BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Wilayah Indonesia yang luas terdiri dari berbagai budaya etnis
barat, tengah , dan bagian timur daerah. Kebudayaan daerah yang dibentuk
oleh etnis di kepulauan Indonesia memiliki karakteristik, bahasa, nilai-nilai,
dan simbol-simbol yang unik dan berasal dari budaya masyarakat. Proses
panjang yang membentuk kebudayaan Indonesia telah menetapkan unsur-
unsur budaya untuk tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan
masyarakat, seperti agama, bahasa, berbagai bentuk seni, norma,
pengetahuan, ekonomi, alat-alat dan budaya bermukim (Meliono, 2011).
Dalam bidang arsitektur, kebudayaan ini menghasilkan artefak
berupa bermacam ragam bangunan dengan kefungsiannya masing-masing
seperti rumah, pendopo, tempat sembahyang, lumbung, dan lain-lain.
Dengan semakin pesatnya perkembangan arsitektur dunia,
identitas arsitektur Indonesia (nusantara/tradisional/vernakular) telah
meluntur digerus oleh arsitektur dari eropa dan amerika. Identitas berarti
kesamaan dan kesatuan yang menunjukkan kekhasan atau keunikan dan
menopang secara berkesinambungan (Abel, 1997; Hasan, 2009; Anwar,
2011).
Rumah tradisional Jawa dikelompok- kan sesuai status sosial
pemiliknya mulai dari ningrat hingga rakyat biasa. Bentuk rumahnya
berjenjang tingkatannya mulai dari joglo hingga kampung. Kategori ini
berpengaruh pada pola tata ruang dan tata elemen arsitektural yang
menyampaikan peran dan simbol tertentu. Dalam hal ini, lingkup fungsi
bangunannya adalah rumah tinggal. Tata elemen arsitektural dibagi menjadi
elemen pengisi, elemen pembatas, dan elemen pelengkap ruang (Markus et
al, 1972).
`
2. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas, peneliti merumuskan
permasalahannya, Bagaimana mengidentifikasi keragaman bangunan
tradsional atap joglo di Kabupaten Kudus arsitektur nusantara dan sebagai
simbol kebhinekaan indonesia
3. Batasan Masalah
Diperlukan batasan-batasan masalah yang akan ditentukan sebagai
tolak ukur untuk suatu pencapaian target analisis. Dalam penelitian ini
cakupan penelitian adalah sebagai berikut :
1. Aspek Lokasi.
2. Aspek fisik bangunan : meliputi bentuk fisik bangunan yang
meliputi kondisi bangunan, tata ruang bangunan, struktur dan
konstruksi serta bahan atau material bangunan yang digunakan.
3. Aspek Sosial Budaya Setempat, meliputi aktifitas penduduk
sekitar, dilihat dari mata pencaharian.
`
1.4.1. Tujuan
Tujuan dari identifikasi penelitian ini adalah untuk mengetahui
keragamana bangunan arsitektur Atap Joglo untuk menjadi
kontribusi konsep desain pada saat akan dilakukan program
pemerintah, revitalisasi Kabupaten Kudus, identifikasi didapat dari
pola tatanan ruang, bentuk bangunan, konstruksi bangunan, dan
material bangunan atap joglo, dalam upaya melestarikan kebudayaan
yang telah ada dibangun.
1.4.2. Sasaran
Batasan studi ini akan meninjau bentuk arsitektur pada Atap Joglo
di Kudus sebagai suatu keragaman arsitektur nusantara sebagai
simbol kebhinekaan indonesia..
barat. Kudus dikenal sebagai kota penghasil rokok (kretek) terbesar di Jawa
Tengah dan juga dikenal sebagai kota santri. Kota ini adalah pusat
perkembangan agama Islam pada abad pertengahan. Hal ini dapat dilihat
dari adanya tiga makam wali/sunan, yaitu Sunan Kudus, Sunan Muria, dan
Sunan Kedu.
