Anda di halaman 1dari 111

PANDANGAN HIDUP

PANDANGAN HIDUP
Tan Malaka (1948)
I
MANUSIA MONYET

Puluhan ribu tahun lalu, dimasa yang masih gelap gulita untuk
ingatan kita sekarang, ketika mungkin kepulauan Indonesia
masih besartu antara satu dengan lainnya, juga dengan Filipina
dan benua Asia bahwa mungkin juga dengan Australia, menurut
me nurut
seorang ahli hiduplah disini, dekat desa Trinil, makhluk setengah
hewan setengah manusia, yang oleh ilmu
dinamakan pithecantropus erectus
erectus,, manusia monyet. Di belahan
bumi lain seperi di Tiongkok Utara, Afrika Selatan, serta Eropa
Selatan dan Tengah ditemukan juga mahluk semacam itu.

Semenjak Charles Darwin, banyak sekali para ahli biologi (ilmu


hayat) mendapatkan pandangan dan kesimpulan baru yang
bertentangan dengan kepercayaan yang ditaati oleh agama
selama ini tentang asal-usul dan hari akhir manusia di bumi kita
yang kecil dan sama sekali tak berarti, kalau dibandingkan
dengan besarnya pelbagai bintang diantara jutaan bintang di
alam raya kita ini, di Universe kita ini.
II
INDONESIA SEDERHANA

Kita kembali kepada alam kita di Indonesia tadi serta kembali


mengamati penghuninya! Maka sekarang pun Indonesia masih
dapat menyaksikan manusia pada tingkat yang serendah-
rendahnya, yang berada di antara jenis hewan yang paling tinggi
derajatnya, seperti orang utan, dengan pelbagai penduduk
manusia di gunung serta hutan rimba raya Indonesia.

Orang Kubu yang masih berkeliaran di hutan rimba Sumatera


Selatan, orang Semang di Malaya dan banyak orang Dayak di
hutan Kalimantan seperti banyak orang Irian (Papua) masih bisa
mendapatkan semua keperluan hidupnya daripada Alam
sekitarnya. Mereka belum lagi terpaksa mengerahkan otaknya
dan tenaga untuk bertanam, bertukang atau berdagang, untuk
mendapatkan makanan dan pakaian yang diperlukannya atau
untuk memperoleh senjata buat membela diri mereka terhadap
hewan atau pun manusia buas yang lainnya. Buah dari pohon di
berlainan tempat dan musim, binatang liar dan ikan yang
terdapat di sana-sini cukup untuk menjamin hidup mereka. Kulit
dan daun kayu cukup untuk menutupi bagian badan yang perlu
mereka tutupi. Dahan, ranting, dan daun kayu yang dibikin
seperti sarang, tinggi di atas pohon, cukup pula untuk memberi
sekedar perlindungan terhadap hujan, panas dan bahaya musuh.
Gambaran di atas kurang lebih memang masih terdapat pada
beberapa bagian di kepulauan Indonesia. Ini saya majukan
untuk memberi penjelasan, betapa dekat dan eratnya hubungan
alam dan manusia. Alam Indonesia yang kaya raya ini tidaklah

mendorong manusianya membanting tulang serta memutar otak


terus-menerus untuk mendapatkan makanan dan pakaian serta
memperoleh senjata dan perlindungan untuk membela diri
terhadap binatang buas atau alam yang kejam. Di mana
keadaan alam belum lagi memaksa, maka tenaga, kepandaian
dan pengetahuan manusia itu tinggal tetap seperti awalnya.
Tetapi dimana keadaan alam dan masyarakatnya mengalami
perubahan, disana tenaga dan otak penduduk Indonesia
menunjukkan juga kesanggupan penuh terhadap segala macam
kemajuan jasmani dan rohani yang dikehendaki oleh alam dan
masyarakat yang berubah itu. Sungguh besar perbedaan alam
jiwanya orang Indonesia asli, seperti orang Kubu, Semang,
Dayak, dan Irian seperti tergambar di atas tadi dengan alam-
jiwanya seorang Indonesia desa kota seperti tani, buruh, doker,
insinyur, atau pengacara. Tetapi dengan tiada sangsi dan bukan
pula dengan maksud memuji atau menghina, saya berani
mengatakan bahwa orang Dayak atau Irian pun jika berada
dalam keadaan sama akan sanggup belajar sampai mencapai
apa yang bisa dicapai oleh suku bangsanya yang berada
ber ada di desa
dan kota. Perbedaan orang Indonesia berada dengan yang
sederhana (primitive
primitive)) bukanlah disebabkan oleh perbedaan sifat
dan kesanggupan sebagai manusia, melainkan disebabkan oleh
perbedaan sekitar dan keadaan. Dengan kata lain, disebabkan
oleh kodrat pendorong.

III
ANIMISME

Rupanya perbedaan alam sekitar kita itulah yang menjadi alat


adanya perbedaan Pandangan Hidup ( Weltanschauung))
(Weltanschauung
Indonesia beradab dengan Indonesia primitif itu. Buat mengerti
hal ini, maka sebaiknya sekejap kita mengandaikan berada di
tengah-tengah hutan rimba Sumatera, Kalimantan, atau Irian!

Bagi penduduk kota, ataupun hampir buat seluruh penduduk


pulau Jawa, agak susah mengerti betapa dahsyatnya suasana
hutan rimba yang sesungguhnya itu menekan jiwa kita.

Pohon yang besar tinggi menjulang ke angkasa; cuaca yang


selalu gelap-gulita karena sang matahari tak sanggup
menembus dinding daun kayu yang rindang itu; suara hewan

yang mempengaruhi jiwa kita; kecurigaan kepada semua semak


dan belukar, karena mungkin menyembunyikan biantang buas
atau berbisa, semua itu menimbulkan perasaan kecil, hina tak
berdaya sebagai manusia menghadapi kebesaran dan
kedahsyatan alam.

Bagi manusia yang sejak awal berpikir, yang sejak awal sekali
mencerminkan alam-luar itu kepada alam-dalamnya, kepada
jiwanya, cocok benarlah paham bahwa tekanan atas jiwa dalam
dirinya disebabkan olah jiwa yang berada di Alam-Luar, yakni
yang berada dalam hutan rimba raya itu. Buat pikiran orang
serba sederhana itu jiwa cuma bisa dipatahkan karena ditimpa
oleh pohon besar. Demikianlah di mata orang sederhana itu,

semua benda yang dahsyat di sekitarnya dianggap mengandung


jiwa seperti
sepe rti d
dirinya
irinya sendiri. Pohon besar
be sar yang rindang dahsyat,
air mancur yang bergemuruh; binatang buas yang berbahaya;
bahkan batu dan kayu pun dianggapnya berjiwa, bernyawa.

Sesungguhnya anti tesis antara buruk dan baik,


b aik, yang terpendam
dalam pengalamannya sehari-hari belum lagi begitu terpisah
dalam pandangannya. orang sederhana memuja bukan yang
baik asal baik saja, tetapi juga yang jahat. Mereka memberikan
korban kepada keduanya, yang baik maupun yang jahat. Hantu
yang jahat tak kurang menerima pujaan atau korban orang
sederhana daripada hantu yang baik, yakni hantu kawan
manusia. tentulah di mana alam sangat dahsyat di sanalah
hantu jahat, harimau si raja hutan atau sang buaya mendapat
perhatian lebih dari pada yang baik.

Teranglah sudah bahwa zaman serba permulaan itu pandangan


bangsa Indonesia, dalam keadaan serba-serbi itu pula,
berdasarkan paham yang oleh para ahli dinamai kepercayaan
animisme. Semua yang ada di alam ini dianggapnya berjiwa,
bernyawa.
Berkenaan dengan manusia sederhana bangsa kita tadi dengan
alamnya di mana mansuia itu berlaku pasif, menerima, bahkan
menderita ketakutan saja, di masa inipun berlakulah hukum
dialektika, yakni perubahan bilangan sedikit demi sedikit, lama-

kelamaan menjadi pertukaran sifat (quantity into quality).

Dalam pencarian hidupnya sehari-hari menghadapi pelbagai


bahaya di hutan, di gunung, di air dan menderita bermacam-
macam penyakit, lama kelamaan tahu-tahu tertumpahlah segala
pengorbanan dan pemujaan kepada salah satu yang paling
ditakuti di antara banyak-yang-ditakuti. Di antara macan, buaya,
hantu pohon, hantu air, atau hantu pemburu, akhirnya jatuhlah
Maha-Pujuaan kepada Maha-Hantu, yang paling penting-cocok
dengan penghidupan dan pengalaman sehari-hari. Dimana
pencarian dan pekerjaan berburu sangat dipentingkan, maka
hantu pemburulah yang sengat dipuja. Di sinilah hantu-pemburu
akhirnya mendapat kehormatan sebagai Maha-Hantu.

Dimana pergaulan sudah agak maju, dan alam-sekitar sudah


agak ramah-tamah, maka yang baik mendapat perhatian agak
lebih dari yang jahat. Konon kabarnya ada satu suku bangsa
Irian yang menganggap pohon aren atau enau sebagai Tuhan
dalam arti Maha-Dewa. Bukankah pohon aren juga antara segala
pohon dan segala yang ada di alam sekitar mereka yang telah
memberikan segala-galanya yang diperlukan buat kehidupan
mereka? Sagu dari pohon Aren adalah makanan yang sehat dan

mengandung banyak kegunaan. Ijuknya dapat dipakai buat atap


rumah. Batangnya bsia juga dipakai sebagai tombak penangkap
ikan dan alat membela diri terhadap musuh.

Seorang Irian asli cuma membutuhkan tujuh pohon Aren yang

berurutan dari satu sampai tujuh tahun. Tebanglah pohon


ketujuh yang berumur tujuh tahun, yang sudah masak itu.
Tanamlah satu pohon penggantinya. Inilah pekerjaan yang perlu
dilakukan seorang anggota, yakni memotong sepohon sagu
sekali satun dan menanam sepohon sagu sekali setahu.
Selainnya itu dia boleh memancing atau berburu,
berb uru, berkelahi atau
bersuka ria. Dalam pergaulan semacam itu Dewi Sagu-lah yang
dianggapnya pencipta segala-galanya dan yang berkuasa dalam
segala-galanya. Demikianlah dalam Swarga-Loka di Irian.

Sederhana, Dewi Sagu menjunjung segala kemegahannya ke


angkasa sambil memberi bahagia kepada makhluk manusia di
sekelilingnya.
IV
KEPERCAYAAN
KEPERCAYAAN INDIA

Melompat kita sekarang ke bagian lain di bumi kita ini, ke


masyarakat lain, yakni India! Salah satu kesimpulan yang kita
peroleh setelah membaca buku suci Mahabarat, Ramayan, dan
Upanishad, serta tulisan tentang hidupnya Sidharta Gautama,
Sang Budha, dan agama Budha, yakni bahwa pertama
per tama kali India
mempunyai penduduk asli dan penduduknya terdiri dari
bermacam-macam bangsa yang masuk menyerbu dari Utara
dan mungkin pula dari Timur atau Selatan!

Kedua,, bahwa mayarakat India di masa semua buku tersebut


Kedua
dikarang sudah mengenal alat perkakas produksi yang dibuat
dari logam.

Ketiga,, bahwa masyarakat India sudah meningkat dari komunis


Ketiga
asli ke tingkat feodal yang mengenal beberapa raja dan
maharaja, sedangkan aturan desanya berdasarkan komunis asli.

Keempat, dan inilah pula yang perlu diperhatikan disini, bahwa


kebudayaan dan agama India yang tertulis itu cukuplah
mencerminkan masyarakatnya di masa itu buat mereka yang
berpedoman dialektisme materialistis
materialistis,, jadi bukan dialektisme

idealistis.
Memang dalam kitab suci India itu sukar diperoleh fakta
sejarahnya (historical
(historical facts)
facts) dan sukar pula didapat
konsistensinya, yakni persamaan dasar antara bagian dengan

bagian dan semua kecocokan dengan bukti serta


hukum Common-Sense.
Common-Sense . Malah tarikh pun, yakni salah satu
syarat yang penting bagi sejarah, sukar, kalau tak mustahil akan
didapat.

Maksudnya di sini tidaklah akan bisa mengambil suatu


kesimpulan secara pasti dari Buku-Suci yang tidak
berdasarkan historical facts itu. Cuma sekedar menimbulkan
kesamaan petunjuk buat ahli pemeriksa.

Berhubungan dengan dongeng Ramayana, maka dengan


sendirinya timbul dalam hati kita pertanyaan, apakah monyet
putih atau Hanoman itu benar penjelmaan manusia,
berdasarkan ilmu gaib ataukah tiada lebih tepat bahwa
Hanoman si Monyet Putih itu adalah seorang Panglima Aria,
yakni bangsa Kaukasia yang berkulit putih? Tidakkah mungkin
pula bahwa perkataan monyet itu adalah satu ejekan dari
bangsa India asli, yang berkulit hitam, seperti bangsa Keling?
Kita pun di Indonesia ini mengenal kata ejekan terhadap orang
asing-putih, penjajah, yakni kebo bule, siwer matan.

Namun bagaimanapun juga, bagi saya dongeng Monyet Putih


P utih itu

adalah suatu petunjuk buat memeriksa sejarah India yang


sebenarnya. Tetapi pegangan yang sedikit kuat, yang kita
peroleh dari dongengan Monyet itu ialah: India terdiri dari
bermacam-macam bangsa, baik yang asli atau pun yang masuk
menyerbu.

Mungkin sekali perbedaan kasta itu – yang belum pasti


terbentuk dalam kitab suci itu, tetapi terlaksana sampai menjadi
kurang lebih 3000 kasta pokok, cabang, dan ranting di masa
imperialisme Inggris – bersandar mulanya kepada perbedaan
bangsa.

Yang tiada pula kurang memberi sugesti kepada saya ialah


adanya Trimurti, adanya tiga Mahadewa Hindu, yakni Wisnu
Sang Pembangun, Shiwa Sang Perusak, dan Brahma Sang
Pemelihara.

Banyak orang yang melihat pelaksanaan dialektika dalam


kepercayaan Hindu Asli itu. Memang
Mem ang banyak ahli dialektika yang
memandang semangat Hindu berdasar
be rdasar atas dialektika idealistik,
bukan dialektika materialistik, meskipun Hegel menganggap
dialektika Hindu itu kurang kaitannya antara satu faktor dengan
faktor yang lain, yakni antara tesis dan anti tesis. Bagaimanapun
juga Trimurti dari mahadewa Pembangun, Perusak dan
Pemelihara, itu cocok sekali dengan Pandangan Hidup yang
menyelami proses dalam segala yang ada baik lahir ataupun
batin. Tidak sukar membelokkan proses tersebut kepada trimurti

Hegel, yakni tesis, anti tesis, sintesis. Cuma buat Hegel, seorang
ahli dalam ilmu filsafat, proses itu berlaku dalam otak manusia.
sedangkan buat orang Hidnu, Trimurti itu adalah Mahadewa
yang menguasai seluruhnya alam raya kita termasuk juga hidup
dan matinya manusia.

Bagi saya asal-usul, serta sifat ketiga Mahadewa Hindu itu cukup
tergambar dalam masyarakat Hindu yang kabur dan tiada logis-
kronologis tercantum dalam Kitab Suci Hindu.

Tiada sukar bagi kita menggambarkan Hindustan yang pada


mulanya terdiri dari berbagai-bagai kerajaan kecil, yang setelah
lama bertempur satu sama lain akhirnya mendapatkan tiga
maharaja atau pun satu maharaja yang terutama. Terhadap tiga
mahadewa itu pun ada tingkat kekuasaan dan kehormatan yang
diterima oleh ketiganya atau masing-masingnya yang berbeda
dari tempo ke tempo dan tempat ke tempat.

Demikianlah di Hindustan sendiri pada satu tempo dan satu


tempat Wisnu-lah yang dipuja. Pada lain tempo dan lain tempat
Syiwa-lah yang diutamakan.
Tidak saja pelbagai dewa dan mahadewanya Hindu di dunia
d unia gaib
itu mendapatkan penyesuaian pada pelbagai raja dan maharaja
di dunia lahir, yakni dunia politik, tetapi juga mendapatkan
penyesuaian penuh pada dunia-sosial Hindu. Pelbagai kasta
dalam masyarkat Hindu itu berpuncak pula pada tiga kasta
pokok, yakni Kasta Brahma, Kasta Satria, dan Kasta Waisya,

atau Kasta Pendeta, Kasta Ningrat, dan Kasta Saudagar. Semua


kasta itu berpuncak kepada Kasta Brahma. Jikalau sesudah mati,
kembali ke dunia ini dan mendapatkan kemajuan, maka
menurut hukum karma dan reinkarnasi seseorang harus melalui
kasta dari bawah ke atas, setingkat demi setingkat. Dalam hal

itu seorang Kasta Brahma sajalah yang berhak


ber hak masuk ke dalam
surga, sedangkan Kasta Sudra dan Paria (kelas rendah)
mendengarkan bacaan kitab suci pun di dunia fana ini tiada
diizinkan.

Masyarakat Hindu, terutama di bawah imperialisme Inggris,


menjadi pecah belah dan beku, terpaku pada ribuan Kasta yang
tiada boleh bercampur gaul satu dengan lainnya. Lama sebelum
Masehi rupanya pemisahan masyarakat Hindu dalam beberapa
kasta itu sudah menggelisahkan para ahli pemikirnya yang jujur
j ujur
dan mengandung pri-kemanusiaan.

Reaksi terhadap masyarakat berkasta-kasta itu datang dari


pemikir besar Sidharta Gautama, putera mahkota dari raja
Kapilawastu. Sidharta Gautama atau Budha membantah keras
pembagian manusia ke dalam beberapa kasta itu dan
mempropagandakan bahwa bukan anggota Brahmana saja yang
dapat memasuki Nirwana sesudah mati, tetapi siapa saja yang
menjalankan agamanya dengan sungguh-sungguh.

Proses untuk mendemokratisasi masyarakat Hindu yang dimulai


pada kurang lebih 500 tauhn sebelum Masehi itu berakhir

dengan kemenangan Agama Budha pada kurang lebih 500 tahun


pula sesudahnya Nabi Isa, yakni dibawah pemerintah Ashoka.
Tetapi aksi yang dilakukan oleh Sidahrta Gautama beserta para
pengikutnya yang berakhir dengan kemenangan sesudahnya
500 tahun itu diikuti pula oleh reaksi dari pihak Hindu. Reaksi

itupun memperoleh kemenangan penuh dan sampai sekarang


Hinduisme masih bersimaharajalela di dalam masyarakat Hindu.

Setelah abad ke-14 masuklah dari jurusan Utara, agama baru


yang terkenal sebagai agama Islam, yang lahir di antara
masyarakat Arab di Arabia. Agama Islam segera mendapatkan
penganut di Hindustan baik dengan propaganda secara damai
ataupun dengan jalan peperangan. Sebelum imperialisme Eropa
memasuki India, orang Islam-lain yang menjadi Maharaja di
Hindustan.

V
INDONESIA-INDIA

Gerakan Pandangan-Hidup di India sepeti ditinjau selayang


pandang di atas itu, menjalankan lakonnya pula di Indonesia kita
ini. Di sini pun kita mengenal berlakunya
b erlakunya diberlainan tempat dan
diberlainan tempo Trimurti, Mahadewa Brahma, Wisnu, dan
Shiwa. Kita pun mengenal pengembangan
pengemb angan dan perluasan agama
Islam.
Dengan berkembang dan berkuasanya perdagangan Hindu di
Indonesia setahun demi setahun, berkembang dan berkuasa
pula bansga Hindu (dibelakang hari juga bangsa Arab) atas
masyarakat dan politik bangsa Indonesia asli. Dengan begitu

berkembang dan berkuasalah pula semua agama Hindu dan


Arab (Islam) itu dalam masyarakat Indonesia.

Dalam hal itu pada puncak kekuasaan masing-masing agama,


Hindu ataupun Arab (Islam), kepercayaan Indonesia asli,
kepercayaan yang timbul dari alam Indonesia sendiri, yakni
animisme, tak pernah dapat dilenyapkan dari hati dan otaknya
sebagian besar bangsa Indonesia. Sekarang pun para Hantu
yang bersemayam di pohon besar, di hutan rimba atau air terjun
yang terus-menerus menuangkan airnya itu masih menekan
jiwa orang Indonesia yang melihat dan mendekatinya.

Perbandingan dalam dunia kepercayaan di zaman Hindu itu


sesuai pula dengan perbandingan yang terdapat dalam dunia
perekonomian bangsa Indonesia di zaman tersebut.
Perdagangan dan perusahaan asing walaupun berkembang dan
berkuasa dalam masyarakat Indonesia, belumlah pernah
Indonesia lepas dari tangannya. Tegasnya, sawah, ladang, serta
hutan, sungai dan lautan, ringkasnya tanah, air, dan udara
masih tetap di dalam genggaman bangsa Indonesia asli. Dengan
demikian masih terjamin bagi bangsa Indonesia asli hari depan
yang lebih baik dan lebih
leb ih gemilang daripada di waktu yang telah

lampau.
Mata pencaharian yang masih erat pada genggamannya, tanah,
air, udara yang teristimewa kaya-pemurah yang bagaimanapun
juga hebatnya perasaan dan penindasan asing dan bangsa

sendiri, di zaman Hindu itu, masih bisa menjamin kehidupan,


walaupun sederhana sekali.

