Anda di halaman 1dari 192

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/319442076

Keraton Jawa

Book · September 2017

CITATIONS READS

0 2,875

1 author:

Ashadi Ashadi
Universitas Muhammadiyah Jakarta
50 PUBLICATIONS   16 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Penataan Hunian di Sekitar Masjid Bersejarah Dalam Rangka Peningkatan Kawasan Wisata View project

Analisis Bentuk Arsitektur Masjid Bersejarah di Jakarta View project

All content following this page was uploaded by Ashadi Ashadi on 02 September 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Ashadi

KERATON
JAWA

Arsitektur UMJ Press


Ashadi, lahir 25 Pebruari 1966, di Cepu, Jawa Tengah. Pendidikan
Tinggi: S1 Arsitektur UNDIP (1991), S2 Antropologi UI (2004), dan
S3 Arsitektur UNPAR (2016). Ia aktif sebagai dosen di Program
Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah
Jakarta (FT-UMJ), sejak tahun 1993. Jabatan Struktural yang
pernah dan sedang diemban yakni: Kepala Laboratorium
Arsitektur FT-UMJ (1996-2000); Ketua Program Studi Arsitektur
FT-UMJ (2000-2004 dan 2015-sekarang); Wakil Dekan FT-UMJ
(2004-2006); Kepala Pusat Afiliasi, Kajian dan Riset Teknologi FT-
UMJ (2007-2011); Kepala Lembaga Pengembangan Bisnis FT-UMJ
(2011-2015). Kegiatan ilmiah yang pernah dan sedang dilakukan:
Penelitian Hibah Bersaing DIKTI, publikasi jurnal nasional maupun
internasional, dan presentasi ilmiah pada forum-forum seminar
skala nasional maupun internasional. Jabatan Fungsional Dosen
terakhir: Lektor Kepala. Dalam 5 tahun terakhir, buku yang telah
diterbitkan: Peradaban dan Arsitektur Dunia Kuno: Sumeria-
Mesir-India (2016); Peradaban dan Arsitektur Klasik Yunani-
Romawi (2016); Peradaban dan Arsitektur Zaman Pertengahan:
Byzantium, Kekristenan, Arab dan Islam (2016); dan Peradaban
dan Arsitektur Modern (2016).
KERATON
JAWA
Ashadi

Penerbit Arsitektur UMJ Press


2017
KERATON JAWA

|arsitekturUMJpress|
|
Penulis: ASHADI

CETAKAN PERTAMA, AGUSTUS 2017

Hak Cipta Pada Penulis


Hak Cipta Penulis dilindungi Undang-Undang Hak Cipta 2002
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara
apapun tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Desain Sampul : Abu Ghozi


Tata Letak : Abu Ghozi

Perpustakaan Nasional – Katalog Dalam Terbitan (KDT)


ASHADI
Keraton Jawa
Jumlah halaman 178

ISBN 978-602-74968-7-3

Diterbitkan Oleh Arsitektur UMJ Press


Jln. Cempaka Putih Tengah 27 Jakarta Pusat 10510
Tetp. 021-4256024, Fax. 021-4256023
E-mail: arwityas@yahoo.com

Gambar Sampul: Lorong Taman Sari Keraton Yogyakarta


(Dokumentasi Penulis)

Dicetak dan dijilid di Jakarta


Isi di luar tanggung jawab percetakan
Sanksi Pelanggaran Pasal 72:
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana
penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/ atau denda
paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak
Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum
suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak
Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling
banyak Rp. 500.000.000,00 (limaratus juta rupiah).
ABSTRAK

Keraton Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta


merupakan pusat tumbuh dan berkembangnya kultur Jawa,
sehingga menjadi penting melakukan penelitian terhadap
keduanya. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui makna tata
letak dan orientasi, bentuk, dan ragam hias bangunan keraton
Jawa, dengan studi kasus: keraton Kasultanan Yogyakarta dan
keraton Kasunana Surakarta. Pendekatan atau metode yang
digunakan adalah gabungan dari metode penelusuran sejarah
dan penyelidikan deskriptif arsitektural studi kasus. Metode
sejarah menitik-beratkan pada suatu narasi peristiwa masa
lampau yang terintegrasi. Metode deskriptif arsitektural studi
kasus digunakan untuk mendeskripsikan secara akurat fakta-
fakta arsitektural. Dari hasil penelusuran sejarah dan deskripsi
faktual arsitektural dari kedua studi kasus, kemudian dianalisis
untuk diketahui makna-maknanya. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa berdasarkan tata letak dan orientasi,
bentuk, dan ragam hias bangunan keraton Jawa, di sana
tercipta kelanggengan.

Kata Kunci: Bentuk, Keraton, Orientasi, Ragam Hias, Tata Letak


KATA PENGANTAR

Dengan mengucap Alhamdulillah, akhirnya buku berjudul


Keraton Jawa bisa dirampungkan. Buku ini merupakan
hasil format ulang dari dua Laporan Penelitian, yaitu
pertama berjudul Keraton: Rumah Tinggal Raja Jawa
(2004), dan yang kedua berjudul Studi Tentang Arsitektur
Keraton Jawa (2005). Penelitian pertama didanai oleh
Research Grant Program Semi-Que V Program Studi
Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah
Jakarta (FTUMJ) tahun 2003-2004. Penelitian kedua
didanai oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan
Universitas Muhammadiyah Jakarta (LPP-UMJ). Dalam
proses format ulang, Penulis menambahkan beberapa
gambar (photo) yang diambil kemudian waktunya untuk
melengkapi uraian pembahasan.
Selama pelaksanaan penelitian lapangan dan
proses penyusunan, penyelesaian dan penyempurnaan
Laporan Penelitian, Penulis telah banyak mendapat
bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung
maupun tidak langsung. Untuk itu, dalam kesempatan
ini, Penulis dengan setulus-tulusnya mengucapkan terima
kasih, khususnya, yang pertama, kepada Dekan Fakultas
Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta, Ir. Gunawan,
MM., yang selalu memberikan dorongan dan semangat
dalam melakukan dan menyelesaikan Laporan Hasil

i
ii

Penelitian (penelitian pertama), dan yang kedua kepada


Kepala LPP-UMJ, Prof. Dr. Hj. Sri Mulyani Soegiono, SH.,
M.Pd, yang telah memberikan kesempatan untuk
melaksanakan kegiatan penelitian dan memberikan
kelonggaran waktu penyelesaian Laporan Hasil Penelitian
(penelitian kedua).
Akhirnya, semoga buku ini dapat bermanfaat
sebagai sumbangan ilmu pengetahuan tentang konsep
dan makna keraton Jawa.

Jakarta, Agustus 2017


Penulis
PENGANTAR PENERBIT

Alhamdulillah, tulisan Ashadi yang berjudul Keraton Jawa


dapat kami terbitkan. Buku ini adalah hasil format ulang
dari dua Laporan Penelitian, yaitu yang pertama berjudul
Keraton: Rumah Tinggal Raja Jawa (2004), dan yang kedua
berjudul Studi Tentang Arsitektur Keraton Jawa (2005).
Dalam buku ini, penulis berusaha mengetahui dan
memahami makna keraton Jawa melalui penelusuran
sejarah dan deskripsi arsitektural terhadap tata letak dan
orientasi, bentuk, dan ragam hias bangunan keraton
Jawa, dengan studi kasus: keraton Kasultanan Yogyakarta
dan keraton Kasunanan Surakarta.
Kekuatan buku ini adalah urian pembahasan yang
lugas disertai dengan gambar-gambar (photo) baik yang
diambil pada saat periode pelaksanaan penelitian maupun
yang diambil pada saat kemudian. Kehadiran buku ini
menjadi salah satu sumbangan penting bagi khasanah
ilmu pengetahuan, khususnya tentang arsitektur keraton
Jawa.

