Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG

Arsitektur merupakan produk budaya manusia dalam bentuk bangunan yang


pada awalnya digunakan sebagai tempat untuk bernaung, hidup dan berlindung
dari alam yang mengancam. Prinsip umumnya adalah membangun sesuatu di atas
permukaan tanah sebagai penanda, sebagai ruang yang digunakan bagi mereka
untuk menjadi suatu kesatuan. Namun, pada intinya arsitektur itu untuk
KEHIDUPAN. Baik itu kehidupan rakyat atas, menengah maupun bawah serta
berguna untuk berbagai disiplin ilmu. Dan kondisi itu terjadi setelah keberadaan
lingkungan manusia yang dipengaruhi oleh zaman yang melingkupinya. Maka
suatu bangunan tercipta karena adanya suatu ide-ide manusia yang tercipta atau
terwujudkan melalui kondisi zaman yang menaunginya.
Dalam dunia arsitektur khususnya arsitektur nusantara, ketika membangun
suatu bangunan tidak akan lepas dari pengaruh keindahan maupun struktur yang
mengadopsi dari adat istiadat, kepercayaan serta tradisinya masing-masing.
Sehingga, arsitektur nusantara seringkali disebut arsitektur tradisional. Arsitektur
tradisional merupakan hasil dari lingkungan yang membuat tiap daerah memiliki
berbagai varian bangunan yang dibangun sebagai respon dari kondisi alam suatu
daerah. Arsitektur nusantara atau tradisional ini bahkan telah dikenal luas dan
banyak dieksplorasi sejak masa kolonial atau penjajahan. Akan tetapi, seiring
berjalannya waktu perkembangan arsitektur di Indonesia masa kini lebih mengacu
pada arsitektur dari Barat.
Telah kita ketahui bahwa Pengertian atau konsep rumah bagi penduduk asli
kepulauan Nusantara berbeda dengan konsep rumah bagi bangsa Barat atau Eropa.
Bagi bangsa Barat atau Eropa, rumah merupakan tempat tinggal, istirahat dan
berteduh. Akan tetapi bagi penduduk asli, rumah tidak hanya berfungsi sebagai
tempat tinggal, namun juga sebagai penggambaran dunia secara mikro
(mikrokosmos) dari dunia tempat hidup manusia (makrokosmos). Dengan
demikian rumah tidak hanya sekedar tempat atau ruang dibawah naungan namun

1
juga bagian dari dunia. Konsep rumah yang demikian ditemukan pada hampir di
seluruh Rumah Tradisional di penjuru nusantara. Selain itu, pembangunan Rumah
Tradisional selalu melibatkan tidak hanya pemilik rumah namun juga seluruh
masyarakat setempat atau komunitas. Tahapan pembangunan rumah, dari
pemilihan tapak dan bahan, mempertimbangkan adat dan kondisi lingkungan.
Teknik pembangunan diturunkan dari generasi ke generasi baik melalui legenda,
pantun, cerita ataupun melalui proses magang. Pemilihan material bangunan
menggunakan material lokal yang ditemui di sekitar pemukiman. Sistem struktur
dan konstruksi disusun bukan dari hasil perhitungan mekanika namun berdasarkan
uji coba (trial and error) yang berlangsung selama bertahun-tahun. Karena itu,
Rumah Tradisional mampu bertahan hingga puluhan bahkan ratusan tahun dan
sangat sesuai dengan kondisi iklim, cara hidup dan kondisi geografis nusantara
yang termasuk dalam garis patahan lempeng bumi yang rawan gempa. Namun
unsur-unsur lokal tersebut dianggap telah kuno dan tidak menarik. Kearifan lokal
dan tradisi ikut tergerus perkembangan jaman. Di sisi lain, Arsitektur nusantara
yang dianggap kuno tersebut telah terbukti mampu bertahan melewati waktu yang
panjang. Mempelajari arsitektur Rumah Tradisional dapat memberikan landasan
pijak yang baik bagi arsitek-arsitek muda bagi perkembangan arsitektur di
Indonesia masa kini. Hal tersebutlah yang menuntun kami untuk mempelajari
beberapa rumah adat peninggalan para leluhur bangsa khusunya yang ada di
daerah BOSOWA (Bone, Soppeng dan Wajo) dan juga sebagai media
pembelajaran kami yang terwujudkan melalui study tour atau dalam hal ini kami
mengambil judul yaitu JEJAK (Jelajah Arsitektur) yang dilaksanakan oleh kami
sendiri beserta dosen pembimbing kami yang di naungi oleh Universitas Fajar
(UNIFA).

2
1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang ingin


dijawab adalah sebagai berikut:

1.2.1 Seperti apa Arsitektur Rumah Adat yang ada di Bone, Soppeng dan Wajo?
1.2.2 Apa saja yang menjadi tolak ukur dalam Arsitektur Nusantara di Rumah
Adat Bone,Soppeng dan Wajo?
1.2.3 Apa saja nilai seni yang terkandung dalam Rumah Adat Bone, Soppeng dan
Wajo?

I.3 TUJUAN
Adapun tujuan pelaksanaan kegiatan yaitu:
I.3.1 Untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap mahasiswa agar
mampu terlibat secara langsung dalam kegiatan ini.
I.3.2 Untuk mengetahui sejarah, estetika maupun struktur dari rumah adat yang
akan di observasi.
I.3.3 Untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan Ilmu Perancangan.

I.3.4 Memberikan konsep-konsep dasar dalam dunia Arsitektur Nusantara.