Seperti halnya dengan kekayaan dan kemurahan alam yang


tiada memaksakan umat manusianya berebut-rebutan dan
bunuh membunuh untuk mendapatkan nafkah, para arca dari
bermacam-macam Mahadewa pun bisa duduk dalam satu
gedung berhala.

Berbeda dengan keadaan di negara asalnya sendiri maka di


Jawa-Swarga-Loka, kita dapat menyaksikan Arca Perusak,
Shiwa, berdekatan dengan Arca Pembangun, Wishnu, sambil
bersenyum-senyuman.

VI
DI SEKITAR NABI MUSA

Marilah kita sekarang melayangkan pikiran kita ke arah sungai


Nil di Mesir, ketika di bawah pemerintahan Maharaja Fir’aun.

Di sekitar bagian bumi sanalah kita mendapatkan bukti sejarah


yang banyak sekali dan paling tua sekali di antara bukti sejarah
yang sudah diperoleh di bagian bumi mana pun juga.
Egypt alias Mesir di zaman ribuan tahun yang lampau itu
mengenal bermacam-macam dewa pula. Di antara berbagai
Dewa itu maka Dewa Rah, yakni Dewa Matahari yang

mendapatkan kehormatan dan pujaan sebagai Mahadewa.

Maka menurut kepercayaan bangsa asli di Mesir itu Dewa Rah-


lah yang memfirmankan bumi, langit, sungai Nil dan gurun pasir
beserta hewan dan manusia. Semua itu terbentuk sekaligus
dengan mengucapkan sepatah kata saja, yakni Ptah. Jadi
berlainan dengan pandangan Kant, Laplace atau Darwin, maka

menurut kepercayaan di Mesir dahulu kala itu dunia dengan


isinya ini menjelma dalam kurang sekejap mata lamanya dari
dunia kosong, oleh ucapan Ptah.

Demikian pengertian Mahakuasa, yang sanggup menciptakan


Yang Ada, atau benda dari Yang Tak Ada atau kosong, sudah
tersebar pada masa hidupnya Nabi Musa.

Pengertian Mahakuasa ini pun sudah termasuk ke dalam


kepercayaan bangsa Yahudi, yang pada zaman Fir’aun itu adalah
bangsa budak terhina, berhijrah di kerajaan Fir’aun.

Karena tiada tahan lagi menderita pemerasan, penindasan serta


penghinaan sebagai bangsa asing di tengah-tengah bangsa
Mesir asli itu, maka suatu waktu bangsa Yahudi itu memutuskan,

hendak pindah ke “Tanah susu dan madu” yang menurut


kepercayaan yahudi sudah dijanjikan oleh Tuhan kepada bangsa
Yahudi itu. Tanah makmur penuh dengan susu dan madu yang
dimaksudkan itu, ialah tanah Palestina yang sekarang menjadi
tanah-rebutan antara Yahudi dan Arab itu.

Buat bangsa budak, yang penghidupannya bergembala dalam


suasana kemelaratan dan penghinaan terus menerus, maka satu
daerah
da erah bumi dimana “susu dan madu berlimpahan” serta
kemerdekaan penuh dijanjikan kepadanya, tentulah satu besi
berani yang mengandung kekuatan penarik yang sangat besar.

Orang yang memimpin pemindahan besar-besaran (exodus) ke


Palestina itu yang dilakukan secara ilegal dan rahasia sekali,
dalam pengembaraan yang dijalankan dengan mengandung
bahaya kemusnahan sebagai bangsa, karena dikejar oleh
tentara Maharaja Fir’aun yang bersenjata lengkap patutlah
disebut seorang pemimpin dalam arti kata sesungguhnya.
Bangsa Yahudi akan musnah atau akan terpaksa kembali ke
bawah penindasan Fir’aun, kalau yang memimpinnya bukanlah
seorang pemimpin seperti Nabi Musa.

Walaupun sudah berumur tinggi sekali, menghadapi pelbagai


bahaya yang oleh orang biasa dianggap suatu yang mustahil
akan dapat diatasi oleh jenis manusia; memimpin rombongan
yang terdiri dari orang tua-muda, bayi, lelaki, perempuan, sehat
dan sakit yang sering bercecok satu sama lainnya lantaran 1001

macam kesulitan; membimbing rombongan yang sebagian


terdiri dari mereka yang sudah patah hati dan mau kembali
menyerah kepada Maharaja Fir’aun, yang dengan tentara
berkudanya sudah dekat mengejar di belakang, dalam keadaan
demikian cuma seorang pemimpin yang lahir sekali dalam 1001

tahun pula yang dapat terus memegang pimpinannya.

Pengetahuan yang luar biasa tentang sifatnya manusia serta


keadaan alam sekitarnya, yang dimiliki oleh Nabi Musa.
Pandangan tepat tentang kejadian yang mungkin terjadi di hari
depan. Kebijaksanaan, kesabaran dan kecerdikan Nabi Musa
melayani rombongan manusia yang terdiri dari pelbagai umur,

pelbagai pengalaman dan keinginan, serta akhirnya tetapi tidak


kurang artinya, kepercayaan yang tidak dapat dilunturkan oleh
bahaya dan pertolongan yang dijanjikan oleh Jehovah kepada
leluhur bangsa Yahudi
Yahudi dalam menuju ke “Tanah susu dan madu”
yang dijanjikan itu. Semua syarat penting bagi seorang
pemimpin dalam keadaan demikian yang terdapat pada Nabi
Musa dapat mengatasi segala kesulitan, dan membawa
bangsanya ke tempat yang aman dan bahagia, dengan tidak
berkompromi sedikit pun dengan musuhnya yang 1001
10 01 kali lebih
kuat.

Pimpinan ulung dari satu orang yang cuma mempunyai satu


tujuan dan satu tekad, sebagaimana menurut kepercayaan
Yahudi, Nabi Musa dalam keadaan kesusahan dan bahaya sering
sendiri saja menjumpai Tuhan Yang Maha-Esa, pimpinan satu

orang, yang berkeyakinan atas adanya satu Tuhan


itu, …pimpinan yang membawa bangsa Yahudi ke zaman
kejayaan itu, memperdalam kepercayaan Yahudi kepada
keesaan dan kemahakuasaan Tuhan itu lebih daripada yang
sudah-sudah. Bagi bangsa Yahudi di zaman itu, benar-benar
benar -benar the

proof of the pudding is the eating


eating (bukti enak atau tidaknya kue
itu baru terbukti setelah dimakan).

Dengan sempurna jayanya pimpinan satu orang atau beberapa


suku Yahudi, yang dahulu kala juga mengenal beberapa dewa,
menurut sukunya, maka sempurna jayalah pula kepercayaan
monotheisme, percaya kepada ke-esaan Tuhan di antara semua

suku bangsa Yahudi.

VII
DI SEKITAR NABI ISA

Inkonsistensi, kontradiksi logika, pertentangan bagian dengan


bagian, pertentangan dalam hal tarikh, pertentangan kejadian
dengan hukum alam dan common sense,
sense, yang ditemukan oleh
para ahli dan saya sendiri dalam kedua kitab suci, yakni kitab
Injil Tua dan Injil Baru, tidak menjadi pusat perhatian saya di
sini. Saya pikir dalam tingkat pengetahuan
pe ngetahuan teknik dan ilmu, bukti
di masa Nabi Isa itu, semua kegaiban alam dan kesaktian

manusia seperti tertulis dalam kitab sudah pada tempat dan


temponya. Yang menjadi pusat perhatian saya di sini ialah moral
(kesusilaan) dan ketuhanan yang termaktub dalam kitab suci itu.
Pertentangan arti dalam hal susila dan ketuhanan, yang saya
rasa terdapat dalam kitab suci itupun dapat disesuaikan dengan
pikiran kita, kalau kita berpendirian seperti ahli, bahwa kitab suci

tertulis lama sesudahnya Nabi Isa wafat dan banyak


mengandung faham yang sudah diucapkan oleh para pujangga
Yunani lama sebelum Nabi Isa lahir ke dunia.

Bagaimanakah bisa dipersatukan dalil pokok dari agama Kristen


yang berbunyi : “Kalau pipi kirimu dipukul orang berikanlah pipi
kananmu kepadanya buat dipukul pula” dengan ucapan Nabi Isa

yang berbunyi : “Saya tidak datang untuk berdamai, melainkan


untuk berperang”.

Itu dalam hal kesusilaan. Dalam hal ketuhanan pun bagaimana


pula bisa menyesuaikan Yang Maha-Esa, yang diutamakan Injil-
Lama dan oleh nabi seperti kita bentangkan di atas dengan
Trinitas-nya, dengan Trimurti-nya, karena Katholik, ialah
kesatuan Yang Tiga, kesatuan Bapa (Tuhan), Anak (Yesus) dan
Roh Suci.

Buat saya sendiri semuanya itu sudah semestinya, kalau


diseluk-belukkan dengan tempo dan tempat. Dengan demikian
maka kuranglah pula penting buat saya apakah pernah hidup
seorang Yahudi, yang menamai dirinya Anak Tuhan. Buat saya
sudahlah cukup jelas pelajaran yang diberikan oleh agama

Kristen dan Ideal Keluruhan Jiwa yang dijunjungnya, seperti


tergambar pada Nabi Isa. Sudah pula memuaskan pikiran saya,
kalau ada para ahli sejarah, yang mendapatkan kesimpulan
bahwa di mana bangsa Yahudi di bawah penjajahan bangsa
Romawi, maka bangkitlah soerang pemberontak dari daerah

Galilea, bernama Yesus dan terang-terangan membela kaum


Murba menghadapi kaum pendeta (Rabbi) Yahudi, yang menjadi
kaki tangannya kekuasaan Romawi di masa itu. Pemimpin
pemberontak dari Galilea itu menamai dirinya raja Yahudi, Mahdi,
Yezus Nazarenus Rex Judiorum!

Jika dipandang dari sudut ini, maka hilanglah sudah semua

pertentangan di dalam pikiran kita. Nabi Isa melimpahkan


segala kasih sayang serta mengorbankan jiwanya terhadap
kaum Murba, yang memang melarat hidupnya di masa itu dan
memang bersemangat pemberontak, terutama di daerah Galilea.
Kalau dia menganjurkan sikap bermaaf-maafan menganjurkan
sikap “pipi kiri dipukul, berikanlah pipi kanan” maka sikap itu
terutama dimaksudkan bagi segenap Murba. Terhadap kaum
pendeta dengan jelas Nabi Isa memajukan sikap menentang,
yakni kalau perlu dengan senjata di tangan menghancurkan
kaum Rabbi, penindas bangsa Yahudi dan kaki tangannya
penjajah Romawi di masa itu.

Tentulah ada tafsiran lain yang rasional tentang dua susila yang
bertentangan itu. Salah satunya dikatakan bahwa kaum Murba
Yahudi di masa itu tidak berdaya pula menghadapi kaum Rabbi,
penindas dan pemeras yang langsung berurusan dengan Murba
Yahudi.

Jadi menurut tafsiran itu sikap pasif, sikap menerima yang

dianjurkan oleh nabi Isa itu berasal dari perasaan


pe rasaan tidak berdaya
menghadapi kekuasaan Romawi serta para Pendeta (Rabbi)
kaki-tangannya,
kaki-tangannya, “inlanders
“inlanders--alatnya” kekuasaan Romawi itu.

Bagi saya tafsiran yang belakangan ini memang, mengandung


alasan tetapi kurang sempurna. Bangsa Yahudi, terutama kaum
Murba-nya, dibelakang kota seperti di Yerussalem dan

teristimewa pula di daerah Galilea, daerah asal Nabi Isa sendiri,


jauh daripada sikap pasif atau nrimo
nrimo.. Pemberontakan besar dan
kecil untuk melepaskan diri dari pemerasan dan penindasan
Romawi dengan kaki tangannya acap kali terjadi. Jadi cocok pula
dengan Nabi Isa sendiri ketika berhadapan dengan para Rabbi,
para inlanders
inlanders-alat
-alat itu, seperti di atas tadi.

Di masa “hidupnya” Nabi Isa sendiri tak tampak perbedaan


dengan Tuhan Nabi Musa. Tuhan di masa Nabi Isa itu tetap Yang
Maha Esa. Filsafat ketuhanan, bahwa 1+1+1=3 itu timbul dan
tumbuh lama setelah Nabi Isa meninggalkan dunia fana.
Tentulah banyak persoalan duniawi yang memungkinkan timbul
dan tumbuhnya 3=1 itu. Dibelakang harinya di masa Revolusi
Perancis banyak pula anasir masyarakat manusia ini yang
menumbangkan filsafat 3=1 itu! Tetapi bagi saya filsafat

semacam ini tidak menjadi soal pokok.


VIII
DI SEKITAR NABI MUHAMMAD

Yang lebih menarik hati saya ialah ketika 600 tahun lebih setelah
Nabi Isa, maka kembalilah 1=1 itu. Bersamaan dengan itu
kembalilah pula susila yang biasa, yang praktis, bagi masyarakat
manusia, yakni yang salah dihukum setimpal dengan
kesalahannya, dimaafkan salah seorang yang mengakui
kesalahannya dan mengubah tingkah lakunya di hari depan
dengan sungguh dan jujur. Yang mengembalikan itu ialah
Muhammad bin Abdullah, seorang Arab dari suku Qurays.
Karena bangsa Arab dan Yahudi tiada berapa bedanya menurut
ilmu kebangsaan, dan kedua bangsa itu disebutkan bangsa
Semit, maka sebetulnya ketiga nabi besar itu, yakni Nabi Musa,
Isa dan Muhammad itu sebangsa dan seketurunan pula. Dalam
kitab Injil sendiri disebutkan, bahwa bangsa Yahudi dan Arab

turun temurun dari Nabi Ibrahim.

Jika kita melayangkan pandangan kita pada keseluruhan muka


bumi yang kita kenal, pada permulaan abad ketujuh itu, maka
yang kelihatan pada kita ialah cuma keruntuhan dalam hal politik,
ekonomi, sosial dan kebudayaan. Sebaik-baiknya kita hanya
dapat menyaksikan stagnasi, malaise, madegnya, tergenang-
mogoknya masyarakat dalam semua hal.
Romawi Barat dengan jajahannya di Eropa Barat dan Utara, di
Afrika Utara dan Asia Barat sedang menderita keruntuhan akibat
desakan dan serangan pelbagai bangsa Jermania dari Utara.
Romawi Timur hanya dapat melayani bangsa baru yang perkasa
p erkasa

(Bulgaria dan lain-lain) yang menyerbu ke dalam daerahnya itu,


sebagai tamu yang terpaksa diterima dan dijadikan anggota
keluarga sendiri. Dalam hal kebudayaan, Romawi Timur hanya
sanggup memamah-mamah pengetahuan yang dipusakakan
oleh Yunani dan Romawi almarhum.

Mesir, Syria, Persia, Judea dan lain-lain negara bekas penguasa

di sekitar Semenanjung Arabia, semuanya berada dalam


keadaan hidup enggan mati tak mau. Sedangkan semenanjung
Arabia yang mungkin sudah mempunyai cacah jiwa, lima juta,
yang boleh dianggap tinggi di masa itu; sudah mencapai
kemakmuran, karena perdagangan dengan negara luar, dengan
perantaraan para saudagar yang pintar, berani dan bersandar
pada kalifah yang kuat bersenjata, tersusun sebagai laskar
teristimewa pula, belumlah pernah Semenanjung Arabia
menderita penindasan dari bangsa asing. Dengan demikian
maka bangsa Arab masih bersemangat tegak gagah
gag ah perkasa dan
percaya atas kekuatan diri sendiri. Cuma antar suku masih
bertentangan dan perang memerangi. Sejajah dengan
pertentangan dalam pergaulan itu, maka kepercayaan pun
belumlah lagi bersatu, melainkan terpecah belah dalam pelbagai
kepercayaan, yang setelah Nabi Muhammad dinamai Kafir-

Jahiliyah.
Mempersatukan pelbagai kepercayaan Jahiliyah yang tergambar
pada pelbagai patung di masa itu; mempersatukan ideologi
sebagai sintesis dari pertentangan pelbagai ideologi yang ada di

masa itu, inilah usaha yang pertama sekali dan terutama sekali
dilakukan oleh Nabi Muhammad menjelang persatuan bangsa,
politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan.

Persatuan itu tidak terdapat pada satu maha-patung, di antara


beberapa patung yang ada di Arabia dan berpusat di Mekkah di
masa itu melainkan pada ke-Esaan Tuhan dan Kemahakuasaan-

Nya, yang tiada lagi takluk kepada tempat dan tempo, seperti
patung dimanapun juga, yang dibikin oleh tangan manusia dari
benda apapun juga di dunia ini.

Buta huruf bukanlah berarti buta kecerdasan, buta keberanian


ataupun buta kejujuran. Sebaliknya pula, pendidikan pun
tidaklah menjamin keberanian, keuletan, kejujuran, kecakapan
memimpin, ketangkasan memandang ke hari depan dan
mengambil sesuatu putusan dengan cepat serta tepat.
(resourcefulness
resourcefulness).
).

Sungguh banyak kebenaran yang terkandung dalam pepatah


Indonesia “jauh berjalan banyak dilihat, lama hidup banyak
dirasai”. Perjalanan yang dilakukan oleh Muhammad bin
Abdullah ke negara-negara di sekitar Arab, bersama-sama

dengan kafilah memberikan semua pengalaman dan


pengetahuan yang cukup buat seorang pemimpin, jenderal,
pujangga dan Nabi di hari depan, saat Semenanjung Arabia dan
sekitarnya kelak akan sangat membutuhkan pemimpin
semacam itu.

Nafsu ingin tahu, yang meluap dalam otak pemuda Muhammad


bin Abdullah, yang ingin mengetahui asal-usul semua yang ada
di alam dan masyarakat itu dapat dipenuhi oleh masyarakat di
sekitar Arabia, yang sudah mencapai kebudayaan tinggi di masa
lampau. Pendeta dan Rabbi dapat memberikan petunjuk
ataupun cara berpikir beserta bahan berpikir buat menjawab

semua soal yang timbul dalam otak yang ingin tahu dalam
segala-galanya.

Bumi dan langit Semenanjung Arabia yang memberi kesan yang


tidak dapat dilupakan oleh seorang yang mengamatinya akan
menyempurnakan pengetahuan yang diperoleh dengan
percakapan dalam pulang pergi dari Mekah ke luar negeri itu.
Pengalaman yang diperoleh ketika mengikuti kafilah, yang acap
kali menghadapi pelbagai musuh telah mendidik, melatih semua
sifat pemimpin yang terpendam dalam jiwa Muhammad bin
Abdullah.

Terlatih tergembleng dalam “University


“ University of Life”
Life” (Universitas
hidup) itu, maka apa bila Semenanjung Arabia membutuhkan
persatuan dalam segala-galanya maka tampillah Muhammad bin

Abdullah ke depan masyarakatnya, mengambil pimpinan


sebagai propagandis, jenderal, pembesar negara, pemimpin
masyarakat dan Nabi.

Tempo dan tempat amat sesuai dengan keesaan dan

kemahakuasaan pada permulaan abad ketujuh itu.


Perhatikanlah sekali lagi Semenanjung Arabia dan sekitarnya di
masa itu.

Masyarakat di Semenanjung Arabia sangat membutuhkan


kesatuan dalam pimpinan, yang sanggup menjalankan
kekuasaannya, di atas pelbagai kekuasaan dari pelbagai suku.

Lagi pula masyarakat itu memerlukan adanya satu kaum, yakni


kaum Muslimin, yang berdiri di atas segala bangsa di Dunia.
Semua keperluan itu sungguh dapat dipenuhi oleh kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Yang Maha Kuasa, yang
menguasai serba sekalian alam dan manusia, bidadari dan
malaikatnya.

Semangat Islam, yakni semangat menyerah kepada Kodrat


Tuhan, semangat menerima putusan Tuhan itu dengan suka cita,
semangat Islam itu sebagai pusat, jiwa dan filsafat serta
prakteknya suatu kepercayaan, memang belum lagi dikenal
dalam sejarah manusia. Agama baru yang bertentangan
b ertentangan dengan
kepercayaan pelbagai suku Arabia itu tidaklah akan dibatalkan
ataupun disembunyikan oleh Nabi Muhammad. Apabila dalam
suatu hari keluarga Nabi Muhammad meminta dalam satu rapat,
rap at,

supaya propaganda Islam itu dihentikan saja, karena sangat


menimbulkan pertengkaran, dan sangat mengancam jiwa Nabi
Muhammad, maka Nabi Muhammad menjawab : Bahwa
walaupun matahari di kiri dan bulan di kanan melarang yang
sedemikian, larangan itu tak akan diindahkan.

Syahdan, dengan semangat bersatu padu di antara kaum


Muslimin yang kian hari kian bertambah banyak juga
anggotanya; dengan semangat bertawakal menyerahkan jiwa
raganya kepada Yang Maha Kuasa, dengan semangat tak
mengenal damai dengan kepercayaan Kafir Jahiliyah, maka
dibawah pimpinan Nabi Muhammad akhirnya setelah kira-kira

dua puluh tahun berjalan propaganda Islam, persiapan dan


pertempuran sengit berulang-ulang, maka tercapailah persatuan
seluruh Semenanjung Arabia.