6. Metode Penelitian
1.6.3. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data secara real yang
berhubungan dengan rumah Joglo di Kudus , wawancara dilakukan
`
Karya ilmiah ini merupakan karya asli. Belum pernah ada objek yang
serupa yang membahas tentang Ragam Arsitektur Nusantara Sebagai Simbol
Kebhinekaaan Indonesia , Namun ada beberapa Penelitian yang judulnya
berbeda namun masih dengan ruang lingkup lokasi yang sama.
Sistematika Penulisan
1. BAB I Pendahuluan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Arsitektur adalah ilmu yang timbul dari ilmu-ilmu lainnya, dan dilengkapi
dengan prosesbelajar: dibantu dengan penilaian terhadap karya tersebut sebagai
karya seni. (Vitruvius)
Arsitektur memiliki makna Guna dan Citra, yaitu bangunan yang tidak
sekedar fungsi, namun juga mengandung citra, nilai-nilai, status, pesan dan emosi
yang disampaikannya. (Romo Mangun)
Arsitektur adalah karya dan cipta manusia dengan langsung dikendalikan
kehadirannya oleh manusia penciptanya di satu sisi dan dikondisikan kehadirannya
oleh tempat saat. (Josef Prijotomo)
Arsitektur berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani: yaitu arkhe dan
tektoon. Arkhe berarti yang asli, awal, utama, otentik. Tektoon berarti berdiri, stabil,
kokoh, stabil statis. Jadi arkhitekton diartikan sebagai pembangunan utama, tukang
ahli bangunan (Mangunwijaya dalam Budihardjo, 1996: 61). Jadi, pengertian
arsitektur dapat disimpulkan sebagai seni dan ilmu bangunan, praktik keprofesian,
proses membangun, bukan sekadar suatu bangunan.
Arsitektur Tradisional sangat lekat dengan tradisi yang merupakan hasil
pembelajaran dan pemahaman masyarakat terhadap kondisi alam dan
budayanya. Indonesia adalah negara kaya dengan ratusan etnis yang mana setiap
etnis memiliki kekhususan budaya tersendiri, sehingga terdapat pula ratusan
ragam rumah tradisional di Indonesia. Dari semua ragam tersebut, terdapat
beberapa ragam yang memiliki keunikan dan karakteristik yang sangat kuat seperti
yang terlihat pada gambar berikut ini.
`
A J I
B K H
D E F
Sumber: google.com
Keterangan:
(A). Rumah Nias, (B). Rumah Batak Toba, (C). Rumah Minang, (D). Rumah Joglo, (E).
Tradisional Bali, (F). Rumah Tradisional Lombok, (G). Rumah Honai, Papua, (H).
Rumah Tongkonan Toraja, (I). Rumah Bugis, (J). Rumah Panjang, Dayak, (K). Rumah
Lamin, Kalimantan Timur.
`
Tiang tidak ditanam didalam tanah, melainkan beralas batu sehingga lebih
fleksibel ketika ada guncangan atau gempa. Rumah Joglo, Sunda, dan Lombok,
meskipun bukan merupakan tipe rumah panggung tetapi tetap menggunakan
pondasi umpak di bawah tiang. Tapi berbeda dengan rumah tradisional Suku
Kajang di Bulukumba, justru tiang atau kolomnya di tanam kedalam tanah.
Tiang dan balok saling mengikat satu sama lain, biasanya tanpa
menggunakan paku. Menggunakan sistem balok kayu yang saling tumpang tindih
secara horizontal. Rumah tradisional di Indonesia dipandang sebagai bentuk
strategi adaptasi terhadap alam seperti gempa melalui rekayasa struktur
konstruksi (sistem sambungan dan tumpuan) dengan eksplorasi material lokal
(batu, kayu dan bambu), (Rapoport, 1969).
e. Memiliki ornamen pada dinding penutup atap yang menyimbolkan status sosial,
kekuasaan dan karakteristik budaya. Masing-masing ornamen memiliki pemaknaan dan
filosofis tersendiri, tergantung dari pemaknaan dari masyarakat setempat yang mendiami
rumah tersebut.
Menggunakan material seperti kayu, batu, bambu, ijuk, dan ilalang. Namun
seiring berkembangnya zaman, dan semakin berkurangnya material alam
tersebut, sehingga sebagian diganti dengan material jenis yang lainnya. Misalkan
pada atap bangunan tradisional yang awalnya menggunakan bahan dari ijuk
maupun ilalang, sekarang diganti dengan bahan seng ataupun genteng.
