Anda di halaman 1dari 247

Ashadi

TENTANG
JAWA

Arsitektur UMJ Press


Religi dan arsitektur bangunan peribadatan
masyarakat Jawa: studi tentang sinkretisme.
Arsitektur keraton Jawa: tata letak, bentuk dan
hiasan bangunan.
Arah hadap rumah Jawa dan legitimasi
kekuasaan raja.
Krobongan: makna ruang sakral dalam tata
ruang rumah tinggal Jawa.
Membangun konsep ruang arsitektur: antara
yang sakral dan profan dalam tradisi khaul
Sunan Kudus.
Menara Kudus sebagai axis mundi: menelusuri
komunitas Kudus Kuno.
Jejak keberadaan rumah tradisional Kudus:
sebuah kajian antropologi-arsitektur dan sejarah.
Perkembangan arsitektur mesjid Wali Songo di
Jawa: perubahan ruang dan bentuk.
Makna alun-alun dalam tata ruang kota Jawa.
Agama Jawa: telaah kritis atas konsep Geertz.

Ashadi, lahir 25 Pebruari 1966, di Cepu, Jawa Tengah. Pendidikan


Tinggi: S1 Arsitektur UNDIP (1991), S2 Antropologi UI (2004), dan
S3 Arsitektur UNPAR (2016). Ia aktif sebagai dosen di Program
Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah
Jakarta (FT-UMJ), sejak tahun 1993. Jabatan Struktural yang
pernah dan sedang diemban yakni: Kepala Laboratorium
Arsitektur FT-UMJ (1996-2000); Ketua Program Studi Arsitektur
FT-UMJ (2000-2004 dan 2015-sekarang); Wakil Dekan FT-UMJ
(2004-2006); Kepala Pusat Afiliasi, Kajian dan Riset Teknologi FT-
UMJ (2007-2011); Kepala Lembaga Pengembangan Bisnis FT-UMJ
(2011-2015). Kegiatan ilmiah yang pernah dan sedang dilakukan:
Penelitian Hibah Bersaing DIKTI, publikasi jurnal nasional maupun
internasional, dan presentasi ilmiah pada forum-forum seminar
skala nasional maupun internasional. Jabatan Fungsional Dosen
terakhir: Lektor Kepala. Dalam 5 tahun terakhir, buku yang telah
diterbitkan: Peradaban dan Arsitektur Dunia Kuno: Sumeria-
Mesir-India (2016); Peradaban dan Arsitektur Klasik Yunani-
Romawi (2016); Peradaban dan Arsitektur Zaman Pertengahan:
Byzantium, Kekristenan, Arab dan Islam (2016); dan Peradaban
dan Arsitektur Modern (2016).
TENTANG
JAWA

Ashadi

Penerbit Arsitektur UMJ Press


2017
TENTANG JAWA

|arsitekturUMJpress|
|
Penulis: ASHADI

CETAKAN PERTAMA, AGUSTUS 2017

Hak Cipta Pada Penulis


Hak Cipta Penulis dilindungi Undang-Undang Hak Cipta 2002
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara
apapun tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Desain Sampul : Abu Ghozi


Tata Letak : Abu Ghozi

Perpustakaan Nasional – Katalog Dalam Terbitan (KDT)


ASHADI
Tentang Jawa
Jumlah halaman 232

ISBN 978-602-74968-6-6

Diterbitkan Oleh Arsitektur UMJ Press


Jln. Cempaka Putih Tengah 27 Jakarta Pusat 10510
Tetp. 021-4256024, Fax. 021-4256023
E-mail: arwityas@yahoo.com

Gambar Sampul: Interior masjid Sumur Gumuling Yogyakarta


(Dokumentasi Penulis)

Dicetak dan dijilid di Jakarta


Isi di luar tanggung jawab percetakan
Sanksi Pelanggaran Pasal 72:
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana
penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/ atau denda
paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak
Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum
suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak
Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling
banyak Rp. 500.000.000,00 (limaratus juta rupiah).
ABSTRAK

Jawa dalam khasanah kebudayaan Indonesia memiliki arti yang


sangat penting. Kebudayaan Jawa, bersama-sama dengan
kebudayaan-kebudayaan etnis lainnya, membangun bangunan
besar kebudayaan Indonesia. Tujuan penelitian-penelitian (yang
kemudian dibukukan ini) adalah menelusuri dan memahami
konsep-konsep yang berhubungan dengan kebudayaan Jawa,
yaitu tentang: religi dan arsitektur bangunan peribadatan
masyarakat Jawa, arsitektur keraton Jawa, arah hadap rumah
Jawa dan legitimasi kekuasaan raja, krobongan, membangun
konsep ruang arsitektur, Menara Kudus sebagai axis mundi,
jejak keberadaan rumah tradisional Kudus, perkembangan
arsitektur mesjid Wali Songo di Jawa, makna alun-alun dalam
tata ruang kota Jawa, dan tentang agama Jawa. Pendekatan
atau metode yang digunakan adalah gabungan dari metode
penelusuran sejarah, penyelidikan deskriptif studi kasus, dan
metode komparatif, yang melibatkan bidang studi sejarah,
arsitektur, dan antropologi. Hasil dari penelitian-penelitian ini
menunjukkan bahwa pada dasarnya kebudayaan Jawa
terbangun berlandaskan kebudayaan asli (animism-dinamisme)
dan kebudayaan asing (Hindu-Budha, Islam, dan kolonial
Belanda).

Kata Kunci: Animisme-Dinamisme, Hindu-Budha, Islam, Jawa.


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, akhirnya buku berjudul Tentang Jawa bisa


dirampungkan. Buku ini merupakan hasil format ulang
dari tulisan-tulisan yang dimuat dalam jurnal ilmiah:
Jurnal Penelitian UMJ, Jurnal Nalars FTUMJ, dan Jurnal
Hirarchi FTUP, kecuali satu tulisan, yaitu bagian 10 yang
merupakan makalah salah satu tugas mata kuliah
Antropologi Agama di Program Pascasarjana Antropologi
Universitas Indonesia. Dalam proses format ulang
dilakukan penambahan gambar-gambar baru untuk
melengkapi dan memperjelas uraian pembahasan.
Buku Tentang Jawa ini berisi tulisan-tulisan
tentang:
(1) Religi dan arsitektur bangunan peribadatan
masyarakat Jawa: studi tentang sinkretisme.
(2) Arsitektur keraton Jawa: tata letak, bentuk dan
hiasan bangunan.
(3) Arah hadap rumah Jawa dan legitimasi kekuasaan
raja.
(4) Krobongan: makna ruang sakral dalam tata ruang
rumah tinggal Jawa.
(5) Membangun konsep ruang arsitektur: antara yang
sakral dan profan dalam tradisi khaul Sunan Kudus.
(6) Menara Kudus sebagai axis mundi: menelusuri
komunitas Kudus Kuno.

i
ii

(7) Jejak keberadaan rumah tradisional Kudus: sebuah


kajian antropologi-arsitektur dan sejarah.
(8) Perkembangan arsitektur mesjid Wali Songo di Jawa:
perubahan ruang dan bentuk.
(9) Makna alun-alun dalam tata ruang kota Jawa.
(10) Agama Jawa: telaah kritis atas konsep Geertz.

Akhirnya, semoga buku ini dapat bermanfaat bagi


para pembaca sebagai sumbangan ilmu pengetahuan
tentang kebudayaan Jawa.

Jakarta, Agustus 2017


Penulis
PENGANTAR PENERBIT

Alhamdulillah, tulisan Ashadi yang berjudul Tentang Jawa


dapat kami terbitkan. Buku ini adalah hasil format ulang
dari tulisan-tulisan yang dimuat dalam jurnal ilmiah:
Jurnal Penelitian UMJ, Jurnal Nalars FTUMJ, dan Jurnal
Hirarchi FTUP, dan satu tulisan yang merupakan makalah
tugas mata kuliah Antropologi Agama di Program
Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia.
Dalam buku ini, penulis berusaha memahami
konsep kebudayaan Jawa melalui tema-tema religi dan
agama, masjid, keraton, dan kota Jawa. Pendekatan yang
digunakan adalah gabungan dari pendekatan penelusuran
sejarah, penyelidikan deskriptif studi kasus, dan metode
komparatif, kecuali pada tulisan tentang agama Jawa
yang berupa studi pustaka, yang melibatkan bidang studi
sejarah, arsitektur, dan antropologi.
Kekuatan buku ini adalah cakupan studinya yang
begitu luas, disertai dengan kelengkapan gambar-gambar
baru untuk menunjang uraian pembahasan. Kehadiran
buku ini menjadi salah satu sumbangan penting bagi
khasanah ilmu pengetahuan, khususnya tentang
kebudayaan Jawa.

Jakarta, Agustus 2017


Penerbit

iii
iv
DAFTAR ISI
HAL.
KATA PENGANTAR i
PENGANTAR PENERBIT iii
DAFTAR ISI v

BAGIAN 1
RELIGI DAN ARSITEKTUR BANGUNAN
PERIBADATAN MASYARAKAT JAWA :
STUDI TENTANG SINKRETISME 1
1.1 Pendahuluan 1
1.2 Religi dan Bangunan Peribadatan
Masyarakat Jawa Kuno 3
1.3 Pengaruh Asing : Hindu-Budha 6
1.4 Pengaruh Asing : Islam 10
1.5 Kesimpulan 14

BAGIAN 2
ARSITEKTUR KERATON JAWA : TATA LETAK,
BENTUK DAN HIASAN BANGUNAN 17
2.1 Pendahuluan 17
2.2 Konsep Tata Letak Bangunan 21
2.3 Makna Ragam Bentuk Bangunan 27
2.4 Makna Ragam Hias Bangunan 35
2.5 Kesimpulan 42

v
vi

BAGIAN 3
ARAH HADAP RUMAH JAWA DAN
LEGITIMASI KEKUASAAN RAJA 47
3.1 Pendahuluan 47
3.2 Stratifikasi Masyarakat Jawa 49
3.3 Deskripsi Ruang Rumah Tinggal Raja
Pakubowono 51
3.4 Deskripsi Ruang Ruang Tinggal Dalem
Pangeran 56
3.5 Konsep Kekuasaan Raja Jawa 59
3.6 Kesimpulan 68

BAGIAN 4
KROBONGAN : MAKNA RUANG SAKRAL
DALAM TATA RUANG RUMAH TINGGAL JAWA 71
4.1 Pendahuluan 71
4.2 Deskripsi Singkat Rumah Tinggal Jawa 73
4.3 Fungsi dan Makna Krobongan dalam Tata
Ruang Rumah Tinggal Jawa 78
4.4 Kesimpulan 88

BAGIAN 5
MEMBANGUN KONSEP RUANG ARSITEKTUR :
ANTARA YANG SAKRAL DAN PROFAN
DALAM TRADISI KHAUL SUNAN KUDUS 91
5.1 Pendahuluan 91
5.2 Seputar Pemikiran tentang Ruang dan
Arsitektur 94
5.3 Tradisi Khaul Sunan Kudus 102
5.4 Kesimpulan 114
vii

BAGIAN 6
MENARA KUDUS SEBAGAI AXIS MUNDI :
MENELUSURI KOMUNITAS KUDUS KUNO 117
6.1 Pendahuluan 117
6.2 Inskripsi Bersejarah 120
6.3 Tafsir Al-Aqsha, Al-Manar, dan Al-Quds 122
6.4 Menara Kudus dan Penelusuran Komunitas
Kudus Kuno 126
6.5 Kesimpulan 136

BAGIAN 7
JEJAK KEBERADAAN RUMAH TRADISIONAL
KUDUS : SEBUAH KAJIAN ANTROPOLOGI-
ARSITEKTUR DAN SEJARAH 139
7.1 Pendahuluan 139
7.2 Kudus dalam Perspektif Sejarah 142
7.3 Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Kudus 145
7.4 Arsitektur Rumah Tradisional Kudus 151
7.5 Asal Usul Ukiran 158
7.6 Kesimpulan 164

BAGIAN 8
PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MESJID
WALI SONGO DI JAWA : PERUBAHAN RUANG
DAN BENTUK 167
8.1 Pendahuluan 167
8.2 Mesjid sebagai Sarana Kegiatan Dakwah :
Sejarah Singkat 171
8.3 Menuju Keruangan Memusat 176

vii
viii

8.4 Menuju Modernitas 183


8.5 Kesimpulan 188

BAGIAN 9
MAKNA ALUN-ALUN DALAM TATA RUANG
KOTA JAWA 191
9.1 Pendahuluan 191
9.2 Asal-Usul : Dari Tanah Lapang Menjadi
Alun-alun 194
9.3 Alun-alun : Bukan Sekedar Ruang Kosong 204
9.4 Alun-alun Dalam Tatanan Kosmos 208
9.5 Kesimpulan 210

BAGIAN 10
AGAMA JAWA : TELAAH KRITIS ATAS KONSEP
GEERTZ 215
10.1 Pendahuluan 215
10.2 Interpretasi Kebudayaan 218
10.3 Agama Jawa 225
10.4 Kesimpulan 230
BAGIAN 1

RELIGI DAN ARSITEKTUR


BANGUNAN PERIBADATAN
MASYARAKAT JAWA : STUDI
TENTANG SINKRETISME

1.1 Pendahuluan
Sejak berabad-abad lalu, ada bermacam-macam religi
yang sempat dianut oleh masyarakat Jawa dan
berpengaruh besar terhadap pandangan hidupnya. Yaitu,
Kepercayaan Lokal (Animisme dan Dinamisme), Hindu-
Budha, dan Islam. Sementara Kristen-Katolik dianggap
kurang memberikan pengaruh signifikan terhadap
pandangan hidup masyarakat Jawa karena pemeluknya
relatif sedikit (Santosa, 2012:174).
Pada zaman purbakala terdapat kesatuan
kebudayaan pada suatu wilayah yang sangat luas :
mencakup India, Indocina, Indonesia, beberapa pulau di
Lautan Pasifik, dan Tiongkok Selatan. Tersebarnya
luasnya wilayah budaya tersebut dimungkinkan karena
ada laut yang menghubungkan wilayah satu dengan
wilayah lainnya. Untuk menggambarkan secara umum
kepercayaan-kepercayaan paling kuno yang telah dianut
dan sering kali masih tampak di daerah luas tersebut
adalah mengunakan istilah Animisme. Penduduk percaya
kepada ruh yang ada dalam segala benda dan segala
1
2

tempat, dan mereka juga percaya ada orang-orang


tertentu yang sakti untuk memanggil ruh-ruh tersebut
atau mengusirnya. Penganut Animisme juga mempercayai
adanya daya ghaib di berbagai tempat seperti mata air,
lubuk, air terjun, kolam, pohon rindang, hutan angker,
batu, puncak tinggi, batu di tengah sungai, dan jenis
hewan tertentu (Sunyoto, 2011:9-14). Pemahaman yang
demikian dinamakan paham Dinamisme. Kepercayaan
kuno yang tersebar luas itu pada dasarnya adalah
kepercayaan yang dianut pula oleh masyarakat Jawa.
Kepercayaan Animisme dan Dinamisme yang
dianut masyarakat Jawa itu belumlah mewujudkan diri
sebagai suatu agama secara nyata dan sadar. Dalam taraf
keagamaan seperti itu, masyarakat Jawa menerima
pengaruh agama dan kebudayaan Hindu (Simuh, 1988:1).
Masuknya pengaruh agama Hindu dan Budha serta
kebudayaan India tidak dengan serta merta membongkar
kepercayaan Animisme dan Dinamisme sebagai
kepercayaan asli yang telah mengakar dalam kebudayaan
Jawa, bahkan sebaliknya lebih menyuburkan kepercayaan
serba magis dan animis dengan cerita orang-orang sakti
setengah dewa. Maka sangatlah wajar jika kebudayaan
Jawa sangat bersifat sinkretis, dimana setiap agama
diterima dengan sikap terbuka dan tidak memperdulikan
benar salahnya agama tersebut. Agama Hindu dan Budha
di negeri asalnya justru bermusuhan, sedangkan di Jawa
dapat dipersatukan menjadi konsep agama Syiwa-Budha
(Simuh, 1995:116-118).
Demikian pula, ketika agama Islam datang, mereka
lebih menerima agama baru itu sebagai agama formal,
kendati secara batin seringkali masih menyakini
kebenaran nilai-nilai kepercayaan lama (lokal) yang
mewujud dalam tradisi kehidupan pribadi maupun sosial
di lingkungannya. Karena itulah, walaupun mayoritas
masyarakat Jawa telah menerima Islam, namun banyak
yang belum sampai mendalam dalam arti menjalankan
3

syari'at Islam dengan baik dan benar sehingga belum juga


tercipta peradaban Islam yang kental dan mengakar di
seluruh aspek kehidupan (Santosa, 2012:251).
Kebudayaan Megalitikum telah menghadirkan
bangunan-bangunan peribadatan masyarakat Jawa Kuno,
seperti menhir atau tiang batu, dolmen, sarkofagus atau
keranda, kubur batu, dan punden berundak-undak, yang
itu semua merupakan penjelmaan dari kepercayaan
masyarakat Jawa Kuno akan kehidupan di akhirat dan
alam pikiran yang berdasarkan pemujaan nenek moyang.
Sinkretisme agama dan bangunan-bangunan
peribadatan masyarakat Jawa tentunya menjadi terma
penting yang perlu dilakukan studi. Bagaimana wujud
sinkretisme agama dan arsitektur bangunan
peribadatannya ketika kepercayaan lokal (Animisme-
Dinamisme) bertemu dengan Hinduisme, dan kemudian
dengan Islam. Dan sejauh mana proses penerimaan oleh
unsur-unsur lokal (Animisme-Dinamisme) terhadap
unsur-unsur baru (Hinduisme dan Islam). Dalam studi ini
digunakan pendekatan budaya dan arsitektural.
Pembahasan mencakup : (1) religi dan bangunan
peribadatan masyarakat Jawa Kuno; (2) pengaruh asing :
Hindu - Budha; (3) pengaruh asing : Islam; dan (4)
kesimpulan.

1.2 Religi dan Bangunan Peribadatan Masyarakat Jawa


Kuno
Dalam makalahnya yang berjudul Kawasan Asia Tenggara
dalam Dinamika Sejarah Kebudayaan, Agus Aris
Munandar, merujuk seorang ahli sejarah kebudayaan
bernama J.L.A.Brandes yang pernah melakukan kajian
mendalam tentang perkembangan kebudayaan Asia
Tenggara dalam masa proto-sejarah, mengungkapkan
bahwa penduduk Asia Tenggara daratan ataupun
kepulauan telah memiliki 10 kepandaian yang meluas di
awal tarikh Masehi sebelum datangnya pengaruh asing,
4

yaitu: (1) Telah dapat membuat figur boneka; (2)


Mengembangkan seni hias ornamen; (3) Mengenal
pengecoran logam; (4) Melaksanakan perdagangan barter;
(5) Mengenal instrumen musik; (6) Memahami astronomi;
(7) Menguasai teknik navigasi dan pelayaran (8)
Menggunakan tradisi lisan dalam menyampaikan
pengetahuan; (9) Menguasai teknik irigasi; (10) Telah
mengenal tata masyarakat yang teratur. Pencapaian di
bidang religi, menurut kajian terbaru G. Coedes, yakni :
(1) Memuliakan tempat-tempat tinggi sebagai lokasi yang
suci dan keramat; (2) Pemujaan kepada arwah nenek
moyang/leluhur (ancestor worship); (3) Mengenal
penguburan kedua (secondary burial) dalam gentong,
tempayan, atau sarkofagus. (Munandar, Makalah
Lokakarya, 2009).
Berdasarkan pembabakan Zaman Prasejarah
berdasarkan ciri-ciri kehidupan masyarakat, maka zaman
prasejarah Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 3
periode, yaitu : (1) periode berburu dan mengumpulkan
makanan; (2) periode bercocok tanam; dan (3) periode
perundagian.
Pada periode berburu dan mengumpulkan
makanan tingkat lanjut (sekitar 10.000 - 6.000 tahun
yang lalu), telah memiliki kepercayaan yang bersifat
rohani dan spiritual. Masyarakat periode ini menganggap
bahwa orang yang telah mati akan tetap hidup di dunia
lain dan tetap mengawasi anggota keluarganya yang masih
hidup.
Pada periode bercocok tanam (sekitar 7.500 - 3.500
tahun yang lalu), sebagai perkembangan kepercayaan
pada masa sebelumnya, manusia telah mengenal
anggapan bahwa roh manusia setelah mati dianggap tidak
hilang, melainkan berada di alam lain yang tidak berada
jauh dari tempat tinggalnya dahulu. Dengan demikian,
karena sewaktu-waktu roh yang bersangkutan dapat
dipanggil kembali bila dimintakan bantuannya, untuk itu
5

pada saat seseorang mati dikuburkan maka ia dibekali


dengan bermacam-macam keperluan sehari-hari, seperti
perhiasan dan periuk. Untuk orang-orang terkemuka
(kepala suku atau kepala adat), kuburannya dibuat agak
istimewa, terlihat dari bentuknya yang terdiri atas batu-
batu besar, seperti sarkofagus (peti jenazah yang terbuat
dari batu), menhir (tugu batu yang tegak, tempat
pemujaan terhadap arwah leluhur), dolmen (meja batu
tempat meletakkan sesaji yang akan dipersembahkan
kepada arwah nenek moyang), peti batu (peti jenazah yang
terbuat dari batu pipih), waruga (kuburan batu yang
berbentuk kubus atau bulat, terbuat dari batu yang utuh),
punden berundak-undak (bangunan suci tempat
pemujaan terhadap roh nenek moyang yang dibuat dalam
bentuk bertingkat-tingkat atau berundak-undak), dan
arca. Arca pada masa Megalitikum terbuat dari batu,
biasanya berbentuk sosok hewan dan manusia. Jenis
hewan yang sering dibentuk adalah gajah, kerbau,
harimau, monyet.
Pada periode perundagian (sekitar 3.500 - 1.000
tahun yang lalu), Kepercayan berkembang sesuai dengan
pola pikir manusia yang merasa dirinya memiliki
keterbatasan dibandingkan dengan yang lainnya.
Anggapan seperti ini memunculkan jenis kepercayaan :
Animisme dan Dinamisme.
Dalam kepercayaan Animisme, manusia
mempunyai anggapan bahwa suatu benda memiliki
kekuatan supranatural dalam bentuk roh. Roh ini bisa
dipanggil dan diminta pertolongan pada saat diperlukan.
Kepercayaan terhadap bermacam-macam roh dan
makhluk halus yang menempati suatu tempat
memunculkan kegiatan menghormati atau memuja roh
tersebut dengan cara berdoa dengan mantera dan
memberi sesajen atau persembahan.
Kepercayaan Dinamisme merupakan perpanjangan
dari Animisme. Roh atau makhluk halus yang diyakini
6

berasal dari jiwa manusia yang meninggal, kemudian


mendiami berbagai tempat, misalnya hutan belantara,
lautan luas, gua-gua, sumur dalam, sumber mata air,
persimpangan jalan, pohon besar, batu-batu besar, dan
lain-lain. Manusia percaya bahwa, misalnya, pada batu
akik, tombak, keris, belati, anak panah, bersemayam
kekuatan halus, sehingga alat-alat tersebut harus dirawat,
diberi sesajen, dimandikan dengan air kembang.
Kepercayaan Animisme dan Dinamisme ini kemudian
berkembang dan menyatu dengan kebudayaan Hindu-
Buddha dan kemudian Islam.

1.3 Pengaruh Asing : Hindu-Budha


Kebudayaan Austronesia tidak mungkin berkembang
sendiri di wilayah Asia Tenggara, karena kawasan tersebut
menjadi arena pertemuan dua kebudayaan besar Asia
yang telah lama berkembang, kedua kebudayaan itu
adalah India dan Cina. Di awal tarikh Masehi, dalam
periode protosejarah, dapat dipastikan banyak pelaut dan
niagawan dari India dan Cina saling berkunjung. Para
pelaut tersebut sudah pasti melalui laut, selat, dan pantai-
pantai Asia Tenggara. Pada masa itulah terjadi interaksi
antara para pelaut India dan Cina dengan penduduk Asia
Tenggara yang merupakan bangsa besar Austronesia.
Penduduk di wilayah Jawa, Sumatera, Bali, Semenanjung
Malaysia, Tumasik (Singapura), Thailand, Khmer,
Champa, Myanmar yang lebih banyak menerima aspek-
aspek budaya India. Adapun Laos dan Vietnam banyak
dipengaruhi oleh budaya Cina, walaupun pengaruh
kebudayaan India meninggalkan pula jejaknya. Filipina
agaknya lebih lama berada dalam masa protosejarah dan
tetap mengembangkan kebudayaan Austronesia yang
awal. (Munandar, Makalah Lokakarya, 2009).
Di Jawa, Hinduisme nampak menyebar dari atas.
Yakni melalui pemahaman dan pengolahan golongan
bangsawan dan para cendekiawan Jawa. Dari pemahaman
7

dan pengolahan para cendekiawan inilah orang-orang


awam menerima pengaruh Hinduisme. Hinduisme, yang
pada waktu itu mempunyai prestise internasional,
dipandang sebagai lambang kemajuan dan ketinggian
derajat. Sementera kalangan atas menerima sepenuhnya
pengaruh Hinduisme, di kalangan rakyat meletakkan
pengaruh itu di permukaannya saja. Artinya, rakyat masih
memegang tegung tradisi yang dimilikinya secara turun
temurun dari nenek moyangnya.
Penyerapan Hinduisme ke dalam tradisi lokal
ternyata tidaklah secara total menghilangkan tatanan
kehidupan sosial-budaya masyarakat setempat pada
waktu itu yang masih memiliki tradisi religi yang sudah
berakar pada zaman prasejarah. Kondisi kehidupan sosial-
budaya yang demikian ini telah memungkinkan tumbuh-
kembangnya dua tradisi budaya yang berbeda, yaitu
tradisi budaya prasejarah dan tradisi budaya Hindu-
Budha. Kehidupan budaya, khususnya religi, yang berasal
dari tradisi masa prasejarah di beberapa tempat di wilayah
Jawa bagian barat masih terus berlangsung pada masa
perkembangan Hindu-Budha bahkan sampai jauh ke
masa sejarah. (Djafar, 2010:127).
Kajian arsitektural bangunan percandian dan seni
arca Budhis yang ditemukan di kawasan situs Batujaya,
Kerawang, Jawa Barat telah menemukan adanya
kesamaan ciri-ciri dan gaya seni tertentu yang
membimbing ke arah identifikasi unsur-unsur gaya seni
dari India Utara, khususnya dari Nalanda yang telah
dipengaruhi oleh gaya seni Gandhara. Ragam hias dan
arca-arca stuko Batujaya memiliki beberapa kesamaan
baik bahan maupun gaya penggambarannya, khususnya
dalam penggambaran rambut dan hiasannya, dengan gaya
seni Gandhara. (Djafar, 2010:127 dan 130). Pengaruh
India itu masuk ke Jawa sebagai akibat dari dorongan
para pemuka Jawa untuk mengambil bagian dalam
kemajuan budaya, yang pada masa bersangkutan diwakili
8

oleh kebudayaan India yang sedang menonjol


kewibawaannya di kalangan internasional, khususnya di
kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara. Faktor utama
yang merupakan daya tarik sebagai pertanda kemajuan
adalah pemikiran keagamaan, dan menyertai itu terbawa
pula pemikiran mengenai penataan masyarakat dan
kesenian. Namun unsur-unsur yang terbawa itu,
khususnya kesenian, sesampai di Jawa mengalami
perkembangannya tersendiri, tanpa kaitan ketat dengan
fungsinya di tanah asal. Kesenian itu pun di Jawa
mengalami modifikasi sesuai dengan selera Jawa. Dalam
pada itu, tanah Jawa yang dimasuki pengaruh India itu
bukanlah wilayah yang hampa budaya. Beberapa bentuk
kesenian mungkin telah memiliki landasan pemikiran
maupun teknik yang kuat, yang tak dapat hilang dilanda
pengaruh asing. Melainkan, kesenian asli dan kesenian
asing dari India itu merupakan dua pihak yang seimbang,
yang kemudian berpadu hingga terwujud bentuk-bentuk
kesenian Jawa yang baru. (Sedyawati, 1985:10). Itulah
yang dinamakan sinkretisme.
Dr. W. F. Stutterheim, sebagaimana dikutip
Suwaryadi, mengatakan bahwa peranan kebudayaan asli
dalam akulturasi penting sekali. Sebagai contoh, candi
Sukuh. Pada candi ini unsur-unsur pra-Hindunya
sangatlah mencolok misalnya bentuknya yang teras
berundak adalah gaya zaman Megalitikum, dan ada
lambang-lambang kesuburan. Banyak ahli mendukung
teori Local-Genius dari Quaritz Wales, yaitu bahwa
kebudayaan asli mempunyai daya untuk menyesuaikan
dengan kebudayaan yang datang. C. C. Berg mengatakan
bahwa kebudayaan Hindu dilebur dan timbul kebudayaan
baru. Lebih lanjut Suwaryadi mengungkapkan bahwa
dalam akulturasi akan mengalami tiga fase. Fase pertama,
kebudayaan pendatang posisinya di atas, kemudian fase
kedua, percampuran yang seimbang antara kebudayaan
lokal dan pendatang, dan akhirnya fase ketiga,
9

kebudayaan asli tampil di atas. Gejala ini secara samar-


samar didapati dalam akulturasi kebudayaan Indonesia -
Hindu khususnya di Jawa. (Suwaryadi, tt:64-71).
Berdasarkan penelitian, gaya candi di Indonesia
mempunyai bentuk yang berbeda dengan yang ada di
India; artinya hasil pengadaptasian banyak dipengaruhi
oleh pemikiran lokal. Pendirian suatu bangunan dalam
kebudayaan Hindu mengacu pada dalil-dalil yang
tersusun dalam kitab-kitab keagamaan, yang aslinya di
India bernama 'Cilpa Castra'. Tetapi bagaimana penerapan
dalil-dalil itu pada arsitektur bangunan candi di Indonesia
tidaklah jelas, karena banyak terjadi penyimpangan.
Penyimpangan tersebut tampak lebih nyata apabila
dibandingkan dengan tipologi bentuk candi-candi yang
bercorak Jawa Timuran. (Rahadhian, Jurnal Arsitektur
Tatanan, 1999).

Gambar 1.1. Candi Sukuh, bentuknya seperti punden berundak


(Dokumentasi Penulis)
10

1.4 Pengaruh Asing : Islam


Islam mulai berkembang pesat di Jawa setelah runtuhnya
kerajaan Majapahit. Proses islamisasi pada abad XVI -
XVII Masehi berjalan lancar berkat strategi dakwah para
wali yang akomodatif, lentur, dan mengutamakan
semangat hidup berdampingan secara damai. Dalam
berdakwah, para wali juga menggunakan unsur-unsur
kepercayaan lama (Animisme-Dinamisme), Hindu-Budha,
dan sekaligus memasukkan ajaran Islam ke dalamnya
(Santosa, 2012:248-249). Kegiatan dakwah para wali itu
mendapat dukungan berarti dari para penguasa kerajaan
Islam Demak.
Menurut para pujangga keraton, berdirinya
kerajaan Islam Demak dipandang sebagai zaman
peralihan. Yakni peralihan dari zaman Kabudan (tradisi
Hindu-Budha) ke zaman Kawalen (Islam). Peralihan ini
tidak mesti bermakna sebagai pembuangan dan
pergantian tradisi seni budaya yang notebene adi luhung
warisan zaman kerajaan Jawa-Hindu, namun bersifat
pengislaman atau penyesuaian dengan suasana Islam.
Penyesuaian ini melahirkan bentuk-bentuk peralihan yang
berupa sinkretisme antara warisan budaya Animisme-
Dinamisme, Hinduisme, dan unsur-unsur Islam. Bentuk
perpaduan ini sering disebut dengan istilah Islam Kejawen
atau sering disingkat dengan istilah kejawen saja. Dengan
beralihnya pusat kerajaan ke daerah pedalaman dengan
berdirinya kerajaan Pajang, dan kemudian kerajaan
Mataram, lebih menyuburkan bentuk sinkretisme ini
(Simuh, 1995:124).
Koentjaraningrat membagi agama Islam Jawa
menjadi dua : agama Islam Jawa yang sinkretis dan
agama Islam Jawa yang puritan. Agama Islam Jawa yang
sinkretis adalah yang menyatukan unsur-unsur pra-
Hindu, Hindu dan Islam. Sementara agama Islam Jawa
yang puritan adalah yang mengikuti ajaran agama Islam
secara lebih taat. Kemudian dirumuskan menjadi Agami
11

Jawi, agama orang Jawa dan Agama Islam Santri, agama


Islam yang dianut orang santri. Bentuk Agami Jawi atau
Kejawen adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-
konsep Hindu-Budha yang cenderung ke arah mistik,
yang tercampur menjadi satu dan diaku sebagai agama
Islam. Sementara Agama Islam Santri lebih dekat pada
dogma-dogma ajaran Islam yang sebenarnya. Keyakinan
Agami Jawi setaraf dengan sistem budaya dari agama
yang dianut orang Jawa, seperti yakin adanya Allah, yakin
bahwa Mohammad adalah Pesuruh Allah, yakin adanya
nabi-nabi lain, yakin adanya tokoh-tokoh Islam yang
keramat, yakin akan adanya konsep kosmogoni tertentu
tentang penciptaan alam, yakin akan adanya dewa-dewa
tertentu yang menguasai bagian-bagian dari alam
semesta, yakin akan adanya konsep-konsep tertentu
tentang hidup dan kehidupan setelah kematian, yakin
akan adanya makhluk-makhluk halus penjelmaan nenek
moyang yang sudah meninggal, yakin adanya roh-roh
penjaga, yakin akan adanya setan, hantu dan raksasa,
dan yakin akan adanya kekuatan-kekuatan gaib dalam
alam semesta ini. (Koentjaraningrat, 1984:310-319).
Salah satu hasil kebudayaan Islam di Jawa adalah
bangunan mesjid. Menurut Babad, mesjid-mesjid kuno
yang didirikan di bawah pimpinan Walisongo (wali yang
berjumlah sembilan) secara gotong royong adalah Mesjid
Agung Demak dan Mesjid Sunan Gunung Jati Cirebon
(Tjandrasasmita, 2000:165). Secara individu, Walisongo
juga telah mendirikan mesjid di daerahnya masing-
masing. Sebut saja misalnya, Mesjid Sunan Ampel di kota
Surabaya, Mesjid Sunan Giri di atas bukit di Gresik,
Mesjid Sunan Kudus di kota Kudus, dan Mesjid Sunan
Kalijogo di dusun Kadilangu, Demak (Syamlawi, 1983:25-
46). Ada satu lagi bangunan mesjid yang diyakini
keberadaannya berkaitan dengan Walisongo yakni Mesjid
Sunan Muria di Colo, Kudus. Sementara tokoh-tokoh
Walisongo yang dikenal masyarakat Jawa, seperti Maulana
12

Malik Ibrahim, Sunan Bonang dan Sunan Drajat tidak


meninggalkan artefak berupa bangunan mesjid. Dengan
demikian mesjid-mesjid yang pembangunannya
diprakarsai oleh Walisongo itu tersebar di wilayah pulau
Jawa dari bagian Timur sampai bagian Barat. Dalam
peristilahan arkeologi, mesjid Walisongo tersebut
termasuk living monument, yaitu bangunan yang tetap
digunakan sesuai dengan fungsi semula ketika bangunan
itu dibuat.
Bentuk mesjid yang segera nampak adalah atapnya
yang berbentuk tajug dan bertumpang. Bentuk atap
tumpang pada bangunan mesjid sebenarnya tidaklah
lazim digunakan pada bangunan- bangunan yang
bercirikan seni Islam sebagaimana yang bisa dijumpai di
negara-negara yang juga mayoritas penduduknya
beragama Islam seperti Arab Saudi, Turki, Iran, Mesir,
Maroko, dan Siria, dimana kubah menjadi pilihan utama
sebagai penutup ruang utama bangunan masjid. Menurut
Soekmono, atap tumpang, yaitu atap yang bersusun
semakin ke atas semakin kecil sedangkan tingkatan yang
paling atas berbentuk limas, mungkin dapat dianggap
sebagai bentuk perkembangan dari dua unsur yang
berlainan, yaitu : atap candi yang denahnya bujur sangkar
dan selalu bersusun (berundak), dan pucuk stupa yang
adakalanya berbentuk susunan payung-payung yang
terbuka (Soekmono, 1973:75-76).
Pada relief-relief candi Jawa Timur juga bisa dilihat
bangunan-bangunan yang beratap tumpang yang
mungkin merupakan bangunan suci. Hingga sekarang, di
Bali banyak dijumpai meru yang memiliki atap tumpang;
dia adalah salah satu jenis bangunan suci umat Hindu. Di
Bali, bangunan yang mempunyai atap susun selain meru
adalah wantilan. Yang pertama berdasarkan fungsinya
digolongkan ke dalam bangunan untuk ibadah (sakral),
sedangkan yang kedua merupakan bangunan untuk
pertemuan atau musyawarah atau gedung serbaguna.
13

Sementara itu, de Graaf menduga adanya kaitan antara


mesjid-mesjid Indonesia yang beratap tumpang dengan
pagoda-pagoda di daratan Asia Tenggara, mengingat
bahwa kerabat-kerabat orang Islam lama yang jadi pelopor
berasal dari Asia Tenggara; juga mengingat hubungan
mereka dengan Cina (Graaf, 1985:36,cat.kaki).

Gambar 1.2. Bangunan beratap tumpang pada relief candi Jago di


Malang Jawa Timur (kiri) dan bangunan Meru di pura Taman Ayun di
Mengwi Bali (kanan) (Dokumentasi Penulis)

Menurut G.F. Pijper, seperti dikutip dalam Mesjid


Kuno Indonesia, bahwa arsitektur mesjid-mesjid kuno di
Indonesia bila dibandingkan dengan arsitektur mesjid-
mesjid kuno di dunia Islam lainnya, sangatlah sederhana.
Meskipun sederhana, arsitektur mesjid-mesjid kuno di
Indonesia memiliki ciri khas lokal. Pijper melanjutkan, tipe
mesjid Indonesia berasal dari Pulau Jawa, sehingga orang
dapat menyebut mesjid tipe Jawa. Salah satu ciri mesjid
14

tipe Jawa yang disampaikan Pijper adalah mesjid


mempunyai atap meruncing ke atas, terdiri dari dua
sampai lima tingkat, ke atas makin kecil. Menurut Pijper,
atap yang tinggi itu mungkin dahulu terdapat di Jawa,
tetapi karena atap seperti itu dibuat dari bahan yang
mudah rusak, maka atap itu mudah musnah dan
dilupakan. Atap mesjid yang bersusun itu mungkin
merupakan sisa meru (Direktorat Perlindungan dan
Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Ditjen
Kebudayaan Depdikbud, 1998:18-19).

1.5 Kesimpulan
Perpaduan keyakinan antara keyakinan lokal dan
pendatang yang menghasilkan keyakinan baru telah
terjadi di kalangan masyarakat Jawa. Perpaduan itu yang
kemudian dikenal dengan sinkretisme, mula-mula terjadi
antara kepercayaan Animisme-Dinamisme dengan
Hinduisme (bersendi atas kebudayaan bangsa Hindu -
India), yang diwujudkan dalam bentuk ide-ide keagamaan
dan wujud bangunan peribadatannya. Ide penghormatan
terhadap raja yang kemudian berlanjut kepada pemujaan
kepada roh raja dalam bentuk percandian adalah
perkembangan dari penghormatan roh orang pemuka adat
yang meninggal pada masa pra-Hindu. Wujud fisiknya
berupa bentuk candi yang berundak, perkembangan dari
punden berundak pada masa silam. Ide keagamaan ini
kemudian terus berlanjut sampai datangnya Islam.
Penghormatan roh nenek moyang tetap bertahan dalam
kegiatan keislaman, yakni kenduri atau selametan. Wujud
fisiknya diperlihatkan oleh bentuk bangunan mesjid yang
beratap tajug tumpang, sebagai perkembangan bentuk
pundek berundak dan candi. Adanya Agami Jawi
menunjukkan bahwa telah terjadi sinkretisme antara
kepercayaan Animisme, Hinduisme dan Islam.
15

Referensi
Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan
Sejarah dan Purbakala Ditjen Kebudayaan Depdikbud
1998 Mesjid Kuno Indonesia, Jakarta: Proyek Pembinaan
Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat.

Djafar, Hasan
2010 Kompleks Percandian Batujaya Rekonstruksi
Sejarah Kebudayaan Daerah Pantai Utara Jawa
Barat, Jakarta: Kiblat Buku Utama.

Graaf, H.J. de dan Pigeaud, Th. G. Th.


1985 Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.

Koentjaraningrat
1984 Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka.

Munandar, Agus Aris


2009 ‘Kawasan Asia Tenggara dalam Dinamika Sejarah
Kebudayaan’, Makalah Lokakarya Sentralitas
ASEA,. Ditjen Kerjasama ASEAN Deplu RI,
Yogyakarta, 22-23 Juni.

Rahadhian
1999 ‘Tipologi Arsitektur Candi di Jawa’, Jurnal
Arsitektur Tatanan, vol.1.No.2.Oktober.

Santosa, Iman Budhi


2012 Spiritualisme Jawa, Yogyakarta: Memayu
Publishing.

Sedyawati, Edi
1985 ‘Pengaruh India pada Kesenian Jawa : Suatu
Tinjauan Proses Akulturasi’, dalam Soedarsono
(Ed), Pengaruh India, Islam dan Barat dalam Proses
16

Pembentukan Kebudayaan Jawa, Jakarta: Proyek


Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara
Ditjen Kebudayaan Depdikbud.

Simuh
1988 Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi
Ranggawarsita, Jakarta: UI Press.
1995 Sufisme Jawa, Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya.

Soekmono, R.
1973 Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1-3,
Yogyakarta: Kanisius.

Sunyoto, Agus
2011 Wali Songo, Rekonstruksi Sejarah yang
Disingkirkan, Jakarta: Transpustaka.

Suwaryadi, P.
Sejarah Indonesia Lama.

Syamlawi, Ichsan
1983 Keistimewaan Mesjid Agung Demak, Salatiga:
Saudara.

Tjandrasasmita, Uka
2000 Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim
di Indonesia dari Abad XIII sampai XVIII Masehi,
Kudus: Menara Kudus.
BAGIAN 2

ARSITEKTUR KERATON JAWA :


TATA LETAK, BENTUK DAN
HIASAN BANGUNAN

2.1 Pendahuluan
Dalam pemahaman budaya Jawa, manusia adalah jagad
cilik (mikrokosmos) dan dia menjadi satu kesatuan dengan
jagad gede (makrokosmos). Dalam kaitannya dengan
keberadaan kerajaan-kerajaan di Jawa, maka konsep yang
bersifat makrokosmos selalu dikaitkan dan dapat
diterapkan pada kekuasaan raja yang bersifat
mikrokosmos. Kerajaan harus memiliki bagian-bagian
yang sama dengan bagian-bagian alam semesta. Artinya,
unsur yang ada di seluruh wilayah kerajaan akan terpusat
pada raja. Raja dan keratonnya tidak hanya sebagai pusat
kekuatan politik, melainkan juga merupakan pusat magi
dari seluruh wilayah kerajaan.
Tata letak bangunan dalam keraton Jawa
memperlihatkan adanya pemisahan antara keraton
dengan dunia luar, dan setiap pembagian ruang terkesan
diorientasikan ke sati titik, yaitu tahta raja. Struktur

17
18

semacam ini mengartikan keraton dianggap sebagai pusat


mikrokosmos (lihat Setiadi dkk, 2000:286).
Keraton atau istana sebagai tempat tinggal raja
pada dasarnya bentuk bangunan dan fungsi ruang-
ruangnya tidak jauh berbeda dengan bangunan tempat
tinggal atau rumah penduduk dalam masyarakat Jawa
pada umumnya. Yang membedakannya adalah bentuk
bangunan dan fungsi ruang-ruang pada keraton lebih
beragam dan kompleks. Bangunan arsitektur keraton
Jawa sebagai salah satu unsur dalam kebudayaan sangat
ditentukan oleh manusia, tradisi dan filosofi Jawa;
ketiganya menentukan fungsi dari bentuk, ruang, dan
estetika bangunan keraton. Seperti halnya rumah
tradisional Jawa, keraton merupakan ungkapan dari
hakekat penghayatan penghuninya terhadap kehidupan,
representasi kosmologi atau keyakinan mengenai alam
semesta, dan suatu lingkungan mikrokosmos yang
dibangun dengan pertimbangan yang sarat makna.
Keraton adalah tempat dimana gagasan-gagasan
utama kebudayaan Jawa diproduksi. Di Jawa, keraton
yang masih berfungsi hingga sekarang sebagai kediaman
‘raja’ beserta kerabatnya, yaitu keraton-keraton
Kasultanan dan Pakualaman di Yogyakarta, Kasunanan
dan Mangkunegaran di Surakarta, dan Kasepuhan dan
Kanoman di Cirebon. Namun dari sedikit keraton itu yang
dianggap sebagai pusat-pusat kebudayaan Jawa yaitu
keraton-keraton yang terdapat di Yogyakarta dan
Surakarta; kedua wilayah itu pernah menjadi pusat
kekuatan politik dan keagamaan di tanah Jawa bagian
timur dan tengah. Sedangkan wilayah Jawa bagian barat
19

sebagian besar memiliki dan mengembangkan


kebudayaannya sendiri yaitu kebudayaan Sunda.
Kajian ini dilakukan untuk memahami beberapa
aspek arsitektural keraton Jawa, dengan mengambil obyek
studi kasus yaitu keraton Kasultanan Yogyakarta dan
Kasunanan Surakarta. Pertimbangan dalam menentukan
obyek studi kasus adalah bahwa baik keraton Kasultanan
Yogyakarta maupun keraton Kasunanan Surakarta
pernah menjadi pusat penyebaran kebudayaan Jawa,
terutama sejak pertengahan abad ke-18 hingga sebelum
zaman Kemerdekaan, dan keduanya memiliki banyak
kandungan nilai sejarah dan arsitektural. Penelitian ini
lebih menekankan pada aspek arsitektural dengan
memperhatikan faktor-faktor pendukung yang bersifat
material maupun non-material lainnya, seperti
dokumentasi dan referensi.
Keraton Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta adalah termasuk dua dari sedikit keraton Jawa
yang masih tersisa yang sarat dengan nilai historis dan
arsitektural. Tentunya ada permasalahan yang bisa
dijadikan bahan kajian secara mendalam sesuai konteks
kebudayaan Jawa. Permasalahan ini dapat dimunculkan
dalam bentuk pertanyaan : (a) bagaimana konsep tata
letak keraton Jawa ?; dan (b) Apa makna yang terkandung
dalam ragam bentuk dan hiasan bangunan keraton Jawa
? Dalam hal ini, keraton tidak saja dipandang dari satu
sudut pandang saja, yakni yang menyangkut wujud, rupa,
ragam atau bentuk (form), namun juga dilihat dari sisi
yang melandasinya, yakni falsafah, konsep, tata nilai, ide,
gagasan, makna atau isi (content) dari komunitas
20

pendukungnya (penguasa – raja, keluarga raja, para


pangeran dan para abdi dalem). Keraton sendiri
merupakan bagian dari tradisi, sehingga ia harus dilihat
sebagai pertanda untuk zamannya, yang mencerminkan
kesinambungan antara masa lampau, masa kini dan masa
yang akan datang. Untuk memahami beberapa aspek
arsitektural keraton Jawa, dalam penelitian ini akan
sangat memperhatikan karakteristik masing-masing
keraton yang menjadi obyek studi sebagai akibat kondisi
ekologis dimana keraton itu berada dan kondisi sosial
budaya komunitas pendukungnya. Meskipun menurut
riwayat, kedua keraton merupakan hasil karya satu orang,
yaitu Pangeran Mangkubumi, namun pada kenyataannya,
keduanya memiliki kekhasan dan keunikan masing-
masing.
Untuk mengetahui konsep tata letak, makna ragam
bentuk dan hiasan bangunan keraton Jawa, maka dalam
kajian ini digunakan pendekatan dengan menggabungkan
dua metode, yaitu metode penyelidikan deskriptif studi
kasus dan metode komparatif. Metode deskriptif
digunakan untuk membuat deskripsi, gambaran atau
lukisan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena
arsitektur keraton di Jawa. Jenis metode deskriptif yang
diterapkan dalam penelitian ini adalah metode studi
kasus, dengan pertimbangan bahwa metode ini dapat
memberikan gambaran secara mendetail tentang latar
belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas
dari masing-masing obyek studi kasus, yang kemudian
dengan metode komparatif, dari latar belakang, sifat-sifat
21

dan karakter-karakter yang khas itu akan


diperbandingkan satu sama lain di antara kedua obyek
studi kasus.

