TENTANG
JAWA
Ashadi
|arsitekturUMJpress|
|
Penulis: ASHADI
ISBN 978-602-74968-6-6
i
ii
iii
iv
DAFTAR ISI
HAL.
KATA PENGANTAR i
PENGANTAR PENERBIT iii
DAFTAR ISI v
BAGIAN 1
RELIGI DAN ARSITEKTUR BANGUNAN
PERIBADATAN MASYARAKAT JAWA :
STUDI TENTANG SINKRETISME 1
1.1 Pendahuluan 1
1.2 Religi dan Bangunan Peribadatan
Masyarakat Jawa Kuno 3
1.3 Pengaruh Asing : Hindu-Budha 6
1.4 Pengaruh Asing : Islam 10
1.5 Kesimpulan 14
BAGIAN 2
ARSITEKTUR KERATON JAWA : TATA LETAK,
BENTUK DAN HIASAN BANGUNAN 17
2.1 Pendahuluan 17
2.2 Konsep Tata Letak Bangunan 21
2.3 Makna Ragam Bentuk Bangunan 27
2.4 Makna Ragam Hias Bangunan 35
2.5 Kesimpulan 42
v
vi
BAGIAN 3
ARAH HADAP RUMAH JAWA DAN
LEGITIMASI KEKUASAAN RAJA 47
3.1 Pendahuluan 47
3.2 Stratifikasi Masyarakat Jawa 49
3.3 Deskripsi Ruang Rumah Tinggal Raja
Pakubowono 51
3.4 Deskripsi Ruang Ruang Tinggal Dalem
Pangeran 56
3.5 Konsep Kekuasaan Raja Jawa 59
3.6 Kesimpulan 68
BAGIAN 4
KROBONGAN : MAKNA RUANG SAKRAL
DALAM TATA RUANG RUMAH TINGGAL JAWA 71
4.1 Pendahuluan 71
4.2 Deskripsi Singkat Rumah Tinggal Jawa 73
4.3 Fungsi dan Makna Krobongan dalam Tata
Ruang Rumah Tinggal Jawa 78
4.4 Kesimpulan 88
BAGIAN 5
MEMBANGUN KONSEP RUANG ARSITEKTUR :
ANTARA YANG SAKRAL DAN PROFAN
DALAM TRADISI KHAUL SUNAN KUDUS 91
5.1 Pendahuluan 91
5.2 Seputar Pemikiran tentang Ruang dan
Arsitektur 94
5.3 Tradisi Khaul Sunan Kudus 102
5.4 Kesimpulan 114
vii
BAGIAN 6
MENARA KUDUS SEBAGAI AXIS MUNDI :
MENELUSURI KOMUNITAS KUDUS KUNO 117
6.1 Pendahuluan 117
6.2 Inskripsi Bersejarah 120
6.3 Tafsir Al-Aqsha, Al-Manar, dan Al-Quds 122
6.4 Menara Kudus dan Penelusuran Komunitas
Kudus Kuno 126
6.5 Kesimpulan 136
BAGIAN 7
JEJAK KEBERADAAN RUMAH TRADISIONAL
KUDUS : SEBUAH KAJIAN ANTROPOLOGI-
ARSITEKTUR DAN SEJARAH 139
7.1 Pendahuluan 139
7.2 Kudus dalam Perspektif Sejarah 142
7.3 Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Kudus 145
7.4 Arsitektur Rumah Tradisional Kudus 151
7.5 Asal Usul Ukiran 158
7.6 Kesimpulan 164
BAGIAN 8
PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MESJID
WALI SONGO DI JAWA : PERUBAHAN RUANG
DAN BENTUK 167
8.1 Pendahuluan 167
8.2 Mesjid sebagai Sarana Kegiatan Dakwah :
Sejarah Singkat 171
8.3 Menuju Keruangan Memusat 176
vii
viii
BAGIAN 9
MAKNA ALUN-ALUN DALAM TATA RUANG
KOTA JAWA 191
9.1 Pendahuluan 191
9.2 Asal-Usul : Dari Tanah Lapang Menjadi
Alun-alun 194
9.3 Alun-alun : Bukan Sekedar Ruang Kosong 204
9.4 Alun-alun Dalam Tatanan Kosmos 208
9.5 Kesimpulan 210
BAGIAN 10
AGAMA JAWA : TELAAH KRITIS ATAS KONSEP
GEERTZ 215
10.1 Pendahuluan 215
10.2 Interpretasi Kebudayaan 218
10.3 Agama Jawa 225
10.4 Kesimpulan 230
BAGIAN 1
1.1 Pendahuluan
Sejak berabad-abad lalu, ada bermacam-macam religi
yang sempat dianut oleh masyarakat Jawa dan
berpengaruh besar terhadap pandangan hidupnya. Yaitu,
Kepercayaan Lokal (Animisme dan Dinamisme), Hindu-
Budha, dan Islam. Sementara Kristen-Katolik dianggap
kurang memberikan pengaruh signifikan terhadap
pandangan hidup masyarakat Jawa karena pemeluknya
relatif sedikit (Santosa, 2012:174).