Dengan persatuan yang kuat-kokoh di antara semua suku Arab,


dengan semangat pantang menyerah, Islam, zonder (tanpa)
janji kepada takdir Tuhan, seimbang dengan semangat
menyerang zonder mengenal damai terhadap negara dan rakyat
di sekitar Arabia, untuk memperoleh kemenangan lahir dan batin,
maka dalam kurang lebih 100 tahun dapatlah bangsa Arab
menguasai hampir seluruh Laut tengah di Asia, Afrika
Afr ika dan Eropa.

Seharusnya lebih daripada penghargaan resmi, yang diberikan


oleh dunia Kristen kepada Arab Islam, di Abad Pertengahan
sampai sekarang pun, jasa Arab-Islam, tentang filsafat dan ilmu
i lmu
pengetahuan empirik, sesungguhnya belum mendapatkan
penghargaan yang sepatutnya!

Dengan bangsa Arab, maka selesailah sudah circle edaran

dialektika! Dengan Nabi Musa majulah ke depan filsafat


ketuhanan 1=1 sebagai tesis. Setelah Nabi Isa, maka timbullah
tentangan berupa 3=1, sebagai anti-tesis. Dengan Nabi
Muhammad terbentuklah sintesis, yakni kembalinya filsafat 1=1
dengan lebih sempurna dan lebih kaya isinya daripada semula.

Sedikit saja filsafat Ketuhanan Islam yang tercantum dalam

takdir, kemauan Tuhan, yang tak dapat dielakkan itu menoleh


ke dunia lama, yakni masyarakat Yunani, maka filsafat Islam
mendapatkan bahan serta petunjuk yang berharga. Filsafat
Islam dapat mengangkat kembali filsafat Yunani yang ratusan
tahun terpendam di bawah haribaan kerajaan Romawi. Filsafat
Islam dapat memisahkan padi yang berisi
b erisi dari padi yang hampa,
menanam yang berisi sampai tumbuhnya di Abad Pertengahan.

Dengan demikian sepatutnyalah kita menoleh ratusan tahun ke


belakang masyarakat Islam yang jaya-mulia-makmur di Spanyol,
Mesir, dan Bagdad dan kembali sebentar menoleh ke
masyarakat Yunani asli.
IX
YUNANI ASLI

Bagi kebudayaan Eropa-Amerika modern, maka kebudayaan


Yunani asli masih dianggap Kebudayaan Ibu. Plato, sebagai ahli
filsafat, masih menjadi sumber bagi filsafat Idealisme. Filsafat
Heraklitos masih dianggap uratnya materialisme dan dialektika.
Aristoteles masih dianggap moyang pelbagai ahli ilmu
pengetahuan empirik (scientis
(scientis dalam sudut pandang positivisme)
modern. Demikianlah bermacam cabang kebudayaan modern
dapat dicari uratnya pada Kebudayaan Yunani asli. Tidaklah
mengherankan, kalau bahasa Yunani asli itu sampai sekarang
masih perlu diajarkan kepada mahasiswa yang harus menyelami
semua ilmu modern itu lebih dengan dalam, s
sampai
ampai keuratnya.

X
AGAMA, FILSAFAT, DAN ILMU PENGETAHUAN
EMPIRIK

Kalau sekarang kita memusatkan perhatian kepada dunia Barat,


yakni Eropa dan Amerika, maka tampaklah di mata kita tiga
garis pokok kebudayaan. Semenjak 2500 tahun sejarah Dunia
Barat, yakni dari kurang lebih tahun 500 SM sampai sekarang
tiga garis pokok itu adalah garis agama, garis filsafat dan garis
ilmu pengetahuan empirik. Semua cabang kebudayaan yang lain
termasuk ke dalam atau bersandar kepada tiga garis pokok itu.

Syahdan, tiga garis pokok dalam sejarah dunia barat yang 2500

tahun itu, banyak sekali mengalami kemajuan, kemunduran


serta pertukaran nilai dan kedudukan.

Dalam garis besarnya, maka dari tahun 500 SM sampai tahun


1500 M, agama memperoleh nilai kedudukan tertinggi. Di masa
itu maka ilmu filsafat cuma mengabdi kepada agama serta ilmu
pengetahuan empirik boleh dianggap melalaikan otak dan

pikiran belaka. Saat itu meliputi zaman Yunani, Romawi dan


Abad Pertengahan, yang dikuasai oleh masyarakat Islam dan
masyarkaat Nasrani. Pada zaman Yunani dan Romawi ahli
filsafat sudah mengambil bagian terkemuka dalam masyarakat
dan negara.

Boleh dikatakan pula, dalam garis besarnya maka dari tahun


1500 sampai 1850 masehi, ilmu filsafatlah yang memperoleh
nilai dan kedudukan yang tertinggi dalam masyarakat Barat tadi.
Di masa ini maka mulailah agama terdesak ke belakang.
be lakang. Bahkan
pada masa Revolusi Perancis agama mendapat
mend apat perlawanan yang
sekeras-kerasnya.

Sedangkan ilmu pengetahuan empirik makin mendesak dan


sudah menjadi sandaran utama bagi ilmu filsafat. Pada saat itu,

bukan lagi kaum pendeta yang memegang pimpinan masyarakat


dan negara, melainkan mereka yang mempunyai pengetahuan
filsafat dan ilmu pengetahuan empirik, ilmu nyata.

Akhirnya kira-kira dari tahun 1850 sampai sekarang, maka ilmu

pengetahuan empirik (science


(science)-lah
)-lah yang memperoleh nilai dan
kedudukan tertinggi dalam masyarakat serta negara Eropa dan
Amerika modern itu. Agama yang di masa Revolusi Perancis
mendapat tentangan yang sekeras-kerasnya bisa bangun
kembali, tetapi tidak lagi mendapatkan nilai dan kedudukan
seperti sebelum Revolusi Perancis.

Pada pertengahan abad ke-19 ilmu filsafat dalam arti aslinya


mulai turun dari singgasananya seperti terdapat di zaman
sebelumnya. Satu golongan ahli filsafat, yakni filsafat
materialisme dialektis, di bawah pimpinan Marx dan Engels
memproklamirkan : “Hari Akhir Filsafat”. Semenjak itu ilmu
kemasyarakatan pun sudah didasarkan atas hukum ilmu
pengetahuan empirik. Ilmu pengetahuan empirik dalam pelbagai
pokok, cabang dan ranting sudah mengambil nilai serat
kedudukan yang tertinggi sampai sekarang.

Ahli ilmu pengetahuan empirik memakai perkataan filsfat tetapi


artinya berlainan dari semula. Artinya sekarang, terutama
ialah weaving up general principles (penyusupan prinsip umum),
seperti dikatakan Francis Bacon, salah seorang ahli ilmu
pengetahuan empirik besar.
Jelas kiranya bahwa dalam tiga zaman yang kita kemukakan
buat Dunia Barat seperti tersebut di atas salaing beralihan nilai
dan kedudukan yang diambil oleh tiga garis pokok kebudayan
itu: agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan empirik. Adapun

peralihan ketiga garis pokok yang sejajar pula dengan peralihan


kedudukan yang dialami oleh para penguasa masyarakat dan
negara (Social-political
(Social-political regime)
regime) adalah berurat pada peralihan
yang dialami oleh sistem produksi yang berdasarkan teknik yang
ada.

XI
PERALIHAN SISTEM PRODUKSI

Pada masa pendeta dan ningrat memegang tampuk pimpinan


masyarakat dan negara baik di Yunani, Romawi maupun di Eropa
Barat di zaman pertengahan (kurang lebih tahun 1500 sampai
1850 M), produksi sudah lebih dipusatkan pada manufaktur. Di
akhir masa itu, pengoperasian pabrik sudah mulai dijalankan
dengan mesin uap.

Pada masa borjuis (yang dibantu atau ditentang oleh kaum


sosialis) di mana kaum borjuis memegang tampuk pimpinan
masyarakat dan negara di Eropa-Barat dan Amerika, (berkisar
sejak tahun 1850 sampai 1948), produksi sudah
dikuasai finance capital (modal bank) dan monopoli. Tekonologi
maju cepat, dari tenaga uap sampai tenaga listrik, minyak dan
sekarang tenaga atom.
XI
SOAL AGAMA

Adapun soal agama, kita semua kurang lebih sudah


mengetahuinya. Soal itu berpusat kepada : Dari mana asalnya
dan bagaimana akhirnya Bumi, Bintang, dan langit pendeknya
alam raya ini?

Dari mana asal dan bagaimana akhirnya manusia? Tiga agama


ketuhanan, yakni agama Yahudi, Nasrani, dan Islam
mendasarkan semua asal dan akhir itu kepada kodrat Tuhan.
Alam raya itu sekaligus difirmankan oleh Tuhan Yang Maha
Kuasa. Manusia adalah ciptaan Tuhan. Nasib manusia oleh tiga
agama diserahkan kepada kemauan Tuhan. Nasib itu
dipertimbangkan pula oleh amal dan ibadahnya. Amal dan
ibadahnya itulah setelah hari kiamat yang akan ikut menentukan,
apakah pahala atau hukuman yang akan diterimanya di akhirat.

Yang beribadah dan bernasib baik akan diampuni dosanya dan


masuk surga. Yang bersalah atau bernasib malang akan
dimasukkan ke dalam neraka. Ringkasnya ketiga agama itu
tidak saja menetapkan awal dan akhir manusia tetapi juga
menetapkan jalan buat mendapatkan surga dan menghindarkan
neraka.

Agama Hindu dan Budha mempunyai pengertian lain tentang


awal dan akhir manusia itu. Budha, Sidharta Gautama,
mengemukakan lima jalan untuk mendapatkan surga. Berbeda
daripada tiga agama tersebut diatas, agama Budha lebih
menggantungkan akhir manusia itu kepada tanggung jawab diri
sendiri dan perbuatan diri sendiri.

Semua itu sudah kita ketahui. Mana yang betul tentulah terserah
kepada masing-masing penganut agama itu sendiri. Yang benar
menurut satu belum tentu benar menurut yang lain. Bagi saya
agama itu tetap “eine
“eine Privatsache”
Privatsache” atau kepercayaan masing-
masing-
masing orang. Dengan majunya ilmu filsafat, logika, dan
matematika maka ahli agama pun memakai ilmu ini buat
menjelaskan sendi agamanya. Tetapi, yang jelas bagi penganut

satu agama belum tentu jelas bagi penganut agama lain. Agama
tinggal tetap sesuatu kepercayaan bagi masing-masing orang.

XIII
FILSAFAT

Seperti soal agama, maka soal filsafat juga banyak tergantung

kepada sudut pandangnya. Tetapi bagi kami sudut pandang


yang bisa berhasil memuaskan dan yang tepat, yang bsia
memberi penyelesaian ialah soal yang sudah dimajukan oleh
Fredrich Engels pada abad lampau. Menurut Engels, ahli filsafat
bisa dibagi dua golongan, yakni golongan materialis dan
golongan idealis. Di antara dua golongan besar
be sar yang merupakan
dua-kutub yang saling bertentangan itu terdapatlah pelbagai

golongan, yang kalau dikupas lebih dalam


d alam sebenarnya termasuk
ke dalam salah satu golongan, materialis atau idealis. Ahli-ahli
filsafat itu terpecah dua sebagai akibat pertentangan jawaban
yang diberikan oleh mereka atas soal filsafat, yang berbunyi :
“Manakah yang asal (primus
primus)) dan manakah yang turunan
(derivative
derivative)) diantara benda (matter
(matter) dan paham (idea
(idea)?
)? Di alam

raya terdapat soal benda dan kodrat yang menggerakkan benda


itu. Di dalam jenis hewan soal itu berubah menjadi soal badan
dan jiwa (nyawa-naluri). Di dalam jenis manusia, soal itu
berubah-bertukar menjadi soal jasmani dan rohani-pikiran. Ahli
filsafat bertanya, manakah yang asal, benda atau kodrat, badan
atau jiwa, dan jasmani atau rohani?

XIV
KAUM MATERIALIS DAN IDEALIS

Kaum materialis menjawab bahwa benda dan jasmani itulah


yang asal, yang pokok : “Tak ada kodrat zonder benda. Manusia
haruslah dapat makan, supaya dapat berpikir”. Syahdan
sebelum manusia itu ada di bumi
b umi ini, maka bumi dan bintang itu
sudah ada, kata kaum filsafat materialis.

Menurut kaum idealis, maka ide, kodrat atau rohani itulah yang
asal (primus
primus)) dan benda jasmani itulah yang turunan
(derivative
derivative).
). Kata idealis ekstrem, maka yang ada di alam raya
ini cuma ide saja, yakni ide yang ada
ad a dalam otaknya ahli filsafat
itu sendiri. Memang paham ini ada hubungannya dengan
kekuasaan mahadewa Rah, yang mengisi dunia-kosong pada
awal dunia ini dengan binatang, bumi, langit, sungai, tumbuh-
tumbuhan, hewan, dan manusia dalam sekejap mata setelah
kata “Ptah” difirmankan (lihat Madilog
Madilog))

Bagaimanapun juga perbedaan paham itu, teranglah sudah

bahwa ejekan yang ditujukan oleh kaum idealis kepada kaum


materialis, bahwa kaum materialis cuma memikirkan makan-
minum serta kesenangan hidup saja, tidaklah pada tempatnya
sama sekali.

XV
AHLI FILSAFAT YUNANI
Bahwasanya setelah para ahli pikir Yunani mulai melepaskan diri
dari tali pusat kepercayaan yang bersandar kepada dogma
semata-mata, dan mulai kritis menghadapi alam raya kita ini,
kita mengenal juga jawab yang diberikan oleh mereka itu.
Mereka sampai kepada empat anasir asli, yakni tanah, air, udara
dan api. Terkurung dalam rohaninya sendiri sebagai penyelidik

alam raya ini serta terganggu oleh benda dan gerakan benda di
luar pikirannya sendiri, maka Zeno, idealis Yunani, mengambil
kesimpulan bahwa: “Gerakan (benda) itu cuma bayangan panca
indera manusia saja (illusion
(illusion of the sense)."
sense )."

Pemikir ulung masyhur dari bangsa Yunani juga, yakni Plato


setelah memakai cara berpikir yang memisahkan benda dengan

kodrat, serta memisahkan jasmani dengan rohani, mendapat


kesimpulan bahwa yang asal itu ialah ide-mutlak (absolute
( absolute idea).
idea).
Dengan cara berpikir yang abstrak, pilah-memilah (analisis), dia
sampai kepada Dunia Logos, Dunia Roh. Banyak persamaan
Logos Plato itu dengan Atma-nya Hindu.

Sebaliknya, seorang pemikir tandingannya yang dengan dua


kakinya bersandar atas benda yang nyata, serta gerakan benda,
yakni Heraklitos, mengucapkan kesimpulan yang sampai
sekarang masih besar artinya bagi kita, yaitu :”Sesuatu itu ada
dan tak ada karena semua itu cair, luntur, senantiasa berubah,
selalu timbul dan lenyap”. Heraklitos mengakui adanya benda,
bahkan memajukan hipotesis molekul, yang lebih dari dua ribu

tahun kemudian baru dibenarkan oleh ilmu pengetahuan


peng etahuan empirik.
Lagi pula dalam pertentangannya dengan Zeno, Heraklitos
mengemukakan bahwa gerakan, sebagai sifat benda dan yang
menyebabkan benda, senantiasa mengalami perubahan (Nich
( Nich ist,
alles wird) menurut hukum gerakan, yakni Hukum Dialektika.

Di antara kaum di samping kedua golongan ahli filsfaat


fi lsfaat tersebut
hidup raksasa pemikir Yunani, yakni Aristoteles. Sebagai
seorang tabib yang senantiasa mengenal adanya benda dan jiwa,
sebagai bapak dari beberapa ilmu, terutama ilmu hayat
h ayat (biologi),
maka Aristoteles memusatkan perhatiannya kepada suatu
susunan, suatu sistem. Aristoteles lebih daripada Zeno dan Plato
dalam memperhatikan benda. Tetapi hukum berpikir yang
diutamakannya ialah hukum logika dan hukum dialektika yang
dikemukakannya tidak sama dengan hukum dialektika yang
dipakai oleh Heraklitos dan Demokritos.
XVI
AHLI FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN

Besar sekali pengaruh para ahli filsafat Yunani pada umumnya,


serta pengaruh Aristoteles dan Plato khususnya terhadap
masyarakat di zaman pertengahan, yakni masyarakat Islam dan
Nasrani. Dunia filsafat Barat memuncakkan pujiannya pada Ibnu
Rusyd, yang terkenal sebagai Averoes, atau Ariestoteles-nya
bangsa Arab. Dan memang bendera filsafat Ariestoteles yang
sudah terbenam ratusan tahun itu diangkat kembali oleh Ibnu
Rusyd, diperbarui dan diserahkannya sebagai warisan
masyarakat Yunani. Plato pun banyak mendapat penghargaan di
masyarakat Islam dan Nasrani di zaman pertengahan. Pada
kedua masyarakat itu kita kurang mendengar nama Heraklitos
dan Demokritos. Tetapi mungkin pengaruhnya juga cukup besar
atau lebih besar daripada keterangan sejarah yang diwariskan
kepada kita.

Masyarakat Islam di Abad Pertengahan mengenal satu golongan


pemikir yang dinamai Mu’tazilah. Mereka terdapat di kota-kota
kota-kota
besar kerajaan Islam dan dianggap ilegal sebagai pemberontak,
sebagai anarkis dan ateis. Keterangan lebih lanjut tentang
paham dan kehidupan mereka tidaklah sampai kepada kita,
selain daripada bahwa mereka itu dianggap murtad oleh agama
resmi. Ibnu Rusyd sendiri, kalau saya tidak salah adalah seorang
s eorang
Mu’tazilah dan kebebasan pahamnya itu sangat ditakuti oleh
para pendeta di Eropa, sehingga para murid Eropa (Nasrani)
yang kembali dari Spanyol Islam ke Eropa itu sangat diawasi
gerak-geriknya. Tetapi tidak mengherankan kalau mereka kaum
Mu’tazilah adalah Murba-Kota
Murba-Kota yang berpaham revolusioner dan
penganut materialisme dialektis walaupun masih serba

sederhana (rudimentary).

Tidaklah mengherankan kalau di Eropa Barat di zaman


pertengahan itu, kita sedikit sekali mendengar nama Heraklitos
dan lebih banyak mendengar nama Plato dan Ariestoteles.

Hidup amat sukar sekali bagi kaum budak-serf


budak- serf di zaman

pertengahan Eropa Barat itu. Hawa yang dingin, kabut yang


tebal, alat yang serba sederhana, ringkasnya kesengsaraan
hidup lantaran pemerasan dan tindasan yang kejam atas budak-
budak -
serf oleh kaum ningrat dan pendeta, tidaklah memberikan
kesempatan mereka memikirkan soal filsafat. Soal ini
diserahkan kepada para pendeta yang tinggal di pekarangan
gereja yang besar, dikelilingi oleh pohon dan dilayani oleh rakyat
budak disekitarnya. Terpisah dari masyarakat pekerja seperti
Logosnya Plato, terpisah dari benda yang kasar fana itu, maka
para rahib dan pendeta mendapat kesempatan penuh untuk
menguji filsafat Plato dan Ariestoteles. Logos dan rohani mutlak
Plato cocok benar dengan sifatnya God (Tuhan) yang berada
lepas dari segala-galanya dan berada di atas segala itu. Paham
mereka, para rahib dan pendeta, merupakan pelaksanaan Logos
dan God itu di duniawi ini.
Klasifikasi Ariestoteles, tentang tumbuhan, hewan dan lain-lain
yang terpisah dari tumbuhan dan hewan yang sesungguhnya
sangat digemari oleh schoolmen, scholasticus,
scholasticus, ahli buku, di
Abad Pertengahan. Karena ahli buku yang memang hidup

terpisah dari Murba itu, memisahkan diri pula dari hewan dan
tumbuhan yang sesungguhnya! Demikianlah pengetahuan buku
ahli filsafat di Abad Pertengahan itu tergantung di awang-awang
saja, seperti hidupnya sendiri terpisah dari rakyat Murba yang
sesungguhnya, yang menghasilkan semua kebutuhan hidup
para ahli filsfaat di Abad Pertengahan itu.

Dari tahun 500 SM sampai tahun 1500 M, maka filsafat masih


bersandar kepada agama dan ilmu pengetahuan empirik yang
sederhana. Kaum idealis masih memakai kepercayaan agama
sebagai premis (bukti-dasar) dalam pembentukan sistem
(karangannya). Tetapi kaum materialis tidak lagi memakai
anasir kepercayaan agama itu sebagai premis. Mereka ini
memakai bukti yang nyata saja sebagai premis.

Keduanya, idealis dan materialis mempergunakan matematika,


ilmu alam dan ilmu hayat yang sederhana sekali dalam
penjelasannya. Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan
empirik, maka kian ditinggalkan penjelasan yang berdasarkan
kepercayaan yang tak dapat dibuktikan itu ( petitio principi).
XVII
AHLI FILSAFAT DI SEKITAR REVOLUSI PERANCIS

Di sekitar zaman Revolusi Perancis, maka ilmu pengetahuan


empirik sudah jauh sekali mendapat kemajuan, kalau
dibandingkan dengan zaman Plato, Heraklitos dan Aristoteles. Di
Perancis kita mengenal raksasa matematika dan ilmu-ilmu
ilmu- ilmu alam
(physic) serta mekanika
mekanika seperti Maupertuis, Clairut, D’Alembert,
Lagrage, Laplace, Fourier, Carnot, Pascal dan lain-lain. Di Inggris
Ingg ris
bangkit seorang raksasa matematika ilmu alam dan fisika,
f isika, yakni
Isaac Newton. Dalam dunia ilmu Kimia hadirlah seorang

berkebangsaan Perancis bernama Lavoiser yang menyusun


secara sistematis ilmu kimia, yang merupakan pengembangan
lebih lanjut dari pemikiran Ibnu Sina, ahli kimia Arab!