Secara konsep arsitektur tradisional ini memiliki kesamaan, meskipun dalam wujud
tampilannya, masing-masing memiliki ciri khas tersendiri. Kesamaaan beberapa ciri yang
muncul pada rumah tradisional itu juga tidak lepas dari sejarah bahwa Indonesia
merupakan salah-satu rumpun bangsa Austronesia. Ciri dan karakter dari rumah
austronesia berupa bangunan persegi empat, berdiri diatas tiang-tiang, beratap ilalang,
pintu masuk berupa tangga yang ditakik dan ada perapian dengan rak diatasnya untuk
kayu bakar dan penyimpanan (Fitri, 2006).
Wujud artefak fisik tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, budaya,
ilmu pengetahuan dan teknologi masyrakat setempat pada saat itu. Contohnya pada
kampung Hologolik di Wamena iklimnya yang sangat dingin dimalam mengakibatkan
masyarakat membentuk pola pemukiman secara mengelompok, rumah dengan atap
berbentuk kerucut (miring) yang ditutupi dengan alang-alang tebal tanpa jendela dan
hanya memiliki satu pintu untuk keluar masuk (Lokbere, Sarwadana, & Astiningsih, 2012).
Keragaman arsitektur ini tidak hanya nampak pada tampilan fasadenya saja, tetapi
juga pada pola permukiman dan tatanan ruang. Tipikal pola permukiman di Indonesia
pada dasarnya menggambarkan respon terhadap kondisi alam, tatanan sosial-budaya,
sistem
kekeluargaan, sistem bercocok tanam, dan kosmologi maupun mitologi masyarakat yang
mendiaminya. Salah-satu atau kombinasi dari beberapa faktor tersebut lah yang
membentuk pola permukiman dan tatanan ruang pada masing-masing rumah tradisional
tersebut
Rumah C: Alang
Taneyan
B: Parampa
`
Rumah
A:Tongkonan
Selain itu terdapat juga pola perkampungan dengan sistem cluster/tertutup dan
juga menyebar dengan hanya memiliki satu gerbang sebagai akses keluar masuk ke
`
dalam adat. Contohnya pada pola kampung adat di Sumba dan Pola permukiman rumah
Honai di Papua. Beberapa pola permukiman tradisional, secara konsep memiliki
persamaan pola, tetapi yang membentuk pola tersebut dapat beragam, ada yang dari
unsur kosmolgi dan mitologi, dari sistem kekerabatan, maupun dari pengaruh kondisi
lingkungan.
Dalam aristektur tradisional juga memiliki pola tatanan ruang yang beragam. Pembagian
ruang dapat dikategorikan secara vertikal dan horizontal, pembagian ruang ini sebagai
respon terhadap sistem sosial kekerabatan, kosmologi dan kondisi alam sekitar (Fitri,
2006). Rumah-rumah dengan tipe rumah panggung secara umum menggunakan pola
ruang vertikal dan horizontal. Dengan konsep secara horizontal terdapat bagian dari
rumah yang dianggap paling sakral atau suci adalah bagian yang paling dalam atau
belakang. Sedangkan secara vertikal, pembagiann ruang terdiri dari bagian atas, tengah
dan bawah, dengan bagian atas sebagai ruang yang paling sakral.
Berikut ini merupakan contoh rumah tradisional dengan pola vertikalnya terdiri dari
tiga bagian utama bawah, tengah, atas. Bagian atas digunakan sebagai ruang yang paling
sakral sehingga barang-barang yang dianggap keramat disimpan di dalam ruang atas ini.