2.2 Konsep Tata Letak Bangunan


Secara garis besar keraton Kasultanan Yogyakarta dan
Kasunanan Surakarta terbentuk oleh serangkaian
pelataran dan gugusan bangunan-bangunan yang
tersusun sepanjang sumbu Utara-Selatan, dimulai dari
ujung-ujungnya yang paling luar, Alun-alun Lor dan Alun-
alun Kidul, hingga ke inti pusat keraton, yakni Kedaton,
tempat tinggal raja beserta keluarganya; ia sebagai puncak
konstelasi. Adanya posisi simetris pelataran di kedua sisi
(Utara dan Selatan) dengan kedua Alun-alun di bagian
paling luar dan bagian pusatnya adalah Kedaton, seakan-
akan keduanya menyelubungi ruang pusatnya. T.E.
Behren, seperti dirujuk Lombard, dengan jeli
membandingkan struktur tersebut dengan lingkaran-
lingkaran konsentris dari kosmologi Hindu-Jawa; keraton
merupakan suatu imago mundi (citra dunia), yaitu suatu
mikrokosmos (lihat Lombard, 1996:113).
Alun-alun yang letaknya paling luar di dalam
rangkaian pelataran keraton, merupakan halaman depan
dan belakang kediaman seorang raja Jawa; ia
memperlihatkan kekuatan politik dan magi yang melekat
pada diri raja kepada rakyatnya. Kerajaan sebagai jagad
hanya mungkin bisa menunjukkan dirinya pada peristiwa
yang terjadi di Alun-alun. Raja menggunakan Alun-alun
sebagai tempat untuk memperlihatkan kekuasannya
kepada pejabat keraton, penguasa-penguasa di daerah-
22

daerah yang berada di bawahnya, dan rakyatnya, yaitu


pada saat berlangsungnya upacara atau pertunjukkan di
Alun-alun.
Sebagai pusat kekuasaan, keraton
mengkonsentrasikan kegiatan seremonialnya di Kedaton,
Sitihinggil Lor dan Alun-alun Lor. Di ketiga tempat itu
diselenggarakan rangkaian upacara kerajaan sebagai
manifestasi kedaulatan raja. Sebagai hunian, keraton
memusatkan kegiatan domestiknya di Kedaton,
khususnya Sultan di bangsal Prabayeksa dan Sunan di
Dalem Prabasuyasa dan di Keputren. Tidak seperti
rangkaian pelataran di keraton yang berorientasi Utara-
Selatan, Kedaton menghadap ke Timur, arah matahari
terbit, sumber kekuatan energi. Orientasi ini diperkuat
dengan adanya Pendapa, bangsal Kencana Sultan dan
Sasana Sewaka Sunan, yang berupa bangunan terbuka,
di sebelah Timurnya. Bangsal Prabayeksa di Yogyakarta
dan Dalem Prabasuyasa di Surakarta sendiri menghadap
ke Selatan, seperti lazimnya rumah-rumah Jawa lainnya.
Pendapa tersebut adalah penanda orientasi Kedaton; ia
adalah balai persidangan utama keraton, tempat duduk
Raja di atas dhampar, di hadapan para punggawanya yang
merupakan perwujudan simbolis pemerintahan dan
penataan wilayahnya. Dia menyelenggarakan persidangan
ini secara rutin untuk menjaga kedudukannya di puncak
tatanan.
Rangkaian pelataran dan gugusan bangunan yang
membentuk keraton diatur sesuai dengan dua poros, yaitu
pertama, poros Utara-Selatan, yang menentukan ruang-
ruang umum, resmi dan tempat upacara; dan kedua,
23

poros Timur-Barat, yang nampak pada kompleks Kedaton,


yang menentukan ruang-ruang pribadi, akrab dan
keramat. Poros pertamalah yang paling nyata karena
menghubungkan Alun-alun Lor dengan Alun-alun Kidul
melalui tujuh pelataran berturut-turut yang saling
berhubungan lewat pintu gerbang atau Kori. Poros kedua
tercipta karena kedudukan bangsal Prabayeksa di
Yogyakarta dan Dalem Prabasuyasa di Surakarta yang
menyandang beban ganda, di satu sisi sebagai Omah
(Mburi) yang lebih bersifat privat dan tertutup, namun di
sisi lain, ia sebagai Omah (Ngarep) harus bersifat publik
dan terbuka. Sebagai Omah Ngarep, di sisi Timurnya
ditambahkan Pendapa yang bersifat terbuka. Ditambah
lagi dengan pelataran di depan (di sisi Timur) Pendapa
semakin memperkuat posisi hadap bangsal Prabayeksa
dan Dalem Prabasuyasa ke arah Timur.
Mengapa penempatan Pendapa di sebelah Timur
bangsal Prabayeksa di Yogyakarta dan Dalem
Prabasuyasa di Surakarta ? Pertimbangan pertama adalah
arah Timur merupakan arah munculnya kekuatan energi
yang dilekatkan pada simbol matahari terbit. Dan alasan
kedua adalah pertimbangan filosofis, yaitu tidak
mengganggu poros sejati Utara-Selatan yang merupakan
sumbu imajiner : Gunung Merapi – Keraton – Laut Kidul.
Penempatan Pendapa beserta pelatarannya, sebagai
bagian dari Omah Ngarep, di sisi Selatan dalem
Prabayeksa dan Dalem Prabasuyasa misalnya, akan
memaksa area Keputren yang cukup luas, yang
penghuninya merupakan tulang pugung urusan-urusan
Omah Mburi menjadi berada di sisi Utara, sehingga bisa
24

mengganggu poros sejati Utara-Selatan. Begitu pula


sebaliknya, bila Pendapa beserta pelatarannya
ditempatkan di sisi Utara.
Poros Utara-Selatan merupakan sumbu spiritual
atau sumbu kelanggengan dinasti Mataram, poros yang
merupakan proses kehidupan manusia menuju
keabadian. Hal ini dipersonifikasikan oleh persetubuhan
dua mahkluk halus berlain jenis, yaitu Kyai Sapujagad,
penguasa Gunung Merapi dan Ratu Kidul, penguasa Laut
Selatan, yang buah dari perkawinan itu adalah benih raja-
raja Mataram. Sebagian masyarakat Jawa di daerah
pedalaman Selatan Jawa Tengah, mempercayai
kekeramatan Gunung Merapi, sebagai keraton mahkluk
halus yang mempunyai hubungan dengan keraton
Mataram (Surakarta dan Yogyakarta). Mereka juga
mempercayai kekeramatan Laut Selatan, sebagai keraton
mahkluk halus yang juga memiliki hubungan dengan
keraton Mataram. Hubungan kekeluargaan antara ketiga
keraton tersebut dikarenakan adanya hubungan
perkawinan. Namun, dilihat dari perilaku dan sikap
masyarakat Jawa tradisional dalam kaitannya dengan
rumah tinggalnya, ternyata mereka lebih takut kepada
Ratu Kidul, mahkluk halus penguasa Laut Selatan,
ketimbang mahkluk halus penjaga Gunung Merapi. Hal ini
ditunjukkan dengan arah hadap rumah-rumah mereka,
terutama yang berdiam di pesisir pantai Laut Selatan,
yaitu ke arah Selatan. Mereka takut akan teror-teror alam
yang digerakkan oleh Dewi Laut Selatan itu. Ketakutan ini
juga dialami oleh raja Jawa, oleh karenanya, meskipun
orientasi rumah tinggalnya ke arah Timur, namun Omah
25

Mburi, ranah perempuan yang sakral, tetap menghadap ke


arah Selatan sebagaimana rumah-rumah penduduk Jawa
kebanyakan, dengan bilik-biliknya di bagian dalam rumah
sebagai tempat menyimpan pusaka.
Kemenduaan bangsal Prabayeksa di Yogyakarta
dan Dalem Prabasuyasa di Surakarta dalam
kedudukannya sebagai tempat kediaman seorang raja,
yaitu satu bagian mempresentasikan Omah Ngarep,
bagian Omah yang didominasi laki-laki, dan bagian yang
lain mempresentasikan Omah Mburi, bagian Omah yang
didominasi perempuan, memperlihatkan adanya dualistis
ruang domestik : ruang laki-laki dan ruang perempuan.
Ruang gender domestik ini rupanya dibatasi oleh elemen-
elemen fisik yang tegas dan jelas, berupa dinding kayu
dan tembok dengan pintu masuk di sana-sini,
memisahkan ruang-ruang perempuan yang tertutup
dengan ruang-ruang laki-laki yang lebih terbuka.
Ketegasan pemisah ruang itu sengaja diciptakan untuk
menghindari kejahatan atau gangguan dari kaum laki-laki
hidung belang. Bisa jadi peristiwa perselingkuhan seorang
putri raja Pajang, Sultan Hadiwijaya, dengan seorang laki-
laki hidung belang di dalam Keputren beberapa abad yang
lalu masih tersimpan apik di dalam ingatan raja-raja
Mataram. Bahkan Zimmermann menanggapi keberadaan
Keputren di dalam kompleks keraton Kasunanan
Surakarta, seperti dikutip Soeratman, bahwa Keputren itu
merupakan ‘negara dalam negara’. Pendapat ini
berdasarkan alasan, bahwa di dalam Keputren itu terdapat
seorang patih perempuan yang bergelar R. Ayu Adipati
dengan nama Sedhamirah (Soeratman, 1989:143). Artinya
26

siapapun yang akan masuk ke dalam Keputren harus


sepengetahuan atau mendapat izin dari R. Ayu Adipati
Sedhamirah sebagai penguasa Keputren.

Gambar 2.1. Denah keraton Surakarta (kiri) dan Yogyakarta (kanan)


(Heins, 2004:89 dan https://zuliadi.wordpress.com, akses 29 Juni 2017)
27

2.3 Makna Ragam Bentuk Bangunan


Bentuk bangunan dapat dilihat dari bentuk atapnya.
Sebagian besar bangunan-bangunan yang terdapat di
dalam kompleks keraton Yogyakarta dan Surakarta
menggunakan atap berbentuk joglo, limasan, kampung
dan tajug, dengan berbagai variasiya. Sebenarnya, bentuk
bangunan tradisional Jawa mengenal pula bentuk
panggang pe, namun bangunan yang menggunakan atap
tipe ini tidak dijumpai di dalam kompleks keraton
Yogyakarta. Dan di dalam naskah-naskah Jawa juga tidak
disebut. Padahal, dalam relief-relief percandian baik Jawa
Tengah maupun Jawa Timur dapat ditemukan bangunan
dengan atap berbentuk panggang pe. Di dalam kompleks
keraton Surakarta terdapat sebuah bangunan yang
berbentuk panggang pe, yakni bangunan Jonggring Saloko.
Menurut Kawruh Kambeng yang ditulis oleh M. Ng.
Soetasoekarja (tahun Be 1864) seperti dirujuk Prijotomo
dalam Petungan : Sistem Ukuran dalam Arsitektur Jawa,
bahwa yang menjadi akar dasar bentuk bangunan Jawa
adalah bentuk tajug. Bermula dari tipe tajug itulah lalu
dilakukan pemencaran tipe sehingga menjadi dua, tiga
dan bahkan lebih dari tiga tipe. Pemencaran yang pertama
menghasilkan tipe yang dinamakan joglo. Nama yang
benar bagi joglo itu seharusnya jugloro (juloro) yang berasal
dari kata tajug-loro (dua tajug). Jug loro adalah nama yang
sebenarnya diberikan karena tipe ini mengambil dasar
ukurannya dari dua buah tajug yang digabungkan
menjadi satu, berganti rupa dengan menghilangkan
mustaka dan diganti dengan kerangka kayu yang bernama
molo (Prijotomo, 1995:11).
28

Bentuk joglo merupakan bentuk bangunan


tradisional Jawa yang paling sempurna, bergengsi dan
mahal. Oleh karena itu bangunan joglo hanya dimiliki oleh
orang-orang tertentu, yaitu kalangan orang-orang kaya
dan kaum bangsawan. Dikatakan paling sempurna,
bangunan joglo memiliki elemen-elemen pembentuknya
paling lengkap diantara bentuk-bentuk bangunan
tradisional Jawa lainnya, yaitu memiliki : (a) molo atau
suwunan (wuwungan), dalam konstruksi modern dapat
disamakan dengan nook; (b) ander, dalam konstruksi
modern dapat disamakan dengan makelar; (c) dada peksi,
sepotong balok sebagai tumpuan ander; (d) batang-batang
usuk, dudur dan kecer; (e) susunan balok tumpang sari,
jumlahnya selalu ganjil; (f) Balok blandar dan pengeret.
Semua elemen tersebut membentuk sebuah brunjung,
bagian atap yang kelihatan menjulang tinggidi. Brunjung
ini secara konstruksional didukung secara penuh oleh
empat buah tiyang utama bangunan, yaitu sakaguru.
Bangunan joglo dikatakan bergengsi karena hanya dimiliki
oleh orang-orang tertentu. Dahulu, bangunan joglo dimiliki
oleh kaum bangsawan, dibangun di lingkungan ibu kota
keraton dan kota-kota kabupaten di Jawa. Kemudian
golongan orang-orang kaya di kota-kota Jawa (contoh:
kaum sodagar di Kudus dan kaum kalang di Kotagede)
oleh karena usaha dagangnya yang maju pesat, untuk
menaikkan gengsi, mereka membangun rumahnya
berbentuk joglo. Orang yang membangun rumahnya
berbentuk joglo hampir dapat dipastikan bahwa dia
memiliki banyak uang, sebab harga yang harus dibayar
untuk bangunan joglo sangat mahal. Di samping jumlah
29

elemen konstruksi bangunan yang lebih banyak, hampir


di seluruh bagian dari elemen-elemen tersebut penuh
dengan hiasan ukiran yang sangat rumit. Dibutuhkan
dana besar untuk perawatan bagian-bagian bangunan,
terutama yang dipenuhi ragam hias ukiran. Hal ini
pulalah yang menyebabkan banyak rumah adat berbentuk
joglo di kota Kudus dijual ke pihak lain. Dan di dalam
kompleks keraton Yogyakarta dan terlebih lagi Surakarta,
tidak sedikit bangunan yang karena keterbatasan dana,
tidak dilakukan perawatan secara baik dan rutin sehingga
kelihatan usang.
Ruang tiga dimensional, di antara empat sakaguru
dan di bawah pamidhangan pada bangunan joglo
dinamakan rong-rongan, yang merupakan ruang mistis.
Rong-rongan adalah tempat dimana orang Jawa
melakukan ritual seperti membakar kemenyan dan
meletakkan sesaji setiap 35 hari sekali (selapan) selama
rumah itu dihuni, meletakkan tempat duduk sepasang
pengantin, bahkan meletakkan jenasah penghuni rumah
yang meninggal dunia sebelum ia dikuburkan. Ruang
dalam Brunjung yang tepat terletak di atas rong-rongan
diyakini orang Jawa sebagai tempat bersemayamnya roh
nenek moyang yang menjaga keselamatan dan
kesejahteraan rumah beserta penghuninya. Peralihan
antara rong-rongan sebagai ruang manusia dengan ruang
brunjung sebagai ruang roh nenek moyang, secara
konstruktif dipisahkan oleh balok-balok horizontal
blandar-pangeret, dan secara mistis dipisahkan oleh kain
cindhe. Kain chinde berupa kain batik bercorak khusus
dengan delapan warna, berwarna dasar merah
30

ditempatkan tepat di bawah blandar, dan berlobang di


tengahnya karena untuk tembusan purus pathok saka
guru (lihat pula Wijaya, tt: IV14-15).
Bangsal Kencana keraton Yogyakarta yang
merupakan bangunan besar dan paling indah di antara
bangunan-bangunan yang terletak di halaman Kedaton,
berbentuk joglo mangkurat. Di sinilah, dahulu secara rutin
dua kali dalam seminggu diadakan persidangan. Pada saat
itu tatanan social yang didasarkan pada hubungan
asimetris dikukuhkan dengan para kerabat dekat dan
pejabat istana menghaturkan sembah, memohon berkah
dan maaf pada Baginda (lihat Santosa, 2000:95,cat.kaki).

Gambar 2.2. Tampak Timur Bangsal Kencana (Dokumentasi Penulis)

Apabila bertahta, Baginda selalu duduk di


singgasana di dalam bangsal bagian Barat dan menghadap
ke Timur. Bangsal Kencana bisa menggambarkan
Manunggaling Kawula Gusti, dalam arti bersatunya raja
31

dengan kawulanya, maupun dalam arti bersatunya raja


dengan Tuhannya. Jasad Sultan Hamengkubuwono IX,
sebelum dimakamkan di perkuburan Imogiri, terlebih
dahulu disemayamkan di bangsal Kencana untuk
memberikan kesempatan kepada masyarakat yang akan
berkumpul dengan Rajanya.
Jumlah terbesar bangunan di dalam kompleks
keraton Yogyakarta dan Surakarta adalah bangunan
berbentuk limasan dengan berbagai variasinya. Sepintas,
bentuk bangunan limasan mirip dengan bangunan joglo,
hanya wuwungan (molo) bangunan limasan lebih panjang
daripada joglo, tapi secara keseluruhan atap limasan lebih
rendah dari pada joglo. Rumah limasan memiliki denah
segi empat panjang, dengan dua atap kejen atau cocor
(atap segi tiga sama kaki) pada sisi lebarnya dan dua atap
berbentuk trapezium pada sisi panjangnya. Pada
bangunan bentuk limasan, juga terdapat tumpang sari,
susunan balok kayu di atas blandar dan pangeret yang
disusun saling menumpang membentuk piramida terbalik
di sisi luar saka guru, dan membentuk piramida ke arah
sisi dalam saka guru. Susunan ini sering disebut uleng.
Semakin kaya seseorang, akan semakin banyak jumlah
balok kayu tumpang sarinya, dan biasanya jumlahnya
ganjil antara 3 – 11 susun.
Kata ‘limasan’ belum diketahui artinya, apakah
dalam bahasa Indonesia berarti bentuk geometri limas ?
atau memiliki arti lain dalam bahasa Jawa ? Menurut
Kawruh Kambeng karangan M.Ng. Soetasoekarja, seperti
dirujuk Prijotomo, bangunan limasan berasal dari bentuk
dasar bangunan tajug. Dua buah bangunan tajug yang
32

disatukan menjadi bangunan joglo, selanjutnya bangunan


joglo tersebut dapat dipencarkan atau ditangkarkan lagi
tipenya, misalnya dengan cara menggandakan panjang
blandar atau penggandaan panjangnya pangeret, yakni
dari empat bangunan berbentuk joglo dijadikan satu
bangun saja. Bangun yang selesai digubah itu dinamakan
limasan. Nama limasan itu sebenarnya adalah liman sap,
artinya gajah (kerangka bangunan dibagian tengah
bangunan joglo) rangkap atau gajah sap (Prijotomo,
1995:11-13). Menurut Dakung, seperti dirujuk
Sudiamhadi, kata limasan diambil dari kata ‘limo-lasan’
(lima belasan), yakni perhitungan sederhana penggunaan
ukuran-ukuran molo 3 meter dan blandar 5 meter, dan
apabila molo 10 meter maka blandar harus memakai
ukuran 15 meter (Sudiamhadi, 1992:6).
Bangunan bentuk kampung tidak banyak terdapat
di dalam kompleks keraton Jawa, di Yogyakarta, saya
hanya melihat tratag sitihinggil dan bangsal tepas rantam
arta. Di keraton Surakarta, bangunan paningrat yang
terdapat di ketiga sisi Pendapa Sasana Sewaka juga
beratap kampung.
Kata ‘kampung’ dalam bahasa Jawa bisa berarti
desa. Pemberian nama kampung untuk sebuah bentuk
rumah bisa jadi karena pada umumnya rumah orang
Jawa di pedesaan berbentuk kampung. Mereka
menggunakan bentuk ini, selain bahannya irit, juga luwes
dalam perkembangannya maupun penggunaan bagi suatu
keluarga. Masyarakat Jawa, dahulu beranggapan bahwa
rumah bentuk kampung adalah rumah yang dimiliki
orang-orang yang tidak mampu, sementara rumah bentuk
33

limasan dan joglo adalah milik orang-orang yang mampu


dan kalangan bangsawan.
Menurut Kawruh Kambeng tulisan M.Ng.
Soetasoekarja, seperti dirujuk Prijotomo, kata yang
sebenarnya dari kampung adalah ‘kapung’, dimana
pembuatannya dilakukan dengan mencari jalan yang
termudah yakni mempertemukan dua empyak (empyak
katepung), tanpa mendapatkan banyak tambahan bangun
atau perabot (Prijotomo, 1995:13).
Atap berbentuk kampung atau sering juga
dinamakan atap pelana, merupakan atap yang terdiri dari
dua buah empyak miring yang bertemu pada puncak atap
yang berupa satu balok mendatar, yaitu balok bubungan
yang oleh orang Jawa disebut molo atau wuwungan. Molo
ini ditopang oleh dua atau lebih tiyang tegak di atas
blandar dan pangeret yang disebut ander. Pada atap
bagian samping kanan dan kiri, pada bagian pendeknya,
terdapat penutup bidang atap berbentuk segitiga sama
kaki yang posisinya vertical yang disebut tutup keong atau
gunungan. Perbedaan dengan atap limasan, pada bagian
ini terdapat bidang atap berbentuk segitiga sama kaki
yang posisinya miring, tidak vertical, yang disebut kejen
atau cocor. Konstruksi atap kampung tidak memiliki
dudur, sementara atap joglo dan limasan memilikinya.
Bangunan bentuk kampung tidak memiliki tumpang sari,
sehingga sederhana sekali.
Rumah bentuk tajug pada umumnya dijumpai
pada bangunan-bangunan sakral, seperti bangunan
masjid-masjid tradisional dan cungkup makam orang-
orang suci atau sering dikenal dengan wali di daerah
34

pesisir Utara Jawa. Rumah bentuk tajug memiliki denah


bujur sangkar, 4 buah tiyang dan memiliki 4 bidang atap
yang bertemu di satu titik, di puncak. Dan di atas puncak
inilah biasanya ditambahkan mustaka. Yang menarik
adalah bangsal Witana dan bangsal Pancaniti dalam
lingkungan keraton Yogyakarta menggunakan atap
berbentuk tajug, mengingat kedua bangunan itu bukanlah
tempat peribadatan, seperti masjid misalnya.

Gambar 2.3. Bangsal Pancaniti, beratap bentuk tajug


(Dokumentasi Penulis)

Bangsal Witana adalah tempat menyimpan benda-


benda pusaka pada upacara-upacara kebesaran keraton,
seperti saat Sultan bertahta pada suatu upacara Garebeg
Mulud tahun Dal, di bangsal Manguntur tangkil yang
letaknya tepat di depannya (sebelah Utara). Kata ‘witana’
bisa diartikan sebagai tempat duduk di surga. Dalam
bahasa Jawa, kata ‘witana’ berarti ‘memulai’. Menurut
Serat Salokapatra, seperti dibahas oleh Astuti, makna
35

bangsal Witana menggambarkan raja dalam memulai


segala sesuatu dengan pikiran jernih, supaya dapat
mencapai keselamatan raja dan rakyatnya (Astuti,
1995:258). Menurut Khairuddin, bangsal Witana
mengandung arti untuk memulai semedi dan mengajak
manusia untuk menyembah Tuhan (Khairuddin, 1995:51).

Gambar 2.4. Bangsal Witana, beratap bentuk tajug


(Dokumentasi Penulis)

2.4 Makna Ragam Hias Bangunan


Pada umumnya bangunan-bangunan yang ada di
kompleks keraton Yogyakarta dan Surakarta, pada
bagian-bagian tertentu dari bangunan itu dihias dengan
bermacam-macam hiasan, baik dalam bentuk pahatan,
ukiran, sunggingan, maupun lukisan. Dan hiasan-hiasan
itu bisa berupa hiasan pengisi bidang, berupa sengkalan
memet, maupun hiasan-hiasan yang berdiri sendiri yang
memiliki arti simbolik berkaitan dengan bangunan-
bangunan tertentu di lingkungan keraton. Hiasan-hiasan
36

itu pada umumnya mengambil motif manusia / wayang,


geometri / ilmu ukur, flora, fauna, alam dan keagamaan,
dan kebanyakan terdapat pada bagian-bagian dari
bangunan seperti umpak, tiyang (saka), blandar, pangeret,
tumpang sari, dan pada bidang-bidang dari bangunan
seperti tutup keong atap bangunan, gapura, baturana dan
lain-lain. Ada pula yang keberadaannya terpisah dengan
bagian bangunan, seperti misalnya patung atau arca.
Di lingkungan dalam keraton Yogyakarta kita
temukan hiasan dengan motif manusia/wayang, yaitu
kemamang berupa kepala raksasa dengan mata melotot,
lidah menjulur keluar, bergigi besar, taringnya keluar, dan
berambut gimbal. Hiasan ini terdapat pada pintu masuk
bagian atas, seperti ambang gapura atau pintu gerbang.
Secara simbolis, hiasan ini berfungsi sebagai penolak bala
atau pencegah roh jahat yang akan masuk ke dalam
halaman atau bangunan; ia akan menelan segala sesuatu
yang bersifat jahat yang hendak masuk.

Gambar 2.5. Kemamang pada gerbang Danapratapa


keraton Kasultanan Yogyakarta (Dokumentasi Penulis)
37

Dalam perwujudannya, hiasan kemamang tidak


jauh berbeda dengan hiasan kepala kala yang terdapat
pada candi-candi di Jawa Timur. Agama Hindu
memperkenalkan motif kala yang biasanya digabungkan
dengan motif makara. Motif kala sering dianggap sebagai
gambaran muka banaspati, makhluk imajinatif yang jahat
dan kejam, berfungsi sebagai penolak bala, biasanya ia
ditempatkan pada ambang pintu atau relung candi. Dalam
seni Hindu pada percandian di Jawa Tengah, motif kedok
itu biasanya digambarkan tidak memakai rahang bawah.
Motif makara biasanya menghiasi bagian kedua samping
atau sisi pintu atau relung candi, berupa gambaran
binatang mitos yang bentuknya merupakan campuran
antara gajah dan ikan.
Hiasan motif geometri termasuk hasil kesenian
yang paling tua, sejak zaman sebelum Hindu (zaman
peradaban Animisme dan Dinamisme). Pada mulanya,
motif ini berupa unsur titik, garis sejajar, garis lengkung
(terkadang membentuk huruf ‘S’), garis potong dan
pertemuan garis. Motif yang disebutkan terakhir ini,
kemudian berkembang ke arah bentuk-bentuk dasar
seperti segitiga, segiempat, dan lingkaran. Motif garis-garis
lengkung yang terkadang membentuk huruf ‘S’ dikenal
dengan motif ikal atau pilin, atau ada yang menyebutnya
gelung. Apabila dilukiskan secara berulang-ulang disebut
pilin berganda atau ikal rangkap. Motif yang berbentuk
segitiga biasanya disebut motif tumpal atau pigura, sering
juga dinamakan untu walang (=gigi belalang). Ada juga
yang berpendapat motif segitiga ini merupakan gambaran
dari rebung (=tunas bambu). Seperti diketahui tunas
38

bambu memiliki daya tumbuh yang luar biasa cepatnya.


Oleh karena itu, motif tumpal dianggap sebagai lambang
kesuburan. Motif flora tlacapan dan patran atau banyu
tetes (air menetes) yang banyak dijumpai pada hasil
kesenian keraton Jawa adalah hasil perkembangan dari
motif segitiga. Bentuk hiasan tlacapan biasanya lebih
runcing (sudutnya lancip) dibandingkan bentuk patran.
Hiasan tlacapan dinamakan pula sorotan (sinaran), karena
ia dianggap menggambarkan sinar matahari yang
berkilauan.
Di lingkungan keraton dikenal hiasan praba, yang
bentuknya seperti tumpal. Bentuk hiasan praba
melengkung, tinggi dan tengahnya atau puncaknya lancip,
yang menggambarkan sinar atau cahaya.
Motif yang berbentuk segiempat dalam kesenian
keraton Jawa banyak dijumpai dalam bentuk saton,
berbentuk bujur sangkar dengan hiasan flora. Dengan
bentuk yang sedikit berbeda, kita jumpai pula bentuk
wajikan. Bentuk saton digambarkan secara geometris bisa
berbentuk bujur sangkar (keempat sudutnya siku-siku),
dan biasanya disusun secara miring (diputar 45 derajat),
sementara wajikan berbentuk belah ketupat dengan
keempat rusuknya sama panjang, dan keempat sudutnya
tidak siku-siku (dua sudut lancip dan dua sudut tumpul).
Bisa dikatakan bentuk geometri wajikan adalah gabungan
dari dua buah bentuk segitiga sama kaki dengan sudut
runcing yang disatukan alas (rusuk pendek) nya.
Hiasan tumpal, tlacapan, patran, saton dan wajikan
kebanyakan dijumpai pada bagian-bagian atau elemen-
elemen kerangka bangunan, seperti saka, blandar,
39

pangeret, dudur, sunduk, kili-kili, usuk, ander, santen dan


juga tumpang sari dan tebeng. Hiasan-hiasan ini banyak
ditemukan pada bangunan-bangunan di dalam kompleks
keraton, baik di Yogyakarta maupun di Surakarta.
Kreatifitas para seniman keraton, terutama dalam
memadukan unsur-unsur geometri garis lurus dan
lengkung telah menciptakan salah satu hiasan bangunan
di lingkungan keraton yang memiliki kedalaman nilai
religius, yaitu hiasan mirong. Ada yang menghubungkan
hiasan ini dengan tokoh legenda Ratu Kidul, ada pula yang
menganggap bahwa hiasan ini sebenarnya merupakan
rangkaian huruf Arab Alif-Lam-Ra’. Yang menarik adalah
bahwa hiasan ini hanya terdapat pada tiyang-tiyang
bangunan, yaitu saka guru, saka penanggap dan saka
penitih, kadang-kadang juga dipasang pada saka santen.

praba
tlacapan

mirong
mirong

praba
tlacapan

Gambar 2.6. Hiasan pada saka guru dan saka pengarak


bangsal Witana keraton Kasultanan Yogyakarta
(Dokumentasi Penulis)
40

Hiasan mirong, menurut legenda, merupakan


perwujudan Kanjeng Ratu Kidul (Ratu penguasa Laut
Selatan) yang datang di keraton khusus untuk
menyaksikan pertunjukan tari bedaya. Dia tidak
menampakkan diri tetapi bersembunyi di belakang tiyang.
Terlepas adanya cerita yang menghubungkan hiasan
mirong dengan Kanjeng Ratu Kidul, yang jelas tiyang-
tiyang yang diberi hiasan mirong nampak langsing.
Hiasan motif flora adalah hiasan yang unsur-
unsurnya diambilkan dari tanaman, terutama bagian
batang, daun, bunga, buah dan pucuk-pucuk pohonnya.
Flora yang tersebar pada bangunan rumah tradisional
Jawa pada umumnya bermakna suci, indah, ukirannya
halus dan simetris, dan mengandung daya estetika. Motif
flora ini banyak menghiasi bidang-bidang geometri seperti
segitiga, segiempat, belahketupat, sehingga menghasilkan
hiasan-hiasan dengan nama tlacapan, patran, saton,
wajikan dan praba, yang banyak dijumpai pada elemen-
elemen bangunan tradisional Jawa di lingkungan keraton
Yogyakarta dan Surakarta. Di samping hiasan-hiasan
dengan motif flora di atas, masih ada bentuk hiasan lung-
lungan dan bunga padma. Lung-lungan berasal dari kata
‘lung’ yang berarti batang tumbuhan menjalar yang masih
muda, yang bentuknya melengkung. Ragam hias lung-
lungan cukup banyak mengisi bagian-bagian bangunan
rumah, seperti : saka, blandar, pangeret, sunduk, kili-kili,
dudur, usuk, dadapeksi, ander, molo, tumpang sari, takir,
kerbil, gimbal, bidang pamidhangan, tebeng, patang aring,
dan lain-lain. Bagian pamidhangan rumah joglo yang ada
di kompleks keraton Yogyakarta dan Surakarta sering
41

penuh dengan hiasan lung-lungan. Hiasan ini biasanya


memberikan kesan keindahan dan sakral, bahkan kadang
kala nampak angker atau wingit (lihat pula Ismunandar,
1990:62).
Hiasan motif bunga padma pada umumnya
terdapat pada umpak tiyang bangunan, saka guru, saka
penanggap, saka penitih, dan biasanya umpaknya terbagi
dua bagian, umpak bagian atas, agak mengecil ke atas,
dihiasi motif yang menggambarkan daun dan bunga yang
membuka ke atas, sementara umpak bagian bawah, agak
membesar ke bawah, adalah kebalikannya, daun dan
bunganya membuka ke bawah. Bentuk hiasan motif
bunga padma, ada yang dibuat secara natural, ada pula
yang distilir. Bentuk bunga padma mengingatkan kita
pada tempat duduk atau singgasana Sang Budha
Gautama. Dan juga stupa-stupa di candi Borobudur,
tumpuan atau landasannya berbentuk bunga padma.
Hiasan motif bunga padma, menurut konsep Hindu
melambangkan kesucian atau keabadian.

padma

Gambar 2.7. Hiasan padma pada saka bangsal Manis


keraton Kasultanan Yogyakarta (Dokumentasi Penulis)
42

2.5 Kesimpulan
Secara garis besar kompleks keraton Jawa memiliki dua
poros, yakni pertama, poros Utara-Selatan, yang
menentukan ruang-ruang umum, resmi dan tempat
upacara; dan kedua, poros Timur-Barat, yang nampak
pada gugusan bangunan di Kedaton, yang menentukan
ruang-ruang pribadi, akrab dan keramat.
Pada umumnya bangunan-bangunan yang
terdapat di kompleks keraton Jawa menggambarkan
bentuk rumah tradisional Jawa dan sebagian
menggunakan konstruksi kayu, yaitu berbentuk limasan,
joglo, kampung dan tajug atau masjid. Satu bentuk lagi
yang menurut tradisi Jawa dimasukkan ke dalam salah
satu tipe bangunan tradisional Jawa, yakni panggang pe
tidak dijumpai pada bangunan-bangunan keraton
Yogyakarta. Di kompleks keraton Kasunanan Surakarta,
dapat ditemui satu bangunan yang berbentuk panggang
pe. Pada dasarnya tipe-tipe bentuk bangunan tradisional
Jawa berasal dari satu bentuk saja, yaitu tipe tajug, satu
bentuk yang melambangkan kesakralan. Dari tipe ini
kemudian terjadi pemekaran yang didasarkan atas
pertambahnya luasan ruangan, menjadi bentuk joglo dan
kemudian limasan.
Pada bangunan-bangunan di kompleks keraton
Jawa banyak dijumpai hiasan-hiasan yang memiliki
makna-makna tertentu. Hiasan yang banyak ditemui pada
elemen-elemen kerangka atau pada bagian-bangian
bangunan yaitu yang berupa motif manusia/wayang :
kemamang dan arca penjaga pintu gerbang; motif
geometri: tlacapan, sorotan, saton, wajikan dan praba;
43

motif Flora : lung-lungan dan bunga padma; motif fauna :


peksi garuda dan ular atau naga; motif keagamaan: mirong
dan mustaka. Hiasan-hiasan ini merupakan
perkembangan dari motif-motif hiasan yang berasal dari
periode Hindu/Budha. Hiasan kemamang yang berbentuk
kepala raksasa merupakan perkembangan dari hiasan
kepala kala yang terdapat di atas pintu candi, demikian
halnya dengan fungsinya yakni sebagai penolak bala atau
kejahatan. Motif bunga padma yang pada umumnya
terdapat pada umpak saka bangunan tradisional Jawa,
merupakan perkembangan hiasan bunga padma yang
terdapat pada candi sebagai lapik stupa dan Sang
Sidharta Gautama, melambangkan kehidupan dan
keabadian.

Referensi
Ashadi
2003 ‘Alun-Alun : Menelusuri Konsep Ruang Terbuka
Kota dalam Tata Ruang Kota Kuno di Jawa’,
Laporan Akhir Penelitian, LPP Universitas
Muhammadiyah Jakarta.
2004 ‘Keraton : Rumah Tinggal Raja Jawa’, Laporan
Akhir Penelitian, Program Semi Que V, Program
Studi Teknik Arsitektur Universitas
Muhammadiyah Jakarta.

Astuti, Renggo (Ed.)


1995 Makna Simbolik Tumbuh-Tumbuhan dan Bangunan
Kraton Suatu Kajian Terhadap Serat Selokapatra,
Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-
Nilai Budaya Pusat, Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, Ditjen Kebudayaan, Dep. Pendidikan
dan Kebudayaan.
44

Depdikbud
1980 Struktur Bangunan Kraton Yogyakarta, Proyek
Sasana Budaya Ditjen Kebudayaan.

Hamzuri
‘Rumah Tradisional Jawa’, Laporan Penelitian,
Proyek Pengembangan Permuseuman DKI Jakarta,
Depdikbud.

Heins, Marleen
2004 Karaton Surakarta, Jakarta: Yayasan Pawiyatan
Kebudayaan Karaton Surakarta.

Hendro, Eko Punto


2001 Kraton Yogyakarta Dalam Balutan Hindu,
Semarang: Bendera.

Ismunandar
1990 Joglo, Arsitektur Rumah Tradisional Jawa,
Semarang: Dahara Prize.

Khairuddin H.
1995 Filsafati Kota Yogyakarta, Yogyakarta: Liberty.

Lombard, Denys
1996 Nusa Jawa : Silang Budaya Kajian Sejarah
Terpadu, Bag.III : Warisan Kerajaan-Kerajaan
Konsentris, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

P.T. Pembangunan Perumahan


Pelaksanaan Pembangunan Kembali Keraton
Surakarta.
45

Prijotomo, Josef dan Murni Rachmawati


1995 Petungan, Sistem Ukuran dalam Arsitektur Jawa,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Reksodihardjo, Soegeng
1982 ‘Arsitektur Tradisional Jawa Tengah’, Laporan
Penelitian, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Jawa Tengah.

Santosa, Revianto Budi


2000 Omah, Membaca Makna Rumah Jawa, Yogyakarta:
Bentang.

Setiadi, Bram, dkk.


2000 Raja di Dalam Republik, Keraton Kasunanan
Surakarta dan Pakubuwono XII, Jakarta: Bina Rena
Pariwara.

Soeratman, Darsiti
1989 ‘Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939’,
Laporan Disertasi, UGM.

Soewito
Rekayasa Perancangan Pembangunan Kembali
Keraton Surakarta.

Soediamhadi
1990 ‘Studi Pelaksanaan Konsep Perhitungan Panjang
Blandar dan Pangeret Pada Ruang Pendapa di
Surakarta’, Laporan Penelitian Mandiri, Jurusan
Arsitektur, Universitas Sebelas Maret.

Tashadi (Ed)
1980 Seri Peninggalan Sejarah, Yogyakarta: Balai
Penelitian Sejarah dan Budaya Yogyakarta, Pusat
46

Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan.

Wijaya, Ari
‘Perubahan Makna, Fungsi dan Bentuk Rumah
Tradisional Jawa’, Tesis, Program Pasca Sarjana
Antropologi, Universitas Indonesia.

Internet
https://zuliadi.wordpress.com/2009/03/06/denah-
kraton-yogyakarta, akses 29 Juni 2017.
BAGIAN 3

ARAH HADAP RUMAH JAWA DAN


LEGITIMASI KEKUASAAN RAJA

3.1 Pendahuluan
Poros Utara-Selatan merupakan sumbu spiritual atau
sumbu kelanggengan dinasti Mataram. Hal ini
dipersonifikasikan oleh dua kekuatan yang bersemayam di
kedua tempat, yaitu tokoh mahkluk halus, Kyai Sapu
Jagad, penjaga Gunung Merapi yang terletak di sebelah
Utara keraton, dan Ratu Kidul, penguasa Lautan Hindia
yang terletak di sebelah Selatan. Keduanya ditakuti oleh
kalangan keluarga kerajaan dan keluarga-keluarga Jawa
yang berdiam di sekitar wilayah itu. Untuk menghindari
bencana yang berupa teror-teror alam, yang disebabkan
oleh kemarahan kedua tokoh fiktif itu, maka pada waktu-
waktu tertentu, keluarga kerajaan memberikan sesaji
kepada keduanya. Sementara ketakutan terhadap Ratu
Kidul, salah satunya direpresentasikan dengan
penempatan atau penataan ruang rumah tinggal keluarga-
keluarga Jawa yang pada umumnya menghadapkan
rumahnya ke arah Selatan. Dalem Ageng Prabasuyasa,

47
48

kediaman raja Pakubuwono, bagian belakangnya, sebagai


Omah Mburi, juga berorientasi ke Selatan.
Dalem Prabasuyasa, kediaman resmi raja
Surakarta, dan dalem-dalem Pangeran di dalam Baluwarti
keraton Kasunanan Surakarta, yang sejatinya merupakan
tipologi ideal rumah tinggal Jawa, pada kenyataannya
menghadap ke arah Selatan. Dan kebanyakan rumah
tinggal masyarakat Jawa, terutama Jawa Tengah dan
Jawa Timur pedalaman, juga berorientasi ke arah Selatan.
Di wilayah kota Kudus, pesisir Utara Jawa Tengah, di
sekitar masjid tua Menara dan makam keramat Sunan
Kudus, rumah-rumah adatnya hampir seluruhnya
menghadap ke arah Selatan. Di dukuh Slembi, Boyolali,
Jawa Tengah, sebagian besar rumah penduduk juga
menghadap ke arah Selatan. Rupanya arah Selatan
menjadi hal penting dalam penataan ruang rumah tinggal
Jawa. Kita perlu menelusuri konsep kehidupan
masyarakat Jawa tradisional yang memiliki tingkatan-
tingkatan sosial tertentu, untuk mengetahui dibalik segala
tindakan mereka, khususnya dalam hal membangun
rumah tinggalnya.
Keraton atau istana sebagai tempat tinggal raja
pada dasarnya bentuk bangunan dan fungsi ruang-
ruangnya tidak jauh berbeda dengan bangunan tempat
tinggal atau rumah penduduk dalam masyarakat Jawa
pada umumnya. Yang membedakannya adalah bentuk
bangunan dan fungsi ruang-ruang pada keraton lebih
beragam dan kompleks. Bangunan arsitektur keraton
Jawa sebagai salah satu unsur dalam kultur sangat
ditentukan oleh manusia, tradisi dan filosofi Jawa;
49

ketiganya menentukan fungsi dari bentuk, ruang, dan


estetika bangunan keraton. Seperti halnya rumah
tradisional Jawa, keraton merupakan ungkapan dari
hakekat penghayatan penghuninya terhadap kehidupan,
representasi kosmologi atau keyakinan mengenai alam
semesta, dan suatu lingkungan mikrokosmos yang
dibangun dengan pertimbangan yang sarat makna.
Menurut Santosa, dalam rutinitas tindakan itulah
makna terbentuk dan ditransfer antar-individu. Dengan
menjalankan perilaku keseharian itu, penghuni akan
mengekspresikan pemahamannya terhadap rumah melalui
penyusunan obyek atau penempatan tubuh dalam ruang
(Santosa, 2000:5). Tujuan dari kajian ini adalah
menelusuri makna arah hadap rumah tinggal Jawa dan
kaitannya dengan kekuasaan raja Jawa. Dalam upaya
menelusuri makna aspek-aspek arsitektural, terutama
yang berkaitan dengan arah hadap rumah tinggal Jawa,
akan dilakukan ‘pemotretan’ fungsi dari bagian-bagian
atau ruang-ruang dalam rumah tinggal yang terlibat
dalam tindakan-tindakan terpola dan terbiasakan sehari-
hari para penghuni.

3.2 Stratifikasi Masyarakat Jawa


Hingga tahun 1930-an, orang Jawa secara tradisional
dibagi dalam tiga kelompok sosial, yaitu : pertama, para
keluarga raja; kedua, para abdi-dalem (pegawai kerajaan,
termasuk para bupati di tanah Jawa dan keluarganya);
dan ketiga, rakyat biasa. Keluarga raja yang menduduki
tingkat pertama sering disebut kelompok ningrat.
Kelompok kedua adalah para abdi-dalem, yaitu para
50

pegawai dan pejabat kerajaan, dari pangkat yang paling


tinggi, Bupati (untuk wilayah Mancanagara dan Pasisir),
sampai pangkat yang paling rendah (Demang atau Lurah).
Kelompok abdi-dalem ini sering disebut juga kelompok
priyayi. Menurut van Niel, golongan Priyayi sebagai
kelompok sosial di sekitar tahun 1900-an adalah golongan
elit, yaitu siapa saja yang berdiri di atas rakyat jelata, yang
dalam beberapa hal memimpin, memberi pengaruh,
mengatur dan menuntun masyarakat. Administratur,
pegawai pemerintahan dan orang-orang yang
berpendidikan dan berkedudukan lebih baik, mereka
adalah Priyayi (lihat Kartodirdjo, 1987:4). Tingkat yang
paling rendah ditempati oleh kelompok rakyat biasa atau
disebut dengan wong cilik (tiyang alit) yang jumlahnya
paling banyak dibandingkan dengan kelompok pertama
dan kedua. Orang biasa atau wong cilik bisa menaikkan
derajatnya menjadi kelompok priyayi, yaitu dengan cara
suwita (ngenger) dan magang, mengabdikan diri kepada
seorang priyayi atau seorang pejabat pemerintah. Darsiti
Soeratman dalam Kehidupan Dunia Kraton Surakarta
1830-1939 (1989), secara gamblang mendeskripsikan
bagaimana seseorang dari kelompok rakyat jelata bisa
menaikkan derajatnya menjadi golongan priyayi.
Golongan priyayi, sebagai kelompok sosial memiliki
ciri-ciri tertentu, yang dengan jelas memperlihatkan
perbedaannya dengan kelompok sosial dari rakyat
kebanyakan (wong cilik), tidak hanya adat sopan santun
dan bahasa, tetapi juga berupa hal-hal yang berwujud
konkrit, seperti pakaian dan bentuk rumah tempat
kediamannya. Menurut tradisi Jawa, pada masa lalu,
51

seseorang tidak akan membangun rumah yang melebihi


atau setidak-tidaknya menyamai rumah pembesarnya
atau rumah orang-orang yang kedudukannya lebih tinggi
daripada dirinya.
Di wilayah pesisir Utara Jawa, rumah para bupati
merupakan tempat tinggal yang paling besar dan paling
megah di antara rumah-rumah para priyayi lainnya;
gayanya mirip dengan istana di Surakarta dan Yogyakarta.
Kompleks kabupaten di daerah pesisir Utara Jawa
biasanya terletak di sisi Selatan Alun-alun, sehingga
rumah bupati menghadap ke arah Utara, ke arah laut
Jawa. Sedangkan di daerah pedalaman, biasanya
kompleks kabupaten berada di sisi Utara Alun-alun,
sehingga rumah bupati menghadap ke arah Selatan, ke
arah Samudra Indonesia. Rumah tinggal para bupati yang
luas, besar, megah, dan konstruksi dan struktur
bangunannya mirip istana kerajaan Jawa mencerminkan
bahwa para penghuni rumah itu adalah kepanjangan
tangan raja Jawa yang berkedudukan di Surakarta dan
Yogyakarta. Lombard dalam karya besarnya Nusa Jawa :
Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu Bagian III
(1996:75), menyebut bahwa kabupaten adalah sebuah
keraton dalam skala yang lebih kecil.