I.4 MANFAAT
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:
I.4.1 Bagi ilmu pengetahuan, peneliti berharap penelitian ini mampumemberikan
kontribusi positif dan melengkapi pandangan mengenaiarsitektur tradisional
serta memberikan pandangan berbeda terhadaparsitektur nusantara dengan
barat.
I.4.2 Bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, penelitian ini diharapkan
dapat memberikan wawasan baru tentang arsitektur tradisional yang ada di
Bone, Soppeng dan Wajo secara terperinci.

3
I.4.3 Bagi kami sendiri sebagai Mahasiswa, diharapkan dapat membuat kami jauh
lebih paham seperti apa arsitektur tradisional di daerah Bone, Soppeng dan
Wajo.

I.5 METODE PENELITIAN


Adapun metode penelitian yang kami lakukan yaitu:

I.5.1 Persiapan

Tahap persiapan merupakan rangkaian kegiatan kita sebelum memulai suatu


penelitian atau observasi. Langkah yang dilakukan pada tahap ini yaitu
penyusunan proposal yang berisi rancangan penelitian, pada langkah ini anggota
peneliti dibimbing oleh dosen sekaligus dosen pembimbing mata kuliah
Perkembangan Arsitektur yang kemudian disetujui dan selanjutnya dikembangkan
dengan baik sesuai dengan teori maupun metode penelitian yang digunakan.
Adapun jenis penelitian yang digunakan yakni penelitian kualitatif. Yang mana
metode ini merupakan tradisi tertentu dalam ilmu penegetahuan sosial yang secara
fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya
sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan
dalam peristilahannya.

Sedangkan tahapan yang dilakukan sebelum melaksanakan study tour ini


yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan prosedur yang sistematik dan
standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Adapun langkah-langkah yang
dilakukan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini antara lain:

a. pengumpulan data;
b. observasi;
c. pencatatan data;
d. analisis di lapangan;
e. penulisan laporan.

Dan sebelum melaksanakan langkah-langkah tersebut, pada awalnya


dilakukan pembentukan kelompok yang terdiri dari kelompok Sejarah, Estetika

4
dan Struktur. Yang mempunyai tugas masing-masing di Lapangan (pada saat
observasi) nantinya.

I.5.2 Kunjungan

Pada tanggal 17-19 Desember 2018, Program Studi Teknik Arsitektur


melakukan study tour yang dilaksanakan sebagai penunjang tugas Perkembangan
Arsitektur yang mengambil judul atau tema JEJAK (Jelajah Arsitektur). Kegiatan
study tour ini bertujuan untuk mengenalkan Rumah adat beserta hal-hal penting
yang berkaitan dengan rumah adat itu sendiri kepada calon-calon Arsitek UNIFA
yang nantinya akan bermanfaat pula kepada masyarakat. Pada kegiatan ini,
peserta JEJAK mengambil lokasi yaitu BOSOWA (Bone, Soppeng, dan
Wajo).Yang mana pada Kab. Bone JEJAK 18 mengunjungi Rumah Adat Bola
Soba’, Masjid Tua Al-Mujahidin, dan Museum Lapawawoi. Pada Kab. Soppeng,
JEJAK mengunjungi Villa Yuliana dan Rumah Kuning. Dan pada Kab. Wajo,
JEJAK mengunjungi Saoraja La Tenri Bali.

I.5.3 Diskusi dan Penulisan Laporan

Pada awalmya yang ada di kelompok sejarah,struktur, dan estetika kami


satukan dalam 1 kelompok rumah adat yang sama. Setelah itu, kami memulai
diskusi dengan membicarakan sejarah, struktur, dan estetika di masing-masing
rumah adat.kami membahas pertama tentang sejarahnya, dimana di jelaskan
tentang mengapa di bangun rumah adat ini dan pemilik rumah adat. Kemudian
kami membahas tentang estetikanya dimana kami membahas makna dan cara-cara
pembuatan rumah adat. Lalu membahas tentang struktur.

Pada saat penulisan laporan kami pertama-tama mengumpulkan semua data


pribadi yang telah kami dapat dari observasi dan adapun sebagian data kami ambil
dari internet untuk melengkapi laporan ini.

5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LOKASI PENELITIAN

II.1 KAJIAN PUSTAKA


Sao Raja La Tenri Bali adalah kalimat yang berbahasa bugis. Saoraja
menurut bahasa bugis sendiri dapat diartikan ke dalam bahasa indonesia yang
artinya rumah raja sedangkan La Tenri Bali sendiri merupakan salah satu nama
Raja yang pernah memimpin kerajaan Wajo. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) rumah artinya bangunan untuk tempat tinggal sedangkan Raja
artinya Penguasa tertinggi pada suatu kerajaan (biasanya di peroleh sebagai
warisan, dan dapat pula diartikan orang yang mengepalai dan memerintah suatu
bangsa atau negara.
Saoraja La Tenri Bali berlokasi di Sulawesi Selatan 90918, tepatnya terletak
di desa Atakkae kecamatan Tempe kabupaten Wajo. Lokasinya berada kurang
lebih 3 kilometer ke arah Timur dari kota Sengkang ibukota Kabupaten Wajo.
Dengan jarak 242 km dari Makassar ibukota Sulawesi Selatan.Wajo sendiri
menurut orang bugis diartikan sebagai bayangan atau bayang-bayang (wajo-
wajo). Kata Wajo dipergunakan sebagai identitas masyarakat 605 tahun yang lalu
yang menunjukkan kawasan merdeka dan berdaulat dari kerajaan-kerajaan besar
pada saat itu.

