan yang tidak
memiliki hak kepemilikan yang jelas karena ketika pemilik utama (orang
tua) meninggal dunia, tidak sempat meninggalkan hak waris kepada
keturunannya sehingga biasanya hanya sekedar untuk dihuni secara
turun temurun oleh anak cucu, dan keturunan-keturunan selanjutnya.

Ketidakjelasan status kepemilikan dan kurang pahamnya


masyarakat terhadap nilai-nilai budaya yang terkandung dalam rumah ini
membuat rumah-rumah ini dibiarkan rusak dan lambat laun rumah asli
masyarakat gorontalo ini akan musnah tergilas oleh proses modernisasi.
Jika dilihat dari style pada rumah budel yang berbentuk panggung terdiri
atas dua jenis, yakni yang pertama, rumah berbentuk panggung yang
jika dilihat dari tampilan arsitekurnya sudah mengalami akulturasi
(pengaruh kolonial, cina dan arab) dan kedua rumah yang berbentuk
panggung tetapi nuansa/muatan makna filosofi dan adat budaya daerah
gorontalo masih terasa/nampak.

Terkait dengan apa yang dikatakan Soekanto, menurut Daulima


bahwa dari tiga kerajaan besar (Suwawa, Gorontalo, Limboto) pada akhir
pemerintahan Belanda sebelum peristiwa 23 Januari 1942, rakyat
Gorontalo dapat digolongkan atas 4 golongan, yaitu:

a. Golongan Mongoeyo (bangsawan)

Arsitektur Tradisional Sulawesi


45
b. Golongan Udula’a (dari 2 utas buwatula) yaitu termasuk golongan
menengah, bukan dari golongan bangsawan dan bukan juga dari
golongan budak/wato).
c. Golongan Wali-wali, termasuk pegawai-pegawai, dokter, insinyur, dan
lain-lain, yang berstatus udula’a dan Tuango-Lipu, adalah Mantri Tani,
Mantri Hewan, Mantri Cacar dan Juru Tulis.
d. Golongan Tuwango Lipu, yaitu golongan rakyat biasa yang berhak
mendapat jabatan Kepala Kampung, dan jabatan Syara di bawah
Kadhi, Moputi dan Imam. Tetapi tidak dibatasi, apabila mereka ahli
dan berbudi pekerti yang baik dapat menempati jabatan yang lebih di
atas.

Kata dulohupa sendiri memiliki makna bermusyawarah atau


bermufakat untuk memprogramkan rencana. Awalnya rumah adat ini
merupakan balai musyawarah bagi kerabat kerajaan. Selain itu rumah
adat dulohupa dulu digunakan untuk pengadilan untuk pengkhianat
kerajaan melalui sidang tiga alur pejabat pemerintahan yaitu Buwatulo
Bala (alur keamanan), Buwatulo Syara (alur hukum agama Islam) dan
Bawatulo Adati (alur hukum adat).

b) Struktur dan Konstruksi

Arsitektur Tradisional Sulawesi


46
Arsitektur Tradisional Sulawesi
47
Arsitektur Tradisional Sulawesi
48
Arsitektur Tradisional Sulawesi
49
c) Bentuk dan Peruangan

a. Bentuk
Sebagaimana bentuk rumah tradisional lainnya, rumah masyarakat
gorontalo berbentuk panggung yang merupakan analogi dari bentuk
tubuh manusia yang terdiri dari kaki, badan dan kepala berupa
kolong/tiang badan rumah dan atap. Terdapat keseragaman pada
proporsi rumah hal ini disebabkan filosofi yang tekait dengan ukuran
rumah baik secara vertikal maupun secara horisantal. Untuk
mengukur ketinggian, panjang dan lebar rumah dengan
menggunakan depa, dengan aturan 1 depa dikurangi 1 jengkal hasil
pengurangan dibagi 8. Angka 8 memberi makna keadaan yang selalu
terjadi pada diri manusia, yakni : rahmat, celaka, beruntung, kerugian,
beranak, kematian, umur dan hangus. Jika angka tersebut berakhir
pada yang tidak baik maka harus ditambah atau dikurangi satu. Jenis
tiang dibedakan atas:

 Tiang utama (wolihi) pada denah bangunan diberi kode A (lihat pada
tabel di atas). Sebanyak 2 buah ditancap di atas tanah langsung ke
rangka atap. Tiang ini sebagai perlambang janji atau ikrar persatuan
dan kesatuan yang kekal abadi antara dua bersaudara Gorontalo-
Limboto (janji lou dulowo mohutato-Hulontalo-Limutu) pada tahun
1664. Selain itu angka 2 melambangkan delito (pola) adat dan syariat
sebagai falsafah hidup masyarakat yang harus dipegang teguh baik
dalam pemerintahan maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Arsitektur Tradisional Sulawesi


50
 Tiang depan sebanyak 6 buah diberi kode B lihat tabel 1(formasi dan
jumlah tiang), mempunyai makna 6 sifat utama atau ciri masyarakat
lou dulowo limo lopahalaa yaitu:sifat tinepo-tenggang rasa, sifat
tombulao-hormat, sifat tombulu-bakti kepada penguasa, sifat wuudu-
sesuai kewajaran, sifat adati-patuh kepada peraturan, sifat butoo-taat
pada keputusan hakim.

 Tiang dasar (potu) khusus untuk golongan raja, jumlah tiang 32


sebagai perlambang 32 penjuru mataangin. Bentuk tiang pada bagian
depan/serambi yang berbentuk persegi, ada yang 4, 6 atau 8
menunjukkan jumlah budak masing-masing raja. Bentuk ini kemudian
menjadi tradisi yang diikuti secara turun temurun sekalipun bukan
pada rumah bangsawan. Jadi tidak lagi mengandung makna tertentu
tetapi hanya sekedar estetika. Jumlah anak tangga terdiri dari 5
sampai dengan 7. Angka lima melambangkan rukun islam serta 5
prinsip hidup masyarakat gorontalo, yaitu: Bangusa talalo, Lipu
poduluwalo, Batanga pomaya, Upango potombulu, Nyawa podungalo,
artinya keturunan dijaga, negeri dibela, diri diabdikan, harta
diwakafkan/dikorbankan, nyawa taruhannya. Angka 7 bermakna 7
martabat (tingkatan nafsu pada manusia) yakni amarah, lauwamah,
mulhimah, muthmainnah, rathiah, mardhiah, dan kamilan.

 Atap dua susun pada melambangkan adat dan syariat. Pada bagian
puncak atap awalnya terdapat Talapua yaitu dua batang kayu yang
dipasang bersilang pada puncak atap menurut kepercayaan
masyarakat gorontalo sebagai penangkal roh jahat (sekarang sudah
tidak ditemukan lagi). Tange lo bu’ulu yang digantung pada dinding
bagian depan rumah di samping pintu masuk melambangkan
kesejahteraan masyarakat gorontalo.

b. Upacara Pendirian

Arsitektur Tradisional Sulawesi


51
Proses mendirikan rumah merupakan rangkaian kegiatan yang pada
prinsipnya dapat dikelompokkan dalam 3 tahapan: (1) tahap
perencanaan, (2) tahap rancang-bangun, dan terakhir (3) tahap
penghunian.

 Tahap Perencanaan. Setiap akan mendirikan rumah maka terlebih


dahulu dilakukan musyawarah yang dipimpin oleh pemuka adat
terdekat (ahli rumah, untuk membicarakan hal-hal yang berkenaan
dengan persiapan dan kesiapan pemilik rumah. Utamanya dalam
nenentukan hari baik dan jam yang tepat, untuk membuat pola rumah
(momayango). Hari dan waktu yang tepat dilakukan dengan
mencocokkan antara nama penghuni rumah (kepala rumah tangga)
dengan penanggalan berdasarkan hitung-hitungan yang dilakukan
oleh imam desa (orang yang dianggap mempunyai keahlian dalam
membuat rumah).

 Tahap rancang-bangun. Tahap ini merupakan bagian dari proses


membangun rumah. Dalam hal penetapan lokasi termasuk dalam hal
pemilihan titik yang tepat yang nantinya akan digunakan untuk
pemancangan tiang pertama dilakukan upacara yang dilakukan oleh
orang ahli momayango. Penentuan titik ini dilakukan berdasarkan
hitungan berdasarkan bulan di langit dan posisi naga. Pada tahapan
ini juga termasuk dalam penentuan panjang dan lebar rumah dimana
menggunakan depa dari kepala dan ibu rumah tangga.