3.3 Deskripsi Ruang Rumah Tinggal Raja Pakubuwono


Inti rumah tinggal raja yang terdapat di dalam Kedhaton,
pada prinsipnya terdiri atas kelopok bangunan-bangunan
: Sasana Sewaka, Prabasuyasa, dan Pakubuwanan.
Apabila kita mendasarkan pada urut-urutan letak ketiga
kelompok bangunan tersebut, maka dapat dikatakan
52

bahwa rumah tinggal raja berorientasi ke arah Timur.


Dengan adanya Maligi di bagian depan, di sebelah Timur
Pendapa Sasana Sewaka memperlihatkan bahwa Sasana
Sewaka berorientasi ke arah Timur. Ditambah lagi letak
Pringgitan Sasana Parasedya yang berada di sebelah
Utara pendapa, dan Dalem Ageng Prabasuyasa berada di
sebelah Utara Sasana Parasedya. Sementara
Pakubuwanan terletak tepat di depan Dalem Ageng
Prabasuyasa. Tetapi apabila kita hanya melihat tata ruang
khususnya Dalem Ageng Prabasuyasa, maka bangunan
Dalem Ageng berorientasi ke arah Selatan.

Gambar 3.1. Kompleks rumah tinggal (omah) Raja Surakarta


(Soewito, tt)

Pendapa Sasana Sewaka adalah tempat untuk


upacara-upacara resmi kerajaan, pada saat-saat tertentu
pendapa ini digunakan untuk lenggah sinewaka, duduk di
atas singgasana (dampar kencana) untuk bersemedi
mengheningkan cipta bersama-sama kerabat keraton yang
memohonkan kesejahteraan penghuni keraton dan
53

lingkungannya. Karena menurut kepercayaan Jawa bahwa


sumber kekuatan energi adalah matahari, arah wetan,
maka bangunan Pendapa Sasana Sewaka menghadap ke
arah Timur : ‘manungku sinewaka majeng mangetan,
mapak pletheking sang suryawisesa’. Bangunan pendapa
ini juga berfungsi untuk acara jumenengan (penobatan)
dan pawiwahan ketika raja menerima tamu atau pihak-
pihak dari luar.
Di belakang, di sebelah Barat Pendapa Sasana
Sewaka terdapat bangunan Paningrat Bedayan. Lebih ke
dalam lagi, sebelum masuk ke bangunan Dalem Ageng,
terdapat bangunan Sasana Parasedya. Baik Paningrat
Bedayan maupun Sasana Parasedya merupakan ruang
terbuka tempat Sri Susuhunan duduk di ruang Parasedya
untuk menyaksikan latihan tari bedhaya ketawang
ataupun pertunjukan wayang kulit. Ruang Parasedya juga
difungsikan sebagai tempat untuk menyemayamkan
jenasah Raja Pakubuwono XII yang meninggal pada bulan
Juni 2004, yang sehari sebelumnya disemayamkan di
masjid Pujasana.
Dalem Ageng Prabasuyasa merupakan bangunan
induk keraton yang merupakan ruang tertutup dikelilingi
dinding masif. Ruang ini disekat dengan dinding gebyok
rangka kayu, yang lebih lanjut membagi ruang menjadi :
kamar Gading, kamar pusaka, kamar Ageng dan kamar
Prabasana yang kegunaannya untuk menyimpan pusaka
dan atribut keraton. Di tengah-tengah ruang Dalem Ageng
terdapat Krobongan berbentuk bangunan limasan dengan
kerangka kayu, atap sirap, wuwungnya berhias ornamen,
sedangkan dindingnya berupa kaca bening berhias.
54

Gambar 3.2. Denah rumah tinggal (omah) Raja Surakarta


(PT. Pembangunan Perumahan, tt)
55

Gambar 3.3. Tampak Timur Pendapa Sasana Sewaka (Soewito, tt)

Gambar 3.4. Maligi pada Pendapa Sasana Sewaka


(Dokumentasi Penulis)

Ruang-ruang dalam Dalem Ageng memiliki privasi


tinggi dan bersifat sangat pribadi. Bangunan Dalem Ageng
dan ruang-ruangnya menghadap ke arah Selatan yang
secara rohaniah mempunyai hubungan spiritual dengan
kekuatan magis di laut Selatan. Meskipun Dalem Ageng
menghadap ke arah Selatan tetapi pada dinding bagian
Timur yang berhubungan dengan Sasana Parasedya
56

terdapat pintu besar dengan daun pintu enam buah : Kori


Renteng, dari kerangka kayu jati diisi bidang berukir.
Pakubuwanan merupakan komposisi blok-blok
bangunan yang membentuk ruang-ruang pelataran
terbuka di dalamnya (inner court). Pada bagian Timur
terdapat blok bangunan Sasana Prabu (ruang untuk
palereman dalem), Kantoran Dalem (ruang untuk kegiatan
kantor pribadi), Drawisana (ruang untuk persiapan
makan, ruang kerja dan ruang belajar) dan Janggring
Saloka. Khusus Janggring Saloka merupakan bangunan
bertingkat berbentuk panggang pe, lantai bawah untuk
hall sedangkan lantai atas untuk tirakat atau meditasi.
Pada bagian Selatan adalah blok bangunan memanjang
berbentuk limasan yang berfungsi sebagai kamar dahar.
Sementara di bagian Barat terdapat dua blok bangunan,
yaitu blok bangunan Sasana Dayinta yang digunakan
untuk ruang-ruang pribadi / tidur (palereman dalem), dan
blok bangunan Argopeni yang mempunyai kegunaan sama
sebagai tempat palereman dalem, merupakan bangunan
dua lantai.

3.4 Deskripsi Ruang Rumah Tinggal Dalem Pangeran


Rumah para bangsawan di dalam Baluwarti kompleks
keraton Surakarta Hadiningrat pada umumnya berbentuk
joglo lengkap dengan Pendapa, Pringgitan, dan Dalem; ia
dilengkapi dengan deretan bangunan di kanan dan kiri
bangunan utama. Tipe rumah ini pada umumnya memiliki
halaman yang luas, dikelilingi tembok yang cukup tinggi.
Dalam kajian ini, saya memberikan contoh kasus rumah
tinggal Dalem Purwodiningratan, rumah tinggal bagi
57

keluarga putra raja yang bernama bupati Nayaka


Purwodiningrat.
Dalam kompleks Dalem Purwodiningratan, yang
berorientasi ke arah Selatan, terdapat tiga kelompok
bangunan, yaitu : bangunan utama, gandok, dan paviliun.
Bangunan utama terdiri atas Pendapa, Pringgitan, dan
Dalem. Tipologi bangunan utama ini membentuk pola
yang urut dari arah Selatan ke Utara, yang merupakan
tipologi ideal rumah tinggal Jawa. Untuk memasuki
rumah Dalem Purwodiningratan kita harus melalui regol
(pintu gerbang) yang khas dengan konsol songgowang.
Bentuk regol mencerminkan perpaduan antara arsitektur
tradisional Jawa dan Kolonial Belanda. Dalem
Purwodiningratan memiliki dua regol, yaitu di sebelah
Barat dan Timur pada dinding tembok bagian Selatan.
Pendapa berfungsi sebagai tempat untuk menerima
tamu, tempat untuk kegiatan kesenian, dan pertemuan
sosial kemasyarakatan. Di sebelah Utara Pendapa
terdapat Pringgitan yang merupakan bangunan peralihan
antara Pendapa dan Dalem; ia berfungsi untuk
pementasan wayang. Pada saat pertunjukan wayang,
penonton laki-laki menempatkan diri di Pendapa, dan
kaum perempuan duduk di Dalem, sementara posisi sang
dalang menghadap ke arah Dalem. Di sebelah Utara
Pringgitan terdapat Dalem yang merupakan bangunan
keluarga dimana tempat ini digunakan untuk
menyelenggarakan upacara adat resmi, misalnya
perkawinan. Dalam bangunan ini terdapat tiga buah
kamar kecil yang dikenal dengan Sentong, yaitu Sentong
kiri, tengah, dan kanan. Pada saat ini Sentong kiri
58

ditempati oleh cucu dari pangeran Purwodiningrat,


Sentong kanan ditempati oleh anak dari pangeran
Purwodiningrat, sementara Sentong tengah yang dikenal
pula dengan Krobongan atau Petanen dianggap memiliki
nilai kesakralan yang tinggi, berfungsi sebagai tempat
menyimpan hasil bumi terutama padi, dan pada saat-saat
tertentu ia digunakan sebagai tempat peyelenggaraan
upacara pemujaan terhadap dewi Sri atau dewi Padi.
Selain itu, pada upacara perkawinan, kedua mempelai
duduk di depan Sentong tengah, dan pada malam harinya,
ia digunakan oleh kedua mempelai sebagai tempat malam
pertama. Di belakang Sentong tengah terdapat ruang yang
berfungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda
pusaka. Dinding Krobongan menggunakan bahan kayu
dan kaca. Di bagian atas Krobongan terdapat ukiran kayu
yang diberi warna keemasan, bermotifkan tumbuh-
tumbuhan dan binatang. Pada bagian belakang dan kiri
bangunan utama terdapat gandok yang berfungsi sebagai
tempat tidur keluarga. Gandok di bagian belakang
digunakan untuk keluarga dari istri ketiga, sementara
gandok di bagian kiri bangunan utama digunakan untuk
keluarga dari istri kedua. Sekarang ini, lahan di antara
gandok sebelah kiri dan Dalem didirikan sebuah
bangunan rumah tinggal baru.
Di bagian Timur dan Barat dalam kompleks Dalem
Purwodiningratan terdapat pavilium, yaitu bangunan yang
berfungsi sebagai rumah tinggal kerabat pangeran
Purwodiningrat. Sebagian pavilium di bagian Barat,
sekarang ditambah fungsinya sebagai tempat pembuatan
furniture.
59

3.5 Konsep Kekuasaan Raja Jawa


Konsep kerajaan Jawa adalah sebuah lingkaran
konsentris yang mana raja menjadi pusatnya. Lingkaran
pertama adalah keraton, lingkungan yang paling dekat
dengan raja, mencakup istana kediaman raja beserta
keluarganya. Lingkaran kedua adalah Nagara atau
Kutanagara atau ibukota yang ditempati oleh kaum
bangsawan dan priyayi tingkat tinggi. Lingkaran ketiga
adalah Nagaragung atau Nagara Agung, daerah yang
memiliki kepentingan-kepentingan kebendaan para
pangeran. Daerah ini terbagi menjadi beberapa lungguh,
petak tanah dan penduduknya, dengan seorang pangeran
yang diberi hak untuk menarik pajak atas nama raja.
Lingkaran yang paling luar adalah Mancanagara atau
negeri asing dan Pasisir, daerah-daerah yang jauh
letaknya dari pusat kerajaan. Pejabat daerah itu, para
bupati, biasanya ditunjuk langsung oleh raja sebelum
kemudian wewenang ini diambil alih VOC.
Konsep Jawa tentang kekuasaan raja memandang
raja sebagai seseorang yang dianugerahi kerajaan dengan
kekuasaan politik, militer dan keagamaan yang absolut.
Wulangreh, karya Paku Buwono IV, seperti yang dirujuk
Moedjanto, menggambarkan sosok seorang raja Jawa,
yaitu ia merupakan penguasa wakil Hyang Maha Agung.
Tugasnya memelihara tegaknya hukum dan keadilan dan
karena itu semua orang wajib taat kepadanya, siapa yang
berani menentang perintah raja berarti berani menentang
kehendak Hyang Maha Agung. Orang yang mengabdi
kepadanya harus menaati perintahnya tanpa syarat
60

(Moedjanto, 1987:122). Untuk lebih meyakinkan diri


bahwa kedudukannya sah dan aman dari ancaman, raja
perlu menunjukkan pusaka yang ada padanya dan
sesuatu yang dapat menjadi sumber kasekten bagi dirinya
dan kewibawaan bagi pemerintahannya.
Pusaka-pusaka (bisa berupa tombak, keris, bende
dan panji) merupakan bagian esensial dari kekuasaan
raja. Ada kepercayaan bahwa tanpa semua itu seorang
raja Jawa tak akan bisa memperoleh kepercayaan dan
kesetiaan rakyat dan dengan demikian ia tak akan
sanggup memerintah kerajaan. Hingga sekarang, sebagian
rakyat Jawa masih percaya bahwa pusaka-pusaka
tertentu yang dimiliki raja Jawa mempunyai kekuatan
magis yang membantu kelanggengan setiap raja yang
sedang memerintah. Salah satu pusaka keramat raja-raja
Mataram adalah sebuah tombak bernama Kyai Plered.
Dengan tombak ini Senopati dapat mengalahkan musuh
bebuyutannya, Arya Penangsang, dari Jipang Panolan
yang terkenal kuat dan sakti. Tombak Kyai Plered yang
dipergunakan oleh Pangeran Puger (Sunan Pakubuwono I)
dalam peperangan melawan pihak Belanda telah
menyebabkan prajurit Belanda, Kapten Tack, terbunuh
mengenaskan. Dan bersama Kyai Plered pula, Pangeran
Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) berhasil
bertahan dari gempuran pasukan Surakarta yang dibantu
Belanda, dan kemudian mendirikan Kesultanan
Yogyakarta.
Dari macam-macam pusaka yang banyak itu, keris
menempati kedudukan yang khusus. Pada umumnya raja
yang sedang memerintah memiliki keris yang cukup
61

banyak, baik yang diterima karena mewaris, maupun


diperoleh karena membuat atas perintahnya. Ketika
Sunan Pakubuwono IV berkuasa, ia memerintahkan
mencatat keris-kerisnya yang akan diwariskan kepada
putra dan putrinya. Pangeran Adipati Anom III
memperoleh keris yang diberi nama Kyai Bruwang dan
Kyai Maesasuka, ditambah dengan tombak Kyai Sangupati
dan Kyai Antu. Pangeran Hangabehi memperoleh keris
Kyai Kombang dan tombak Kyai Tejabanyu. Pangeran
Kusumayuda memperoleh keris Udanpejat dan tombak
Kyai Klosot. Pangeran Purbaya mendapat dua keris Kyai
Berkat dan Kyai Kandheg, dan dua tombak Kyai Banteng
dan Kyai Pacar. Dan Ratu Pambayun mendapat dua keris,
yaitu Kyai Cengkrong dan Kyai Pantheleng (periksa
Purwadi, 2004:185-186; Soeratman, 1989:474-475).
Kekuasaan raja, menurut tradisi Jawa, diyakini
juga bersumber dari pulung atau wahyu cakraningrat,
wahyu keraton, yang harus didapatkan sebelum ia
menjadi raja, yang menyebabkan kepemimpinannya
berubah menjadi magis, angker, keramat, ghaib dan serba
supranatural. Masyarakat Jawa percaya bahwa seseorang
dapat menjadi raja, jika ia mendapat wahyu keraton, yang
untuk memperolehnya harus dilakukan usaha keras dan
ulet. Menurut Soemardjan, agar kekuasaan raja Jawa atas
rakyatnya tidak goyah, maka raja harus dipandang
memiliki kesanggupan untuk berhubungan langsung
dengan arwah nenek moyangnya dan dengan Nyai Roro
Kidul, ratu perkasa nan cantik dari Lautan Hindia; dengan
para pelindung surgawi dari gunung Merapi dan gunung
Lawu di Jawa Tengah yang juga dianggap sebagai
62

pelindung raja, kerajaan dan rakyatnya (periksa


Soemardjan, tt:24-25).
Sudah menjadi mitos umum, bahwa raja-raja
Mataram sejak Senopati mempunyai hubungan khusus
dengan Kanjeng Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan, yang
kemudian dijadikan ‘permaisuri halus’ nya. Penguasa Laut
Selatan itu berjanji akan selalu melindungi Senopati dan
keturunannya. Menurut tradisi Mataram, Kanjeng Ratu
Kidul adalah seorang putri Pajajaran yang telah diusir dari
istana karena dia menolak suatu perkawinan yang diatur
oleh ayahnya. Raja Pajajaran ini mengutuk putrinya : dia
dijadikan ratu kaum roh halus dengan istananya di bawah
perairan Samudra Hindia, dan hanya akan menjadi
seorang wanita biasa lagi kelak pada hari kiamat. Menurut
Mitos, kali Opak berperan dalam pertemuan sakral antara
Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul. Diceritakan, menjelang
pengambil-alihan kekuasaan Pajang, Senopati mendapat
wahyu keraton disaksikan oleh pamannya, Ki Juru
Martani (adik ipar ayah Senopati, Ki Ageng Pemanahan).
Mereka berdua berpisah, Senopati menyelam di kali Opak,
sementara Ki Juru Martani pergi ke gunung Merapi untuk
bersemedi. Di kali Opak, Senopati melihat ikan Olor dan
mengikuti terus kemana ikan itu pergi hingga sampai ke
Laut Selatan. Di sanalah Senopati ketemu wanita cantik
yang kemudian diperistri. Dialah Kanjeng Ratu Kidul,
penguasa Laut Selatan. Tentang mitos terjadinya letusan
gunung Merapi, menurut kisahnya diceritakan bahwa saat
terjadi letusan, hal itu adalah pertanda berlangsungnya
persetubuhan antara Kyai Sapu Jagad, penjaga gunung
Merapi dan Kanjeng Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan.
63

Lava yang keluar dari kawah gunung Merapi diasosiasikan


dengan keluarnya mani pada saat persetubuhan antar
dua manusia yang berlawanan jenis; ia adalah benih calon
raja Jawa. Seperti halnya perkawinan yang seolah-olah
tidak bisa dicegah, tetapi bisa ditata, maka ‘perkawinan
dua kekuatan alam’ atau letusan gunung Merapi juga
tidak bisa dicegah dan perlu ditata. Oleh karena itu untuk
mendapatkan keselamatan, penduduk tidak menolak
Kanjeng Ratu Kidul berhubungan dengan Kyai Sapu
Jagad, tetapi mereka meminta agar lava tidak melalui desa
mereka. Untuk itu mereka memberikan sesaji kepada
kekuatan-kekuatan ghaib tersebut agar hubungan baik
dengan kekuatan-kekuatan itu terjalin, sehingga mereka
bisa dijauhkan dari bencana merapi (periksa Purwadi,
2004:104-133).
Sesudah Senopati mendapat pulung, berarti
memperoleh dasar otoritas kharismatik dan juga berperan
serta dalam realitas kosmis-magis, mitologi Ratu Kidul
sangat diperlukan untuk mendukung hasil yang telah
dicapai. ‘Perkawinan abadi’ antara raja-raja Mataram dan
Ratu Kidul, yang diawali oleh Senopati, pendiri wangsa
kerajaan itu, merupakan persekutuan yang
melambangkan manunggalnya dua realitas; ia dengan
sendirinya memperkuat struktur protektif kerajaan
Mataram sebagai orde institusional yang berlaku. Seorang
Adipati Anom, apabila ia dinobatkan menjadi raja, maka
tercapailah persekutuan ‘perkawinan sakral’ antara raja
baru dengan Ratu Kidul, yaitu dengan dipergelarkannya
tarian Bedhaya Ketawang yang sakral itu saat penobatan
atau jumenengan. Tarian ini diperagakan oleh sembilan
64

wanita perawan abdi dalem bedhaya, yang


menggambarkan percintaan antara Senopati dan Ratu
Kidul.
Dalam ‘persekutuan’ antara Senopati dan Ratu
Kidul yang tertulis dalam Babad Tanah Jawi disebutkan
bahwa Ratu Kidul itu bersedia memberi bantuan kepada
Senopati dan raja-raja penerus kerajaan Mataram, berupa
bala jin, peri, dan sesamanya, apabila mereka menghadapi
kesulitan. Pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono
X, isi ‘persekutuan’ itu antara lain menyebutkan bahwa
atas permintaan Senopati, Ratu Kidul pada setiap hari
Anggara Kasih (Selasa Kliwon) datang di Mataram untuk
memberi pelajaran tari Bedhaya Ketawang kepada para
abdi dalem bedhaya. Oleh karena itu, setiap hari Selasa
Kliwon di keraton Kasunanan Surakarta diadakan latihan
menari Bedhaya Ketawang (periksa Soeratman, 1989:245-
246).
GRAy Koes Moertiyah, salah seorang kerabat
keraton Kasunanan Surakarta, berkaitan dengan adanya
dualisme kepemimpinan di kerajaan itu (ada dua raja yang
bergelar Sunan Pakubuwono XIII, menggantikan Sunan
Pakubowono XII yang meninggal dunia beberapa waktu
yang lalu), menuturkan, legalitas jumenengan seorang raja
sebenarnya tak mutlak harus dilihat dari sisi hukum saja,
tapi ada aspek lainnya yang juga harus diperhatikan.
Salah satunya harus melihat sisi tarian Bedhaya
Ketawang yang harus digelar pada saat berlangsungnya
prosesi jumenengan. Sebab, seorang raja yang jumeneng
nata harus dapat menggelar tari Bedhaya Ketawang yang
amat sakral itu. Pada waktu menari, saat acara
65

jumenengan, para bedhaya mengalami banyak tekanan,


lebih-lebih tekanan batin berupa ketakutan akan dibawa
oleh Ratu Kidul ke dasar lautan, jika mereka salah dalam
membawakan tariannya. Menurut Soeratman, di kalangan
masyarakat keraton terdapat kepercayaan, bahwa pada
waktu Bedhaya Ketawang dipergelarkan, Ratu Kidul ikut
hadir di pendapa, bahkan juga ikut menari bersama
dengan para penari lainnya. Sesudah upacara selesai,
seringkali Sunan berkenan mewisuda penari Bedhaya
Ketawang menjadi priyantun dalem (selir) sebagai realisasi
‘perkawinan sakral’ antara keturunan Senopati dan ratu
Kidul (Soeratman, 1989:248-249).
Pergelaran Bedhaya Ketawang menuntut
kelengkapan sesaji, berupa sesaji pepak ageng dan pepak
alit. Sesaji pepak ageng terdiri dari berbagai ragam dan
jenis makanan khas, seperti ketan biru dibubuhi enten-
enten, nasi putih dengan ingkung ayam berbumbu santan
kental, irisan mentimun, kedelai hitam, lombok hijau, nasi
tumpeng asahan, dan lain sebagainya. Sementara sesaji
pepak alit berisi satu nampan jajan pasar, pisang raja satu
lirang, singkong, ketela, bubur, ketan empat warna,
serabi, nasi tumpeng, dan lainnya. Sebagai kelengkapan
sesaji masih ditambah dengan bekakak, makanan dari
tepung beras yang dibentuk mirip sepasang boneka laki-
laki dan perempuan. Sesaji pepak alit biasanya
dipersembahkan pada setiap diselenggarakan latihan tari
Bedhaya Ketawang. Kecuali hari latihan malam Anggara
Kasih pada Wuku Dukut dan Mandasiya digunakan sesaji
pepak ageng karena bertepatan dengan hari kelahiran
Ratu Kidul. Sebuah bilik di tingkat paling atas bangunan
66

Panggung Sanggabuwana dianggap sebagai tempat


pertemuan antara Kanjeng Ratu Kidul dan Sunan
Surakarta. Setiap hari Kamis dibawakan oleh seorang abdi
dalem wanita yang telah berpangkat bupati, sesaji berupa
bunga-bunga dan kemenyan ke tempat itu. Pintu untuk
masuk ke Panggung Sanggabuwana, yang berada di
bagian bawah, menghadap ke arah Selatan.
Sunan Pakubuwono X, setiap Kamis malam,
sesudah berbusana, masuk ke deretan Kamar Pusaka
yang semuanya menghadap ke arah Selatan, untuk
mengalungkan untaian bunga pada pusaka yang dianggap
tinggi kedudukannya. Sunan dibantu oleh patih wanita,
yaitu R.Ay.Ad. Sedhamirah dan empat priyantun dalem
yang telah mendapat sebutan Raden Ayu. Selain
rangkaian bunga, dupa juga tidak ketinggalan. Beberapa
pusaka yang diberi ‘dhahar’ (makan) dan dimulai yang
dihormati adalah : Keris Kyai Ageng, Kyai Gondil, Kyai
Sangupati. Berikutnya Cemeti Kyai Sapujagad dan Kyai
Basunanda. Pemberian sajian bagi pusaka lainnya
dilakukan oleh para priyantun dalem secara bergiliran. Di
antara pusaka itu ada yang berupa vandel, yaitu Kyai
Maesa Basuki, Kyai Maesa Luhur, dan Kyai Maesa Dlajat.
Ada pula yang berupa tombak, pedang, alat senjata
lainnya, dan barang-barang kuno yang mempunyai nilai
historis (periksa pula Soeratman, 1989:472-474).
Figur fiktif Kanjeng Ratu Kidul yang menjadi
‘permaisuri’ raja Jawa menjadi begitu penting di alam
pikiran orang Jawa. Dan di sana terlihat adanya dimensi
kultural yang sangat kuat yang ikut mempengaruhi
penataan ruang terutama arah hadap rumah tinggal
67

masyarakat Jawa yang pada umumnya mereka


menjadikan pola kehidupan dan hal-hal yang dihasilkan
di dalam keraton sebagai anutan. Tidak berlebihan apa
yang dikatakan Darsiti Soeratman (1989:243), bagi
penduduk Jawa, terutama yang berdiam di pantai Selatan,
dimulai dari Jawa Barat sampai ke Banyuwangi di Jawa
Timur, yang dimaksud dengan Dewi Laut adalah Ratu
Kidul yang memiliki kekuatan alamiah sangat dahsyat.
Dicekam oleh ketakutan terhadap terorisme alamiah yang
dipersonifikasikan sebagai Ratu Kidul, maka penduduk di
wilayah Pantai Selatan selalu membuat sajian dan
memuja Dewi Laut itu. Macam-macam larangan, yang
tersiar secara lisan dari mulut ke mulut, sangat ditaati,
misalnya pemakaian warna hijau daun bagi mereka yang
akan pergi ke Pantai Selatan, karena warna itu dipilih
untuk pakaian Ratu Kidul.
Rumah-rumah penduduk yang menghadap ke arah
Selatan, di samping penghuninya berusaha mengikuti
‘tuntunan’ penataan ruang rumah tinggal raja dan
pangeran yang menjadi anutan setiap manusia Jawa, juga
merupakan indikasi ketakutan mereka terhadap Ratu
Kidul. Kondisi ini sepertinya berbeda dengan pendapat
Mahar dalam Konsep Privacy pada Rumah dalam
Kebudayaan Jawa (Lap. Tesis, 1990:90) yang menyatakan
bahwa dalam kebudayaan Jawa, arah menghadap yang
‘cocok’ bagi tempat tinggal seseorang bisa berbeda bagi
orang lain. Hal ini tergantung dari perhitungan yang
berdasarkan hari kelahiran si penghuni. Intinya, dalam
menentukan arah hadap rumah tinggal didasarkan
kepada Petungan.
68

3.6 Kesimpulan
Penentuan arah hadap rumah tinggal raja Jawa, Dalem
Prabasuyasa dan Dalem Pangeran di dalam Baluwarti
keraton Kasunanan Surakarta, hampir dapat dipastikan
tidak didasarkan pada hari kelahiran si penghuni, sebab
semuanya seragam menghadap ke arah Selatan. Bisa jadi
penentuan arah hadap rumah tinggal yang didasarkan
pada Petungan lebih tepat untuk rumah-rumah penduduk
yang letaknya jauh dari Pantai Selatan dan dua pusat
kultur Jawa, yaitu keraton Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta. Hal yang menarik adalah rumah-
rumah adat di daerah Kudus yang letaknya di Pantai
Utara Jawa, yang relatif jauh dari pusat kultur Jawa di
Surakarta dan Yogyakarta, hampir semuanya menghadap
ke arah Selatan.
Tidak seperti rangkaian pelataran di keraton yang
berorientasi Utara-Selatan, kedhaton menghadap ke
Timur, arah matahari terbit, sumber kekuatan energi.
Orientasi ini diperkuat dengan adanya Pendapa Sasana
Sewaka, bangunan terbuka, di sebelah Timur Dalem
Ageng Prabasuyasa, bangunan tertutup. Sementara Dalem
Ageng bagian belakang, Omah Mburi, menghadap ke
Selatan, seperti lazimnya rumah-rumah Jawa lainnya.
Pendapa Sasana Sewaka adalah penanda orientasi
kedhaton; ia adalah balai persidangan utama keraton,
tempat duduk Sunan di atas dhampar, di hadapan para
punggawanya yang merupakan perwujudan simbolis
pemerintahan dan penataan wilayahnya. Dia
69

menyelenggarakan persidangan ini secara rutin untuk


menjaga kedudukannya di puncak tatanan.
Sebagian masyarakat Jawa di daerah pedalaman
Selatan Jawa Tengah, mempercayai kekeramatan Laut
Selatan, sebagai keraton mahkluk halus yang juga
memiliki hubungan dengan keraton Mataram. Hubungan
kekeluargaan antara kedua keraton tersebut dikarenakan
adanya hubungan perkawinan.
Dari perilaku dan sikap masyarakat Jawa
tradisional dalam kaitannya dengan rumah tinggalnya,
terlihat mereka memiliki rasa khawatir dan takut kepada
Ratu Kidul, mahkluk halus penguasa Laut Selatan. Hal ini
ditunjukkan dengan arah hadap rumah-rumah mereka,
terutama yang berdiam di pesisir pantai Laut Selatan,
yaitu ke arah Selatan. Mereka takut akan teror-teror alam
yang digerakkan oleh Dewi Laut Selatan itu. Ketakutan ini
juga dialami oleh raja Jawa, oleh karenanya, meskipun
orientasi rumah tinggalnya ke arah Timur, namun Omah
Mburi, ranah perempuan yang sakral, tetap menghadap ke
arah Selatan sebagaimana rumah-rumah penduduk Jawa
kebanyakan, dengan bilik-biliknya di bagian dalam rumah
sebagai tempat menyimpan pusaka.

Referensi
Kartodirdjo, Sartono, dkk.
1987 Perkembangan Peradaban Priyayi, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
70

Lombard, Denys
1996 Nusa Jawa : Silang Budaya Kajian Sejarah
Terpadu, Bag.III : Warisan Kerajaan-Kerajaan
Konsentris, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mahar, Ari Indrayono


1990 ‘Konsep Privacy Pada Rumah Dalam Kebudayaan
Jawa’, Laporan Tesis, UGM.

Moedjanto, G.
1987 Konsep Kekuasaan Jawa, Yogyakarta: Kanisius.

PT. Pembangunan Perumahan


Pelaksanaan Pembangunan Kembali Keraton
Surakarta.

Purwadi
2004 Nyai Roro Kidul dan Legitimasi Politik Jawa,
Yogyakarta: Media Abadi.

Santosa, Revianto Budi


2000 Omah, Membaca Makna Rumah Jawa, Yogyakarta:
Bentang.

Soemardjan, Selo
Perubahan Sosial di Yogyakarta, Jakarta: Yayasan
Ilmu-Ilmu Sosial.

Soeratman, Darsiti
1989 ‘Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939’,
Laporan Disertasi, UGM.

Soewito
Rekayasa Perancangan Pembangunan Kembali
Keraton Surakarta.
BAGIAN 4

KROBONGAN : MAKNA RUANG


SAKRAL DALAM TATA RUANG
RUMAH TINGGAL JAWA

4.1 Pendahuluan
Dalam tata ruang rumah tinggal Jawa, di bagian dalam
rumah utama atau Dalem Ageng – Omah Jero, terdapat
tiga bilik atau kamar berderet arah Barat – Timur, yang
terletak di sisi Utara keempat tiang sakaguru penyangga
utama atap joglo. Kamar-kamar itu semuanya menghadap
ke arah Selatan, ke arah pintu masuk ruang dalam.
Kamar yang berada di ujung Barat dari deretan itu
dinamakan Senthong Kiwo (kiri), kamar yang di tengah
dinamakan Senthong Tengah, dan yang paling Timur
adalah Senthong Tengen (kanan). Di antara ketiganya,
Senthong Tengah yang juga dikenal dengan Krobongan,
dianggap ruang yang memiliki derajat kesakralan paling
tinggi; dan keberadaanya tidak dapat dilepaskan dari
tokoh fiktif Dewi Sri, Dewi Kesuburan. Pada umumnya,
masyarakat petani Jawa sangat mempercayai dan
menghormati tokoh Dewi Sri.

71
72

Pada umumnya, rumah tempat tinggal penduduk


dalam masyarakat Jawa, bentuk bangunan dan fungsi
ruang-ruangnya tidak jauh berbeda dengan bangunan
keraton atau istana sebagai tempat tinggal raja. Yang
membedakannya adalah bentuk bangunan dan fungsi
ruang-ruang pada keraton lebih beragam dan kompleks.
Seperti halnya keraton, rumah tinggal tradisional Jawa
merupakan ungkapan dari hakekat penghayatan
penghuninya terhadap kehidupan, reprentasi kosmologi
atau keyakinan mengenai alam semesta, dan suatu
lingkungan mikrokosmos yang dibangun dengan
pertimbangan yang sarat makna. Arsitektur rumah tinggal
tradisional Jawa sebagai salah satu unsure dalam kultur
sangat ditentukan oleh manusia, tradisi dan filosofi Jawa;
ketiganya menentukan fungsi dari bentuk, ruang dan
estetika bangunan.
Inti dari tata ruang rumah tinggal Jawa adalah
keberadaan tiga buah bilik di bagian dalam rumah (Dalem
Ageng atau Omah Jero), biasanya terletak di dekat empat
tiang sakaguru. Ketiganya dinamai senthong tengen,
senthong tengah, dan senthong kiwo. Meskipun terkadang
terjadi pengembangan dan penambahan ruang-ruang,
namun penambahan yang dilakukan sedapat mungkin
tidak mengurangi dominasi ketiga bilik tersebut. Senthong
Tengah atau juga dinamakan Krobongan memiliki nilai
kesakralan yang tinggi, sebagai ruang sentral kehidupan
masyarakat Jawa, mulai dari golongan rakyat biasa
maupun priyayi dan keluarga raja.
Krobongan dalam Dalem Ageng Prabasuyasa,
rumah kediaman raja Surakarta Hadiningrat beserta
73

keluarganya, ditempatkan di depan dan tidak menjadi


satu atau terpisah dengan deretan kamar-kamar pusaka.
Demikian pula Krobongan dalam rumah Dalem Pangeran
juga ditempatkan tidak menjadi satu dengan deretan
kamar-kamar Senthong Kiwo dan Senthong Tengen, seperti
diperlihatkan pada kasus rumah Dalem Purwodiningratan.
Krobongan dalam Dalem Ageng Prabasuyasa dan Dalem
Purwodiningratan berupa bangunan tersendiri berdenah
kurang lebih 2,4 m x 3,6 m, berdinding papan dan kaca
penuh ornamen, dan atapnya berbentuk limasan yang
juga penuh ornamen. Pada umumnya Senthong Tengah ini
dihias, diberi bantal dan guling, akan tetapi tidak dipakai
untuk tidur. Di depannya sering diberi lampu kuno, ada
pula yang ditambah dengan patung Lara Blanya, yaitu
patung pria dan wanita dalam sikap duduk yang
mengenakan kostum Jawa tradisional. Di dekat Krobongan
Dalem Ageng Prabasuyasa ditempatkan dian (lampu) yang
terus-menerus menyala sepanjang masa. Menurut tradisi
keraton, api ini diambil dari tempat dekat makam Ki
Ageng Sela menjelang Grebeg Mulud.
Dalam kajian ini akan ditelusuri fungsi dan makna
simbol dari keberadaan Krobongan atau Senthong Tengah
dalam tata ruang rumah tinggal Jawa, yang bagi sebagian
masyarakat Jawa dianggap bagian rumah tinggal yang
paling sakral. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan kultural.

4.2 Deskripsi Singkat Rumah Tinggal Jawa


Hingga tahun 1930-an, orang Jawa secara tradisional
dibagi dalam tiga kelompok sosial, yaitu : pertama,
74

kelompok ningrat, yaitu para keluarga raja; kedua,


kelompok para abdi-dalem, yaitu para pegawai dan pejabat
kerajaan. Kelompok abdi-dalem ini sering disebut juga
kelompok priyayi; dan ketiga, kelompok rakyat biasa atau
disebut wong cilik (tiyang alit) yang jumlahnya paling
banyak dibandingkan dengan kelompok pertama dan
kedua.
Golongan priyayi, sebagai kelompok sosial memiliki
ciri-ciri tertentu, yang dengan jelas memperlihatkan
perbedaannya dengan kelompok sosial dari rakyat
kebanyakan (wong cilik), tidak hanya adat sopan santun
dan bahasa, tetapi juga berupa hal-hal yang berwujud
konkrit, seperti pakaian dan bentuk rumah tempat
kediamannya. Menurut tradisi Jawa, pada masa lalu,
seseorang tidak akan membangun rumah yang melebihi
atau setidak-tidaknya menyamai rumah pembesarnya
atau rumah orang-orang yang kedudukannya lebih tinggi
daripada dirinya.
Suatu rumah tempat tinggal asli (griya) untuk
golongan wong cilik (petani), biasanya berbentuk persegi
panjang. Dinding terbuat dari anyaman bambu (gedhek)
yang sering kali tidak berjendela. Pada kedua sisi panjang
dari rumah terdapat pintu dorong yang juga terbuat dari
rangka bambu dan gedhek; membagi rumah menjadi dua
bagian, depan dan belakang (dalam). Bagian dalam rumah
dibagi-bagi dengan sekat-sekat yang terbuat dari gedhek
yang dengan mudah digeser yang dapat menjadi ruang-
ruang yang multipurpose. Atap rumah berbentuk
kampung (atap trojogan) atau atap srotong,
pengembangan dari atap kampung. Dapur biasanya
75

berupa suatu bangunan kecil yang menempel pada


dinding belakang atau samping rumah (lihat
Koentjaraningrat,1984:138). Pada beberapa kasus rumah,
di bagian dalam rumah terdapat tiga bilik yang berjejer,
yaitu Senthong Tengen, Tengah dan Kiwo. Kamar mandi
terpisah, terletak di kiri belakang rumah, sehingga
dinamakan pekiwan (kiwo= kiri). Tidak jarang di belakang
rumah juga terdapat kandang hewan piaraan.
Kompleks tempat tinggal golongan priyayi, dalam
hal ini diambil kasus rumah tinggal bupati Jawa, secara
lugas dideskripsikan oleh Sartono Kartodirdjo, dkk
(1987:28-32). Di kompleks tempat tinggal bupati ini
terdapat dua bangunan utama, yaitu Dalem Ageng dan
Pendopo. Dalem Ageng, ialah rumah tinggal utama yang
menjadi tempat tinggal bupati beserta keluarganya.
Rumah ini atapnya berbentuk Limasan atau berbentuk
Joglo. Di kiri dan kanan, berhimpit dengan Dalem Ageng
terdapat Gandok yang atapnya berbentuk Kampung.
Dalem Ageng terdiri atas tiga bagian utama, yaitu serambi
depan yang dinamakan Pringgitan, ruang dalam atau
ruang tengah, dan serambi belakang. Pringgitan ialah
ruang depan yang terbuka atau sering juga tertutup oleh
dinding kayu atau gebyok dengan pintu di tengah dan
jendela di kiri dan kanan pintu. Gebyok ini dapat dengan
mudah dibuka dan dipasang. Pringgitan ini biasanya
dipergunakan untuk menyelenggarakan pergelaran ringgit
atau wayang kulit, sehari-harinya dipergunakan untuk
tempat tidur anak-anak laki-laki yang sudah dewasa. Di
belakang Pringgitan terdapat ruang dalam atau ruang
tengah ialah bagian dari Dalem Ageng yang dipergunakan
76

sebagai tempat tidur bupati dan permaisurinya, dan juga


dipergunakan untuk menyimpan harta dan pusaka.
Antara ruang dalam dan Pringgitan dibatasi gebyok yang
berpintu di tengahnya dan berjendela di kanan dan kiri
pintu. Di sisi ruang dalam yang berhadapan dengan pintu
ke Pringgitan terdapat tiga petak atau bilik kamar atau
Senthong. Senthong yang di tengah merupakan bilik sakral
yang dipergunakan untuk menyimpan pusaka; Senthong
Tengah ini juga sering dinamakan Krobongan. Kedua
Senthong yang lain dipergunakan untuk menyimpan harta
benda. Amben yang menjadi tempat tidur bupati dan
permaisurinya ditempatkan di depan salah satu dari
Senthong itu. Ruang di belakang Senthong-Senthong itu
dinamakan serambi belakang, yang biasanya luas karena
disambung emperan, dipergunakan untuk ruang makan
dan aktivitas kehidupan sehari-hari bupati beserta
keluarganya. Biasanya ruang ini dipergunakan sebagai
tempat membatik putri-putri di kabupaten. Serambi
belakang dan ruang dalam dihubungkan oleh pintu
melalui gandhok, yaitu bangunan yang berupa ruang
memanjang sejajar dan berhimpit di kiri dan kanan Dalem
Ageng. Karena itu ada gandhok tengen (kanan) dan
gandhok kiwo (kiri). Ruang gandhok itu terbagi menjadi
kamar-kamar dan biasanya dilengkapi dengan kamar
mandi dan WC. Salah satu dari gandhok itu menjadi
tempat hidup sehari-hari keluarga bupati yang telah
berusia lanjut, seperti orang tua bupati, paman, bibi, dsb.
Karena itu gandhok disebut pula kasepuhan. Kalau
gandhok ini dipergunakan sebagai tempat tidur bupati
beserta keluarganya dan istri-istri lainnya, maka untuk
77

kasepuhan disediakan rumah tersendiri yang dibangun di


samping atau di belakang Dalem Ageng. Gandhok yang
lain dipergunakan untuk anak-anak putri yang sudah
dewasa dan anggota keluarga lainnya yang sebaya dengan
anak-anak putri bupati. Di belakang Dalem Ageng
terdapat taman yang teratur baik. Di sekeliling taman itu
terdapat deretan kamar yang disediakan untuk magersari,
biasanya beserta keluarganya. Magersari ialah mereka
yang mengabdi kepada bupati dan tugasnya mengerjakan
segala macam urusan rumah tangga. Jumlahnya sampai
beberapa puluh orang. Di depan Dalem Ageng terdapat
bangunan Pendopo yang luas dan menghadap ke alun-
alun. Bangunan Pendopo berbentuk segi empat, beratap
joglo dan keempat sisinya disambung dengan emperan.
Pada emperan di bagian depan sering dibuatkan kuncung,
yaitu atap yang menonjol, dengan tujuan agar kendaraan
dapat berhenti merapat di depan Pendopo. Pendopo ini
merupakan bangunan yang terbuka, dipergunakan untuk
menerima tamu resmi, untuk rapat-rapat, untuk
pertemuan, untuk pesta dan sebagainya. Lantai Pendopo
itu 40 cm sampai 50 cm lebih tinggi daripada lantai
emperan yang mengelilinginya. Lantai emperan yang
rendah ini dipergunakan untuk duduk priyayi-priyayi
rendahan, sedang lantai Pendopo yang lebih tinggi untuk
duduk pembesar-pembesar. Abdi-abdi duduk di halaman
luar Pendopo. Antara Pendopo dan Dalem Ageng ada gang
yang diberi atap tratag atau atap kampung. Biasanya gang
itu dibuat lantai yang menyambung lantai emperan dan
lantai Pringgitan.
78