Jakarta, Agustus 2017


Penerbit

iii
iv
DAFTAR ISI
HAL.
KATA PENGANTAR i
PENGANTAR PENERBIT iii
DAFTAR ISI v

BAB I
PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Perumusan Masalah 3
1.3. Tinjauan Pustaka 4
1.4. Tujuan Penelitian 9
1.5. Metode Penelitian 9
1.6. Kontribusi Penelitian 10

BAB II
JAWA DIBAGI DUA : KASUNANAN DAN
KASULTANAN 11

BAB III
KERATON KASULTANAN YOGYAKARTA 23
3.1. Keraton dan Kota Yogyakarta 23
3.2. Struktur Fisik Keraton 29

v
vi

BAB IV
KERATON KASUNANAN SURAKARTA 85
4.1. Keraton dan Kota Surakarta 85
4.2. Struktur Fisik Keraton 93

BAB V
MAKNA TATA LETAK DAN ORIENTASI,
BENTUK, DAN RAGAM HIAS BANGUNAN 135
5.1. Makna Tata Letak dan Orientasi Bangunan 135
5.2. Makna Bentuk Bangunan 151
5.3. Makna Ragam Hias Bangunan 160

BAB VI
KESIMPULAN 169

DAFTAR PUSTAKA 173


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dalam struktur tata ruang kota kuno di Jawa, keberadaan
keraton merupakan bagian penting dan tak terpisahkan;
bahkan ia menjadi unsur pembentuk utamanya.
Kenyataan sejarah telah menunjukkan bahwa
pertumbuhan fisik kota-kota di Jawa, umumnya diawali
dari keraton, sebuah kompleks kediaman raja beserta
kerabatnya. Tata ruang kota pusat kerajaan dan kota-kota
di luar pusat kerajaan, seperti kota-kota karesidenan dan
kabupaten di Jawa pada dasarnya menunjukkan
persamaan. Tata ruang kota yang masih asli mudah
dikenal pada denah-denah kota-kota keraton kuno di
Jawa, yaitu adanya alun-alun yang terletak di tengah kota;
kediaman raja atau bupati dan asisten residen terletak di
sisi selatan dan utara alun-alun, dan bangunan-bangunan
penting pemerintah didirikan di sekitar alun-alun.
Dalam pemahaman kultur Jawa, manusia adalah
jagad cilik (mikrokosmos) dan dia menjadi satu kesatuan
dengan jagad gede (makrokosmos). Dalam kaitannya
dengan keberadaan kerajaan-kerajaan di Jawa, maka
konsep yang bersifat makrokosmos selalu dikaitkan dan
dapat diterapkan pada kekuasaan raja yang bersifat
mikrokosmos. Kerajaan harus memiliki bagian-bagian
1
2

yang sama dengan bagian-bagian alam semesta. Artinya,


unsur yang ada di seluruh wilayah kerajaan akan terpusat
pada raja. Raja dan keratonnya tidak hanya sebagai pusat
kekuatan politik, melainkan juga merupakan pusat magi
dari seluruh wilayah kerajaan.
Keraton atau istana sebagai tempat tinggal raja
pada dasarnya bentuk bangunan dan fungsi ruang-
ruangnya tidak jauh berbeda dengan bangunan tempat
tinggal atau rumah penduduk dalam masyarakat Jawa
pada umumnya. Yang membedakannya adalah bentuk
bangunan dan fungsi ruang-ruang pada keraton lebih
beragam dan kompleks. Bangunan arsitektur keraton
Jawa sebagai salah satu unsur dalam kultur sangat
ditentukan oleh manusia, tradisi dan filosofi Jawa;
ketiganya menentukan fungsi dari bentuk, ruang, dan
estetika bangunan keraton. Seperti halnya rumah
tradisional Jawa, keraton merupakan ungkapan dari
hakekat penghayatan penghuninya terhadap kehidupan,
representasi kosmologi atau keyakinan mengenai alam
semesta, dan suatu lingkungan mikrokosmos yang
dibangun dengan pertimbangan yang sarat makna.
Keraton adalah tempat dimana gagasan-gagasan
utama kultur Jawa diproduksi. Di Jawa, keraton yang
masih berfungsi hingga sekarang sebagai kediaman ‘raja’
beserta kerabatnya, yaitu keraton-keraton Kasultanan dan
Pakualaman di Yogyakarta, Kasunanan dan
Mangkunegaran di Surakarta, dan Kasepuhan dan
Kanoman di Cirebon. Namun dari sedikit keraton itu yang
dianggap sebagai pusat-pusat kultur Jawa yaitu keraton-
keraton yang terdapat di Yogyakarta dan Surakarta; kedua
wilayah itu pernah menjadi pusat kekuatan politik dan
3

keagamaan di tanah Jawa bagian timur dan tengah.


Sedangkan wilayah Jawa bagian barat sebagian besar
memiliki dan mengembangkan kulturnya sendiri yaitu
kultur Sunda.
Penelitian ini dilakukan untuk memahami
beberapa aspek arsitektur keraton Jawa, dengan
mengambil studi kasus yaitu keraton Kasultanan
Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Pertimbangan
dalam menentukan obyek studi kasus adalah bahwa baik
keraton Kasultanan Yogyakarta maupun keraton
Kasunanan Surakarta pernah menjadi pusat penyebaran
kultur Jawa, terutama sejak pertengahan abad ke-18
Masehi hingga sebelum zaman Kemerdekaan, dan
keduanya memiliki banyak kandungan nilai sejarah dan
arsitektural. Penelitian ini lebih menekankan pada aspek
arsitektural dengan memperhatikan faktor-faktor
pendukung yang bersifat material maupun non-material
lainnya, seperti dokumentasi dan referensi.

1.2. Perumusan Masalah


Keraton Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta adalah termasuk dua dari sedikit keraton Jawa
yang masih tersisa yang sarat dengan nilai historis dan
arsitektural. Tentunya ada permasalahan yang bisa
dijadikan bahan kajian secara mendalam sesuai konteks
kultur Jawa. Permasalahan dalam penelitian ini dapat
dimunculkan dalam bentuk pertanyaan : apa makna yang
terkandung dalam tata letak dan orientasi, bentuk, dan
ragam hias bangunan keraton Jawa ?
4

Dalam hal ini, keraton tidak saja dipandang dari


satu sudut pandang saja, yakni yang menyangkut wujud,
rupa, ragam atau bentuk (form), namun juga dilihat dari
sisi yang melandasinya, yakni falsafah, konsep, tata nilai,
ide, gagasan, makna atau isi (content) dari komunitas
pendukungnya (penguasa – raja, keluarga raja, para
pangeran dan para abdi dalem). Keraton sendiri
merupakan bagian dari tradisi, sehingga ia harus dilihat
sebagai pertanda untuk zamannya, yang mencerminkan
kesinambungan antara masa lampau, masa kini dan masa
yang akan datang. Untuk memahami beberapa aspek
arsitektural keraton Jawa, dalam penelitian ini akan
sangat memperhatikan karakteristik masing-masing
keraton yang menjadi obyek studi sebagai akibat kondisi
ekologis dimana keraton itu berada dan kondisi sosial
budaya komunitas pendukungnya. Meskipun menurut
riwayat, kedua keraton merupakan hasil karya satu orang,
yaitu Pangeran Mangkubumi, namun pada kenyataannya,
keduanya memiliki kekhasan dan keunikan masing-
masing.