 Tahap Penghunian, tahap dimana rumah telah selesai dan siap untuk
dihuni. Pada saat ini diadakan upacara dengan menggantungkan
pisang masak satu tandan dan beberapa

Arsitektur Tradisional Sulawesi


52
Pola ruang yang berbentuk segi empat yang melambangkan empat
kekuatan alam yakni air, api, angin, dan tanah. Dalam penataan ruang
pada rumah adat ini tidak memiliki aturan tertentu. Namun membuat
kamar lebih dari 3tidak diperkenankan ini terkait dengan kepercayaan
masyarakat gorontalo tentang 3 tahapan keadaban manusia yakni
bermula dari tidak ada, ada dan berakhir dengan tiada (alam rahim, alam
dunia, dan alam akhirat).

Gambar 2.5.1 Bentuk dan Pola Ruang Rumah Adat Dulohupa

Pembeda fungsi ruang diperkuat dengan adanya Pihito berupa


balok yang menonjol di atas lantai yang berfungsi sebagai pembatas dari
fungsi ruang menandakan bahwa aspek privacy sudah menjadi perhatian
utamanya setelah masuknya islam. Letak dapur yang dipisahkan oleh
jembatan dengan bangunan induk/utama menurut adat masyarakat
Gorontalo bahwa dapur merupakan rahasia jadi setiap tamu yang
bertandang tidak boleh melewati jembatan tersebut. Dan yang paling

Arsitektur Tradisional Sulawesi


53
penting diperhatikan adalah perletakan dapur/tempat memasak yang
tidak boleh menghadap ke kiblat, karena menurut kepercayaan
masyarakat jaman dahulu rumah akan mudah terbakar.

Secara horisontal ruang terbagi 3 bagian, yakni: surambe atau


ruang depan/teras (tempat menerima tamu laki-laki), ruang
tengah/bangunan induk terdiri dari duledehu/hihibata (tempat menerima
tamu perempuan), huali (kamar/tempat istirahat), dulawonga (ruangan
pada bagian belakang yang dipakai untuk melepaskan lelah, hantaleya
(teras samping kiri dan kanan rumah agak rendah dari bagian induk
hanya terdapat pada rumah raja yang berfungsi sebagai selasar dan
pengawal raja. Tidak terdapat bangunan khusus dapur untuk rumah raja
oleh karena makanan dan minuman penghuni istana disediakan dari luar
yang pengadaannya diatur secara bergilir pada anak negeri.

d) Ornamen

Nilai filosofi pada ornamen pakadangan dilambangkan dengan


untaian bunga teratai tampak bagaikan orang yang saling berpegangan
tangan sebagai simbol kebersamaan rakyat bahu membahu mendukung
rajanya Konsep relasi dengan masyarakat juga tercermin dalam budaya
kebersamaan masyarakat Gorontalo pada proses mendirikan rumah
yang dilakukan secara bergotong royong (huyula).

Arsitektur Tradisional Sulawesi


54
Arsitektur Tradisional Sulawesi
55
Arsitektur Tradisional Sulawesi
56
e) Ciri Khas

Rumah adat Dulohupa dibangun berupa rumah panggung. Hal ini


dilakukan sebagai penggambaran dari badan manusia yaitu atap
menggambarkan kepala, badan rumah menggambarkan badan, dan 
pilar penyangga rumah menggambarkan kaki. Selain itu bentuk rumah
panggung juga dipilih untuk menghindari terjadinya banjir yang kala itu
sering terjadi. 

Pada bagian dinding depan terdapat Tange lo bu’ulu yang


tergantung di samping pintu masuk rumah adat Dulohupa. Tange lo
bu’ulu ini menggambarkan kesejahteraan penduduk gorontalo.
Sedangkan bagian dalam rumah adat Dulohupa bergaya terbuka karena
tidak banyak terdapat sekat. Selain itu di dalam rumah adat terdapat
anjungan yang dikhususkan sebagai tempat peristirahatan raja dan
keluarga kerajaan.