Pada zaman purbakala terdapat kesatuan
kebudayaan pada suatu wilayah yang sangat luas :
mencakup India, Indocina, Indonesia, beberapa pulau di
Lautan Pasifik, dan Tiongkok Selatan. Tersebarnya
luasnya wilayah budaya tersebut dimungkinkan karena
ada laut yang menghubungkan wilayah satu dengan
wilayah lainnya. Untuk menggambarkan secara umum
kepercayaan-kepercayaan paling kuno yang telah dianut
dan sering kali masih tampak di daerah luas tersebut
adalah mengunakan istilah Animisme. Penduduk percaya
kepada ruh yang ada dalam segala benda dan segala
1
2
1.5 Kesimpulan
Perpaduan keyakinan antara keyakinan lokal dan
pendatang yang menghasilkan keyakinan baru telah
terjadi di kalangan masyarakat Jawa. Perpaduan itu yang
kemudian dikenal dengan sinkretisme, mula-mula terjadi
antara kepercayaan Animisme-Dinamisme dengan
Hinduisme (bersendi atas kebudayaan bangsa Hindu -
India), yang diwujudkan dalam bentuk ide-ide keagamaan
dan wujud bangunan peribadatannya. Ide penghormatan
terhadap raja yang kemudian berlanjut kepada pemujaan
kepada roh raja dalam bentuk percandian adalah
perkembangan dari penghormatan roh orang pemuka adat
yang meninggal pada masa pra-Hindu. Wujud fisiknya
berupa bentuk candi yang berundak, perkembangan dari
punden berundak pada masa silam. Ide keagamaan ini
kemudian terus berlanjut sampai datangnya Islam.
Penghormatan roh nenek moyang tetap bertahan dalam
kegiatan keislaman, yakni kenduri atau selametan. Wujud
fisiknya diperlihatkan oleh bentuk bangunan mesjid yang
beratap tajug tumpang, sebagai perkembangan bentuk
pundek berundak dan candi. Adanya Agami Jawi
menunjukkan bahwa telah terjadi sinkretisme antara
kepercayaan Animisme, Hinduisme dan Islam.
15
Referensi
Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan
Sejarah dan Purbakala Ditjen Kebudayaan Depdikbud
1998 Mesjid Kuno Indonesia, Jakarta: Proyek Pembinaan
Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat.
Djafar, Hasan
2010 Kompleks Percandian Batujaya Rekonstruksi
Sejarah Kebudayaan Daerah Pantai Utara Jawa
Barat, Jakarta: Kiblat Buku Utama.
Koentjaraningrat
1984 Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka.
Rahadhian
1999 ‘Tipologi Arsitektur Candi di Jawa’, Jurnal
Arsitektur Tatanan, vol.1.No.2.Oktober.
Sedyawati, Edi
1985 ‘Pengaruh India pada Kesenian Jawa : Suatu
Tinjauan Proses Akulturasi’, dalam Soedarsono
(Ed), Pengaruh India, Islam dan Barat dalam Proses
16
Simuh
1988 Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi
Ranggawarsita, Jakarta: UI Press.
1995 Sufisme Jawa, Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya.
Soekmono, R.
1973 Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1-3,
Yogyakarta: Kanisius.
Sunyoto, Agus
2011 Wali Songo, Rekonstruksi Sejarah yang
Disingkirkan, Jakarta: Transpustaka.
Suwaryadi, P.
Sejarah Indonesia Lama.
Syamlawi, Ichsan
1983 Keistimewaan Mesjid Agung Demak, Salatiga:
Saudara.
Tjandrasasmita, Uka
2000 Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim
di Indonesia dari Abad XIII sampai XVIII Masehi,
Kudus: Menara Kudus.
BAGIAN 2
2.1 Pendahuluan
Dalam pemahaman budaya Jawa, manusia adalah jagad
cilik (mikrokosmos) dan dia menjadi satu kesatuan dengan
jagad gede (makrokosmos). Dalam kaitannya dengan
keberadaan kerajaan-kerajaan di Jawa, maka konsep yang
bersifat makrokosmos selalu dikaitkan dan dapat
diterapkan pada kekuasaan raja yang bersifat
mikrokosmos. Kerajaan harus memiliki bagian-bagian
yang sama dengan bagian-bagian alam semesta. Artinya,
unsur yang ada di seluruh wilayah kerajaan akan terpusat
pada raja. Raja dan keratonnya tidak hanya sebagai pusat
kekuatan politik, melainkan juga merupakan pusat magi
dari seluruh wilayah kerajaan.
Tata letak bangunan dalam keraton Jawa
memperlihatkan adanya pemisahan antara keraton
dengan dunia luar, dan setiap pembagian ruang terkesan
diorientasikan ke sati titik, yaitu tahta raja. Struktur
17
18
praba
tlacapan
mirong
mirong
praba
tlacapan
padma
2.5 Kesimpulan
Secara garis besar kompleks keraton Jawa memiliki dua
poros, yakni pertama, poros Utara-Selatan, yang
menentukan ruang-ruang umum, resmi dan tempat
upacara; dan kedua, poros Timur-Barat, yang nampak
pada gugusan bangunan di Kedaton, yang menentukan
ruang-ruang pribadi, akrab dan keramat.