Sedangkan Cuvier mengembangkan pemikiran Aristoteles.


Perbandingan Phytagoras dilanjutkan oleh Newton, begitu juga
pemikiran Archimedes oleh Pascal. Masih banyak yang bisa
disebut, namun itu semua ibarat memperbandingkan anak bayi
dengan orang dewasa.

Tidaklah mengherankan kalau kemajuan ilmu pengetahuan


empirik, yang telah membikin jarak zaman kuno dan Abad
Pertengahan seolah-olah puluhan ribu tahun lamanya itu
memberikan bahan yang tidak ternilai pada ahli filsafat. Tetapi
para ahli filsfaat tetap terpecah dua, yakni golongan idealis dan
materialis. Bahkan masing-masing golongan itu
mempergunakan kemajuan ilmu pengetahuan empirik itu
sebagai penjelasan (proof) kebenaran masing-masing teori
mereka.

Di Inggris muncul dua ahli filsafat yang terkemuka, yakni


pendeta Berkeley dan David Hume. Berdasarkan atas
kerohanian si pemandang, maka David Hume dengan tekad
konsekuensi seorang ahli filsafat berkata bahwa setelah final
analysis (kupasan terakhir) maka segala yang ada dalam alam
raya ini tidak lain hanyalah a bundle of conceptions (gabungan
paham) tentang alam raya itu. Bahkan Hume mengatakan

bahwa “kamu-
“kamu-pun” buat dia (Hume) hanyalah satu “gambaran”
dalam otak Hume semata-mata. Sesungguhnya dengan begitu
maka Hume meniadakan dirinya sendiri. Karena kalau Hume
mengatakan bahwa orang lain, buat dia cuma satu “gambaran”
dalam otak Hume saja, maka orang lain itu pun bisa berakat
bahwa Hume sendiri tidak akan ada bagi orang lain itu saja,
selain daripada satu gambaran dalam otak orang lain itu saja.
“Kamu” buat Hume adalah “saya” buat o
orang
rang lain itu. Sebaliknya
“saya” buat Hume adalah “kamu” buat orang lain itu.

Imanuel Kant ahli filsafat Jerman yang banyak dipengaruhi oleh


David Hume tidak berani menarik kesimpulan nekat layaknya
David Hume itu. Kant berdiri ditengah-tengah! Dia tidak bisa
meniadakan yang ada di alam raya ini. Tetapi selain mengakui
yang ada itu, dia lari pula
pula kepada “Ding
“Ding An Sich”
Sich” “benda pada
dirinya sendiri”, yang belum diketahuinya. Dengan hadirnya
Imanuel Kant di Jerman, maka timbul-tumbuhlah juga filsafat
idealisme yang kemudian diteruskan oleh para ahli seperti Fichte
dan Hegel.

Berkeley dan Hume, kedua ahli filsafat idealis Inggris di sekitar


revolusi borjuis itu mendapat kritikan yang keras sekali dari ahli
filsafat materialis Perancis yang termashur seperti Diderot dan
Lamartine. Bersandarkan matematika, ilmu alam dan fisika yang
maju pesat pada masa itu, maka mereka meniadakan
kemahakuasaan kerohanian di alam raya ini. Tenggelam pada
paham sebaliknya, maka mereka mengakui kemahakuasaan

kerohanian di alam raya ini. Tenggelam pada paham sebaliknya,


maka mereka mengakui kemahakuasaan Matter in move,
move, benda
bergerak. Seolah-olah manusia tak memiliki daya berhadapan
dengan benda dan hukum gerakan benda di alam raya ini.
Manusia itu adalah mesin yang pasif, menerima saja. Kalau ada
kodrat penggerak bergeraklah dia, kalau tidak berhentilah dia.
Jadi seperti mesin yang pasif, penerima itu, demikianlah pula
manusia itu takluk tanpa syarat apa-apa kepada alam
disekitarnya. Materialisme yang semacam ini kami
namai Mechanical-matterialism
Mechanical-matterialism,, yakni materialisme yang
menganggap manusia itu seperti mesin yang menerima
nasibnya dari kodrat yang ada di luar dirinya saja. Seolah-olah
manusia itu tidak berdaya untuk mengubah suasana dan
keadaan alam disekitarnya. Rupanya masih ada sisa semangat
lama yang melekat pada semangat kaum materialisme mekanis
itu. Seperti manusia sederhana merasa tak berdaya terhadap
takdir Tuhan, demikian pula kaum materialis di masa Revolusi
Perancis merasa tidak berdaya terhadap kebendaan itu
(mechanism of matter).

XVIII
MATERIALISME DIALEKTIS

Suara ahli filsafat materialisme, seperti juga suara ahli filsafat


idealisme bisa diterima dengan baik di kalangan pemikir Jerman.
Ludwig Feurbach, seorang profesor Jerman, mengadopsi filsafat
materialisme dari Perancis, tetapi terutama yang menyangkut
pada apa yang dinamakan menschalische taotigkeit (perbuatan
manusia). Marx dalam 11 tesis bantahan terhadap Feurbach,
menyatakan bahwa pemikiran Feurbach itu menyangkut
“Perbuatan manusia itu pada idealisme”, sedangkan bagi Marx
“Perbuatan manusia masuk ke dalam golongan kebendaan”.
Setelah Feurbach dipecat oleh kaum borjuis dari pekerjaanya
sebagai mahaguru lantaran dianggap terlampau radikal, maka
feurbach terpaksa hidup terpisah di desa Jerman dan kian hari
kian luntur dalam pandangan revolusioner dan dalam cara
berpikir menurut cara dialektika materialistis.

Pemikiran yang bersandar kepada dialektika dilanjutkan oleh


Marx dan teman sezamannya, yakni Frederich Engels. Di

samping pujangga, kedua orang ini adalah ahli dan penggemar


matematika yang kerap mempergunakan utopis sosialisme
Perancis dan Inggris. mereka juga memanfaatkan teori Evolusi
dari Charles Darwin, serta teori ekonomi Adam
Ad am Smith dan David
Ricardo dalam pembentukan teori mereka. Dengan
mendapatkan cause atau lebih tepat condition (keadaan), yakni

sebab kemajuan masyarakat itu, maka sosialisme, yang


berdasarkan impian (utopia) seperti dicetak oleh Thomas Moore,
Saint Simon, Fourir, dan Robert Owen, berubah
menjadi scientific socialism,
socialism, yakni sosialisme ilmiah. Adapun
yang dianggap menjadi sebab (cause
( cause)) perubahan, termasuk
perubahan masyarakat, dari tingkat ke tingkat itu ialah
perubahan sistem produksi ilmu sejarah yang didasarkan pada

benda yang nyata dinamai historical materialism (materialisme


sejarah), yakni teori materialisme tentang sejarah. Pandangan
hidupnya yang berkenan dengan kebendaan yang bergerak itu
dinamai juga Materialisme Dialektis.

Disebut materialisme karena matter, bendalah yang dianggap


primus, pokok, asal di alam raya ini. Disebut pula dialektis
karena cara menghampiri soal benda serta kejadian di alam raya
ialah dalam keadaan bertentangan dan bergerak, yakni dalam
keadaan timbul, tumbuh, dan tumbang.

Setelah Marx dan Engels mendapatkan cause atau condition


condition,,
sebabnya dari perubahan dan pertukaran sesuatu masyarakat
manusia itu, maka berubah-bertukarlah pula sejarah manusia,
dari satu kebetulan, dari satu nasib yang tiada bersebab dan
tiada pula mengakibatkan sesuatu yang nyata, menjadi sesuatu
peristiwa yang berpangkal, berujung, bersebab dan berakibat.
Dengan begitu, maka berpindahlah pula ilmu sejarah itu dari
dunia-gaib ke dunia nyata. Demikianlah asal dan tujuan, serta
lakonnya suatu masyarakat itu mulai dapat diselami oleh akal.
Setelah segala kebendaan dan semua gerakannya dalam alam
raya ini dipecah-pecah, dikupas, diselidiki, dan dipastikan
hukumnya semenjak ahli filsafat Yunani, maka berubah
bertukarlah pula filsafat, yang berbunyi what does this all
mean (apakah arti semuanya ini), menjadi soal kaum ahli ilmu
pengetahuan empirik yang mengupas, menyelidiki serta
membentuk pelbagai ilmu pengetahuan empirik.

XIX
ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK

Tepat juga kesimpulan Engels yang mengatakan bahwa dalam


perkembangan ratusan tahun itu, maka ilmu filsafat sudah
berpecahan dan berpisahan menjadi ilmu pengetahuan
empirik, Wissenschafft , Science
Science,, yakni pelbagai ilmu tentang
sejarah dan pelbagai ilmu tentang alam raya (natura). Sisa dari
filsafat itu menurut Engels, ialah logika dan dialektika.

Kembali lagi kita kepada ilmu pengetahuan empirik


em pirik awalnya, ke
zaman Yunani dan dari sini secepat kilat kita berlari ke zaman

modern. Kemudian dapatlah kita menoleh sebentar kepada


logika dan dialektika yang oleh Engels disebut sebagai sisanya
filsafat itu.

Syahdan, dalam kurang lebih 2500 tahun perantauannya, maka


sains, ilmu pengetahuan empirik, yang dianggap sebagai anak
dari filsafat dan cucu dari agama, yang sampai sekarang
sebagian besarnya belum lagi lepas dari ari-ari (tali pusat) ibu
dan neneknya, ilmu pengetahuan empirik tentang alam raya –
dunia terbesar yang tidak tampak semuanya karena besarnya
itu- sudah sampai ke dunai terkecil yang tidak tampak oleh mata,
karena kecilnya. Satu ‘universe’ (alam) yang dapat ‘universe’.

Kini kita mengenal adanya planet-planet dan tatasurya lain. Kita


juga mengenal alam molekul dan atom Molekul dan atom yang
tercipta dalam hipotesis atau dugaan kedua materialis dialektis,
Heraklitos dan Demokritos itu sekarang bisa dibuktikan oleh
mata dengan bantuan teropong. Bahkan ilmu pengetahuan
empirik sudah sampai kepada benda yang lebih kecil lagi. Atom
yang semula diduga tak dapat dibagi-bagi lagi itu ternyata masih
bisa dibagi menjadi dua, yakni proton dan elektron. Seperti bumi
dan matahari; seperti satu tatasurya lainnya; seperti universe
dengan universe lain di alam raya ini diikat oleh kodrat Tolak
dan Tarik (repultion
(repultion dan atraction
atraction),
), yang boleh dikatakan masih
termasuk jenisnya kodrat tesis dan anti tesis dalam dialektika,
maka demikian juga dua dunia terkecil tadi, yaitu proton dan
elektron tadi, diikat oleh kodrat Tolak dan Tarik menjadi satu
atom satu sintesis atom. Ringkasnya sintesis dari proton dan
elektron adalah atom; sintesis atom dan atom ialah molekul;
sintesis molekul dan molekul yakni badan; sintesis dari bumi dan
matahari ialah tatasurya, sintesis dari satu tatasurya dengan
tatasurya lainnya serta akhirnya
satu ‘universe’ dengan ‘universe’ lainnya, ialah alam raya kita
ini.

Dalam 2500 tahun ini, menurut dialektika dan hukumnya tesis,


anti tesis, dan sintesis, maka otak manusia sudah mengenal
alam terbesar, yakni alam raya kita dan alam terkecil ialah
elektron dan proton tadi.

XI
CABANG-CABANG
CABANG-CABANG ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK

Entah sampai mana ilmu pengetahuan empirik bakal bercabang


lagi!

Kalau kita pergunakan logical division (pembagian logika) atas

ilmu pengetahuan empirik, maka kita memperoleh dua kelas,


yakni yang masuk kelas sejarah dan yang masuk kelas alam.
Maka ilmu pengetahuan empirik mengenai sejarah manusia itu
sudah terpecah-pecah pula menjadi ilmu kemasyarakatan
(sosiologi) dan sejarahnya, ilmu politik, ilmu hukum, ilmu
ekonomi, ilmu kesusasteraan dan lain-lain. Ilmu pengetahuan
empirik yang mengenai alam raya ini sudah terbagi sudah

menjadi ilmu bintang, ilmu alam ( phisic), ilmu kimia, ilmu listrik
dan lain-lain. Disamping itu kita kenal pula ilmu matematika
yang bukti dasarnya berlandaskan barang ciptaan seperti angka
(number) dan huruf (letter
(letter). Kita kenal ilmu ukur, ilmu hitung,
aljabar, trigonometri dan sebagainya.

Perpecahan ini tidak hanya dalam cabang besarnya saja, tiap-


tiap cabang itu sudah terpecah-pecah juga. Cermati saja berapa
banyak ahli yang sudah terdapat dalam ilmu kedokteran. Kita
mengenal ahli gigi, ahli telinga, ahli hidung, ahli rambut dan lain-
lain. Ambillah juga contoh dari cabang ilmu hukum yang sudah
terbagi juga atas beberapa ranting seperti ilmu hukum undang-
undang dasar (constitutional
(constitutional laws),
laws), ilmu hukum tata negara

(laws of nation)
nation) hukum sipil (civil
( civil laws)
laws) dan hukum kejahatan
(criminal laws).
laws).

Besar sekali bahayanya kalau orang yang ahli dalam suatu


cabang ilmu pengetahuan empirik tidak lagi mengenal hubungan
ilmunya dengan berlusin-lusin ilmu lain sehingga dia hidup
terpisah oleh keahliannya itu. Tegasnya adalah bahaya kalau
seorang dokter ahli rambut hilang lenyap dalam haarklovery-
nya saja dan melupakan hubungan rambut itu dengan seluruh
bagian tubuh yang lain dan seluruhnya kesehatan manusia. Tak
kurang juga besar bahaya kalau seorang ahli kejahatan,
kriminolog, memandang kejahatan dari sudut tingkah laku
seseorang saja, seolah-olah dia lupa bahwa perbuatan orang
yang hidup dalam masyarakat itu conditioned tergantung pada
pelbagai keadaan di dalam dan luar dirinya sendiri; tergantung
kepada gerakan jiwa yang berseluk-beluk dan berkenaan pula
dengan keadaan ekonomi-politik, sosial dan kebudayaan dalam
masyarakat itu sendiri.

Berhubung dengan bahaya keterpecahan, keterpisahan,


keterasingan itulah maka kuat sekali arusnya satu aliran dalam
dunia ilmu pengetahuan empirik untuk mengkoordinasi,
menghubungkan kembali pelbagai ilmu pengetahuan empirik
untuk mengkoordinasi, menghubungkan kembali pelbagai ilmu
yang terpecah-belah karena kemajuannya sendiri itu! Seperti
sudah lebih dahulu saya sebutkan, inilah rupanya yang
dimaksudkan seorang scientis ternama dengan weaving up

general principles sebagai tafsiran dari filsafat modern.

XXI
MAKSUD, CARA, BAHAN, DAN SEMANGAT ILMU
PENGETAHUAN EMPIRIK

Tidaklah mungkin, tetapi tidak juga perlu disini kita


menghampiri dan menafsirkan isi semua atau sebagian pun dari
pelbagai cabang pengetahuan itu. Sudahlah cukup kepentingan
kita disini, mencoba menafsirkan maksud ilmu pengetahuan
empirik, cara ilmu pengetahuan empirik memperoleh
maksudnya. Serta bahan yang dipakainya dan akhirnya
semangat yang dikandungnya buat mencapai maksudnya itu.

Salah satu kalimat yang lazim dipakai buat mendefinisikan


(menetapkan) maksud ilmu pengetahuan empirik
ialah : simplification by generalization atau mempermudah
dengan memasukkan sesuatu yang dipelajari itu ke dalam
sesuatu yang sudah lebih dikenal atau memasukkan yang belum
dikenal itu ke dalam yang sudah lebih dikenal.

Kalimat lain yang juga biasa digunakan untuk mendefinisikan


maksud ilmu pengetahuan empirik berbunyi : the organization
of facts (menyusun segala bukti). Formula ini saya rasa amat
praktis. Berhubung dengan inilah pula, maka sains itu saya
terjemahkan dengan ‘ilmu bukti’.

Tetapi tidak pula kurang praktisnya formula yang lain, yang juga
dipublikasikan di dunia ilmu sebagai maksud sains, yaitu
to estabish laws and system,
system, untuk membentuk hukum dan
sistem.

Sekian tentang maksud ilmu pengetahuan empirik.

Tentang caranya mendapatkan maksud itu, ialah dengan cara


logika, klasifikasi, statistik dan ukur-mengukur serta timbang-
menimbang. Sering juga dipakai cara dialektis. Dalam logika kita
berurusan dengan apa yang dinamakan induksi, deduksi dan
verifikasi. Dalam matematika kita berurusan dengan apa yang
disebut metode sintetik, analitik dan reductio ad absurdum.
absurdum .
Kedua ragam cara berpikir dalam logika dan matematika itu
tiada berapa bedanya. Di tempat lain saya sudah uraikan
perkara itu lebih lanjut, yaitu dalam buku Madilog. Di sini saya
cuma hendak menyebutkan sambil lalu saja caranya
kaum scientis
scientisitu
itu mendapatkan maksudnya, yaitu mendapatkan
hukum dan sistem itu (laws and systems).

Bahan atau bukti yang dipergunakan oleh kaum ahli ilmu


pengetahuan empirik itu diperoleh dengan
jalan observation (pengamatan) atau experiment (praktek).
Jalan experiment lebih banyak mendapatkan hasil. Karena
dengan jalan pengamatan penyelidik cuma pasif, berdiam diri
dan mengamati saja, sedangkan dengan jalan praktek si
penyelidik boleh memindahkan barang dari tempat ke tempat

dan mencampurkan pelbagai benda menurut maksud yang


dituju. Sedangkan si pengamat cuma bisa mengamati hidup dan
sifatnya masing-masing tumbuhan atau hewan di masing-
masing tempatnya, tetapi si pelaksana praktek dapat
mengawinkan tumbuhan maupun hewan untuk mendapatkan
jenis yang baru, yang lebih besar, lebih kuat dan lebih sehat.

Alangkah pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan empirik


semenjak Galileo. Pada permulaan abad ke-17 Galileo
mengadakan experiment -nya di menara kota Pisa. Boleh
dikata experiment itu telah membuka pintu untuk mendapatkan
kekayaan alam yang tak ada batasnya bagi umat manusia. Dari
empat anasir yang dikenal oleh Yunani asli, yakni tanah, air,
udara, dan api maka ilmu kimia sekarang saja sudah mengenal
92 elements (anasir).
Akhirnya, dan tidak juga kurang pentingnya maka
semangat objectivity (tidak melibatkan subyektivitas, termasuk
emosi dan kepentingan) di samping semangat adventure, dalam
arti sanggup meloncat dari dunia bukti ke dunia hipotesis dan
teori adalah satu sine qua non bagi seorang sciencetis
sciencetis.. Seorang
ahli yang cuma tetap berada dalam dunia bukti saja dan tak
sanggup melepaskan bukti-bukti itu supaya bsia melayang ke
dunia hipotesis dan teori, tidaklah akan sanggup
membentuk laws and systems seperti maksud science
science.. Mereka
akan tetap tinggal pada dunia bukti saja.

XXII
MASYARAKAT TIMUR DAN ILMU PENGETAH
PENGETAHUAN
UAN
EMPIRIK

Kurang tepat kalau dikatakan bahwa masyarakat Timur, di luar


Arab tidak mengenal ilmu pengetahuan empirik. Kurang tepat
jika disebut bahwa India, Tiongkok dan lain-lainnya cuma
mengenal agama dan filsafat saja dan tidak mengenal science
science,,
ilmu pengetahuan empirik. Konon kabarnya bapak ilmu ukur
(geometri) itu adalah seorang Hindu asal Birma dan katanya
juga India lama sudah mengenal aljabar. Juga Tiongkok sudah
mengetahui bagaimana membuat lingkaran, walaupun tidak
memkai rumus P.R yang kita kenal. Tak ada yang tak akan
terkagum-kagum dan terpengaruhi oleh logikanya mahaguru
Kung (Confucius) kalau membaca sistem kekeluargaan dalam
empat bukunya. Tak ada pula orang yang tak akan terpesona
mengikuti cara dialektis yang dipergunakan oleh mistikus maha
guru Lao Tze, apa bila dia menjelaskan pahamnya. Saya sendiri
berkali-kali mengagumi kemajuan obat orang Tionghoa. Bahkan
dalam meramalkan hari depan, sehubungan dengan hujan,
panas, angin ribut dan topan sering kali saya menyaksikan
keulungan pawang Tionghoa (biasanya para rahib) di atas ilmu
pengetahuan empirik Barat dengan weather forecast,
weerbericht atau ramalan cuacanya. Dan bukankah
pengetahuan percetakan, bubuk mesiu dan kompas diwariskan
oleh Tiongkok ke dunia Barat melalui Arab?