Gambar 2.5.3 Rumah Adat Dulohupa

Rumah adat Dulohupa memiliki banyak pilar-pilar kayu. Selain


sebagai penyokong karena bentuknya berupa rumah panggung, pilar-

Arsitektur Tradisional Sulawesi


57
pilar tersebut juga memiliki makna tersendiri. Pada rumah adat Dulohupa
terdapat beberapa jenis pilar yaitu, pilar utama atau wolihi berjumlah 2
buah, pilar depan berjumlah 6 buah, dan pilar dasar atau potu berjumlah
32 buah.

Selain pilar, jumlah anak tangga pada rumah adat Dulohupa juga
memiliki makna tersendiri. Jumlah anak tangga terdiri dari 5 – 7 anak
tangga. Angka 5 menggambarkan rukun islam dan 5 filosofi hidup
penduduk Gorontalo, yaitu Bangusa talalo atau menjaga keturunan, Lipu
poduluwalo atau mengabadikan diri untuk membela negeri, dan Batanga
pomaya, Upango potombulu, Nyawa podungalo yang berarti
mempertaruhkan nyawa untuk mewakafkan dan mengorbankan harta.
Sedangkan angka 7 menggambarkan 7 tingkatan nafsu pada manusia
yaitu amarah, lauwamah, mulhimah, muthmainnah, rathiah, mardhiah,
dan kamilan.

Arsitektur Tradisional Sulawesi


58
2.6 ARSITEKTUR TRADISIONAL SULAWESI TENGGARA

a) Latar Belakang dan Filosofi

Gambar 2.6.1 Rumah Adat Banua Tada, Sulawesi Tenggara

Penduduk Sulawesi Tenggara terdiri dari berbagai suku bangsa


yang mempertahankan kebudayaan daerah asalnya, antara lain suku
Tolaki, salah satu suku terbesar yang ada di provinsi Sulawesi Tenggara
di kota Kendari sedangkan suku Wolio adalah salah satu suku terbesar
di Kota Bau-bau di samping suku Muna dan suku pendatang lainnya.
Suku Tolaki dan suku Wolio adalah salah satu suku dan memiliki
kerajaan yang terbesar di Sulawesi Tenggara, dan mendiami daerah
yang berada di sekitar Kolaka dan Bau Bau serta 5 daerah lainya,
termasuk serta Buton. suku Tolaki berasal dari kerajaan Konawe,
sedangkan suku Wolio berasal dari Kerajaan Buton yang kemudian
berkembang menjadi Kesultanan Buton. Beberapa wilayah bekas
Kesultanan Buton berdiri di beberapa kabupaten dan kota, yaitu:
Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten

Arsitektur Tradisional Sulawesi


59
Bombana, Kabupaten Buton Utara dan Kota Bau-Bau (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan 14).

Suku Tolaki adalah suku pendatang yang datang ke Kendari.


Rombongan pertama suku Tolaki berasal dari Utara (sekitar Danau
Matana dan Mahalona) melalui dua jalur, yaitu melalui daerah Mori,
Bungku selanjutnya memasuki bagian Timur Laut daratan Sulawesi
Tenggara dan melalui danau Towuti kearah Selatan dan bermukim
beberapa lama di daerah Rahambuu, dari sana terbagi dua rombongan,
yang mengikuti lereng gunung Watukila lalu membelok ke arah barat
daya sampailah di tempat-tempat yang mereka namakan Lambo,
Lalolae, Silea yang kelak menjadi masyarakat Mekongga (Kolaka).
Sedangkan yang turun mengikuti kali besar (dalam bahasa Tolaki
disebut Konawe Eha) disebut masyarakat Konawe. Setiap rumah adat
memiliki bentukan interior yang berbedabeda karena mesti di tinjau
melalui fungsi dan maknanya juga. Untuk mengetahui bagaimana bentuk
dan fungsi masingmasing dan makna dari bentuk dan fungsi interior,
maka kita harus mengetahui elemen-elemen dari Interior tersebut
memiliki bentukan apa saja apa fungsinya dan apa makna yang
terkandung dari bentukan tersebut.

