Anda di halaman 1dari 20

`

RAGAM ARSITEKTUR NUSANTARA

SEBAGAI SIMBOL KEBHINEKAAN INDONESIA

BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Wilayah Indonesia yang luas terdiri dari berbagai budaya etnis
barat, tengah , dan bagian timur daerah. Kebudayaan daerah yang dibentuk
oleh etnis di kepulauan Indonesia memiliki karakteristik, bahasa, nilai-nilai,
dan simbol-simbol yang unik dan berasal dari budaya masyarakat. Proses
panjang yang membentuk kebudayaan Indonesia telah menetapkan unsur-
unsur budaya untuk tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan
masyarakat, seperti agama, bahasa, berbagai bentuk seni, norma,
pengetahuan, ekonomi, alat-alat dan budaya bermukim (Meliono, 2011).
Dalam bidang arsitektur, kebudayaan ini menghasilkan artefak
berupa bermacam ragam bangunan dengan kefungsiannya masing-masing
seperti rumah, pendopo, tempat sembahyang, lumbung, dan lain-lain.
Dengan semakin pesatnya perkembangan arsitektur dunia,
identitas arsitektur Indonesia (nusantara/tradisional/vernakular) telah
meluntur digerus oleh arsitektur dari eropa dan amerika. Identitas berarti
kesamaan dan kesatuan yang menunjukkan kekhasan atau keunikan dan
menopang secara berkesinambungan (Abel, 1997; Hasan, 2009; Anwar,
2011).
Rumah tradisional Jawa dikelompok- kan sesuai status sosial
pemiliknya mulai dari ningrat hingga rakyat biasa. Bentuk rumahnya
berjenjang tingkatannya mulai dari joglo hingga kampung. Kategori ini
berpengaruh pada pola tata ruang dan tata elemen arsitektural yang
menyampaikan peran dan simbol tertentu. Dalam hal ini, lingkup fungsi
bangunannya adalah rumah tinggal. Tata elemen arsitektural dibagi menjadi
elemen pengisi, elemen pembatas, dan elemen pelengkap ruang (Markus et
al, 1972).
`

Kebudayaan sendiri mempengaruhi segenap kehidupan sosial,


sehingga sering dipandang sebagai semua cara hidup atau way of life yang
harus dipelajari dan diharapkan secara bersama harus ditaati oleh para anggota
masyarakat tertentu atau para anggota dari suatu kelompok tertentu
(Taneko,1984:61).
Berkaitan dengan esensi budaya, Tasmara (2002:161)
mengemukakan bahwa kandungan utama yang menjadi esensi budaya adalah
sebagai berikut :

1. Budaya berkaitan erat dengan persepsi terhadap nilai dan lingkungannya


2. Adanya pola nilai, sikap, tingkah laku (termasuk bahasa), hasil karsa dan
karya,
3. Budaya merupakan hasil pengalaman hidup, kebiasaan-kebiasaan serta
proses seleksi
4. Dalam proses budaya terdapat saling mempengaruhi dan saling
ketergantungan

Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan kebudayaan


lokal. Keragaman kebudayaan lokal ini menjadi potensi sangat besar bagi
Indonesia untuk berkembang maju. Dalam keragaman kebudayaan lokal
tersebut terdapat nilai-nilai yang bersifat universal. Nilai-nilai tentang
keTuhanan serta nilai-nilai kemasyarakatan, baik masyarakat manusia maupun
masyarakat alam (Pangarsa, 2007).

Dalam memahami Arsitektur Nusantara, terlebih dahulu memahami


prinsip dasar tentang Arsitektur Nusantara, yaitu: (1) Arsitektur Nusantara
merupakan sebuah pernyataan yang mengandung beribu gambaran dan
persepsi; dan (2) Belajar tentang Arsitektur Nusantara adalah bagaimana
mempelajari keberagaman atau ke-Bineka-Tunggal-Ika-an dalam kacamata
kebersatuan (Hidayatun, 2003).