Namun semua yang disebut itu tidak lantas menyatakan bahwa


masyarakat Tiongkok asli sudah sampai ke tingkat science science,,
seperti masyarakat Yunani 500 tahun SM. Mahaguru Kung
walaupun logis berpikir belum sampai kepada tingkat
membentuk logika sendiri, yakni memisahkan hukum berpikir itu
dari process (lakonnya) berpikir itu sendiri. Mahaguru Lao belum
pula dapat menarik hukum dialektika dari proses berpikir, yang
memang dialektis. Demikian juga tukang ukur, ahli kedokteran,
dan ahli cuaca di Tiongkok belumlah sampai ke tingkat
memisahkan, hukum ilmu ukur, hukum kedokteran dan kimia
dari proses ukur-mengukur, obat mengobat dan memisahkan
hukum gerakan udara daripada proses yang berlaku di udara.
Kung tzu memakai logika itu cuma menurut nalurinya (instinct
( instinct)
saja! Begitu juga Lao tze mempergunakan dialektikanya. Dan
cara mencatatnya pun itu semua dalam bentuk ingatan analogi
saja. Demikianlah tukang ukur, ahli obat dan ahli keadaan cuaca
di Tiongkok menjalankan prakteknya. Mereka tak pernah lepas
dan melompat lalu melambung ke dunia hukum. Di sinilah
kelebihan hukum dan pengetahuan yunani daripada dunia India
dan Tiongkok. Rupanya kodrat pendorong di India dan Tiongkok
berupa sistem produksi, cara menghasilkan dan membagikan
hasil, tiada berapa majunya semenjak kurang lebih empat ribu
tahun! India terpaku pada sistem kastanya. Tiongkok terpaku
pada dunia feodal yang mengakar kepada sistem kekeluargaan.
Terpaku kepada teknik, sosial, ekonomi, politik serta
kebudayaan yang berlainan coraknya dengan sistem yang ada
di Eropa Barat, seperti huruf alfabet (a,b,c) belum lagi lepas dari
gambaran suatu pengertian menurut sistem menulis di Tiongkok
(Han-dji). Begitulah juga hukum ilmu pengetahuan empirik
belum lagi lepas-terpisah, melompat-melambung keluar dari
bukti itu sendiri.
XXIII
YUNANI SEBAGAI PELOPOR ILMU PENGETAHUAN
EMPIRIK

Dengan demikian maka patutlah kita memberikan piala


kehormatan ke tangan bangsa Yunani sebagai pelopor ilmu
pengetahuan empirik modern. Dalam arti tulisan dan lisan
memang Archimedes melompat dan melambung dari dunia bukti
nyata ke dunia hukum atas bukti yang nyata.

Sekian lama Archimedes bertanya kepada dirinya sendiri


tentang mengapa dan bagaimana badannya bisa melambung ke
atas, kalau dia mencemplungkan dirinya ke dalam air, ke dalam
sembarang air di sembarang tempat. Akhirnya dia mendapatkan
ilham dan pertama kali menetapkan, sebab dan akibat, yang
dicarinya itu. Archimedes mendapat hukum, tentang benda yang
terbenam, melayang dan mengapung dalam air, yang sekarang
kita jadikan pelajaran di sekolah. Dalam kegembiraannya
Archimedes tidak saja melompat keluar dari air dan berteriak-
teriak Eureka, Eureka (saya dapat) ke sana kemari melupakan
pakaian tetapi ia sudah melompat melambung dari dunia benda
ke dunia hukum. Hukum yang pertama sekali ditetapkan itu kian
tahun kian mengembang dan melambung. Hukum tadi
dilaksanakan pada semua tempat dan semua waktu, sampai
salah seorang pengikutnya menemukan air raksa (kwik
( kwik). Barang

biasa seperti kayu tidak terbenam di dalam air raksa melainkan


terapung. Nyatalah di belakang hari, bahwa bukan Hukum
Archimedes yang salah melainkan formulanya masih kurang luas.
Hukum Achimedes bahkan
mendapatkan verification (pembuktian), lantaran bukti baru (air
raksa) tadi. Kini air diperluas daerahnya, yakni mengenai
minyak, air raksa dan lain-lain atau mengenai semua yang cair.
Orang atau kayu diperluas pula daerahnya menjadi semua
benda. Hukum Archimedes tumbuh dengan subur sampai
kepada Gay Lusac dan lain-lain. Sampai dilanjutkan ke udara,
ke strastosphere, ke mana Prof. Piccard melambung mencari
pengesahan alam. Merantaulah Piccard ke dunia yang belum di

alami, ke dunia yang cuma dianggap benar menurut hipotesis


saja! Merantau berpetualang dari alam terkenal ke alam yang
belum di kenal, seperti Columbus, Ronald Amunsen dan lain-lain
para ahli penjelajah samudra!

Dengan begitu sempurnalah cara induksi, deduksi, verifikasi


yang diutamakan oleh logika dan ilmu pengetahuan
p engetahuan empirik itu.
Dan lebih sempurnalah pula mencari sebab, yakni dengan lima
jalan yang sudah dikenal :
1. Method of agreement (cara persamaan).
2. Method of Difference (cara pembedaan).
3. Joint Method (cara paduan).
4. Concomitant Variation (cara perubahan serempak).
5. Mehtod of Residue (cara sisa).
Sejarah menceritakan kepada kita bahwa Pytahogras tidak
tinggal menguji (to
(to prove)
prove) sudut siku yang kita kenal. Selain
pertama sekali menegakkan teori dan cara menguji teori,
Pythagoras pun cocok dengan suasana zamannya mengangkat
angka dan teorinya itu ke dunia gaib. Banyak angka yang
dianggap sakti oleh mahaguru Pythagoras. Dengan demikian
maka Pythagoras mempengaruhi dunia keagamaan, dunia
filsafat dan yang berkenaan dengan uraian kita disini, yakni
dunia matematika. Dipelopori oleh Pythagoras, kita setelah 2500
tahun ini sampai kepada pelbagai teori matematika yang sulit
seperti teori relativitas Einstein, melalui para ahli matematika

raksasa seperti Fermat, Laplace, Newton dan lain-lain. Dan


dalam semua kebesaran dan jasa para ahli matematika itu,
sekali-kali tidak dapat kita lupakan kebesaran dan jasa para ahli
Islam yang melakukan pemilahan (abstraction
(abstraction)) yang lebih tinggi.
Angka yang dipakai sebagai simbol (lambang) benda sudah
dipisahkan dari sembarang benda. Angka 3 boleh menjadi
lambang dari tiga prajurit, tiga bomber ataupun tiga bambu
runcing. Tetapi Aljabar naik setingkat lagi mengangkat huruf
menjadi lambang. Huruf X umpamanya boleh mewakili angka
1,2,3 dan seterusnya. Tanpa Aljabar tidaklah mungkin kita
sampai kepada teori trigonometri dan relativitas Einstein. Teknik
Aljabar memungkinkan atau sekurangnya sangat memudahkan
kemajuan matematika. Pelambungan benda ke angka dan
pelambungan angka ke huruflah yang memberi pesawat kepada
Einstein dan Newton supaya mudah melambung ke dunia
bintang di langit dan mengukur segala kodrat yang bergerak di
alam raya ini, dari gerakan pasir, batu, bumi, matahari sampai
ke gerakan atom dan sinar matahari yang laju 300.000 km
dalam sedetik!

Dikatakan oleh beberapa ahli bahwa klasifikasi yang dilakukan


Ariestoteles dibekukan oleh pengetahuan di Abad Pertengahan.
Ucapan semacam itu tidak boleh diterima begitu saja. Haruslah
diperiksa bagaimana keadaan produksi dan masyarakat di Abad
Pertengahan itu membekukan klasifikasinya Aristoteles. Tetapi
yang nyata ialah klasifikasi yang banyak dipergunakan oleh
Aristoteles dalam ilmu hayat (biologi) itu menjadi perkakas yang

penting, disamping dialektika, bagi pelopor biologi modern,


yakni Charles Darwin. Di masa Darwin bertualang dengan kapal
Beagle-nya mempelajari jenisnya (species) tumbuhan dan
hewan, di daratan, lautan dan udara Darwin tak lepas dari cara
klasifikasi, induksi, deduksi dan cara menetapkan sebab yang
dibentuk oleh Aristoteles dalam logikanya. Memang permulaan
abad ke-19 adalah abad yang sanggup mengangkat kembali
ilmu yang hidup yang sudah dipelopori oleh Aristoteles. Ilmu
yang dirintis oleh raksasa pemikir Yunani itu sempat terhenti di
zaman tengah dan di belakangnya, karena produksi, teknik dan
ilmu umumnya belum lagi mengizinkan kebangkitannya kembali
untuk maju dengan pesat cepat, seperti setelah sampai ke
tangannya Charles Darwin yang hidup dalam kandungan
masyarakat kapitalisme modern.
Demikian juga lebih dari 2000 tahun teori molekul dan atom
serta tafsiran materialisme dan cara berpikir dialektis dari
Heraklitos, Demokritos dan Epicurus harus beku terpendam
menunggu masyarakat dan produksi yang cocok serta para ahli
yang pantas seperti Marx, Engels, dan Lenin yang sanggup
membangkitkan teori, tafsiran dan cara yang telah lama beku
terpendam itu buat dilanjutkan dan disempurnakan.

Sekianlah di sini tentang ilmu pengetahuan empirik!

XXIV
LOGIKA DAN DIALEKTIKA

Serba sedikit juga di sini akan diuraikan tentang logika dan


dialektika.

Isi, bagian, sifat, sejarah, daerah serta batas


b atas logika, seperti juga
isi, bagian, sifat, sejarah, daerah dan jenisnya dialektika,
dialek tika, sudah

kami uraikan juga dengan panjang lebiar dalam buku Madilog


Madilog..
Di sini akan kami bentangkan perbedaan dan daerah masing-
masing dari kedua cara berpikir itu secara garis besarnya saja.
Lagi akan kami singgung pula dua jenis dialektika, yakni
dialektika idealistis dan dialektika materialistis.

Dunia mengakui Aristoteles sebagai bapak logika. Dialah yang


pertama kali membentuk logika, yakni cara berpikir sebagai
suatu ilmu yang terpisah. Pembentukan itu sudah sampai begitu
sempurna, sehingga bolehlah dikatakan bahwa dari zaman
Aristoteles sampai ke zaman John Stuart Mill dan Ueberweg,
logika itu tidak banyak lagi mengalami perubahan penting. Boleh
dikatakan bahwa dalam segala cabang ilmu pengetahuan maka
logika itu tidak dapat disingkirkan ataupun
diabaikan zonder menderita kegagalan atau kekurangan di
pihak ilmu pengetahuan itu sendiri.

Dialektika di tangan Heraklitos dan demokritos sudah sanggup


menyelami dunia benda sampai ke molekul dan atom yang tidak
kasat mata dan baru bisa dilihat dengan mikroskop di zaman

modern. Tetapi dengan majunya pengetahuan tentang semua


benda dan gerakan benda maka dialektika sebagai hukum
berpikir yang berdasarkan benda dan gerakannya mendapat
dorongan yang belum pernah dialaminya di dunia lampau, di
dunia statis, berhenti dan pasif tadi.

Di tangan Hegel, pemimpin aliran borjuis demokratis Jerman


yang menentang feodal-autokratis, maka dialektika idealistis
melambung setinggi-tingginya. Di tangan Marx dan Engels
sebagai pemimpin aliran proletaris-komunis Eropa Barat yang
menentang kapitalis demokratis, dialektika materialistis menjadi
perkakas berpikir kaum revolusioner-proletaris bagi seluruh
dunia.

Di tangan kaum Bolsyewik Rusia cara berpikir dialektika


materialis dapat membentuk satu partai Murba yang sanggup
menghancur leburkan feodal borjuis Rusia dan mendirikan
diktatornya kaum Murba Rusia.

Syahdan logika itu sering juga ditafsirkan sebagai hukum


berpikir, atau cara berpikir. Itu tafsiran yang sah.

Adakah perbedaan dan apakah perbedaan kedua hukum berpikir


itu? Sepintas lalu saja, saya pikir, perbedaan antara kedua
hukum berpikir itu, terutama sekali terletak pada cara
menempatkan (barang) yang diselidiki oleh penyelidik.

Pemakai logika menempatkan sesuatu yang diperiksa itu dalam


keadaan berhenti (static), terpisah (distinct), tak berubah-ubah
(unchangable
unchangable)) dan kekal. Sesuatu itu harus diselidiki satu
persatu, terpisah-pisah dan dianggap tak berhubungan dan
berkenaan satu dengan lainnya sesuai waktu dan tempat.

Pemakai dialektika menempatkan sesuatu yang diselidiki itu


dalam keadaan bergerak (movement),
(movement berhubungan
(connection
connection),
), berubah-berubah (change
(change)) dan bertentangan.
Sesuatu itu harus diselidiki dalam gerakan, pertentangan,
timbul-tumbuh dan tumbangnya dalam suatu waktu pula.

Bagi seorang pemakai logika dalam menghadapi suatu soal


dalam keadaan itu, maka dalam jawabannya, “ya itu adalah ya
dan tidak itu tidak. Ya itu tidak boleh tidak dan tidak itu tidak
boleh ya”. Satu sama lainnya bertentangan, tak bisa liput-
liput -
meliputi. Seperti kata Ueberweg :”Pertanyaan yang
yan g pasti dalam
arti yang pasti pula, yakni apakah suatu sifat tertentu dimiliki
oleh suatu barang, harus dijawab dengan ya atau tidak. Tidak
boleh dijawab dengan ya dan tidak”. Tiga premis pokok bagi
logika adalah : Pertama A itu = A; kedua A itu bukannya Non A;
dan ketiga tak ada jembatan antara A dan Non-A (tiga premis
pokok ini disebut juga ‘prinsip identitas’).

Berhubung dengan tiga premis pokok tersebut maka sesuatu


(barang) itu masuk jenis A atau masuk jenis Non-A. Dan suatu
kesimpulan yang satu dengan yang lainnya bertentangan, tak

bisa benar kedua-duannya.

Contoh :
Apakah warna sapi itu hitum atau putih jika dipandang dari
sebelah kiri ini?

Memang jika hanya satu atau terbatas warna yang dimiliki oleh
benda yang tak bergerak, pertanyaan semacam itu dapat
dijawab dengan hitam atau putih saja. Umpamanya sebagian
dari sapi itu dipandang dari kiri putih, bukannya hitam. Dan
kalau dipandang dari sebelah kanan maka sapi itu sebaliknya,
yakni hitam bukannya putih.

Jadi jawabannya boleh cocok A=A itu bukannya Non-A.

Tetapi apakah jawabannya, kalau orang bertanya :


Apakah warna sapi itu seluruhnya hitam atau putih?

Pertanyaan itu sudah tak dapat lagi dijawab dengan putih saja
atau dengan hitam saja.

Tetapi disini dialektika bisa melangkah masuk dan ikut campur


memberi jawaban sebagai berikut :

Seluruh sapi itu ya putih ya hitam. Atau dengan perkataan lain :

Sapi itu belang.

Belum lagi sapi itu menjalani sepanjang umurnya, yakni sejak


masa bayi sampai ia menjadi dewasa, ketika warnanya sering
mengalami perubahan. Dan belum lagi sapi itu digerakkan
dengan kecepatan sinar, yaitu 300.000 km sedetik. Dalam hal
ini, maka belum tentu warna belang itu bisa
b isa memadai. Bukankah
pada masa perang dunia kedua penipuan warna (aberation,
( aberation,
aberratie)) itu, (ialah lantaran pertukaran warna berkenaan
aberratie
dengan sinar, gerakan dan antara), dipakai oleh armada
Amerika buat menipu musuhnya?

Demikianlah, maka sehubungan dengan sesuatu yang sulit


(complex) tetapi masih dalam keadaan tak bergerak
berger ak saja, logika
sudah terpaksa meminta bantuan kepada dialektika. Apalagi
dalam keadaan bergerak!
Memang suatu pertanyaan seperti : “ Apakah bola yang bergulir
cepat ini pada detik ini berada di titik ini atau tidak lagi? Ini tidak
dapat lagi dijawab ya atau tidak saja. Kalau dijawab tidak, maka
jawaban itu salah, karena memangnya bola itu pernah berada
pada titik yang dimaksudkan itu. Kalau dijawab ya, maka
jawaban ini pun salah karena belum lagi si penjawab selesai
mengucapkan ya, bola itu sudah melewati titik itu. Jadi logika
tak berdaya apa-apa dalam hal ini, logika harus meminta
pertolongan kepada dialektika untuk memberi jawaban ya dan
tidak sekaligus.”

Bahwa sesungguhnya, maka semenjak abad yang lalu ilmu


pengetahuan empirik sudah mengakui bahwa :
1. Semua Kodrat di alam raya ini (Force,
( Force, Energy), yang
terlaksana pada cahaya, panas dan sinar (light,
( light, heat dan ray)
beserta cadangannya yang tersembunyi seperti magnetisme,
listrik dan kodrat-kimia, semuanya itu adalah bentuk gerakan
di alam raya, yang beralih dari satu bentuk ke bentuk yang
lain. Dengan demikian maka dengan timbulnya satu bentuk
kodrat maka lenyaplah bentuk yang lain, sehingga semua
gerakan di alam raya berada dalam peralihan dari bentuk ke
bentuk, dengan tiada henti-hentinya. Kant-Laplace
menjelaskan peralihan molten mess (benda cair) di alam
raya pada permulaan dini sampai menjadi alam raya
sekarang dengan bumi, bintang dan kometnya.
2. Adanya sel sebagai satuan dalam badan tumbuhan dan
hewan! Karena pelipatgandaan (multiplication))
(multiplication dan
perbedaan (variation), ketika turun temurun sel, maka
terciptalah dunia tumbuhan dan hewan yang dikenal di masa
sekarang ini.

Oleh Charles Darwin dijelaskan bahwa semua tumbuhan, hewan


dan manusia yang sekarang ada di atas bumi kita ini adalah hasil
dari kemajuan ratusan-ribu tahun dari beberapa sel-tunggal
dalam suasana struggle for existence (perjuangan hidup)
suasana survival of the fittest (kejayaan yang kuat) dan

adaptability (kemampuan menyesuaikan diri). Beberapa sel-


tunggal ini muncul dari putih telur dan protoplasma menurut
hukumnya ilmu kimia.

Joule dan Mayer menunjukkan bahwa panas bisa beralih menjadi


listrik. Memang selama masih berada dalam jenis panas dan
listrik kita bisa menjawab semua pertanyaan menurut logika,
statistik, dan ukuran. Dengan pasti bisa dijawab, berapa
derajatkah tingginya panas dan berapa satuan tenaga kudakah
listrik. Juga bisa kita jawab pertanyaan Ueberweg, apakah ini
panas atau listrik, dengan ya atau tidak. Tetapi apabila panas
bukan lagi panas, namun belum lagi menjadi listrik, maka
pertanyaan tadi tidak lagi dapat dijawab dengan ya atau tidak
saja. Pertanyaan itu harus dijawab dengan ya dan tidak
sekaligus.
Demikian pula dalam keadaan di mana satu kodrat sedang
mengalami satu peralihan : seperti air sedang berubah menjadi
uap, kodrat bergerak sedang beralih menjadi dinamo (listrik)
dan sebagainya, atau satu zat sedang mengalami peralihan juga :
atom beralih menjadi molekul, putih telur beralih menjadi benda
hidup, tumbuhan beralih menjadi hewan dan 1001 contoh
lainnya…., maka logika statika dan ukur-mengukur
ukur -mengukur secara
matematika itu tidak berdaya lagi. Dalam hal ini maka
dialektikalah yang sanggup memberi jawaban.

Apabila kepastian dalam peralihan itu sudah terampil (air sudah

menjadi uap, magnetisme sudah menjadi listrik, matahari sudah


menjadi bumi, tumbuhan sudah menjadi hewan) maka dalam
hal itu dapatlah juga dipergunakan logika, statika, matematika,
dan ilmu ukur-mengukur serta timbang-menimbang! Di
belakang hari Ueberweg juga mengambil kesimpulan seperti
berikut : Dalam soal yang gampang (simple) boleh dipakai logika.
Tetapi dalam berurusan dengan pelbagai barang yang
mengandung pelbagai sifat yang bertentangan, maka kita harus
mengakui coincidence of oposites (perjumpaan beberapa
pertentangan). Jadinya dalam hal ini boleh dipergunakan
dipe rgunakan ya dan
tidak sekaligus!

Dalam salah satu halaman buku karangannya yang


berjudul logik, Hegel seorang raksasa filsafat Jerman berkata
kurang lebih begini, “dialektik
“dialektik nennen wir solche geistlische
Bewegung, bei denen das getrennt scheinenden durch ischselbst,
d.h ducrh das, was sie sind in einander uebergehen, und so des
getrent scheinenden aufheben”.
aufheben”.

(saya tepaksa mencatat di luar kepala pula!)

Artinya kurang lebih :”Yang kita namakan dialektika ialah


gerakan pikiran (rohani), ketika yang berbentuk saling terpisah
itu, olehnya sendiri artinya terbawa oleh sifatnya sendiri saling
berpindahan, dan dengan begitu, maka yang berbentuk
keterpisahan itu ditiadakan (artinya bersatu kembali).”

Banyak persamaan antara Hegel dengan bekas muridnya Marx!


Tetapi besar pula perbedaan di antara guru dan murid, setelah
pikiran murid keluar dari kandungan pikiran gurunya.