Rumah Adat Suku Tolaki Secara Antropologis, bentuk rumah


manusia dikelompokan kedalam tiga jenis, yaitu : rumah yang setengah
dibawah tanah (semi-subterranian dwelling), rumah diatas tanah (surface
dwelling), rumah diatas tiang (pile dwelling). Dari sudut penggunaanya,
tempat berlindung di bagi dalam tiga golongan, yaitu : tadah angina,
tenda atau gubuk yang bisa dilepas dan rumah untuk menetap memiliki
beberapa fungsi sosial; keluarga inti,keluarga besar,rumah suci,
pemujaan, berkumpul umum serta pertahanan. Secara Universal rumah
tinggal dikalangan suku bangsa Tolaki disebut Laika (Konawe) dan Raha
(Mekongga). Bangunan ini berukuran luas,besar, dan berbentuk segi
empat terbuat dari kayu dengan diberi atap dan berdiri diatas tiangtiang
besar yang tingginya sekitar 20 kaki dari atas tanah. Bangunan ini

Arsitektur Tradisional Sulawesi


60
terletak disebuah tempat yang terbuka di dalam hutan dengan dikelilingi
oleh rumput alang-alang. Pada saat itu bangunan tingginya sekitar 60-70
kaki. Dipergunakan Sebagai tempat bagi raja untuk menyelenggarakan
acara-acara yang bersifat seremonial atau upacara adat.

b) Struktur dan Konstruksi

1. Tiang. Sebuah tiang menandakan adanya sebuah titik dalam ruang,


menjadikan titik tersebut terlihat nyata dan menjadi ukuran untuk
pembagi arah horisontalnya. Dua buah tiang membentuk sebuah
membran ruang yang dapat kita lalui. Dengan menyangga sebuah
balok, tiang-tiang tersebut menjadi garis tepi sebuah bidang datar
transparan.

2. Langit-langit. Langit-langit yang rendah mempunyai konotasi mirip


gua dan bersifat intim. Langit-langit adalah elemen yang menjadi
naungan dalam desain interior, dan menyediakan perlindungan fisik
maupun psikologis untuk semua yang ada dibawahnya. Batang-
batang lurus dapat menciptakan pola-pola garis sejajar, garis, atau
radial. Pola langit-langit apapun juga akan cenderung menarik
perhatian dan tampak lebih rendah dari sebenarnya sebagai akibat
bobot visualnya. Oleh karena mengarahkan mata, pola linier juga

Arsitektur Tradisional Sulawesi


61
dapat menegaskan dimensi ruang yang sejajar dengan pola-pola
tersebut. Slab adalah bidang struktur horizontal yang terbuat dari
beton berulang. Slab mampu menerima beban terpusat maupun
beban merata dengan baik karena gaya-gaya yang bekerja dapat
menyebar ke seluruh arah bidang slab dan merambat bebas terhadap
penyangga slab.

3. Lantai. Lantai adalah bidang ruang interior yang datar dan


mempunyai dasar yang rata. Lantai pada umumnya terdiri dari
deratan balok anak yang membentang di antara balok induk atau
dinding pemikul. Rangka horizontal ini kemudian dilapisi dengan lantai
dari suatu material struktur seperti kayu lapis atau plat baja yang
dapat dibentangkan diantara balok-balok anak. Lantai dasar dan
balok-balok anak tersebut cukup kuat sehingga dapat bekerja sama
sebagai satu unit struktur yang mampu menahan tekanan dan
menyalurkan beban. (Ching 163) warna yang hangat memberi kesan
aman. Warna dingin dan terang memberikan kesan yang luas dan
menonjolkan lantai yang halus fan mengkilat. Lantai kayu dikagumi
karena berkesan hangat, tampak alami dan menyatu dengan daya
tarik kenyamanan, kelenturan dan durabilitasnya. Lantai kayu juga

Arsitektur Tradisional Sulawesi


62
mudah perawatnya dan jika rusak dapat diperbaiki kembali atau
diganti

4. Dinding. Dinding adalah elemen arsitektur yang penting untuk setiap


bangunan. Secara tradisional, dinding telah berfungsi sebagai struktur
pemikul lantai diatas permeukaan tanah, langit-langit dan atap.
Menjadi muka bangunan. Memberi proteksi dan privasi pada ruang
interior yang dibentuknya. Lubang bukaan pada atau antara bidang-
bidang dinding memungkinkan kontinuitas dan gerak sirkulasi fisik kita
diantara ruang-ruang tersebut, sekaligus sebagai jalan masuk cahaya,
panas dan suara. Semakin besar ukurannya, lubang bukaan juga
mulai mengikis kesan terkurung yang ditimbulkan oleh dindingdinding,
dan secara visual memperluas ruang karena menarik masuk ruang-
ruang didekatnya.