1.3. Tinjauan Pustaka


Di samping faktor politik, ekonomi dan geografi,
pertumbuhan beberapa kota di Indonesia tidak dapat
dipisahkan dari faktor yang berhubungan dengan
kosmologi dan faktor magis-religius. Hubungan antara
pendiri suatu pusat kerajaan dengan kosmologi bukan
hanya dalam pendirian suatu kerajaan saja tetapi juga
dalam penobatan raja, gelar ratu-ratu, mentri-mentri,
pendeta-pendeta keraton, pembagian propinsi-propinsi,
upacara-upacara adat, dalam pekerjaan seni, pembuatan
5

denah kota dan struktur ibukota atau pusat kerajaan,


kota-kota besar lainnya, kuil-kuil, dan keraton-keraton
(Tjandrasasmita, 2000:51). Berkaitan dengan ini,
Khairuddin dalam Filsafat Kota Yogyakarta, menceritakan
bahwa pada saat mendirikan keraton Kasultanan
Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono I, tidak saja
melihat aspek estetika saja tetapi juga aspek kosmologi
dan religius, sehingga bangunan keraton ditata
berdasarkan konsep dan wawasan integral makrokosmos
dan mikrikosmos. Aspek ini mencakup dimensi spasial
lahir dan batin serta dimensi temporal awal-akhir. Itulah
sebabnya semua bangunan yang ada kaitannya dengan
keraton mempunyai arti dan makna tersendiri sesuai
dengan fungsi bangunannya (Khairuddin, 1995:vii).
Pendirian keraton Kasunanan Surakarta juga lebih
didasarkan pada persyaratan nujum ketimbang
pertimbangan-pertimbangan ilmiah seperti misalnya
topografi tanah. Peristiwa pendirian pusat kota kerajaan
Kasunanan Surakarta dikisahkan dalam Babad Giyanti,
sebuah babad bersajak yang dikarang kira-kira akhir abad
ke-18 oleh pujangga keraton Yasadipura. Mula-mula
diceritakan bagaimana sang raja mengumpulkan para
penasehat dan para mentrinya untuk memberitahukan
niatnya memindahkan ibukota yang baru saja
dihancurkan oleh gerombolan Cina. Maka ia meminta
kepada para ahli nujum untuk mencari sebuah lokasi yang
cocok untuk itu. Ada beberapa orang, di antaranya
komandan garnisum Belanda, yang berkecenderungan
memilih desa Kadipolo, di sebelah timur sungai Bengawan
Solo. Di tempat itu tanahnya rata. Tetapi ada yang
6

menganggap tempat itu kurang baik dan mengusulkan


membangun ibukota baru itu di desa Solo, sekalipun
daerah itu berawa dan berbukit-bukit. Tumenggung
Honggawongsa mengemukakan bahwa menurut
perhitungannya, jika ibukota tempatnya di sebelah timur
Bengawan, orang Jawa akan kembali memeluk agama
Budha. Akhirnya pendopotnyalah yang diterima (Lombard,
1996:108-109).
Meskipun kompleks keraton Kasultanan
Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta merupakan bekas
pusat kerajaan Islam, namun unsur-unsur kultur Hindu
banyak dijumpai pada bangunan-bangunan yang terdapat
di dalamnya (Hendro, 2001:152). Istilah-istilah bagian
keraton seperti : sri manganti, prabayaksa, pendopo,
kaputren, kaputran dan sebagainya menunjukkan
beberapa persamaan dengan bagian-bagian pada keraton-
keraton sebelum Islam (Tjandrasasmita, 2000:55-56).
Adapun bentuk fisik bangunan-bangunan yang
terdapat di dalam kompleks keraton Kasultanan
Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta sebagian besar
menggambarkan bentuk rumah tradisional Jawa dan
sebagian di antaranya menggunakan konstruksi kayu.
Bangunan-bangunan itu menggunakan atap tunggal atau
atap susun yang berbentuk limasan, tajug, kampung
(pelana), dan joglo. Bagian tubuh bangunan ada dua
bentuk, yaitu merupakan bangunan terbuka (tanpa
dinding penutup ruangan) dan merupakan bangunan yang
menggunakan dinding penutup tubuh. Bangunan-
bangunan terbuka merupakan bangunan konstruksi kayu
yang atapnya disangga oleh beberapa tiyang yang
jumlahnya disesuaikan dengan ukuran bangunan,
7

sedangkan bangunan-bangunan yang menggunakan


dinding penutup tubuh, dindingnya dibuat dari batu bata
dan atapnya menggunakan konstruksi kayu yang
biasanya berbentuk limasan (Hendro, 2001:202-203).
Konsep kosmogoni dalam rancang bangun keraton
juga diterapkan pada bangunan keraton. Tata letak
bangunan-bangunan dalam keraton memperlihatkan
adanya pemisahan antara keraton dengan dunia luar, dan
setiap pembagian ruang terkesan diorientasikan ke sati
titik, yaitu tahta raja. Struktur semacam ini mengartikan
keraton dianggap sebagai pusat mikrokosmos (Setiadi dkk,
2000:286). Konsep itu, kemudian berkembang menjadi
konsep lingkaran-lingkaran konsentris. Di tengah-tengah :
keraton, tempat kediaman raja, ruang yang
diistimewakan. Di sekitar keraton : ibukota, yang disebut
nagara; di sini terdapat kediaman kaum bangsawan dan
kaum priyayi, yang ditempatkan di bawah wewenang patih
atau perdana mentri. Di sekitar ibukota itu : lingkaran
nagaragung, yang secara harfiah berarti ibukota besar.
Kecuali beberapa daerah kantong (narawita) yang
langsung berada di bawah kekuasaan raja dan
menghasilkan bahan-bahan pokok yang diperlukan
istana, semua tanah nagaragung berupa tanah lungguh
dan dipercayakan kepada para pangeran dan pejabat
tinggi, yang mempunyai hak memungut pajak atas nama
raja. Akhirnya lingkaran terakhir adalah lingkaran
mancanagara atau daerah-daerah luar, yaitu propinsi-
propinsi yang letaknya terlalu jauh untuk dipercayakan
sebagai tanah lungguh. Di sana raja mengangkat bupati,
8

artinya kepala daerah yang langsung tunduk kepada


kekuasaan patih (lihat Lombard, 1996:99).
Dalam struktur tata ruang pusat kota kerajaan di
Jawa, letak keraton hampir selalu di sisi sebelah selatan
alun-alun, menghadap ke arah utara; ia memangku alun-
alun yang di tengah-tengahnya ditanami pohon beringin.
Pohon beringin yang ditanam di halaman keraton atau di
alun-alun merupakan lambang dari kehidupan; hal ini
terkait dengan kepercayaan lama yang menganggap bahwa
pohon beringin mempunyai kekuatan istimewa. Menurut
serat Selokapatra pohon beringin ditanam atas perintah
raja atau penguasa; ia merupakan lambang perlindungan
dan pengayoman raja kepada rakyatnya (lihat pula Astuti,
1995:172).
Alun-alun yang berupa ruang terbuka adalah
bagian penting dan tidak terpisahkan dari keberadaan
keraton Jawa. Prabu Majapahit dan Raja-raja Mataram
Islam, Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta
sengaja menyediakan ruang terbuka itu di depan
keratonnya untuk memperlihatkan kekuasaan politik dan
magi yang melekat pada diri raja kepada rakyatnya (lihat
Ashadi, 2003:83). Menurut Eliade, selain gunung dan kota
suci, keraton adalah simbol utama yang berhubungan
dengan dan dimiliki oleh suatu pusat (Eliade, 2002:12).
Dari keraton dan alun-alun nya yang secara intrinsik
sengaja diciptakan oleh raja lebih sakral dari yang lain itu
kesakralan menyebar ke segala penjuru wilayah kerajaan.
Upacara Garebeg yang diselenggarakan tiga kali dalam
setahun oleh raja-raja Jawa, selain sebagai ajang pamer
kekuasaan sang raja juga adalah dalam rangka
penyakralan kembali – proses penciptaan ulang ruang dan
9

figur sakral secara simbolis. Raja merasa memiliki


kekuasaan dan kewajiban menciptakan kosmos
(keteraturan) di dunia ini (lihat Ashadi, 2003:81-82).

1.4. Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui makna yang
terkandung dalam tata letak dan orientasi, bentuk, dan
ragam hias bangunan keraton Jawa.