Persamaan pertama :
Kedua jenis pemikiran itu sama-sama mempergunakan cara
dialektik, yakni menyelidiki sesuatu dalam keadaan bergerak,
bertentangan timbul, tumbuh dan tumbang.

Persamaan kedua :
Keduanya sama-sama menolak pemisahan kekal antara ya dan
tidak itu. Dalam gerakan tesis, antitesis, dan sintesis, maka
akhirnya ya itu bisa menjadi tidak dan sebaliknya. Dalam
gerakan itu maka perubahan quantity (jumlah) lambat laun
beralih menjadi perubahan quality (sifat). Dengan demikian
tercapailah Negation der Negation (peniadaan ketiadaan).
Syahdan menurut ilmu logika dan matematika, maka dua barang
yang masing-masingnya bersamaan dengan barang ketiga,
kedua barang itu bersamaan pula satu dengan lainnya. Tetapi
dua barang yang masing-masing berbeda dengan
de ngan barang ketiga
belumlah tentu bersamaan satu dengan lainnya.

Di atas sudah kita tunjukkan, bahwa dua pemikir besar, yakni


Hegel dan Marx kedunya sama berbeda sikapnya soal logika.

Mereka sama-sama tidak setuju dengan pemisahan kekal dan

pertentangan kekal antara ya dan tidak itu. Mereka sama-sama


juga menyelidiki sesuatu itu dalam suasana dialektika (gerakan
pertentangan). Tetapi ada juga perbedaan besar antara kedua
penganut dialektika itu.

Adapun Hegel menyandarkan dialektika itu kepada tafsiran dan


teori idealisme. Sedangkan Marx mendasarkan dialektika itu
atas teori dan tafsiran materialisme. Hegel adalah penganut
dialektika idealistik. Marx dan teman pembentuknya Engels,
adalah penganut dialektika materialistik.

Dalam “Dialektika dan Logika” maka Plekanov mengikhtiarkan


perbedaan dialektika materialstik dan dialektika idealistik
sebagai berikut :
Dalam sistem Hegel, maka dialektika sama diri dengan
metafisika. Buat kami maka dialektika bersendi atas ilmu ke-
alam-an (hukum alam).

Dalam sistem Hegel, maka demiurge, creator atau pembikin


yang nyata (reality
(reality), ialah absolute idea (akal atau ide mutlak).
Buat kami, ide mutlak itu, cuma satu pemisahan (abstraction
( abstraction))
dari gerakan. Dan oleh gerakan itu terjadilah semua perpaduan
dari keadaan semua benda.

Menurut Hegel, maka paham itu maju disebabkan oleh

keinsyafan dan penyelesaian beberapa pertentangan yang


berada di dalam pikiran (concept
( concept). Menurut teori materialis kami,
maka semua pertentangan yang ada dalam pikiran oleh dunia
pikiran, atas pelbagai pertentangan yang ada itu adalah
bayangan di otak manusia; adalah satu tafsiran pada dunia
nyata (fenomena), sebagai akibat dari pertentangan yang
terdapat pada dasarnya-bersama, yakni gerakan.

Menurut Hegel, maka semua kemajuan yang nyata, itu


ditetapkan oleh kemajuan pikiran (idea
( idea).
). Menurut paham kami,
maka kemajuan pikiran itu dapat dijelaskan oleh kemajuan yang
nyata, kemajuan paham oleh kemajuan hidup (manusia).

Demikianlah Marx dan Engels membalikkan kembali yang di


udara itu ke tanah dan kepada yang oleh Hegel ditaruh di tanah
kembali ke udara dan membuka kudung kegaiban yang dikenal
oleh Hegel kepada dialektika itu. Dengan begitu, maka di tangan
Marx dan Engels dialektika menjadi senjata revolusi semata-
mata.

Diselimuti oleh kudung gaib, maka dialektika menjadi senjata


kaum reaksioner di Jerman. Buat Hegel maka dialektika adalah
senjata revolusi terhadap kaum feodal tetapi berubah menjadi
senjata reaksioner terhadap kaum proletar. Buat Marx dan
Engels sebagai para pembela kaum proletar, maka dialektika
yang bersandar pada materialismelah senjata yang tepat, tetap,
dan sempurna terhadap kaum feodal dan kaum borjuis.

Akan terlampau panjang kalau kita mengupas lebih dalam


persamaan dan perbedaan, cara dan teori berpikir antara Hegel
dan Marx dalam karangan yang dimaksudkan cuma sebagai satu
tujuan singkat saja ini. Di lain tempat tinjauan yang lebih luas
dan lebih dalam sudah saya kerjakan agak lebih lanjut. cuma
sebagai penguji, ingin saya menyinggung lagi sedikit persamaan
dan perbedaan itu, serta menyinggung pula persamaan dan
perbedaan materialisme mekanik dengan materialisme dialektik!

Janganlah hendaknya kita menyangka bahwa Hegel terus


melayang-layang di dunia pikiran saja dengan tak pernah
menginjakkan kakinya ke tanah-bukti (reality
( reality). Sebaliknya pula
jangan dikira bahwa Marx dan Engels tak pernah melepaskan
kakinya dari tanah-bukti dan tak pernah memasuki dunia cita-
cita, pikiran, ide itu!
Kedua jenis pemikiran tadi maju berpikir dengan berpegangan
kepada kedua dunia pikiran dan bumi-bukti. Tetapi Hegel
berpangkalan kepada dunia pikiran dan Marx-Engels
berpangkalan kepada bumi-bukti. Dengan demikian, maka hasil
yang diperoleh Marx dan Engels juga jauh lebih kaya daripada
hasil yang diperoleh Hegel.

Demikian Hegel pernah mengucapkan, bahwa rohani (spirit


(spirit ) itu
adalah dasar pendorong (motive-principle
(motive-principle)) sejarah. Tetapi
disamping itu, diucapkan pula bahwa keadaan-ekonomi pada

satu tingkat menjadi kodrat, yang berlaku dengan perantaraan


(instrumentality) rohani.

Marx, walaupun pada titik terakhir berpangkalan pada


kebendaan ada juga mengucapkan pada suatu tingkat, maka
rohani itu bisa pula menjadi kodrat yang arahnya ditentukan
oleh keadaan ekonomi.

Dengan demikian, maka akhirnya jelas juga bagi kita persamaan


dan perbedaan antara materialisme mekanik dan materialisme
dialektik. Keduanya sama-sama bersandar kepada kebendaan.
Tetapi bagi pengikut materialisme mekanik, maka manusia
dengan pikiran, perasaan, dan kemauannya (ringkasnya
manusia dengan jiwanya) seolah-olah tidak berdaya
menghadapi alam raya dan hukumnya.
Sebaliknya bagi Marx dan Engels serta para pengikutnya, dalam
wilayah yang dibatasi oleh keadaan masyarakat sendiri, manusia
dengan jiwanya bukanlah benda yang pasif, nrimo
nrimo,, seperti
mesin saja. Beberapa ayat dari tulisan Marx yang
memperlihatkan perlantunan (interaction,
(interaction, wissel werking)
werking)
antara manusia dan alam di sekitarnya berbunyi, kurang lerbih :

“Bumi sekeliling (geographical environment) mempengaruhi


manusia dengan perantaraan kemajuan ekonomi, pada salah
satu daerah, atas salah satu kodrat-produksi ( force
(force of
production))
production yang sifatnya ditentukan pula oleh bumi

sekelilingnya itu”.

“Kodrat produksi (uap, listrik, atom dan lain-lain)


lain-lain) mempertinggi
kekuasaan manusia atas alam sekelilingnya. Keadaan ini
membentuk hubungan baru antara manusia dan alam-
sekitarnya”.

“Manusia sambil bertindak terhadap alam sekitarnya, mengubah


sekitarnya itu dan dengan begitu mengubah diri (jiwanya)
sendiri”.

Akhirnya, sambil menghadapi kaum ahli filsafat, dalam 11 tesis


Marx mengucapkan :

”Die Filosopen hebben die Welt nu verschieden interpretiert. Es


Kommt aber daraufan, die welt zu aendern”
aendern ” (Kaum ahli filsafat
cuma berbeda dalam menafsirkan dunia ini, yang terpenting
ialah mengubah dunia, yakni alam dan masyarakat kita ini).

Dari beberapa catatan tersebut di atas nyatalah sudah salah


benar mereka yang mengatakan bahwa kaum materialis itu
cuma orang fatalis, penerima kodrat alam saja, dan cuma
memikirkan makan-minum dan kepelesiran hidup semata-mata.
Sebaliknya bukan juga hasil pelaksanaan kemauan manusia itu
tak terbatas! Melainkan dibatasi oleh keadaan lahir dan batin
yang telah dicapai oleh suatu masyarakat itu sendiri (ilmu,
teknik, produksi, sosial, politik, kebudayaan, sejarah dan lain-

lain).

Terbatas oleh alam dan masyarakat yang ada di Indonesia ini,


maka bagi saya, menafsirkan materialisme dialektik itu
dipandang dari salah satu sudut ialah :
1. Alam dan masyarakat Indonesia, dengan perantaraan bangsa
barat, ilmu teknik dan organisasi modern, sebelum Proklamasi
sudah membentuk sistem masyarakat produksi-distribusi,
sosial-politik yang ringkasnya boleh disebut sebagai masyarakat
kapitalisme-jajahan Belanda (tesis).
2. Dalam kandungan imperialisme Belanda itu, di antara yang lain-
lain, timbul dan tumbuhlah paham yang bertentangan dengan
paham masyarakat-kapitalisme-jajahan tersebut yang pada
hakekatnya bermaksud mendirikan satu masyarakat baru yang
memakai semua alat teknik dan ilmu Barat itu di dalam suatu
produksi berdasarkan tolong menolong dan distribusi
berdasarkan “pada waktu yang memberikan keuntungan hati
gajah sama dilapah, hati tungau sama dicacah dan di waktu
bahaya terlentang sama minum air, terlungkup sama makan
tanah,”
tanah,” berdasarkan kemerdekaan dan persamaan di antara
manusia dan manusia serta bangsa dan bangsa di dunia ini (anti-
(anti -
tesis).
3. Dengan proklamasi 17 Agustus, maka rakyat pemuda mulai
bertindak melaksanakan paham pembentukan alam dan
masyarakat baru tadi di bagian bumi kita ini.
KONSEP NEGARA

1. NEGARA (STATE).
Sebagai hasil dari cara berpikir berdasarkan logika yang
mengesampingkan pertentangan, maka ahli borjuis seperti
Kranenburg dan Krabbe (Belanda), Blackstone (Inggris) dan
lain-lainnya mendefinisikan negara itu, kurang lebih sebagai
berikut :

“Negara adalah wilayah tertentu,


tertent u, didiami oleh rakyat (bangsa
asli dan warga baru) tertentu di bawah kekuasaan (authority
( authority)
yang syah dan tertentu pula”.

Ayat ilmu politik yang lazim dikemukakan di Amerika ialah :


Wilayah yang tertentu untuk menyusun suatu pemerintahan (for
(for
the sake of organizing a government ).

Sebagai hasil cara berpikir dialektika yang melaksanakan


pertentangan atas paham (teori) idealisme, maka Hegel
mendefinisikan negara itu, sebagai “Pernyataan paham
kesusilaan (moral) ….atau gambaran dan kenyataannya akal,
atau ……kerajaan
……kerajaan Tuhan di dunia, dimana hakekat dan keadilan
yang abadi dilaksanakan”.

Sebagai hasilnya cara berpikir dialektik, yakni logika-


pertentangan yang diselenggarakan atas paham (teori)
materialisme, maka Marx mendefinisikan itu dengan kalimat
yang terkenal
terkenal : “Negara itu adalah hasil dan pernyataan
perjuangan kelas yang tidak bisa didamaikan” (The
(The state is the
product and the manifestation of the irreconcilability of class-
antagonism”).
antagonism”).

Dalam buku karangan Engels judul Der Uspung der Familie, der
Privateigentums und des State (1894) tertulis di antara lain-
lainnya " ….(negara) adalah hasil masyarakat pada suatu tingkat
kemajuannya, dia (negara) adalah suatu pengakuan bahwa
masayrakat ini sudah terlibat dalam pertentangan dengan

dirinya sendiri sehingga tak dapat diselesaikan lagi; sampai


(negara) itu terbelah dua dalam pertentangan dendam dan
kesumat yang tidak dapat disingkirkan lagi”.

“Supaya pertentangan ini, (yaitu pertentangan)


p ertentangan) dua kelas yang
berdasarkan pertentangan kepentingan ekonomi ini, jangan
melenyapkan diri dan masyarakat sendiri oleh perjuangan sia-

sia, maka perlu ada sesuatu kekuasaan yang rupanya seolah-


olah berdiri di atas masyarakat untuk menjabarkan perjuangan
dan membatasi perjuangan itu dalam daerah ketentraman; dan
kekuasaan ini yang timbul dalam masyarakat, tetapi
menempatkan dirinya di atas masyarakat dan makin lama makin
mengasingkan dirinya dari masyarakat, yakni negara”.

“Kekuasaan umum itu ada pada


pada tiap
tiap-tiap
-tiap negara; kekuasaan itu
tidak saja terdiri dari orang bersenjata, tetapi juga disertai oleh
badan seperi penjara dan berbagai rupa alat pemaksa, yang
semuanya tidak dikenal dalam suatu masyarakat kekeluargaan.”

Lenin dalam brosur “Negara dan Revolusi” (State


( State and Revolution)
Revolution)
berkata : "Dua badan yang teristimewa menjadi syarat mutlak
mesin negara ialah birokrasi dan tentara”.
“Birokrasi dan tentara adalah lintah darat yang melekat pada
badan masyarakat borjuis, lintah darat yang timbul dari
pertentangan yang membela dua masyarakat itu, tetapi lambat
laun yang menghisap semua lubang
lubang hidup masyarakat”.

Sekianlah dahulu catatan saya tentang negara itu yang saya


rasa perlu sebelum saya memulai uraian saya.

Karena berlainan cara berpikir, berlainan bahan-berpikir dan


berlainan pula semangat berpikir, maka ketiga jenis ahli pikir
tersebut di atas mendapatkan hasil pikiran yang berbeda pula
bentuk dan isinya.

Dengan cara berpikir logika, maka seorang profesor borjuis


b orjuis tidak
mengemukakan pertentangan kelas dengan kelas dalam
masyarakat yang diliputi oleh negara itu. Hegel memang guru
Marx dalam hal ilmu berpikir secara dialektik, yakni cara berpikir
yang berdasarkan pertentangan. Tetapi ia mempergunakan
dialektika itu atas pengertian-tafsiran dan teori idealisme. Marx,
Engels, dan Lenin tidak saja berpikir secara dialektik, tetapi
mereka memakai dialektika itu atas teori kebendaan, kenyataan
(materialisme).

Bahan berpikir yang diutamakan oleh ahli borjuis ialah wilayah


(territory), rakyat (people
people),
), dan kekuasaan (authority
(authority). Dalam
definisi tersebut di atas Hegel tidak mengacuhkan daerah dan
rakyat itu. Dia mengemukakan kesusilaan (mor
( moral), atau akal
(Rede
Rede)) atau paham (Idea
(Idea).
). Pun Marx, Engels, dan Lenin tidak
memasukkan wilayah ke dalam definisinya. Tetapi mereka
mengutamakan perpecahan kelas di antara rakyat itu dan
mengemukakan kekuasaan yang dipakai oleh salah satu kelas

dalam rakyat itu untuk menindas kelas yang lain dengan alat
kekuasaan negara itu.

Tentang semangat menghampiri persoalan kenegaraan pun


ketiga jenis ahli di atas tadi berlainan satu sama lainnya. Ahli
borjuis bersemangat menyebarkan dan membatasi perjuangan.
Sebaliknya Marx, Engels, dan Lenin mempertajam dan

memperluas perjuangan kelas dari lingkup nasional ke lingkup


international. Sedangkan Hegel bersemangat revolusioner
terhadap sistem negara feodal tetapi bersemangat reaksioner
terhadap gerakan proletar!

Meskipun Marx, Engels, dan Lenin tidak memasukkan wilayah


dan rakyat ke dalam definisi negara itu, walaupun ketiga pemikir
proletar ini lahir-batin adalah internationalis, tetapi hal ini tidak
berarti bahwa mereka tidak memperdulikan soal kebangsaan
(nasional-question
nasional-question).
). Jauh dari pada itu!

Semua persoalan yang berhubungan dengan kemegahan dan


kebangsaan (nasional-question
(nasional-question),
), seperti soal bentuk suatu
negara, yakni bentuk kesatuan (unitary
(unitary) atau bentuk gabungan
(federation
federation);
); soal bentuk pemerintahan; yakni bentuk kerajaan
(monarchy) atau republik; soal yang berhubungan dengan iklim,
bahasa, kebudayaan, dan sejarah semua yang mengenai
masing-masing negara tidak luput dari perhatian, penyelidikan,
dan pertimbangan Marx, Engels, Lenin, Stalin. Dalam

pemecahan persoalan kebangsaan dan kenegaraan itu, maka


sampai sekarang di antara beberapa negara raksasa, maka
Soviet Rusia banyak sekali mendapat hasil segala usahanya
(tahun 1947).

Internationalisme adalah wujud yang terakhir dan semboyan


“kaum buruh sedunia bersatulah ” adalah pekik proletar

kepada kelas sejawatnya di seluruh dunia untuk melaksanakan


internasionalisme itu. Internasionalisme bukanlah berarti
menyuruh kaum buruh di dunia berpangku tangan saja
mengharapkan datanganya internasionalisme itu sebagai
keajaiban yang jatuh dari langit. Tiap-tiap negara masih
mempunyai wilayah sendiri, rakyat sendiri dan kekuasaan
sendiri sebagai hasil perjuangan kelas lawan kelas dalam negara
ne gara
itu dengan negara lain.
Tiap-tiap proletar di masing-masing negara masih harus
berjuang memperluas wilayahnya, atau harus menerobos batas
negara yang terbawa oleh sistem kapitalisme untuk berjabat
tangan dengan proletariat dunia menghancurkan kapitalisme
dunia.

Negara sosialis terbesar seperti Uni Soviet yang berdiri sejak


Perang Dunia I (1914-1918) bersama dengan beberapa negara
sosialis lain di sekitarnya, Polandia, Ceko-Slowakia, Hongaria,
Rumania, Bulgaria, Yugoslavia dan lainnya yang berdiri sejak
akhir Perang Dunia II (1935-1945). Uni Soviet dan sekitarnya

itu sekarang (tahun 1947), yakni tepat 100 tahun


semenjak Manifesto Komunis dikeluarkan (yakni tahun 1847)
masih memperjuangkan batas wilayah negaranya, dan membela
memb ela
rakyat (kewargaan) yang termasuk ke dalam negara sosialis itu.

Bukankah sekarang (Desember 1947) soal wilayah dan rakyat


yang kita anggap harus masuk ke bawah kekuasaan Republik

Indonesia, serta soal kebudayaan yang kita anggap terutama


adalah urusan bangsa Indonesia sendiri itu juga yang menjadi
persoalan yang kita rasa penting dan hangat, soal yang bisa
menggagalkan atau melanggengkan, dengan langsung atau
tidak, semua daya upaya menegakkan kemerdekaan 100 %.
2. TIMBUL TUMBANGNYA NEGARA.
Dimana dan kapan, dalam suatu masyarakat timbul dua kelas
yang bertentangan ekonominya, tak dapat didamaikan, maka
disana dan pada saat itu juga dalam masyarakat itu timbul satu
kekuasaan untuk membatasi dan menempatkan pertentangan
itu dalam suatu ketentraman umum.

Kekuasan ini, yang timbul dalam masyarakat itu sendiri, yang


semakin mengasingkan dirinya dari masyarakat dan berada di
atas masyarakat itu sendiri, oleh Marx dan Engels kekuasaan ini
dinamakan sebagai negara. Kekuasaan yang secara telanjang

bulat berupa birokrasi, tentara, pengadilan, polisi, dan penjara


pada awalnya berdiri di tengah-tengah, sebagai wasit tetapi
dalam batinnya dia adalah alat kaum berpunya untuk menindas
kaum tak berpunya. Semakin keras pemerasan kelas berpunya
atau kelas tak berpunya, maka semakin tajamlah juga
pertentangan di antara kedua kelas itu. Dengan bertambah
tajamnya pertentangan itu, maka bertambah terang pula sifat

negara itu, sebagai suatu alat penindas kaum berpunya atas


kelas tak berpunya.

Di mana dan kapan tak ada pertentangan kelas dalam


masyarakat itu kerena tak adanya pertentangan ekonomi di situ,
maka di sana dan pada saat itu masyarakat tidak memerlukan
satu kekuasan yang teristimewa dan terpisah dari masyarakat
itu, serta berdiri di atas masyarakat itu sendiri. Dengan
perkataan lain, masyarakat semacam itu tidaklah memerlukan
negara (state
(state),
), tidak memerlukan alat penindas seperti
seper ti birokrasi,
tentara, pengadilan, polisi, penjara dan algojo. Selama
pertentangan ekonomi antar kelas dan kelas manusia dalam
masyarakat itu belum ada maka selama itu pula masyarakat itu
bsia berdamai antar sesama dengan mudahnya. Semua urusan
perekonomian, sosial, dan kebudayaan di dalam masyarakat itu
dan semua urusan pembelian ke luar masyarakat diurus dengan
dasar kemerdekaan, persamaan, persaudaraan, dan
permufakatan. Paksaan dengan alat penindas oleh satu kelas
yang lain tidak diperlukan dan tidak timbul. Dalam menghadapi
semua persoalan, semua anggota masyarakat berunding atas

dasar sama rata, untuk mendapatkan putusan yang dimufakati


bersama dan akhirnya untuk bertindak bersama. Keadaan
masyarakat yang semacam itu rupanya yang oleh Engels di
namai “Masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri” (Self
( Self
acting armed organisation of the population).
population). Masyarakat yang
begini adalah masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri, ia
terdapat pada masyarakat yang berdasarkan Komunisme asli

(Oer-kominisme
Oer-kominisme).
).