5. Bukaan pada dinding


Pintu merupakan
akses fisik dari suatu
ruang ke ruang yang
lain. Jika pintu ditutup,
maka akan tertutup
juga hubungan
dengan ruang yang berdekatan. Jika dibuka, menjadi pengubung
visual, spasial dan akustik antar ruang-ruang tersebut. Bukaan pintu
yang besar mengurangi intergritas tertutupnya ruang dan memperkuat
hubungannya dengan ruang-ruang disebelahnya atau ruang-ruang
luar. Jendela yang dibingkai pada dinding menarik perhatian kita
karena cahaya terang dan pandang keluar, tetapi tetap
mempertahankan kesan terkurung akibat adanya bidang-bidang
dinding.

Arsitektur Tradisional Sulawesi


63
Daun jendela penutup memiliki panel-panel yang kokoh, biasanya
terbuat dari kayu, diberi engsel untuk membuka dan menutup seperti
pintu dengan ukuran kecil. Jika ditutup, daun jendela penutup
menambah kesan tertutup. Gril adalah layar dekoratif dari kayu atau
metal yang dapat digunakan untuk menutup pandangan, menyaring
cahaya atau menyebarkan ventilasi.

6. Tangga. Tangga juga


penting sebagai
penghubung ruang. Tangga
luar yang berada didepan
pintu masuk utama dapat
memisahkan wilayah pribadi
dari lalu lintas umum serta
memperkuat aktivitas
memasuki ruang perantara,
misalnya teras. Anak tangga
yang lebar dan tidak terlalu
tinggi dapat dianggap sebagai undangan, sebaliknya tangga yang
sempit dan tinggi mengarah ketempat tempat yang bersifat pribadi.
Tinggi dan lebar anak tangga harus sesuai dengan kebutuhan gerak
tubuh kita. Kemikiringannya, jika curam dapat membuat proses naik
melelahkan secara fisik dan menakutkan secara psikologis dan dapat
menimbulkan bahaya pada saat menuruninya. Lorong tangga harus
cukup lebar agar dapat menjadi tempat lewat yang nyaman.
Peraturan bangunan menetapkan lebar minimum, bagaimanapun
lebar lorong tangga harus mampu memberikan tanda-tanda visual
apakah tangga tersebut dimaksudkan untuk umum atau perorangan

Arsitektur Tradisional Sulawesi


64
c) Bentuk dan Peruangan

Menurut sejarahwan Drs. H. Hasidin Sadif . M.si ketua DPRD


tingkat 3, bahwa pada umumnya rumah terbagi menjadi 3 jenis :

1. Rumah Penduduk Biasa (Budak) : memliki atap simetris dan tiap


penyangganya hanya 3. Menggunakan bambu atau papan kayu yang
dilapisi tikar anyam yang terbuat dari rotan. Setiap 1(satu) ruangan
memliki 1(satu) jendela kiri dan kanan.
2. Rumah pejabat atau keturun pejabat : memiliki atap bersusun dan
mempunyai 4(empat) tiang penyangga. 1(satu) ruangan kadang-
kadang memiliki 2(dua) jendela kiri dan 2(dua) kanan
3. Rumah Sultan : memiliki atap yang berususun 2(dua), Malige
biasanya bertingkat 3(tiga). Sama seperti rumah pejabat dan biasanya
menyesuaikan besaran ruangan. Atap terbuat dari rumbia dan hipa-
hipa. Cara menyusunya harus secara islami yang melambangkan
sholat yakni kanan yang menutup, seperti bersedekah. Ruangan
secara garis besar wajib terbagi menjadi 3 bagian yaitu depan tengah
dan belakang .
a. Ruangan depan digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu laki-
laki.
b. Ruang tengah untuk perempuan saja yang menggunakan kecuali
kepala keluarga.
c. Dan belakang digunakan untuk memingit serta menjadi dapur.