II.2 LOKASI PENELITIAN

Lokasi penelitian yang berada di Kabupaten Wajo dan merupakan salah satu
lokasi yang strategis dan jauh dari kebisingan membuat rumah adat ini menjadi
salah satu wisata yang sering digunakan sebagai pusat atraksi budaya di
kabupaten Wajo, dan hampir setiap tahunnya dijadikan sebagai tempat kegiatan
perkemahan lokal dan nasional. Batas wilayah Kabupaten Wajo bagian Utara
yaitu Kabupaten Sidenreng Rappang dan Kabupaten Luwu, Selatan yaitu
Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Bone, Barat yaitu Kabupaten Sidenreng
Rappang dan Kabupaten Soppeng, Timur yaitu Teluk Bone. Dengan luas wilayah

6
2.056,19 𝑘𝑚2 . Dengan posisi geografis antara 30 390 -40 160 LS dan 1190 530 -
1200 270 BT. Di sekitar lokasi tempat berdirinya rumah adat ini terdapat pula
rumah-rumah adat khas setiap kecamatan di kabupaten Wajo. Bentuknya mirip
dengan Saoraja La Tenri Bali. Hanya saja, bentuknya lebih kecil dari Saoraja La
Tenri Bali. Dan rumah-rumah kecil ini kerap dijadikan sebagai tempat menginap
para wisatawan yeng berkunjung ke Perumahan Rumah Adat Atakkae. Sangatlah
menyenangkan bisa menginap dan menikmati ketenangan di daerah ini serta
cocok untuk dijadikan sebagai tempat refreshing dan mencari inspirasi.
Ukurannya yang besar membuat rumah adat ini salah satu rumah adat yang unik
di sulawesi selatan.

7
PETA LOKASI

Gambar 2.1 Peta Sulawesi Selatan dan


Kabupaten Wajo
(sumber:petatematikindo.wordpress.com)

8
Gambar 2.2 Peta Lokasi Kota
Sengkang dan Desa Attakkae
(sumber:Google Earth)

SAORAJA LA TENRI
BALI

RUMAH WARGA (MILIK


MASING-MASING
KECAMATAN DI WAJO

Gambar 2.3 Denah Kawasan Saoraja La Tenri Bali


(sumber:Data Pribadi)

9
BAB III

PEMBAHASAN

RUMAH ADAT SAORAJA LA TENRI BALI


III.1 SEJARAH
Sao Raja La Tenri Bali merupakan rumah adat yang ada di Kabupaten Wajo
yang mayoritas penduduknya bersuku Bugis. Sedikit penjelasan mengenai suku
Bugis yaitu suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Yang
masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia
tepatnya Yunan.
Sebelum kita mengkaji seperti apa Saoraja La Tenri Bali itu kita terlebih
dahulu harus mengetahui bagaimana sejarah dari pemilik rumah adat ini. Nama
dari rumah adat ini diambil dari nama salah satu raja yaitu La Tenri Bali. Namun,
bagi masyarakat sekitar pemimpin yang menjadi Raja di Kerajaan Wajo disebut
dengan Arung Matoa.Wajo sendiri mempunyai Sejarah yang berbeda dengan
sejarah kerajaan lain yang umumnya memulai kerajaannya dengan kedatangan To
Manurung. Sejarah awal Wajo menurut Lontara Sukkuna Wajo dimulai dengan
pembentukan komunitas dipinggir Danau Lampulung. Disebutkan bahwa orang-
orang dari berbagai daerah, utara, selatan, timur dan barat, berkumpul dipinggir
Danau Lampulung. Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui
namanya yang digelari dengan Puangnge Ri Lampulung. Puang ri Lampulung
dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda alam dan tatacara
bertani yang baik. Adapun penamaan danau Lampulung dari kata sipulung yang
berarti berkumpul.
Komunitas Lampulung terus berkembang dan memperluas wilayahnya
hingga ke Saebawi. Setelah Puang ri Lampulung meninggal, komunitas ini cair.
Hingga tiba seseorang yang memiliki kemampuan sama dengannya, yaitu Puang
ri Timpengeng di Boli. Komunitas ini kemudian hijrah dan berkumpul di Boli.
Komunitas Boli terus berkembang hingga meninggalnya Puang ri Timpengeng.
Setelah itu, putra mahkota kedatuan Cina dan kerajaan Mampu, yaitu La
Paukke datang dan mendirikan kerajaan Cinnotabi. Adapun urutan Arung

10
Cinnotabi yaitu, La Paukke Arung Cinnotabi I yang diganti oleh anaknya We
Panangngareng Arung Cinnotabi II. We Tenrisui, putrinya menjadi Arung
Cinnotabi III yang diganti oleh putranya La Patiroi sebagai Arung Cinnotabi IV.
Sepeninggal La Patiroi, Adat Cinnotabi mengangkat La Tenri Bali dan La
Tenritippe sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V. Setelah itu, Akkarungeng
(kerajaan) Cinnotabi bubar. Warga dan adatnya berkumpul di Boli dan
membentuk komunitas baru lagi yang disebut Lipu Tellu KajuruE.
La Tenritau menguasai wilayah majauleng, La Tenripekka menguasai
wilayah sabbamparu dan La Matareng menguasai wilayah takkalalla. Ketiganya
adalah sepupu satu kali La Tenribali. La Tenribali sendiri setelah kekosongan
Cinnotabi membentuk kerajaan baru disebut Akkarungeng ri Penrang dan menjadi
Arung Penrang pertama, inilah awal mula pemerintahan atau kerajaan La Tenri
Bali. Ketiga sepupunya kemudian meminta La Tenri Bali agar bersedia menjadi
raja mereka. Melalui perjanjian Assijancingeng ri Majauleng maka dibentuklah
kerajaan Wajo. La Tenri Bali diangkat sebagai raja pertama bergelar Batara
Wajo. Ketiga sepupunya bergelar Paddanreng yang menguasai wilayah distrik
yang disebut Limpo. La Tenritau menjadi Paddanreng ri Majauleng, yang
kemudian berubah menjadi Paddanreng Bettempola pertama. La Tenripekka
menjadi Paddanreng Sabbamparu yang kemudian menjadi Paddanreng
Talotenreng. Terakhir La Matareng menjadi Paddanreng ri Takkallala menjadi
Paddanreng Tuwa.