1.5. Metode Penelitian


Dalam proses pembahasan dan analisa, penelitian ini
menggunakan metode penelusuran sejarah dan
penyelidikan deskriptif arsitektural studi kasus. Metode
penelusuran sejarah menitik-beratkan pada suatu narasi
peristiwa masa lampau yang terintegrasi, bertujuan
melakukan pencarian kritis untuk seluruh kebenaran
mengenai keraton Jawa. Dokumen dan peninggalan, baik
peninggalan material (artifak) maupun non material
merupakan saksi pertama untuk suatu kenyataan sebagai
sumber primer yang utama. Data yang terkumpul
diklasifikasikan, dievaluasi, dan kemudian diinterpretasi.
Metode penyelidikan deskriptif arsitektural digunakan
untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara
sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta
arsitektural, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena
arsitektur keraton di Jawa. Jenis metode deskriptif yang
diterapkan dalam penelitian ini adalah metode studi
kasus, dengan pertimbangan bahwa metode ini dapat
memberikan gambaran secara mendetail tentang latar
10

belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas


dari masing-masing obyek studi kasus.

1.6. Kontribusi Penelitian


Secara ilmiah penelitian ini dapat memberikan kontribusi
berupa sejumlah data dan informasi mengenai berbagai
aspek berkaitan dengan arsitektur keraton Jawa. Dengan
mengetahui makna tata letak, bentuk, dan ragam hias
bangunan keraton Jawa, diharapkan pihak-pihak terkait
dalam pelestarian keraton Jawa bisa menjadikan hasil
penelitian ini sebagai referensi.

Gambar 01. Peta Jawa Tengah (lokasi keraton Kasunanan Surakarta)


dan Daerah Istimewa Yogyakarta (lokasi keraton Kasultanan Yogyakarta)
(http://wikimapia.org, akses 24 Juni 2017)
BAB II
JAWA DIBAGI DUA :
KASUNANAN DAN KASULTANAN

Di wilayah pesisir Utara Jawa, pada seperempat terakhir


abad ke-15 Masehi, berdiri kerajaan Islam Demak. Dalam
rentang waktu sekitar satu abad, kerajaan Islam yang
semula berpusat di Demak, kemudian mengalami
beberapa perpindahan, yaitu yang pertama ke Pajang,
wilayah pedalaman Jawa, dan yang kedua, yang paling
monumenal adalah perpindahan ke Kotagede, sebagai
awal kebangkitan kerajaan Mataram Islam. Pendiri
kerajaan Mataram Islam adalah Senopati, anak Ki Ageng
Pemanahan, yang berhasil mengalahkan Arya
Penangsang, penguasa terakhir kerajaan Islam Demak,
dalam suatu pertempuran sengit di Jipang Panolan.
Kerajaan Mataram Islam mencapai puncak
kejayaannya saat di bawah pemerintahan Sultan Agung
(1613-1646). Kekuatan-kekuatan dari pedalaman, yang
selama kurang lebih enam puluh tahun kacau
tatanannya, telah muncul kembali; ia kemudian dapat
menghidupkan kembali tatanan Majapahit yang lama,
sambil memanfaatkan sebagian dari ideologi Islam yang
baru (lihat pula Lombard, II, 1996:52). Sultan Agung
sempat mendirikan istana baru di kota Karta yang

11
12

dibangun sejak awal kekuasaannya dan mulai ditempati


pada tahun 1622. Selama masa pembangunan, Sultan
Agung masih mendiami keraton kakeknya di Kotagede
(Graaf, 1986:108). Setelah kematian Sultan Agung pada
tahun 1646, penggantinya Sunan Amangkurat I (1646-
1677) telah melakukan tindakan-tindakan keras terhadap
lawan-lawan politiknya, tidak terkecuali pada keluarga
kerajaan sendiri dan pembunuhan secara besar-besaran
terhadap para ulama pesisir. Pada tahun 1647,
Amangkurat I memindahkan ibu kota kerajaan, dari Karta
ke Plered.
Kesempatan Kompeni Belanda untuk bisa
melakukan infiltrasi ke pusat kerajaan Mataram mulai
terbuka pada masa Sunan Amangkurat II (1677-1703).
Pada awal pemerintahannya, Sunan mengadakan
perjanjian dengan Kompeni Belanda (VOC) yang salah
satu opsinya adalah VOC dijanjikan memungut hasil dari
pajak pelabuhan-pelabuhan daerah pesisir sampai hutang
Mataram kepada Kompeni Belanda lunas. Pada tahun
1680, Sunan Amangkurat II membangun istana yang baru
di Kartasura, sebab istana Plered masih dikuasai saudara
raja yang bernama pangeran Puger (kelak menjadi raja
bergelar Pakubuwono I).
Pada masa Pakubuwono I (1704-1719), Mataram
memberikan banyak konsesi-konsesi kepada pihak
Kompeni Belanda sebagai ganti bantuannya kepada sang
Raja menduduki singgasananya. Pada tahun 1705,
Mataram membuat perjanjian baru dengan Kompeni
Belanda, salah satu opsinya adalah VOC diberikan hak
membangun benteng-benteng dimanapun di Jawa. Di
tengah-tengah keruntuhan sebagian kerajaannya,
13

Pakubuwono I mangkat pada bulan Februari 1719. Dia


digantikan oleh putranya, Amangkurat IV (1719-1726).
Amangkurat IV, dengan dibantu oleh Kompeni
Belanda, berhasil memadamkan pemberontakan-
pemberontakan yang dilakukan oleh para elit istana. Pada
bulan Juni 1719 saudara-saudaranya, Pangeran Blitar
dan Pangeran Purbaya, dan pamannya, Pangeran Arya
Mataram, mencoba melancarkan suatu serangan terhadap
istana namun dapat dipukul mundur oleh garnisum
Kompeni Belanda. Pada bulan Maret 1726 raja jatuh sakit
dan tidak lama kemudian mangkat. Dia digantikan oleh
putranya, Pakubuwono II (1726-1749).
Pada masa pemerintahan Pakubuwono II, terjadi
peristiwa Geger Pecinan atau Perang Cina. Perang Cina
sebenarnya adalah perlawanan orang-orang Tionghoa
melawan ketidak-adilan Kompeni Belanda. Di awali pada
tahun 1740 di Batavia terjadi tindak kekerasan dan
dilanjutkan dengan pembunuhan secara besar-besar
terhadap orang-orang Cina oleh Kompeni Belanda (VOC),
dan akhirnya ada sekitar 10.000 orang Cina yang tewas.
Peristiwa ini menyulut kerusuhan dan pemberontakan
kaum Cina terhadap Kompeni Belanda di kota-kota pesisir
Jawa, seperti Tegal, Semarang, Demak, Jepara, Juwana,
dan Rembang. Huru-hara pecah pula di Kartasura.
Kondisi ini tidak disia-siakan oleh para elit keraton
dibantu orang-orang Jawa yang sejak semula melakukan
pemberontakan terhadap kekuasaan raja. Pada awal
tahun 1742 kaum pemberontak mengangkat Susuhunan
baru, seorang cucu laki-laki Amangkurat III (1703-1706;
raja Mataram ini dibuang oleh Kompeni Belanda ke
14

Sailan), yang baru berusia dua belas tahun bernama


Raden Mas Garendi (Sunan Kuning). Para pemberontak
dari wilyah pesisir bergerak cepat mendekati Kartasura.
Akhirnya pada tanggal 30 Juni 1742 para pemberontak
berhasil merebut Kartasura1. Pakubuwono II
meninggalkan keraton dan mengungsi ke Magetan dan
Ponorogo. Namun tidak lama, pada bulan Desember 1742,
dengan bantuan pasukan Cakraningrat IV dari Madura,
pasukan Kompeni Belanda berhasil memukul mundur
para pemberontak dari Kartasura dan segera
mendudukkan kembali Sunan Pakubuwono II di
singgasananya. Sementara itu, oleh karena telah
kehilangan banyak pengikut, Mas Garendi menyerah di
Surabaya pada bulan Oktober 1743, yang disusul oleh
banyak pemberontak lain. Pada akhir tahun 1743, sisa-
sisa pemberontak yang penting hanya tinggal dua saudara
laki-laki raja, Pangeran Singasari dan Pangeran
Mangkubumi, dan kemenakan laki-laki raja, Mas Said.
Pada tahun 1744 Mangkubumi kembali ke Istana.
Pakubuwono II setelah dipulihkan kembali sebagai
penguasa Mataram tidak mau menempati dan tinggal di
istana Kartasura yang sudah mengalami banyak
kekacauan. Kira-kira dua belas kilo meter ke arah timur,
di dekat sungai Bengawan Sala, dia mendirikan sebuah
istana baru Surakarta yang akan tetap didiami oleh
keturunannya (Ricklefs, 1991:104-145). Sebagai imbalan
kepada Kompeni Belanda, Pakubuwono II harus menerima
kondisi-kondisi yang diajukan oleh pihak Kompeni