Pada umumnya bangunan-bangunan yang
terdapat di kompleks keraton Jawa menggambarkan
bentuk rumah tradisional Jawa dan sebagian
menggunakan konstruksi kayu, yaitu berbentuk limasan,
joglo, kampung dan tajug atau masjid. Satu bentuk lagi
yang menurut tradisi Jawa dimasukkan ke dalam salah
satu tipe bangunan tradisional Jawa, yakni panggang pe
tidak dijumpai pada bangunan-bangunan keraton
Yogyakarta. Di kompleks keraton Kasunanan Surakarta,
dapat ditemui satu bangunan yang berbentuk panggang
pe. Pada dasarnya tipe-tipe bentuk bangunan tradisional
Jawa berasal dari satu bentuk saja, yaitu tipe tajug, satu
bentuk yang melambangkan kesakralan. Dari tipe ini
kemudian terjadi pemekaran yang didasarkan atas
pertambahnya luasan ruangan, menjadi bentuk joglo dan
kemudian limasan.
Pada bangunan-bangunan di kompleks keraton
Jawa banyak dijumpai hiasan-hiasan yang memiliki
makna-makna tertentu. Hiasan yang banyak ditemui pada
elemen-elemen kerangka atau pada bagian-bangian
bangunan yaitu yang berupa motif manusia/wayang :
kemamang dan arca penjaga pintu gerbang; motif
geometri: tlacapan, sorotan, saton, wajikan dan praba;
43
Referensi
Ashadi
2003 ‘Alun-Alun : Menelusuri Konsep Ruang Terbuka
Kota dalam Tata Ruang Kota Kuno di Jawa’,
Laporan Akhir Penelitian, LPP Universitas
Muhammadiyah Jakarta.
2004 ‘Keraton : Rumah Tinggal Raja Jawa’, Laporan
Akhir Penelitian, Program Semi Que V, Program
Studi Teknik Arsitektur Universitas
Muhammadiyah Jakarta.
Depdikbud
1980 Struktur Bangunan Kraton Yogyakarta, Proyek
Sasana Budaya Ditjen Kebudayaan.
Hamzuri
‘Rumah Tradisional Jawa’, Laporan Penelitian,
Proyek Pengembangan Permuseuman DKI Jakarta,
Depdikbud.
Heins, Marleen
2004 Karaton Surakarta, Jakarta: Yayasan Pawiyatan
Kebudayaan Karaton Surakarta.
Ismunandar
1990 Joglo, Arsitektur Rumah Tradisional Jawa,
Semarang: Dahara Prize.
Khairuddin H.
1995 Filsafati Kota Yogyakarta, Yogyakarta: Liberty.
Lombard, Denys
1996 Nusa Jawa : Silang Budaya Kajian Sejarah
Terpadu, Bag.III : Warisan Kerajaan-Kerajaan
Konsentris, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Reksodihardjo, Soegeng
1982 ‘Arsitektur Tradisional Jawa Tengah’, Laporan
Penelitian, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Jawa Tengah.
Soeratman, Darsiti
1989 ‘Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939’,
Laporan Disertasi, UGM.
Soewito
Rekayasa Perancangan Pembangunan Kembali
Keraton Surakarta.
Soediamhadi
1990 ‘Studi Pelaksanaan Konsep Perhitungan Panjang
Blandar dan Pangeret Pada Ruang Pendapa di
Surakarta’, Laporan Penelitian Mandiri, Jurusan
Arsitektur, Universitas Sebelas Maret.
Tashadi (Ed)
1980 Seri Peninggalan Sejarah, Yogyakarta: Balai
Penelitian Sejarah dan Budaya Yogyakarta, Pusat
46
Wijaya, Ari
‘Perubahan Makna, Fungsi dan Bentuk Rumah
Tradisional Jawa’, Tesis, Program Pasca Sarjana
Antropologi, Universitas Indonesia.
Internet
https://zuliadi.wordpress.com/2009/03/06/denah-
kraton-yogyakarta, akses 29 Juni 2017.
BAGIAN 3
3.1 Pendahuluan
Poros Utara-Selatan merupakan sumbu spiritual atau
sumbu kelanggengan dinasti Mataram. Hal ini
dipersonifikasikan oleh dua kekuatan yang bersemayam di
kedua tempat, yaitu tokoh mahkluk halus, Kyai Sapu
Jagad, penjaga Gunung Merapi yang terletak di sebelah
Utara keraton, dan Ratu Kidul, penguasa Lautan Hindia
yang terletak di sebelah Selatan. Keduanya ditakuti oleh
kalangan keluarga kerajaan dan keluarga-keluarga Jawa
yang berdiam di sekitar wilayah itu. Untuk menghindari
bencana yang berupa teror-teror alam, yang disebabkan
oleh kemarahan kedua tokoh fiktif itu, maka pada waktu-
waktu tertentu, keluarga kerajaan memberikan sesaji
kepada keduanya. Sementara ketakutan terhadap Ratu
Kidul, salah satunya direpresentasikan dengan
penempatan atau penataan ruang rumah tinggal keluarga-
keluarga Jawa yang pada umumnya menghadapkan
rumahnya ke arah Selatan. Dalem Ageng Prabasuyasa,
47
48
3.6 Kesimpulan
Penentuan arah hadap rumah tinggal raja Jawa, Dalem
Prabasuyasa dan Dalem Pangeran di dalam Baluwarti
keraton Kasunanan Surakarta, hampir dapat dipastikan
tidak didasarkan pada hari kelahiran si penghuni, sebab
semuanya seragam menghadap ke arah Selatan. Bisa jadi
penentuan arah hadap rumah tinggal yang didasarkan
pada Petungan lebih tepat untuk rumah-rumah penduduk
yang letaknya jauh dari Pantai Selatan dan dua pusat
kultur Jawa, yaitu keraton Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta. Hal yang menarik adalah rumah-
rumah adat di daerah Kudus yang letaknya di Pantai
Utara Jawa, yang relatif jauh dari pusat kultur Jawa di
Surakarta dan Yogyakarta, hampir semuanya menghadap
ke arah Selatan.