Sedikit penjelasan mengenai Batara Wajo. Batara Wajo ini bersifat Monarki
Absolut yang mengankat Raja berdasarkan keturunan. Namun setelah mengalami
perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan
hak-hak kemerdekaan orang wajo. Posisi Batara Wajo yang bersifat monarki
absolut diganti menjadi Arung Matoa yang bersifat Monarki Konstitusional.
Arung Matoa inilah yang sangat dikenal oleh masyarakat sekitar.

Menurut sumber yang kami dapat Rumah Adat Sao Raja La Tenri Bali
yang ada sekarang ini di Wajo hanya merupakan duplikat dari rumah Raja La

11
Tenri Bali yang dibangun oleh Bupati Dahlan Maulana yang kemudian
diresmikan pada tahun 1995. Yang pembangunannya diletakkan di desa Atakkae.

III.2 ESTETIKA
Adapun juga yang menjadi hasil penelitian kami yang ke-3 yaitu estetika
(keindahan) dimana suatu bangunan (rumah adat) tentunya memiliki berbagai
macam estetika yang mempunyai makna maupun hanya sekedar sebagai hiasan
untuk memperindah bangunan tersebut. Di sini kami meneliti berbagai macam
aspek bangunan sao raja la tenri bali yang dilihat dari segi estetika dan dipandu
oleh seorang narasumber, akhirnya kami dapat mengumpulkan hasil penelitian
kami mengenai estetika.

III.2.1 Bentuk rumah.

Rumah adat yang berupa rumah panggung pada umunya mencirikan rumah
adat khas para bangsawan (raja). Karena bentuknya dan ukurannya yang besar
memberikan keunikan tersendiri. Dan juga bentuk ini adalah perpaduan antara

bentuk segi panjang dan juga trapesium yang menandakan bahwa bentuk tersebut
adalah bentuk yang sangat optimis dan konsisten untuk rumah tersebut.

BENTUK SEGITIGA

BENTUK
SEGIEMPAT

Gambar 3.1 Rumah Adat Saoraja La tenri Bali


(sumber: Data Pribadi)

12
a. Bentuk segitiga pada bagian atap Saoraja La Tenri Bali
Segitiga di hormati pula sebagai salah satu bentuk murni.dari bentuk
segitiga ini pula menurut salah satu sumber adalah bentuk segitiga pada atap
saoraja ini memiliki makna yang ideal sehingga bentuk ini di pilih sebagai
bentukatapnya karena bentuk segitiga menurut keyakinan masyarakat di
sekitar rumah ini yaitu bentuknya yang menyampaikan pesan yang religius.
Segitiga secara umum merupakan bentuk yang sudah tidak bisa lagi
disederhanakan. Segitiga pula merupakan simbol kestabilan yang mana
semua struktur bisa berdiri dengan stabil bila resultan gaya-gaya yang
bekerja padanya membentuk polygon segitiga. Segitiga mewakili tekanan
dinamis, aksi dan agresi.segitiga memiliki energi dan kekuatan dan dinamis
stabil serta tidak stabilnya dapat menunjukkan baik konflik
maupunkekuatan yang mantap. Segitiga ini juga mampu menjadi simbol
hukum, ilmu dan agama karena bentuknya yang seimbang.
b. Bentuk segi empat pada bagian tengah rumah.
Bentuk segi empat memberikan kesan makna yang tegas yang memberikan
rasa ketegasan,perintah, dan konsisten. Bentuk kotak ini pula memiliki
kesan kejujuran dan kestabilan. Menurut salah satu sumber mengatakan
bahwa bentuk segiempat ini juga memiliki kesan kemapanan, keamanan,
damai, dan persamaan.
c. Bentuk persegi panjang pada bagian badan rumah.

BENTUK PERSEGI
PANJANG

Gambar 3.2 Saoraja La Tenri bBali


(sumber: Data Pribadi)

13
Menurut beberapa sumber, persegi panjang adalah bentuk yang perlu
manusia renungkan bahwa kehidupan tidak terlepas dari visi misi tujuan
yang sama walaupun keandaan persegi panjang tidak mengimpit, akan tetapi
bentuk ini kita dapat jadikan contoh dalam kehidupan ini bahwa apabila
semua manusia tidak lagi memperdulikan misi dan visi untuk kemajuan dan
kemakmuran suatu kelompok maka akan terjadi pecah belah. Oleh karena
itu bentuk ini sangat didominasi dari bentuk rumah saoraja la tenri bali ini.

III.2.2 Atap

Atapnya berbentuk pelana menyerupai atap rumah masyarakat bugis pada


umumnya hanya saja atap rumah sao raja la tenri bali ini sangat besar
menyesuaikan dengan ukuran badan rumah yang besar pula serta memperlihatkan
kebangsawanannya dengan dari kayu lilin yang disirat.