1 Pendudukan kaum pemeberontak terhadap istana Kartasura


diceritakan secara detail oleh Willem Remmelink dalam Perang
Cina dan Runtuhnya Negara Jawa, 1725-1743 (2001:367-370).
15

Belanda (VOC), yaitu bahwa seluruh daerah pesisir ada di


bawah kekuasaan Kompeni Belanda dan sebagian dari
pendopotan semua pelabuhan lainnya. Raja juga akan
menyerahkan 5.000 koyan beras setiap tahun untuk
selama-lamanya dan hasil-hasil bumi lainnya.
Pengangkatan seorang patih memerlukan persetujuan
Kompeni Belanda, dan harus ada sebuah garnisun
Kompeni di Istana.
Menurut Ronald Gill, sampai dengan tahun 1746,
daerah pesisir utara Jawa yang telah menjadi kekuasaan
Kompeni Belanda yaitu Tegal, Pekalongan, Semarang,
Demak, Jepara, Rembang, Gresik, Surabaya, Pasuruan
dan Blambangan (dalam Budihardjo, 1997:63).
Pada masa pemerintahan raja-raja selanjutnya,
kerajaan Mataram semakin lemah dan terpecah-pecah.
Pada tahun 1755, berdasarkan perjanjian Giyanti,
kerajaan Mataram dibagi dua, yaitu Kasunanan Surakarta
dengan raja Pakubuwono III dan Kasultanan Yogyakarta
dengan raja Mangkubumi yang bergelar Sultan
Hamengkubuwono I.
Menjelang raja Mataram Pakubuwono II mangkat,
dalam keadaan sakit keras, terpaksa meyerahkan
sepenuhnya kerajaan Mataram pada Kompeni Belanda
yang diwakili oleh Baron van Hohendorff, Gubernur dan
Direktur Jawa. Peristiwa ini terjadi pada 11 Desember
1749 dan dianggap sebagai penjualan negara kepada
pihak asing. Sembilan hari kemudian raja mangkat. Pada
tanggal 15 Desember 1749 van Hohendorff
mengumumkan pengangkatan putra mahkota sebagai
Susuhunan Pakubuwono III (1749-1788). Pada saat yang
16

hampir bersamaan, tepatnya pada 12 Desember 1749,


pangeran Mangkubumi telah dinyatakan sebagai raja oleh
para pengikutnya di markas besarnya di Yogyakarta.
Mangkubumi juga memakai gelar Susuhunan
Pakubuwono. Gelar Sultan digunakan oleh Mangkubumi
setelah perjanjian Giyanti yang ditanda-tangani pada
tanggal 13 Februari 1755.
Pangeran Mangkubumi yang kemudian menjadi Sri
Sultan Hamengkubuwono I adalah putra dari Sunan
Amangkurat IV. Karena merasa dihina oleh Kompeni
Belanda, pada tahun 1746, dia pergi meninggalkan
keraton Surakarta dan menggabungkan diri dengan
pasukan Raden Mas Said yang berpusat di Sukowati
(sekitar Sragen sekarang) untuk menjalankan taktik
perang gerilya. Raden Mas Said sendiri adalah putra dari
Arya Mangkunegoro, saudara laki-laki raja Pakubuwono II.
Hubungan antara pangeran Mangkubumi dengan Raden
Mas Said dipererat lagi karena Raden Mas Said menikah
dengan putri sulung dari pangeran Mangkubumi yang
bernama Bendara. Tetapi di belakang hari antara
keduanya telah terjadi perselisihan.
Dengan adanya perjanjian Giyanti, pihak Kompeni
Belanda mengakui Mangkubumi sebagai Sultan
Hamengkubuwono I, penguasa separoh wilayah Jawa
Tengah yang berpusat di Yogyakarta. Wilayah-wilayah
mancanegara : Madiun, Magetan, Caruban, separo
Pacitan, Kertasana, Ngrawa (Tulungagung), Jipang, Japan
(Mojokerto), Teras Karas (Ngawen), Selo, Warung (Kuwu
Wirosari) dan Grobogan diserahkan kepada Mangkubumi.
Sedangkan Sunan mendapat wilayah-wilayah : Jagaraga,
17

Ponorogo, separo Pacitan, Kediri, Blitar, Pace (Nganjuk),


Wirosobo (Mojoagung), Blora, Kaduwang dan Banyumas.
Meskipun perjanjian Giyanti telah ditanda-tangani,
peperangan untuk memperebutkan kekuasaan belum
berakhir. Mas Said yang mantan patih Mangkubumi
masih melakukan perang gerilya. Pada bulan Oktober
1755 dia berhasil mengalahkan suatu pasukan Kompeni
Belanda dan pada bulan Februari 1756 dia hampir
berhasil membakar istana baru di Yogyakarta. Pasukan-
pasukan dari Surakarta, Yogyakarta, dan Kompeni
Belanda tidak mampu menahan gempuran-gempuran
pasukan Mas Said. Namun, Mas Said mengakui pula
bahwa dia tidak akan mampu menaklukkan Jawa dengan
menghadapi tiga kekuatan itu. Yang pada akhirnya
memaksa Mas Said untuk menyerah dan mengakui
kedaulatan Surakarta, Yogyakarta, dan Kompeni Belanda.
Sebagai imbalannya, berdasarkan Perjanjian Salatiga yang
ditanda tangani pada tanggal 17 Maret 1757, dia
mendapat tanah berikut 4.000 cacah dari Pakubuwono III.
Mas Said kemudian menggunakan gelar Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Arya Mangkunegoro I. Dengan demikian
kekuasaan keraton Surakarta telah dikurangi oleh pura
Mangkunegaran.
Tidak lama, setelah perjanjian Giyanti, Sultan
Mangkubumi membuka basis perjuangan sekaligus
sebagai keraton sementara (pesanggrahan) di Gamping
(sebelah barat Yogyakarta sekarang) untuk digunakan
hingga lokasi keraton permanen di Yogyakarta selesai
disiapkan. Istana sementara ini dinamakan
Ambarketawang. Pada tahun 1756 Sultan pindah ke
18

keraton baru yang terletak di Mberingan, sekitar empat


kilometer sebelah timur istana Ambarketawang.
Mangkubumi adalah salah satu raja terbesar dari
dinasti Mataram. Mangkubumi telah menjadi raja dalam
tahun 1749, telah memaksa Belanda mengakui dia enam
tahun kemudian, telah memimpin pendirian dan legitimasi
sebuah kerajaan yang besar dan kuat di mana para
keturunannya masih memerintah, dan telah mewariskan
kepada putranya kendali pemerintahan. Mangkubumi
meninggal pada tahun 1792, dan digantikan putranya
Gusti Raden Mas Sundoro yang kemudian menggunakan
gelar Hamengkubuwono II. Pemerintahan Sultan
Mangkubumi (1749-1792) adalah yang terlama sampai
periode itu dalam sejarah Mataram. Sementara itu,
pemerintahan Hamengkubuwono II akan menjadi salah
satu pemerintahan yang paling bergolak dalam sejarah
Jawa, ketika konflik-konflik di antara para putra
Mangkubumi serta antara keraton dan orang-orang Eropa
menjadi semakin seru. Sultan yang baru adalah orang
yang berbeda dari ayahnya dan dia akan menghadapi
masalah-masalah yang berat (lihat pula Ricklefs,
2002:563).
Malapetaka yang terjadi di istana Yogyakarta
diawali oleh Marsekal Daendels yang dalam tahun 1808
menjadi Gubernur Jenderal. Dia telah mengangkat wakil-
wakilnya di keraton-keraton Jawa dengan sebutan
menteri, dan menginginkan wakil-wakil tersebut
diperlakukan sama dengan raja-raja. Para mentri itu
dalam upacara-upacara resmi di keraton harus
mempergunakan payung emas (songsong gilap) dan tetap
mempergunakan topinya. Ketentuan inilah yang
19