4.3 Fungsi dan Makna Krobongan dalam Tata Ruang


Rumah Tinggal Jawa
Bagi orang Jawa yang menganut Agama Jawa, agama yang
menurut Suparlan dalam Kata Pengantar bukunya Geertz
: Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa
(1981:xii-xiii), berintikan pada prinsip utama sangkan
paraning dumadi (dari mana manusia berasal, apa dan
siapa dia pada masa kini, dan ke mana arah tujuan hidup
yang dijalani dan ditujunya), bahwa hakikat dari
tindakan-tindakan keagamaan yang terwujud dalam
bentuk upacara adalah untuk mencapai tingkat selamat
atau kesejahteraan. Menurut hemat saya, penempatan
kata-kata terakhir – mencapai tingkat selamat atau
kesejahteraan – oleh Suparlan, dengan menaruh kata
‘atau’ di antara kata ‘selamat’ dan ‘kesejahteraan’
mengandung arti hanya separo dari kebutuhan orang
Jawa yang mutlak menjadi tuntutan hidupnya yaitu
selamat dan sekaligus sejahtera, jadi tidak hanya selamat
saja atau sejahtera saja, tetapi dua-duanya : keselamatan
dan kesejahteraan. Tindakan keagamaan Agama Jawa
berintikan pada azas saling menukar prestasi, yang
terwujud dalam bentuk persembahan atau pemberian
sesuatu (biasanya makanan, minuman, bunga dan
kemenyan) kepada mahkluk-mahkluk halus tertentu dan
sebagai imbalannya mahkluk-mahkluk halus tersebut
akan memberi prestasi sesuai dengan yang diinginkan
oleh yang memberi persembahan.
Penganut Agama Jawa, selain melaksanakan
kewajiban agama (Islam) secara tidak penuh, juga percaya
terhadap berbagai macam hal, misalnya kepercayaan
79

tentang adanya orang-orang sukerta (yang diusik),


kehadiran Ratu Kidul di keraton, tentang tuah berbagai
macam pusaka, tentang angkernya hutan
Krendhawahana, peran Dewi Sri dalam perpadian, dan
mahkluk-mahkluk halus yang lain.
Raja Pakubuwono X, raja Surakarta harus tindak
sendiri memberi ‘makan’ kepada pusaka-pusaka yang
dianggap paling keramat, dan dia memerintahkan para
abdi dalem memberikan sesaji di beberapa sudut dan
bagian keraton, baik secara rutin tiap Kamis malam,
maupun pada saat-saat diselenggarakannya kegiatan
penting. Menjelang tarian Bedhaya Ketawang
dipergelarkan di keraton Surakarta Hadiningrat, para
tukang rias, pembuat sajian dan sebagainya, sebelum
mulai bekerja, mereka mohon doa restu kepada empat
penguasa mata angin, yaitu untuk sebelah Timur, Kanjeng
Sunan Lawu, berkedudukan di puncak gunung Lawu;
untuk sebelah Selatan, kanjeng Ratu Kidul, berkedudukan
di Lautan Hindia; untuk sebelah Barat, Kanjeng Ratu
Sekar Kedhaton, berkedudukan di gunung Merapi; dan
untuk sebelah Utara, Bathari Durga, berkedudukan di
hutan Krendhawahana. Setiap bulan Rabingulakir tahun
Jawa, raja-raja Surakarta tidak pernah lupa memberi
‘makan’ kepada Bathari Durga di hutan Krendhawahana,
yang kemudian dikenal dengan sedekah maesalawung,
berupa daging kerbau lawung, yaitu kerbau yang tidak
dipekerjakan, melainkan dilepas di hutan
Krendhawahana. Selain daging kerbau itu, juga disertakan
daging hewan lainnya, seperti kijang, menjangan, kancil,
banteng, monyet, hewan bersayap, yang berenang, dan
80

yang merangkak. Darah dan isi perut kerbau dilabuh ke


hutan Krendhawahana, disajikan untuk Bathari
Kalajuwati, anak Bathari Durga. Itu semua dilakukan oleh
raja-raja Surakarta, tujuan utamanya adalah keselamatan
dari gangguan-gangguan alam yang kedahsyatannya
sering kali tidak bisa ditaklukan oleh bangsa manusia;
selamat dari kejatuhan tahtanya, selamat dari malapetaka
yang menimpa diri dan keluarganya, dan yang menimpa
kerajaan dan seluruh rakyatnya. Dengan sesajian yang
diberikan secara rutin atau pada saat-saat genting dan
penting kepada mahkluk-mahkluk halus diharapkan
imbalan yang akan diterimanya berupa keselamatan bagi
raja dan rakyatnya.
Di pusat seluruh sistem keagamaan orang Jawa ,
menurut Clifford Geertz dalam karyanya yang
menghebohkan : Abangan, Santri, Priyayi dalam
Masyarakat Jawa (1981:13), terdapat suatu upacara yang
sederhana, formal, tidak dramatis dan hampir-hampir
mengandung rahasia, yaitu slametan; ia melambangkan
kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut serta di
dalamnya. Handai-taulan, tetangga, rekan sekerja, sanak
keluarga, arwah setempat, nenek moyang yang sudah
mati, dan dewa-dewa yang hampir terlupakan, semua
duduk bersama mengelilingi satu tempat. Slametan dapat
diadakan untuk memenuhi semua hajat orang
sehubungan dengan suatu kejadian yang ingin diperingati,
ditebus atau dikuduskan. Kelahiran, perkawinan, sihir,
kematian, pindah rumah, mimpi buruk, panen, ganti
nama, membuka pabrik, sakit, memohon kepada arwah
81

penjaga desa, khitanan, dan mulai suatu rapat politik –


semua itu bisa memerlukan slametan.
Selain selamat dari segala gangguan yang berasal
dari lingkungan sekitarnya, orang Jawa yang menganut
Agama Jawa juga ingin mencapai tingkatan sejahtera
dalam kehidupannya. Konsep sejahtera bisa dirangkum
dalam kemampuan yang dimiliki oleh tokoh legendaris
Dewi Sri. Dalam kehidupan masyarakat Jawa, terutama di
kalangan masyarakat petani Jawa, Dewi Sri merupakan
tokoh yang cukup terkenal; ia sering diidentikkan dengan
Dewi padi, Dewi kekayaan, Dewi kesuburan dan
kemakmuran, dewi yang melimpahi ketenaran,
kesuksesan, yang dapat memberi umur panjang, sehat,
dan banyak anak.
Pada umumnya, masyarakat petani Jawa sangat
mempercayai dan menghormati tokoh Dewi Sri. Hal ini
bisa dilihat dari sikap dan perlakuan mereka terhadap
padi. Dalam memperlakukan padi, mereka akan sangat
berhati-hati, penuh kasih dan hormat, sebagaimana
halnya memperlakukan manusia yang dikasihi dan
dihormati. Serangkaian upacara harus dilakukan mulai
dari penyemaian dan kemudian penanaman bibit padi,
yang waktunya ditentukan berdasarkan petungan, hingga
panen padi.
Secara personal, untuk pemujaan terhadap Dewi
Sri, oleh keluarga-keluarga petani Jawa disediakan
sebuah bilik atau ruang khusus di bagian tengah rumah
tinggalnya; ruang itu biasanya dinamakan Senthong
Tengah. Nama lain dari Senthong Tengah selain Krobongan
ialah Petanen (tempat pertanian), Pasren (tempat Sri) dan
82

Pajangan. Menurut Wibowo, dkk (1987:57), seperti dirujuk


Suyami (2001:3-4), untuk golongan petani, dalam tata
ruang rumah tinggalnya, Senthong Kiwo berfungsi sebagai
tempat menyimpan senjata dan barang-barang keramat,
Senthong Tengah untuk menyimpan benih dan bibit (akar-
akaran dan gabah), dan Senthong Tengen untuk tempat
tidur. Kadang-kadang, Senthong Tengah dipakai pula
untuk mengheningkan cipta dan berdoa kepada Tuhan,
atau dipergunakan sebagai tempat pemujaan kepada Dewi
Sri sebagai dewi kesuburan dan kebahagiaan rumah
tangga.
Santosa dalam Omah, memberi penjelasan tentang
Senthong Tengah pada kasus rumah tinggal milik Pak
Sura, di Yogyakarta. Di ruang inilah, sekali dalam tiga
puluh lima hari Mbok Sura melakukan ritual dengan
meletakkan sesaji berupa pelita, kembang setaman, dan
kemenyan yang dibakar. Dengan demikian, ia telah
mengubah kamar menjadi tempat bagi arwah nenek
moyang yang berkunjung membawa kesejahteraan. Dalam
kepercayaan popular, tamu ghaib yang dimaksud adalah
Dewi Sri. Sewaktu keluarga Pak Sura masih bertani,
Senthong Tengah punya signifikansi lain, yakni sebagai
titik penghubung antara rumah, sawah, dan dunia nenek
moyang yang melindungi keduanya. Sebelum panen padi,
mereka biasa melaksanakan wiwit, semacam ritual yang
menandai suatu permulaan panen padi sekaligus untuk
menyampaikan izin kepada sang pelindungnya demi
menjamin berlimpahnya hasil panen. Dari sawah itu pula,
Mbok Sura akan memotong serumpun kecil padi,
mengikat dengan khidmat dan membawanya pulang
83

untuk ditempatkan di Senthong Tengah selama beberapa


hari (Santosa, 2000:50).
Terletak di tengah, dikelilingi ruang-ruang lain,
Senthong Tengah juga bermakna keamanan. Barang-
barang berharga milik keluarga biasanya disimpan di sini.
Keluarga-keluarga Kudus Kulon generasi pertama hingga
ketiga (sekitar perempat pertama abad ke-19 hingga
dasawarsa ketiga abad ke-20), yang mendiami rumah-
rumah adat, mempergunakan Senthong Tengah sebagai
tempat untuk menyimpan harta benda berupa, emas,
perak dan berlian, yang menjadi kebanggaan dan
kehormatan bagi keluarga-keluarga Kudus Kulon pada
waktu itu.
Sebagai area sakral, Senthong Tengah terbebas dari
kegiatan sehari-hari. Berdasarkan paparan Kartodirdjo,
dkk, tentang pola ruang rumah tinggal bupati dalam
Perkembangan Peradaban Priyayi, terlihat bahwa
keberadaan ketiga bilik di bagian ruang dalam – Senthong
Kiwo, Tengah dan Tengen, tidak digunakan untuk tidur,
baik oleh bupati dan permaisuri maupun anggota
keluarganya yang lain. Senthong Tengah dipergunakan
untuk menyimpan pusaka, sementara kedua Senthong
yang lain untuk menyimpan harta benda (lihat
Kartodirdjo, dkk, 1987:31). Itulah sebabnya, kendati
secara geometris ruang ini berada persis di tengah, secara
fungsional ia relatif sangat berjarak. Tidak adanya fungsi
yang menautkan ruang ini terhadap kegiatan keseharian
dalam rumah membuat kegiatan kerumah-tanggaan
sehari-hari, secara pragmatik, tidak terganggu apabila
ruang ini dihilangkan. Sehingga, sekitar tahun 1970-an,
84

saat keluarga-keluarga di Kudus Kulon yang dulunya


merupakan keluarga-keluarga kaya, mengalami kesulitan
finansial dan karena masalah-masalah pewarisan, dan
Senthong Tengah tak lagi berperan sebagai tempat sakral
(baik dalam hubungan dengan kegiatan pertanian
maupun rumah tangga), maka bagian inilah yang paling
awal dijual kepada orang lain. Krobongan rumah-rumah
adat Kudus biasanya dihargai sangat mahal karena
penuhnya ukiran kayu jati terutama di bagian depan.

Senthong
tengah

Gambar 4.1. Tata ruang rumah tinggal di Kudus (Sketsa Penulis)

Keberadaan Krobongan dalam tata ruang rumah


tinggal Jawa, dalam acara pernikahan keluarga-keluarga
Jawa juga memiliki peran penting, mulai dari keluarga
85

raja hingga keluarga petani. Tepat di depan Krobongan,


sepasang pengantin disandingkan setelah didahului
upacara temu. Dengan bersanding di depan kamar Dewi
Sri, diharapkan tokoh ghaib itu memberikan keturunan,
banyak anak, dan kemakmuran kepada keluarga kedua
mempelai. Bahkan, menurut cerita keluarga setempat,
pada masa lalu, sepasang pengantin dari keluarga-
keluarga Kudus Kulon, yang baru saja melangsungkan
pernikahan, diizinkan mempergunakan Senthong Tengah
sebagai tempat tidur khusus untuk ‘malam pertama’.
Krobongan juga bisa dibuat dalam acara sunatan
keluarga Jawa. Dalam acara sunatan anak laki-laki yang
menginjak baligh (pada umumnya setelah berumur sekitar
15 tahun), bagi keluarga Jawa, biasanya dilakukan di
hadapan para tamu. Di tengah-tengah para undangan
didirikan suatu Krobongan dimana sunatan dilakukan.
Tergantung kemampuan sang orang tua bagaimana
Krobongan itu dibuat. Pada waktu acara sunatan K.G.P.
Adipati Anom (kelak menjadi Sunan Pakubuwono X)
dilakukan secara besar-besar, Krobongan dibuat sangat
megah dan khusus, dan diberi nama Madoerenggo. Hal ini
dilakukan dengan harapan, nantinya anak yang disunat
selalu disayang oleh Dewi Sri. Orang tua si anak berharap
imbalan dari Dewi Sri agar tokoh ini berkenan memberi
kehidupan yang sejahtera kepada sang anak yang disunat
dan keluarganya.
Bagi keluarga raja dan para bangsawan, di dalam
rumah tinggalnya terdapat dua wadah yang
keberadaannya dipercaya dapat memfasilitasi usaha-
usaha untuk mencapai tingkatan sejahtera dan selamat,
86

yaitu Krobongan yang dihubungkan dengan hal-hal yang


dapat mendatangkan kesejahteraan, tempat untuk
berhubungan dengan Dewi Sri, dan Senthong (Tengah)
yang letaknya di belakang, terpisah dengan Krobongan,
yang dihubungkan dengan hal-hal yang dapat
mendatangkan keselamatan, tempat menyimpan pusaka-
pusaka keramat. Sementara, bagi rakyat kebanyakan,
terutama para petani, untuk mendapatkan atau mencapai
tingkatan sejahtera, mereka meyediakan sebuah wadah
Krobongan atau Senthong Tengah, dan untuk usaha-usaha
agar terhindar dari malapetaka atau agar selamat, mereka
menyediakan Senthong Kiwo atau Senthong Tengen,
tempat menyimpan barang-barang keramat bagi mereka
yang memilikinya, yang letaknya berdampingan dengan
Krobongan. Tidak adanya wadah tersendiri berupa sebuah
bangunan mini untuk Krobongan seperti pada rumah
tinggal raja dan para bangsawan karena disamping luasan
rumah tinggal para petani tidak terlalu besar, juga
biasanya mereka tidak memiliki pusaka keramat, kalau
toh punya tidak banyak, sehingga bisa pula disimpan di
Senthong Tengah. Jadi menurut hemat saya, bagi
keluarga-keluarga Jawa kebanyakan, keberadaan
Krobongan atau Senthong Tengah, lebih difungsikan untuk
usaha-usaha yang dapat menghasilkan kesejahteraan
rumah tangga. Untuk usaha-usaha mencapai tingkatan
selamat, pada umumnya keluarga Jawa mengadakan
slametan pada waktu-waktu tertentu dengan melibatkan
banyak pihak, dan kegiatan ini diselenggarakan di ruang
bagian depan rumah, bisa di ruang tamu (pringgitan) atau
di pendopo.
87

Gambar 4.2. Krobongan dalam Dalem Ageng Prabasuyasa


(atas dan bawah) (Heins, 2004:174 dan 175)
88

4.4 Kesimpulan
Dalam tata ruang rumah tinggal Jawa, di bagian dalam
rumah utama atau Dalem Ageng – Omah Jero, terdapat
tiga bilik atau kamar berderet arah Barat – Timur, yang
terletak di sisi Utara keempat tiang sakaguru penyangga
utama atap joglo. Kamar-kamar itu semuanya menghadap
ke arah Selatan, ke arah pintu masuk ruang dalam.
Kamar yang berada di ujung Barat dari deretan itu
dinamakan Senthong Kiwo (kiri), kamar yang di tengah
dinamakan Senthong Tengah, dan yang paling Timur
adalah Senthong Tengen (kanan). Di antara ketiganya,
Senthong Tengah yang juga dikenal dengan Krobongan,
dianggap ruang yang memiliki derajat kesakralan paling
tinggi; dan keberadaanya tidak dapat dilepaskan dari
tokoh fiktif Dewi Sri, Dewi Kesuburan. Pada umumnya,
masyarakat petani Jawa sangat mempercayai dan
menghormati tokoh Dewi Sri.
Beberapa pergeseran didalam cara menata ruang
rumah tinggal Jawa yang terjadi belakangan ini,
khususnya yang berkaitan dengan keberadaan Krobongan
atau Senthong Tengah, misalnya menghilangkannya, atau
merubahnya menjadi sebuah kamar tidur, atau
memfungsikannya untuk kegiatan domestik lainnya,
menurut saya disebabkan oleh dua hal, pertama tidak
sesuai lagi dengan nilai-nilai fungsional, dan kedua
meningkatnya nilai-nilai keagamaan (Islam) penghuninya,
sehingga tidak lagi percaya terhadap kekuatan alam dan
mahkluk halus yang bisa menentukan nasib mereka,
kecuali bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini
hanya kehendak Allah semata. Akibat adanya pergeseran
89

nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Jawa, maka


makna Senthong Tengah yang pada awalnya bernilai
sakral, berubah dan bahkan kehilangan nilai sakralnya.
Sebuah rumah tinggal tidak lagi dipandang sebagai
tatanan ruang yang memiliki hirarki sakral-profan, tetapi
hirarki ruang secara fungsional privat-publik.

Referensi
Ashadi
2000 ‘Mencari Korelasi antara Arsitektur Masjid dengan
Rumah Tinggal Tradisional di Kudus Jawa Tengah’,
Laporan Penelitian, Universitas Pancasila.
2004 ‘Keraton : Rumah Tinggal Raja Jawa’, Laporan
Akhir Penelitian, Program Semi-Que V, Program
Studi Arsitektur Univ. Muhammadiyah Jakarta.

Geertz, Clifford
1981 Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa,
Jakarta: Pustaka Jaya.

Heins, Marleen
2004 Karaton Surakarta, Jakarta: Yayasan Pawiyatan
Kebudayaan Karaton Surakarta.

Karno, R.M.
Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinoehoen Sri
Soesoehoenan Pakoeboewono Ke-X 1893-1939.

Kartodirdjo, Sartono, dkk.


1987 Perkembangan Peradaban Priyayi, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

Koentjaraningrat
1984 Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka.
90

Santosa, Revianto Budi


2000 Omah, Membaca Makna Rumah Jawa, Yogyakarta:
Bentang.

Soeratman, Darsiti
1989 ‘Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939’,
Laporan Disertasi, UGM.

Soewito
Rekayasa Perancangan Pembangunan Kembali
Keraton Surakarta.

Suyami
2001 Serat Cariyos Dewi Sri dalam Perbandingan,
Yogyakarta: Kepel Press.
BAGIAN 5

MEMBANGUN KONSEP RUANG


ARSITEKTUR : ANTARA YANG
SAKRAL DAN PROFAN DALAM
TRADISI KHAUL SUNAN KUDUS

5.1 Pendahuluan
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup, hewan dan
manusia diberi kemampuan untuk dapat menciptakan
ruang; yang membedakan antara keduanya adalah hewan
akan menggunakan naluri yang diwarisi secara genetika,
sedangkan manusia menggunakan pengetahuan
kulturalnya yang diperoleh dari pengalaman dan proses
belajar. Amos Rapoport, menerangkan, hewan memiliki
kemampuan untuk dapat membedakan ruang, yang
menunjukkan kepada si pemakai bahwa mereka lebih
berada di sini daripada di sana. Di kalangan hewan,
tempat-tempat diketahui dan ditandai; termasuk
lingkungan rumah, kawasan inti, daerah kekuasaan, dan
tempat bersarang, tempat mendapatkan makanan, dan
tempat bercumbu (dalam Snyder, 1984:5). Perilaku hewan
yang begitu rumit dalam menciptakan, membedakan dan

91
92

mempertahankan ruangnya, tentulah belum seberapa bila


dibandingkan dengan manusia.
Pada awalnya manusia bersikap dan bertindak
atas dorongan naluri untuk memenuhi kebutuhan
biologisnya. Dalam proses kehidupan selanjutnya,
manusia bersikap dan bertindak dengan berpedoman
pada kulturnya. Kultur yang di dalamnya terkandung
nilai-nilai, norma-norma, dan keyakinan-keyakinan
digunakan oleh manusia untuk memahami gejala-gejala
yang ada dalam lingkungannya, kemudian memilah-
milahnya atau mengelompokkan dalam kategori-kategori
baik dan buruk untuk merencanakan langkah-langkah
dan memilih sikap atau tindakan sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya. Manusia dalam bersikap
dan bertindak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
menggunakan pengetahuan kulturalnya yang diperoleh
dari pengalaman dan proses belajar. Manusia
menggunakan pengetahuan kulturalnya secara selektif,
yang ia rasakan sebagai yang paling cocok atau yang
terbaik untuk mendorong terwujudnya interpretasi-
interpretasi yang penuh makna dari dan mengenai situasi-
situasi dan gejala-gejala yang ia hadapi dan untuk
menuntun tindakan-tindakan di dalam lingkungan
hidupnya, melalui pranata-pranata dan adat-istiadat yang
berlaku. Tindakan-tindakan tersebut dapat dilihat sebagai
dorongan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup
sebagai manusia maupun sebagai tanggapan-tanggapan
atas rangsangan-rangsangan atau stimuli yang berasal
dari lingkungan tersebut.
93

Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia dalam


hidup bermasyarakat selalu dilakukan di dalam dan
melalui pranata-pranata yang ada dan berlaku dalam
masyarakat tersebut. Masing-masing pranata, yaitu suatu
system hubungan antar norma-norma dan peranan-
peranan, menyajikan pedoman-pedoman dan wadah-
wadah untuk bertindak sesuai dengan masing-masing
kebutuhan yang akan dipenuhi oleh para warga
masyarakat yang bersangkutan dengan mengacu pada
kultur yang dipunyai oleh masyarakat tersebut. Usaha-
usaha pemenuhan kebutuhan manusia, yang dilakukan
oleh para warga masyarakat tidak selamanya, dalam
pelaksanaannya, seragam atau tanpa variasi-variasi.
Pengecualian-pengecualian atau penyimpangan-
penyimpangan secara individu dari pedoman yang berlaku
umum sesuai dengan tradisi-tradisi yang berlaku
setempat selalu terjadi. Hal ini disebabkan oleh variasi-
variasi dalam hal pengetahuan cultural yang dipunyai
masing-masing individu. Karena setiap kegiatan
pemenuhan kebutuhan itu selalu memerlukan ruang
untuk melakukan kegiatan-kegiatan tersebut, maka setiap
kegiatan pemenuhan kebutuhan juga selalu dilakukan
dalam ruang-ruang yang telah diklasifikasi dan diseleksi
untuk kegiatan-kegiatan yang bersangkutan; itulah yang
dinamakan ruang arsitektur (Suparlan, 1991). Dan ruang
arsitektur, bagi manusia, akan lebih memiliki kegunaan,
sebagai tempat melakukan kegiatan-kegiatan dalam
rangka memenuhi kebutuhan dan mempertahankan
hidupnya, sebagai pernyataan kekuasaan, status atau hal-
hal yang bersifat pribadi, menampilkan dan mendukung
94

keyakinan kosmologis, menyampaikan pesan, membantu


menetapkan identitas pribadi atau kelompok serta
mengkiaskan sistem-sistem nilai melalui proses interaksi
antar individu atau kelompok yang terjadi di dalam ruang
(lihat Suptandar, 1999:43-44).
Karena lingkungan hidup tempat manusia itu
hidup, secara parsial maupun secara keseluruhan, secara
lambat atau cepat, selalu dalam keadaan berubah sesuai
dengan proses-proses alamiah maupun social yang
berlaku, maka ruang arsitektur juga tidak ajeg, tetapi
terus menerus diatur, ditata dan diolah oleh manusia
untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan
lingkungan hidupnya, terutama dalam kaitannya dengan
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan bagi kehidupannya
yang sumber-sumber dayanya berada di dalam lingkungan
hidup tersebut.
Tulisan ini lebih bersifat eksplorasi untuk mencoba
membangun konsepsi tentang ruang arsitektur, melalui
pendekatan antropologi. Kasus kajian yang saya ambil
adalah peristiwa tradisi ritual khaul Sunan Kudus. Uraian
akan mencakup pembahasan mengenai : (1) seputar
pemikiran tentang ruang dan arsitektur; (2) tradisi khaul
Sunan Kudus; dan (3) kesimpulan.

5.2 Seputar Pemikiran tentang Ruang dan Arsitektur


Bagi orang Jawa, ruang, demikian dijelaskan Gunawan
Tjahjono, dikonsepsikan sebagai tempat. Kata tempat
dalam bahasa Jawa dinamakan ‘nggon’. Hal ini
menunjukkan posisi seseorang, dari mana dan mau
kemana tujuannya. Dengan demikian posisi seseorang di
95

dunia bersifat relatif terhadap orang lain. Jadi, bagi orang


Jawa, tempat dalam pengertian praktis dan operasional
dirasakan lebih konkret daripada ruang (Tjahjono,
1989:72-73).

Louis Isadore Kahn (1901-1974) pernah berkata


seperti dikutip Cornelis van de Ven dalam Ruang Dalam
Arsitektur, yang intinya bahwa ruang yang diciptakan
dengan cara yang benar-benar direncanakan dan
dipikirkan itulah arsitektur (van de Ven, 1991:xiii). Senada
dengan ini, Budi A. Sukada, menyatakan, ruang yang
digubah itulah arsitektur (dalam Masinambow, 2001:104).
Ruang lingkup konsepsi tentang ruang dan
arsitektur sangat bervariasi, dan setiap interpretasi yang
dimunculkan akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang
pemikiran seseorang mengenai dunia di sekitarnya dan
pengalaman-pengalaman yang dilaluinya.
Terdapat perbedaan cara berpikir Timur dan Barat
tentang ruang. Cara pandang Timur menganggap esensi
ruang adalah unsur-unsur yang tidak teraba. Lao Tzu,
seorang pertapa Cina yang lahir kira-kira tahun 640 S.M,
seperti dikutip oleh Yoshinobu Ashihara dalam Merancang
Ruang Luar (1983:2), mengatakan :

‘meskipun tanah liat dapat dibentuk


menjadi sebuah jambangan, tetapi arti
sesungguhnya dari jambangan tersebut
adalah kekosongan yang terkandung di
dalam bentuk jambangan itu sendiri’
96

Dia menyatukan antara being (yang ada) dan non


being (yang tidak ada) ke dalam satu konsep yang terus
bergema dalam seluruh perkembangan peradaban
manusia. Penyatuan dari dua kondisi yang berlawanan,
being dan non being, masih tetap menjadi struktur penting
dalam estetika kontemporer yang berkaitan dengan ruang.
Pandangan Lao Tzu tentang penyatuan being dan non
being, pada umumnya, masih dialami, terutama, oleh
masyarakat tradisional di beberapa belahan dunia. Alam
inderawi bagi mereka merupakan ungkapan alam ghaib.
Kosmos, termasuk kehidupan, benda-benda dan
peristiwa-peristiwa di dunia, merupakan suatu kesatuan
yang terkoordinasi dan teratur, suatu kesatuan eksistensi
dimana setiap gejala, material dan spiritual, mempunyai
arti yang jauh melebihi apa yang nampak.
Adanya ruang sakral (suci) dan ruang profan (tidak
suci) pada kehidupan manusia pada hakekatnya adalah
turunan dari penggolongan mengenai segala sesuatu baik
yang bersifat nyata – ‘yang ada’ maupun ideal – ‘yang tidak
ada’ mengenai apa yang difikirkan manusia ke dalam dua
golongan yang saling bertentangan, yang umumnya,
ditandai oleh dua istilah : sakral dan profan. Ruang sakral
berhubungan dengan kepercayaan mite, dogma dan
legenda yang menjadi representasi hakekat hal-hal yang
sakral; ia memiliki makna dan symbol surgawi, untuk
mempertentangkan ruang profan yang memiliki makna
dan symbol duniawi (lihat Durkheim dalam Robertson,
1993:38-39).
Cara pandang Barat justru sebaliknya, yang
terpenting dari ruang adalah unsur-unsur yang teraba.
97

Aristoteles, seorang realis Yunani yang lahir kira-kira dua


ratus tahun sesudah Lao Tzu, seperti dikutip oleh van de
Ven dalam Ruang Dalam Arsitektur (1991:18-19) telah
merangkum karakteristik hakiki dari ruang menjadi lima
butir, yang kemudian dikenal dengan teori tempat (topos) :

Tempat melingkungi obyek yang ada


padanya
Tempat bukan bagian dari yang
dilingkunginya
Tempat dari suatu obyek tidak lebih besar
dan tidak lebih kecil dari obyek tersebut
Tempat dapat ditinggalkan oleh obyek serta
dapat dipisahkan pula dari obyek itu
Tempat selalu mengikuti obyek, meskipun
obyek terus berpindah sampai berhenti
pada posisinya

Aristoteles lebih menekankan adanya prinsip-


prinsip pertama dari alam (the first principles of nature); ia
memandang pengetahuan sebagai hubungan timbal balik
antara subyek dan obyek, dengan berbagai implikasinya.
Laszlo Moholy-Nagy, seorang seniman kreatif dari
gerakan Fungsionalis Modern, teman kerja Walter Gropius
di Bauhaus dengan tegas mendefinisikan konsep ruang
sebagai hukum fisik : Ruang adalah hubungan di antara
posisi wadaq-wadaq. Hukum ini menunjukkan bahwa
ruang hanya dapat dialami sebagai suatu sintesa dari
indera manusia : penglihatan, rabaan, pendengaran,
gerakan dan penciuman.
98

Setelah Perang Dunia Kedua, Le Corbusier, seorang


arsitek Perancis, mempresentasikan studi-studi mengenai
rasio-rasio harmonis yang merupakan penerapan dari
Golden Section yang diturunkan dari tubuh manusia ideal,
dan dikenal luas sebagai Modulor. Suatu konsep ruang
yang dinyatakan secara eksplisit terkait dengannya (lihat
van de Ven, 1991: 226-228):

‘memiliki ruang merupakan gerak isyarat


pertama dari makhluk hidup, manusia
maupun binatang, tetumbuhan maupun
awan gemawan; suatu manifestasi
fundamental dari keseimbangan dan durasi.
Menduduki suatu ruang merupakan bukti
pertama dari keberadaan. Arsitektur,
skulptur, dan lukisan secara khusus
tergantung pada ruang, terikat pada
kepentingan untuk mengontrol ruang,
masing-masing dengan caranya sendiri’

Pada awal gerakan-gerakan modern dalam


arsitektur, Le Corbusier merasa bahwa geometri – ilmu
pengetahuan tentang ruang – tidak membutuhkan lebih
dari tiga dimensi. Dengan bantuan rasio-rasio harmonis,
geometri dapat mengubah komposisi-komposisi plastis
menjadi ‘ruang yang tak terlukiskan’ – l Espace Indicible –
apa yang oleh penganut aliran lukisan Kubisme di Eropa
disebut sebagai dimensi keempat.
Sejak menjelang tahun 1970-an, lahirlah
pemahaman-pemahaman tentang konsepsi ruang yang
99

melibatkan dimensi kultural. Amos Rapoport dalam


Human Aspects of Urban Form, menjelaskan, ruang tidak
sekedar berurusan dengan ruang fisik tiga dimensional,
sebab pada waktu dan konteks yang berbeda, seseorang,
sebenarnya sedang berurusan dengan macam ruang yang
berbeda. Orang-orang dari kultur yang berlainan akan
berbeda di dalam bagaimana mereka membagi-bagi dunia
mereka, memberikan nilai kepada bagian-bagiannya, dan
mengukurnya. Ruang adalah penjabaran dari dunia
sekitar kita dalam tiga dimensi, yaitu penjabaran interval-
interval, hubungan-hubungan dan jarak-jarak antara
manusia dan manusia, manusia dan benda, benda dan
benda. Rapoport menambahkan, sesungguhnya
perencanaan dan perancangan pada semua skala, mulai
dari wilayah yang sangat luas sampai pengaturan perabot
rumah, dapat dianggap sebagai pengaturan ruang untuk
berbagai kegunaan, menurut ketentuan yang
mencerminkan kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai, dan
hasrat-hasrat kelompok atau pribadi yang melakukan
pengaturan tersebut. Pengaturan ruang itu sendiri
mengekspresikan makna dan mempunyai sifat-sifat
komunikatif (Rapoport, 1977:9-34; lihat pula dalam
Snyder, 1984:16-23).
Edward T. Hall, seorang antropolog, memandang
ruang sebagai bagian dari lingkungan kultural, dan
dengan pendekatan proxemic – melihat ruang sebagai
media hubungan antar manusia – membagi ruang menjadi
tiga macam, yaitu : fixed-feature, semi fixed-feature, dan
informal. Ruang fixed-feature adalah ruang yang jelas
fungsinya, karena setiap ruang jelas kegunaannya untuk
100

apa dan tindakan-tindakan pelaku berpola sesuai dengan


kebutuhan dan tata ruangnya. Ruang semi fixed-feature
adalah ruang yang mempunyai fungsi kegunaan lebih dari
satu kegiatan pemenuhan kebutuhan. Dan ruang informal
adalah ruang tempat kegiatan-kegiatan individu
dilakukan, yang batas-batasnya bisa tidak dapat dilihat
atau diraba, tetapi ada dalam konsep kulturnya (Hall,
1969:101-111).
Istilah arsitektur yang paling awal dikemukakan
oleh Marcus Vitruvius Pollio (46 – 30 SM) dalam De
Archittetura, yang diterbitkan pertama kali pada tahun
1414. Dalam De Archittetura, Vitruvius tidak memberikan
definisi tentang arsitektur, melainkan dia membedakan
mana bangunan yang menjadi jatah arsitek mana yang
bukan, dan mensintesakan tiga unsure dan sekaligus
menjadi syarat dalam arsitektur, yaitu : Firmitas
(kekuatan – struktur), Utilitas (kegunaan – fungsi), dan
Venustas (seni – keindahan). Ketiga syarat ini sama
pentingnya, yang satu tidak lebih penting dari yang lain.
Namun perlu diberi catatan bahwa unsure Venustas atau
keindahan merupakan syarat yang paling sulit diukur dan
didefinisikan. Dan karena adanya syarat keindahan ini,
sejak beberapa abad di Eropa, arsitektur dikelompokkan
dalam Fine Arts (seni rupa) bersama-sama dengan seni
lukis dan seni pahat (patung).
Berkaitan dengan pertanyaan apa itu arsitektur,
Walter Gropius, arsitek dari gerakan modern, pendiri
Bauhaus, dalam banyak tulisannya terlihat bagaimana dia
terus-menerus mengemukakan beberapa hal yang sama,
101

yang dipegangnya erat-erat (lihat Sukada dalam


Budihardjo, 1987:161-170). Yaitu bahwa :

‘arsitektur itu bukan sekedar kebutuhan


praktis saja melainkan spiritual, dan bahwa
hal itu hanya akan tercapai apabila
arsitektur dilihat sebagai totalitas-totalitas
dari seniman, pemahat, dan pelukis; dari
pencipta artistic, perancang teknik, dan
konstruktor; dari jiwa dan raga, dari akal
dan rasa, serta ketrampilan tangan; dari
estetika dan mekanisasi; dan totalitas dari
subyektifitas dan obyektifitas’

Gropius menambahkan bahwa arsitektur


merupakan suatu ekspresi paling tinggi dari alam pikiran
seseorang : semangatnya, kemanusiannya, kesetiaannya,
dan keyakinannya.
Arsitektur modern sering diasosiasikan dengan
konsep fungsionalisme. Bangunan dan ruang-ruang
arsitektur harus diperhitungkan secara ekonomis dan
efisien. Kemudian hal ini diikuti dengan slogan-slogan dari
para arsitek pendukung gerakan modern. Seperti Form
Follows Function, oleh Louis Sullivan, tokoh Chicago
School; A house is a machine to live in, oleh Le Corbusier,
tokoh arsitek Perancis; Less is More, oleh Mies van der
Rohe, tokoh arsitek teman kerja Walter Gropius dan
pernah menjadi direktur Bauhaus.
Pada kenyataannya, arsitektur modern dengan
universalisme gaya internasionalnya telah menciptakan
102

‘ke-monoton-an’ di banyak negara. Dan pada akhirnya


aliran internasional dianggap ‘mati’ sejak tahun 1960-an.
Sebab setiap negara memiliki sejarah nasional, kultur dan
potensi alam sendiri yang jelas berbeda antara satu
dengan lainnya, yang menjadi landasan berkembang
arsitekturnya. Kemudian menjelang tahun 1970-an,
lahirlah wajah baru gerakan Post-Modern di bidang
arsitektur sebagai reaksi atas dogmatis arsitektur modern
– yang sering hanya dikaitkan dengan serangkaian
ungkapan arsitektural yang dingin dalam pengolahan
tampak, dinding putih, geometric murni, skala yang
memprioritaskan mesin-mesin, dan sedikit memberi ruang
intim untuk kegiatan social bersama. Para arsitek dan
teoritisi mulai menelaah kemungkinan aspek-aspek sosio-
kultural dimasukkan ke dalam gagasan-gagasan
arsitektur.

5.3 Tradisi Khaul Sunan Kudus


Ritual khaul bagi orang-orang yang dihormati yang telah
meninggal dunia, seperti para wali, ulama, dan tokoh yang
dihormati dan dianggap berjasa, seperti pendiri kampung,
dukuh, atau desa, di kalangan orang-orang Islam Jawa
sudah menjadi kegiatan rutin yang setiap tahun harus
diselenggarkan. Ritual khaul sebagai tradisi keagamaan
biasanya diselenggarakan untuk mengenang peranan
seorang tokoh guna mengambil ibrah atau pelajaran dari
cerita ketokohannya di masa lalu untuk sebuah
kehidupan pada masa sekarang dan yang akan datang.
Di kalangan masyarakat Kudus Kulon, seperti
sudah diatur oleh para ulama dan sesepuh masyarakat,
103

bahwa pelaksanaan ritual khaul Sunan Kudus atau biasa


dipanggil dengan mbah Sunan jatuh setiap tanggal 10
Muharram tahun Hijriyah, atau 10 Suro tahun Jawa.
Puncak acara tradisi khaul adalah upacara
penggantian luwur atau kain mori yang digunakan untuk
menutup makam Sunan Kudus. Acara yang dilaksanakan
setiap tanggal 10 Muharram itu sebenarnya adalah acara
pemasangan luwur yang baru. Meskipun acara ini dikenal
pula dengan tradisi buka luwur makam Sunan Kudus,
namun acara membuka (buka) luwur makam Sunan
Kudus dilakukan pada tanggal 1 Muharram. Pelaksanaan
ritual tradisi buka luwur makam Sunan Kudus, tidak
hanya berarti mengganti luwur yang lama dengan luwur
yang baru, namun lebih dari itu, ritual ini memiliki nilai
keagamaan yang agung, yaitu memperbaharui kosmos
setiap tahun. Artinya dengan acara buka luwur atau khaul
Sunan Kudus, masyarakat Kudus Kulon memperbaharui
nilai kesucian sang tokoh, sesuai dengan kesucian aslinya
saat pertama kali pentahbisan. Sehingga diharapkan
keteraturan yang selama ini tercipta akan terus langgeng.
Hal ini sejalan dengan pandangan Eliade (2002). Dia
mengemukakan bahwa manusia religius mengalami dua
jenis waktu, yaitu profan dan sakral. Yang satu adalah
durasi yang berlangsung sebentar, yang lain merupakan
‘suksesi keabadian’, yang secara periodik dapat
diperbaharui dalam perayaan yang telah membentuk
kalender sakral.
Menurut penuturan bapak KH. Muhammad Najib
Hasan, ketua Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan
Kudus, orang-orang yang terlibat (panitia dan rewang)
104

dalam kegiatan ritual buka luwur Sunan Kudus,


berjumlah tidak kurang dari 1.000 orang. Sedangkan
orang-orang yang menikmati makanan berkat berjumlah
sekitar 20.000 orang. Hampir semua materi dalam
kegiatan ritual buka luwur Sunan kudus merupakan
sumbangan dari masyarakat, seperti dalam pelaksanaan
acara ritual khaul yang lalu (tahun 2001) : kain mori
sumbangan masyarakat untuk luwur yang baru 478 meter
dan 10 pis, dan kelambu sepanjang 20 meter; sumbangan
berupa uang sebesar Rp. 4.498.500,00; beras sebanyak
6.978,5 kg; gula sebanyak 159 kg; kerbau sebanyak 6
ekor; dan kambing sebanyak 61 ekor.
Acara tradisi buka luwur makam mbah Sunan
dimulai pada tanggal 1 Muharram. Pada pagi hari sekitar
jam 07.00 wib, dipimpin oleh kyai Khoiru Zyad, beberapa
orang anggota panitia yang sudah menunggu di bangunan
Tajug, bersama-sama menuju cungkup makam mbah
Sunan. Kyai Khoiru Zyad didampingi beberapa orang
membaca tahlil dan doa di dalam krobongan, sebuah
ruangan tempat nisan mbah Sunan berada yang sehari-
harinya tertutup, sedangkan lainnya di luar (masih di
dalam bangunan cungkup). Kemudian Kyai dan orang-
orang yang di dalam melepas kain luwur di bagian dalam
krobongan dan diikuti oleh yang berada diluar melepas
kain luwur bagian luar. Kain luwur ini nantinya dipotong
kecil-kecil, seukuran kira-kira 1 m2, untuk dibagi-bagikan
kepada para undangan saat ritual tanggal 10 Muharram
dan kepada warga Kauman. Mulai tanggal 1 – 9
Muharram, bertempat di bangunan Tajug, dilakukan
kegiatan pengumpulan sumbangan dari masyarakat.
105
Kompleks Masjid Menara Kudus

Tempat pembagian Awal antrean Awal antrean


nasi berkat wanita pria

Gambar 5.1. Diagram sirkulasi pembagian nasi berkat


(Sketsa Penulis)

Gambar 5.2. Luwur baru sedang dirajut (Dokumentasi Penulis)


106

Gambar 5.3. Antrean kaum pria di gang sempit Kauman


(https://seputarkudus.com, akses 2 Juli 2017)

Gambar 5.3. Antrean kaum wanita di Jalan Menara


(https://seputarkudus.com, akses 2 Juli 2017)
107

Pada tanggal 7 – 9 Muharram dilakukan


pemasangan luwur yang baru, yang sudah selesai dijahit,
pada bagian luar dan dinding bagian dalam krobongan,
yang disisakan adalah kelambu dan kain yang menutupi
nisan mbah Sunan. Pada tanggal 8 Muharram, ba’da
shalat isya’ diadakan terbang papat dan doa rosul. Pada
tanggal 9 Muharram, pagi hari, di halaman parkir
kompleks makam dilakukan penyembelihan hewan,
kerbau dan kambing; di pawestren masjid, para ibu
membuat bubur Syuro dan langsung dibagikan kepada
warga Kauman dan sekitarnya; di tempat bangunan
serbaguna milik Yayasan Masjid Menara dan Makam
Sunan Kudus, kegiatan masak memasak sudah dimulai;
pada malam hari, ba’da shalat isya’, di bangunan Tajug
diadakan berzanji khusus laki-laki, sedangkan berzanji
khusus perempuan di pawestren masjid. Setelah kegiatan
berzanji selesai, dilanjutkan dengan kegiatan pengajian
umum yang bertempat di serambi masjid. Lepas tengah
malam, orang-orang dari berbagai daerah di sekitar
Kudus, yang sudah dating sejak siang hari mulai
mengambil posisi antrean untuk pengambilan makanan
berkat. Pada tanggal 10 Muharram, pagi hari, ada dua
kegiatan yang bersamaan waktunya, yaitu jam 06.00 wib,
pembagian makanan berkat sudah dimulai, dimana
pembagiannya didasarkan pada urutan antrean. Rute
antrean panjang, sekitar 20.000 orang, dimulai dari
perempatan jalan – Menara – Sunan Kudus – Kyai Te Ling
Sing – menuju areal kompleks masjid Menara dan makam
Sunan kudus, melalui gang-gang sempit di kampung
Kauman terus menuju ujung gang yang bertemu dengan
108

jalan raya Sunan Kudus; antara sirkulasi kaum


perempuan dan laki-laki dipisah. Sedangkan, bertempat di
bangunan Tajug, pada jam 07.00 wib, dimulai ritual
pemasangan luwur, yaitu kelambu dan kain pelindung
nisan mbah Sunan. Acara ini dihadiri oleh para
undangan, yang terdiri atas para pejabat pemerintah
(pemda), sesepuh masyarakat, ulama, dan warga Kauman
yang tidak terlibat dalam kepanitiaan; kurang lebih
jumlah undangan 250 orang. Prosesi ritual dimulai
dengan pembukaan oleh panitia, dilanjutkan pembacaan
ayat suci Al-Qur’an, sambutan Bupati, pembacaan tahlil
yang diakhiri dengan doa, kemudian dipimpin oleh kyai
Khoiru Zyad, beberapa orang yang hadir ikut menuju
cungkup mbah Sunan. Tidak semua yang hadir ikut
bersama robongan Kyai, terutama para pejabat pemda,
sebab hingga sekarang terdapat anggapan bahwa
seseorang yang memiliki jabatan, jika dia masuk ke
bangunan cungkup Sunan Kudus, maka tidak lama dia
akan kehilangan jabatannya. Setelah membaca tahlil dan
doa, kyai dan orang-orang yang menyertainya masuk ke
dalam krobongan memasang kelambu dan kain penutup
nisan mbah Sunan. Selesai sudah seluruh kegiatan ritual
khaul mbah Sunan. Setelah itu, makam yang sejak jam
02.00 wib ditutup, sekarang dibuka kembali. Perlu diingat
bahwa meskipun ada kegiatan ritual khaul, setiap harinya,
makam tetap terbuka untuk umum.
Semua aktifitas yang dilakukan dalam rangka
acara pelaksanaan khaul mbah Sunan, dari tanggal 1 – 10
Muharram, adalah merupakan sebuah proses menuju
kepada keabadian, suatu proses pentahbisan kembali
109

Ja’far Shadiq sebagai Sunan Kudus, yang berpuncak pada


prosesi ritual pemasangan kelambu dan kain penutup
baru pada nisan mbah Sunan. Sehingga aktifitas-aktifitas
yang terjadi selama kurang lebih sepuluh hari itu juga
mengalami proses perubahan menuju kepada peningkatan
kualitas kesakralan. Dan hal ini berlaku pula pada ruang-
ruang yang digunakan sebagai wadah kegiatan atau
aktifitas-aktifitas itu, yaitu menjadi ruang sakral, yang
tentu saja masing-masing ruang memiliki derajat kualitas
kesakralan yang tidak sama, seperti ruang-ruang untuk
aktifitas penyerahan sumbangan, terbang papat,
penyembelihan hewan, masak-memasak, pembuatan
bubur Syuro, pembacaan berzanji, pengajian umum, tahlil
dan doa, dan penggantian luwur makam mbah Sunan;
termasuk jalan-jalan dan gang-gang yang digunakan
untuk antrean orang-orang yang ingin mendapatkan
makanan berkat, meningkat menjadi ruang sakral.
Sebuah dunia yang sakral telah dihadirkan
kembali – keteraturan telah diciptakan kembali. Orang-
orang yang terlibat dalam ritual khaul mbah Sunan
mengalami interval waktu sakral yang tidak menjadi
bagian dalam durasi temporal, yang memiliki perbedaan
struktur dan asal usul secara keseluruhan, karena ia
adalah waktu lampau yang tersucikan oleh ketokohan dan
kesucian Sunan Kudus dan mampu hadir kembali melalui
perayaan ritual khaul ini (lihat Eliade, 2002). Tidak bisa
bersatunya antara yang sakral dan yang profan juga
dikemukakan oleh Emile Durkheim. Dia menyatakan
bahwa yang sakral adalah par-excelence dari yang profan,
tidak boleh dan tidak bisa menyentuhnya dalam keadaan
110

tak suci. Apabila yang profan dapat memasuki dunia yang


sakral, maka yang sakral tadi akan kehilangan arti (dalam
Robertson, 1993: 40). Namun saya kurang sependapat bila
Durkheim menganggap seolah-olah sulit terjadi
perubahan status dari sakral kepada profan atau
sebaliknya. Dia menyatakan, kedua golongan itu bahkan
tidak bisa saling mendekati dan pada saat yang sama
mempertahankan sifat-sifat dasarnya. Bahkan, menurut
saya, perubahan derajat kesakralan sesuatu benda mati,
hewan, manusia, ruang, ataupun waktu bisa terjadi kapan
saja tergantung pada kebutuhan manusia itu sendiri, dan
bagaimana dia menilai dan menyikapi relitas
kehidupannya. Apalagi bila terdapat seseorang atau
sekelompok orang yang memiliki otoritas yang kuat dalam
kelompok masyarakat itu; dia atau mereka lah yang akan
ikut menentukan adanya peningkatan atau penurunan
derajat kesakralan. Dan dalam masyarakat Kudus Kulon,
para kyai lah yang memiliki otoritas itu.
Saya mencoba menilik ke belakang sebentar, sejak
menjelang tahun 1918, para kyai bersama santrinya dan
pedagang atau pengusaha muslim berusaha untuk tidak
mengakui mereka berada di bawah kekuasaan pemerintah
Kolonial Belanda dan dominasi ekonomi para pedagang
atau pengusaha keturunan Cina. Meskipun, realitasnya,
terutama sejak perang kemerdekaan hingga sekarang
dominasi ekonomi keturunan Cina belum tergoyahkan.
Peran para kyai sangat dominan dalam praktek-praktek
kemandirian dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Kudus Kulon; mereka menganjurkan kepada umatnya
111

agar tidak terlalu bergantung pada penguasa dan


pedagang atau pengusaha keturunan Cina.
Adakalanya kita menemui sebuah simbol yang
nampaknya mengabadikan harapan dan aspirasi besar
dari seluruh masyarakat. Pentahbisan Ja’far Shadiq
sebagai Sunan Kudus adalah sebuah simbol yang sangat
menggugah rasa dan sebuah ilustrasi yang lebih jelas
antara hubungan mikrokosmos dan makrokosmos. Kita
ketahui bahwa pada masa-masa, terutama abad ke-18
hingga awal abad ke-20 M, para ulama dan santri dibantu
oleh segenap warga pribumi yang sebagian besar pedagang
muslim, terutama di kota-kota pesisir Utara Jawa,
termasuk di wilayah Kudus, ingin membebaskan diri dari
tekanan-tekanan kolonialisme Belanda dan dominasi
ekonomi keturunan Cina. Terjadinya peristiwa huru-hara
anti Cina di Kudus pada tahun 1918, menurut hemat saya
tidak terlepas dari munculnya ‘nasionalisme’ baru di
kalangan masyarakat muslim Kudus Kulon.
Simbol yang dilekatkan kepada Ja’far Shadiq oleh
masyarakat Kudus lebih mirip dengan simbol perawan
Guadalupe bagi orang-orang Mexico dalam rangka
pembebasan diri dari tekanan kolonialisme Spanyol,
seperti didiskusikan oleh Eric Wolf dalam The Virgin of
Guadalupe : A Mexican National Symbol (dalam Lessa,
1979:112-115). Ketika tidak ada tanda yang disakralkan
muncul, maka ia harus dihadirkan; itulah yang berlaku
pada simbol sakral Ja’far Shadiq. Berkaitan dengan ini,
Mircea Eliade menyatakan bahwa sebuah tanda
dibutuhkan untuk mengakhiri ketegangan dan kecemasan
yang disebabkan oleh relativitas dan disorientasi –
112

singkatnya, untuk menyingkapkan titik sandaran absolut


(Eliade, 2002:21). Untuk lebih memantapkan realitas
sakral, maka diselenggarakan ritual sebagai bukti
penghormatan kepada sang tokoh. Salah satu ritual yang
dapat dianggap sebagai ikatan utama antar orang dan
antar kelompok adalah ritual tradisi khaul Sunan Kudus,
yaitu memperingati hari kematian Ja’far Shadiq, yang
dijatuhkan pada tanggal 10 Muharram tahun Hijriyah.
Saya sangat sependapat dengan Swanson (dalam
Robertson, 1993) tentang kelompok yang memiliki otoritas
atau kedaulatan. Dia mengatakan, kita dapat berasumsi
bahwa sejauh suatu kelompok memiliki kedaulatan (istilah
saya : otoritas), maka nampaknya kelompok-kelompok itu
dapat menciptakan kondisi-kondisi yang dapat
mengembangkan konsep tentang mahkluk halus. Dalam
kasus ritual khaul mbah Sunan, kelompok yang memiliki
otoritas adalah para kyai; sehingga mereka bisa saja
mengembangkan konsep-konsep tentang ritual tahunan
itu. Ketika konsep berubah, berarti aktifitas-aktifitas yang
menyertai ritual juga mengalami perubahan, dan wadah
yang digunakan menampung aktifitas-aktifitas tersebut
juga berubah. Bisa saja terjadi, pada suatu perayaan
tradisi khaul mbah Sunan, suatu ruang tidak bisa
meningkat kualitasnya menjadi sakral karena ia tidak
terlibat dalam kegiatan acara ritus-ritus yang diadakan.
Atau sebaliknya, ruang yang pada keadaan sehari-hari
hanyalah ruang profan, ketika menjadi satu bagian dalam
kegiatan peringatan khaul maka ia meningkat kualitasnya
menjadi ruang sakral, misalnya jalan-jalan sempit yang
digunakan antrean orang-orang yang ‘memperebutkan’
113

makanan berkat. Saya juga sependapat dengan Max


Weber (dalam Robertson, 1993), bahwa sebagai keadaan
yang luar biasa, karakter dan penampilan luar dari agama
hanya bersifat sementara. Satu-satunya cara
membedakan kondisi ‘keagamaan’ (saya
mengidentifikasikan sebagai yang sakral) dan profan
adalah dengan menunjuk kepada karakter luar biasa dari
keadaan-keadaan keagamaan. Suatu keadaan khusus,
yang dicapai melalui sarana keagamaan, dapat
diusahakan untuk mencapai ‘keadaan suci’ yang meliputi
keseluruhan diri manusia dan konsepsi mengenai
nasibnya yang terakhir. Peralihan dari suatu perjalanan
ke arah keadaan suci yang permanen tidak jelas batas-
batasnya.
Tradisi khaul Sunan Kudus yang diselenggarakan
setiap tahun, yang belakangan ini semakin menunjukkan
peningkatan aktivitas adalah bertujuan untuk menjaga
atau memperbaharui ‘keteraturan’ yang ada selama ini.
Dilihat dari aspek ekonomi, tradisi khaul Sunan Kudus
sangat membantu orang-orang yang tergolong kurang
mampu untuk memperoleh tambahan penghasilan. Sebab
acara ini bisa dijadikan ajang interaksi ekonomi antar
masyarakat sekitar, yaitu para pedagang setempat dengan
orang-orang yang datang dari berbagai daerah di sekitar
Kudus. Sebagai peristiwa politik, tradisi khaul Sunan
Kudus bagi para kyai dan ulama, merupakan suatu upaya
penandasan kembali peranan mereka di dalam kehidupan
sosial dan keagamaan masyarakat Kudus Kulon. Gagasan
tradisi khaul Sunan Kudus akan terus berjalan seiring
dengan dua kecenderungan, yaitu kemerosotan ekonomi
114

masyarakat Kudus Kulon dan usaha terus-menerus untuk


meningkatkan peranan para kyai dan ulama dalam
kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat Kudus
Kulon. Tetapi dampak ekonomis itu bukanlah tujuan
utama dari pelaksanaan tradisi khaul Sunan Kudus,
melainkan terjaganya ‘keteraturan’ dan tetap
terpeliharanya otoritas tunggal para kiai dan ulama dalam
kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat Kudus
Kulon.