Tidak seperti rangkaian pelataran di keraton yang
berorientasi Utara-Selatan, kedhaton menghadap ke
Timur, arah matahari terbit, sumber kekuatan energi.
Orientasi ini diperkuat dengan adanya Pendapa Sasana
Sewaka, bangunan terbuka, di sebelah Timur Dalem
Ageng Prabasuyasa, bangunan tertutup. Sementara Dalem
Ageng bagian belakang, Omah Mburi, menghadap ke
Selatan, seperti lazimnya rumah-rumah Jawa lainnya.
Pendapa Sasana Sewaka adalah penanda orientasi
kedhaton; ia adalah balai persidangan utama keraton,
tempat duduk Sunan di atas dhampar, di hadapan para
punggawanya yang merupakan perwujudan simbolis
pemerintahan dan penataan wilayahnya. Dia
69
Referensi
Kartodirdjo, Sartono, dkk.
1987 Perkembangan Peradaban Priyayi, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
70
Lombard, Denys
1996 Nusa Jawa : Silang Budaya Kajian Sejarah
Terpadu, Bag.III : Warisan Kerajaan-Kerajaan
Konsentris, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Moedjanto, G.
1987 Konsep Kekuasaan Jawa, Yogyakarta: Kanisius.
Purwadi
2004 Nyai Roro Kidul dan Legitimasi Politik Jawa,
Yogyakarta: Media Abadi.
Soemardjan, Selo
Perubahan Sosial di Yogyakarta, Jakarta: Yayasan
Ilmu-Ilmu Sosial.
Soeratman, Darsiti
1989 ‘Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939’,
Laporan Disertasi, UGM.
Soewito
Rekayasa Perancangan Pembangunan Kembali
Keraton Surakarta.
BAGIAN 4
4.1 Pendahuluan
Dalam tata ruang rumah tinggal Jawa, di bagian dalam
rumah utama atau Dalem Ageng – Omah Jero, terdapat
tiga bilik atau kamar berderet arah Barat – Timur, yang
terletak di sisi Utara keempat tiang sakaguru penyangga
utama atap joglo. Kamar-kamar itu semuanya menghadap
ke arah Selatan, ke arah pintu masuk ruang dalam.
Kamar yang berada di ujung Barat dari deretan itu
dinamakan Senthong Kiwo (kiri), kamar yang di tengah
dinamakan Senthong Tengah, dan yang paling Timur
adalah Senthong Tengen (kanan). Di antara ketiganya,
Senthong Tengah yang juga dikenal dengan Krobongan,
dianggap ruang yang memiliki derajat kesakralan paling
tinggi; dan keberadaanya tidak dapat dilepaskan dari
tokoh fiktif Dewi Sri, Dewi Kesuburan. Pada umumnya,
masyarakat petani Jawa sangat mempercayai dan
menghormati tokoh Dewi Sri.
71
72
Senthong
tengah
4.4 Kesimpulan
Dalam tata ruang rumah tinggal Jawa, di bagian dalam
rumah utama atau Dalem Ageng – Omah Jero, terdapat
tiga bilik atau kamar berderet arah Barat – Timur, yang
terletak di sisi Utara keempat tiang sakaguru penyangga
utama atap joglo. Kamar-kamar itu semuanya menghadap
ke arah Selatan, ke arah pintu masuk ruang dalam.
Kamar yang berada di ujung Barat dari deretan itu
dinamakan Senthong Kiwo (kiri), kamar yang di tengah
dinamakan Senthong Tengah, dan yang paling Timur
adalah Senthong Tengen (kanan). Di antara ketiganya,
Senthong Tengah yang juga dikenal dengan Krobongan,
dianggap ruang yang memiliki derajat kesakralan paling
tinggi; dan keberadaanya tidak dapat dilepaskan dari
tokoh fiktif Dewi Sri, Dewi Kesuburan. Pada umumnya,
masyarakat petani Jawa sangat mempercayai dan
menghormati tokoh Dewi Sri.
Beberapa pergeseran didalam cara menata ruang
rumah tinggal Jawa yang terjadi belakangan ini,
khususnya yang berkaitan dengan keberadaan Krobongan
atau Senthong Tengah, misalnya menghilangkannya, atau
merubahnya menjadi sebuah kamar tidur, atau
memfungsikannya untuk kegiatan domestik lainnya,
menurut saya disebabkan oleh dua hal, pertama tidak
sesuai lagi dengan nilai-nilai fungsional, dan kedua
meningkatnya nilai-nilai keagamaan (Islam) penghuninya,
sehingga tidak lagi percaya terhadap kekuatan alam dan
mahkluk halus yang bisa menentukan nasib mereka,
kecuali bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini
hanya kehendak Allah semata. Akibat adanya pergeseran
89
Referensi
Ashadi
2000 ‘Mencari Korelasi antara Arsitektur Masjid dengan
Rumah Tinggal Tradisional di Kudus Jawa Tengah’,
Laporan Penelitian, Universitas Pancasila.