menyebabkan hubungan antara penjajah Belanda dan


para raja Jawa menjadi tegang. Rupanya Sultan
(Hamengkubuwono II) lebih keras menentang peraturan
itu dibandingkan Susuhunan Surakarta. Akibatnya pada
tahun 1810 Sultan didatangi oleh ekspedisi militer yang
dipimpin oleh Daendels sendiri, dan dipaksa turun tahta
serta digantikan oleh putranya Hamengkubuwono III2.
Sementara itu, Pangeran Notokusumo (putra Mangkubumi
yang kemudian menjadi KGPAA Paku Alam I) dan
putranya Notodiningrat (yang kemudian menjadi KGPAA
Paku Alam II) yang dianggap sebagai biang keladi dari
intrik-intrik yang terjadi di dalam istana di tangkap dan
dibuang, mula-mula ke Semarang, Pekalongan, Cirebon,
Bogor sampai akhirnya ke Surabaya (Poerwokoesoemo,
1985:69-85).
Pada tanggal 4 Agustus 1811 enam puluh buah
kapal Inggris muncul di depan Batavia dan sampai tanggal
26 Agustus kota berikut daerah-daerah sekitarnya jatuh
ke tangan Inggris. Penaklukan yang dilakukan pihak
Inggris itu diikuti suatu masa kekacauan.
Hamengkubuwono II yang masih memiliki pengaruh besar
di kalangan istana memanfaatkan kesempatan ini untuk

2 Sultan Hamengkubuwono II masih diperkenankan untuk tetap


tinggal di keraton, dan sejak itu dia dikenal dengan Sultan
Sepuh. Pada masa Perang Jawa (1825-1830), oleh Belanda,
Sultan Sepuh diangkat lagi menjadi raja Yogyakarta (1826-1828)
untuk ketiga kalinya. Kali ini dia sebagai selingan kekuasaan
Sultan Hamengkubuwono V (1822-1826 dan 1828-1855).
Dengan pengangkatan ini diharapkan Sultan dapat membujuk
Pangeran Diponegoro (putra Hamengkubuwono III) yang
melakukan perlawanan kepada Belanda agar menyerah. Namun
usaha ini ternyata sia-sia.
20

merebut kembali tahta Yogyakarta. Putranya diturunkan


pada kedudukannya semula sebagai putra mahkota.
Sikapnya yang terlalu keras dan bermusuhan
kepada penjajah bangsa Eropa, mengakibatkan hubungan
Sultan (Hamengkubuwono II) dengan pihak Inggris pun
kurang harmonis bahkan terus memanas. Hingga tidak
ada pilihan lain bagi Inggris kecuali menyerbu istana
Sultan. Pada bulan Juni 1812 sekitar 1.200 prajurit
berkebangsaan Eropa dan Sepoy India, yang didukung
800 prajurit Legiun Mangkunegaran berhasil merebut
istana Yogyakarta. Hamengkubuwono II diturunkan dari
tahta dan dibuang ke Penang. Kedudukannya sebagai
sultan digantikan oleh putranya, Hamengkubuwono III.
Selama peperangan, Notokusumo yang telah dibebaskan
dari tahanan penjara memilih berpihak kepada Inggris.
Atas bantuannya kepada pihak Inggris, dia dihadiahi
suatu daerah yang merdeka dan dapat diwariskan yang
meliputi 4.000 cacah di suatu wilayah di Yogyakarta dan
dianugerahi gelar Pangeran Pakualam I (1813-1829).
Dengan demikian Pakualaman di Yogyakarta merupakan
cerminan dari Mangkunegaran di Surakarta, dan
sempurnalah sudah pembagian kerajaan Mataram ke
dalam dua kerajaan senior dan dua kerajaan yunior
(Ricklefs, 1991:173-175).
Pada masa Revolusi, terdapat kontras antara
peranan dua wilayah keraton yang bersaingan Yogyakarta
dan Surakarta. Pada hari-hari awal Revolusi empat
penguasa tradisional semuanya diberi piagam oleh
Presiden Sukarno yang mengukuhkan mereka dalam
kedudukannya masing-masing, dengan pengertian bahwa
mereka akan mendukung Republik Indonesia yang baru
21

lahir. Akan tetapi hanya Yogya yang berhasil


mempertahankan otonominya selama Revolusi, dan
sesudah Perang Kemerdekaan muncul sebagai Daerah
Istimewa Yogyakarta pada tahun 1950. Sedangkan
penguasa tradisional keraton Surakarta, Susuhunan dan
Mangkunegoro, tidak bersimpati dengan Revolusi,
sehingga mengakibatkan Republik Indonesia melucuti hak
otonomi pemerintahan keduanya. Dan sesudah Revolusi
selesai dengan pengakuan Kemerdekaan Republik
Indonesia oleh pihak Kolonial Belanda, baik Kasunanan
maupun Mangkunegaran dimasukkan dalam wilayah
propinsi Jawa Tengah. Berbeda dengan Sultan Yogya,
penguasa-penguasa di Surakarta hanya menguasai suatu
wilayah yang hampir tidak melebihi istana mereka.
Kemerosotan status Susuhunan tercermin pada kondisi
bangunan-bangunan yang berada di dalam kompleks
istana, banyak di antaranya yang memerlukan renovasi.
Jadi, kedua istana, Kasunanan dan Mangkunegaran yang
pernah memainkan peranan vital dalam masyarakat
Surakarta telah menurun dan nyaris menjadi tak lebih
dari sebuah museum (lihat Larson, 1990:2-5).
22

Gambar 02. Peta wilayah kerajaan Mataram tahun 1830 : Kasunanan


Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman
(Heins, 2004:73)
BAB III
KERATON KASULTANAN
YOGYAKARTA

3.1. Keraton dan Kota Yogyakarta


Wilayah yang kemudian menjadi keraton dan ibukota
Yogyakarta telah lama dikenal sebelum Mangkubumi yang
bergelar Sultan Hamengkubuwono I memilih tempat itu
sebagai pusat pemerintahannya. Wilayah itu dikenal
dalam karya sejarah tradisional atau babad. Tempat itu
disebut dalam babad sebagai ‘kota yang diperkuat dengan
tembok keliling’ di hutan Bringan. Setelah perjanjian
Giyanti pada tahun 1755 ditanda-tangani, hutan Bringan
mulai dibuka, yaitu di sebuah pedukuhan yang disebut
Pacethokan. Tempat itu dibuka untuk pembangunan
istana raja dan rumah-rumah para bupati. Pada waktu
hutan itu dibuka, Sultan bertempat tinggal di istana
Ambarketawang di gunung Gamping, yang juga dicatat di
dalam Babad Giyanti. Tempat itu terletak kurang lebih 5
kilometer sebelah Barat Yogyakarta sekarang.
Pembangunan keraton dimulai pada tanggal 9 Oktober
1755 dan selesai pada tanggal 7 Oktober 1756. Setelah
istana selesai dibangun, pindahlah Sultan
Hamengkubuwono I ke kota, yang kemudian bernama