Di lain pihak, Arsitektur Nusantara merupakan pengejawantahan


akan kesinambungan antara arsitektur masa lampau dengan masa kini dan
`

masa mendatang. Arsitektur masa lampu dapat dijadikan sebagai sumber


kreatifitas dan inspirasi desain arsitektur ruang nusantara. Arsitektur
Nusantara dibangun berdasarkan filsafat, ilmu dan pengetahuan arsitektur.
Di dalam konteks kekinian, Arsitektur Nusantara tentunya harus melalui
proses interpretasi untuk tujuan yang diharapkan. Sehingga hasil tafsir dapat
ditranformasi dalam membentuk suatu desain arsitektur yang Indonesiawi.
Arsitektur Nusantara berpedoman pada frase sejarah Sumpah Palapa yaitu
Bhineka Tunggal Ika, yang mengamanatkan adanya pertalian dari berbagai
etnik Nusantara. Di sinilah, proses tranformasi-modifikasi berlangsung,
dengan tujuan menampilkan suatu bentukan yang menampilkan kesamaan-
kebedaan, sehingga menghasilkan suatu bentukan yang baru, namun masih
menampilkan karakter dari kedua unsur tersebut (Bakhtiar, 2014).

2. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas, peneliti merumuskan
permasalahannya, Bagaimana mengidentifikasi keragaman bangunan
tradsional atap joglo di Kabupaten Kudus arsitektur nusantara dan sebagai
simbol kebhinekaan indonesia

3. Batasan Masalah
Diperlukan batasan-batasan masalah yang akan ditentukan sebagai
tolak ukur untuk suatu pencapaian target analisis. Dalam penelitian ini
cakupan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Aspek Lokasi.
2. Aspek fisik bangunan : meliputi bentuk fisik bangunan yang
meliputi kondisi bangunan, tata ruang bangunan, struktur dan
konstruksi serta bahan atau material bangunan yang digunakan.
3. Aspek Sosial Budaya Setempat, meliputi aktifitas penduduk
sekitar, dilihat dari mata pencaharian.
`

4. Tujuan dan Sasaran

1.4.1. Tujuan
Tujuan dari identifikasi penelitian ini adalah untuk mengetahui
keragamana bangunan arsitektur Atap Joglo untuk menjadi
kontribusi konsep desain pada saat akan dilakukan program
pemerintah, revitalisasi Kabupaten Kudus, identifikasi didapat dari
pola tatanan ruang, bentuk bangunan, konstruksi bangunan, dan
material bangunan atap joglo, dalam upaya melestarikan kebudayaan
yang telah ada dibangun.

1.4.2. Sasaran

Mempertahankan Rumah Tradsional yang ada. dalam upaya


untuk melestarikan dan mengembangkan aspek aspek tradisi, untuk
diwariskan di masa depan dan mengetahui keragaman bentuk rumah
joglo sebagai arsitektur nusantara sebagai simbol kebhinekaaan
indonesia.

5. Ruang Lingkup Penelitian


1.5.1 Ruang lingkup Substansial

Batasan studi ini akan meninjau bentuk arsitektur pada Atap Joglo
di Kudus sebagai suatu keragaman arsitektur nusantara sebagai
simbol kebhinekaan indonesia..

1.5.2. Ruang Lingkup Spasial

Kabupaten Kudus adalah sebuah kabupaten di provinsi Jawa


Tengah. Ibukota kabupaten ini adalah Kota Kudus, terletak di jalur pantai
timur laut Jawa Tengah antara Kota Semarang dan Kota Surabaya. Kota ini
berjarak 51 kilometer dari timur Kota Semarang.

Kabupaten Kudus berbatasan dengan Kabupaten Pati di timur, Kabupaten


Grobogan dan Kabupaten Demak di selatan, serta Kabupaten Jepara di
`

barat. Kudus dikenal sebagai kota penghasil rokok (kretek) terbesar di Jawa
Tengah dan juga dikenal sebagai kota santri. Kota ini adalah pusat
perkembangan agama Islam pada abad pertengahan. Hal ini dapat dilihat
dari adanya tiga makam wali/sunan, yaitu Sunan Kudus, Sunan Muria, dan
Sunan Kedu.

6. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif.