Banyak sekali pelajaran yang kita peroleh dari buku kecil


karangan Engels tersebut diatas. Semakin dalam kita kaji
pendapat Engels tentang masyarakat dahulu kala di Amerika
(Masyarakat Indian) yang diterima oleh Engels sebagai hasil
penelitian seorang pengarang Amerika, bernama Lewis H.
Mergand dalam buku Ancient Society, semakin mengerti pula
kita akan seluk beluk masyarakat kita sendiri.
Saya sendiri, ketika membaca buku Engels itu, acap kali merasa
ada beberapa persamaan di antara masyarakat Amerika asli
(Indian) dengan masyarakat beberapa daerah di Indonesia.
Sebagai contoh, rasanya tidak banyak bedanya keadaan
masyarakat Minangkabau lampau, di waktu luhurnya, dengan
keadaan “Masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri itu”!
Dasar seia-sekata menurut pepatah Minangkabau bukanlah satu
perhiasan kata saja. Seia-sekata itu adalah dasar yang dipegang
teguh dalam suatu rapat umum. Rapat umum ini pun adalah
satu kata yang kosong isinya. Laki-perempuan, tua dan muda

boleh hadir dan berhak penuh untuk berbicara


berb icara dalam suatu rapat
umum, yang acapkali disebut : “bersuluh bulan dan matahari,
bergelangkan mata orang banyak”, artinya berterang-terangan.
berterang -terangan.
Ada pun permusyawaratan itu adalah wajib dilakukan untuk
mendapatakan sia-sekata atau kebulatan pikiran. Kata pepatah :
bulat air dek (oleh) pembuluh, bulat kata dek mufakat . Azasnya
suatu permusyawaratan itu ialah kemerdekaan berbicara bagi

tiap-tiap orang laki, perempuan, tua dan muda. Suatu


permusyawaratan harus jauh dari kekerasan dan paksaan. Yang
menjadi dasar perundingan itu adalah alur (penjelasan yang
logis menurut adat dan undang-undang) dan yang ditujukan
kepada yang patut (adil).

Bunyi pepatah: "mufakat


"mufakat beraja kepada alur dan patut”. Setelah
seia dan sekata atau kebulatan kata itu diperoleh dengan cara
permusyawaratan yang bebas dari segala macam kekerasan dan
paksaan, maka barulah masyarakat itu boleh bertindak bersama,
cocok dengan dasarnya "Masyarakat bersenjata yang bertindak
sendiri" ke dalam dan ke luar.

Satu misal saja! Perkara bunuh-membunuh harus diperiksa di


depan umum, dimana si tertuduh dan si penuduh di depan para
hakim dan khalayak, berhak membela perkaranya sepuas-
puasnya. Mereka diperbolehkan memajukan keterangan dan
saksi selengkap-lengkapnya. Kalau perlu mereka boleh memakai
pertolongan seorang cerdik-pandai sebagai pembela. Suatu
hukum atas pelanggaran sepanjang adat, harus terlebih dahulu

disetujui oleh kedua belah pihak sebelum hukuman itu


dijalankan.

Kata mufakat pula menetapkan beratnya pihak yang bersalah


membayar denda (bangun!), yakni hukuman yang seberat-
beratnya menurut sistem Datuk Perpatih, walaupun dalam
perkara bunuh membunuh. Dalam hal ini, oleh permufakatan,

pihak yang bersalah diwajibkan memotong sekian banyak


kerbau, untuk satu selamatan, dimana kedua belah pihak yang
disaksikan oleh pihak ketiga, bermaaf-maafan (Acapkali terjadi
pembunuhan, sesudah bermaaf-maafan itu lari ke negeri asing,
membuang diri sendiri atau bahkan bunuh diri, karena malu).
Demikian pula dalam hal menentukan sikap berdamai atau
berperang, kebulatan kata diperoleh dengan jalan permufakatan.
Barulah seluruhnya daerah dan seluruhnya masyarakat
Minangkabau bertindak, cocok dengan dasar “Rakyat bersenjata
bertindak sendiri”.

Pepatah : Tegak (tinggal) di kampung pagar kampung, tinggal


di alam (Minangkabau) pagar (nya) alam. Dan : Melompatlah
sama pata, menuruk (sembunyi) sama hilang.

Keadaan di atas terdapat di Minangkabau ketika perekonomian


masih belum atau sedikit sekali dipengaruhi uang. Harta benda,
sebagian besar masih berada di tangan suku (keluarga). Harta

pusaka, seperti sawah dan rumah sekali-kali tidak boleh dijual


ataupun digadaikan, kalau dalam permusyawaratan keluarga
ternyata bahwa ada seorang saja anggota, laki atau perempuan
(biasanya perempuan) yang tidak setuju. Kemakmuran masih
merata di antara semua suku. Pekerjaan penting seperti
bersawah dan mendirikan rumah adat, apalagi balai masih
berdasarkan pertobohan atau tolong-menolong.

Sambil lalu saja saya hendak mengemukakan di sini bahwa


menurut bukti yang saya peroleh, maka masyarakat Arab, di
masa Nabi Muhammad dan tiga khalifah berikutnya, yakni Abu
Bakar, Umar dan Usman, juga berada dalam tingkat dasar
“Masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri”. Setelah kaum
Muslimin menaklukkan beberapa negara yang kaya raya seperti
Syiria, dan lain-lain, maka barulah masyarakat Muslimin
terbelah dua, yang berpunya dan tak berpunya. Pertentangan
antara yang berpunya dengan yang tak berpunya kian hari kian
tajam dan tak dapat didamaikan. Seiring dengan berlanjut dan
kian tajam pertentangan itu, maka kian terpusatlah kekuasaan
pada khalifah dan keluarga serta pembantunya. “Masyarakat
Bersenjata yang bertindak sendiri” yang berdasarkan
permusyawaratan di masa Nabi dan tiga khalifah yang mengikuti,
lama kelamaan beralih menjadi satu negara, satu kerajaan
(monarchy). Negara (kerajaan) Islam itu sering mengenal
kemakmuran-umum dan keadilan, seperti kerajaan Spanyol
Islam di bawah pemerintahan Abdur-Rahman; kerajaan
Baghdad dibawah Khalifah Harun al-Rasyid dan kerajaan

Hindustan Islam dibawah Sultan Akbar. Tetapi sering pula


negara (kerajaan) Islam menderita kemelaratan dan kedzaliman,
saat khalifah, tentara, polisi, hakim dan algojo bertindak
sewenang-wenang.

Syahdan Benua Eropa sampai sekarang sudah mengenal lima


tingkat kemajuan masyarakat: 1)Masyarat komunisme asli; 2)

Masyarakat budak (slave); 3) Masyarakat feodal (budak, serf);


4) Masyarakat kapitalis; 5) Masyarakat sosialis (Rusia,
(Ru sia, Polandia,
Cheko-Slowakia, Hongaria, Rumania, Yugo-Slavia dan Bulgaria!).

Pada tingkat pertama (masyarakat komunisme-asli) maka state


state,,
negara sebagai alat penindas satu kelas atas kelas lain belum
dikenal. Setelah masyarakat di sana pecah menjadi kelas
berpunya dan kelas budak (tingkat 2) seperti Yunani-Kuno dan
Romawi, maka barulah diperlukan negara, sebagai alat kaum
berpunya untuk menindas budak, yang boleh dijual-ber
dijual-berlikan
likan dan
dibunuh.

Konon kabarnya kurang lebih 25.000 antara keluarga yang


berpunya, yang berdemokrasi, “berdiri sama tinggi, duduk sama
rendah” memeras dan menindas kurang lebih
lebih 500.000
(setengah juta) kaum Budak. Semakin keras pemerasan,
semakin kejamlah pula penindasan; jadi semakin kejam pula
tindakan alat-alat negara itu, yakni militer, polisi, penjara, dan
algojo.

Pada tingkat ke-3 (masyarakat feodal), maka negara serta alat


penindasanya dipegang oleh keluarga raja dan ningrat untuk
memeras dan menindas kaum budak (serf
( serf) yang terikat kepada
tanahnya yang boleh dijual belikan tetapi tidak boleh dibunuh
semau-maunya oleh yang punya.

Pada tingkat ke-4 (masyarakat kapitalis), maka negara serta

alat penindasnya dipegang oleh kaum kapitalis dan tuan tanah


untuk memeras proletariat melalui mesin dan tanah. Di samping
birokrasi, militer, polisi, mahkamah, penjara dan algojo maka
kaum borjuis mempunyai pula alat batin untuk menindas mental
kaum proletariat, yakni surat kabar, gambar hidup, sekolah dan
gereja.

Akhirnya pada tingkat ke-5 (masyarakat sosialis) negara itu


sebagai alat penindas belum juga hilang. Negara pada tingkat
ini berupa diktator proletariat, yakni kaum proletariat, sebagai
kelas yang berkuasa. Ditaktor proletariat mendiktekan
kemauannya atas masyarakat baru (sosialis): Membangun dasar
untuk tumbuhnya komunisme; menindas sisa kapitalisme dan
feodalisme di dalam negara, serta mempertahankan negara
proletar itu dari serangan kapitalisme-imperialisme luar.

3. TUMBANG TIMBULNYA NEGARA.


Suatu negara bisa tumbuh untuk jangka yang lama, yakni
selama kaum yang berpunya dan berkuasa masih sanggup
mengadakan kemajuan (teknik-sosial, politik, dan budaya).

Negara yang lama tumbang dan negara yang baru timbul kalau
yang lama itu tak sanggup lagi memberi kemajuan, dan kelas
baru dalam masyarkat, yakni yang selama ini tertindas, sanggup
berorganisasi, berjuang dan menggantikan yang lama, serta
mengadakan kemajuan dalam semua lapangan masyarakat.

Demikianlah di benua Eropa, negara budak bertukar menjadi

negara feodal seterusnya negara feodal di Perancis bertukar


menjadi negara kapitalis (Revolusi Borjuis tahun 1789) dan
negara feodalis-kapitalis di Rusia bertukar menjadi negara
sosialis (Revolusi Proletar 1917).

Pertukaran bentuk demi bentuk negara didahului dan didorong


oleh perubahan ekonomi, yakni perubahan produksi
(penghasilan), distribusi (pembagian hasil), pertukaran barang
dan pengangkutan serta keuangan, sedikit demi sedikit, dari
tahun ke tahun, berubah sampai satu ketika berubah bilangan
(quantity) berubah menjadi peralihan sifat (quality
( quality), sesuai
dengan hukum dialektika.

Perubahan peraturan ekonomi dalam masyarakat komunisme


asli, sedikti demi sedikit berganti menjadi peralihan besar dan
cepat, melompat atau meletus menjadi perekonomian feodal.
Selanjutnya sepanjang hukum dialektika itu juga perekonomian
sosialis di antara lebih dari pada tiga ratus juta (300.000.000)
manusia yang mendiami Uni Soviet dan beberapa negara
sekitarnya (belum termasuk Tiongkok dan Korea).

Perubahan dan peralihan ekonomi dari sistem ekonomi komunis


asli menjadi perekonmian budak itu mendorong perubahan
masyarakat komunis asli menjadi negara budak. Seterusnya
perubahan dan perubahan ekonomi yang terjadi berturut-turut
dari perekonomian budak ke perekonomian feodal, dari
perekonomian-feodal ke perekonomian kapitalis, dan dari

perekonomian kapitalis ke perekonomian sosialis mendorong


pula kepada perubahan bentuk negara budak berturut-turut
kepada bentuk negara feodal, negara kapitalis, dan negara
sosialis (ditaktor proletariat).

Ringkasnya gerakan bentuk negara, dari sesuatu bentuk ke


bentuk lainnya, didorong oleh gerakan perekonomian yang
sesuai.
Apa pula yang menjadi kodrat pendorong (moving
( moving forces)-nya
forces)-nya
perekonomian itu? Marx dan Engels menjelaskan semua bukti
yang dikemukakan
dikemukakan oleh para ahli sejarah di masa mereka hidup,
bahwa perekonomian (produksi, distribusi dan lainnya) itu
digerakkan oleh kekuatan produksi (forces
(forces of production),
production), yakni
oleh tenaga (manusia), alat, dan mesin. Dengan perubahan dan
beralihnya kekuatan produksi ini, maka berubah-beralih pula
perekonomian itu.

Entah di abad ke berapa dan di tahun berapa pula, maka


manusia itu pada tingkat masyarakatnya yang pertama sekali

cuma mengenal batu sebagai alat. Kemudian mereka


mendapatkan panah. Dengan tenaga (manusia), batu dan panah,
maka mereka mencari hasil buat hidup serta membela diri
terhadap musuh yang berupa manusia biadab dan binatang buas.
Makanan yang utama adalah buah-buahan dan binatang liar.
Pekerjaan seperti itu cuma dapat dijalankan bersama-sama atas
dasar tolong-menolong dan gotong royong. Orang tak bisa hidup

dan bertindak sendiri-sendiri di zaman manusia dan hewan


serba liar serta ganas itu.

Kerja bersama untuk mencari makan dan membela diri itu


dengan sendirinya mendorong kepada pemilikan bersama atas
alat dan senjata (kecuali dalam satu dua hal!). Pemilikan
bersama berlaku pula atas hasil produksi atau hasil kerja
bersama itu. Di sini dan di zaman ini tak ada pemerasan manusia
atas manusia atau satu kelas atas kelas lainnya. Semua anggota
masyarakat bersama-sama memiliki alat dan hasil produksi. Tak
ada yang tak berpunya. Tak ada pula pertentangan antara kelas
yang berpunya dengan kelas yang tak berpunya. Jadi
masyarakat semacam itu tak memerlukan negara sebagai alat
penindas yang istimewa, “yang menempatkan dirinya dalam
masyarakat itu”. Masyarakat semacam ini adalah masyarakat
komunis asli.

Pada tingkat ke-2, masyarakat budak, alat (produksi) itu bukan


lagi batu melainkan logam, yakni tembaga, besi dan baja. Kaum
yang berpunya memiliki tenaga (manusia) dan alat untuk

produksi. Budak dan tenaganya boleh dijual-belikan dan boleh


pula dibunuh. Masyarakat manusia bukan lagi masyarakat
pemburu yang belum mengenal pertanian seperti pada zaman
batu. Masyarakat di zaman logam sudah mengenal peternakan,
pertanian (meskipun masih dalam keadaan sederhana) dan
sudah mengenal pertukaran barang. Pada masa ini juga sudah
timbul pembagian pekerjaan (division
(division of labour) antara

golongan peternak, petani, dan tukang. Seorang anggota


masyarakat di zaman itu tidak lagi seperti sebelumnya, misalnya
pagi berburu, petang mengembala, sore bertani dan malam
bertukang atau bertenun, sehingga tak ada satu pekerjaan yang
mahir dikerjakannya. Manusia dalam masyarakat itu sudah
terpisah-pisah dalam golongan menggembala, pemburu, petani,
dan tukang, masing-masing golongan melakukan pekerjaan
sendiri-sendiri. Dengan begitu, kepandaian dan keahlian kerja
kian bertambah. Hasil pun terus bertambah. Dalam keadaan
demikian, lahirlah pertukaran barang antara orang dan orang,
antara golongan dengan golongan dalam masyarakat itu sendiri
kemudian antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Yang membutuhkan pakaian, tetapi mempunyai makanan
berlebih menukarkan makanannya (misalnya: gandum) dengan
yang mempunyai pakaian berlebih tetapi membutuhkan
makanan.

Pada masa ini mulailah timbul kaum saudagar dan timbul pula
kemungkinan bahwa semua kodrat penghasil, yakni kaum budak
serta alat, jatuh terkumpul di tangan beberapa orang yang

berpunya.

Kerja bersama atas dasar kemerdekaan dan kekeluargaan hilang


lenyap. Timbullah kerja-paksa oleh kelas orang berpunya atas
kelas budak yang kebanyakan adalah tawanan perang atau
keturunan tawanan itu atau orang yang berhutang tetapi tidak
sanggup lagi melunasi. Milik bersama atas alat dan hasil seperti

pada zaman komunis asli beralih menjadi milik perseorangan


(private ownership
ownership)) atas alat, tenaga, dan hasil. Kelas yang kecil,
yakni kelas yang berpunya, memeras dan menindas kelas yang
besar tetapi tidak memiliki apa-apa. Pertentangan yang sering
beralih menjadi perjuangan semakin menghebat dengan
bertambah tajamnya pertentangan dalam memenuhi kebutuhan
hidup.
Disinilah timbul alat penindas yang istimewa “yang
menempatkan dirinya diatas masyarakat dan makin lama makin
mengasingkan dirinya dari masyarakat itu”. Timbul dan tumbuh
tentara dan polisi, yakni “alat utama untuk mempertahankan
kekuasaan negara.” Beralih masyarakat komunis asli, dari “satu
masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri” menjadi negara
budak, dengan serdadu, reserse, polisi, jaksa, penjara, dan
algojonya.

Pada tingkat ke-3, masyarakat feodal, maka pemakaian besi


bertambah baik. Bajak besi dan jentera buat menenun

berkembang. Peternakan, pertanian, dan pengusaha susu buat


membikin keju dan mentega (dairying
( dairying)) sedang maju. Mulai
timbul manufacturies (parik atas dasar kerja tangan) disamping
pertukangan. Keluarga raja dan ningrat memiliki alat produksi
(tanah dan perkakas). Budak yang di zaman Yunani boleh
dibunuh dan diperjualbelikan, tidak boleh lagi dibunuh, tetapi
masih boleh diperjualbelikan. Budak-slave
Budak-slave bertukar menjadi

budak-serf ((lijfeigene
budak-serf lijfeigene).
). Produksi di zaman feodal menghendaki
sedikit perhatian serta initiatif dalam pekerjaannya. Budak-
slave sama sekali tidak mempunyai kedua sifat itu karena
memang badan dan jiwanya sendiri bukan milik mereka, apa lagi
alat dan hasil. Budak-serf
Budak-serfdiizinkan sedikit mempunyai tanah
(husbandry) dan perkakas (implements
(implements)) untuk digarap. Dengan
demikian mereka sanggup membayarkan sebagian hasilnya
kepada ningrat dan sanggup memegang sisa pajak itu buat
hidupnya sendiri beserta keluarganya. Sebab itu pula maka
mereka sekedarnya menaruh perhatian terhadap dan
menunjukkan initiatif dalam pekerjaannya. Disamping milik
feodal ada juga milik perseorangan oleh petani dan tukang alat
beserta hasilnya yang berdasarkan kerja perseorangan. Milik
perseorangan itu bertambah maju dalam zaman feodal ini.
Umumnya pemerasan di zaman budak-serf
budak-serf hampir tidak beda
dengan zaman budak-slave
budak-slave.. Demikian juga pertentangan dan
perjuangan antara kelas ningrat dengan kelas budak-serf
bersama-sama dengan pertentangan serta perjuangan
antara baas
baasdengan
dengan knecht (majikan dan pembantu) pada suatu
usaha manufaktur tidak pula berkurang dibandingkan di zaman

budak-slave
budak-slave.. Di zaman feodal ini negara dengan
perlengkapannya seperti serdadu, polisi, jaksa, penjara, dan
algojo disertai gereja sebagai penekan mental, jelas sekali sifat
dan coraknya sabagai alat penindasnya satu kelas atas kelas
yang lain.

Tingkat ke 4 adalah zaman kapitalisme yang sudah lebih kita

kenal. Perkakas digerakkan dengan tangan di masa manufaktur


dahulu, sekarang digerakkan dengan uap dan listrik. Godam
yang beratnya ½ kg di zaman manufaktur yang sukar buat
diayunkan oleh seorang pekerja, maka 500.0000 kg dengan
mudah bisa diayunkan oleh kekuatan listrik. Sedangkan satu
pabrik dizaman manufaktur cuma bisa memusatkan 1000 orang
kaum pekerja, maka pabrik mesin sekarang sanggup
pemusatkan 30.000 pekerja dalam satu pabrik
p abrik dan ratusan ribu
dalam satu perusahaan (tambang dan kereta). Menjalankan dan
mengawasi satu mesin memerlukan latihan dan kepintaran.
Budak-slave
Budak-slave ataupun serf yang bodoh itu tak dapat lagi dipakai
oleh kapitalisme zaman sekarang.

Proletar mesin harus disekolahkan lebih dahulu. Di sinilah


awalnya undang-undang demokratis (compulsory
(compulsory education).
education).
Seandainya saja tiap-tiap warga negara mempunyai sebidang
tanah atau satu pertukangan, maka tak akan bisa atau susah
sekali buat seorang kapitalis mendapatkan buruh buat
dipekerjakan. Namun hal itu tidak terjadi.