2004 ‘Keraton : Rumah Tinggal Raja Jawa’, Laporan
Akhir Penelitian, Program Semi-Que V, Program
Studi Arsitektur Univ. Muhammadiyah Jakarta.
Geertz, Clifford
1981 Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa,
Jakarta: Pustaka Jaya.
Heins, Marleen
2004 Karaton Surakarta, Jakarta: Yayasan Pawiyatan
Kebudayaan Karaton Surakarta.
Karno, R.M.
Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinoehoen Sri
Soesoehoenan Pakoeboewono Ke-X 1893-1939.
Koentjaraningrat
1984 Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka.
90
Soeratman, Darsiti
1989 ‘Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939’,
Laporan Disertasi, UGM.
Soewito
Rekayasa Perancangan Pembangunan Kembali
Keraton Surakarta.
Suyami
2001 Serat Cariyos Dewi Sri dalam Perbandingan,
Yogyakarta: Kepel Press.
BAGIAN 5
5.1 Pendahuluan
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup, hewan dan
manusia diberi kemampuan untuk dapat menciptakan
ruang; yang membedakan antara keduanya adalah hewan
akan menggunakan naluri yang diwarisi secara genetika,
sedangkan manusia menggunakan pengetahuan
kulturalnya yang diperoleh dari pengalaman dan proses
belajar. Amos Rapoport, menerangkan, hewan memiliki
kemampuan untuk dapat membedakan ruang, yang
menunjukkan kepada si pemakai bahwa mereka lebih
berada di sini daripada di sana. Di kalangan hewan,
tempat-tempat diketahui dan ditandai; termasuk
lingkungan rumah, kawasan inti, daerah kekuasaan, dan
tempat bersarang, tempat mendapatkan makanan, dan
tempat bercumbu (dalam Snyder, 1984:5). Perilaku hewan
yang begitu rumit dalam menciptakan, membedakan dan
91
92
5.4 Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, saya mencoba menyusun konsepsi
tentang ruang arsitektur. Saya melihat, Ruang Arsitektur
sebagai suatu wadah yang terwujud dari gabungan antara
unsur-unsur fisik dan non fisik yang secara terus
menerus di tata dan diolah oleh pelaku – perseorangan
ataupun kelompok, yang memiliki hasrat, kepentingan,
dan kemampuan, yang didasarkan atas pengetahuan
kulturalnya, melalui pranata-pranata yang berlaku, dalam
rangka kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup. Unsur
fisik diwujudkan oleh bidang batas ruang yang lebih ketat
(dinding-dinding atau pembatas geometris tiga
dimensional), sementara unsur non fisik diwujudkan oleh
hal-hal yang lebih bersifat abstrak, meskipun tidak teraba,
ia bisa berfungsi sebagai pembatas dan pembentuk ruang.
Referensi
Ashihara, Yoshinobu
1983 Merancang Ruang Luar: Dian Surya.
115
Durkheim, Emile
1993 ‘Dasar-Dasar Sosial Agama’, dalam Robertson,
Agama : Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Eliade, Mircea
2002 Sakral dan Profan, Yogayakarta: Fajar Pustaka
Baru.
Mitos Gerak Kembali Yang Abadi, Yogyakarta: Ikon
Teralitera.
Hall, Edward T.
1969 The Hidden Dimension, New York: Doubleday.
Rapoport, Amos
1977 Human Aspects of Urban Form, Toronto: Pergamon
Press.
1984 ‘Asal Mula Budaya Arsitektur‘, dalam James C.
Snyder dan Anthony J Catanese, Pengantar
Arsitektur, Terjemahan, Jakarta: Erlangga.
Sukada, Budi A.
1987 ‘Mencari Jawaban Lewat Sejarah’, dalam
Budihardjo, Arsitek Bicara tentang Arsitektur
Indonesia, Bandung: Alumni.
2001 ‘Utak-Atik Semiotik Tektonik’, dalam Masinambow,
Semiotik Mengkaji Tanda dalam Artifak, Jakarta:
Balai Pustaka.
Suparlan, Parsudi
1991 ‘Kebudayaan dan Pembangunan‘, dalam Sudjangi,
Kajian Agama dan Masyarakat, Jakarta:
Departemen Agama RI Badan Penelitian dan
Pengembangan Agama.
116
Suptandar, J. Pamudji
1999 Disain Interior, Jakarta: Djambatan.
Swanson, G.E.
1993 ‘Pengalaman Supernatural’, dalam Robertson,
Agama : Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tjahjono, Gunawan
1989 ‘Cosmos, Center, and Duality in Javanese
Architectural Tradition : The Symbolic Dimensions
of House Shapes in Kota Gede and Surroundings’,
Laporan Disertasi, University of California,
Berkeley.
Weber, Max
1993 ‘Beberapa Pokok Mengenai Agama Dunia’, dalam
Robertson, Agama : Dalam Analisa dan Interpretasi
Sosiologis, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wolf, Eric
1979 ‘The Virgin of Guadalupe : A Mexican National
Symbol’, dalam Lessa, Reader in Comparative
Religion, New York: Harper & Row.