5.4 Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, saya mencoba menyusun konsepsi
tentang ruang arsitektur. Saya melihat, Ruang Arsitektur
sebagai suatu wadah yang terwujud dari gabungan antara
unsur-unsur fisik dan non fisik yang secara terus
menerus di tata dan diolah oleh pelaku – perseorangan
ataupun kelompok, yang memiliki hasrat, kepentingan,
dan kemampuan, yang didasarkan atas pengetahuan
kulturalnya, melalui pranata-pranata yang berlaku, dalam
rangka kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup. Unsur
fisik diwujudkan oleh bidang batas ruang yang lebih ketat
(dinding-dinding atau pembatas geometris tiga
dimensional), sementara unsur non fisik diwujudkan oleh
hal-hal yang lebih bersifat abstrak, meskipun tidak teraba,
ia bisa berfungsi sebagai pembatas dan pembentuk ruang.

Referensi
Ashihara, Yoshinobu
1983 Merancang Ruang Luar: Dian Surya.
115

Durkheim, Emile
1993 ‘Dasar-Dasar Sosial Agama’, dalam Robertson,
Agama : Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Eliade, Mircea
2002 Sakral dan Profan, Yogayakarta: Fajar Pustaka
Baru.
Mitos Gerak Kembali Yang Abadi, Yogyakarta: Ikon
Teralitera.

Hall, Edward T.
1969 The Hidden Dimension, New York: Doubleday.

Rapoport, Amos
1977 Human Aspects of Urban Form, Toronto: Pergamon
Press.
1984 ‘Asal Mula Budaya Arsitektur‘, dalam James C.
Snyder dan Anthony J Catanese, Pengantar
Arsitektur, Terjemahan, Jakarta: Erlangga.

Sukada, Budi A.
1987 ‘Mencari Jawaban Lewat Sejarah’, dalam
Budihardjo, Arsitek Bicara tentang Arsitektur
Indonesia, Bandung: Alumni.
2001 ‘Utak-Atik Semiotik Tektonik’, dalam Masinambow,
Semiotik Mengkaji Tanda dalam Artifak, Jakarta:
Balai Pustaka.

Suparlan, Parsudi
1991 ‘Kebudayaan dan Pembangunan‘, dalam Sudjangi,
Kajian Agama dan Masyarakat, Jakarta:
Departemen Agama RI Badan Penelitian dan
Pengembangan Agama.
116

Suptandar, J. Pamudji
1999 Disain Interior, Jakarta: Djambatan.

Swanson, G.E.
1993 ‘Pengalaman Supernatural’, dalam Robertson,
Agama : Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Tjahjono, Gunawan
1989 ‘Cosmos, Center, and Duality in Javanese
Architectural Tradition : The Symbolic Dimensions
of House Shapes in Kota Gede and Surroundings’,
Laporan Disertasi, University of California,
Berkeley.

van de Ven, Cornelis


1991 Ruang dalam Arsitektur, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

Weber, Max
1993 ‘Beberapa Pokok Mengenai Agama Dunia’, dalam
Robertson, Agama : Dalam Analisa dan Interpretasi
Sosiologis, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Wolf, Eric
1979 ‘The Virgin of Guadalupe : A Mexican National
Symbol’, dalam Lessa, Reader in Comparative
Religion, New York: Harper & Row.

Internet
http://seputarkudus.com/2014/01/nasi-jangkrik-simbol-
kesejahteraan-di.html
BAGIAN 6

MENARA KUDUS SEBAGAI


AXIS MUNDI : MENELUSURI
KOMUNITAS KUDUS KUNO

6.1 Pendahuluan
Di bagian Barat wilayah kota Kudus, Jawa Tengah,
terdapat kompleks masjid kuno dan makam keramat
seorang Wali, Sunan Kudus. Yang tampak menonjol di
antara bangunan-bangunan yang terdapat di dalam
kompleks adalah sebuah menara raksasa dari batu bata
merah yang bentuknya mirip bangunan candi; masyarakat
Kudus dan sekitarnya menamakannya Menara Kudus.
Satu hal yang menarik dan perlu mendapat perhatian
adalah bahwa Menara Kudus dijadikan nama dari
bangunan masjidnya : Masjid Menara Kudus. Berdasarkan
susunan kata ini, jelas bahwa bangunan masjid dijadikan
pelengkap bangunan Menara Kudus. Artinya bangunan
Menara Kudus lebih dipentingkan dari pada bangunan
masjidnya oleh masyarakat Kudus dan sekitarnya.
Mengapa demikian ? Dalam tulisan ini akan
memperlihatkan bahwa keberadaan bangunan Menara
Kudus lebih dahulu ketimbang bangunan masjidnya.

117
118

Sebagian besar sejarawan berpendapat bahwa


Masjid Menara Kudus didirikan pada tahun 956 H atau
1549 M oleh seseorang yang bernama Ja’far Shadiq.
Mereka pada umumnya mendasarkan pendapatnya pada
sebuah Inskripsi yang terdapat di atas mihrab atau
pengimaman masjid.
Di wilayah pesisir Utara Jawa Tengah terdapat
sebuah kota yang namanya berasal dari bahasa Arab yang
memiliki arti suci, yakni Kudus. Masyarakat kota ini sadar
betul bahwa wilayahnya terbagi menjadi dua oleh aliran
sungai Gelis : Kudus Kulon identik dengan kekunoan dan
Kudus Wetan identik dengan kemodernan. Di wilayah
Kudus Kulon terdapat kompleks masjid makam kuno
dengan sebuah menara batu raksasanya; masyarakat kota
Kudus dan sekitarnya menamakan Masjid Menara Kudus.
Bangunan Menara Kudus dengan keanggunan dan
keindahannya telah menjadi obyek perdebatan di
kalangan ilmuwan terutama berkaitan dengan
kedudukannya sebagai bangunan peribadatan; apakah
pada awalnya merupakan bangunan peribadatan orang-
orang sebelum Islam, dengan kata lain ia dibangun
sebelum orang-orang Islam datang di wilayah Kudus,
ataukah sejak berdirinya sudah menjadi simbol
peribadatan Islam, berarti ia dibangun oleh komunitas
muslim Kudus. Bagi mereka yang lebih condong pada
pendapat pertama, sebagian besar menganggap bahwa
bangunan Menara Kudus semula sebuah candi yang
kemudian berubah fungsi. Hal ini bisa dibandingkan
dengan bangunan candi di Jawa Timur. Bentuk bangunan
Menara Kudus sekilas memang mirip candi Jago di Jawa
119

Timur. Apabila dikaitkan dengan fungsinya sebagai tempat


untuk memanggil dan mengumpulkan orang, bangunan
ini bisa dibandingkan dengan bale Kul Kul di Bali.
Pendapat kedua didasarkan pada kenyataan sementara ini
bahwa orientasi bangunan Menara Kudus sama persis
dengan orientasi bangunan masjid. Dan beberapa
perbedaan mendasar antara Menara Kudus dan bangunan
candi terlihat jelas (lihat Ashadi, 2000:82-84). Tetapi
apakah benar bangunan batu besar itu didirikan oleh
komunitas Islam pertama di Kudus ? Saya menduga
bahwa Menara Kudus pada mulanya adalah bangunan
semacam tetenger yang dibangun oleh komunitas Budo di
wilayah yang sekarang dinamakan Kudus, dan kemudian
Ja’far Shadiq hanyalah memanfaatkan bangunan itu
untuk kepentingan dakwahnya.
Tujuan penulisan ini adalah menelusuri sejarah
keberadaan bangunan Menara Kudus dan komunitas awal
Kudus Kuno, dan kaitan antara keduanya. Penelusuran
keberadaan bangunan Menara dilakukan dengan cara
menafsirkan kata-kata yang tertulis pada Inskripsi
bersejarah yang terdapat di atas pengimaman masjid,
sementara dalam penelusuran keberadaan komunitas
Kudus Kuno, saya melakukan kegiatan identifikasi
terhadap beberapa komunitas di wilayah Kudus dan
sekitarnya. Pengamatan perilaku dan beberapa wawancara
terhadap sebagian orang yang dianggap berkompeten juga
dilakukan. Data-data yang diolah dalam penulisan ini
merupakan data sampingan yang diperoleh pada waktu
pelaksanaan kegiatan penelitian lapangan dalam rangka
penyelesaian Laporan Tesis (2004).
120

6.2 Inskripsi Bersejarah


Data autentik yang masih bisa digunakan sebagai
sandaran sejarah bangunan Menara Kudus yakni sebuah
Inskripsi yang terdapat di atas pengimaman masjid.
Walaupun secara tersurat tidak disebutkan namanya,
tetapi kata-kata yang terungkap di dalam inskripsi dapat
didiskusikan lebih lanjut dalam upaya menemukan
identitasnya. Inskripsi yang berbahasa Arab dengan
susunan hurufnya yang sudah tidak jelas, kurang lebih
bunyinya sebagai berikut :

“Bismillaahirrahmaanirrahiim. Aqaama bina-


al masjid al Aqsha wal balad al Quds
khaliifatu haadzad dahr habru (aali)
Muhammad, yasytari (?) izzan fii jannah
alkhuldi ……qurban min arrahman bibalad
al Quds (?) ansya-a haadzal masjid al Manar
(?) almusammaa bil aqsha khaliifatullahi fil
ardli ……al-‘ulyaa wal mujtahid as-sayyid al
‘arif al Kamil al Fadlil al Maqsus bi-‘ inaayati
……al Qaadlii Ja’far ash-Shadiq ……sanah
sittin wa khomsiina wa tis’im mi’atin minal
hijrah annabawiyyah wa sallallaahu ‘alaa
sayyidinaa Muhammadin wa ashhaabihii
ajma’iin”

yang artinya kurang lebih :

“Dengan nama Allaah Yang Maha Pengasih


dan Penyayang. Telah mendirikan masjid Al
121

Aqsha dan negeri Al Quds ini Khalifah pada


jaman ulama dari keturunan Muhammad
untuk membeli kemuliaan sorga yang kekal
……untuk mendekatkan diri kepada Yang
Maha Pengasih di negeri Al Quds (?)
membina masjid Al Manar (?) yang
dinamakan Al Aqsha khalifah Allaah di
bumi ini …… yang agung dan mujtahid
tuan yang arif sempurna utama khusus
dengan pemeliharaan …… penghulu Ja’far
ash-Shadiq …… pada sembilan ratus
limapuluh enam dari hijrahnya Nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya
semua”

Di dalam Inskripsi terdapat nama-nama seperti Al-


Aqsha, Al-Manar, Al-Quds, dan Ja’far Shadiq dan
disebutkan pula angka tahun 956 Hijriyah, yang satu
sama lain sangat berkaitan. Kita mencoba menafsirkan
makna dan maksud dari kata-kata ini. Kata Al-Aqsha dan
Al-Manar adalah nama masjid; Al-Quds adalah nama
wilayah atau negeri dimana bangunan masjid berada;
Ja’far Shadiq adalah pendiri masjid dan sekaligus
pembangun negeri atau wilayah; dan tahun 956 H atau
bertepatan dengan tahun 1549 M adalah tahun berdirinya
masjid. Ada tiga nama dalam bahasa Arab yang perlu
dikaji, yaitu Al-Aqsha, Al-Manar dan Al-Quds.
122

6.3 Tafsiran Al-Aqsha, Al-Manar dan Al-Quds


Penggunaan kata Al-Aqsha untuk nama masjid
mengingatkan kita pada bangunan masjid bersejarah bagi
umat Islam sedunia yang terdapat di Baitul Maqdis,
Palestina; masjid dimana pernah Nabi Muhammad SAW
melakukan Isra’ dan melakukan shalat berjamaah dengan
para Nabi lainnya. Masjid yang merupakan peninggalan
Nabi Sulaiman AS dahulu pernah menjadi arah Kiblat bagi
orang-orang Islam dalam melakukan shalat sebelum
kemudian dipindahkan ke arah Kabah di Masjidil Haram,
Mekah, Arab Saudi. Mengapa digunakan nama Al-Aqsha ?
Konon, menurut cerita setempat, ketika Ja’far
Shadiq mengunjungi majid Al-Aqsha di Baitul Maqdis
dalam rangka menunaikan ibadah Haji menerima hadiah
dari seseorang oleh sebab kefakihannya atau
kepintarannya dalam ilmu-ilmu agama yaitu berupa
sebuah batu, yang kemudian batu ini diletakkan di atas
pengimaman masjid yang dia bangun setelah kembali ke
tempat asalnya.
Masjid yang didirikan oleh Ja’far Shadiq juga
bernama Al-Manar. Kata Al-Manar berasal dari kata dasar
nar yang berarti api atau cahaya yang kemudian
mendapat awalan ma yang menunjuk sebuah tempat,
sedangkan Al adalah sebagai imbuhan yang memperkuat
penyebutan sebuah benda. Dengan demikian arti kata Al-
Manar adalah tempat menaruh cahaya (yang dimaksud
adalah mercusuar). Belakangan kata ini digunakan untuk
nama sebuah bangunan tinggi sebagai pelengkap
bangunan masjid yang fungsinya untuk memanggil atau
mengumpulkan orang-orang Islam dalam rangka ibadah
123

shalat. Al-Manar berarti Menara. Mengapa menggunakan


nama Al-Manar ? Apakah nama ini juga diperoleh dari
sebuah nama tempat atau bangunan di Timur Tengah
sebagaimana kata Al-Aqsha ? Atau apakah masjid Al-
Aqsha di Jerusalem juga disebut masjid Al-Manar ?
Penyebutan nama Al-Manar yang berarti menara untuk
sebuah nama masjid mengindikasikan bahwa telah
adanya sebuah bangunan menara yang tentu saja bukan
menara biasa dimana letaknya tidak jauh dari masjidnya
ketika inskripsi dibuat sebagai peringatan pendirian
masjid.
Kata ‘Menara’ yang dikaitkan dengan keberadaan
masjid kuno dan nama kota Kudus perlu mendapat
perhatian; ada dua kemungkinan asal katanya, pertama,
merupakan perubahan nama dari Al-Manar sesuai dengan
apa yang tertulis pada Inskripsi, kedua, merupakan
sebutan kepada adanya sebuah menara (mirip candi) yang
berada di sebelah tenggara masjid sekarang. Tidak sedikit
yang berpendapat bahwa kata menara berasal dari kata
Al-Manar. Namun adanya kemungkinan kedua juga tidak
bisa diabaikan. Hal ini bisa didasarkan pada kebiasaan
orang-orang terdahulu dalam hal menyebut sesuatu
nama, yakni dengan menghubungkannya dengan hal-hal
yang “mencuri penglihatannya” pada sebagian besar masa
kehidupannya.
Menurut Slametmuljana, dalam soal meneliti asal-
usul nama, berpikir secara muluk-muluk sering kali tidak
diperlukan, karena pemberian nama kepada sesuatu
tempat (bisa berupa tapak maupun bangunan) sering
berlangsung secara sederhana sekali. Sebagai contoh,
124

suatu daerah yang banyak ditumbuhi pohon turi


dinamakan Karangturi, yang ditumbuhi banyak pohon
asem dinamakan Karangasem, yang banyak batunya
dinamakan Pulowatu, dsb (Slametmuljana, 1979:155).
Rupanya bangunan besar yang bentuknya mirip
sebuah candi Hindu yang terletak di kawasan pusat kota
Kudus Kuno lebih menarik perhatian masyarakat Kudus
pada saat itu ketimbang keberadaan masjid itu sendiri.
Hal mana juga dilakukan oleh seorang Belanda, Anthonio
Hurdt, yang pernah singgah di kota Kudus Kuno pada
tahun 1678 M. Dia hanya mengomentari keberadaan
bangunan tersebut, tidak lebih, tidak juga terhadap
sebuah masjid yang konon didirikan oleh Ja’far Shadiq
lebih dari satu seperempat abad sebelumnya.
Oleh masyarakat Kudus dan sekitarnya, masjid
yang konon didirikan oleh Ja’far Shadiq itu dikenal masjid
Menara Kudus. Nama masjid Menara Kudus seolah-olah
mengandung arti masjidnya menara, masjid milik menara,
sebagaimana pula bila kata-kata tersebut di balik menjadi
menara Masjid Kudus yang mengandung arti menaranya
Masjid Kudus, menara milik masjid. Tetapi arti dari masjid
Menara Kudus yang mungkin bisa diterima adalah masjid
yang punya hubungan dengan sebuah “Menara Batu”
yang bentuknya menyerupai candi di kota Kudus Kuno.
Setidaknya tentu bangunan menara tersebut lebih berarti
ketimbang bangunan masjidnya dimata masyarakat
Kudus Kuno. Hal ini bisa dibandingkan dengan sebuah
masjid kuno di Banten yang juga memiliki sebuah menara
yang antik; mengapa lebih populer dengan sebutan masjid
Banten ? bukan masjid Menara Banten ?
125

Sebagaimana telah disinggung di depan bahwa


tingkat pemikiran dan pemahaman masyarakat Jawa
tradisional tentang istilah-istilah yang asing bagi dirinya
masih sangat rendah. Sebaliknya mereka lebih suka
berfikir secara sederhana tanpa sesuatu yang muluk-
muluk. Kata-kata seperti Al-Aqsha dan Al-Manar mungkin
sulit dieja dan diucapkan oleh masyarakat awam Kudus
tempo dulu. Sehingga tidak heran apabila masyarakat
lebih mengenal nama masjid Menara Kudus. Bisa jadi kata
menara mereka peroleh dari perubahan kata Al-Manar,
tetapi juga tidak mudah dipungkiri karena adanya sebuah
bangunan menara itu sendiri. Dengan demikian jelas
bahwa ketika masjid dibangun pada tahun 1549 M
ternyata bangunan menara sudah ada atau sudah berdiri.
Dengan kata lain bangunan menara sudah ada sebelum
tahun 1549 M.
Kata di dalam Inskripsi bersejarah yang perlu
mendapat perhatian selanjutnya adalah Al-Quds. Kata
yang berasal dari bahasa Arab ini berarti suci. Tidak
diragukan bahwa kata Al-Quds kemudian oleh lidah
masyarakat Jawa berubah menjadi Kudus. Ja’far Shadiq
yang dikenal sebagai salah satu anggota Walisanga yang
tegas dalam urusan Aqidah atau Ketuhanan merasa perlu
untuk “mensucikan” wilayah yang menjadi sasaran
dakwahnya. Wilayah ini diyakini dahulu merupakan
tempat tumbuh suburnya kultur asli Jawa
(Animisme/Dinamisme); hal yang lazim untuk sebuah
wilayah di lereng gunung dimana oleh masyarakat Jawa
kuno gunung dianggap sebagai tempat bersemayamnya
para dewa.
126

6.4 Menara Kudus dan Penelusuran Komunitas Kudus


Kuno
Nama yang lebih tua untuk Kudus adalah Tajug (Graaf,
1985:115). Kata tajug berarti bangunan yang memiliki
denah bujur sangkar bertiang empat buah dan atapnya
terdiri dari empat bidang datar yang saling bertemu
meruncing ke atas. Bangunan ini pada umumnya
dijumpai pada bentuk makam (cungkup) dan masjid atau
langgar. Namun ada yang menghubungkan nama tajug
dengan hal-hal yang dianggap keramat. Di tempat itu
mungkin sebelumnya telah ada orang-orang bermukim
yang beragama Animisme, dan mungkin pula telah ada
persinggungan dengan orang-orang yang berada di hutan-
hutan gunung Muria.
Apabila kita memperhatikan kondisi geologi di
sekitar Kudus dengan adanya aliran sungai di bagian
Selatan yaitu sungai Juwana yang bermuara ke laut Jawa
lewat kota Juwana dan sungai Serang yang bermuara juga
di laut Jawa di antara Demak dan Jepara dimana aliran
kedua sungai tersebut dari arah Selatan, dari pegunungan
Kendeng, Jawa Tengah; maka kota Demak, Pati dan
Juwana dalam proses pembentukannya dapat diduga
berasal dari daratan Jawa. Di kota Kudus sendiri terdapat
aliran sungai yaitu sungai Gelis yang membagi kota
menjadi dua bagian, kota lama dan kota baru, dimana
aliran air dari arah Utara ke Selatan, berasal dari dataran
tinggi Muria menuju pertemuannya dengan sungai Serang
di bagian Selatan Kudus; hal ini menunjukkan adanya
dugaan kuat bahwa pada proses pembentukannya, Kudus
berasal dari daratan Muria. Dan mungkin ‘tanah’ Kudus
127

menjadi daratan yang lebih akhir keberadaanya, tetapi


lebih awal dalam proses penyatuan antara pulau Jawa
dengan ‘pulau’ Muria. Jika hal ini dianggap benar maka
Kudus tidak pernah menjadi kota bandar atau kota
pelabuhan sebagaimana kota-kota di pesisir pantai Utara
Jawa lainnya. Lebih jauh, Kudus bisa jadi merupakan
lahan baru bagi orang-orang dari ‘pulau’ Muria.
Keberadaan bangunan menara besar yang sekarang
terletak di sebelah Tenggara masjid boleh jadi ada
kaitannya dengan orang-orang ini.

Gambar 6.1. Peta geo-fisiografis kawasan Demak,


Kudus, Jepara dan sekitarnya pada abad ke-15 Masehi
(UNDIP, 1997/1998:36)

Saya menduga sepertinya bangunan Menara


Kudus yang bentuknya mirip candi lebih sebagai sebuah
bangunan tetenger bagi masyarakat yang baru saja
128

membentuk sebuah permukiman. Dan sangat kecil


kemungkinannya bahwa dahulu, sebelum Islam masuk
dan menyebar merata di Kudus Kulon, telah ada
masyarakat Hindu di sana. Di dalam berbagai uraian
sejarah Jawa pun belum pernah disinggung keberadaan
komunitas Hindu di wilayah Kudus dan sekitarnya,
kecuali wilayah pusat-pusat kerajaan di Jawa.
Sejarah Jawa kuno yang disusun berdasarkan
penemuan-penemuan ahli purbakala, berupa piagam-
piagam dan monumen-monumen dan candi-candi
peninggalan raja-raja yang berkuasa di Jawa memperkuat
bahwa, sejarah Jawa kuno yang diketahui hanyalah
sejarah raja-raja Jawa (Herusatoto, 2001).
Adapun keadaan masyarakat pada dewasa ini,
tidak dapat diketahui kecuali yang berada di lingkungan
keraton. Pengaruhnya kebudayaan Hindu sama sekali
belum meresap sampai ke desa-desa sehingga belum ada
perubahan terhadap kehidupan dan pikiran rakyat,
seperti yang kita kenal di kelak kemudian hari. Perbedaan
antara keraton dan desa pasti banyak sekali, dan
kebahagiaan sebagai akibat kebudayaan Hindu untuk
sementara waktu hanyalah dikenyam oleh raja-raja
(Herusatoto, 2001, dikutip dari Prijohutomo, 1953).
Sementara itu, di wilayah Jepara sekarang, yang
diduga pernah ada sebuah kerajaan pada abad ke-VII
Masehi, apabila hal itu untuk memperkuat anggapan
bahwa bahwa masyarakat Hindu sudah ada di sekitar
gunung Muria, ternyata masih banyak menimbulkan
banyak perdebatan. Salah satunya adalah Slametmuljana
yang menganggap bahwa kerajaan Kalingga atau Keling
129

atau Holing yang pernah ada pada abad ke-VII Masehi


terletak di daerah sekitar lembah sungai Berantas
sekarang, di bagian Timur pulau Jawa (Slametmuljana,
1981).
Apabila kita menggunakan masyarakat Hindu Bali
sebagai rujukan, dimana mereka adalah masyarakat
Hindu Majapahit yang terdesak ke arah Timur oleh
pasukan Islam baik pada zaman Demak maupun zaman
mataram Islam, maka kita setidak-tidaknya dapat
menemukan sekelompok masyarakat, walaupun sedikit
jumlahnya, yang tidak menerima agama Islam dan
memilih untuk menyingkir di sekitar wilayah Kudus.
Tetapi setelah menelusuri wilayah di sekitar Kudus,
seperti di bagian Selatan-Tenggara, di sekitar pegunungan
Prawoto, dan di bagian Utara, di sekitar makam keramat
Sunan Muria, saya tidak menemukan komunitas Hindu.
Di desa Mandaan, tepat di sebelah Selatan makam
Sunan Muria, di daerah Colo, terdapat kelompok
masyarakat beragama Budha aliran Teravada. Menurut
informasi dari bapak Sarijo Sariputra, pemimpin jama’ah,
bahwa keberadaan agama Budha Teravada ini secara
resmi di daerah Mandaan dan Colo baru pada tahun
1960-an, setelah ada himbauan dari pemerintah kepada
segenap warga negara agar memeluk salah satu agama
resmi. Seorang ibu tua berusia sekitar 60 tahun, yang
saya temui, menceritakan bahwa dia dan keluarganya
menganut agama Budha itu secara resmi sejak tahun
1960-an. Sebelumnya, sekitar tahun 1940-an, orang-
orang di sekitar sini banyak yang mengaku beragama
Budo; dan agama ini dianggap oleh mereka sebagai agama
130

nenek moyang. Dahulu, mereka juga melakukan kegiatan-


kegiatan agama Islam, seperti riyoyo, perayaan hari raya
Fitri umat Islam, tetapi mereka tidak mengaku beragama
Islam.
Istilah agama Budo kemungkinan menunjuk
kepada agama asli masyarakat setempat, yaitu Animisme,
yang pada waktu kemudian sedikit banyak telah
bersinggungan dengan agama Islam. Agama Budo yang
tidak ada kaitannya dengan Budhisme karena ia tidak
mengakui Sidharta Gautama atau Sang Budha sebagai
figur utama pemujaannya maupun terhadap ajaran
pencerahannya, ternyata ditemui pula oleh Clifford Geertz
di Mojokuto (1981). Dan saya juga menjumpai agama ini
dalam sistem keyakinan orang-orang Sasak di Lombok,
Nusa Tenggara Barat. Sebelum kedatangan pengaruh
asing di Lombok, Boda merupakan kepercayaan asli orang
Sasak. Orang Sasak pada waktu itu, yang menganut
kepercayaan ini disebut sebagai Sasak Boda.
Sangat menarik apa yang pernah diceritakan oleh
bapak Kornen, seorang mantan modin di Kudus Kulon,
yang usianya sudah tergolong tua (79 tahun) kepada saya.
Menurut cerita orang-orang tua, dahulu di sekitar masjid
yang kemudian dikenal dengan masjid Langgar Dalem
(sekitar 80 meter di sebelah Utara masjid Menara Kudus)
dihuni komunitas Budo (berkali-kali bapak Kornen
menyebut nama Budo).
Bangunan menara itu selain sebagai tetenger juga
sebagai simbol persatuan jama’ah masyarakat Kudus
kuno. Ia adalah axis mundi, sebuah pilar kosmik, yang
menghubungkan bumi tempat berpijak manusia sekarang
131

dengan surga sebagai tempatnya setelah meninggal dunia;


ia dipahami sebagai tangga menuju surga. Pilar sakral itu,
tentulah dahulunya terletak di tengah-tengah hunian
penduduk; ia sebagai Pusat Dunia.
Bangunan menara bagi masyarakat Kudus kuno
dianggap sebagai pengganti gunung Muria yang sakral,
yang mungkin dulunya menjadi tempat tinggal dan
pemujaan bagi sebagian dari mereka. Sehingga, bangunan
menara pun, di samping sebagai tetenger juga merupakan
pusat peribadatan masyarakat Kudus kuno. Oleh
karenanya, ruang di sekitar kaki bangunan menara
memiliki perbedaan nilai kualitas dengan ruang-ruang di
luarnya.; itulah ruang sakral, yang kehadirannya
membuat dirinya terpisah dari lingkungan kosmik yang
melingkupinya dan membuatnya berbeda secara kualitatif.
Kondisi lingkungan yang padat di sekitar masjid Menara
sekarang ini bisa menunjukkan bahwa tempat itu, dari
dulu hingga sekarang, menjadi Pusat Dunia. Hal ini juga
menjadi pembenaran kesimpulan brilian Mircea Eliade
(2002), yang menyatakan bahwa manusia religius
berusaha hidup sedekat mungkin dengan Pusat Dunia.
Agama Hindu yang dihadirkan di wilayah Kudus,
kemungkinan besar berkaitan dengan penokohan Ja’far
Shadiq sebagai Sunan Kudus. Dan sejak kapan usaha-
usaha untuk menempatkan Ja’far Shadiq sebagai tokoh
panutan yang harus dihormati dan diikuti jejaknya oleh
masyarakat Kudus dan sekitarnya ? Hal ini bisa ditelusuri
dari angka-angka tahun yang tertera di bagian-bagian
bangunan kompleks masjid Menara dan makam keramat
Sunan Kudus.
132

Gambar 6.2. Menara Kudus (Dokumentasi Penulis)


133

Selain angka tahun 1549 Masehi yang sudah


dijelaskan di bagian muka, pada salah satu tiyang atap
(dari kayu) menara terdapat candra sengkala berbunyi
Gapura Rusak Ewahing Jagat yang menunjuk angka
tahun Jawa 1609 atau 1685 M; di salah satu anak tangga
(kayu) menara tertera angka tahun 1313 H atau 1895 M;
pada gapura kori, sebelah Timur bangunan tajug tertera
angka tahun 1216 H atau 1801 M; pada gapura kori,
sebelah Utara bangunan tajug tertera angka tahun 1210 H
atau 1795 M; di atas tiang atap bangunan tajug tetera
angka tahun 1145 H atau 1732 M; di bagian depan pintu
masuk makam Sunan Kudus tertera angka tahun
Jawa1895 atau 1296 H atau 1878 M; di bagian muka dan
belakang gapura kori di serambi masjid tertera angka
tahun Jawa 1727 (di sebelah Barat) dan 1215 H (di
sebelah Timur) yang keduanya menunjuk angka tahun
1800 M.
Berdasarkan angka-angka tahun di atas, patut
diduga bahwa usaha-usaha para sesepuh masyarakat
Kudus kuno dalam rangka penokohan Ja’far Shadiq
sebagai Sunan Kudus telah dimulai sekitar abad ke-XVIII
Masehi, yaitu dengan menciptakan dan menjadikan
kegiatan makam (ziarah) sebagai salah satu kegiatan
penting. Pada masa permulaan ini, jelas bangunan masjid
tidak atau belum diketahui keberadaannya. Bahkan,
menurut penelusuran saya, pada masa menjelang tahun
1918 M pun, tidak ada keterangan baik tertulis maupun
lesan yang menggambarkan keberadaan masjid Menara
Kudus. Sejak kapan cungkup makam Sunan Kudus mulai
ada, sulit untuk dijawab karena tidak ada data-data yang
134

bisa digunakan rujukan. Yang jelas kesadaran akan


penghormatan terhadap wali yang telah meninggal dunia
mulai muncul.
Adanya tabu di kalangan masyarakat Kudus Kulon,
untuk tidak boleh menyembelih binatang sapi, pada
umumnya dihubungkan dengan adanya larangan Sunan
Kudus kepada santri-santrinya untuk tidak menyembelih
dan atau memakan hewan sapi. Sunan Kudus tidak ingin
menyakiti dan menyinggung perasaan komunitas Hindu
pada waktu itu sebab ajaran agama Hindu melarang
menyembelih hewan Sapi. Muncul pertanyaan, apakah
seorang Sunan Kudus yang terkenal tegas dalam urusan
agamanya (menurut cerita tradisi, dia yang menghukum
mati Syeh Siti Jenar karena tokoh ini mengaku dirinya
Tuhan) mengharamkan sesuatu yang dihalalkan
Tuhannya ? Sebab Islam sebagai agama yang
didakwahkan Sunan Kudus menghalalkan hewan sapi
untuk disembelih maupun dimakan. Hal ini menarik
untuk disimak. Besar kemungkinan, di wilayah yang
sekarang dinamakan Kudus, pada masa dahulu,
komunitas sapi memang lebih sedikit ketimbang kerbau;
kehidupan binatang yang disebut terakhir bisa jadi lebih
cocok dengan kondisi geografis daerah Kudus dan
sekitarnya. Sehingga sejak masa lalu pun, masyarakat
Kudus sudah jarang menyembelih dan atau makan daging
sapi.
Sebagai perbandingan, di pulau Lombok, Nusa
Tenggara Barat, di daerah sebelah Selatan gunung
Rinjani, kita akan sulit menemukan binatang sapi.
Binatang yang banyak digunakan di sawah atau dipelihara
135

oleh para petani adalah kerbau; dengan kulitnya yang


tebal ia bisa lebih tahan dalam kondisi lingkungan alam
yang udaranya relatif kering. Dalam cerita surat
RA.Kartini kepada sahabatnya Stella, disebutkan bahwa
gembalaan anak-anak desa di kabupaten Jepara, wilayah
di sebelah Barat gunung Muria, pada waktu itu adalah
binatang kerbau.
Seorang ahli Antropologi Sosio-Kultural di
Universitas Nijmegen, Nederland bernama Frans Husken
pernah melakukan penelitian di desa Gondosari,
kawedanan Tayu, kabupaten Pati, wilayah di sebelah
Timur gunung Muria, pada awal tahun 1970-an. Hasil
penelitiannya kemudian dibukukan dengan judul
Masyarakat Desa Dalam Perubahan Zaman : Sejarah
Deferensiasi Sosial di jawa 1830 - 1980. Pada bagian
pertama diberikan judul sub bahasan : Kebo Gedhe
Menang Berike (Kerbau Besar Selalu Menang Bertarung),
yang menggambarkan para majikan (petani makmur dan
kaya raya), walaupun minoritas, tetapi sangat
berpengaruh. Ungkapan di atas menggunakan nama
binatang kerbau; sesuatu hal yang lumrah karena setiap
hari binatang ini menemani para petani atau buruh tani
dalam menggarap sawah.
Dari keterangan di atas, menunjukkan bahwa di
desa-desa di wilayah bagian Barat dan Timur gunung
Muria, lebih banyak populasi binatang kerbau dibanding
binatang ternak lainnya (terutama lembu atau sapi).
Sehingga daging kerbau menjadi tambahan menu
makanan yang sudah selayaknya bagi masyarakat
setempat. Bagaimana dengan Kudus dan daerah
136

sekitarnya, wilayah di sebelah Selatan gunung Muria ?


Pada halaman 117, Frans Husken dalam pembahasannya
tentang pembagian tanah komunal di karesidenan Jepara
pada tahun 1848 atau 1849 M, menulis : ‘di Kudus dan
Cendono, setiap keluarga mendapat pembagian tanah
berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki…’
Pembatasan dalam tabu di atas, meskipun
berlawanan dengan pembatasan dalam agama Islam,
tetapi ia diterima sebagai suatu kewajaran oleh orang-
orang yang menganutnya, yaitu orang-orang Islam sendiri,
karena mereka sangat hormat dan ta’zim kepada Sunan
Kudus yang dianggap sebagai pihak yang memberikan
larangan itu. Menurut Sigmund Freud, larangan tabu
sama sekali tidak memiliki pembenaran dan asal-
muasalnya tidak diketahui. Wundt, sebagaimana dikutip
oleh Freud, menyatakan bahwa gagasan tabu mencakup
semua adat-istiadat yang mengekspresikan ketakutan
terhadap benda-benda tertentu yang terkait dengan
gagasan-gagasan tentang sistem pemujaan atau terkait
dengan tindakan-tindakan yang merujuk padanya (Freud,
2001:32 dan 39).

6.5 Kesimpulan
Di dalam Inskripsi bersejarah yang terdapat di atas
pengimaman masjid Menara Kudus, tidak sedikitpun
disebutkan bahwa Ja’far Shadiq juga membangun sebuah
menara sebagai kelengkapan masjid yang didirikannya.
Dan berdasarkan nama masjid Menara Kudus seperti yang
sering diucapkan orang-orang di wilayah Kudus dan
sekitarnya, menunjukkan bahwa masjid dididirikan untuk
137

melengkapi bangunan menara. Artinya komunitas


sebelum Islam, yakni saya menyebutnya komunitas Budo,
telah membangun sebuah bangunan menara raksasa yang
terbuat dari batu bata merah sebagai tetenger dari sebuah
permukiman baru dan sekaligus sebagai simbol
pemersatu komunitas tersebut. Penggunaan material batu
bata merah diselaraskan pada keadaan alam di sekitarnya
yang tidak banyak terdapat batu gunung yang biasa
digunakan untuk bangunan candi (bangunan
monumental) di Jawa Tengah.
Bangunan Menara Kudus yang berada satu
kompleks dengan masjid makam Sunan Kudus telah
menjadi saksi bisu tumbuh dan berkembangnya
komunitas Kudus Kuno pada masa sebelum dan sesudah
kedatangan Ja’far Shadiq di wilayah itu; ia sekaligus
menjadi tautan antara dua komunitas – Budo dan Muslim.

Referensi
Ashadi
2000 ‘Mencari Korelasi antara Arsitektur Masjid dengan
Rumah Tinggal Tradisional di Kudus Jawa Tengah’,
Laporan Penelitian, Fakultas Teknik Universitas
Pancasila.

Eliade, Mircea
2002 Sakral dan Profan, Yogayakarta: Fajar Pustaka
Baru.
Mitos Gerak Kembali Yang Abadi, Yogyakarta: Ikon
Teralitera.

Freud, Sigmund
2001 Totem dan Tabu, Yogyakarta: Jendela.
138

Geertz, Clifford
1981 Abangan, Santri, Priyayi dalam Masayarakat Jawa,
Jakarta: Pustaka Jaya.

Graaf, H.J. de dan Th.G.Th. Pigeaud


1985 Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Jakarta:
Pustaka Utama.

Herusatoto, Budiono
2001 Simbolisme dalam Budaya Jawa, Cet.ke-4,
Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.

Husken, Frans
1998 Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman :
Sejarah Diferensiasi di Jawa 1830 – 1980, Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia.

Keesing, Elisabeth
1999 Betapapun Besar Sebuah Sangkar : Hidup, Suratan
dan Karya Kartini, Jakarta: Djambatan.

Salam, Solichin
1977 Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam, Kudus:
Menara.

Slametmuljana
1979 Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya, Jakarta:
Bhratara Karya Aksara.
1981 Kuntala, Sriwijaya dan Swarnabhumi, Jakarta: Inti
Idayu Press.

Universitas Diponegoro Semarang


‘Visualisasi Struktur Kota Kerajaan Demak dan
Pengembangannya untuk Sebuah Taman Wisata’,
Laporan Akhir Penelitian, Hibah Bersaing
Perguruan Tinggi 1997/1998.
BAGIAN 7

JEJAK KEBERADAAN RUMAH


TRADISIONAL KUDUS : SEBUAH
KAJIAN ANTROPOLOGI-
ARSITEKTUR DAN SEJARAH

7.1 Pendahuluan
Pembangunan adalah motor penggerak terjadinya
perubahan kultural. Proses perubahan kultural di
Indonesia secara signifikan telah terjadi sejak Belanda
mulai mengeksploitir sumber daya manusia dan alam
Indonesia. Pada periode tahun 1600 - 1800 M, Kompeni
Belanda melaksanakan pembangunan untuk pertahanan
dari serangan musuh baik dari dalam maupun asing; pada
saat yang sama juga dituntut untuk meningkatkan volume
dan nilai perdagangan ke luar negeri, terutama ke pasaran
Eropa. Periode tahun 1800 - 1900 M, pembangunan
diorientasikan pada tercapainya kemudahan kontrol
terhadap aktifitas masyarakat di suatu daerah atau kota.
Hal ini ditandai dengan adanya alun-alun sebagai pusat
orientasi, baik aktifitas masyarakat maupun fasilitas
pendukungnya. Periode tahun 1900 - 1950 M, Belanda
mulai melakukan pembangunan dengan tujuan
139
140

meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat


pribumi Indonesia. Kota-kota dibangun dengan megah.
Namun begitu, Belanda memasukkan kultur Eropa ke
dalam kultur tropis kepulauan Indonesia pada desain
kota-kotanya. Pada periode tahun 1950 - 1970 M,
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia
berorientasi pada nation building. Dan periode setelah
tahun 1970 M hingga sekarang, pembangunan dititik
beratkan pada sektor ekonomi.
Pembangunan yang telah dan sedang berlangsung
pada hakekatnya merupakan proses pembaruan di banyak
aspek, yang pada gilirannya menjadi daya dorong utama
bagi terjadinya pergeseran kultural. Dengan demikian
proses transformasi dan akibat sampingan pembangunan
juga akan membawa pengaruh dominan pada pergeseran
arsitektur di daerah-daerah, di wilayah Indonesia, yang
selama ini dikenal dengan nama arsitektur tradisional;
arsitektur yang berlandaskan tradisi yang senantiasa
membuka dirinya terhadap modifikasi dan adaptasi.
Dengan demikian transformasi kultural adalah buah dari
pembangunan.
Pembangunan juga melanda kota Kudus, sebuah
kota kabupaten yang terletak di Jawa Tengah bagian
Utara, bahkan sejak tahun 1800 an telah mencapai
tingkat ekonomi di atas rata-rata daerah di wilayah
Indonesia lainnya, hingga sekarang ini. Hasil industri
rokok kretek yang banyak tersebar di kota ini telah
menjadikan Kudus menjadi penyumbang devisa yang
besar bagi pemerintah pusat. Disamping sejarah kota
Kudus bersama tokoh pendirinya, Sunan Kudus,
141

keberadaan industri rokok kretek telah melambungkan


kota Kudus ke seantero Nusantara. Dengan tidak
mengecilkan arti keberadaan kultur Asli (Animisme dan
Dinamisme) masyarakat yang telah ada sebelumnya,
rupanya agama Islam dan kegiatan industri rokok kretek
adalah dua faktor utama yang menjadi landasan berdiri
dan berkembangnya kota Kudus.
Agama Islam yang menjadi roh masyarakat Kudus,
menurut sejarah, telah ada di wilayah Kudus sejak tahun
1500 an. Arsitektur (tradisional) yang dihasilkan kota
Kudus yang masih bisa dilihat hingga sekarang, seperti
bangunan masjid dan rumah tinggal jelas tidak dapat
dipisahkan dari kedua faktor di atas. Masyarakat Kauman
(bertempat tinggal di sekitar masjid Jami’) dikenal sebagai
sekelompok orang yang menyandarkan hidup dan
kehidupannya dengan jalan beribadah di masjid dan
berdagang di pasar yang keduanya menjadi satu tarikan
nafas. Kemakmuran yang pernah dicapai oleh masyarakat
Kauman di kota Kudus (Kulon) telah menyebabkan
pergeseran kultural yang drastis dan sangat fantastik. Hal
ini berpengaruh pula kepada aspek fisik, terutama dalam
rancang bangun tempat ibadah dan rumah tinggalnya.
Sehingga tidak mengherankan bila wujud ragawi
bangunan-bangunan tersebut sangat berbeda dengan apa
yang terdapat di daerah-daerah lain di pulau Jawa.
Kemudian muncul pertanyaan : sejak kapan awal
keberadaan rumah tinggal tradisional di wilayah kota
Kudus dan bagaimana perkembangannya ? Untuk
menjawabnya, tentu saja tidak mudah. Tetapi satu hal
yang mendorong penulis melakukan kajian ini adalah
142

adanya kemisterian keberadaan awal bangunan rumah


tinggal tradisional di Kudus. Dalam menjawab pertanyaan
tersebut, penulis menggunakan pendekatan sejarah,
antropologi dan arsitektur.
Pendataan dilakukan dengan cara survey
(dilakukan pada tahun 2002). Survey dilakukan dalam
dua jenis, yaitu survey kepustakaan dan survey lapangan
(langsung ke obyek-obyek kajian). Karena sifat kajian yang
membutuhkan penekanan pada deskriptif faktual, maka
dalam tahap pengumpulan data juga dilakukan kegiatan
wawancara dengan informan yang berkompeten.