TIMPA LAJA

(7 TINGKAT)

Gambar 3.3 Atap Teras dan juga atap badan rumah


(sumber: Data Pribadi)

TIMPA LAJA

(3 TINGKAT)

Gambar 3.4 Atap Dapur


(sumber: Data Pribadi)

14
Pada atap rumah terdapat timpa laja yang bertingkat sampai 7 tingkat
sebagai penutup rumah bagian depan dan memberikankesan (menandakan) rumah
tersebut rumahbangsawan.semakin banyak jumlah timpak lajanya,berarti
menandakan bahwa orang yang menempati tersebut memiliki derajat yang lebih
tinggi. Dan timpa lajanyapun harus berjumlah ganjil. Timpa laja ini pula
diibaratkan sebagai 7 wali atau 7 pemuka adat.

III.2.3 Tiang/Alliri

1 2

;Gambar 3.5 (1.) pemandangan Tiang bagian bawah Saoraja La Tenri Bali;
(2.) Tiang bagian dalam rumah
(sumber: Data Pribadi)

Tiangnya yang berbentuk segi 8 yang menyerupai bentuk bundar/bulat yang


besar dengan jumlah 101 buah menandakan bahwa rumah tersebut adalah rumah
yang sangat luas dan sewaktu waktu dapat menampung para tamu undangan bila
ada pesta adat maupun kegiatan-kegiatan upacara adat di saoraja la tenri bali
(rumah raja). Bentuk tiang/aliri yang berbentuk bundar dan besar sehingga bila di
pandang dari kejauhan, orang yang melihatnya akan merasa bahwa rumah ini
adalah rumah raksasa. Dengan ukuran tiang/aliri yang sangat besar dan tinggi
menjulang hingga ke loteng ini mampu memberikan rasa nyaman terhadap
siapapun yang berada di rumah itu karena merasakan keamanan dan kenyamanan
yang lebih terjamin. Dan bentuk tiang/aliri yang bundar dapat menandakan bahwa
saoraja ini adalah rumah raja yang sangat kuat dari berbagai masalah alam
maupun masalah peperangan.

15
III.2.4 Badan rumah.

Di badan rumah bagian dalam tempat raja melakukan acara-acara adat dan
terdapat kain yang menempel pada tiang rumah, dan warnanya identic dengan
warna coklat tua yang menandakan bahwa rumah ini memiliki aura yang sangat
kuat dari semangat para raja-raja yang pernah memimpin daerah ini. Dan bentuk
rumah ini juga yaitu persegi empat yang di mana mempunya volume ruang cukup
luas sehingga aktivitas manusia tetap terjaga keefisiennya.

Gambar 3.6 Badan Rumah (tampak dalam dan luar)


(sumber: Data Pribadi)

III.2.5 Tangga rumah (addengeng)

Tangganya yang berkelok sampai 3 tingkat dan ada 2 badan serta lebarnya
yang menyesuaikan besaran ukuran rumah. selain menandakan bawha rumah
tersebut adalah rumah bangsawan juga memberikan keindahan tersediri bagi
rumah tersebut. Dan juga ketika manusia ingin melewati tangga tersebut untuk
menuju kedalam rumah akan tidak merasakan lelah pada saat menaiki anak
tangga tersebut sehingga tangga saoraja ini mempunya tangga yang bertingkat dan
terdapat bagian datar di salah satu tingkatan rumah itu sehingga ada kesempatan

16
untuk beristirahat sejenak setelah menaiki beberapa anak tangga tersebut.
Sementara itu, hanya golongan ana’ cera’ ke atas yang berhak menggunakan
tangga yang naik membujur. Dan hanya kalangan bangsawan tertinggi boleh
menggunakan tangga berupa latar miring tanpa anak tangga, terbuat dari bila-bila
bambu yang, notabene, sangat licin dan disebut sapana ( bahasa Sansekerta yang
mungkin diadopsi lewat bahasa Melayu: Sopana ’tangga’).

TAMPAK ATAS

Gambar 3.7 Tangga Depan


(sumber: Data Pribadi)

17
TAMPAK ATAS

Gambar 3.8 Tangga Belakang


(sumber: Data Pribadi)

III.2.6 Dinding (rinring)

Terdapat banyak ukiran pada dinding rumah, dinding teras serta di bagian
timpak laja menandakan bahwa rumah tersebut adalah rumah bangsawan
sekaligus memberikan keindahan pada rumah tersebut. Dan ukiran tersebut
mempunyai arti tersendiri yang di mana di ambil dari kisah maupun keseharian
masyarakat bugis pada saat itu. Dan ukiran itu pula sangat kental dengan suku
bugis itu sendiri. Dan pada bagian bagian dinding pula di penuhi dengan adanya
jendela-jendela yang lebih mampu memberikan kesan yang tidak monoton pada
saat di lihat dan sangat memanjakan mata karena adanya jendela jendela banyak
berjejran di dinding-dinding saoraja tersebut sehingga memberikan kesan mewah
dan luas. Menurut beberapa sumber pada bagian dinding di berikan jendela yang
cukup banyak di setiap meternya karena juga berfungsi sebagai fentelasi udara
karena jika pada saat pengadaan upacara adat orang yang berada di dalamnya
tidak lagi kekurangan udara dan tidak kepanasan jika tamu kerajaan cukup
banyak.