Pada zaman kapitalis ini suatu perusahaan besar menindas dan


melenyapkan perusahaan kecil. Karena penindasan dan
pelenyapan itu, tidak setiap warga memiliki hak milik sendiri.
Dalam satu persaingan ekonomi yang tajam kejam itu, maka
pabrik melenyapkan kebanyakan perusahaan tangan yang kecil,
perkebunan besar melenyapkan atau mendesak sawah dan
ladang. Sebagian besar penduduk menjadi melarat atau menjadi

proletar (tak berpunya) karena didesak oleh perusahaan besar


itu, mereka, proletar, terpaksa menjual tenaganya kepada
kapitalis. Mereka “merdeka” karena “dimerdekakan” oleh
revolusi borjuis dari tanahnya ningrat dan kaum tukang yang
kecil “dimerdekakan” dari alatnya karena disaingi dan
dilenyapkan oleh mesin pabriknya kaum kapitalis. Mereka
“merdeka” juga menjual tenaganya kepada kapitalis. Tetapi
karena mereka terikat oleh bahaya kelaparan, maka mereka
terpaksa menjual tenaganya kepada kapitalis itu dengan harga
semurah-murahnya, lantaran persaingan yang tajam antara
seorang proletar dengan proletar lainnya. Dengan terpukulnya
perusahaan kecil oleh perusahaan besar, maka harta benda
dalam negara terpusat pada yang berpunya. Yang miskin
bertambah miskin di samping yang kaya bertambah kaya. Yang
miskin bertambah besar jumlahnya dan yang kaya bertambah
kecil jumlahnya.

Syahdan di dunia kapitalis modern tulen seperti Amerika, dua


lusin orang memiliki hampir semua mata pencarian hidup,
seperti pabrik, kebun, tambang, kereta, kapal, bank dan

sebagainya. Dengan begitu, hasil produksi jatuh ke tangan yang


memiliki faktor produksi juga. Sebagian besar rakyat tak
mempunyai apa-apa, tetapi merekalah yang memproduksi
dengan cara kerja bersama. Pertentangan selusin dua lusin
orang yang tidak bekerja tetapi memiliki alat dan hasil produksi
dengan sebagian besar rakyat yang bekerja
bekerj a membantung tulang
tetapi tidak memiliki alat produksi dan hasil produksi.

Pertentangan ini sangat berbahaya di masa krisis ekonomi. Di


masa inilah negara kapitalis beserta birokrasi, militer, polisi,
kejaksaan, penjara, algojo, pendeta, dan profesornya bertindak
mencegah pecahnya pemogokan atau revolusi proletar. Di masa
krisis inilah negara borjuis bertelanjang bulat mempertontonkan
mem pertontonkan
dirinya sebagai alat penindas kaum borjuis atas kaum proletar
dan melemparkan topengnya sebagai “wasit” yang berdiri di
tengah-tengah, yang adil tidak memihak ke sana atau ke sini.
Revolusi proletar yang melenyapkan pertentangan dalam dunia
kapitalisme dan membawa masyarakat ke tingkat ke-5 yakni ke
tingkat sosialisme, gagal di Perancis pada tahun 1871 dan jaya
di Rusia pada tahun 1917. Di Rusia tak ada lagi pertentangan
antara hak milik pribadi dan hak milik bersama atas alat dan
hasil produksi penting. Di negeri ini rakyatnya hidup dengan cara
kerja yang berdasarkan kolektivitas (sosial) sejak Perang Dunia
Pertama. Di sana sekitar 150 juta manusia pada masa Perang
Dunia I dan lebih dari 300 juta manusia sejak Perang Dunia II,
dijauhkan dari pertentangan antara kelas yang berpunya dengan
deng an
kelas yang tak berpunya. Alat produksi penting dan hasilnya

dimiliki secara bersama-sama juga dibagi-bagi (masih) menurut


aturan :”Siapa yang tidak bekerja tidak akan dapat makan”.
Dengan adanya revolusi di Rusia, timbullah kekuasaan baru,
negara baru, yakni diktator proletariat, yakni kaum proletar
sebagai kelas yang menumbangkan negara feodal kapitalis.
Tumbuhlah Soviet, tentara, polisi, mahkamah dan penjara
proletar buat menumbangkan dan menjaga tetap lenyapnya

birokrasi, tentara, polisi dan penjara Tsar, kapitalis Rusia serta


semua bantuan-bantuan konco-konco kaum kapitalis dan
imperialis di luar Rusia.
4. TESIS, ANTI TESIS DAN SINTESIS.
Dalam garis besarnya sudah hampir nyata berlaku hukum-
dialektika yang berupa tesis, anti tesis dan sintesis dalam
perjalanan ribuan tahun kemajuan masyarakat di dunia.
Sebagai tesis maka masyarakat itu berada atas dasar kerja
bersama dan milik bersama atas alat dan hasil. Keadaan
semacam ini didapati hampir di seluruh dunia pada zaman
komunis asli.

Sebagai anti tesis maka masyarakat komunisme asli terpecah


dua dan menimbulkan pertentangan antara dasar milik bersama

terhadap milik perorangan, antara kelas tak berpunya tetapi


bekerja melawan kelas berpunya tetapi tidak bekerja. Keadaan
begini terdapat di tiga tingkat masyarakat Eropa, yaitu 1)
Tingkat masyarakat Budak-Slave
Budak-Slave 2). Masyarakat Feodal; dan 3)
Masyarakat Kapitalisme.

Sebagai sintesis, maka masyarakat manusia di seluruh dunia

sekarang sedang menuju kepada masyarakat komunis modern.


Disini pertentangan di dalam masyarakat kapitalis, yakni
pertentangan antara kerja bersama oleh yang tak berpunya
melawan milik perseorangan oleh yang berpunya tetapi tidak
bekerja akan hilang lenyap. Kita sedang menuju kepada
masyarakat komunis modern yang (seperti masyarakat
sosialisme) berdasarkan atas kerja bersama dan milik bersama
atas alat dan hasil produksi.
Dipandang dari sudut pemerintahan, sejajar dengan cara
produksi dan cara memiliki hasil itu tadi, pada zaman komunis
asli “rakyat bersenjata itu bertindak sendiri” (untuk menentang
musuhnya). Pada zaman berkelas, kelas dalam masyarakat
memaksakan kemauannya atas kelas yang lain dalam
masyarakat itu sendiri. Akhirnya kelak – pada zaman
komunisme modern – seluruh manusia akan menjadi pekerja
masyarakat yang merundingkan semua persoalan masyarakat,
melaksanakan keputusan bersama, dan dengan sendirinya
bertindak untuk menjaga kelancaran jalannya semua urusan
masyarakat (pada awal komunisme masih perlu bertindak

dengan keras).

Pada tingkat komunisme yang terakhir (fase yang tertinggi)


negara (state
(state),
), sebagai alat penindas bagi satu kelas atas kelas
lainnya, hilang lenyap (withering
(withering away) karena tak ada lagi
pertentangan dalam masyarakat. Tak ada lagi kelas yang akan
ditindas. Perilaku memerintah sudah beralih menjadi perilaku

mengatur dan mengawasi pekerjaan masyarakat, oleh, dari, dan


untuk masyarakat itu sendiri atas dasar kemerdekaan
persamaan dan persaudaraan yang sesungguhnya. Di masa ini
semua kebiasaan yang diperlukan oleh fase komunisme yang
tertinggi sudah ditanam dan tumbuh dalam fase komunisme
yang pertama, yakni fase sosialisme yang didiktatori oleh kaum
pekerja.
Proses (yang berupa ½ komunis asli) peralihan dari masyarakat
berkelas ke komunisme modern itu bukanlah siklus dalam suatu
lingkungan yang tertutup (circle
(circle),
), melainkan satu siklus dalam
lingkungan yang terbuka dan terus naik (spiral). Komunisme
modern sebagai puncak proses (sintesis) yang mungkin sekali
akan mengalami gerakan dialektika pula (dalam badannya
sendiri!) akan mempunyai sifat yang lebih banyak dan lebih baik
daripada segala sifat yang terdapat pada komunisme asli (pada
tesis!).

Kerja bersama pada komunisme modern adalah kerja bersama

yang lebih rasional (teratur) dengan alat (mesin, listrik, dan


energi kimia) yang semuanya jauh lebih maju daripada
darip ada alat dari
batu dan tenaga manusia di zaman komunisme asli. Milik
bersama atas hasil produksi adalah milik bersama atas hasil
yang berjuta-juta kali lipat ganda banyak sifat serta nilainya
daripada hasil yang diperoleh dengan tangan dan alat dari batu
di zaman komunisme asli. Hubungan antara manusia dengan

manusia di zaman komunisme modern adalah hubungan yang


tidak memandang kulit, darah, dan keluarga (suku) lagi seperti
pada zaman komunisme asli, melainkan hubungan yang luas
berdasarkan prikemanusiaan yang sejati.

Ringkasnya masyarakat baru itu akan mempunyai pengetahuan,


pengalaman, dan perbendaharaan yang diperoleh seluruh
manusia dari berbagai bentuk dan warna selama sejarah seluruh
manusia dalam puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun.
Syahdan seperti dibayangkan di atas, maka zaman diktator
proletariat itu bukanlah zaman komunisme modern. Bolehlah
diktator proletariat itu dikatakan sebagai zaman peralihan yang
menyambungkan dunia kapitalisme dengan komunisme modern.
Pada permulaan zaman peralihan itu, masyarakat yang
didiktatori oleh kaum proletar itu meninggalkan masyarakat
kapitalisme dan menginjak masyarakat komunisme modern.
Pada akhir zaman peralihan itulah terletak masyarakat
komunisme modern, masyarakat pada tingkat tertinggi.

Adapun diktator proletariat itu masih mengandung sifat


kenegaraan, yakni alat penindas yang diadakan oleh kaum
proletar untuk kaum proletar itu sendiri sebagai alat untuk
menumbangkan alat penindas milik kaum borjuis. Tetapi
pemerintah proletar, yang bersifat memaksa terhadap bekas
borjuis itu sedang menanam semua bibit yang akan tumbuh
menjadi pohon komunisme. Setelah semua alat produksi yang

penting dijadikan milik masyarakat pekerja, maka semua sistem


perekonomian, sosial, dan kebudayaan didasarkan atas maksud
menanam semua kebiasaan yang diperlukan oleh masyarakat
komunis, masyarakat fase tertinggi. Semua pekerjaan dilakukan
menurut rencana, yang ditentukan oleh kaum pekerja sendiri,
dijalankan dan diawasi jalannya oleh kaum pekerja untuk
seluruh masyarakat pekerja.
Tetapi pada zaman peralihan, yakni zaman sosialisme atau
zaman diktator proletariat itu distribusi (pembagian
(pe mbagian hasil) masih
dijalankan menurut hukum borjuis, yaitu pertama: siapa yang
tidak bekerja tidak akan makan, dan kedua “Seorang
mengeluarkan tenaga yang sama untuk mendapatkan hasil yang
sama.”

Kedua hukum tersebut masih bersifat borjuis,


b orjuis, sebab seperti juga
diakui oleh Marx, orang memang tidak sama satu dengan
lainnya. Yang satu kuat dan yang lain lemah, yang satu kawin
dan yang lain tidak, yang satu beranak banyak yang lain tidak

beranak. Oleh sebab itu, tidak adil sama sekali kalau yang lemah
diharuskan mengeluarkan tenaga yang sama banyak dengan
yang kuat. Begitu juga sebaliknya, yang kuat menghasilkan
lebih banyak dari pada yang lemah (dalam tempo yang sama)
menerima upah yang sama dengan yang lemah itu; atau yang
beranak-istri harus mendapat sama banyak dengan yang tidak;
atau yang beranak banyak mendapat sama pula dengan yang

tidak beranak. Persamaan macam itu adalah persamaan untuk


semua orang yang tidak sama satu dengan lainnya atau
persamaan yang palsu.

Tetapi Marx, Engels, Lenin, dan Soviet Rusia merasa terpaksa


mempergunakan dasar tersebut sebagai titik melangkah ke
dunia komunisme. Manusia yang baru keluar dari dunia
kapitalisme itu haruslah mempunyai suatu pegangan buat
melangkah. Masyarakat baru itu terpaksa terkait dengan
masyarakat lama, seperti seorang bayi lahir masih
disambungkan oleh ari-ari dengan ibunya. Kelak, setelah kelas
dan ideologi borjuis lenyap dan kebiasaan serta kemauan
bekerja sudah merata di seluruh masyarakat, di samping
produksi yang dijalankan menurut rencana dan pemakaian
teknik dan ilmu, maka hasil masyarakat itu akan berlipat ganda.
Dengan produksi yang melimpah-limpah itu, maka dengan
sendirinya berlaku dasar komunisme yakni : "Seorang bekerja
menurut kecakapannya dan menerima hasil menurut
kebutuhannya”.

Sebanding dengan majunya kebiasaan bekerja dan naiknya


produksi maka lenyaplah kelas dan ideologi borjuis. Akhirnya,
akan lenyap pulalah diktator proletariat tadi (withering
(withering away)
sebagai alat penindas kaum pekerja terhadap kaum borjuis.
Bersama dengan lenyapnya diktator proletariat, timbullah
komunisme, fase tertinggi. Zaman yang di sebut belakangan itu
tidak lagi mengenal negara besarta alat penindasnya, melainkan

merupakan satu masyarakat yang makmur, rasional, adil, serta


penuh perikemanusiaan.

Kaum anarko-sindikalis (bukan yang berlagak-lagak anarkis!)


yang seharusnya cukup kita hormati, tidaklah memikirkan
apakah yang selanjutnya akan terjadi, kalau negara borjuis
sudah diruntuhkan. Mereka seakan-akan percaya bahwa apabila
semua orang yang memegang kekuasaan itu (raja, menteri,
jendral dan lainnya) dibunuh saja di mana pun dijumpai, maka
keadaan seperti dalam komunisme – fase tertinggi – akan
tumbuh dengan sendirinya. Mereka melupakan bahwa semua
sifat borjuis dari kelas borjuis yang juga meresap ke dalam kelas
proletar itu tidak akan lenyap begitu saja dengan terbunuhnya
semua orang yang memegang kekuasaan negara.

Kaum sosialis berkeyakinan bahwa kekuasaan kaum borjuis


akan bisa direbut dengan merebut kursi dalam parlemen saja.
Dengan jalan membuat undang-undang oleh para wakilnya
kaum terbesar dalam parlemen, yakni para wakilnya kaum
pekerja, maka mereka percaya bahwa alat produksi bisa
dijadikan milik bersama oleh negara. Mereka
M ereka lupa bahwa negara
itu ialah “suatu negara”, sebagai alat
alat penindas yang kaya atas
yang miskin. Mereka lupa bahwa dalam badan pemerintahan,
seperti dalam tentara, polisi, kehakiman, administrasi dan
sebagainya, kaum intelek borjuislah yang menjadi pemimpin.
Mereka ini dapat melakukan sabotase terhadap undang-undang
yang menguntungkan kaum proletar dan merugikan kaum

borjuis yang sudah diterima oleh parlemen, yang setelah itu


harus dijalankan oleh berbagai alat negara. Dalam prakteknya
sabotase itu selalu dilakukan oleh negara. Pengalaman kaum
sosialis di Jerman yang memegang kekuasaan sesudah Perang
Dunia I (pemerintah Ebort, Noske, dan Sheidemann)
Sheide mann) serta 3 kali
masa pemerintahan sosialis di Inggris membuktikan bahwa
kaum buruh tidak dibolehkan dengan bulat begitu saja mewarisi
alat pemerintahan negara borjuis. Baik pemerintahan sosialis
Jerman maupun pemerintah sosialis Inggris tidak berdaya
menjalankan undang-undang sosialis yang bisa memotong akar-
akar kapitalisme yang terpenting.

Mengambil pelajaran dari Revolusi Proletar di Perancis yang


didirikan Comune Kota Paris (pemerintah
(pemer intah kota Paris) pada tahun
1870, Marx dalam bukunya “Peperangan Saudara di Perancis”
menyatakan bahwa kaum proletar tak boleh begitu saja
mewarisi bulat-bulat negara (state
(state)) kaum borjuis, melainkan
harus menghancurkan alat perlengkapan negara (birokrasi,
tentara, polisi, mahkamah, dan lainnya) dan menukar alat
negara itu dengan alat negara kaum proletar. Dari sinilah
asalnya pengertian diktator proletariat yang oleh kaum
Bolshewyk di Rusia di bawah pimpinan Lenin dilaksanakan dan
oleh pihak internasional kedua dibawah pimpinan Karl Kautzky
selalu dilupakan atau pura-pura dilupakan.

Lenin dalam State and Revolution, halaman 30-31 sepakat


dengan Marx yang berpendapat bahwa pada tahun 1871 – ketika

Inggris masih “sebagai contoh satu negara kapitalis


kapi talis tulen, tetapi
tidak mempunyai unsur militerisme dan juga hampir tidak
mengenal birokrasi” – adalah masa revolusi. Malah satu revolusi
rakyat bisa dimengerti dan boleh jadi berlaku tanpa memerlukan
satu jaminan, yakni lebih dahulu alat negara yang sudah siap itu
harus dihancurkan. Tetapi, menurut Lenin, pada tahun 1917
dalam masa perang besar imperialis, paham Marx tadi tidak
tepat lagi. Inggris dan Amerika sebagai buah kemerdekaan
(liberty) Anglo-Saxon yang terbesar dan terakhir tanpa
militerisme dan birokrasi, sebaliknya sekarang sudah terjun ke
dalam lumpur perlengkapan birokrasi militerisme yang kotor
berlumuran darah itu, yang menguasai dan menginjak-injak
segalanya. Saat ini, baik di Inggris maupun di Amerika, bagi
Lenin, hal terpenting sebagai syarat terjadinya revolusi rakyat
yang sejati adalah memecahkan dan menghancurkan alat
negara yang sduah siap itu (ready made state machine yang
dimasukkan ke dalam ke dua negara itu antara tahun 1914 dan
1917). Selanjutnya menurut Lenin yang kini harus dilakukan
adalah memberi perhatian istimewa kepada peringatan Marx
bahwa penghancuran alat negara yang berupa birokrasi dan
militerisme itu adalah syarat terpenting penjamin tiap-tiap
revolusi rakyat yang sesungguhnya.

Sistem ditaktor proletariat bukanlah satu mimpi atau ciptaan


Marx. Sebagai seorang scientist, Marx tak pernah memimpikan
atau menciptakan sesuatu seperti kaum utopis : Thomas Moore,
Saint-Simon, Fourir, dan Robert Owen. Sebagai scientist maka

Marx membentuk suatu tesis atau suatu pengalaman, yakni


suatu bukti. Perbuatan kaum proletar para pemimpin Comune di
Paris pada tahun 1871 mewarisi alat negara secara bulat begitu
saja. Mereka membiarkan kaum borjuis bersarang terus dalam
semua alat negara dan melakukan perlawanan diam-diam
terhadap kaum proletar, serta mensabotase semua putusan dan
undang-undang kaum proletar yang memegang kekuasaan di
masa itu. Para pemimpn proletar tidak menukar alat negara
borjuis dengan alat negara proletar, oleh dan untuk kaum
proletar.

Kealpaan kaum proletar Paris itulah yang oleh Marx dianggap


menjadi sebab utama Comune Paris dapat dihancurkan oleh
kaum borjuis dari dalam dan dari luar dalam waktu singkat.

Proletar Rusia di bawah pimpinan Partai Komunis tidak mewarisi


bulat-bulat alat negara yang dipusakakan oleh Tsar, seperti yang
berturut-turut diwarisi oleh kaum borjuis Rusia, di bawah
pimpinan profesor Miljukoff dan oleh partai sosial revolusioner
yang mewakili kaum borjuis kecil, di bawah pimpinan Kerensky
dan kawan-kawannya. Kaum komunis menghancurkan alat
negara peninggalan Tsar beserta ningratnya yang diwarisi bulat-
bulat oleh borjuis besar dan kecil itu, sambil menggantinnya
dengan alat negara proletar. Pemerintahannya lama diganti
dengan Soviet, tentara feodal borjuis diganti dengan tentara
merah, polisi feodal borjuis di babat dan ditukar dengan polisi

proletar, mahkamah feodal borjuis dihapuskan dengan


mahkamah proletar, Pendidikan feodal borjuis ditukar
pendidikan proletar dan sebagainya.

Dengan diktator proletariatnya, maka Soviet Rusia, sudah


berdiri lebih daripada 30 tahun dan sudah sanggup mengganti
negara setengah kapitalis dengan negara industri kelas satu :
sudah menang berperang dan sudah saggup memusatkan
tenaga lebih dari pada 300 juta manusia, atau sepertujuh dari
jumlah seluruh manusia, serta menduduki seperlima dari
seluruh daratan di dunia.

Tetapi komunisme sejati yang meliputi seluruh dunia haruslah


lebih dahulu melalui zaman peralihan, yakni zaman diktator
proletar yang menguasai seluruh dunia pula. Sekarang manusia
yang berpaham komunis, manusia yang berbentuk dan
berwarna bermacam-macam itu, yang mendiami puluhan
negara pada pelbagai macam kondisi geografis serat
kebudayaan di lima benua, memang sedang mengorganisasi dan
mengerahkan kaum proletar dunia dengan hasrat
menghancurkan kaum ningrat-borjuis beserta kaki tangannya di
seluruh dunia.

https://
https://www.marxists.o
www.marxists.org/indonesia
rg/indonesia/archive/mala
/archive/malaka/index.htm
ka/index.htm

Anda mungkin juga menyukai