Untuk rumah bertingkat lantai 1(satu) menjadi ruang utama , lantai


2(dua) menjadi ruang peraduan atau untuk bertemu keluarga serta
termasuk kamar anak-anak. dan lantai 3(tiga) menjadi kamar tidur untuk
sang putri dan juga untuk kegiatan sehari-hari putri-putri raja seperti
memenenun dan menganyam. Pintu yang berada ditengah hanya boleh
digunakan oleh Sultan. Serta diruangan kedua atau ruang tengah
memliki jendela yang sangat besar berupa jendela geser yang hanya

Arsitektur Tradisional Sulawesi


65
boleh dibuka ketika melakukan pingitan atau lamaran, dan jendela itu
hanya digunakan oleh calon suami yang dilihat dari tingkatan atau
kedudukannya dimasyarakat serta statusnya di dalam hubungan
pelamaran.

Rumah adat Sulawesi Tenggara memiliki bentuk persegi dan


persegi panjang merupakan bentukan dari sebuah ruang yang
difungsikan sebagai tempat tinggal, pada rumah di suku tolaki ruangan
(berbentuk persegi/ persegi panjang) dianggap sebagai analog bagian
tubuh manusia, bentuk persegi/ persegi panjang pada ruang dapat
menunjukan sebuah status sosial pada penghuni seperti pada tiang
rumah yang berbentuk persegi berarti memiliki kekayaan materi lebih
banyak dari memiliki tiang bundar. Serta persegi dalam fasad bangunan
menunjukan bagian yang bawah itu juga sama dengan menunjuka dunia
bawah, sehingga dianggap persegi adalah dunia bawah (bumi) hal itu
juga dapat dilihat dalam pengertian wadah kalo sara.

Arsitektur Tradisional Sulawesi


66
Bentuk segitiga merupakan bentukan yang biasa digunakan
sebagai bentuk atap pada rumah, segitiga dianggap sebagai bentukan
yang memiliki struktur yang kokoh maka hal itu bersifat stabil dank arena
segitiga diaplikasikan sebagai atap maka runcing pada segitiga
menujukan keatas yang berarti ada seuatu yang agung diatas sana
( tuhan ) maka yang paling dekat dengan tuhan adalah pemikiran yang
didapat dari kepala. Sehingga segitiga (atap) dianggap juga sebagai
kepala manusia.

d) Ornamen

Kebutuhan akan Ornamen bersifat psikologis. Pada manusia


terdapat perasaan yang dinamakan “horror vacut” yaitu perasaan yang
tidak dapat membiarkan tempat atau bidang kosong. Motif-motif
dominan bercorak spiral dan bergaris lengkung
ditahtakan/diukirkan/digoreskan pada bentuk dasar benda-benda
tradisional. Dekorasi seperti itu tampak diseluruh permukaan benda
dengan bentuk-bentuk yang geometris dan diulang-ulang, ditempatkan

Arsitektur Tradisional Sulawesi


67
berhadapan satu sama lain, dalam variasi yang teratur. Menurut
informan dari penjaga Raha Bokeo bahwa beberapa ornamen yang ia
ketahui memiliki arti seperti pentup atap bagian fasad berarti tombak
dan background dasar dari ukiran kalo sara adalah parang yang
digunakan untuk berperang.

a) Pati-pati pinetaulu mbaku, Tumbuhan Pakis

Makna simbolis pada dekorasi Kamali/Istana Malige diantaranya adalah:

1. Nanas merupakan simbol kesejahteraan yang ditumbuhkan dari rakyat.


Secara umum simbol ini menyiratkan bahwa masyarakat Buton agar
mempunyai sifat seperti nanas, yang walaupun penuh duri dan berkulit
tebal tetapi rasanya manis.

2. Bosu-bosu adalah buah pohon Butun (baringtonia asiatica) merupakan


simbol keselamatan, keteguhan dan kebahagiaan yang telah mengakar
sejak masa pra-Islam. Pada pemaknaan yang lain sesuai arti bahasa
daerahnya bosu-bosu adalah tempat air menuju pada perlambangan
kesucian mengingat sifat air yang suci.

Arsitektur Tradisional Sulawesi


68
3. Ake merupakan hiasan yang bentuknya seperti patra (daun). Pada Istana
Malige, Ake dimaksudkan sebagai wujud kesempurnaan dan lambang
bersatunya antara Sultan (manusia) dengan Khalik (Tuhan). Konsepsi ini
banyak dikenal pada ajaran tasawuf, khususnya Wahdatul wujud.