18
Gambar 3.9 Dinding Rumah (tampak samping kiri dan kanan
(sumber: Data Pribadi)

Gambar 3.10 Dinding Rumah (tampak depan belakang


(sumber: Data Pribadi)

19
III.2.7 Kusen.

Model pintu dan jendela ada 2 daun dan mempunyai ukiran menandakan
bahwa rumah tersebut adalah rumah yang sangat istimewa karena dahulu terasa
sangat tidak menarik dan istimewah jika pintu sebagai penerima tamu kerajaan itu
tidak di hiasi dengan ukiran ciri khas tersendiri dari rumah itu maupun
masyarakatnya atau suku bugis itu sendiri.

DAUN PINTU

Gambar 3.11 Kusen Gambar 3.12 Kusen Jendela


Pintu(sumber: Data Pribadi) (sumber: Data Pribadi)

a. Pada rumah saoraja la tenri bali terdapat pintu dan jendela yang ukurannya
yang cukup besar.
b. Pintunya yang mempunyai dua daun pintu sehingga mempunyai ukuran
yang cukup besar dan dapat menampung beberapa orang sekaligus sehingga
tidak lagi berhimpi-himpitan jika banyak tamu kerajaan yang dating ke
rumah ini.
c. Model atau corak dari kusen kusennya itu mendominasi bentuk segi empat
yang di susun sedemikian rupa sehingga menyerupai timbulan-timbulan
kotak-kotak kecil yang berjejer, dan terdapat beberapa lubang yang cukup
untuk udara masuk kedalam rumah.

20
III.2.8 warna

Warna emas yang melekat pada


papan menandakan bahwa rumah
tersebut adalah rumah yang sangat
megah di antara rumah-rumah yang
di sekitarnya (rumah raja). Sehingga
kesan yang di berikan oleh warna
emas itu pula mampu menghipnotis
para mata yang melihatnya merasa
rumah ini adalah bukan rumah
Gambar 3.13 warna emas pada hiasan
sembarangan dan rumah biasa. Dan rumah (sumber: Data Pribadi)
masyarakat bugis di kala itu juga
mempercayai atau meyakini bahwa warna emas dapat mendatangkan berita-berita
baik yang bertentangan dengan suatu persatuan ataupun kerajaan. Lebih dari itu
juga, warna emas adalah sebagai tanda kekuasaan atau kekuatan para raja saat itu.

Gambar 3.14 warna coklat pada dinding


(sumber: Data Pribadi)

Warna rumah yang dominan coklat tua seperti yang terlihat pada gambar di
atas, tidak hanya untuk memberikan keindahan tersendiri, tapi, juga memberikan
rasa ketegasan dan kekuatan yang kuat dari dalam jiwa kerajaannya.

21
III.1.2.9 Hiasan.
Adapun tanduk rusa sebagai hiasan yang terpasang pada tiang depan bagian
teras memiliki makna sebagai simbolis kerajaan pada rumah tersebut pada masa
itu. Dan juga terdapat beberapa hiasan yang di tempatkan pada tempat yang
tertentu pada bagian dalam rumah maupun luar rumah.

Hiasan yang satu ini


merupakan miniatur dari Baju Adat
suku Bugis dan diperlihatkan di
rumah adat ini agar pengunjung yang
datang dapat mengetahui seperti apa
baju aat yang ada di Wajo.

Gambar3.15 Miniatur Baju Adat


(sumber:Data Pribadi)

Relin Lego-Lego (Balkon) ini


digunakan sebagai pembatas untuk
menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan dan juga memberikan
keindahan tersendiri bagi Rumah.

Gambar 3.16 Relin Balkon


(sumber: Data Pribadi)

Ukiran ini dibuat agar tampilan


tangga lebih menarik dan menambah
kesan indah pada rumah adat Saoraja dan
juga mempertegas makna dari rumah
adat.
Gambar 3.17ukiran tangga
(sumber: Data Pribadi)

22
ANJONG

Gambar 3.18 Hiasan pada Atap Rumah


(sumber:Data Pribadi)

Pada atap terdapat simbol kerajaan yang bentuknya mirip seperti burung
lebih tepatnya disebut ANJONG yang artinya yaitu melambangkan
kepemimpinan sekaligus penanda atau pembeda antara Rumah Raja dengan
Rumah Masyarakat.Selain sebagai hiasan rumah, anjong juga memiliki makna
tertentu bagi orang bugis. Anjong merupakan salah satu ciri khas orang bugis,
dimana pada rumah orang bangsawan memiliki lebih dari dua anjong.Sedangkan
anjong pada rumah orang biasa tidak lebih dari dua.

Pada pinggir atap antara


listplank dengan ring balok
terdapat hiasan semacam ukiran
kayu yang menyerupai buah nanas
menandakan bahwa dulu kerajaan
tosora (nama sebelum menjadi kab.
Wajo) pernah di makmurkan oleh
buah nanas. Sehingga buah nanas
menjadi ukiran di salah satu objek
yang berada di saoraja ini. Terdapat Gambar 3.19 Hiasan buah nanas
semacam ukiran kayu yang (sumber: Data Pribadi)

menyerupai naga pada tiap-tiap sudut puncak atap atau bubungan atap yang
mampu memberikan kesan kewibawaan rumah kerajaan itu, dan memberikan
keindahan tersendiri untuk saoraja tersebut.