Suatu pendekatan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa data-
data tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang diamati.Adapun
bentuk penelitiannya adalah deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan hanya
bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau status fenomena dalam situasi
tertentu dengan dilakukan pengamatan, dan studi literatur atau studi pustaka.
Adapun langkah-langkahpenulis lakukan, antara lain :

1.6.1. Survey Lapangan

Survey lapangan dilakukan dengan cara mengambil data primer dan


data sekunder. Data primer, yaitu data yang langsung diperoleh dari
sumber pertama dari lokasi penelitian, sedangkan data sekunder
didapatkan dari sumber lain. Pengukuran dilakukan langsung pada
rumah Joglo agar diketahui bentuk bangunan dan ukuran yang
sebenarnya.

1.6.2. Studi Literatur

Studi Literatur dilakukan dengan mengumpulkan informasi yang


berhubungan dengan topik penelitian supaya masalah yang ditemukan
dapat ditemukan pada penelitian ini.

1.6.3. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data secara real yang
berhubungan dengan rumah Joglo di Kudus , wawancara dilakukan
`

dengan memilih responden yang sudah lama tinggal di Semarang,


sehingga diketahui, pola tatanan ruang rumah Joglo di Kudus.

1.6.4 Analisis Data

Setelah Survey Lapangan, Studi Literatur dan Wawancara


telah dilakukan, maka dilakukan Analisis Data dengan mengambil
informasi data mana saja yang dapat untuk memecahkan masalah
yang telah dirumuskan oleh peneliti Rumah Joglo di Kudus.
Keaslian Penulisan

Karya ilmiah ini merupakan karya asli. Belum pernah ada objek yang
serupa yang membahas tentang Ragam Arsitektur Nusantara Sebagai Simbol
Kebhinekaaan Indonesia , Namun ada beberapa Penelitian yang judulnya
berbeda namun masih dengan ruang lingkup lokasi yang sama.
Sistematika Penulisan

Adapun susunan penulisan penelitian ini dapat diuraikan dalam


beberapa bab, yaitu sebagai berikut :

1. BAB I Pendahuluan

Menjelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah pada penelitian,


batasan masalah pada penelitian, tujuan dan sasaran penelitian, ruang
lingkup penelitian, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.

2. BAB II Tinjauan Pustaka


Memaparkan tinjauan pustaka diantaranya: pemahaman judul,
pengertian Identifikasi Arsitektur nusantara, ragam arsitektur nusantara
dan Rumah Joglo.

3. BAB III Metode Penelitian


Menguraikan metode yang dilakukan pada penelitian ini, di antaranya:
tahap persiapan penelitian, tahap pengumpulan data, analisis data, cara
pengumpulan data dan cara penarikan kesimpulan.
4. BAB IV Jadwal Penelitian

Menjelaskan waktu yang akan digunakan untuk melakukakan penelitian


yang di samapaikan dalam bentuk tabel.
`

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gagasan Utama

Arsitektur adalah ilmu yang timbul dari ilmu-ilmu lainnya, dan dilengkapi
dengan prosesbelajar: dibantu dengan penilaian terhadap karya tersebut sebagai
karya seni. (Vitruvius)

Arsitektur memiliki makna Guna dan Citra, yaitu bangunan yang tidak
sekedar fungsi, namun juga mengandung citra, nilai-nilai, status, pesan dan emosi
yang disampaikannya. (Romo Mangun)
Arsitektur adalah karya dan cipta manusia dengan langsung dikendalikan
kehadirannya oleh manusia penciptanya di satu sisi dan dikondisikan kehadirannya
oleh tempat saat. (Josef Prijotomo)
Arsitektur berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani: yaitu arkhe dan
tektoon. Arkhe berarti yang asli, awal, utama, otentik. Tektoon berarti berdiri, stabil,
kokoh, stabil statis. Jadi arkhitekton diartikan sebagai pembangunan utama, tukang
ahli bangunan (Mangunwijaya dalam Budihardjo, 1996: 61). Jadi, pengertian
arsitektur dapat disimpulkan sebagai seni dan ilmu bangunan, praktik keprofesian,
proses membangun, bukan sekadar suatu bangunan.
Arsitektur Tradisional sangat lekat dengan tradisi yang merupakan hasil
pembelajaran dan pemahaman masyarakat terhadap kondisi alam dan
budayanya. Indonesia adalah negara kaya dengan ratusan etnis yang mana setiap
etnis memiliki kekhususan budaya tersendiri, sehingga terdapat pula ratusan
ragam rumah tradisional di Indonesia. Dari semua ragam tersebut, terdapat
beberapa ragam yang memiliki keunikan dan karakteristik yang sangat kuat seperti
yang terlihat pada gambar berikut ini.
`