Internet
http://seputarkudus.com/2014/01/nasi-jangkrik-simbol-
kesejahteraan-di.html
BAGIAN 6
6.1 Pendahuluan
Di bagian Barat wilayah kota Kudus, Jawa Tengah,
terdapat kompleks masjid kuno dan makam keramat
seorang Wali, Sunan Kudus. Yang tampak menonjol di
antara bangunan-bangunan yang terdapat di dalam
kompleks adalah sebuah menara raksasa dari batu bata
merah yang bentuknya mirip bangunan candi; masyarakat
Kudus dan sekitarnya menamakannya Menara Kudus.
Satu hal yang menarik dan perlu mendapat perhatian
adalah bahwa Menara Kudus dijadikan nama dari
bangunan masjidnya : Masjid Menara Kudus. Berdasarkan
susunan kata ini, jelas bahwa bangunan masjid dijadikan
pelengkap bangunan Menara Kudus. Artinya bangunan
Menara Kudus lebih dipentingkan dari pada bangunan
masjidnya oleh masyarakat Kudus dan sekitarnya.
Mengapa demikian ? Dalam tulisan ini akan
memperlihatkan bahwa keberadaan bangunan Menara
Kudus lebih dahulu ketimbang bangunan masjidnya.
117
118
6.5 Kesimpulan
Di dalam Inskripsi bersejarah yang terdapat di atas
pengimaman masjid Menara Kudus, tidak sedikitpun
disebutkan bahwa Ja’far Shadiq juga membangun sebuah
menara sebagai kelengkapan masjid yang didirikannya.
Dan berdasarkan nama masjid Menara Kudus seperti yang
sering diucapkan orang-orang di wilayah Kudus dan
sekitarnya, menunjukkan bahwa masjid dididirikan untuk
137
Referensi
Ashadi
2000 ‘Mencari Korelasi antara Arsitektur Masjid dengan
Rumah Tinggal Tradisional di Kudus Jawa Tengah’,
Laporan Penelitian, Fakultas Teknik Universitas
Pancasila.
Eliade, Mircea
2002 Sakral dan Profan, Yogayakarta: Fajar Pustaka
Baru.
Mitos Gerak Kembali Yang Abadi, Yogyakarta: Ikon
Teralitera.
Freud, Sigmund
2001 Totem dan Tabu, Yogyakarta: Jendela.
138
Geertz, Clifford
1981 Abangan, Santri, Priyayi dalam Masayarakat Jawa,
Jakarta: Pustaka Jaya.
Herusatoto, Budiono
2001 Simbolisme dalam Budaya Jawa, Cet.ke-4,
Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.
Husken, Frans
1998 Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman :
Sejarah Diferensiasi di Jawa 1830 – 1980, Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Keesing, Elisabeth
1999 Betapapun Besar Sebuah Sangkar : Hidup, Suratan
dan Karya Kartini, Jakarta: Djambatan.
Salam, Solichin
1977 Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam, Kudus:
Menara.
Slametmuljana
1979 Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya, Jakarta:
Bhratara Karya Aksara.
1981 Kuntala, Sriwijaya dan Swarnabhumi, Jakarta: Inti
Idayu Press.
7.1 Pendahuluan
Pembangunan adalah motor penggerak terjadinya
perubahan kultural. Proses perubahan kultural di
Indonesia secara signifikan telah terjadi sejak Belanda
mulai mengeksploitir sumber daya manusia dan alam
Indonesia. Pada periode tahun 1600 - 1800 M, Kompeni
Belanda melaksanakan pembangunan untuk pertahanan
dari serangan musuh baik dari dalam maupun asing; pada
saat yang sama juga dituntut untuk meningkatkan volume
dan nilai perdagangan ke luar negeri, terutama ke pasaran
Eropa. Periode tahun 1800 - 1900 M, pembangunan
diorientasikan pada tercapainya kemudahan kontrol
terhadap aktifitas masyarakat di suatu daerah atau kota.
Hal ini ditandai dengan adanya alun-alun sebagai pusat
orientasi, baik aktifitas masyarakat maupun fasilitas
pendukungnya. Periode tahun 1900 - 1950 M, Belanda
mulai melakukan pembangunan dengan tujuan
139
140
7.6 Kesimpulan
Dari uraian di atas, saya bisa menyimpulkan bahwa
rumah tinggal tradisional Kudus yang kondisinya masih
bisa kita lihat sekarang, beratap joglo pencu dan dihiasi
ukiran dibagian ruang dalamnya, dibangun setelah tahun
1749 M dan sebelum tahun 1920 M atau 1945 M. Meliputi
dua periode, yaitu periode pertama dari tahun 1749 M
hingga sebelum 1870 M dan periode kedua mulai tahun
1870 M hingga sebelum tahun 1920an atau hingga tahun
1945 M.
165
Referensi
Castles, Lance
1982 Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa :
Industri Rokok Kudus, Jakarta: Sinar Harapan.
Gill, Ronald
1988 ‘The Morphology of Indonesia Cities’, dalam Change
and Heritage in Indonesian Cities, Proccedings of
Seminar, Jakarta, 28-30 September.
Husken, Frans
1998 Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah
Diferensiasi di Jawa 1830 – 1980, Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia.
166
Keesing, Elisabeth
1999 Betapa Besarpun Sebuah Sangkar; Hidup, Suratan
dan Karya Kartini, Jakarta: Djambatan.
Priatmodjo, Danang
1988 ’Anatomi Rumah Adat Kudus’, Laporan Penelitian,
Fakultas Teknik Universitas Tarumanegara.