23
Pada dasarnya, rumah tersebut memiliki atap (pangate’) dua latar dengan
sebuah bubungan lurus (alekke’), yang berbeda dengan bubungan lengkung yang
terdapat pada rumah toraja, Batak, dan Minangkabau, serta pada rumah Jawa.
Dindingnya (renring) terbuat dari bahan ringan, sementara lantainya (salima)
berjarak sekitar 2 meter / kadang-kadang lebih dari permukaan tanah dan kolong
rumah (awa bola) biasanya dibiarkan terbuka.

III.3.3 STRUKTUR
III.3.1 Denah
Saoraja La Tenri Bali merupakan sebuah rumah
panggung raksasa.Dimana lantai dasarnya dipenuhi
oleh pemandangan 101 jumlah tiang yang tersebar
rata. Pada rumah bugis, sentralitas ditandai oleh aliri
posisi tiang pusar yang menandai sumber sumange’
dan dihormati dalam ritual, sebagaimana totalitas
pusat dan pinggir, dimana setiap sudut rumah
ditandai dengan sesajen dan doa. Kehadiran roh
penjaga pada tiang pusat juga terdapat dalam La
galigo dimana tiang pusat istana raja kerap menjadi
fokus kegiata dalam kisah tersebut.
Tiang ini dihiasi saat ada upacara-upacara,
tarian-tarian disajikan di sekitarnya, dan ketika
Gambar 3.20 Denah Rumah
dilakukan pelayaran antara dunia Tengah (Alo` Adat Saoraja La Tenri Bali
Bola) dan dunia Atas (Rakkeang), itulah fungsi (sumber: Data Pribadi)

lantai dasar Saoraja La Tenri Bali ini. Sedangkan,


lantaiutamanya digunakan sebagai ruang musyawarah atau acara-acarayang tidak
lagi menggunakan upacara dan sebagainya.

24
III.3.2 Atas (Atap)
Pada bagian atap terdapat timpa laja yang memiliki 7 tingkatan pada bagian
atap lego-lego dan juga pada bagian atap badan rumah (ruang utama), 7 atap ini
diibaratkan sebagai 7 pemuka adat atau 7 wali. Berbagai ciri khas juga
ditambahkan pada rumah-rumah kalangan bangsawan tinggi untuk menunjukkan
status sosial mereka. Ciri paling menonjol adalah jumlah bilah papan yang
menyusun dinding bagian muka atap rumah (timpa’ laja’, dari bahasa Melayu
tebar layar): Dua lapis untuk tau deceng, Tiga untuk ana’cera’, lima untuk ana’
ma’tola,dan tujuh untuk penguasa kerajaan-kerajaan utama bugis,luwu’,bone,
wajo’,soppeng, dan sidenreng. Sementara itu, hanya golongan ana’ cera’ ke atas
yang berhak menggunakan tangga yang naik membujur.Sedangkan, pada bagian
atap dapur terdiri dari terdiri dari 3 tingkatan timpa laja.

Gambar 3.21 Tingkatan Timpa’ Laja Gambar 3.22 Struktur Atap (kuda-kuda)
(sumber: Data Pribadi) (sumber: Data Pribadi)

Saoraja La Tenri Bali menggunakan atap pelana dengan genteng sirap.


Adapun timpa laja yang masih dipergunakan sekarang sebagai salah satu pembeda
antara rumah bangsawan dan masyarakat biasa, dan jenis-jenisnya adalah:
1. Salassa’ tidak terbatas banyaknya tingkatan timpa’ laja’ nya;
2. Salassa Baringeng , hanya tiga tingkatan timpa’ laja’ nya;
3. Rumah tiga petak, dua tingkatan timpa’ laja’ nya; dan
4. Rumah rakyat, tidak bertingkat timpa’laja’ nya.

25
Pada bagian atap rumah ini biasanya digunakan untuk penyimpanan padi,
dan pada saat acara pernikahan calon pengantin perempuan (Putri Raja)
melaksanakan tahapan berupa pingitan yang mana calon perempuan akan tinggal
pada bagian atap ini sampai acara (resepsi) pernikahannya.Kuda-kuda dari rumah
ini berjumlah 8.

III.3.3 Tengah (Badan Rumah)


Pada bagian tengah terdapat 3 bagian, yaitu Lego-lego, Ruang Utama, dan
Dapur. Lego-lego dan ruang utama ini saling berhubungan sedangkan dapur ada
yang membatasi. Lego-lego yang terletak padabagian depan dari saoraja inilah
yang pertama dijumpai pengunjung setelah menaiki tangga yang berfungsi
sebagai tempat duduk tamu sebelum dipersilahkan masuk ke dalam bagian dalam
dari saoraja. Selain itu saoraja la tenri bali juga mempunyai dapureng (jonge),
yang terletak di belakang yang berfungsi sebagai tempat memasak dan
menyimpan peralatan masak.

Gambar 3.23 Badan Rumah


(sumber: Data Pribadi)

26
Ale bola (badan rumah) yang terdiri dari lantai dan dinding yang terletak
antara lantai dan loteng. Pada bagian ini terdapat ruangan-ruangan yang
dipergunakan dalam aktivitas sehari-hari seperti menerima tamu, tidur,
bermusyawarah, dan berbagai aktifitas lainnya. Badan rumah tediri dari beberapa
bagian rumah seperti:Lotang risaliweng, Pada bagian depan badan rumah disebut
yang berfungsi sebagai ruang menerima tamu, ruang tidur tamu, tempat
bermusyawarah, tempat menyimpan benih, tempat membaringkan mayat sebelum
dibawa ke pemakaman..