HBArsitektur Tradisional sangat lekat dengan tradisi yang merupakan hasil


pembelajaran dan pemahaman masyarakat terhadap kondisi alam dan budayanya.
Indonesia adalah negara kaya dengan ratusan etnis yang mana setiap etnis memiliki
kekhususan budaya tersendiri, sehingga terdapat pula ratusan ragam rumah tradisional di
Indonesia. Dari semua ragam tersebut, terdapat beberapa ragam yang memiliki keunikan
dan karakteristik yang sangat kuat seperti yang terlihat pada gambar berikut ini.

A J I

B K H

D E F

Gambar 2. Keragaman Arsitektur Tradisional Indonesia.

Sumber: google.com

Keterangan:

(A). Rumah Nias, (B). Rumah Batak Toba, (C). Rumah Minang, (D). Rumah Joglo, (E).
Tradisional Bali, (F). Rumah Tradisional Lombok, (G). Rumah Honai, Papua, (H).
Rumah Tongkonan Toraja, (I). Rumah Bugis, (J). Rumah Panjang, Dayak, (K). Rumah
Lamin, Kalimantan Timur.
`

Keberagaman arsitektur tradisional Indonesia sangat beragam, namun jika


ditelusuri terdapat kesamaan dari keberagaman tersebut, meskipun secara tampilan tetap
berbeda. Beberapa kesamaan tersebut diantaranya:

a. Tipe rumah panggung

Sebagian besar rumah tradisional Indonesia kecuali rumah Jawa, Bali,


Lombok dan Papua, menggunakan struktur rangka tiang kayu atau tipe rumah
panggung sebagai upaya adaptasi dengan iklim dan geografi, serta sebagian
merupakan bentuk antisipasi terhadap ancaman bahaya dari bintang buas.

b. Tiang bangunan menggunakan pondasi umpak

Tiang tidak ditanam didalam tanah, melainkan beralas batu sehingga lebih
fleksibel ketika ada guncangan atau gempa. Rumah Joglo, Sunda, dan Lombok,
meskipun bukan merupakan tipe rumah panggung tetapi tetap menggunakan
pondasi umpak di bawah tiang. Tapi berbeda dengan rumah tradisional Suku
Kajang di Bulukumba, justru tiang atau kolomnya di tanam kedalam tanah.

c. Lantai bangunan didukung oleh tiang dan balok kayu

Tiang dan balok saling mengikat satu sama lain, biasanya tanpa
menggunakan paku. Menggunakan sistem balok kayu yang saling tumpang tindih
secara horizontal. Rumah tradisional di Indonesia dipandang sebagai bentuk
strategi adaptasi terhadap alam seperti gempa melalui rekayasa struktur
konstruksi (sistem sambungan dan tumpuan) dengan eksplorasi material lokal
(batu, kayu dan bambu), (Rapoport, 1969).

d. Bubungan atap yang condong keluar.

Seringkali pemanjangan dibuat lekukan sehingga menimbulkan daya tarik


estetis. Dominasi atap tampak pada keseluruhan bangunan seperti yang terlihat
pada rumah Minang, Tongkonan, dan Batak. Proporsi atap lebih besar dari pada
badan dan kaki (bagian bawah) bangunan. Selain itu itu atap pelana lebih umum
digunakan.

e. Memiliki ornamen pada dinding penutup atap yang menyimbolkan status sosial,
kekuasaan dan karakteristik budaya. Masing-masing ornamen memiliki pemaknaan dan
filosofis tersendiri, tergantung dari pemaknaan dari masyarakat setempat yang mendiami
rumah tersebut.

f. Penggunaan material-material dari alam


`

Menggunakan material seperti kayu, batu, bambu, ijuk, dan ilalang. Namun
seiring berkembangnya zaman, dan semakin berkurangnya material alam
tersebut, sehingga sebagian diganti dengan material jenis yang lainnya. Misalkan
pada atap bangunan tradisional yang awalnya menggunakan bahan dari ijuk
maupun ilalang, sekarang diganti dengan bahan seng ataupun genteng.