Salam, Solichin
1994 Kudus Selayang Pandang, Kudus: Menara Kudus.
Sumartono, Anton
1997 ‘Desain Ukir Jepara’, Laporan Thesis, Program
Studi Antropologi Universitas Indonesia.
Wiryomartono, A. Bagoes P.
1995 Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Yuliningsih, Endah
1997 ’Makna Simbolik Unsur-Unsur Seni Bangunan
Rumah Adat Kudus (Kajian Kasus Terhadap
Rumah Adat di Museum Kretek Kudus)’, Laporan
Skripsi, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(IKIP) Semarang.
BAGIAN 8
PERKEMBANGAN ARSITEKTUR
MESJID WALI SONGO DI JAWA :
PERUBAHAN RUANG DAN BENTUK
8.1 Pendahuluan
Perkembangan Islam pada periode awal di pulau Jawa
tidak terlepas dari peran Wali Songo (Wali yang jumlahnya
sembilan), yakni sembilan mubaligh Islam yang dianggap
sebagai kepala dari sejumlah besar mubaligh Islam yang
bertugas menyiarkan agama Islam di daerah-daerah di
pesisir utara pulau Jawa. Mereka adalah Maulanan Malik
Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan
Drajat, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kalijaga, dan
Sunan Gunung Jati. Para Wali Songo itu masing-masing
memiliki tugas untuk menyebarkan Islam ke seluruh
pelosok Jawa melalui tiga wilayah penting. Wilayah
pertama adalah, Surabaya, Gresik dan Lamongan di Jawa
Timur. Wilayah kedua adalah, Demak, Kudus dan Muria
di Jawa Tengah. Dan wilayah ketiga adalah, Cirebon di
Jawa Barat.
Dalam rangka kegiatan penyebaran Islam, para
Wali Songo itu mendirikan mesjid di daerah-daerah yang
167
168
Mesjid Agung
Demak
Mesjid Agung
Sang Cipta Rasa
8.5 Kesimpulan
Ruang utama (tengah) mesjid yang memiliki bentuk denah
bujur sangkar, dinaungi secara penuh oleh atap tajug
bertumpang dan dikelilingi oleh serambi, memperlihatkan
kesan ruang tertutup dan bersifat sakral. Serambi depan,
serambi kanan dan serambi kiri yang berorientasi ke
ruang utama, bersifat semi tertutup dan semi sakral.
Dengan keberadaan serambi di sekelilingnya, menjadikan
ruang tengah atau ruang utama shalat baik secara dua
189
Referensi
Ashadi
2002 ‘Masjid Agung Demak sebagai Prototipe Masjid
Nusantara : Filosofi Arsitektur’, dalam Jurnal
Nalars, Jurusan Arsitektur FT-UMJ. Th. I-I.
Fanani, Achmad
1995 ‘Arsitektur Masjid dan Habitat Budaya Masyarakat
Islam di Jawa, Kasus : Arsitektur Masjid Kubah’,
Makalah dalam acara Lokakarya Nasional
Arsitektur Islam di Yogyakarta.
Fruin-Mess, W.
1920 Geschiedenis van Java II, Batavia: Ruygrok & Co.
Hurgronje, Snouck
1983 Islam di Hindia Belanda, Jakarta: Bhratara Karya
Aksara.
Krier, Rob
1992 Elements of Architecture, London: Academy Group
LTD.
190
Pursal
2010 Arsitektur Yang Membodohkan, Bandung: CSS
Publishing.
Salam, Solichin
1974 Sekitar Wali Sanga, Kudus: Menara Kudus.
Soekmono
1973 Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1-3,
Yogyakarta: Kanisius.
Sudjana, T.D.
2003 Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan Muatan
Mistiknya, Bandung: Humaniora Utama Press.
Sulendraningrat, P.S.
1985 Sejarah Cirebon, Jakarta: Balai Pustaka.
Wiryoprawiro, Zein M.
1986 Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur,
Surabaya: Bina Ilmu.
BAGIAN 9
9.1 Pendahuluan
Alun-alun merupakan ruang terbuka – enclosure – yang
selalu berada di tengah-tengah kota-kota kuno di Jawa,
yang sejarah terbentuknya berkaitan erat dengan sejarah
kotanya. Struktur ruang kota yang menjadikan alun-alun
sebagai vocal point merupakan peninggalan zaman
kerajaan-kerajaan di Jawa (Majapahit, Mataram Islam,
Yogyakarta, dan Surakarta), yang kemudian
dikembangkan oleh Hindia Belanda dengan menciptakan
tipologi kota Jawa. Keberadaan alun-alun sebagai salah
satu elemen penting dalam struktur ruang kota-kota di
Jawa sebagian masih bertahan hingga sekarang, dengan
makna, fungsi dan wujud yang berbeda-beda pada setiap
kota.
Tradisi tahunan Sekatenan atau Garebeg yang
dilestarikan oleh Pemerintah Daerah Yogyakarta,
Surakarta dan Demak telah memberikan kembali peran
penting kepada alun-alun. Namun tidak semua kota yang
memiliki alun-alun mampu mempertahankan keberadaan
191
192
F E
C
A G
9.5 Kesimpulan
Berdasarkan konsep awal, alun-alun adalah bagian
penting dan tidak terpisahkan dari kediaman seorang
penguasa. Prabu Majapahit dan raja-raja Mataram Islam
(termasuk Yogyakarta dan Surakarta) sengaja
menyediakan ruang terbuka itu di depan istananya untuk
memperlihatkan kekuatan politik dan magi yang melekat
pada dirinya kepada rakyatnya. Simbol kekuasaan yang
ada pada alun-alun kemudian diadopsi oleh pihak
penguasa Belanda dalam rangka kontrol terhadap
penguasa lokal di kota-kota kabupaten dan karesidenan di
Jawa.