4. Motif atau ornamen yang digunakan oleh suku wolio tidak pernah
menyerupai mahluk hidup hanya daun dan bunga karena dianggap
pamali mengikuti suatu mahluk yang bernyawa menjadi berhala.Bunga-
bunga yang digunakan oleh suku wolio kerajaan Buton sebagai lambang
yang sakral dalm suatu ornamen rumah adalah bunga yang sering
berinteraksi di kemasyarakatan dan bernilai filososfi.
Antara lain adalah :
1) Cempaka
2) Melati ( Kambampuu)
3) Kamboja
4) Ambalagi
5) Flamboyan (Manuru)
6) Kembang (Kamba).

e) Ciri Khas

Rumah adat ini mempunyai beberapa keunikan dan juga ciri khas
yang membedakannya dengan rumah adat lainnya yang ada di
Indonesia. Keunikan tersebut seperti terletak pada jumlah tingkatan
rumah adat yang dapat mencapai 4 (empat) tingkat, kekokohan
bangunan meskipun terbuat tanpa paku dan juga logam sebagai

Arsitektur Tradisional Sulawesi


69
penguat, dan pembagian ruangannya yang sangat memperhatikan akan
kearifan lokal dan juga nilai-nilai filosofi yang dianut oleh masyarakat
suku Buton.

Gambar 2.6.2 Rumah Adat Banua Tada, Sulawesi Tenggara

Arsitektur Tradisional Sulawesi


70
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Setiap wilayah atau daerah pastilah memiliki ciri khas masing-masing


arsitekturnya, termasuk pula wilayah Sulawesi. Pulau Kalimantan terdiri dari
6 provinsi antara lain Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat dan Gorontalo. Setiap provinsi dari
daerah Sulawesi pun memiliki rumah tradisionalnya masing-masing. Rumah
adat dari kelima provinsi Sulawesi antara lain:

1. Sulawesi Selatan – Rumah Tongmonan


2. Sulawesi Tengah – Rumah Souraja
3. Sulawesi Tenggara – Rumah Banua Tada
4. Gorontalo – Rumah Dulohupa
5. Sulawesi Utara – Rumah Walewangko
6. Sulawesi Barat – Rumah Boyang

Kesamaan dari keenam rumah adat pulau Sulawesi yaitu konstruksi


bangunan rumah adat yang masih dominan menggunakan kayu, selain itu
struktur rumah adat pun menggunakan struktur rumah panggung.

3.2 SARAN

Perkembangan arsiektur masa kini sangat mempengaruhi budaya


arsitektur tradisional. Sehingga diperlukan adanya perhatian dan
pengawasan serta pelestarian terhadap rumah-rumah adat di daerah
Indonesia. Seperti pada pulau Sulawesi.

Arsitektur Tradisional Sulawesi


71
DAFTAR PUSTAKA

SULAWESI TENGAH
 http://kakarmand.blogspot.com
 http://bobo.grid.id/Sejarah-Dan-Budaya/Budaya/Souraja-Rumah-Adat-Keluarga-
Bangsawan-Suku-Kaili-Di-Sulawesi

SULAWESI BARAT
 https://tommuanemandaronline.blogspot.com

SULAWESI TENGGARA
 http://adat-tradisional.blogspot.com/2016/10/rumah-adat-sulawesi-tenggara-banua-
tada.html
 http://melayuonline.com/ind/literature/dig/2601/banua-tada-rumah-tradisional-suku-
wolio-di-sulawesi-tenggara

SULAWESI UTARA
 http://www.kamerabudaya.com/2017/06/rumah-walewangko-rumah-adat-provinsi-
sulawesi-utara.html
 https://id.wikipedia.org/wiki/Walewangko,_Langowan_Barat,_Minahasa

SULAWESI SELATAN
 https://id.wikipedia.org/wiki/Tongkonan
 http://kisahasalusul.blogspot.com/2015/12/rumah-adat-tongkonan-tana-toraja.html

GORONTALO
 http://www.rumah-adat.com/2015/03/rumah-adat-gorontalo.html
 http://adat-tradisional.blogspot.com/2016/10/rumah-adat-gorontalo-dolohupa-
bandayo.html

Arsitektur Tradisional Sulawesi


72

Anda mungkin juga menyukai