Secara konsep arsitektur tradisional ini memiliki kesamaan, meskipun dalam wujud
tampilannya, masing-masing memiliki ciri khas tersendiri. Kesamaaan beberapa ciri yang
muncul pada rumah tradisional itu juga tidak lepas dari sejarah bahwa Indonesia
merupakan salah-satu rumpun bangsa Austronesia. Ciri dan karakter dari rumah
austronesia berupa bangunan persegi empat, berdiri diatas tiang-tiang, beratap ilalang,
pintu masuk berupa tangga yang ditakik dan ada perapian dengan rak diatasnya untuk
kayu bakar dan penyimpanan (Fitri, 2006).

Wujud artefak fisik tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, budaya,
ilmu pengetahuan dan teknologi masyrakat setempat pada saat itu. Contohnya pada
kampung Hologolik di Wamena iklimnya yang sangat dingin dimalam mengakibatkan
masyarakat membentuk pola pemukiman secara mengelompok, rumah dengan atap
berbentuk kerucut (miring) yang ditutupi dengan alang-alang tebal tanpa jendela dan
hanya memiliki satu pintu untuk keluar masuk (Lokbere, Sarwadana, & Astiningsih, 2012).

Keragaman arsitektur ini tidak hanya nampak pada tampilan fasadenya saja, tetapi
juga pada pola permukiman dan tatanan ruang. Tipikal pola permukiman di Indonesia
pada dasarnya menggambarkan respon terhadap kondisi alam, tatanan sosial-budaya,
sistem

kekeluargaan, sistem bercocok tanam, dan kosmologi maupun mitologi masyarakat yang
mendiaminya. Salah-satu atau kombinasi dari beberapa faktor tersebut lah yang
membentuk pola permukiman dan tatanan ruang pada masing-masing rumah tradisional
tersebut

Rumah C: Alang

Taneyan
B: Parampa
`

Rumah

A:Tongkonan

Gambar 2. Pola Permukiman Madura Gambar 3. Pola Permukiman Tongkonan

Sumber: ejournal.uin-malang.ac.id Sumber: ejournal-s1.undip.ac.id

Pada permukiman Madura dikenal dengan konsep taneyan lanjhang berupa


halaman panjang yang berfungsi sebagai public space. Pola permukiman taneyan
lanjhang merupakan ciri khas arsitektural Madura yang memiliki tatanan berbeda dengan
nilai adat tradisi Madura yang kental mengusung nilai dan sistem kekerabatan yang erat
(Antariksa, 2009). Pola permukiman taneyan lanjhang, merupakan pola yang terbentuk
karena adanya tradisi bermukim masyarakat tradisional etnis Madura yang dipengaruhi
oleh garis matrilineal dengan membentuk satu pola permukiman yang disebut sebagai
taneyan lanjhang (Dewi, 2008).

Komunitas yang berbeda memiliki ciri permukiman yang berbeda (Fathony,


Mulyadi,Sukowiyono, 2012). Komunitas dalam bentuk etnik yang berbeda secara fisik
menghasilkan pola permukimannya berbeda, tetapi secara alur atau konsep polanya
bisa sama. Seperti pada gambar 2 (pola permukiman Madura) dan gambar 3 (Pola
permukiman Tongkonan), pada pola permukiman Madura menggunakan pola linier
konsentris, pada rumah mengikuti panjang sisi taneyan sejarah sejajar dan
menggunakan taneyan sebagai pusat arah orientasinya.

Begitupun yang terjadi pada pola permukiman Tongkonan, Pola tongkonan


bersumber pada ajaran Aluk Todolo, polanya mengikuti empat penjuru angin, berbanjar
dari timur ke barat, mengikuti orientasi pola matallo-matampu (timur-barat) dengan
pengaturan tongkonan dan alang saling berhadapan membentuk ruang yaitu parampa
(Mithen & Onesimus, 2003). Pola permukiman Tongkonan Toraja pada gambar 3 juga
menggunakan pola linier konsentris, dengan tongkonan dan alang yang saling
berhadapan. Tongkonan yang berupa hunian menghadap keutara dan alang sebagai
lumbung menghadap keselatan, keduanya berbanjar dari timur ke barat dengan parampa
berupa public space sebagai pusat orientasi.