7.2 Kudus dalam Perspektif Sejarah


Kota Kudus muncul di muka bumi diperkirakan sejak
tahun 1549 M, berdasarkan temuan inskripsi di atas
mimbar masjid Menara Kudus. Dan hanya Kuduslah satu-
satunya kota yang ada di seluruh nusantara yang berasal
dari bahasa Arab yaitu Al-Quds yang berarti suci.
Pertumbuhan dan perkembangan kota Kudus
secara signifikan, sebagaimana kota-kota pedalaman yang
lain terjadi baru pada abad XVIII atau XIX. Pada periode
1808-1811 M, jalan panjang Anyer-Panarukan dibangun
oleh Gubernur Jenderal Daendels. Terbangunnya jalan
raya sepanjang tidak kurang dari 1000 km ini merupakan
salah satu infrastruktur penting bagi perkembangan kota-
kota modern di tanah Jawa. Van den Bosch sebagai
gubernur tanam paksa sejak 1830, secara administratif
mulai membuka daerah-daerah perkebunan dengan
jaringan transportasi kereta api (Wiryomartono,1995:142).
143

Kota Kudus dibangun selama akhir abad ke-XVIII


M hingga awal abad ke-XIX M di lokasi baru, lebih kurang
1 km ke arah timur pusat kota lama, menyeberangi sungai
Gelis. Lay out dasar dan pola pemukiman kota yang baru
adalah sebagai berikut: kota berorientasi pada alun-alun
yang di tengahnya terdapat pohon beringin (sudah tidak
ada sejak 1969); sebuah masjid besar terletak di sebelah
barat, di sekelilingnya terdapat kampung kauman (kaum
Beriman); perkantoran, kabupaten, dan rumah tempat
tinggal Bupati terletak di sebelah utara; pasar kota
terletak di sebelah timur; pertokoan dan bangunan-
bangunan publik yang lain terletak di sebelah selatan.
Pada lapis areal berikutnya terdapat pula rumah tempat
tinggal untuk sekretaris Bupati, kepala sekolah umum
Belanda, notaris, jaksa, dokter, kepala pegadean
pemerintah, pengusah-pengusaha Belanda dan Eropa. Di
bagian lain dibangun sekolah umum, gereja untuk orang-
orang Belanda dan Eropa, rumah-rumah untuk pegawai
Indo-Eropa dan intelektual Jawa; terdapat pula pertokoan
dan tempat tinggal orang-orang Cina, Arab, India, dan
Persia. Pada lapis areal yang paling luar (jauh dari alun-
alun) adalah perkampungan atau desa-desa. Stasiun
kereta api dan kompleks perumahan pegawai jawatan
kereta api terletak agak terpisah dari pusat kota,
sebagaimana pula letak pabrik gula dan kompleks
perumahan pegawai pabrik (Wikantari,1994:59-60).
Hampir bersamaan dengan berkembangnya pusat
kota baru Kudus (Kudus Wetan), di wilayah pusat kota
lama (Kudus Kulon) juga sedang dalam awal pertumbuhan
144

dan perkembangan sektor ekonomi, terutama sejak


munculnya beberapa industri rokok.
Pada awalnya, dikenal rokok klobot yaitu tembakau
yang digulung dengan kulit buah jagung, hingga pada
tahun 1870 M seorang yang bernama Haji Djasmari,
pribumi dari Kudus, dengan jiwa dagang warisan
pendahulunya, mempopulerkan dan memperdagangkan
secara luas rokok cengkeh (tembakau dicampur dengan
cengkeh). Karena suara meretih yang terdengar ketika
rokok dibakar, maka dikenallah rokok kretek
(Castles,1982:60-61). Sekitar tahun 1904 M, Haji
Mohammad Ilyas telah memproduksi rokok kretek secara
massal, yang kemudian diikuti oleh Haji Mohammad
Abdul Rasul dan teman-temannya (Salam,1994:77-78).
Pada tahun 1908 M, Nitisemito mendirikan pabrik rokok
kretek yang agak besar di wilayah Kudus Wetan
mengingat keterbatasan lahan di Kudus Kulon. Pabrik ini
dengan segera menarik buruh-buruh, terutama kaum
wanita, dari desa-desa sekitarnya. Sedangkan gudang
tembakau dibangun di wilayah Kudus Kulon
(Wikantari,1994:132-133). Rumah tempat tinggal Niti
Semito, ada dua buah yang sama bentuknya, masing-
masing terletak seberang-menyeberang sungai Gelis; yang
satu di wilayah Kudus Kulon, yang satu lagi di wilayah
Kudus Wetan; keduanya bergaya Eropa. Hingga sekarang
keduanya masih ada.
Pertumbuhan industri rokok kretek yang cepat di
antara Perang Dunia I dengan Perang Dunia II
memungkinkan munculnya sejumlah merk Indonesia yang
pemiliknya dikenal sebagai “raja kretek”, perwujudan yang
145

jarang terjadi pada masa kekuasaan Belanda. Walaupun


mengalami fluktuasi, pada tahun-tahun terakhir sebelum
Perang Dunia II industri rokok kretek mencapai tingkat
produksi tertinggi. Kondisi yang melemahkan industri
rokok kretek Kudus terjadi semasa pendudukan kembali
Belanda di Indonesia pada tahun 1945-1949 M
(Castles,1982:61-62).
Pada tahun 1949-1950 M, ketika bentuk
pemerintahan berubah menjadi RIS (Republik Indonesia
Serikat), Kudus di bawah seorang Bupati federal. Dan
ketika pada tahun 1950 bentuk pemerintahan berubah
lagi menjadi negara Kesatuan Republik Indonesia, Kudus
mendapatkan statusnya kembali sebagai sebuah
kabupaten, yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang
No.13 tahun 1950 tentang Pemerintah Daerah Kabupaten
di Jawa Tengah. Pada tahun enam puluhan kondisi kota
Kudus masih tidak stabil akibat pemberontakan PKI pada
tahun 1965 M. Kota Kudus mulai bangkit dan mengalami
perkembangan yang relatif cepat sejak akhir tahun 1980-
an (Wikantari,1994:134-137;Salam,1994:17).

7.3 Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Kudus


Dalam perspektif lokal, masyarakat Kudus dipersepsikan
sebagai komunitas yang bercirikan kehidupan sosial
santri-muslim dengan tradisi ekonomi yang bertumpu
pada perdagangan dan industri.
Peningkatan kemakmuran masyarakat Kudus
secara signifikan dimulai pada abad ke-XVIII Masehi
ketika Kudus muncul sebagai pusat perdagangan beras
dan tekstil. Orang-orang Kudus kuno banyak yang
146

berusaha berdagang konveksi pakaian jadi ke luar kota;


dan sebagian kecil lainnya melakukan penimbunan beras
di masa panen untuk kemudian dijual di masa paceklik.
Kegiatan perdagangan, yang memperdagangkan hasil-hasil
dari home industri seperti kaos, pakaian, jubah, kerudung,
dll, ke luar kota masih dijalankan oleh sebagian
masyarakat Kauman hingga sekarang.
Informan saya, bapak Heru Hyaeet (Heru Zaid),
usia 69 tahun, bercerita tentang kegiatan ekonomi
eyangnya dan sebuah rumah adat milik keluarganya (saya
sempat melihat kondisi rumah adat itu) :

Kakek saya, dari garis ibu, bernama H.


Ngali. Pekerjaan mbah Ngali adalah
memperdagangkan konveksi pakaian jadi
seperti kaos, kemeja, celana, rok,
selendang, dll, ke luar kota, sedangkan
sawah warisan orang tuanya digarapkan
kepada orang lain. Bapaknya mbah Ngali,
yang berarti buyut saya adalah termasuk
orang kaya; dia pemilik berhektar-hektar
tanah persawahan di luar kota Kudus, di
sekitar Gebog sekarang. Kekayaannya
semakin bertambah ketika panen padinya
berhasil. Padi-padi hasil panenan disimpan
di salah satu bagian rumahnya, yaitu di
pawon yang letaknya bersebelahan dengan
rumah induk. Di bagian salah satu pojok
pawon, lantainya dilobangi, ukurannya
kurang lebih 3 X 3 m2 dengan kedalaman
147

sekitar 2 meter. Lobang itu kemudian


ditutup pada tahun 1950-an, ditimbun
dengan tanah, di atasnya diperuntukkan
sebagai kamar. Rumah adat itu, dibangun
oleh bapaknya mbah Ngali pada tahun
1828 Masehi. Dalam pembagian warisan,
bagian pawon diberikan kepada ibu saya
yang bernama Rusmi Fatma, dan rumah
induk atau inti diberikan kepada bulik (adik
ibu) saya yang bernama Masrumi. Sekarang
ini, rumah adat (bangunan induk) tersebut
ditempati oleh salah satu putra Masrumi
yang bernama Mas’an.

Kekayaan orang-orang Kudus Kulon tidak hanya


didapat dari perdagangan konveksi pakaian jadi,
perdagangan padi, maupun menjadi tuan tanah, tetapi
juga dari hasil jual beli perhiasan (emas dan perak). Bapak
Raechan, usia 71 tahun, seorang carik (juru tulis) desa
Damaran menceritakan kepada saya :

Orang-orang Kauman dan sekitarnya,


sebelum meledaknya usaha rokok kretek,
sudah terbiasa berdagang, terutama bagi
mereka yang kaya biasanya mereka
berdagang emas dan perak. Pernah suatu
kali, saya (Raechan) ketika kecil disuruh
oleh bapak Soleh Abdullah, warga Kauman,
untuk menggadaikan emasnya kepada
seorang keturunan Cina pedagang emas.
148

Kemakmuran orang-orang Kudus Kulon tidak


berhenti di situ, pada awal abad ke-XX M, di samping
kegiatan perdagangan konveksi pakaian jadi, jual beli
emas dan perak, dan perdagangan beras yang sudah lama
digeluti, mereka juga mulai berusaha dan berdagang
rokok kretek. Ternyata, usaha yang belakangan ini telah
melambungkan mereka ke puncak kejayaan; perusahaan-
perusahaan yang mereka miliki semakin menjadi besar.
Pada saat itu, satu keluarga bisa memiliki empat atau lima
perusahaan.
Rumah-rumah bergaya villa (rumah gedong)
dibangun di antara rumah-rumah adat, atau sekedar
merenovasi rumah adat mereka dengan
mengkombinasikan unsur-unsur tradisional Jawa dengan
unsur-unsur Eropa. Unsur tradisional rumah tinggal
mereka akan nampak pada bentuk atapnya yang masih
joglo pencu, dan unsur Eropa diperlihatkan pada model
pintu dan jendela tinggi dengan dinding tembok.
Kemakmuran ini juga diwujudkan dengan semakin
banyaknya kaum muslim yang menunaikan ibadah haji ke
Tanah Suci Mekah dan membangun masjid-masjid di
lingkungan sekitar tempat tinggalnya.
Menurut Castles, kondisi yang melemahkan
industri rokok kretek Kudus terjadi semasa pendudukan
kembali Belanda di Indonesia pada tahun 1945-1949.
Salah satu faktor penyebab mundurnya usaha mereka
adalah bahwa mereka gagal untuk tetap menguasai saham
industri dalam persaingan dengan golongan Cina. Dalam
149

beberapa hal perselisihan keluarga atas warisan


mengurangi kekayaan mereka (Castles, 1982).
Kekuatan ekonomi yang merubah pola hidup
masyarakat Kudus Kulon, menurut hemat saya bukanlah
bukti adanya energy capturing sebagaimana diungkapkan
oleh Leslie A. White dalam teori Evolusinya. Menurut
White, kultur berkembang bila kadar energi yang tersedia
untuk setiap orang (per kapita) dalam setiap tahun
bertambah atau bila efesiensi dari cara-cara penggunaan
energi meningkat. Teori evolusi White jelas menolak
kemungkinan dari pengaruh sekitar atau sejarah terhadap
evolusi kultural. Perkembangan masyarakat Kudus kulon
lebih disebabkan oleh faktor lingkungan sosial dan
lingkungan fisik di sekitarnya. Tapi ini tidak berarti bahwa
semua itu hanya menunjukkan penyesuaian diri terhadap
lingkungan; lebih tepat dikatakan bahwa bentuk kultur
masyarakat Kudus Kulon pada saat itu (masa kejayaan)
merupakan hasil penyesuaian para anggota kelompok
etnik dalam menghadapi berbagai faktor luar. Di bawah
ini saya mencoba menjelaskan tentang perubahan kultur
yang pernah dialami oleh masyarakat Kudus Kulon.
Rumah adat Kudus yang tersebar hampir merata di
wilayah Kudus Kulon, bukanlah sekedar wujud benda
mati yang berdiri tegak di atas tanah, tetapi
keberadaannya lebih dipenuhi oleh simbol-simbol yang
memang sengaja diciptakan oleh pemiliknya – builder
(yang sekaligus sebagai owner). Menurut penuturan
informan saya, bentuk atap rumah adat yang dinamakan
joglo pencu, oleh karena ia menjulang tinggi ke angkasa,
bisa dianggap sebagai salah satu indikasi kemakmuran
150

pemiliknya; semakin tinggi pencu nya berarti pemilik


rumah tersebut tergolong kaya. Simbol kedigdayaan dan
keunggulan ini dianggap sudah pantas untuk menandingi
simbol-simbol keagungan dan kekuasaan yang
diperlihatkan oleh rumah-rumah joglo milik generasi awal
para aristokrat Kudus di Kudus Wetan, yang memang
secara tingkatan sosial lebih tinggi dibandingkan dengan
para pedagang pribumi di Kudus Kulon.
Tidak hanya itu, simbol kemenangan dan
kebanggaan juga diperlihatkan dalam bentuk harta
kekayaan, di samping dalam bentuk ukiran yang
menghiasi gebyok rumahnya, juga berupa emas dan
berlian yang dimiliki oleh keluarga-keluarga pedagang di
Kudus Kulon. Harta perhiasan emas dan berlian tidak
untuk dijual, melainkan untuk prestise keluarga dan
diwariskan kepada keturunannya. Jenis perhiasan yang
langka, karena diwariskan secara turun-temurun setidak-
tidaknya tiga generasi, tentunya nilainya sangat mahal
dan akan menimbulkan kebanggaan selain bagi
pemakainya juga bagi keluarganya. Sehingga terjadi saling
berlomba untuk mendapatkan harta perhiasan sebanyak-
banyaknya di antara keluarga-keluarga di Kudus Kulon.
Meskipun kemudian, persaingan antar keluarga pedagang
di Kudus Kulon menjadi jauh lebih menonjol.
Jelas bahwa kultur masyarakat Kudus Kulon
terbentuk karena adanya dorongan-dorongan dari dalam
diri anggota kelompok etnik ini untuk menghadapi
rangsangan-rangsangan dari luar, yang ditimbulkan oleh
perilaku para aristokrat Kudus yang memandang rendah
kepada mereka.
151

Seiring dengan berputarnya waktu, makin lama


kekayaan yang dimiliki para pedagang Kudus Kulon
semakin menyusut, dan kehidupan ekonomi sebagian dari
mereka mengalami kemerosotan sampai pada tingkat yang
memprihatinkan. Di desa Kauman sendiri tidak sedikit
warganya yang tergolong miskin. Kita akan merasa sulit
menilai apakah dia termasuk orang kaya, sedang atau
miskin bila hanya melihat dinding tembok luar bangunan
rumahnya tanpa mengetahui bagian dalamnya. Pada
umumnya orang Kauman tidak ingin orang lain
mengetahui bahwa dirinya miskin, termasuk tetangganya
sendiri.

7.4 Arsitektur Rumah Tradisional Kudus


Di wilayah Kudus Kulon secara meyebar, rapat dan padat,
di sekitar masjid kuno Menara Kudus, terdapat rumah-
rumah tradisonal yang “spektakuler” karena hampir di
seluruh bagian rumah kayu dipenuhi dengan ukiran.
Dengan latar belakang yang berbeda dengan rumah
tradisional Jawa lainnya, rumah tinggal tradisional Kudus
telah tampil dengan sosoknya yang unik dan khas. Di
dunia ini, hal-hal yang spektakuler biasanya tidak
berumur panjang, sebab apa yang pernah diciptakan akan
sulit untuk diulang kembali. Begitu pula dengan rumah
tradisional Kudus, yang semakin lama semakin berkurang
jumlahnya. Rupanya masyarakat Kudus tidak berhasil
mengulang atau setidak-tidaknya mempertahankan dan
melanjutkan sukses yang telah dirintis pendahulunya.
Pelimpahan warisan arsitektur rumah tradisional yang
terjadi pada masyarakat Kudus Kulon adalah sekedar
152

pemberian atau hibah nyata sosok bangunan yang sudah


ada oleh orang tua sebagai creator kepada anak
keturunannya. Jadi, generasi penerus tidak menghasilkan
karya arsitektur baru. Dengan kata lain bahwa rumah
tradisional Kudus di bangun oleh dua atau tiga generasi
dan tidak diikuti oleh generasi berikutnya.

Gambar 7.1. Rumah adat Kudus (Dokumentasi Penulis)

Kelengkapan ukiran dan bentuk rumah tinggal


tradisional Kudus tergantung kepada tingkatan
kemampuan ekonomi pemiliknya; strata sosial ekonomi
menengah ke atas atau menengah ke bawah. Berdasarkan
kelengkapan ukirannya, rumah tinggal tradisional Kudus
digolongkan ke dalam rumah tinggal tradisional kaya
ukiran dan miskin ukiran. Sedangkan bentuk rumah
tadisional Kudus dapat dibedakan menjadi empat
153

golongan atau tipe, yaitu tipe payon atau kampung,


limasan, dara gepak (kombinasi antara tipe kampung dan
limasan), dan joglo. Berdasarkan pola tapaknya, rumah
tinggal tradisional Kudus dapat dibedakan menjadi tiga
golongan atau tipe, yaitu tipe tunggal tertutup, tunggal
terbuka, dan berderet (Wikantari,1994:69).
Bangunan yang lebih dikenal dengan nama rumah
adat atau tradisional Kudus ini bahkan mempunyai latar
belakang yang juga tidak sama dengan rumah-rumah
tradisional Jawa di daerah pedalaman, baik bentuk
atapnya maupun organisasi dan elemen-elemen ruangnya.
Pertama kali yang jelas terlihat secara fisik adalah bentuk
atap joglo rumah adat Kudus yang lebih tinggi dan sedikit
meruncing ke atas. Masyarakat setempat menyebutnya
joglo pencu. Di sepanjang bumbungan atap dan sepanjang
pertemuan keempat bidang atap biasanya diberi ornamen-
ornamen dengan bentuknya yang mencuat ke atas, dari
kejauhan kelihatan seperti sirip.
Untuk penyelesaian ruang luar, rumah tinggal
tradisional Kudus sangat berbeda dengan yang ada di
daerah-daerah lainnya, baik di pesisir maupun
pedalaman, yaitu terutama dengan adanya dinding yang
tinggi membatasi pekarangan rumahnya, sehingga antara
rumah yang satu dengan yang lain menciptakan lorong-
lorong sempit. Dan pada umumnya desain rumah tinggal
tradisional Kudus menghadap ke arah selatan.
Salah satu faktor yang menyebabkan rumah
tradisional Kudus memiliki kekhasan tersendiri yakni
penuhnya ukiran pada elemen-elemen rumah. Menurut
cerita setempat, seni ukir Kudus diwariskan oleh seorang
154

tionghoa bernama Telingsing yang diduga pernah tinggal


di kampung atau desa Sunggingan sekarang, jauh
sebelum Ja’far Shadiq (Sunan Kudus) datang ke Kudus.
Menurut Solichin Salam, Sunggingan berasal dari sebuah
nama Cina Sun Ging An, salah seorang imigran muslim
yang bersama-sama dengan Kyai Telingsing datang ke
Kudus. Selain sebagai Mubaligh mereka juga ahli dalam
seni ukiran. Tempat dimana Sun Ging An dan rekan-
rekannya pernah menetap dinamakan Sunggingan. Kata
Sunggingan juga berarti Ukiran; menyungging berarti
mengukir (Salam, 1994:80).
Tidak bisa dipungkiri, ukiran Kudus dalam dua
dasawarsa belakangan ini telah mengalami pekerbangan
yang sangat cepat. Tokoh-tokoh seperti bapak Bukhari
dan Noor Mustaqim atau lebih dikenal dengan nama
pendeknya Taqim sudah tidak asing lagi bagi masyarakat
Kudus, bahkan nama Taqim sudah menasional. Taqim
yang lahir pada tahun 1958 selain dikenal sebagai
pengukir juga lihai didalam membuat keramik, mengolah
tembaga, membentuk patung, melukis, dan membuat
gambar-gambar desain ; dan dia sering mengadakan atau
mengikuti pameran di beberapa tempat termasuk di
ibukota Jakarta. Rumah-rumah penduduk, terutama di
Kudus Kulon, di dalam dinding tembok yang tinggi pada
umumnya terdapat bengkel kerja. Dari luar tidak terlalu
kelihatan adanya aktivitas kerajinan tangan ini.
Menurut bapak Bukhari, sekarang ini, ukiran
Kudus sudah menerobos ke dalam karya tiga dimensi atau
fase ruang. Hasil yang bisa dilihat adalah ukiran pada
elemen-elemen bangunan Pendapa Kabupaten Kudus.
155

Ukiran dengan motif bunga dan daun tanaman disajikan


dengan begitu indah tidak sekedar pahatan-pahatan yang
menonjol dan tenggelam pada sebuah permukaan bidang
kayu melainkan sebuah penyajian “ukiran dalam ukiran”,
peningkatan pesat dari Zonder Boss, relief yang bisa lepas
dari dasarnya.
Di dalam ruang tamu atau jagasatru rumah
tradisonal Kudus, sebagian besar bidang permukaan
keempat gebyok nya dipenuhi dengan ragam hias ukiran.
Pada umumnya motif-motif yang diukir adalah bentuk
tanaman, daun, dan bunga. Tetapi ada juga motif-motif
yang khusus yang bisa menunjukkan latar belakang
bentuk ragam hiasnya.

Gambar 7.2. Jagasatru (Dokumentasi Penulis)


156

Pada gebyok tengah, di kanan dan kiri pintu


tengah, terdapat susunan bentuk ragam hias dengan motif
masjid dimana bidang dalamnya dipenuhi ukiran bermotif
tanaman. Pada salah satu panil gebyok, bidang dengan
motif masjid dirancang menjadi sebuah jendela kecil
(berjeruji kayu dengan posisi berdiri) yang bisa dibuka dan
ditutup; dinamakan juga jendela intip. Pada bagian-bagian
tertentu, dibuat ukiran-ukiran tembus yang kemudian di
sisi baliknya (bagian belakang) ditambahkan background
berupa kertas berwarna kuning emas, sehingga terlihat
lebih menonjol ukirannya.

Gambar 7.3. Ukiran motif masjid dan sulur-suluran pada gebyok


(Dokumentasi Penulis)

Pada setiap permukaan bidang tiang-tiang yang


terlihat, penuh dengan ukiran dari bagian bawah hingga
atas. Motif ukirannya berupa sulur-suluran tanaman dan
157

daun beserta bunga melati, dan pada bagian atas terdapat


hiasan ukir geometri berupa pertalian garis yang tidak
berpangkal dan tidak berujung dalam sebuah bidang
segienam panjang (posisi tidur). Di bagian paling atas
tiang terdapat ragam hias dengan motif kelopak daun yang
bentuknya seperti jari-jari manusia; jumlah kelopaknya
ganjil, tiga, lima, ataupun tujuh. Tetapi kebanyakan yang
ada, jumlah kelopaknya lima buah. Pada bagian tengah
atas, di depan pintu masuk utama terdapat ukiran yang
sangat indah. Orang-orang Kudus menyebutnya nanasan.

Gambar 7.4. Ukiran motif nanasan di atas depan pintu masuk


(Dokumentasi Penulis)
158

Menurut bapak Bukhari, arti dari motif pertalian


garis tak berpangkal dan tak berujung adalah bahwa
Allaah menurut ajaran Islam mempunyai sifat tidak
berawal dan tidak berakhir. Motif sulur-suluran tanaman
melati beserta buangnya melambangkan kehadiran agama
Islam yang suci. Sedangkan motif kelopak daun yang
jumlahnya lima mencerminkan seseorang yang sedang
melakukan takbir (mengangkat tangan) dalam shalat.

7.5 Asal-Usul Ukiran


Awal mula kemunculan rumah tinggal tradisional Kudus
dengan bentuk atap pencu nya dan kekayaan ragam hias
ukirannya dilatarbelakangi oleh meningkatnya taraf hidup
masyarakat. Terdapat benang merah antara tingkat taraf
hidup (baca:ekonomi) masyarakat dengan banyak dan
sedikitnya atau kaya dan miskinnya ragam hias ukiran
pada rumah tinggal tradisional. Sehingga ada dua faktor
utama yang berkait erat dengan keberadaan rumah tinggal
tradisional Kudus, yaitu peningkatan pendapatan
masyarakat dan ragam hias ukiran. Dengan demikian
untuk mengetahui jejak keberadaan rumah tradisional
Kudus, mau tidak mau, harus mengetahui sejarah
perkembangan masyarakat Kudus dan ragam hias ukiran
itu sendiri.
Sebagaimana telah diuraikan di bagian depan,
pada akhir abad ke-XIX M, berbarengan dengan
dibangunnya kota Kudus modern (Kudus Wetan),
masyarakat Kudus Kulon mulai menapak naik taraf
kehidupannya. Walaupun pada saat itu sudah banyak
pabrik gula yang dapat menyedot pekerja-pekerja buruh
159

(kebanyakan perempuan) dari Kudus dan daerah


sekitarnya, dan juga telah adanya beberapa pengrajin
batik dan kain songket namun hanyalah sebagai indikasi
bahwa kota Kudus sudah hidup kembali dan mulai
menggeliat untuk berusaha berdiri tegak. Tetapi tidak bisa
dipungkiri bahwa tercapainya kemakmuran masyarakat
Kudus Kulon justru bermula dari rokok kretek. Hingga
mencapai puncaknya pada masa pecahnya Perang Dunia
Pertama, tahun 1917 M.
Memasuki dasa warsa kedua abad XX M,
pengusaha-pengusaha rokok kretek pribumi mulai
mendapat tantangan dari pengusaha-pengusaha Tionghoa
yang mulai melirik usaha rokok kretek ini. Pada tahun
1912 didirikan Serikat Islam oleh saudagar-saudagar
Islam yang tujuannya adalah menghadapi pengusaha-
pengusaha Tionghoa. Organisasi ini kemudian tidak
populer karena tokoh-tokohnya banyak diduga terlibat
pada kerusuhan anti Cina di Kudus pada tahun 1918 M
dan telah disusupi oleh golongan “merah”
(Castles,1982:103). Hingga tahun 1945 M, pengusaha-
pengusaha rokok kretek pribumi masih bisa bertahan
terhadap persaingan dengan pengusaha-pengusaha
Tionghoa, walaupun dengan susah payah.
Dalam Laporan Skripsinya yang berjudul “Makna
Simbolik Unsur-Unsur Seni Bangunan Rumah Adat
Kudus (Kajian Kasus Terhadap Rumah Adat di Museum
Kretek Kudus)”, pada lampiran, Endah Yuliningsih (1997)
menampilkan sebuah gambar rumah tradisional Kudus
milik bapak haji Saleh Syakur. Pada salah satu elemen
gebyok atau dinding rumah memperlihatkan angka tahun
160

pembuatannya, yaitu tahun 1828 M. Kemungkinan besar


rumah ini bukanlah satu-satunya rumah tradisional yang
sudah ada di daerah Kudus Kulon. Sebenarnya tahun-
tahun ini kurang menguntungkan bagi masyarakat Jawa
pada umumnya untuk peningkatan taraf hidup dan
memperkaya bangunan rumahnya, sebab adanya perang
Jawa antara pasukan Pangeran Diponegoro melawan
Belanda yang dimulai pada tahun 1825 M. dan berakhir
tahun 1830 M. Menurut sejarah, kondisi yang relatif aman
dalam arti tiadanya peperangan, baru dicapai setelah
tahun 1830 M. Tetapi oleh Belanda, mulai tahun 1830 M
hingga tahun 1870 M, diberlakukan tanam paksa bagi
penduduk pribumi; semua hasil pertanian dan
perkebunan yang diusahakan oleh penduduk sebagian
besar harus diserahkan kepada pihak Belanda.
Sebagai perbandingan, pada salah satu elemen
rumah tinggal tradisional di desa Bakaran Kulon, Pati,
milik keluarga besar Mbah Kertolaksono, seorang kepala
Desa pada jaman kolonial Belanda, juga terdapat
keterangan angka tahun pembangunannya, yaitu 1909 M.
Dalam kehidupan sosial politik, pada tahun 1749
M mulailah diperkenalkan sistem kuota dan kewajiban
menyerahkan sebagian dari hasil tanaman penduduk
kepada Kompeni Belanda bagi daerah-daerah di pantai
utara Jawa. Kompeni menggunakan tenaga para Bupati
untuk menarik sebagian hasil tanaman dari penduduk
seperti beras, kacang-kacangan, kapas, kayu, dan
berbagai hasil lainnya untuk kemudian diserahkan
kepada pihak perwakilan VOC. Dengan adanya sistem ini
maka penduduk Jawa merasakan terjadinya perubahan
161

ekonomi : desa yang selama ini hanya berproduksi untuk


keperluan sendiri dan untuk keperluan raja dan
pejabatnya, sekarang juga diwajibkan menyerahkan
sebagian dari hasil kerjanya kepada VOC. Dari kebijakan
yang dikeluarkan oleh VOC tersebut hingga penerapan
sistem tanam paksa pada tahun 1830 M, telah semakin
memperberat kondisi sosial ekonomi masyarakat pedesaan
pada umumnya, namun tidak demikian dengan para
penguasa dari kalangan bumiputra, para Bupati dan
kroni-kroninya. Mereka bersama-sama orang-orang Eropa
dan Cina telah banyak mendapat bagian dari hasil
tanaman dan pajak penduduk. Kondisi seperti ini hampir
pasti juga terjadi pada masyarakat Kudus dan sekitarnya.
Ada sekelompok orang yang hidupnya makmur, di
atas rata-rata kehidupan masyarakat lainnya.
Kemungkinan pada masa-masa itu sudah ada orang-orang
Kudus yang pergi ke Mekah, menunaikan ibadah haji, dan
oleh kesadaran agamanya juga mengirimkan pemuda-
pemudanya menuntut atau memperdalam agama di
Mekah dan atau Madinah. Sehingga tidak mengherankan
apabila pada tahun 1828 sudah ada bangunan rumah
tinggal yang bergaya model pendapa bupati, beratap joglo,
yang dihiasi dengan ukiran di daerah Kauman, Kudus
Kulon, milik seorang yang sudah menyandang predikat
Haji. Jelas creator nya masih punya hubungan dengan
para penguasa pribumi. Sektor perdagangan belum
tercatat sebagai faktor utama pendorong peningkatan
kemakmuran (baca:ekonomi) masyarakat Kudus.
Menilai hasil dari sistem tanam paksa (1830-1870)
tidak berhasil dan semakin menyebabkan banyak rakyak
162

pribumi sengsara, maka pada tahun 1870, pihak Belanda


mulai memberlakukan sistem liberal, membuka peluang
kepada pihak swasta luar negeri untuk menanamkan
investasinya ke wilayah jajahan. Sejak itu pengaruh Eropa
mulai membanjiri wilayah Nusantara, terutama pulau
Jawa, tidak terkecuali Kudus. Hal ini masih bisa dilihat
buktinya dalam bentuk rumah kembar milik haji
Nitisemito dan rumah kapal yang ketiganya memiliki gaya
Eropa. Dan pada tahun ini pula, di Kudus, mulai
diperkenalkan dan dipopulerkan rokok cengkeh oleh haji
Djasmari. Dari sinilah era keemasan masyarakat pribumi
Kudus dimulai lewat perdagangan rokok.
Hingga menjelang tahun 1920an pengusaha
pribumi masih merajalela sebelum pengusaha-pengusaha
Tionghoa mulai ikut berusaha dibidang produksi dan
perdagangan rokok, yang sedikit demi sedikit mulai bisa
menyaingi dan bahkan menjelang tahun 1945 mulai
menggeser pengusaha pribumi.
Rumah tinggal tradisional Kudus tidak bisa
dilepaskan dari ukiran, oleh karenanya adalah tidak
mungkin membicarakan keduanya tanpa menelusuri latar
belakang keberadaannya. Selain dugaan bahwa ukiran
Kudus dibawa dan dikembangkan oleh Kyai Telingsing
bersama-sama rekannya yang selama ini masih dipercaya
oleh rakyat setempat, tidak ada keterangan atau data
tertulis tentang keberadaan ukiran Kudus.
Apabila kita bicara tentang ukiran maka Jepara,
wilayah yang letaknya di sebelah utara Kudus, tidak bisa
dikesampingkan. Seorang tokoh wanita ternama yang ikut
melambungkan ukiran Jepara ialah R.A. Kartini, putri
163

Bupati Jepara Sosroningrat; lahir pada tanggal 21 April


1879 M. Usahanya untuk memajukan seni ukir Jepara
telah diakui oleh dunia terutama bangsa Eropa pada akhir
abad ke XIX M. Pada usianya yang belum genap 20 tahun,
R.A. Kartini telah menjadikan buah karya ukiran Jepara
go international pada tahun 1898 M.
Unsur seni ukir yang telah melambungkan kota
Jepara yang paling utama adalah tersedianya bahan baku
yang berkualitas bagus yaitu kayu jati yang banyak
terdapat di Jepara dan sekitar gunung Muria. Tidak
berlebihan apabila menobatkan kota Jepara dan daerah
sekitarnya sebagai wilayah kelahiran seni ukir Jawa.
Tetapi tidak mudah untuk mengetahui kapan seni kriya
ini mulai ada di wilayah Jepara.
Sejak pertengahan Abad ke XVIII, terutama setelah
Kompeni Belanda berhasil menguasai daerah pesisir utara
Jawa dari kerajaan Mataram, terdapat beberapa kegiatan
perekonomian baru di kabupaten-kabupaten di wilayah
Jepara, salah satunya adalah adanya sebuah
penggergajian kayu di Jepara. Kayu merupakan salah satu
produk yang paling menguntungkan VOC pada periode ini.
Banyak desa yang dilibatkan pada pemotongan dan
pengangkutan kayu yang selanjutnya dikerjakan
digalangan kapal kepunyaan VOC. Apa yang dikatakan
kerja blandongan ini merupakan beban berat yang
ditanggung penduduk desa (Husken,1998:69).
Tempat penggergajian kayu adalah salah satu
faktor vital dalam mendapatkan potongan-potongan kayu
yang bagus. Tidak sedikit sisa-sisa kayu dari proses
penggergajian yang mungkin bisa dimanfaatkan untuk
164

media ukir yang ukurannya tidak terlalu besar. Sehingga


sangat wajar bila kita menempatkan keberadaan fasilitas
penggergajian kayu pada prioritas pertama bagi karya
ukiran Jepara, apalagi untuk proyek-proyek dalam skala
besar seperti yang pernah dilakukan oleh R.A. Kartini.
Masuk akal bila diajukan pendapat bahwa ukiran
yang ada pada elemen-elemen rumah tinggal tradisional
Kudus adalah note bene ukiran Jepara, mengingat hanya
orang-orang yang tergolong super kaya (pada waktu itu)
yang mampu membangun rumah tinggal tradisional
Kudus yang penuh dengan ukiran-ukiran jati.
Ada kesamaan kondisi antara Kudus dan Jepara
pada akhir abad ke-XIX dan Awal abad ke-XX M, yaitu di
satu pihak masyarakat pribumi Kudus mengalami
peningkatan berarti dalam sektor ekonomi dengan rokok
kreteknya, sedangkan Jepara mengalami kemajuan yang
cukup berarti pula dalam bidang seni ukirnya. Yang
keduanya menurut penulis terwujud dalam bentuk rumah
tradisional Kudus.

7.6 Kesimpulan
Dari uraian di atas, saya bisa menyimpulkan bahwa
rumah tinggal tradisional Kudus yang kondisinya masih
bisa kita lihat sekarang, beratap joglo pencu dan dihiasi
ukiran dibagian ruang dalamnya, dibangun setelah tahun
1749 M dan sebelum tahun 1920 M atau 1945 M. Meliputi
dua periode, yaitu periode pertama dari tahun 1749 M
hingga sebelum 1870 M dan periode kedua mulai tahun
1870 M hingga sebelum tahun 1920an atau hingga tahun
1945 M.
165

Sangat perlu melakukan penelitian-penelitian lebih


lanjut tentang adanya dua periode ini. Dengan melihat
latar belakang sejarahnya, rumah tinggal yang dibangun
pada periode kedua tentunya lebih memperlihatkan
kemakmuran pemiliknya. Dalam periode keduapun
kemungkinan terdapat dua kelompok, yaitu kelompok
rumah tinggal tradisional yang penghuninya para keluarga
saudagar Muslim yang condong ke business oriented dan
kelompok yang condong ke religious oriented (pengaruh
dari Ulama-ulama muda modernis).
Tetapi tidak mudah mengelompokan rumah-rumah
tinggal tradisional Kudus kedalam dua atau tiga kelompok
hanya berdasarkan kelengkapan dan kekayaan ukirannya.
Perlu mengetahui secara detai filosofi tiap-tiap motif ragam
hias ukirnya. Sayangnya, penghuni rumah sekarang
sudah banyak yang hanya menempati saja, kurang
mengetahui seluk beluk filosofi rumahnya.

Referensi
Castles, Lance
1982 Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa :
Industri Rokok Kudus, Jakarta: Sinar Harapan.

Gill, Ronald
1988 ‘The Morphology of Indonesia Cities’, dalam Change
and Heritage in Indonesian Cities, Proccedings of
Seminar, Jakarta, 28-30 September.

Husken, Frans
1998 Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah
Diferensiasi di Jawa 1830 – 1980, Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia.
166

Keesing, Elisabeth
1999 Betapa Besarpun Sebuah Sangkar; Hidup, Suratan
dan Karya Kartini, Jakarta: Djambatan.

Priatmodjo, Danang
1988 ’Anatomi Rumah Adat Kudus’, Laporan Penelitian,
Fakultas Teknik Universitas Tarumanegara.

Salam, Solichin
1994 Kudus Selayang Pandang, Kudus: Menara Kudus.

Sumartono, Anton
1997 ‘Desain Ukir Jepara’, Laporan Thesis, Program
Studi Antropologi Universitas Indonesia.

Wikantari, Ria Rosalia


1994 ‘Safeguarding A Living Heritage, A Model for the
Architecture Conservation of an Historic Islamic
Distric of Kudus, Indonesia’, A Thesis Report,
University of Tasmania.

Wiryomartono, A. Bagoes P.
1995 Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Yuliningsih, Endah
1997 ’Makna Simbolik Unsur-Unsur Seni Bangunan
Rumah Adat Kudus (Kajian Kasus Terhadap
Rumah Adat di Museum Kretek Kudus)’, Laporan
Skripsi, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(IKIP) Semarang.
BAGIAN 8

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR
MESJID WALI SONGO DI JAWA :
PERUBAHAN RUANG DAN BENTUK

8.1 Pendahuluan
Perkembangan Islam pada periode awal di pulau Jawa
tidak terlepas dari peran Wali Songo (Wali yang jumlahnya
sembilan), yakni sembilan mubaligh Islam yang dianggap
sebagai kepala dari sejumlah besar mubaligh Islam yang
bertugas menyiarkan agama Islam di daerah-daerah di
pesisir utara pulau Jawa. Mereka adalah Maulanan Malik
Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan
Drajat, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kalijaga, dan
Sunan Gunung Jati. Para Wali Songo itu masing-masing
memiliki tugas untuk menyebarkan Islam ke seluruh
pelosok Jawa melalui tiga wilayah penting. Wilayah
pertama adalah, Surabaya, Gresik dan Lamongan di Jawa
Timur. Wilayah kedua adalah, Demak, Kudus dan Muria
di Jawa Tengah. Dan wilayah ketiga adalah, Cirebon di
Jawa Barat.
Dalam rangka kegiatan penyebaran Islam, para
Wali Songo itu mendirikan mesjid di daerah-daerah yang

167
168

menjadi lahan dakwahnya. Dengan demikian, di Jawa


banyak karya arsitektur mesjid muncul pada masa itu.
Karya arsitektur mesjid tersebut dipenuhi dengan nilai-
nilai historis dan estetika dengan coraknya yang khas.
Dalam tulisan ini, mesjid - mesjid yang didirikan oleh atau
disangkutpautkan dengan para Wali Songo itu dinamakan
Mesjid Wali Songo.
Mesjid Wali Songo, beberapa di antaranya terletak
di dan menjadi bagian dari kota-kota modern di Jawa,
seperti mesjid Ampel Denta (Sunan Ampel) menjadi bagian
dari kota Surabaya, mesjid Menara Kudus (Sunan Kudus)
menjadi bagian dari kota Kudus, mesjid Agung Demak
menjadi bagian penting dari pusat kota Demak, dan
mesjid Agung Sang Cipta Rasa (Sunan Gunung Jati) yang
menjadi bagian kota Cirebon.
Dari dulu hingga sekarang mesjid-mesjid Wali
Songo menjadi tempat pengembangan dakwah agama
Islam bagi masyarakat di lingkungan sekitarnya.
Sementara Mesjid Walisongo yang lainnya terletak sedikit
di luar kota, membentuk lingkungannya sendiri, seperti
mesjid Sunan Giri di atas bukit di Gresik, mesjid Sunan
Kalijogo di sebuah dusun Kadilangu di Demak, dan mesjid
Sunan Muria di bukit Muria di Kudus. Mesjid-mesjid ini
pada umumnya merupakan mesjid makam, yakni mesjid
yang sejak awalnya dididirikan untuk fasilitas kegiatan
ziarah makam.
Arsitektur Mesjid Wali Songo sebagai perwujudan
dari kebudayaan Jawa kelihatannya cenderung untuk
tidak berubah atau bertahan pada tradisi-tradisi yang
berlaku, padahal sebenarnya mengalami perubahan
169

seiring dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan


masyarakat pendukungnya. Perubahan yang terjadi akibat
dari semakin meningkatnya faktor kemampuan dan
tuntutan kebutuhan masyarakat pendukungnya telah
memberikan dampak yang signifikan terhadap
perkembangan arsitektur Mesjid Wali Songo.
Tulisan ini mencoba memperlihatkan sejauh mana
perubahan-perubahan yang terjadi pada arsitektur Mesjid
Wali Songo, khususnya perubahan tata ruang dan bentuk
bangunan mesjid sebagai akibat dari semakin
meningkatnya dan beragamnya kebutuhan masyarakat
pendukungnya dari masa ke masa, dan menguraikan
keterkaitan berbagai faktor dan konteks yang
mempengaruhi perubahan-perubahan itu.
Tulisan ini menggunakan pendekatan Historis,
dengan studi kasus Mesjid Wali Songo yang lokasinya di
dan menjadi bagian kota-kota di Jawa, yakni Mesjid Ampel
Denta Surabaya, Mesjid Menara Kudus, Mesjid Agung
Demak, dan Mesjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon.
Dalam proses analisis digunakan dua metode analisis
secara komplementer, yakni analisis Diakronik, untuk
melihat perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu, dan
analisis Sinkronik, untuk melihat peristiwa-peristiwa
simultan yang berpengaruh terhadap perubahan yang
terjadi pada suatu waktu tertentu. Dengan gabungan
kedua metode ini diharapkan dapat diketahui hubungan
antara gejala perubahan dengan struktur atau konteks
gejala perubahan tersebut terjadi. Tema-tema arsitektur
seperti ruang dan bentuk tetap menjadi perhatian utama.
170

Mesjid Sunan Ampel

Mesjid Agung
Demak

Mesjid Agung
Sang Cipta Rasa

Mesjid Menara Kudus

Gambar 8.1. Mesjid-mesjid Wali Songo sebagai obyek kajian


(Dokumentasi Penulis)
171

8.2 Mesjid sebagai Sarana Kegiatan Dakwah : Sejarah


Singkat
Dakwah Islam secara sistematik dan terorganisir di tanah
Jawa dirintis oleh seorang mubaligh ternama yaitu Raden
Rahmat, yang kemudian dikenal dengan Sunan Ampel.
Dia datang dari negeri Campa. Di Ampel Denta, sebagai
sarana dakwahnya setelah mendirikan pesantren yang
makin lama santrinya semakin banyak, dia membangun
sebuah mesjid besar dengan atap tumpang. (Wiryoprawiro,
1986:123).
Mesjid Ampel Denta yang dibangun oleh Sunan
Ampel bersama murid-muridnya sejak berdirinya tahun
1450 hingga sekarang masih bisa kita saksikan, dan
beberapa kali telah mengalami perluasan. Perluasan
pertama dilakukan oleh Adipati Aryo Cokronegoro dengan
menambah bangunan di sebelah utara bangunan lama.
Perluasan kedua dilakukan oleh Adipati Regent Raden
Aryo Niti Adiningrat pada tahun 1926, yakni dengan
menambah atau memperluas ke bagian utara lagi.
Perluasan ketiga dilakukan setelah masa kemerdekaan
yang diselenggarakan oleh Panitia Khusus Perluasan
Mesjid Agung Sunan Ampel tahun 1954 - 1958, yakni
perluasan di sebelah utara lagi dan di sebelah barat.
Perluasan keempat dilakukan tahun 1974 dengan
memperluas lagi bagian barat. Dengan adanya perluasan
ini maka bangunan semula yang luasnya 2.069 m2 kini
bertambah menjadi 4.780 m2. (Wiryoprawiro, 1986:182).
Mesjid dan pesantren Ampel Denta telah
melahirkan mubaligh-mubaligh muda hasil gemblengan
Sunan Ampel, diantaranya ialah Maulana Ishak, Raden
172

Paku (Sunan Giri), Raden Makdum Ibrahim (Sunan


Bonang), Raden Syarifuddin (Sunan Drajat), dan Raden
Patah. Bahkan tokoh yang disebutkan terakhir ini
kemudian didudukkan sebagai sultan kerajaan Islam
pertama di tanah Jawa yang berpusat di Demak.
Sunan Ampel juga disebut-sebut sebagai arsitek
pembangunan mesjid Agung Demak (Salam, 1974:28).
Pembangunan mesjid Agung Demak dilaksanakan tahun
1477-1479 (atau 1481). Tahun 1481 merupakan tahun
wafatnya Sunan Ampel. Mesjid Agung Demak kemudian
menjadi prototipe mesjid-mesjid di Nusantara (Ashadi,
Jurnal Nalars, 2002).
Mesjid Agung Demak selama masa keberadaannya
sudah beberapa kali mengalami perbaikan dan perluasan.
Berdasarkan gambar kuno (Soekmono,1973:53),
penampilan mesjid Demak terkesan sederhana. Dari
gambar terlihat bahwa bangunan mesjid merupakan single
building. Penambahan fasilitas yang mula-mula adalah
bangunan serambi yang terkenal dengan serambi
'majapahit', yang diperkirakan menyatu dengan bangunan
utama mesjid Agung Demak pada tahun 1845.
Dalam buku Geschiedenis Van Java Deel II,
terbitan tahun 1920 menampilkan gambar (photo) mesjid
Agung Demak. Dari gambar terlihat sebuah regol sebagai
gerbang utama masuk ke dalam kompleks mesjid. Di
belakang regol terdapat bangunan penghubung ke serambi
mesjid yang dinamakan tratag rambat. Namun pada tahun
1966 regol dan tratag rambat itu dibongkar dan kemudian
dibangun kembali gapura dengan ornamen batu andesit
seperti kondisi sekarang ini. Pada tahun 1967 dibuatlah
173

sebuah kolam di sebelah tenggara bangunan mesjid yang


kemudian terkenal dengan 'kolam bersejarah'.
Penyusunan strategi dan operasional dakwah Islam
oleh para Wali Songo saat itu dilakukan di mesjid Agung
Demak. Kiprah para Wali Songo dalam memperjuangkan
Islam di tanah Jawa dengan mesjid Agung Demak sebagai
pusat aktivitasnya tidaklah diragukan lagi, bahkan
menjadikan namanya melegenda di kalangan masyarakat
Jawa. Salah satu dari mereka selain sebagai pemimpin
rohani (Imam), juga sebagai anggota pasukan perang
kerajaan Islam Demak. Dialah Ja'far Shadiq yang
kemudian dikenal dengan Sunan Kudus.
Nama Ja’far Shadiq jelas disebut di dalam inskripsi
yang terdapat di atas mihrab mesjid Menara Kudus. Asal-
usul dan silsilah tokoh yang satu ini hingga sekarang
masih simpang siur, namun ada dugaan kuat bahwa dia
keturunan Arab. Direbutnya ibukota kerajaan Majapahit
pada tahun 1527 oleh pasukan Demak tidak terlepas dari
peran Ja’far Shadiq dan bapaknya (Sunan Ngudung).
Setelah selesai dengan tugas-tugas ketentaraannya, Ja’far
Shadiq pindah ke Kudus. Tahun-tahun terakhir
kehidupan Ja’far Shadiq dapat diperkirakan sekitar 1587
atau 1588 hingga sebelum tahun 1605.
Peninggalan Ja’far Shadiq yang sampai sekarang
masih bisa dilihat adalah mesjid Menara Kudus, dibangun
kemungkinan pada tahun 1549 sesuai keterangan yang
ada di atas mihrab mesjid. Yang unik adalah bentuk
menaranya menyerupai candi Jawa Timuran dengan
bahan dari bata merah. Agak sulit untuk mengetahui
ataupun mengidentifikasikan bentuk awal bangunan
174

mesjid, karena telah mengalami perbaikan-perbaikan yang


dibarengi dengan perluasan hingga pada bentuknya yang
sekarang.
Tentang mesjid Menara Kudus, Majalah Konstruksi
edisi Mei 1988, pada halaman 45, memaparkan sejarah
singkat perkembangan mesjid Menara Kudus. Pada awal
pendiriannya, mesjid berbentuk payung, seluas 20 m2
dengan satu tiang di tengah. Mesjid yang semula
sederhana, kemudian mengalami beberapa kali perluasan
untuk menampung jamaah yang semakin meningkat
jumlahnya. Pada tahun 1919, mesjid diperluas hingga ke
pintu kori agung pertama dengan penutup atap berbentuk
atap tajug tumpang tiga. Juga di samping kirinya sudah
dibangun madarasah. Pada tahun 1925, mesjid diperluas
lagi sampai ke pintu kori agung kedua berupa bangunan
serambi dengan atap berbentuk limasan, dan tahun 1933
ditambah serambi sampai halaman paling depan. Penutup
serambi ini berupa atap pelana dan pada bagian paling
timur berupa atap berbentuk kubah.
Tentang mesjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon,
menurut beberapa sumber dibangun beberapa saat
setelah bangunan mesjid Agung Demak berdiri atas
prakarsa Syarif Hidayatullah yang kemudian dikenal
dengan Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah adalah
seorang ulama yang datang dari negeri Mesir. Pada tahun
1479 oleh para Wali di Jawa diangkat menjadi pemimpin
pengembang agama Islam di kawasan Jawa bagian Barat
yang berpusat di Cirebon, dan berkedudukan di Keraton
Pakungwati (Sudjana, 2003:7). Syarih Hidayatullah wafat
tahun 1568 dan dimakamkan di puncak Gunung
175

Sembung, Astana Gunung Jati (Sulendraningrat,


1985:32).