211
Referensi
Budiman, Amen
1978 Semarang Riwayatmu Dulu, Semarang : Tanjung
Sari.
Graaf, H.J. de
1986 Puncak Kekuasaan Mataram, Jakarta : Pustaka
Utama Grafiti.
------ ; Th. G. Th. Pigeaud
1985 Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Jakarta
: Pustaka Utama Grafiti.
Khairuddin H.
1995 Filsafati Kota Yogyakarta, Yogyakarta : Liberty.
Lombard, Denys
1996 Nusa Jawa : Silang Budaya Kajian Sejarah
Terpadu, Bag.III : Warisan Kerajaan-Kerajaan
Konsentris, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Ricklefs, M.C.
2002 Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-
1792, Yogyakarta : Matabangsa.
Slametmujana
1979 Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya, Jakarta :
Bhratara Karya Aksara.
1983 Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit,
Jakarta : Inti Idayu Press.
2005 Menuju Puncak Kemegahan, Yogyakarta : LKiS.
Tillema, H. F.
1922 Kromoblanda: Vijfde deel, Tweede stuk.
BAGIAN 10
10.1 Pendahuluan
Antropologi adalah suatu disiplin ilmu yang telah lama
berusaha merumuskan konsep kebudayaan sebagai salah
satu konstruksi teoritis utama dalam penelitian sosial,
mulai dari definisi kebudayaan klasik E.B. Tylor (1871)
hingga definisi kebudayaan Clifford Geertz (1973).
Konsepsi kebudayaan untuk pertama kalinya
dikembangkan oleh para ahli antropologi menjelang akhir
abad kesembilan belas. Definisi pertama yang sungguh-
sungguh jelas dan komprehensif berasal dari ahli
antropologi Inggris, Sir Edward Burnett Tylor. Dalam
Primitive Culture (1871), seperti dipaparkan Adam Kuper,
Tylor mendefinisikan kebudayaan sebagai: keseluruhan
kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni,
moral, hukum, adat istiadat, dan banyak kemampuan dan
kebiasaan lainnya yang didapat manusia sebagai anggota
masyarakat. Konsep kebudayaan Tylor sangat longgar;
kajiannya mencakup obyek yang sangat luas dan
bervariasi. Dalam perkembangan selanjutnya, sampai
215
216
10.4 Kesimpulan
Pendekatan interpretatif yang digunakan oleh Clifford
Geertz dalam memahami kebudayaan Jawa telah
memperlihatkan kepada kita akan bagaimana sebegitu
banyaknya makna-makna yang terkandung dalam
kebudayaan Jawa dapat ‘dilukiskan’ berfungsi sebagai
pedoman bagi masyarakat Jawa, yang menurut Geertz
terbagi atas tiga varian: abangan, santri, dan priyayi,
untuk menghasilkan tindakan-tindakan serta
menginterpretasi berbagai pengalaman hidupnya.
Hingga saat ini, karya Clifford Geertz: The Religion
of Java (terjemahan: Abangan, Santri, Priyayi Dalam
Masyarakat Jawa), dengan banyaknya kritikan
terhadapnya, menjadikan buku ini lebih dominan
keberadaannya terhadap buku-buku lainnya (tentang
kebudayaan Jawa). Semakin banyak kekurangan yang
dimunculkan, maka semakin banyak ilmuwan yang
melakukan penelitian tentang kebudayaan Jawa, salah
satunya adalah Mark R. Woodward. Dia mengaku,
meskipun memiliki banyak ketidak-setujuan dengan
analisis Geertz terhadap Islam Jawa, tetapi buku The
Religion of Java adalah salah satu dari banyak buku yang
mengantarkannya melakukan penelitian di Yogyakarta.
231
Referensi
Alam, Bachtiar
1998 ‘Konsep Kebudayaan Dewasa Ini: Seputar
Pertanyaan mengenai Konstruksi Budaya,
Esensialisme dan Kekuasaan’, Makalah, Acara
Diskusi di Depok.
1998 ‘Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif
Teori Kebudayaan’, Antropologi Indonesia, No. 54.
1999 ‘Antropologi dan Civil Society: Pendekatan Teori
Kebudayaan’, Antropologi Indonesia, Mei.
Geertz, Clifford
1973 The Interpretation of Cultures, New York: Basic
Books Inc.
1981 Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa,
Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
1992 Tafsir Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius.
Kebudayaan & Agama, Yogyakarta: Kanisius.
232
Kleden, Ignas
1988 ‘Paham Kebudayaan Clifford Geertz’, Rencana
Monografi: LP3ES.
Kuntowijoyo
1987 Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya.
Kuper, Adam
1999 Culture, London: Harvard University Press.
Suparlan, Parsudi
1994 ‘Pendekatan Kebudayan terhadap Agama’,
Makalah, Pelatihan Wawasan di Bogor.
1995 ‘Antropologi dalam Pembangunan’, Makalah,
Ceramah Umum di UI.
Woodward, Mark R.
1999 Islam Jawa, Yogyakarta: LKiS.