Ruang tengah, adalah untuk kehidupan manusia dan ruang bawah adalah untuk binatang
ternak atau gudang
Atas Atas
Atas
Tengah Tengah
Tengah Bawah Bawah
Bawah
Sumber: Hasan & Prabowo, 2002 Sumber: Said, 2004:68 Sumber: ddpangaribuan.blogspot.com
`
Dalam hal pola ruang horizontal juga memiliki pola tersendiri, contohnya didalam
rumah Joglo Jawa, pola tata ruang yang terbentuk tergantung oleh tingkatan strata
sosialnya, gambar 7 dan gambar 8 menunjukan perbedaan tata ruang berdasarkan
tingkatan starata tersebut. Masing-masing ruangan memiliki fungsi, makna dan filosofis
sendiri-sendiri.
Gambar 7. Pola Tatanan Ruang Rumah Gambar 8. Pola Tatanan Ruang Rumah Rakyat
Secara tradisi dan konsep rumah tradisional di Indonesia, dari segi pola
permukiman dan tatanan ruang dalam, masing-masing memiliki filosofis secara kosmologi
maupun mitologi yang membentuk pola tersebut. Secara umum ada yang memiliki
kesamaan maupun keragaman, dalam artian konsep yang sama namun dalam
perwujudan yang berbeda. Jika ditinjau dari segi penggunaan material, rumah tradisional
di Indonesia kesemuanya menggunakan material dari alam.
empat dimensi khas Kota Kudus yang merupakan perpaduan gaya seni ukir dari
budaya Hindu,Persia (Islam), Cina, dan Eropa. Rumah ini diperkirakan mulai
dibangun pada tahun 1500-an M dengan bahan baku utama (95%) dari kayu jati
berkualitas tinggi dengan sistem pemasangan knock-down ( bongkar pasang tanpa
paku ).
Joglo Pencu memiliki 4 (empat) tiang penyangga dan 1 (satu) tiang besar yang
dinamakan soko geder yang melambangkan bahwa Allah SWT bersifat Esa. rumah
adat Kudus Joglo Pencu memiliki 3 bagian[3] ruangan yang disebut Jogo Satru,
Gedongan, dan Pawon.
Jogo Satru
adalah nama untuk bagian depan dari rumah tersebut. Secara makna kata
Jogo Satru bisa diterjemahkan jogo artinya menjaga dan Satru artinya musuh.
Namun untuk sehari-hari Ruangan ini sering digunakan sebagai tempat menerima
tamu yang berkunjung.
Gedongan
adalah bagian ruang keluarga. Ruangan ini biasa digunakan untuk tempat
tidur kepala keluarga.
Pawon
`
Keunikan dan keistimewaan Rumah Adat Kudus (Joglo Kudus) tidak hanya
terletak pada keindahan arsitekturnya yang didominasi dengan seni ukir sederhana, tetapi
juga pada kelengkapan komponen-komponen pembentuknya yang memiliki makna
filosofis berbeda-beda.
Pertama, bentuk dan motif ukirannya mengikuti pola kala (binatang sejenis laba-
laba berkaki banyak), gajah penunggu, rangkaian bunga melati (sekar rinonce),
motif ular naga, buah nanas (sarang lebah), motif burung phoenix, dan lain-lain.
Kedua, tata ruang rumah adat yang memiliki jogo satru/ruang tamu dengan soko
geder-nya/tiang tunggal sebagai simbol bahwa Allah SWT bersifat Esa/Tunggal.
Ketiga, gedhongan dan senthong/ruang keluarga yang ditopang empat buah soko
guru/tiang penyangga. Keempat tiang tersebut adalah simbol yang memberi
petunjuk bagi penghuni rumah supaya mampu menyangga kehidupannya sehari-
hari dg mengendalikan 4 sifat manusia: amarah, lawwamah, shofiyah, dan
mutmainnah.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
1) Observasi
2) Studi wawancara
`
3) Dokumentasi
3.5. Rancangan Analisis Data
1 Analisis Kualitatif
BAB IV
JADWAL PENELITIAN
4.1. Jadwal kegiatan penelitian
2017
No. Kegiatan Agt Sept Okt Nov Des
1. Perencanaan & Pembuatan proposal
2. Pelaksanaan
3. Analisis data
4. Laporan
`
DAFTAR PUSTAKA
5
8
`
PROPOSAL SEMINAR
(PERIODE GASAL 2017 2018)
DISUSUN OLEH :
DOSEN PEMBIMBING :
5
9