Gambar 8.2. Perkembangan bentuk dasar denah mesjid Wali Songo


(Hasil Analisis)
176

Mesjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon sejak


berdirinya tahun 1489 hingga sekarang telah mengalami
beberapa perluasan. Bangunan mesjid, bentuk aslinya
berukuran 25 x 25 m2. Pada abad 17, pada jaman
Panembahan Ratu, serambi mesjid bagian timur diperluas.
Kemudian tahun 1965 - 1967, serambi mesjid bagian
timur ini diperluas lagi, dan karena keterbatasan lahan
maka salah satu tiang serambi ditanam pada tembok
pembatas kompleks mesjid (Sudjana, 2003:12-19).

8.3 Menuju Keruangan Memusat


Dari segi tata ruang, ruang tengah mesjid adalah ruang
yang paling utama dan sakral. Pada awalnya mesjid Wali
Songo yang dikaji hanya berupa sebuah ruang yang
dibatasi oleh dinding-dinding kayu pada keempat sisi-
sisinya yang membentuk bujur sangkar, yang sekarang ini
menjadi ruang tengah. Dimensi ruang yang memiliki
ukuran sama pada keempat sisinya yang kemudian
dilingkupi dengan penutup atap tajug yang berbentuk
mirip piramida ini mengundang kita untuk menelusuri
konsep ruang dan bentuk arsitektur mesjid Wali Songo.
Untuk memulainya saya akan berangkat dari fungsi,
sebab sebuah karya arsitektur harus memiliki nilai fungsi
atau kegunaan bagi manusia.
Sejak awal, apa yang dinamakan arsitektur itu
dibangun oleh tiga pilar yang salah satunya adalah fungsi,
seperti yang dirumuskan oleh Marcus Vitruvius Pollio (46
– 30 SM) dalam De Archittetura, yakni firmitas (kekuatan),
utilitas (kegunan-fungsi), dan venustas (keindahan-
estetika). Dalam bahasa aslinya, seperti ditulis kembali
177

oleh Pursal (nama aslinya Purnama Salura) dalam


Arsitektur Yang Membodohkan, berbunyi 'Haec autem ita
fieri debent, ut habeatur ratio firmitatis, utilitatis,
venustatis,' yang kemudian diterjemahkan oleh Morris
Hicky Morgan dalam The Ten Books on Architecture (1914)
menjadi 'All these must be built with due reference to
durability, convenience and beauty (Pursal, 2010:68).
Fungsi utama mesjid adalah tempat untuk
bersujud. Hal ini sesuai dengan istilah yang disematkan
pada mesjid itu sendiri. Perkataan mesjid berasal dari
bahasa Arab, sujudan - sajada, kata kerja sajada
mendapat awalan ma sehingga terjadi kata benda yang
menunjukan tempat, masjidu - masjid. Dalam lafal orang
Indonesia, kata 'masjid' ini kebanyakan diucapkan
menjadi 'mesjid'. Dalam bahasa sehari-hari kegiatan yang
dimaksud adalah shalat.
Keadaan orang yang melakukan shalat adalah
keadaan yang statis, ia tidak boleh berpindah tempat.
Keadaan yang statis ketika orang sedang shalat atau
berdoa dapat meningkatkan kekhusu'an. Oleh karenanya,
ruang tempat shalat harus memiliki sifat statis, dan ini
bisa diwujudkan dengan ruang yang berbentuk bujur
sangkar atau segiempat. Selain itu bentuk bujur sangkar
atau segiempat adalah bentuk ruang yang paling
fungsional di antara bentuk-bentuk dasar geometrikal
lainnya terutama untuk kegiatan komunal seperti halnya
kegiatan shalat berjama'ah.
Berkaitan dengan bentuk-bentuk dasar, Francis
D.K. Ching dalam Architecture : Form●Space & Order,
menyatakan bahwa dari ukuran bentuk-bentuk yang
178

biasa kita kenal memiliki bentuk-bentuk dasar (primary


shapes) yakni lingkaran, segitiga, dan segiempat. Ching
menjelaskan, bentuk segiempat menggambarkan
kemurnian dan rasional, dan ia bersifat statis, tidak
memiliki aturan yang istimewa (Ching, 1979:54-57).
Penjelasan singkat Ching tentang sifat bentuk segiempat
yang rasional, yang mana sifat rasional ini tidak
dilekatkan kepada bentuk-bentuk lingkaran dan segitiga,
menurut saya jelas bersangkut paut dengan fungsi,
artinya bahwa bentuk segiempat itu lebih fungsional
dibandingkan dengan bentuk-bentuk dasar lainnya.
Sementara Rob Krier dalam Elements of
Architecture, selain bentuk-bentuk itu ia memasukkan
bentuk yang tidak berbentuk (amorphous) ke dalam
kelompok bentuk-bentuk denah dasar geometrikal
(geometrical ground-plan forms) (lihat Krier, 1992:26).
Bentuk bujur sangkar atau segiempat tidak
memiliki titik orientasi sehingga dapat dikatakan bahwa
derajat nilai ruang di seluruh bagian ruang adalah sama.
Coba sekarang kita lihat kembali ke mesjid Wali Songo.
Memang bentuk denah ruang utama mesjid adalah bujur
sangkar, tetapi untuk sebuah ruangan peribadatan ia
dituntut harus memiliki titik orientasi. Dan kemudian hal
itu diwujudkan dengan adanya mihrab yang terletak di sisi
barat (arah kiblat). Mihrab ini berupa ceruk atau lubang
yang ukurannya relatif kecil pada dinding bagian barat,
yang fungsinya untuk tempat imam memimpin shalat.
Mihrab dianggap bagian paling sakral dalam tata
ruang mesjid Wali Songo, oleh karenanya perlakuan
terhadapnya sangatlah istimewa. Hal ini ditunjukkan oleh
179

mesjid-mesjid yang dikaji. Pada dinding bagian depan


mihrab mesjid Agung Demak ditempatkan tableau
berbentuk kura-kura, yang oleh para sejarawan ia
dianggap sebagai petunjuk tentang pendirian mesjid. Pada
bagian atas dinding di dekat mihrab mesjid Menara Kudus
ditempatkan inskrpsi yang juga menerangkan tentang
pendirian mesjid. Dan pada bagian atas mihrab mesjid
Agung Sang Cipta Rasa ditempatkan ukiran batu
berbentuk kuncup bunga teratai, yang melambangkan
bahwa manusia itu sesungguhnya tak mempunyai kuasa
apapun. Sang imam harus berdiri tepat di bawah ukiran
batu itu saat memimpin shalat, dan merendahkan dirinya
di hadapan Allah SWT karena hanya Allah lah yang
memiliki kuasa.
Ketika seseorang memasuki ruangan tengah mesjid
maka pandangannya segera tertuju ke arah mihrab.
Secara teoritis, hal ini dijelaskan oleh Ching, bahwa untuk
mempengaruhi penglihatan dalam ruang, maka salah satu
bidang yang membatasi dapat dibedakan dalam
bentuknya dari yang lain, baik dalam ukuran, bentuk
maupun permukaan bentuk (Ching,1979:168). Dalam
kasus mesjid, dengan adanya mihrab pada pembatas
ruang sisi barat, maka ia telah berbeda dengan ketiga
pembatas lainnya.
Dengan denah mesjid yang berbentuk bujur
sangkar mengharuskan ia memiliki tipe penutup atap
tajug yang keempat bidang pembentuknya bertemu di
satu titik puncak, seperti bentuk piramida. Kondisi ini, di
satu sisi, eksterior bangunan memberikan kesan masif, di
sisi lain struktur atap yang menerapkan sistem rangka,
180

jelas menciptakan keruangan di bawah atau di dalam


bentuk piramida tersebut. Terciptalah keruangan yang
memusat.
Meminjam istilah yang digunakan Christian
Norberg-Schulz dalam karyanya yang terakhir Architecture
: Present, Language, Place (2000), seperti diterangkan
kembali oleh Pursal dalam Arsitektur Yang Membodohkan,
ketika berbicara tentang pola keruangan yang meliputi
tiga yakni nodal-point, routes, dan boundaries, maka untuk
kasus keruangan mesjid Wali Songo yang sesuai adalah
nodal point. Diterangkan bahwa nodal point merupakan
pola keruangan memusat secara dua dimensional, yang
kemudian dalam proses perkembangannya secara vertikal
cenderung membentuk kubah prisma (Pursal, 2010:34).
Keruangan mesjid Wali Songo tentunya tidaklah
berangkat dari keruangan memusat dua dimensional,
karena bentuk dasar denahnya adalah bujur sangkar yang
mana bentuk ini sama sekali tidak memiliki sifat
keruangan memusat. Seperti diketahui bahwa bentuk
dasar yang memiliki sifat keruangan memusat adalah
lingkaran. Begitu pula yang dimaksud oleh Pursal dengan
keruangan memusat secara dua dimensional mungkin
saja adalah bentuk dasar lingkaran atau bentuk dari hasil
garis yang memancar dari sebuah titik. Untuk yang
terakhir ini Mimi Lobel seperti dijelaskan kembali oleh
Pursal dalam buku dan halaman yang sama,
menyebutnya sebagai radiant-axes. Radiant-axes adalah
spatial-archetype yang ditarik dari sifat individu manusia,
yang ingin memperluas diri. Simbol individu yang lalu
menjadi simbol kekuasaan ini dipetakan sebagai garis
181

yang memancar dari sebuah titik. Kembali pada kasus


mesjid Wali Songo, meskipun secara dua dimensional
tidak memiliki sifat memusat, namun secara tiga
dimensional keruangan mesjid Wali Songo dapat
dikatakan memiliki sifat memusat. Jadi menurut saya
terciptanya keruangan memusat tiga dimensional tidak
mesti merupakan hasil perkembangan dari keruangan
memusat dua dimensional.
Dalam perkembangannya, mesjid Wali Songo
mengalami penambahan ruang berupa serambi di bagian
depan, samping kanan dan samping kiri ruang utama.
Terutama serambi depan mesjid memiliki peran penting
bagi kegiatan sosial keagamaan masyarakat Islam pada
jaman Kolonial Belanda.
Fungsi serambi mesjid pada masa Kolonial Belanda
telah diceritakan oleh Snouck Hurgronje. Di pulau Jawa,
serambi mesjid menjadi ruang pengadilan bagi sengketa-
sengketa, yang peradilannya telah dapat dikuasai hukum
agama, seperti urusan-urusan mengenai hukum
perkawinan, hukum kekeluargaan dan hukum waris. Di
serambi, penghulu, biasanya tiap hari Senin atau hari
Kamis dengan didampingi oleh beberapa ahli di antara
pegawai-pegawainya, mengadakan sidang untuk
memeriksa dan sedapat mungkin menyelesaikan dengan
segera perkara-perkara yang kadang-kadang beberapa
waktu sebelumnya sudah diberitahukan kepada juru tulis
atau pembantu-pembantu yang lain. Kebanyakan perkara
yang diadili di serambi mesjid diajukan oleh kaum wanita,
yang dalam beberapa hal merasa dirugikan oleh suaminya
(Hurgronje, 1983:17).
182

Kita kembali kepada bentuk-bentuk dasar


geometrikal, yang mana bentuk-bentuk ini bisa mengalami
perkembangan. Perkembangan bentuk-bentuk ini
menurut Rob Krier dalam Elements of Architecture dapat
melalui beberapa cara, yakni penambahan (addition),
penetrasi (penetration), penekukan (buckling), segmentasi
(segmentation), perspektif (perspective), dan distorsi
(distortion) (Krier, 1992:27).
Dalam kasus mesjid Wali Songo, perkembangan
bentuk terjadi melalui cara penambahan (addition).
Sekarang, di samping kanan, kiri dan depan (sebelah
timur) ruang utama mesjid ditambahkan serambi yang
masing-masing dibatasi oleh adanya dinding; serambi
samping berupa lotrong, semi tertutup, dan serambi depan
berupa ruang semi terbuka. Serambi samping beratapkan
sor-soran yang merupakan penerusan atap tajug bagian
tumpang paling bawah, dan serambi depan beratapkan
bentuk limasan. Dengan demikian, ruang utama yang
dikelilingi serambi tidak mendapatkan sinar matahari
yang cukup sehingga terkesan gelap, sepi dan tertutup.
Secara dua dimensional, ruang utama yang tidak memiliki
sifat keruangan memusat kini ia menjadi titik orientasi
dari ketiga serambi yang ada di kelilingnya.
Dalam gradasi ruang sakral-profan, maka ruang
utama adalah ruang yang bersifat sakral di kelilingi
serambi yang bersifat semi sakral, kemudian pelataran
semi profan dan lingkungan sekitarnya adalah profan.
Dilihat dari susunan ruang dan gradasi ruang tersebut,
saya bisa menyatakan bahwa ruang utama atau ruang
tengah mesjid memiliki sifat keruangan memusat,
183

meskipun tidak seabsolut sifat keruangan memusat yang


terjadi dari perkembangan bentuk dasar lingkaran.

Gambar 8.3. Perkembangan keruangan memusat bentuk


dasar lingkaran dari dua dimensional yang memusat
menjadi tiga dimensional yang memusat (atas) dan bentuk
dasar bujur sangkar dari dua dimensional yang tidak
memusat menjadi tiga dimensional yang memusat (bawah)
(Hasil Analisis)

8.4 Menuju Modernitas


Dalam perkembangan selanjutnya, pada mesjid Wali
Songo dilakukan perbaikan-perbaikan pada bagian-bagian
bangunan yang sudah rusak dan perkuatan-perkuatan
pada struktur bangunannyanya. Material bangunan pada
dinding-dinding mesjid yang sebagian besar semula dari
bahan kayu diganti dengan dinding tembok penumpu.
Pada awalnya konstruksi atap bagian bawah
keliling bangunan masjid Wali Songo bertumpu pada
184

balok blandar di atas dinding kayu pembatas ruangan,


maka sekarang bertumpu pada dinding tembok yang pada
umumnya dibuat tebal (ukuran sekarang satu batu).
Begitu pula kolom-kolom mesjid yang dari awalnya dari
bahan kayu sebagai struktur utama, sekarang tidak
diganti tapi diperkuat dengan kolom-kolom dari beton dan
perkuatan-perkuatan dengan konstruksi besi. Terjadilah
perubahan dalam penggunaan material dan teknologi
bangunan.
Berkaitan dengan penggunaan material dalam
perancangan arsitektur, Bernard Leupen dkk, dalam
Design and Analysis menerangkan adanya keterkaitan
yang erat antara penggunaan materal dan ruang.
Diterangkan bahwa apapun perancangan itu apakah
sebuah rumah, bagian dari sebuah kota, taman, dan
lansekap semuanya diprediksi di atas komposisi ruang
dan material. Kemudian bentuk, alam dan kualitas
material menentukan kualitas ruang di dalam sebuah
rumah (Leupen dkk, 1997:24).
Bangunan mesjid Wali Songo dulunya dibangun
dengan menggunakan material yang mudah didapat di
lingkungan alam sekitar, yaitu bahan kayu dan dengan
teknologi yang sederhana, yakni pertukangan yang
memang sudah menjadi keahlian sebagian masyarakat
Jawa. Sekarang diganti dengan material yang diproduksi
masal di pabrik dengan bantuan mesin seperti bahan besi
dan campuran beton. Dari dua kondisi ini kemudian dapat
dimunculkan dua keadaan yang oleh sebagian orang
dipertentangkan yakni tradisionalitas dan modernitas,
padahal menurut saya keduanya merupakan keadaan
185

yang mewakili sebuah proses perkembangan. Begitu pula


nantinya muncul modernitas dan posmodernitas. Dari
aspek penggunaan material, tradisionalitas dicirikan
dengan pemanfaatan secara optimal bahan-bahan yang
didapat di lingkungan alam sekitar dengan pengolahan
yang mengandalkan keahlian atau kemampuan manusia,
sementara modernitas yang menjadi perkembangannya,
memanfaatkan secara optimal bahan-bahan olahan pabrik
yang mengandalkan kemampuan mesin.
Perkembangan dari tradisionalitas menuju
modernitas diperlihatkan secara jelas oleh mesjid Menara
Kudus. Pada tahun 1919, masjid diperluas hingga ke
pintu kori agung pertama dengan penutup atap berbentuk
atap tajug tumpang tiga. Pada tahun 1925, mesjid
diperluas lagi sampai ke pintu kori agung kedua, dan pada
tahun 1933 ditambah serambi sampai halaman paling
depan dengan pelindung atap berbentuk kubah 1. Pada
perluasan tahun 1919, dinding-dinding pembatas ruang

1 Achmad Fanani dalam makalahnya yang berjudul Arsitektur


Masjid dan Habitat Budaya Masyarakat Islam di Jawa, Kasus :
Arsitektur Masjid Kubah, yang disajikan dalam acara Lokakarya
Nasional Arsitektur Islam, 1995 di Yogyakarta menyatakan
bahwa masjid dengan atap kubah di Jawa secara jelas merekam
situasi perkembangan Islam di tanah Jawa. Babak perubahan
arsitektur masjid setelah jaman Wali yang menghadirkan
arsitektur masjid Wali beriringan dengan pertumbuhan serta
perubahan yang terjadi pada basis komunitas muslim di
pesantren-pesantren. Persiapan lahirnya generasi arsitektur
masjid berkubah berlangsung sejak penghuni koloni Jawa di
pusat pemukiman ilmu di tanah suci Mekah dan Madinah mulai
mekar dan secara intensif kemudian kembali ke tanah air sejak
awal abad ke 19.
186

utama diganti dari bahan kayu menjadi tembok tebal dan


ditinggikan. Atap tumpangnya dirombak total, dimana
antara tumpang satu dengan tumpang lainnya diangkat
lebih ke atas, kemudian pada bagian ini ditempatkan
jendela-jendela kaca yang tembus cahaya sinar matahari.
Dengan demikian ruangan tengah yang dulunya gelap
sekarang menjadi terang, dan suasana ruang menjadi
jelas karena adanya sinar matahari yang masuk ke
ruangan ini.
Dalam kaitan keberadaan cahaya dalam ruang
Ching dalam Architecture : Form●Space & Order,
menyatakan sinar matahari yang jatuh pada permukaan
kamar membuat kamar menjadi semarak dan
memperjelas susunan kamar. Dalam kaitannya dengan
arsitektur, Le Corbusier dalam Towards a New Architecture
(1946) seperti dikutip Ching, menyatakan bahwa
arsitektur adalah hal yang sungguh agung dan indah
sekali, ia dapat bermain-main keserasian dalam
permainan cahaya. Maka kita dibuat mengerti akan
bentuk dalam cahaya; cahaya dan bayang-bayang yang
mengungkapkan bentuk-bentuk (Ching, 1979:180-181).
Kehadiran cahaya dalam ruang tengah mesjid yang
menjadikannya lebih terang, semarak, dan memperjelas
susunan pembentuknya dapat dikatakan bahwa di sana
telah terjadi perubahan menuju ke modernitas.
Ciri modernitas lainnya ditunjukkan dengan
keberadaan kubah pada bangunan mesjid. Secara
arsitektural klaim untuk menunjukkan eksistensi suatu
komunitas muslim sebagai bagian dari komunitas dunia
nampak pada pengadopsian elemen-elemen yang berbau
187

Islam 'Internasional'. Identitas Islam 'Internasional' ini


cukup terwakili oleh atap kubah pada bangunan-
bangunan mesjid dan madrasah.
Jawa, di awal abad 20 menunjukkan gejala
hadirnya identitas Pan-Islamisme 'Arabia', yang
dihadirkan oleh para ulama yang baru datang dari
menunaikan ibadah haji atau menuntut ilmu di Arab
Saudi. Di sebagian kasus, atap kubah ditaruh begitu saja
di antara atap tumpang yang sudah ada sebelumnya, atau
ditaruh di bagian paling atas atap tumpang.
Mesjid Menara Kudus adalah salah satu korban
Pan-Islamisme. Mesjid ini menunjukkan perubahan-
perubahan yang sangat cepat. Sesudah bangunan utama
mesjid diperluas tahun 1925 dengan bentuk atap
tumpang, tak lama kemudian pada tahun 1933, serambi
dibangun lagi beratap kubah yang sangat besar dengan
rangka dan permukaan logam. Di sekeliling atap kubah
bagian dalam tertera nama-nama sahabat Nabi
Muhammad SAW dengan tulisan Arab, seperti Thalhah bin
Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf,
Abu Bakar Ash-shiddiq, Umarbin Khatab, Utsman bin
Afan, Ali Karamallaahu Wajhah, Sa’ad bin Abi Waqas,
Sa’id bin Zaid, Abu Ubaidah bin Jarrah, dan nama-nama
imam yang empat yaitu Syafe’ie, Hambali, Hanafi, dan
Maliki. Pada kasus ini terjadi impor ganda karena selain
mengambil bentuk kubah, bangunan serambi ini juga
secara menyolok menggunakan material-material
'modern', seperti rangka baja atap kubah yang diekspos,
kaca timah di sepanjang pinggiran atap berpolakan
kaligrafi dan lantai serta pelapis dinding teraso.
188

Modernisasi juga terjadi dengan mesjid Agung Demak,


yaitu adanya penambahan bangunan Menara berangka
baja dengan penutup bentuk kubah di bagian atasnya.
Dengan demikian perubahan ini menggunakan stempel
ganda : 'Islam Internasional' dan 'Modern'.

Gambar 8.4. Menara mesjid Agung Demak : produk modernisasi


(Dokumentasi Penulis)

8.5 Kesimpulan
Ruang utama (tengah) mesjid yang memiliki bentuk denah
bujur sangkar, dinaungi secara penuh oleh atap tajug
bertumpang dan dikelilingi oleh serambi, memperlihatkan
kesan ruang tertutup dan bersifat sakral. Serambi depan,
serambi kanan dan serambi kiri yang berorientasi ke
ruang utama, bersifat semi tertutup dan semi sakral.
Dengan keberadaan serambi di sekelilingnya, menjadikan
ruang tengah atau ruang utama shalat baik secara dua
189

dimensional maupun perkembangannya secara tiga


dimensional memiliki keruangan yang memusat.
Perkembangan dari tradisionalitas menuju modernitas
telah ditunjukkan oleh perubahan-perubahan yang terjadi
pada bagunan mesjid, yakni dengan penggunaan material,
penerapan teknologi, pencahayaan, dan pengabdosian
bentuk-bentuk 'internasional' - kubah.

Referensi
Ashadi
2002 ‘Masjid Agung Demak sebagai Prototipe Masjid
Nusantara : Filosofi Arsitektur’, dalam Jurnal
Nalars, Jurusan Arsitektur FT-UMJ. Th. I-I.

Ching, Francis D.K.


1979 Architecture : Form●Space & Order, New York: Van
Nostrand Reinhold Company.

Fanani, Achmad
1995 ‘Arsitektur Masjid dan Habitat Budaya Masyarakat
Islam di Jawa, Kasus : Arsitektur Masjid Kubah’,
Makalah dalam acara Lokakarya Nasional
Arsitektur Islam di Yogyakarta.

Fruin-Mess, W.
1920 Geschiedenis van Java II, Batavia: Ruygrok & Co.

Hurgronje, Snouck
1983 Islam di Hindia Belanda, Jakarta: Bhratara Karya
Aksara.

Krier, Rob
1992 Elements of Architecture, London: Academy Group
LTD.
190

Leupen, Bernad; Christoph Grafe; Nicola Kornig; Marc


Lampe; Peter de Zeeuw
1997 Design and Analysis, New York: Van Nostrand
Reinhold.

Majalah. Konstruksi edisi Mei 1988

Pursal
2010 Arsitektur Yang Membodohkan, Bandung: CSS
Publishing.

Salam, Solichin
1974 Sekitar Wali Sanga, Kudus: Menara Kudus.

Soekmono
1973 Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1-3,
Yogyakarta: Kanisius.

Sudjana, T.D.
2003 Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan Muatan
Mistiknya, Bandung: Humaniora Utama Press.

Sulendraningrat, P.S.
1985 Sejarah Cirebon, Jakarta: Balai Pustaka.

Wiryoprawiro, Zein M.
1986 Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur,
Surabaya: Bina Ilmu.
BAGIAN 9

MAKNA ALUN-ALUN DALAM TATA


RUANG KOTA JAWA

9.1 Pendahuluan
Alun-alun merupakan ruang terbuka – enclosure – yang
selalu berada di tengah-tengah kota-kota kuno di Jawa,
yang sejarah terbentuknya berkaitan erat dengan sejarah
kotanya. Struktur ruang kota yang menjadikan alun-alun
sebagai vocal point merupakan peninggalan zaman
kerajaan-kerajaan di Jawa (Majapahit, Mataram Islam,
Yogyakarta, dan Surakarta), yang kemudian
dikembangkan oleh Hindia Belanda dengan menciptakan
tipologi kota Jawa. Keberadaan alun-alun sebagai salah
satu elemen penting dalam struktur ruang kota-kota di
Jawa sebagian masih bertahan hingga sekarang, dengan
makna, fungsi dan wujud yang berbeda-beda pada setiap
kota.
Tradisi tahunan Sekatenan atau Garebeg yang
dilestarikan oleh Pemerintah Daerah Yogyakarta,
Surakarta dan Demak telah memberikan kembali peran
penting kepada alun-alun. Namun tidak semua kota yang
memiliki alun-alun mampu mempertahankan keberadaan

191
192

ruang kosong itu. Dalam perubahan zaman yang makin


deras dengan industri perdagangan menjadi sentral dalam
kehidupan masyarakat modern, tempat-tempat strategis di
tengah kota, tidak terkecuali alun-alun, menjadi incaran
para pemilik modal. Salah satu kota yang kehilangan alun-
alun nya adalah kota Semarang. Areal di sebelah timur
masjid Agung dan di sebelah barat pasar Johar sekarang
ini, semula adalah alun-alun; kini ia menjadi pasar Yaik.
Dalam tata ruang kota kuno di Jawa, alun-alun
merupakan salah satu elemen penting; ia sebagai pusat
kegiatan dan menjadi landmark kota. Secara fisik, alun-
alun berupa tanah lapang yang luas dan selalu berbentuk
persegi – mendekati bujur sangkar. Di seputar alun-alun
itu berdiri bangunan-bangunan penguasa seperti istana,
kabupaten, tempat asisten residen, selain tempat ibadah.
Di tengah-tengah alun-alun biasanya terdapat pohon
beringin besar yang dapat memberi suasana teduh dalam
aksentuasi ruang yang longgar. Letak kabupaten atau
istana selalu memangku alun-alun, membelakangi gunung
dan menghadap laut. Pohon beringin yang ditanam di
halaman keraton atau di alun-alun merupakan lambang
dari kehidupan; hal ini terkait dengan kepercayaan lama
yang menganggap bahwa pohon beringin mempunyai
kekuatan istimewa. Menurut serat Selokapatra, pohon
beringin ditanam atas perintah sang raja atau penguasa;
ia merupakan lambang perlindungan dan pengayoman
raja kepada rakyatnya.
Perubahan struktur masyarakat telah
mempengaruhi perubahan peruntukan lahan, bangunan
dan tata ruang kota secara keseluruhan. Alun-alun yang
193

telah terdesak oleh mal dan berbagai pusat perbelanjaan,


bagaimana ia harus mempertahankan keberadaannya ?
Mal adalah cerminan demokrasi masyarakat urban,
terbentuk melalui kebutuhan masyarakat kota yang
memang membutuhkan tempat itu.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
mengapa alun-alun kota bisa bertahan, berubah maupun
hilang, dan bagaimana prosesnya. Selain itu, penelitian ini
juga untuk mengetahui konsep perancangan kota kuno di
Jawa yang berakar dan dipakai secara berkesinambungan
baik dalam perancangan kota pada zaman Hindu/Budha,
Islam maupun Kolonial Belanda. Dengan mengetahui
sebab-sebab terjadinya kondisi yang berbeda di antara
kota-kota Jawa yang memiliki alun-alun, dapat digunakan
sebagai referensi bagi pihak-pihak yang terkait dalam
perencanaan dan perancangan kota modern.
Obyek kasus dalam penelitian ini adalah alun-alun
kota Yogyakarta, Demak dan Semarang. Pemilihan dan
penentuan obyek studi kasus didasarkan pada kondisi
alun-alun dan struktur ruang kota lama dari masing-
masing kota tersebut; ketiga kota itu mewakili kelompok-
kelompok dalam klasifikasi morfologi kota-kota kuno di
Jawa. Berdasarkan klasifikasi itu terdapat tiga kelompok,
yaitu pertama, kelompok yang struktur kotanya tidak
berubah, seperti Yogyakarta dan Surakarta; kedua,
kelompok yang struktur kotanya berubah tanpa hilangnya
alun-alun, seperti Demak, Pati dan Rembang; dan ketiga,
kelompok yang struktur kotanya berubah dan alun-alun
nya pun hilang, seperti Semarang.
194

Penelitian ini menggunakan pendekatan dengan


menggabungkan metode penelusuran sejarah, metode
penyelidikan deskriptif studi kasus dan metode
komparatif.

Gambar 9.1. Peta lokasi penelitian


(https://de.wikipedia.org, akses 2 Juli 2017)

9.2 Asal-Usul : Dari Tanah Lapang Menjadi Alun-alun


Istilah alun-alun sudah dikenal dalam kitab
Negarakretagama karya empu Prapanca, seorang pujangga
kerajaan Majapahit pada abad ke-XIV Masehi. Kitab
Negarakretagama terdiri dari 98 pupuh. Kata alun-alun
terdapat dalam pupuh 9 bait 2 (lihat Pigeaud, 1960, I:8) :

nahan tadinya mungwin watanan alunalun


tan / pgat lot maganti, tanda mwan gusti
wadwa haji muwah ikan amwan tuhan / rin
(yawabap), mukyan mungwin wijil / pi kalih
adika bhayankaryapintapu- (96a) pul / sok,
lor nin dware dalm / ngwanya kidul ika
para ksatriya mwan (bhujanga).
195

Slametmulyana (1979:278) memberikan penafsiran


puja sastra tersebut :

begini keindahan lapangan watangan luas


bagaikan tak terbatas
mentri, bangsawan, pembantu raja di Jawa,
di deret paling muka
bhayangkari tingkat tinggi berjejal meyusul
di deret yang kedua
di sebelah utara pintu istana, di selatan
satria dan pujangga

Kutipan di atas adalah dalam konteks


menggambarkan para pengawal keraton Majapahit. Dan
jelas bahwa alun-alun yang digambarkan berupa lapangan
luas bagaikan tak terbatas letaknya dekat dengan istana
raja.
Berdasarkan uraian dalam kitab Negarakretagama,
orientasi keraton Majapahit bersama alun-alun nya di
bagian barat yang merupakan simbol kekuasaan sang raja
berbeda dengan keadaan pusat-pusat kekuasaan di Jawa
pada masa sesudahnya dimana poros Utara-Selatan
menjadi sumbu absis yang kuat. Keberadaan prapatan di
dalam kompleks keraton memperlihatkan bahwa pusat
kota kerajaan Majapahit menempatkan kedua sumbu
mata angin Utara-Selatan dan Barat-Timur tidak saling
melemahkan. Struktur simpul kota Majapahit seperti
digambarkan di atas mungkin serupa dengan Perempatan-
Agung nya kota-kota di Bali dan kota Cakranegara di
196

Mataram, Nusa Tenggara Barat, dimana kedua sumbu


mata angin mengorganisir tata ruang dan bangunan
secara keseluruhan.

Gambar 9.2. Layout keraton Majapahit menurut Slametmuljana


(Slametmuljana, 2005:269)
197

Berdasarkan penyelidikan sejarah dan penggalian


arkeologi kota Trowulan (Majapahit) dan kota-kota
kerajaan Mataram Islam seperti Kotagede, Karta, Plered,
dan Kartasura diduga kuat bahwa kota-kota itu memiliki
alun-alun yang letaknya persis didepan keraton.
Perpaduan antara alun-alun dan keraton yang telah
menciptakan keharmonisan fungsi dan saling
ketergantungan antara keduanya, merupakan bukti
adanya kesatuan rancangan sejak awal pembangunannya.
Artinya, alun-alun diadakan karena ia dibutuhkan oleh
keraton; ia menjadi satu dengan keraton. Sehingga
menjadi satu keharusan bahwa alun-alun berada di dalam
benteng. Alun-alun dan keraton Yogyakarta dan Surakarta
adalah sisa-sisa terakhir warisan kota Jawa yang masih
dapat kita saksikan hingga sekarang.
Meskipun alun-alun kota Trowulan digambarkan
oleh empu Prapanca sebagai lapangan luas yang seolah-
olah tiada batas, toh ia berada di dalam benteng keraton;
ia merupakan suatu enclosure. Disebutkan dalam kitab
Negarakretagama : …” di tepi alun-alun sepanjang benteng
berjajar pohon brahmastana …”. Benteng dan jajaran
pohon brahmastana telah menjadi struktur pembentuk
ruang terbuka yang terbatas - alun-alun.
Alun-alun (utara) kota Yogyakarta, hingga
sekarang, masih berada di dalam benteng. Benteng
keraton yang sekaligus merupakan benteng kota
Yogyakarta kuno dibangun pada tahun 1782, dua puluh
tujuh tahun setelah kerajaan Yogyakarta Hadiningrat
berdiri. Sebelum benteng tembok dibangun, berdasarkan
gambar kuno, terlihat bahwa alun-alun (utara) kota
198

Yogyakarta dipagari kayu tinggi di sekelilingnya. Jauh


sebelumnya, Sultan Agung juga memagari alun-alun
keratonnya dengan jejeran kayu.
Berbeda dengan Yogyakarta, alun-alun kota Demak
dan Semarang proses terbentuknya diawali dari sebuah
tanah lapang. Kota Demak, meskipun di sebelah selatan
alun-alun terdapat toponim sitihinggil, tetapi berdasarkan
penelitian tidak ditemukan bukti-bukti kuat bahwa di situ
pernah ada istana raja atau kesultanan Demak. Demak
kemungkinan besar meniru tradisi kerajaan Yogyakarta
Hadiningrat dalam memaknai alun-alun, seperti
penyelenggaraan perayaan sekatenan atau garebeg; bukan
sebaliknya sebagaimana diyakini banyak kalangan.
Kota Demak sebagai ibukota kerajaan Islam di
Jawa telah musnah, kecuali bangunan masjid, oleh
serangan barbar Arya Penangsang dari Jipang Panolan
dalam rangka perebutan kekuasaan. Hingga sekarang
sulit bagi kita merekonstruksi struktur ruang kota Demak
kuno. Keadaan pusat kota Demak sekarang lebih
merupakan produk Kolonial Belanda. Namun demikian,
bukan berarti kota Demak kuno tidak memiliki alun-alun.
Sebagai sebuah pusat kerajaan, hampir dapat dipastikan
di depan keraton terdapat alun-alun. Hanya saja alun-alun
kota Demak modern apakah merupakan kelanjutan alun-
alun kota Demak kuno. Hal ini perlu kajian lebih lanjut.
Apabila dilihat dari letak kabupaten yang agak
jauh dari alun-alun, bisa jadi dulunya alun-alun kota
Demak berupa tanah lapang yang luas dimana sisi utara
menyentuh atau menjadi halaman depan kabupaten.
Tetapi inipun sulit untuk dicarikan pembenaran sebab
199

antara alun-alun dan kabupaten dipisahkan oleh kali


(sungai kecil). Kesulitan selalu menyertai kita ketika akan
merekonstruksi kota Demak kuno disebabkan oleh
minimnya data tertulis dan peta tentang perkembangan
kota Demak, terutama periode setelah runtuhnya dinasti
kesultanan Demak hingga sebelum abad ke-XIX Masehi.
Di antara data-data yang minim tentang kota
Demak kuno adalah kesaksian orang-orang Belanda.
Menurut cerita orang-orang Belanda yang datang di Jawa
pada tahun 1596, di antara kota-kota pusat kerajaan dan
pelabuhan yang sudah mempunyai pagar tembok, adalah
Demak (yang lain Banten, Cirebon dan Tuban). Namun
disayangkan bahwa pagar tembok keliling kota Demak
hampir tidak dapat kita saksikan lagi. Merujuk kepada
kota Trowulan dan kota-kota Mataram Islam, alun-alun
kota Demak kuno pastilah terletak di dalam pagar tembok.
Perkembangan alun-alun secara agak tuntas
diperlihatkan oleh kota Semarang – muncul dari ruang
terbuka yang lepas, dengan proses yang cukup lama
terbentuklah alun-alun dan kemudian hilang. Disertai
dengan data tertulis dan peta yang cukup memadai,
kajian tentang kota Semarang kuno telah banyak
dilakukan oleh para ahli, diantaranya oleh Amen Budiman
dan Liem Thian Joe.
Alun-alun kota Semarang pada awalnya berupa
tanah lapang – ruang terbuka yang lepas; ia baru mulai
terbentuk setelah Tumenggung Yudonegoro (abad 18 M),
bupati Semarang memindahkan bangunan kabupaten dari
daerah Sekaju ke sebelah selatan ‘janin’ alun-alun, dimana
sudah sejak lama di sebelah barat ruang terbuka itu
200

terdapat perkampungan Kauman. Pada masa itu,


bangunan masjid sebagai tempat peribadatan umat Islam
tidak berada di perkampungan Kauman melainkan di
daerah Pedamaran di dekat pasar Pedamaran, sebelah
timur ‘janin’ alun-alun kota Semarang. Kemudian setelah
bangunan masjid dipindah dari Pedamaran ke sebelah
barat ‘janin’ alun-alun, di dekat perkampungan Kauman,
saat itulah alun-alun kota Semarang terbentuk dengan
struktur pembentuknya yaitu di sebelah timur adalah
pasar, di sebelah selatan kabupaten (kanjengan), dan di
sebelah barat bangunan masjid. Sementara itu di sebelah
utara masih berupa tanah lapang. Pasar Pedamaran
kemudian mengalami perluasan hingga menjadi pasar
Johar yang terkenal itu. Pada awalnya alun-alun
bentuknya tidak persegi, sebab di sebelah utara memiliki
bentuk miring. Bentuk persegi dihasilkan setelah
beberapa bangunan berdiri di atas tanah lapang bagian
utara.
Hal yang menarik adalah keberadaan masjid
terhadap alun-alun. Apakah perpindahan masjid dari
Pedamaran ke perkampungan kauman didasarkan kepada
‘kepakeman’ tata ruang kota Jawa ? atau lebih karena
memberikan kedekatan – bersifat fungsional – kepada
jama’ahnya yang mungkin sebagian besar adalah
penduduk yang tinggal di perkampungan Kauman ?
Apabila kita melihat secara cermat posisi perkampungan
Kauman, bangunan masjid dan bangunan kabupaten
terhadap alun-alun maka terlihat bahwa letak bangunan
masjid lebih berorientasi ke perkampungan Kauman; ia
tidak tepat di sebelah barat alun-alun tetapi lebih bergeser
201

ke arah selatan, lebih dekat dengan perkampungan


Kauman (sebelah barat daya alun-alun). Jadi perpindahan
itu menurut saya lebih bersifat fungsional. Untuk alasan
yang mengaitkan keduanya (masjid dan kabupaten)
dengan tradisi tata ruang kota Jawa, dimana alun-alun
menjadi pusat orientasi masih perlu penjelasan lebih
lanjut. Patut menjadi bahan pertimbangan bahwa periode
terbentuknya alun-alun kota Semarang hampir
berbarengan dengan dibangunnya kota Yogyakarta kuno.
Jika keberadaan masjid dikaitkan dengan alun-
alun dalam hal penyediaan ruang ekstensi untuk aktivitas
sholat bila jama’ah tidak tertampung di dalam masjid,
pada kenyataannya, seperti sekarang ini sholat Jum’ah
yang dilaksanakan setiap minggu sekali dan banyak
dihadiri jama’ah, hampir tidak ada yang mempergunakan
alun-alun sebagai ruang ekstensi. Pada umumnya, alun-
alun dipergunakan untuk sholat Idul Fitri dan Idul Adha
bagi sebagian umat Islam. Dikatakan hanya sebagian
kaum muslim, sebab ada sebagian lagi yang beranggapan
bahwa sholat Id di masjid lebih utama. Pada prakteknya,
mereka yang sholat Id di alun-alun tidak mempergunakan
masjid sebagai tempat sholat, dan bagi mereka yang sholat
Id di masjid juga tidak mempergunakan alun-alun sebagai
ruang ekstensi untuk sholat. Bahkan sekarang ini, ruas
jalan raya pun bisa menjadi ruang untuk sholat Id.
Saya semula menduga bahwa keberadaan alun-
alun menjadi satu kesatuan dengan masjid dalam struktur
ruang kota Jawa, tetapi kemudian terlalu sulit
menempatkan keduanya dalam suatu keadaan yang saling
membutuhkan. Mungkin hanya ada dua kota di Jawa
202

sebagai pengecualian, yaitu Yogyakarta dan Surakarta


kuno. Dalam tradisi garebeg, ketiga elemen kota : istana,
alun-alun, dan masjid menjadi ruang-ruang yang saling
kait mengait satu sama lain. Kesatuan tersebut tidak ada
hubungannya dengan urusan sholat. Besar kemungkinan
tradisi sekatenan atau garebeg di Demak usianya lebih
muda dari penyelenggaraan kegiatan upacara garebeg di
Yogyakarta maupun Surakarta yang menjadi pusat
kebudayaan Jawa. Dan bila cermati cerita dalam Babad
Tanah Jawa berkaitan dengan keberadaan alun-alun kota
Demak kuno dan bangunan masjid keramat Walisongo
maka kita bisa menempatkan keduanya pada kedudukan
yang tidak saling bergantung, tidak saling membutuhkan.
Berdasarkan cerita Babad Tanah Jawa, dapat disimpulkan
bahwa istana raja dan alun-alun nya lebih dahulu ada
ketimbang masjid keramat itu.
Tahapan terakhir dalam perencanaan dan
perancangan kota, setelah kota-kota Trowulan (Majapahit),
Kotagede, Karta, Plered, Kartasura (Mataram Islam),
Yogyakarta, dan Surakarta, yang menjadikan alun-alun
sebagai pusat orientasi kota dan memancarkan simbol
kekuasaan adalah kota-kota kabupaten di seluruh tanah
Jawa pada zaman Kolonial Belanda.
Salah satu dokumentasi penting mengenai
struktur fisik kota kabupaten di Jawa sebelum Perang
Pasifik adalah Kromoblanda nya H.F. Tillema. Dengan
dokumentasi itu nampak suatu tata ruang pusat
pemerintahan lokal dan kolonial yang terintegrasi melalui
alun-alun. Pihak pemerintah Hindia Belanda telah
203

menghadirkan kembali dan mempraktekkan konsep alun-


alun dalam perencanaan dan perancangan kota.