Selain itu terdapat juga pola perkampungan dengan sistem cluster/tertutup dan
juga menyebar dengan hanya memiliki satu gerbang sebagai akses keluar masuk ke
`

dalam adat. Contohnya pada pola kampung adat di Sumba dan Pola permukiman rumah
Honai di Papua. Beberapa pola permukiman tradisional, secara konsep memiliki
persamaan pola, tetapi yang membentuk pola tersebut dapat beragam, ada yang dari
unsur kosmolgi dan mitologi, dari sistem kekerabatan, maupun dari pengaruh kondisi
lingkungan.

Dalam aristektur tradisional juga memiliki pola tatanan ruang yang beragam. Pembagian
ruang dapat dikategorikan secara vertikal dan horizontal, pembagian ruang ini sebagai
respon terhadap sistem sosial kekerabatan, kosmologi dan kondisi alam sekitar (Fitri,
2006). Rumah-rumah dengan tipe rumah panggung secara umum menggunakan pola
ruang vertikal dan horizontal. Dengan konsep secara horizontal terdapat bagian dari
rumah yang dianggap paling sakral atau suci adalah bagian yang paling dalam atau
belakang. Sedangkan secara vertikal, pembagiann ruang terdiri dari bagian atas, tengah
dan bawah, dengan bagian atas sebagai ruang yang paling sakral.

Berikut ini merupakan contoh rumah tradisional dengan pola vertikalnya terdiri dari
tiga bagian utama bawah, tengah, atas. Bagian atas digunakan sebagai ruang yang paling
sakral sehingga barang-barang yang dianggap keramat disimpan di dalam ruang atas ini.
Ruang tengah, adalah untuk kehidupan manusia dan ruang bawah adalah untuk binatang
ternak atau gudang

Atas Atas
Atas
Tengah Tengah
Tengah Bawah Bawah
Bawah

Gambar 4. Rumah Bugis Gambar 5. Rumah Tongkonan


Gambar 6. Rumah Batak

Sumber: Hasan & Prabowo, 2002 Sumber: Said, 2004:68 Sumber: ddpangaribuan.blogspot.com
`

Dalam hal pola ruang horizontal juga memiliki pola tersendiri, contohnya didalam
rumah Joglo Jawa, pola tata ruang yang terbentuk tergantung oleh tingkatan strata
sosialnya, gambar 7 dan gambar 8 menunjukan perbedaan tata ruang berdasarkan
tingkatan starata tersebut. Masing-masing ruangan memiliki fungsi, makna dan filosofis
sendiri-sendiri.

Gambar 7. Pola Tatanan Ruang Rumah Gambar 8. Pola Tatanan Ruang Rumah Rakyat

Bangsawan pada Rumah Joglo Biasa pada Rumah Joglo

Sumber: www.hdesignideas.com Sumber: xdesignmw.wordpress.com

Secara tradisi dan konsep rumah tradisional di Indonesia, dari segi pola
permukiman dan tatanan ruang dalam, masing-masing memiliki filosofis secara kosmologi
maupun mitologi yang membentuk pola tersebut. Secara umum ada yang memiliki
kesamaan maupun keragaman, dalam artian konsep yang sama namun dalam
perwujudan yang berbeda. Jika ditinjau dari segi penggunaan material, rumah tradisional
di Indonesia kesemuanya menggunakan material dari alam.

2.2. Rumah Adat Kudus

Rumah Adat Kudus merupakan salah satu rumah tradisional yang


mencerminkan akulturasi kebudayaan masyarakat Kudus. Rumah Adat Kudus
memiliki atap berbentuk joglo pencu, dengan bangunan yang didominasi seni ukir
`

empat dimensi khas Kota Kudus yang merupakan perpaduan gaya seni ukir dari
budaya Hindu,Persia (Islam), Cina, dan Eropa. Rumah ini diperkirakan mulai
dibangun pada tahun 1500-an M dengan bahan baku utama (95%) dari kayu jati
berkualitas tinggi dengan sistem pemasangan knock-down ( bongkar pasang tanpa
paku ).