1 2

Gambar 3.24 (1) Lego-lego; (2) Ruang Tengah; (3) Addapureng


(sumber: Data Pribadi)

27
WARE`

Gambar 3.25 Penyangga Loteng


(sumber: Data Pribadi)

III.3.4 Kolom

ARRATENG

TUNEBBA

Gambar 3.26 Penyangga Lantai


(sumber: Data Pribadi)

28
Awa bola ialah kolong yang terletak pada bagian bawah, yakni antara lantai
dengan tanah. Kolong ini biasa pada zaman dulu dipergunakan untuk menyimpan
alat pertanian, alat berburu, alat untuk menangkap ikan dan hewan-hewan
peliharaan yang di pergunakan dalam pertanian. Bahan bangunan utama yang
banyak digunakan adalah kayu, jenis kayu yang digunakan adalah kayuulin.

Awa bola ialah kolong yang terletak pada bagian bawah, yakni antara lantai
dengan tanah. Kolong ini biasa pada zaman dulu dipergunakan untuk menyimpan
alat pertanian, alat berburu, alat untuk menangkap ikan dan hewan-hewan
peliharaan yang di pergunakan dalam pertanian. Bahan bangunan utama yang
banyak digunakan adalah kayu, jenis kayu yang digunakan adalah kayuulin.

Sistem struktur menggunakan rumah panggung seperti pada umumnya


dengan menggunakan tiang penyangga dan menggunakan pondasi. Rumah adat
ini memiliki 101 tiang penyangga dimana setiap tiang memiliki berat 2 ton yang
terbuat dari kayu ulin yang umumnya berbentuk persegi 8 dan cara untuk
mendirikan tiang tersebut dibantu dengan menggunakan alat berat.

ALLIRI/TIANG

PALANGGA

Gambar 3.27 Alliri(tiang)


(sumber: Data Pribdi)

Lingkaran tiang rumah adat ini yaitu 1,45 m dengan garis tengah 0,45 m,
dan tinggi tiang dari tanah keliang loteng sekitar 8,10 m. bangunan rumah adat ini

29
memiliki ukuran panjang 42,20 m dan lebarnya 21 m, dan tinggi bubungannya 15
m. Jumlah anak tangga dari rumah ini yaitu ada 21 anak tangga dimana rumah
adat ini memiliki anak tangga yang selalu ganjil, dan setiap tangga selalu
bertingkat-tingkat yang memiliki 3 tingkat yang menandakan bahwa rumah itu
adalah rumah raja.Tiang rumah (alliri) bertumpu di atas tanah dan berdiri hingga
ke loteng serta menopang berat atap. Tetapi sekarang, makin banyak rumah besar
yang tiangnya tidak di ditanam lagi, tetapi ditumpukan di atas pondasi batu.
Biasanya terdiri dari 4 batang setiap barisnya. jumlahnya tergantung jumlah
ruangan yang akan dibuat. tetapi pada umumnya, terdiri dari 3 / 4 baris alliri. Jadi
totalnya ada 12 batang alliri.

30
BAB IV

PENUTUP

IV. 1 KESIMPULAN

Saoraja La Tenri Bali berasal dari bahasa bugis. Saoraja diartikan sebagai
istana raja. Sedangkan, La Tenri Bali merupakan salah satu nama raja yang
permah memimpin Wajo. Saoraja ini terletak di Sulawesi Selatan 90918, tepatnya
di desa Attakae kecamatan tempe, kabupaten Wajo.

Rumah saoraja tersebut merupakan duplikat dari rumah Saoraja La Tenri


Bali yang asli karena rumah Saoraja yang asli sudah hancur. Rumah Saoraja ini
juga sudah dialih fungsikan sebagai tempat penginapan bagi para wisatawan dan
juga sebagai pusat atraksi budaya.

Struktur bangunan rumah Saoraja La Tenri Bali terdiri dari 3 yaitu, atap,
Tengah (badan rumah), dan kolom. Atap rumah yang berfungsi sebagai
penyimpanan padi dan tempat pingitan putri raja sebelum pernikahannya. Selain
itu, pada bagian atap terdapat timpa laja yang dimana pada atap lego-lego dan
ruang utama terdapat 7 tingkatan timpa laja. Sedangkan, pada addapureng (dapur)
dan atap tangga terdapat 3 tingkatan timpa lajanya. Pada bagian tengah rumahnya
terdiri atas 3 bagian yaitu lego-lego, ruang utama dan addapureng (dapur) yang
dimana lego-lego berfungsi sebagai tempat duduk tamu sebelum masuk kedalam
saoraja, ruang utama yang berfungsi sebagai tempat terjadinya aktivitas sehari-
hari, dan addapureng (dapur) sebagai tempat memasak dan tempat penyimpanan
peralatan masak. Kolom rumah pada saoraja digunakan untuk tempat
penyimpanan alat, baik itu alat pertanian, alat berburu, maupun alat menangkap
ikan. Sistem struktur kolom tersebut menggunakan sistem struktur rumah
panggung pada umumnya yaitu menggunakan tiang penyangga dan menggunakan
pondasi. Jumlah tiang penyangga ini terdiri dari 101 tiang yang masing-masing
tiangnya mempunyai berat 2 ton.

31
IV. 2 SARAN

Dengan selesainya pembahasan mengenai Saoraja La Tenri Bali, kami


menyarankan kepada para pembaca untuk menggali dan mencari tahu tentang
sejarah, struktur, dan estetika arsitektur nusantara yang ada disekitar kita. hal
tersebut agar kita dapat mempertahankan nilai adat istiadat dan budaya dari
leluhur kita di kehidupan modern ini.

32

Anda mungkin juga menyukai