F E

C
A G

A= Alun-alun E= Tangsi Militer


B= Kabupaten F= Penjara
C= Masjid G= Kantor Pejabat
D= Kediaman Asisten Residen H= Sekolah Jawa

Gambar 9.3. Model kota Jawa yang berpusat di alun-alun


(Tillema, 1922)
204

Kuat dugaan bahwa tata ruang kota Yogyakarta


kuno menjadi rujukan pemerintah Kolonial dalam
merencanakan dan merancang kota-kota kabupaten itu.
Belanda tahu dan sadar betul bahwa alun-alun adalah
simbol pusat kekuasaan raja-raja Jawa. Dan raja adalah
panutan rakyat; titah raja harus dan wajib dilaksanakan
oleh seluruh rakyatnya. Sehingga ketika Belanda makin
berkuasa di tanah Jawa, maka mereka memerintah tidak
secara langsung melainkan melalui seorang bupati yang
biasanya dari kalangan ningrat. Di bawah gubernur
jenderal ada residen, di bawahnya ada bupati yang
bertanggung jawab kepada residen. Belanda
menempatkan seorang asisten residen sebagai wakil
Belanda. Posisi asisten residen ini setingkat dengan
bupati, tetapi asisten residen tidak punya hubungan
kekuasaan langsung dengan rakyat. Kediaman para
penguasa itu umumnya di sekitar alun-alun. Belanda ingin
menciptakan citra kekuasaan kolonial dengan figur dan
struktur kekuasaan lokal.

9.3 Alun-alun : Bukan Sekedar Ruang Kosong


Setiap bangunan milik penguasa mulai dari raja, bupati,
wedana hingga ke tingkat terkecil dalam hirarki
kekuasaan, di depannya selalu terdapat alun-alun, yang
secara fisik selalu berbentuk square (mendekati bujur
sangkar).
Berdasarkan gambaran kitab Negarakretagama
pupuh 8-12, bahwa istana raja menghadap ke arah barat
dan di depannya terdapat alun-alun. Di situlah tempat
para tanda berjaga secara bergilir, meronda, mengawasi
205

paseban (balai manguntur). Alun-alunnya membujur dari


utara ke selatan, berpagar rumah berimpit-impit,
memanjang sangat indah. Di situlah tempat berkumpul
para prajurit tiap bulan Caitra. Dalam pupuh 85
diceritakan pertemuan tiap bulan Caitra (Maret-April) atau
bulan pertama setiap tahun. Maksudnya adalah untuk
mengadakan semacam musyawarah antara semua orang
yang mempunyai tanggung jawab dalam pemerintahan.
Oleh karena itu pertemuan itu dihadiri oleh para mentri,
para perwira, pembantu baginda, kepala daerah, kepala
desa, dan pendeta dari tiga aliran agama. Musyawarah
membahas jalannya pemerintahan untuk keselamatan
negara (lihat Slametmuljana, 1979:23-27).
Sedangkan perayaan bulan Caitra itu sendiri di
selenggarakan dua hari kemudian dan bertempat di
lapangan Bubat yang terletak agak jauh di sebelah utara
dari keraton. Hal yang menarik adalah bahwa kitab
Negarakretagama tidak menyebut lapangan Bubat sebagai
alun-alun Bubat, meskipun ia digunakan untuk kegiatan
kenegaraan yang dihadiri baginda. Hal ini menunjukkan
bahwa tidak semua lapangan terbuka yang berkaitan
dengan kekuasaan dinamakan alun-alun. Rupanya
kedekatan fisik antara alun-alun dan kediaman penguasa
menjadi hal penting; ia bagaikan pelataran atau halaman
depan dari sebuah rumah tinggal.
Pada zaman Sultan Agung, alun-alun Karta,
disamping memiliki peran penting dalam upacara Garebeg
: Garebeg Poso (setelah menjalankan ibadah puasa bulan
Romadlon pada tanggal 1 Syawal tahun Hijriyah – Hari
Raya Fitri); Garebeg Mulud (memperingati lahirnya Nabi
206

Muhammad SAW – 12 Rabi’ul Awal tahun Hijriyah); dan


Garebeg Besar (Hari Raya Qurban pada tanggal 10
Dzlhijjah tahun Hijriyah), juga mewadahi kegiatan-
kegiatan lainnya yang tetap berlangsung menurut aturan
tertentu.
Upacara Garebeg pada masa Sultan Agung,
sebagaimana dikatakan oleh H.J. de Graaf, dirayakan
hampir sama dengan sekarang. Pada upacara Garebeg
Poso, Raja pergi ke masjid pada pukul 9 pagi dan pulang
dari masjid pukul 11 siang. Raja menerima banyak tamu
yang mengunjunginya. Sekitar pukul 12 siang dibunyikan
beberapa gong dan terdengar tiga kali rentetan tembakan
senapan. Bunyi gamelan dan rentetan tembakan itu untuk
menghormati gunungan-penganan yang dipikul keluar
(Graaf, 1986:126).
Permainan tombak dengan naik kuda oleh semua
orang yang berkedudukan baik rendah maupun tinggi
diadakan setiap hari Sabtu sore. Juga pertarungan lawan
harimau tidak terlupakan. Merujuk Coen (Bescheiden,
VIII, hlm. 608), Graaf menceritakan pertunjukkan yang
dikenal kemudian dengan Rampogan ini. Pada tahun
1620, Raja memerintahkan menangkap 200 ekor harimau,
suatu pekerjaan yang memakan waktu kurang lebih dua
bulan. Harimau-harimau itu kemudian dibawa ke alun-
alun kota istana, tempat mereka dihasut-hasut
menghadapi penombak-penombak jitu yang duduk dalam
suatu lingkaran. Siapa yang dianggap berani mendapat
penghargaan dari Raja (Graaf, 1986:127).
Alun-alun (utara) kota Yogyakarta pada masa
Sultan Mangkubumi juga digunakan untuk tempat
207

menghukum para punggowo kerajaan yang dianggap


melakukan kesalahan. Diceritakan oleh M.C. Ricklefs
dalam Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-
1792, bahwa pada tahun 1789 Sultan Mangkubumi
bereaksi langsung terhadap otoritas putranya di
Yogyakarta. Raja telah menghukum beberapa pejabat
keraton, dengan menyita seluruh tanda jabatan dan
memerintahkan mereka duduk di tempat terbuka di alun-
alun selama lebih dari dua hari di tengah-tengah hujan
lebat sebelum Raja mengampuni mereka. Mereka
dihukum karena terlalu tunduk kepada perintah-perintah
Putra Mahkota ketimbang dirinya (Ricklefs, 2002:492).
Meskipun alun-alun pada periode kerajaan
(Majapahit, Mataram Islam, Yogyakarta dan Surakarta)
dan pada periode Kolonial Belanda sama-sama
mengusung kepentingan penguasa, namun keduanya
berdasarkan prinsip-prinsip ruang arsitektural tidaklah
sama.
Struktur pembentuk enclosure alun-alun kota
istana kerajaan begitu jelas dan seakan-akan tidak ada
celah pada enclosure itu – alun-alun benar-benar
terlingkupi oleh struktur-struktur pembentuknya.
Struktur pembentuk ini bisa berupa benteng, jejeran
pohon, parit, atau komposisi bangsal-bangsal di sekeliling
alun-alun. Bangunan fungsional yang paling penting
dalam membentuk alun-alun adalah istana raja.
Sedangkan enclosure alun-alun kota-kota kabupaten dan
karesidenan di Jawa era Kolonial Belanda dibentuk oleh
bangunan-bangunan yang ada di sekelilingnya. Dalam
konsep tata ruang kota kabupaten dan karesidenan,
208

keberadaan bangunan-bangunan seperti kediaman


residen atau asisten residen, bupati, masjid dan
bangunan-bangunan pemerintahan lainnya adalah
mutlak. Pada kasus pertama, alun-alun benar-benar
menjadi ‘pemangku’ istana, baik secara simbolik maupun
fungsional. Sedangkan pada kasus kedua, alun-alun
hanya secara simbolik menjadi ‘pemangku’ kabupaten;
secara fungsional penguasa pusat dalam hal ini Gubernur
Jenderal Hindia Belanda lebih berkepentingan.
Dilihat dari sifat ruang, alun-alun kota-kota istana
lebih bersifat privat, sedangkan pada kota-kota kabupaten
dan karesidenan di Jawa lebih bersifat publik. Sejarah
mencatat, tidak setiap orang bisa memasuki alun-alun
kota istana; jika ingin masuk ia harus mendapat ijin dari
sang raja. Di depan alun-alun selalu ditempatkan beberapa
penjaga. Utusan Belanda De Haen terpaksa harus
menunggu dua hari untuk bisa masuk ke dalam alun-alun
dalam rangka kunjungannya di keraton Karta untuk
menemui Sultan Agung pada tahun 1622. Ia terhalang
masuk ke alun-alun karena saat itu bertepatan dengan
diselenggarakannya upacara Garebeg Poso. Hal ini
berbeda dengan kasus kedua dimana alun-alun dibiarkan
terbuka, kita tanpa harus melewati penjaga untuk
memasukinya.

9.4 Alun-Alun Dalam Tatanan Kosmos


Secara filosofis, alun-alun yang menjadi bagian tak
terpisahkan dari istana raja Jawa, perletakannya
didasarkan pada kosmologi yang dianut keraton. Ketiga
unsur kosmologi : alam semesta – manusia – Tuhan,
209

menjadi dasar dan melekat pada keberadaan keraton.


Hubungan korelatif antara ketiga unsur kosmologi itu
secara simbolik terpadu pada bangunan keraton dan tata
ruang kota kerajaan.
Pada zaman Mataram Islam, konsep itu
berkembang menjadi konsep lingkaran konsentris.
Kosmologi dalam keraton menunjukkan suatu hirarki
dimana dari luar ke dalam semakin sakral. Kedua alun-
alun (utara dan selatan) pusat-pusat kota istana Mataram
(Plered), Yogyakarta dan Surakarta yang seakan
melingkupi ruang pusatnya – prabayaksa –
memperlihatkan bahwa struktur tersebut boleh jadi
mengikuti konsep lingkaran konsentris. Yang menjadi
pusatnya adalah raja, disusul lingkaran pertama adalah
keraton, tempat kediaman raja yang diistimewakan,
kemudian berturut-turut lingkaran kedua adalah ibukota
yang disebut dengan negara, tempat kediaman kaum
bangsawan dan kaum priyayi yang ditempatkan di bawah
wewenang patih; ketiga adalah negaragung yang pada
umumnya tanahnya berupa tanah lungguh dan
dipercayakan kepada para pangeran dan pejabat tinggi
yang mempunyai hak memungut pajak atas nama raja;
dan keempat adalah daerah-daerah luar yang disebut
mancanegara, yaitu daerah-daerah yang letaknya terlalu
jauh untuk dipercayakan sebagai tanah lungguh. Di sana
raja mengangkat bupati yang langsung tunduk pada
kekuasaan patih. Tidak ada pilihan lain kecuali para
bupati itu memposisikan dirinya sebagai raja di
daerahnya. Sampai-sampai Belanda dalam rangka
menciptakan pusat pemerintahan yang terkontrol di kota-
210

kota kabupaten di Jawa harus secara perlahan-lahan


merubah sikap dan perlikau para bupati itu. Para petinggi
Belanda menilai bupati-bupati itu terlalu berlebihan dan
boros sekedar untuk menunjukkan kekuasaanya yang
makin lama makin berkurang.
Dalam dunia konsentris seperti diuraikan di atas
segala-galanya merupakan pantulan, gema, perpadanan;
dan setiap orang harus berikhtiar untuk bertindak sesuai,
cocok, serasi (selaras, seirama) dengan teladan istana.
Tindakan apapun yang muncul dengan spontan dan
mandiri di luar irama gawe raja dirasakan sebagai nada
sumbang yang dianggap sebagai hambatan dan dirasakan
sebagai kekacauan (lihat Lombard, 1996:129-130).
Hukuman yang diberikan oleh Sultan Mangkubumi
kepada para pejabat istana yang bertindak tidak seirama
dengan kemauannya memperlihatkan hal itu.

9.5 Kesimpulan
Berdasarkan konsep awal, alun-alun adalah bagian
penting dan tidak terpisahkan dari kediaman seorang
penguasa. Prabu Majapahit dan raja-raja Mataram Islam
(termasuk Yogyakarta dan Surakarta) sengaja
menyediakan ruang terbuka itu di depan istananya untuk
memperlihatkan kekuatan politik dan magi yang melekat
pada dirinya kepada rakyatnya. Simbol kekuasaan yang
ada pada alun-alun kemudian diadopsi oleh pihak
penguasa Belanda dalam rangka kontrol terhadap
penguasa lokal di kota-kota kabupaten dan karesidenan di
Jawa.
211

Kebudayaan Hindu/Budha telah mempelopori


semangat berkumpul, bukan untuk kegiatan-kegiatan
ritual murni, tetapi lebih kepada kegiatan-kegiatan
kenegaraan (kerajaan), di suatu tanah lapang yang
letaknya di depan keraton yang kemudian dinamakan
alun-alun. Ini harus dibedakan dengan pelataran yang
biasanya terletak di depan bangunan peribadatan semisal
candi. Di pelataran candi inilah kegiatan-kegiatan ritual
komunal di selenggarakan; ia biasanya dihubungkan
dengan hal-hal keakhiratan – kehidupan setelah mati.
Candi bukanlah bangunan ‘fungsional’ untuk peribadatan
komunal, sehingga tidak mungkin kegiatan-kegiatan
komunal diselenggarakan di dalam bangunan candi. Hal
ini pulalah yang membedakannya dengan masjid, dimana
di dalamnya memang difungsikan sebagai ruang
peribadatan. Ada anggapan bahwa keberadaan candi dan
masjid berhubungan dengan kematian, sedangkan
keberadaan keraton berhubungan dengan kehidupan.
Oleh karenanya, candi di kota Trowulan tidak terletak di
sekitar alun-alun yang menjadi pusat kehidupan raja.
Dengan demikian, meskipun data-data yang ada kurang
mendukung, bisa diduga bahwa pada zaman kerajaan
Demak dan Pajang yang dianggap sebagai periode
peradaban Islam puritan di pesisir utara Jawa,
keberadaan alun-alun yang menjadi satu kesatuan dengan
keraton adalah merupakan suatu keharusan. Hal yang
menarik justru mengapa masjid pada periode kerajaan-
kerajaan Islam dibangun di sekitar (sebelah barat) alun-
alun. Dan perlu penelitian lebih lanjut secara intensif dan
terintegrasi tentang asal usul keberadaan masjid Agung
212

Demak yang dianggap bangunan masjid paling tua di


tanah Jawa yang masih tersisa dan beberapa bagian
dianggap masih asli seperti tableau di depan pengimaman
masjid; apakah ia memang dibangun pada abad ke-XV
Masehi, yang berarti jauh sebelum masa kekuasaan
Sultan Agung atau dibangun setelah masjid Karta.
Pihak Kolonial Belanda memiliki andil yang besar
berkaitan dengan keberadaan masjid yang terintegrasi
dalam pemerintahan kota melalui alun-alun. Seperti
diuraikan di depan, yang menjadi rujukan adalah strutur
ruang kota kuno Yogyakarta. Dalam catatan sejarah,
Sultan Mangkubumi sengaja membangun masjid di
sebelah barat alun-alun untuk tempat peribadatan bagi
penghulu, penasehat keagamaan kerajaan beserta
kerabatnya. Sedangkan raja dan pejabat kerajaan
biasanya melakukan kegiatan peribadatan di masjid atau
mushola yang terdapat di dalam keraton. Mereka baru
pergi ke masjid yang berada di sebelah barat alun-alun
pada saat-saat sholat Jum’ah dan upacara Garebeg.
Apabila kita merunut ke belakang, raja Mataram Islam
yang getol dalam menyatukan urusan agama dengan
kepentingan politik adalah Sultan Agung. Sultan
mangkubumi pasti ingin seperti pendahulunya yang
memiliki ‘kedigdayaan’ luar biasa itu.
Sejak awalnya, konsep alun-alun sangat erat
hubungannya dengan kediaman penguasa, sehingga
apabila fungsi-fungsi yang berkaitan dengan penguasa
tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka kita
tidak bisa menghalangi terjadinya perubahan konsep alun-
alun, dari konsep yang mengusung kekuasaan menjadi
213

konsep yang lebih mengedepankan ekonomi. Alun-alun di


beberapa kota kabupaten di Jawa, demi menghindari
pembangunan di atasnya, Pemerintah Daerah
menyulapnya menjadi taman kota. Makna alun-alun telah
berubah dari makna kekuasaan menjadi makna estetika.
Tetapi fungsi ekonomi alun-alun masih tetap ada; pada
waktu malam hari di sekeliling alun-alun, termasuk alun-
alun kota Yogyakarta dan Surakarta terdapat banyak
penjual lesehan yang menjajakan sajian khas berselera.
Hingga sekarang alun-alun yang masih mewadahi
kegiatan-kegiatan tradisi kerajaan Jawa : Sekatenan atau
Garebeg adalah alun-alun kota Yogyakarta, Surakarta dan
Demak. Fungsi-fungsi kediaman penguasa masih
melibatkan secara intensif keberadaan alun-alun, sehingga
kita tidak perlu kuatir dengan hilangnya alun-alun kota-
kota tersebut. Menurut beberapa pakar kebudayaan,
unsur-unsur kebudayaan yang sulit untuk berubah
adalah bahasa dan keyakinan. Sehingga apabila
keyakinan-keyakinan masyarakat Jawa tentang upacara
Garebeg tidak berubah, artinya bahwa apa yang mereka
rayakan saat ini adalah warisan raja-raja Jawa yang harus
dilestarikan, maka keberadaan alun-alun akan tetap lestari
pula.

Referensi
Budiman, Amen
1978 Semarang Riwayatmu Dulu, Semarang : Tanjung
Sari.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan


1985 Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta.
214

Graaf, H.J. de
1986 Puncak Kekuasaan Mataram, Jakarta : Pustaka
Utama Grafiti.
------ ; Th. G. Th. Pigeaud
1985 Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Jakarta
: Pustaka Utama Grafiti.

Joe, Liem Thian


1933 Riwayat Semarang, Semarang : Boekhandel Ho
Kim Yoe.

Khairuddin H.
1995 Filsafati Kota Yogyakarta, Yogyakarta : Liberty.

Lombard, Denys
1996 Nusa Jawa : Silang Budaya Kajian Sejarah
Terpadu, Bag.III : Warisan Kerajaan-Kerajaan
Konsentris, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Pigeaud, Th. G. Th.


1960 Java in The Fourteenth Century, Jilid I – V, Den
Haag : Martinus Nijhoff.

Ricklefs, M.C.
2002 Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-
1792, Yogyakarta : Matabangsa.

Slametmujana
1979 Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya, Jakarta :
Bhratara Karya Aksara.
1983 Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit,
Jakarta : Inti Idayu Press.
2005 Menuju Puncak Kemegahan, Yogyakarta : LKiS.

Tillema, H. F.
1922 Kromoblanda: Vijfde deel, Tweede stuk.
BAGIAN 10

AGAMA JAWA : TELAAH KRITIS


ATAS KONSEP GEERTZ

10.1 Pendahuluan
Antropologi adalah suatu disiplin ilmu yang telah lama
berusaha merumuskan konsep kebudayaan sebagai salah
satu konstruksi teoritis utama dalam penelitian sosial,
mulai dari definisi kebudayaan klasik E.B. Tylor (1871)
hingga definisi kebudayaan Clifford Geertz (1973).
Konsepsi kebudayaan untuk pertama kalinya
dikembangkan oleh para ahli antropologi menjelang akhir
abad kesembilan belas. Definisi pertama yang sungguh-
sungguh jelas dan komprehensif berasal dari ahli
antropologi Inggris, Sir Edward Burnett Tylor. Dalam
Primitive Culture (1871), seperti dipaparkan Adam Kuper,
Tylor mendefinisikan kebudayaan sebagai: keseluruhan
kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni,
moral, hukum, adat istiadat, dan banyak kemampuan dan
kebiasaan lainnya yang didapat manusia sebagai anggota
masyarakat. Konsep kebudayaan Tylor sangat longgar;
kajiannya mencakup obyek yang sangat luas dan
bervariasi. Dalam perkembangan selanjutnya, sampai

215
216

sekitar tahun 1950-an, kebudayaan diartikan masih


sangat luas, tetapi mulai lebih sistematis. Satu
rangkuman definisi kebudayaan yang pernah dirumusklan
oleh Kroeber dan Kluckhohn, dalam Culture: A Critical
Review of Concepts and Definitions (1952), berbunyi: pola-
pola tingkah laku dan pola-pola untuk bertingkah laku,
baik yang eksplisit maupun yang implisit, yang diperoleh
dan diturunkan melalui simbol, yang membentuk
pencapaian yang khas dari kelompok-kelompok manusia,
termasuk perwujudannya dalam benda-benda materi.
(Kuper, 1999:52-72).
Semua konsep kebudayaan yang baru cenderung
mengadakan perbedaan yang jelas antara perilaku yang
nyata di satu pihak dan di pihak lain nilai-nilai dan
kepercayaan yang terletak di belakang perilaku. Dalam
Cultural Materialism: The Struggle for a Science of Culture,
secara jelas memperlihatkan sikap Marvin Harris yang
memandang kebudayaan sebagai benda. Dia menganggap
bahwa kebudayaan sebagai obyek kajian antropologi
harus dapat diamati, oleh karena itu, maka kebudayaan
sebetulnya adalah kelakuan (Harris, 1979). Dalam
pandangan ini, konsepsi kebudayaan ditampakkan dalam
berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan
kelompok-kelompok masyarakat tertentu, seperti adat,
atau cara hidup masyarakat. Kebudayaan dianggap
sebagai satuan gejala; ia adalah nyata, substansial dan
hal yang dapat diobservasi.
Sementara, dipihak lain, Goodenough sebagaimana
dikutip oleh Amri Marzali dalam pengantar buku Metode
Etnografi (1997), memandang kebudayaan bukan
217

merupakan suatu fenomena material; ia tidak terdiri atas


benda-benda, manusia, perilaku, atau emosi, namun
merupakan sebuah pengorganisasian dari hal-hal
tersebut. Kebudayaan adalah satu bentuk hal-ihwal yang
dipunyai manusia dalam pikiran (mind), model yang
mereka punyai untuk mempersepsikan, menghubungkan,
dan seterusnya menginterpretasikan hal-ihwal tersebut.
Kebudayaan dalam pengertian ini mencakup sistem
gagasan yang dimiliki bersama, sistem konsep, aturan
serta makna yang mendasari dan diungkapkan dalam tata
cara kehidupan manusia. Dalam pandangan ini,
kebudayaan dianggap sebagai satuan ide. Salah seorang
antropolog yang menonjol adalah Clifford Geertz. Geertz
berargumen bahwa para antropolog dan sosiolog
seharusnya mengambil para idealis sebagai model mereka,
dan mengakui bahwa tujuan mereka seharusnya berupa
interpretasi (interpretation) ketimbang penjelasan ilmu
pengetahuan (scientific explanation). (Spradley, 1997;
Kuper, 1999).
Nama Clifford Geertz sangat akrab dengan para
ilmuwan Indonesia. Selain pendekatannya dalam
memandang sebuah kebudayaan yang dianggap relatif
baru pada saat itu, juga salah satu karyanya : The Religion
of Java, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan judul: Abangan, Santri, Priyayi dalam
Masyarakat Jawa, telah menimbulkan polemik.
Tulisan ini merupakan sebuah telaah kritis
terhadap pandangan Clifford Geertz tentang kebudayaan
dan agama Jawa. Uraian mencakup: (1) interpretasi
kebudayaan; (2) agama Jawa; dan (3) kesimpulan.
218

10.2 Interpretasi Kebudayaan


Clifford Geertz dikenal sebagai antropolog yang dalam
kajian-kajiannya menggunakan pendekatan interpretatif
dalam melihat kebudayaan. Hal ini terbaca dalam
karyanya The Interpretation of Cultures: Selected Essays
(1973), yang dalam edisi Indonesia diberi judul Tafsir
Kebudayaan (1992).
Dalam berbagai kesempatan, Geertz menganjurkan
kepada para antropolog dan sosiolog, dalam menanggapi
sebuah gejala atau peristiwa manusiawi, untuk lebih
mencari pemahaman makna ketimbang sekedar mencari
hubungan sebab akibat. Geertz menawarkan satu model
bagaimana memahami sebuah kebudayaan, yaitu sebuah
tafsiran dengan memaparkan konfigurasi atau sistem
simbol-simbol bermakna secara mendalam dan
menyeluruh (thick description). Metode ini sangat
dianjurkan karena dianggap paling sesuai untuk membaca
kebudayaan sebagai sebuah sistem. Namun, dari banyak
tulisannya, Geertz tidak pernah memberikan sebuah
definisi tentang kebudayaan secara baku (seperti misalnya
definisi baku E.B. Tylor), karena semuanya dikemukakan
sebagai definisi kerja.
Dalam Tafsir Kebudayaan, Geertz mengakui bahwa
esay-esay nya, kadang-kadang secara eksplisit,lebih kerap
sekedar melalui analisis khusus yang dikembangkan,
suatu konsep kebudayaan yang sempit dan khusus; dan
dengan demikian dia bayangkan secara teoritis
merupakan konsep kebudayaan yang lebih kuat untuk
mengganti ‘keseluruhan yang paling kompleks’ dari
definisi E.B. Tylor (Geertz, 1992:4).
219

Beberapa tulisan Geertz menempatkan konsep


sistem budaya sebagai sentralnya, seperti: ‘agama sebagai
sistem budaya’, ‘ideologi sebagai sistem budaya’, ‘kesenian
sebagai sistem budaya’, dan ‘common sense sebagai sistem
budaya. Salah satu sebab yang menyulitkan pembacaan
karya-karya Geertz karena konsep sistem budaya tidak
selalu disertai dengan kejelasan mengenai kerangka
teoritis yang menjadi pegangannya. Jarang sekali dapat
ditemukan tulisan Geertz yang dengan sengaja
memberikan uraian sistematis mengenai dasar-dasar teori
yang dianutnya atau kerangka konseptual yang
diterapkan atau yang dicoba dibangunnya (Kleden,
1988:1).
Berkaitan dengan ada dan tidaknya kerangka teori
yang digunakan sebagai sandaran atau yang coba
dibangun, Clifford Geertz, dalam Tafsir Kebudayaan,
mencoba menjelaskan sebagai berikut:

… haruslah diakui bahwa ada sejumlah ciri


penafsiran kebudayaan yang membuat
perkembangan teoritisnya lebih sulit dari
biasanya. Yang pertama, adalah kebutuhan
akan teori untuk berada agak lebih dekat
lagi pada dasarnya daripada cenderung
menjadi kasus dalam ilmu-ilmu
pengetahuan yang lebih dapat memberi
dirinya melampaui abstraksi imajinatif …
Demikian kita dibawa ke syarat kedua dari
teori kebudayaan: teori itu, sekurang-
220

kurangnya dalam arti sempit, tidak bersifat


prediktif.
… secara intelektual orang tidak mulai
dengan tangan kosong. Gagasan-gagasan
teoritis tidak diciptakan kembali seluruhnya
dalam tiap-tiap studi, namun gagasan-
gagasan itu diangkat dari studi-studi lain
yang berhubungan, dan diperhalus dalam
proses itu, diterapkan pada masalah-
masalah yang baru … Pandangan tentang
bagaimana teori berfungsi di dalam sebuah
ilmu interpretatif menyarankan bahwa
distingsi, yang relative dalam kasus
manapun, yang Nampak dalam ilmu-ilmu
eksperimental atau observasional, antara
lukisan (description) dan penjelasan
(explanation) di sini tampak sebagai
distingsi, yang bahkan lebih relative antara
penulisan (inscription) dan spesifikasi, yaitu:
antara menuliskan makna tindakan-
tindakan social khusus untuk para pelaku
yang tindakan-tindakannya ditulis dan
menyatakan, se-eksplisit yang dapat kita
usahakan, apa yang kemudian
diperlihatkan pengetahuan itu tentang
masyarakat di mana hal itu ditemukan dan,
lebih dari itu, tentang kehidupan sosial apa
adanya… dalam etnografi. Tugas teori
adalah menyediakan sebuah kosa kata
dimana apa yang harus dinyatakan
221

tindakan simbolis tentang dirinya-yakni


tentang peranan kebudayaan dalam
kehidupan manusia-dapat dungkapkan
(Geertz, 1992:31-35).

Dalam The Interpretation of Cultures, pada Bab IV


dengan pokok bahasan: Religion As a Cultural System (bab
ini tidak termasuk bahasan yang diterjemahkan dalam
Tafsir Kebudayaan), Clifford Geertz mencoba memberikan
‘definisi’ tentang kebudayaan yang justru keberadaan
‘definisi’ ini mengundang banyak komentar dan kritik dari
berbagai pihak. Sebenarnya, ‘definisi’ yang diberikan
Geertz dimaksudkan sebagai acuan analisis dalam upaya
mendefinisikan agama.
Salah satu kritikan yang paling awal datang dari
Talal Asad pada tahun 1983. Dalam Anthropological
Conception of Religion: Reflections on Geertz, Asad
menyatakan bahwa ‘definisi’ kebudayaan Geertz tidak
menyinggung proses bagaimana kehidupan manusia
mempengaruhi, mengkondisi, dan membentuk simbol-
simbol budaya; hal ini menggambarkan hubungan simbol-
simbol budaya dan kehidupan sosial sebagai suatu
‘hubungan satu arah’. Konsep kebudayaan ini lebih
banyak digambarkan secara statis, sebagai sesuatu yang
diwariskan, dipelajari, dan dilestarikan, bukan sesuatu
yang dikonstruksi (Alam, 1998 dan 1999).
Berikut ungkapan Clifford Geertz:

… Pada pihak saya, saya akan membatasi


usaha saya pada pengembangan apa yang,
222

mengikuti Parson dan Shils, saya acu


sebagai dimensi budaya dari analisis
religious. Istilah ‘kebudayaan’ sampai
sekarang telah memiliki suatu reputasi
yang kurang menguntungkan dalam
kalangan antropologis karena banyaknya
acuan; dan istilah itu terlalu sering
menimbulkan kekaburan saat dipelajari.
Bagaimanapun juga konsep kebudayaan
yang saya ikuti tidak banyak memiliki
acuan atau juga, sejauh saya dapat
melihatnya, tidak memiliki ambiguitas yang
khusus manapun. Konsep kebudayaan
yang saya ikuti itu berarti suatu pola
makna-makna yang diteruskan secara
historis yang terwujud dalam simbol-
simbol, suatu sistem konsep-konsep yang
diwariskan yang terungkap dalam bentuk-
bentuk simbolis yang dengannya manusia
berkomunikasi, melestarikan, dan
memperkembangkan pengetahuan mereka
tentang kehidupan dan sikap-sikap
terhadap kehidupan … barangkali inilah
saatnya antropologi sosial, dan khususnya
bagian darinya yang memusatkan diri pada
studi agama, menjadi sadar akan fakta itu
(Geertz, 1973: 89).

Berdasarkan konsep kebudayaan Geertz, suatu


kebudayaan atau sistem budaya pada dasarnya selalu
223

merupakan system of meaning. Dalam sistem makna ini,


bila yang menjadi penekanan adalah segi kognitif
kebudayaan, maka yang bisa didapat adalah suatu sistem
kepercayaan atau pengetahuan yang akan memungkinkan
para penganut suatu kebudayaan dapat melihat dunianya,
masyarakatnya, dan bahkan dirinya sendiri atas cara yang
khas. Pada kenyataannya, sistem budaya tidak hanya
menekankan segi kognitifnya saja, tapi juga menonjolkan
aspek evaluatif, dimana pengetahuan dan kepercayaan
tertentu ditransformasikan menjadi nilai-nilai, segi-segi
moral. Dalam diskusi-diskusi antropologis, segi-segi moral
dari suatu kebudayaan tertentu, unsur-unsur evaluatif,
pada umumnya diringkas dalam istilah ‘etos’, sedangkan
segi-segi kognitif, eksistensialnya, dilukiskan oleh istilah
‘pandangan dunia (world view)’. Etos adalah sikap
mendasar terhadap diri mereka sendiri dan terhadap
dunia mereka sendiri yang direfleksikan dalam kehidupan.
Pandangan dunia mereka adalah gambaran mereka
tentang kenyataan apa adanya, konsep mereka tentang
alam, diri, dan masyarakat. Pandangan dunia
mengandung gagasan-gagasan mereka yang paling
komprehensif mengenai tatanan. Baik kebudayaan sebagai
sistem pengetahuan maupun kebudayaan sebagai sistem
nilai-nilai harus dikomunikasikan melalui sistem simbol.
(Geertz, 1992:50-51).
Proses budaya yang menyangkut pengadaan
makna berakar pada kemampuan manusia untuk
senantiasa berpikir simbolik. Atau dengan perkataan lain,
pemikiran manusia dapat dilihat sebagai sistem lalu-lintas
simbol-simbol yang signifikan, yang memberikan makna
224

dan pengalaman. Simbol-simbol itu merupakan garis


penghubung antara pemikiran manusia dengan dunia
luar, yang selalu dihadapi atau berhubungan dengan
pemikiran. Simbol-simbol dan makna-makna yang
dikandungnya itu dibentuk secara historis, didefinisikan
secara budaya, dipelihara dan dimiliki bersama oleh
masyarakat, dan diterapkan oleh individu. Dengan
demikian, ditilik dari sumbernya, hakekat simbol dapat
dibedakan atas: (1) yang berasal dari realitas luar yang
terwujud sebagai kenyataan sosial, dan (2) yang berasal
dari dalam yang terwujud melalui konsep dan struktur
sosial (Geertz, 1973:93-94 dan 363-364).
Konsep kebudayaan yang memiliki kemiripan
dengan apa yang dikonstruksikan oleh Clifford Geertz
mungkin bisa diajukan disini adalah konsep kebudayaan
yang dicetuskan oleh Parsudi Suparlan. Di berbagai
tulisan dan kesempatan, Suparlan menyatakan bahwa
yang namanya kebudayaan itu adalah sebuah blueprint
atau pedoman bagi kehidupan dari suatu masyarakat
yang menjadi pemiliki kebudayaan tersebut. Dalam
perspektif ini, kebudayaan dilihat sebagai terdiri atas
perangkat-perangkat sistem-sistem acuan atau model-
model kognitif yang berlaku pada berbagai tingkat
perasaan dan kesadaran. Pendukung kebudayaan yang
bersangkutan menggunakan kebudayaan tersebut secara
selektif, yang mereka rasakan sebagai yang paling cocok
atau yang terbaik untuk mendorong terwujudnya
interpretasi-interpretasi yang penuh makna dari dan
mengenai situasi-situasi dan gejala-gejala yang mereka
hadapi dan untuk menuntun tindakan-tindakan di dalam
225

lingkungan hidup mereka, melalui pranata-pranata dan


istiadat-istiadat yang berlaku. Tindakan-tindakan tersebut
dapat dilihat sebagai dorongan pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan untuk dapat hidup sebagai manusia maupun
sebagai tanggapan-tanggapan atau rangsangan-
rangsangan atau stimuli-stimuli yang berasal dari
lingkungan hidup tersebut. (Suparlan, 1995:10-11).
Secara tersurat, sepertinya definisi kebudayaan
yang diberikan Parsudi Suparlan bersifat statis karena ia
hanya sebagai ‘cetak biru’ kehidupan manusia. Apakah
demikian? Berkaitan dengan ini, pada suatu kesempatan,
penulis mempertanyakan sifat ‘kestatisan’ konsep
kebudayaan langsung kepada Parsudi Suparlan dalam
satu acara perkuliahan. Kemudian dijelaskan bahwa
kebudayaan bisa juga berubah (berarti dinamis-tidak
statis) karena lingkungan hidup tempat manusia itu
hidup, secara parsial maupun secara keseluruhan, dan
secara lambat atau cepat, selalu dalam keadaan berubah
sesuai dengan proses-proses alamiah maupun sosial yang
berlaku. Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam
lingkungan hidup, sedikit atau banyak, memberikan
pengaruh-pengaruh yang menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan atas unsur-unsur yang ada dalam
kebudayaan tersebut, yang langsung maupun tidak
langsung digunakan sebagai acuan untuk menghadapi
atau memanfaatkan lingkungan hidup tersebut.

10.3 Agama Jawa


Dengan mengambil Mojokuto (Pare), Jawa Timur, sebagai
studi kasus dalam penelitiannya tahun 1950-an, Clifford
226

Geertz membagi agama Jawa menjadi tiga varian, yaitu


abangan, santri, dan priyayi. Hasil penelitiannya telah
diterbitkan dengan judul: The Religion of Java, yang
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan judul: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat
Jawa. Sudah banyak tanggapan dikemukakan oleh para
ahli, terutama tanggapan dari Harsja W. Bachtiar yang
ditempatkan sebagai lampiran untuk edisi Indonesianya.
Dalam pendahuluan bukunya, Clifford Geertz,
sebenarnya telah memaklumkan bahwa pembagian agama
Jawa menjadi tiga varian didasarkan pada pandangan
mereka (penduduk Mojokuto), kepercayaan keagamaan
mereka, dan preferensi etnik dan ideologi politik mereka.
Pembagian ke dalam tiga varian ini juga dilatar-belakangi
oleh suatu kenyataan bahwa rupanya terdapat tiga inti
struktur sosial di Jawa pada masa ini (saat penelitian
dilakukan), yakni: desa-yang kemudian dipertautkan
dengan lingkungan kehidupan para abangan; pasar-
dipertautkan dengan lingkungan kehidupan para santri;
dan birokrasi pemerintah-dipertautkan dengan
lingkungan kehidupan para priyayi. Tradisi keagamaan
abangan yang terutama sekali terdiri dari pesta
keupacaraan yang disebut slametan. Tradisi keagamaan
santri terdiri dari pelaksanaan yang cermat dan teratur
atas pokok-pokok ajaran Islam-sembahyang, puasa, dan
haji. Tradisi keagamaan priyayi didominasi oleh unsur-
unsur Hindu.
Harsja W. Bachtiar menilai bahwa kategorisasi
masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan: abangan, santri,
dan priyayi sebagaimana dilakukan oleh Clifford Geertz,
227

kurang tepat karena pengkategorisasian tersebut


berdasarkan pada satu tipe klasifikasi, yang seharusnya
dua tipe klasifikasi. Klasifikasi yang berdasarkan perilaku
keagamaan bisa dikategorisasikan sebagai kelompok
abangan dan santri, dan klasifikasi yang berdasarkan
stratifikasi social bisa dikategorisasikan sebagai kelompok
priyayi dan wong tani (wong cilik). Mungkin saja Clifford
Geertz tidak berpretensi mengajukan suatu pembagian
logis dengan kategirisasi yang konsisten, melainkan suatu
pembagian etnografis menurut pandangan orang-orang
atau penduduk Mojokuto sendiri. Pendapat lainnya
diungkapkan oleh Parsudi Suparlan. Dalam pengantar
buku tersebut, Suparlan menilai, walaupun Clifford Geertz
menyatakan bahwa pembagian atas tiga golongan struktur
sosial orang Jawa di Mojokuto telah dilakukannya
berdasarkan atas sistem penggolongan yang dilakukan
oleh orang Jawa terhadap diri mereka sendiri, nampaknya
hal itu tidak sepenuhnya benar. Terlihat bahwa Geertz
telah mempunyai suatu kerangka teori yang
digunakannya untuk menciptakan model untuk analisis;
model ini nampaknya sesuai dengan yang telah digunakan
oleh Robert Redfield. Redfield, demikian dikatakan oleh
Suparlan, melihat kota dan desa merupakan dua struktur
social yang berbeda, yang masing-masing diwakili oleh
warga elit kota dan warga petani di desa, tetapi keduanya
mewujudkan adanya suatu hubungan saling tergantung
dan melengkapi satu sama lainnya, sehingga merupakan
suatu sistem sosial tersendiri. (Geertz, 1981:ix).
Dalam bukunya, Clifford Geertz juga tidak
memberikan porsi yang sama dan seimbang dalam
228

mendeskripsikan masing-masing varian abangan, santri,


dan priyayi. Sebagai salah satu contoh adalah tentang
pembentukan simbol. Untuk varian priyayi, Geertz
memberi monopoli terhadap kesenian klasik dan popular,
hal yang tidak diberikannya kepada varian yang lain.
Untuk abangan, Geertz hanya menyebutkan simbol-
simbol berupa magis, mitologi, dan ritual. Untuk santri,
Geertz lebih banyak membicarakan soal-soal organisasi
sosial dari agama. (Kuntowijoyo, 1987:51). Nampaknya,
seperti disinyalir oleh Bachtiar dan Suparlan, bahwa yang
lebih menjadi perhatian Geertz adalah masalah
perpecahan dalam sistem sosial orang Jawa di Mojokuto
dan bukannya integrase yang terwujud di dalamnya.
Tentang tidak diberikannya definisi agama dalam
mendeskripsikan abangan, santri dan priyayi, Geertz
dianggap mencampur-adukkan dan mengacaukan antara
pengertian-pengertian agama dan adat. Apakah Geertz
hendak melukiskan kompleks-kompleks kepercayaan dan
ritual keagamaan tertentu ataukah kepercayaan-
kepercayaan dan ritual-ritual keagamaan berdasarkan
kategori-kategori tertentu dalam masyarakat. Dalam hal
ini, Suparlan memberikan penjelasan bahwa dalam
membuat deskripsi dan analisis agama orang Jawa di
Mojokuto, Geertz telah melakukannya dengan
menggunakan cara yang secara eksplisit dinyatakan
sebagai “suatu analisis mengenai sistem pengertian yang
tercakup dalam simbol-simbol yang menjadikan agama
sebagai agama, dan menghubungkan sistem-sistem ini
dengan proses-proses struktur dan kejiwaan”. Dengan
demikian, upacara slametan dapat dilihat sebagai aspek
229

keagamaan, yaitu sebagai arena dimana rumus-rumus


yang berupa doktrin-doktrin agama berubah bentuk
menjadi serangkaian metaphor dan simbol. (Geertz,
1981:xi-xii).
Kritikan paling pedas diberikan oleh Mark R.
Woodward. Dalam bukunya: Islam Jawa (1999), Woodward
telah memberikan ‘tuduhan’ kepada Geertz sebagai ‘anti
Islam’. Buku The Religion of Java, menurut Woodward,
bisa dipahami dengan baik sebagai pernyataan dan
perumusan kembali pelukisan colonial terhadap Islam.
Maka tidak aneh jika deskripsi Geertz mengenai varian
abangan dalam masyarakat Jawa mirip dengan berbagai
gambaran yang dikemukakan oleh para indolog dan
misionaris Belanda sebelumnya (dalam penelitiannya,
Geertz selama empat bulan melakukannya di Belanda).
Analisisnya terhadap upacara slametan juga parallel
dengan analisis yang pernah dikemukakan Mayer dan Van
Moll. Bahkan trikotomi abangan, santri, dan priyayi yang
diperkenalkan Geertz sebenarnya sudah sangat popular di
kalangan para sarjana misionaris. Konsep ini sebelumnya
diintrodusir oleh Poensen, seorang sarjana misionaris,
pada tahun 1886. (Woodward, 1999:ix).
Pada bagian akhir, kita perlu menengok kembali
harapan-harapan Clifford Geertz berkaitan dengan teori-
teori atau konsep-konsep yang dianut dan atau yang
sedang dibangunnya. Bahwa konsep yang dianut atau
disusun hendaknya tidak terlalu diterima sebagai konsep
empiris, yang kemudian harus dibuktikan dengan
mengaplikasikannya secara deduktif, dan bukan pula
diperlakukan sebagai konsep eksperimental yang terutama
230

berfungsi untuk mencari dan menetapkan sebuah hukum,


melainkan sebuah ilmu yang bersifat interpretatif untuk
mencari makna, dan ia diharapkan dapat merangsang
pemikiran dan lahirnya teori-teori atau konsep-konsep
lain yang semakin berani dan bervariasi. (lihat pula
Geertz, 1992:5).

10.4 Kesimpulan
Pendekatan interpretatif yang digunakan oleh Clifford
Geertz dalam memahami kebudayaan Jawa telah
memperlihatkan kepada kita akan bagaimana sebegitu
banyaknya makna-makna yang terkandung dalam
kebudayaan Jawa dapat ‘dilukiskan’ berfungsi sebagai
pedoman bagi masyarakat Jawa, yang menurut Geertz
terbagi atas tiga varian: abangan, santri, dan priyayi,
untuk menghasilkan tindakan-tindakan serta
menginterpretasi berbagai pengalaman hidupnya.
Hingga saat ini, karya Clifford Geertz: The Religion
of Java (terjemahan: Abangan, Santri, Priyayi Dalam
Masyarakat Jawa), dengan banyaknya kritikan
terhadapnya, menjadikan buku ini lebih dominan
keberadaannya terhadap buku-buku lainnya (tentang
kebudayaan Jawa). Semakin banyak kekurangan yang
dimunculkan, maka semakin banyak ilmuwan yang
melakukan penelitian tentang kebudayaan Jawa, salah
satunya adalah Mark R. Woodward. Dia mengaku,
meskipun memiliki banyak ketidak-setujuan dengan
analisis Geertz terhadap Islam Jawa, tetapi buku The
Religion of Java adalah salah satu dari banyak buku yang
mengantarkannya melakukan penelitian di Yogyakarta.
231

Terlepas dari polemik yang ada, mungkin bisa


dimunculkan pertanyaan-pertanyaan yang menarik.
Mengapa Clifford Geertz memberi perhatian besar kepada
tiga varian kebudayaan Jawa: abangan, santri, dan
priyayi, yang di sana sini diberi karakterisasi dengan kuat,
sehingga dapat memberi kesan mengada-ada dan
berlebih-lebihan, yang pada kenyataannya, menurut
beberapa pakar sosiologi dan antropologi, tidak benar-
benar demikian. Apakah ketiga varian tersebut
merupakan kenyataan empiris yang demikian menarik,
ataukah Geertz sedang melakukan percobaan tentang
teori yang dikembangkannya dengan cara membuat thick
description mengenai ketiga varian tersebut.

Referensi
Alam, Bachtiar
1998 ‘Konsep Kebudayaan Dewasa Ini: Seputar
Pertanyaan mengenai Konstruksi Budaya,
Esensialisme dan Kekuasaan’, Makalah, Acara
Diskusi di Depok.
1998 ‘Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif
Teori Kebudayaan’, Antropologi Indonesia, No. 54.
1999 ‘Antropologi dan Civil Society: Pendekatan Teori
Kebudayaan’, Antropologi Indonesia, Mei.

Geertz, Clifford
1973 The Interpretation of Cultures, New York: Basic
Books Inc.
1981 Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa,
Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
1992 Tafsir Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius.
Kebudayaan & Agama, Yogyakarta: Kanisius.
232

Kleden, Ignas
1988 ‘Paham Kebudayaan Clifford Geertz’, Rencana
Monografi: LP3ES.

Kuntowijoyo
1987 Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya.

Kuper, Adam
1999 Culture, London: Harvard University Press.

Suparlan, Parsudi
1994 ‘Pendekatan Kebudayan terhadap Agama’,
Makalah, Pelatihan Wawasan di Bogor.
1995 ‘Antropologi dalam Pembangunan’, Makalah,
Ceramah Umum di UI.

Woodward, Mark R.
1999 Islam Jawa, Yogyakarta: LKiS.

Anda mungkin juga menyukai