2.4. Tata Ruang Rumah adat Kudus

Joglo Pencu memiliki 4 (empat) tiang penyangga dan 1 (satu) tiang besar yang
dinamakan soko geder yang melambangkan bahwa Allah SWT bersifat Esa. rumah
adat Kudus Joglo Pencu memiliki 3 bagian[3] ruangan yang disebut Jogo Satru,
Gedongan, dan Pawon.

Jogo Satru

adalah nama untuk bagian depan dari rumah tersebut. Secara makna kata
Jogo Satru bisa diterjemahkan jogo artinya menjaga dan Satru artinya musuh.
Namun untuk sehari-hari Ruangan ini sering digunakan sebagai tempat menerima
tamu yang berkunjung.

Gedongan

adalah bagian ruang keluarga. Ruangan ini biasa digunakan untuk tempat
tidur kepala keluarga.

Pawon
`

Untuk Pawon sendiri letaknya berada pada bagian samping. biasa


digunakan untuk masak, belajar dan melihat televisi. Untuk halaman depan
rumah, terdapat sumur pada sebelah kiri yang dinamakan Pakiwan.

2.5. Filosofi Rumah Adat kudus

Keunikan dan keistimewaan Rumah Adat Kudus (Joglo Kudus) tidak hanya
terletak pada keindahan arsitekturnya yang didominasi dengan seni ukir sederhana, tetapi
juga pada kelengkapan komponen-komponen pembentuknya yang memiliki makna
filosofis berbeda-beda.

Pertama, bentuk dan motif ukirannya mengikuti pola kala (binatang sejenis laba-
laba berkaki banyak), gajah penunggu, rangkaian bunga melati (sekar rinonce),
motif ular naga, buah nanas (sarang lebah), motif burung phoenix, dan lain-lain.

Kedua, tata ruang rumah adat yang memiliki jogo satru/ruang tamu dengan soko
geder-nya/tiang tunggal sebagai simbol bahwa Allah SWT bersifat Esa/Tunggal.

Ketiga, gedhongan dan senthong/ruang keluarga yang ditopang empat buah soko
guru/tiang penyangga. Keempat tiang tersebut adalah simbol yang memberi
petunjuk bagi penghuni rumah supaya mampu menyangga kehidupannya sehari-
hari dg mengendalikan 4 sifat manusia: amarah, lawwamah, shofiyah, dan
mutmainnah.

Keempat, pawon/dapur di bagian paling belakang bangunan rumah.


Kelima, pakiwan (kamar mandi) sebagai simbol agar manusia selalu
membersihkan diri baik fisik maupun rohani.
Keenam, tanaman di sekeliling pakiwan, antara lain: pohon belimbing, yang
melambangkan lima rukun Islam; pandan wangi, sebagai simbol rejeki yang
harum/halal dan baik bunga melati, yang melambangkan keharuman, perilaku
yang baik dan budi pekerti luhur, serta kesucian, bersambung ke hal berikutnya.
`

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian gabungan (mixed methods)


antara metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif.
Penggunaan metode penelitian gabungan (mixed methods) dilakukan secara
bersamaan dengan tujuan untuk saling melengkapi gambaran hasil studi
mengenai fenomena yang diteliti dan untuk memperkuat analisis penelitian.

Penelitian ini juga melakukan observasi langsung untuk melakukan review


terhadap berbagai dokumen, foto-foto dan juga artefak yang ada. Dalam hal
ini peneliti mengunakan metode penelitian kualitatif.

Pendekatan penelitian ini mengunakan pendekatan deskriptif, yaitu


mengambarkan fenomena aktual yang ditemukan pada saat pengumpulan
data dan menganalisanya, setelah itu mengevaluasi hasil temuan dilapangan.

Sejalan dengan itu, peneliti akan menganalisis implementasi konsep


Arsitektur Nusantara yaitu pada lingkungan Rumah Joglo Kudus.