23
24

Ngayogyakarta Hadiningrat. Di samping bangunan


keraton, dibangun pula beteng berparit di sekitarnya,
tempat tinggal patih (kepatihan), tempat tinggal residen,
masjid dan tempat-tempat lain sebagai pelengkap
kerajaan (Surjomihardjo, 2000:19-21; periksa pula
Darban, 2000:8).
Sri Sultan Hamengkubuwono I pindah ‘ngedaton’ di
Yogyakarta dilambangkan dengan Sengkalan Memet yang
terdapat di bagian bangunan keraton baru, berupa dua
ekor naga yang saling berbelit ekornya, dan dapat dibaca :
Dwi Naga Rasa Tunggal, atau tahun 1682 A.J. (1755 M).
Berdasarkan sumber-sumber Belanda, Sri Sultan pindah
dari Ambarketawang pada bulan Februari 1756.
Kemudian pada bulan April 1756, keraton baru dengan
resmi dinamakan Ngayogyakarta Adiningrat. Menurut
tradisi rakyat, Sri Sultan pindah dari pesanggrahan
Ambarketawang ke keraton yang baru pada hari Kamis
Pahing. Hingga sekarang, setiap hari Kamis Pahing, di
tempat bekas pesanggarahan Ambarketawang, oleh
beberapa orang dilakukan tirakatan.
Nama Ngayogyakarta diambil dari nama kerajaan
Ayodyapura yang diperintah oleh seorang raja terkemuka
dalam epos Ramayana, yaitu Rama penjelmaan Dewa
Wisnu. Sri Sultan Hamengkubuwono I berharap keraton
Yogyakarta menjadi pusat kerajaan di Jawa yang benar-
benar sejahtera, makmur, indah dan terkemuka seperti
kerajaan Ayodyapura.
Tentang pemilihan tempat keraton, berdasarkan
cerita-cerita, bahwa wahyu keraton telah berpindah di
hutan Bringan, tempat yang pernah didirikan
pesanggrahan Garjitawati semasa Sinuwun Pakubuwono
25

II. Dan juga diceritakan, ketika Sri Sultan ‘menepi’, telah


menerima ‘wisik’, bahwa tempat yang pantas didirikan
keraton adalah tanah di dekat Pacethokan (sekarang
Taman Sari) yang ada sumurnya (Tashadi, 1980:34).
Ricklefs dalam Yogyakarta di Bawah Sultan
Mangkubumi 1749-1792 menggambarkan sosok Sultan
Hamengkubuwono I sebagai seorang pembangun yang
besar dalam tradisi seorang raja Jawa yang terhormat.
Pembuatan bangunan-bangunan besar dan spektakuler
adalah sebuah unsur yang esensial dalam upaya
menunjukkan haknya untuk diakui sebagai seorang raja
(Ricklefs, 2002:129).
Setelah bertahta sebagai Sultan Hamengkubuwono
I, untuk simbol semangat persatuan dalam melawan
penjajah Belanda, pangeran Mangkubumi memerintahkan
membangun sebuah tugu. Tidak ada petunjuk kapan tugu
itu dibangun. Namun yang jelas tugu itu dirombak oleh
Belanda pada tahun 1889 setelah sebagian badannya
runtuh akibat gempa bumi dahsyat yang mengguncang
Yogyakarta pada tahun 1867; dan diganti dengan
monumen atau tugu yang kemudian disebut sebagai Tugu
Yogyakarta, yang bisa kita lihat hingga sekarang. Tugu
dengan ketinggian 15 meter yang berdiri tegak di
perempatan jalan Diponegoro (sebelah Barat), jalan
Jenderal Sudirman (sebelah Timur), jalan Pangeran
Mangkubumi (sebelah Selatan), dan jalan AM. Sangaji
(sebelah Utara), seakan menjadi saksi sejarah perubahan
dan perkembangan Yogyakarta. Tugu ini juga menjadi
tetenger kota Yogyakarta; ia menjadi penunjuk bagi
seseorang yang baru mengenal Yogyakarta. Sebab ke-
26

empat jalan itu mempunyai arah tujuan yang jelas, ialah :


ke Timur menuju ke arah kota Surakarta, ke Barat
menuju ke arah daerah Kulon Progo, ke Selatan menuju
ke arah keraton Yogyakarta, dan ke Utara menuju ke arah
gunung Merapi.
Jalan-jalan dari tugu ke-empat arah – Barat –
Timur – Selatan - Utara, sebagaimana digambarkan oleh
Poliman dan Sukirman (dalam Tashadi, 1980:37), pada
masa dahulu berpagar tembok setinggi 2 meter pada tepi
kanan dan kirinya. Kini tembok-tembok itu ada sebagian
yang masih dapat kita jumpai, tetapi hanya setinggi 1
meter. Tetapi pada umumnya tembok-tembok itu sudah
hilang. Selain itu di kanan dan kiri jalan ditanami pohon
asam, sebagai pohon perindang bagi para pejalan kaki.
Jalan besar dari tugu ke arah selatan hingga
masuk ke alun-alun mempunyai ketentuan tersendiri.
Pada jalan besar ini, penempatan pasar Bringharjo di
sebelah Timur jalan, dan juga penempatan Dalem
Kepatihan di sebelah Timur jalan termasuk suatu
ketentuan dalam konsepsi susunan kota Yogyakarta. Ada
satu kisah, pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono VIII,
Belanda pernah bermaksud memindahkan pasar
Bringharjo ke tempat lain, karena Belanda ingin
memperluas perumahan beteng Vredeburg. Tetapi Sri
Sultan merasa keberatan, karena letak pasar Bringharjo
termasuk ketentuan Tata Rakit Keraton Yogyakarta (lihat
Tashadi, 1980:38)1.

1Pada awal abad ke-XVIII M, keraton Yogyakarta menata kota


menjadi empat wilayah, yaitu daerah Kutonegoro, Negoro Agung,
Monconegoro, dan Pesisiran. Pada daerah Kutonegoro dan Negoro
Agung yang merupakan inti kerajaan terdapat pusat transaksi
27

Sebagai penguasa sebuah kerajaan Islam, Sri


Sultan Hamengkubuwono I tidak lupa membangun
sebuah masjid. Masjid itu terletak di sebelah muka
keraton, di sebelah barat alun-alun Utara. Bangunan
masjid yang kemudian dikenal sebagai masjid Besar
Yogyakarta itu selesai dibangun pada tahun 1773.
Kemudian ditambahkan serambi di sebelah timurnya pada
tahun 1775. Di halaman depan masjid, di sebelah Selatan
dan Utara dibangun dua tempat gamelan sekaten yang
kemudian dikenal dengan pagongan. Gamelan itu
dibunyikan selama tujuh hari pada saat perayaan sekaten,
menjelang garebeg Mulud.
Di masjid Besar Yogyakarta sering diadakan
berbagai upacara keraton Yogyakarta, seperti
dibunyikannya gamelan sekaten, tempat disajikannya
gunung-gunungan keraton, udhik-udhik, pembacaan
riwayat hidup Nabi, upacara ‘njejak bata’, dan lain
sebagainya (Tashadi, 1980:44). Dan pada acara Garebeg,
kompleks masjid Besar Yogyakarta menjadi salah satu
tempat yang penting, di samping Tratag Sitihinggil keraton.
Setelah melihat Belanda membangun beteng
Vredeburg di sebelah utara keraton yang dimulai pada
tahun 1760 (selesai tahun 1789), maka Sri Sultan
Hamengkubuwono I berkeinginan pula melindungi
keratonnya dengan beteng. Kemudian pada tahun 1782
pembangunan beteng yang mengelilingi pusat kota
Yogyakarta kuno (ibu kota kerajaan) pun dilaksanakan.

atau daerah transit. Letak daerah transaksi ini berada di sebelah


utara alun-alun keraton Yogyakarta. Akhirnya tempat itu dikenal
sebagai pasar Bringharjo (Artha, tt:30).
28