3.2. Data dan Sumber Data

Keberadaan data dan sumber data merupakan hal terpenting dalam


sebuah penelitian, sebab segala informasi guna menunjang penelitian
diperoleh dari data. Adapun data dan sumber data yang diperlukan untuk
penelitian ini adalah :

a. Data tentang Arsitektur Nusantara pada lingkungan bangunan di


Kabupaten Kudus.
`

b. Data ini didapat dari obsevasi langsung tentang parameter observasi


yang telah ditentukan, dan juga didapat dari masyarakat adat melalui
metode wawancara.

c. Data mengenai Arsitektur Nusantara Rumah Joglo Kudus. Data ini


didapat dari dokumentasi tertulis dan gambar yang didapat dari
kajian pustaka yang terkait dengan topik penelitian. Dan juga
observasi lapangan.
3.3. Lokasi dan Objek Penelitian

3.3.1. Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian adalah kabupaten kudus . Pemilihan rumah adat
joglo ini didasarkan kepada tingkat daya tahan terhadap
perubahan, keunikan karakteristik arsitektur, dan kekayaan
Arsitektur Nusantara .

3.3.2. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah cara mengelola rumah joglo kududs


sebagai arsitektur nusantara sebgai simbol kebhinikaan indonesia
yang diterapkan oleh masyarakat adat dalam konteks arsitektur
Nusantara berdasarkan parameter penelitian ini.

3.4. Instrumen Pengumpul Data

Salah satu kegiatan dalam penelitian ini adalah mementukan cara


mengukur variable penelitian dan alat pengumpulan data. Untuk
mengukur variabel diperlukan instrumen penelitian dan instrument ini
berfungsi untuk digunakan mengumpulkan data. Teknik pengumpulan
data yang digunakan pada penelitian ini dibagi pada tiga cara, yaitu :

1) Observasi
2) Studi wawancara
`

3) Dokumentasi
3.5. Rancangan Analisis Data

Seluruh pengolahan data kuantitatif menggunakan program komputer


Microsoft kemudian Excel, dianalisis secara kualitatif melalui konfirmasi kepada
teori dan ahli.

Penelitian yang menggunakan pendekatan yaitu kuantitatif, memerlukan


analisis melalui dua tahapan, yang digambarkan sebagai berikut.

No Teknik Analisis Spektrum Kajian

mengkaji dan membandingkan kedua temuan

penelitian di atas, serta konfirmasi dengan

1 Analisis Kualitatif

teori dan ahli

mengkaji dan membandingkan kedua temuan

BAB IV
JADWAL PENELITIAN
4.1. Jadwal kegiatan penelitian
2017
No. Kegiatan Agt Sept Okt Nov Des
1. Perencanaan & Pembuatan proposal
2. Pelaksanaan
3. Analisis data
4. Laporan
`

DAFTAR PUSTAKA

Irsan, Bartoven Vivit N. 2009. Kearifan Lokal untuk Kesejahteraan Rakyat.


http://budayalampung.blogspot.com/2009/04/kearifan-lokal-untuk-kesejahteraan.html
Pangarsa, Galih Widjil, Antariksa, dan Tjahjono, Rusdi. 2007. Simbolisme Bangunan
Bertiang Lima Pada Arsitektur Muslim di Jawa.
Abstraksi, http://antariksajournals.blogspot.com/2007/07/simbolisme-
bangunan-bertiang-lima- pada.html
Prijotomo, Josef. 2010. Arsitektur Nusantara: Arsitektur Naungan, Bukan Lindungan.
Ternate, Universitas Khairun, Seminar Nasional Arsitektur Nusantara.
Sartini, 2009. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati. http://dgi-
indonesia.com/menggali-kearifan-lokal-nusantara-sebuah-kajian-filsafati/
Indrawati, Y. 2005. Pergeseran Konsep Gender pada Rumah Tradisional Jawa Joglo.
Thesis S2 Desain Interior. Bandung: FSRD, ITB.
Poerwanto, Hari, 1997, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Depdikbud, Jakarta
Thohir, Mudjahirin, 2006, Orang Islam Jawa Pesisiran, Fasindo, Semarang

5
8
`

PROPOSAL SEMINAR
(PERIODE GASAL 2017 2018)

RAGAM ARSITEKTUR NUSANTARA SEBAGAI SIMBOL


KEBHINEKAAN INDONESIA

DISUSUN OLEH :

Jainal Ariffin (14.A1.0129)

DOSEN PEMBIMBING :

Ch. Koesmartadi. Ir. , MT


NIP.05811991084

FAKULTAS ARSITEKTUR DAN DESAIN


UNVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG

5
9

Anda mungkin juga menyukai