Dilihat dari bekas-bekasnya, beteng pertahanan


kota Yogyakarta kuno mempunyai denah segi empat, tiap-
tiap sisinya menghadap ke arah empat mata angin utama
– Timur – Barat – Selatan - Utara. Pada sisi Timur, Barat
dan Selatan masing-masing terdapat sebuah gapura
(plengkung), sedangkan pada sisi Utara terdapat dua buah
gapura (plengkung). Di tiap-tiap pojoknya terdapat gardu
pengintai yang dinamakan tulak tala (bastion). Tiap-tiap
sisi beteng yang panjangnya lebih kurang 1 kilometer,
terdiri atas dua lapis dinding, masing-masing tebalnya 0,5
meter. Tinggi dinding bagian luar 3,5 meter dan bagian
dalam tingginya 2 meter. Ruang di antara kedua dinding
tersebut memiliki lebar kurang lebih 4 meter dan diisi
dengan tanah (lihat Hendro, 2001:47-48). Di sepanjang
dinding beteng bagian luar dibuatkan parit keliling atau
jagang. Pintu gerbang beteng yang disebut plengkung ada
lima buah. Setiap pintu gerbang dihubungkan dengan
jembatan yang dapat ditarik ke atas. Pada masa kini,
sebagian dari beteng sudah rusak, dan sebagian besar
bagian dalam dari beteng-beteng tersebut sudah dijadikan
perumahan oleh penduduk. Demikian pula parit yang
mengelilingi parit, sudah lama ditimbun dengan tanah dan
dijadikan permukiman. Juga jembatan-jembatan yang
menghubungkan pintu gerbang sudah lama dibongkar.
Dari kelima buah pintu gerbang beteng yang sampai
sekarang masih memiliki bentuknya yang asli tinggal dua
buah (periksa pula Soelarto, 1993:25-26).
Di dalam beteng kota Yogyakarta kuno, selain
terdapat istana Sri Sultan Hamengkubuwono dan
kompleks Tamansari, dijumpai pula bangunan-bangunan
diantaranya tempat tinggal para bangsawan atau pejabat
29

kerajaan, tempat tinggal para abdidalem dan tempat


tinggal kelompok prajurit keraton.
Berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Kotamadya
Yogyakarta 1988-1993, sebagaimana dikutip oleh
Khairuddin (1995:3), bahwa corak pembentukan kota
Yogyakarta pada hakekatnya merupakan implementasi
dari konsep Pangeran Mangkubumi tahun 1755, yang
berdasarkan pada bentuk tata tubuh manusia, dimana
kota Yogyakarta terbagi menjadi dua wilayah, bagian
Selatan merupakan simbol rohani dan bagian Utara
merupakan simbol duniawi. Khairuddin menambahkan,
planologi kota Yogyakarta juga didasarkan pada
keserasian makna filosofis sumbu imajiner. Yang dimaksud
dengan sumbu imajiner adalah garis lurus yang ditarik
secara imajiner dari poros Laut Selatan sampai gunung
Merapi dengan melalui bangunan-bangunan yang secara
filosofis mempunyai arti dan makna tersendiri, yakni
secara berturut-turut dari arah Selatan ke Utara :
Panggung Krapyak, Kraton, Tugu, dan Monumen Yogya
Kembali. Semua ini berada pada satu garis lurus, garis
ordinat alam semesta, yang menggambarkan sumbu
kelanggengan.

3.2. Struktur Fisik Keraton


Seluruh wilayah keraton tidak sekaligus dibangun
bersamaan waktunya, melainkan tahap demi tahap, yang
pada setiap keturunan sebagai penerus raja terjadi
penambahan dan penyempurnaan, namun dalam setiap
pembangunan tanpa meninggalkan aturan-aturan seni
bangunan tradisional yang telah ada dan dipakai.
30

Menurut urutan pelaksanaannya oleh Sultan


Hamengkubuwono I dibuat terlebih dahulu daerah
keraton sebagai pusat atau induk pada suatu bidang
tanah yang jika dilihat bentuk dan ukurannya membujur
ke arah Barat dan Timur. Di situ baru didirikan beberapa
bangunan saja ialah Dalem Ageng dengan bentuk joglo
sinom (joglo dengan tiga buah emper berkeliling) dan
beberapa bangunan lain di sekelilingnya. Semua
bangunannya masih menggunakan bahan-bahan yang
kurang baik mutunya, seperti bangunan tratag yang
semuanya masih dibuat dari anyaman bambu dan
berlantai tanah. Pada masa pemerintahan Sultan
Hamengkubuwono II (1792-1812 M) sudah mulai banyak
diadakan perubahan-perubahan dan penambahan-
penambanhan yang cukup berarti. Semua tiang pada
tratag yang terbuat dari batu merah diganti dengan besi.
Setelah melalui beberapa masa pemerintahan, tibalah
masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII (1921-
1939 M). Pada masa inilah banyak bangunan yang
mengalami pembaharuan dan perubahan seperti apa yang
dapat dilihat sekarang ini. Perubahan tersebut banyak
dikenakan pada penggantian sebagian bahan bangunan.
Bagian bangunan yang terbuat dari bahan yang kurang
kuat, seperti tratag dari anyaman bambu diganti dengan
atap sirap dan banyak tiang dari batu merah dan kayu
diganti dengan besi. Penambahan bangunan cukup
banyak pula, antara lain Bangsal Manis, Bangsal Mandala
Sana, pintu gerbang Regol Danapertapa, Pagelaran,
Sitihinggil, Bale Antiwahono, Bale Ratu, dan lain-lain
(Depdikbud, 1980:11-13).
31

Kompleks keraton Yogyakarta berorientasi ke arah


Utara – Selatan, dan secara keseluruhan menghadap ke
arah Utara. Dua buah lapangan luas (Alun-alun Lor dan
Kidul) dan tujuh buah halaman yang terdapat di dalam
dan membentuk kompleks keraton disusun berurutan
dari arah Utara ke Selatan. Dua lapangan dan tujuh
halaman tersebut yaitu : Alun-alun Lor – Halaman
Sitihinggil Lor – Kemandhungan Lor – Sri Manganti –
Kedaton – Kemagangan – Kemandhungan Kidul – Sitihinggil
Kidul – dan Alun-alun Kidul. Antara halaman yang satu
dengan yang lain dipisahkan oleh dinding penyengker dan
dihubungkan dengan pintu gerbang ataupun kori. Di
dalam halaman-halaman itu terdapat bangunan-
bangunan yang satu dengan lainnya memiliki kaitan yang
erat sebagai fungsi sebuah keraton.
Dalam struktur kota Yogyakarta kuno, Alun-alun
adalah bagian kota yang tidak terpisahkan dari keraton.
Alun-alun Lor (Utara) merupakan halaman depan keraton,
sedangkan Alun-alun Kidul (Selatan) merupakan halaman
belakang keraton atau disebut juga Alun-alun Pengkeran.
Dahulu, orang yang akan ke kompleks keraton,
dari arah Utara harus melewati gapura Pangurakan yang
mengapit jalan masuk ke kompleks keraton. Gapura ini
terletak di sebelah Barat Kantor Pos Besar sekarang.
Gapura ini sudah tidak ada bekasnya lagi. Jalan ke
Selatan ( Jalan Trikora) dulu bernama Jalan Pangurakan.
Di dekat (sebelah Selatan) gapura ini, terdapat dua buah
bangsal Pangurakan, rumah jaga atau tempat piket
abdidalem. Di depan masing-masing bangsal tersebut
ditanami pohon beringin. Pangurakan berasal dari kata
32

‘ngurak’ yang artinya menyuruh pergi (mengusir) orang-


orang yang tidak menuruti aturan raja. Setiap hari dijaga
oleh abdidalem Geladhag yang bertugas meng – geladhag
(menyeret) orang yang melanggar aturan kerajaan,
sehingga tempat ini juga dikenal dengan Geladhag.

Gambar 03. Kompleks keraton Kasultanan Yogyakarta


(Soeratno, 2002:50)
33

Alun-alun Lor
Alun-alun Lor (Utara) yang merupakan halaman
depan keraton memiliki luas sekitar 300 m x 300 m. Di
Alun-alun Lor denyut nadi kehidupan sosial dan budaya
masyarakat Yogyakarta lebih terasa. Di masa lalu, Alun-
alun Utara dipenuhi pasir halus, di sekelilingnya dipagari
oleh bangunan ‘pacak suji’. Kini bangunan itu tidak ada
lagi, diganti dengan pagar tembok keliling. Bila orang-
orang ingin masuk atau melewati Alun-alun tidak
diperkenankan berkendaraan, mengenakan sepatu atau
sandal, mengembangkan payung, dan bertongkat.
Menurut Tashadi (1980:42), mengapa Alun-alun tidak
ditanami rumput, karena bila berumput tidak baik untuk
duduk.
Alun-alun Utara, pada zaman kerajaan dahulu
digunakan sebagai tempat berkumpul rakyat untuk
menghadap raja, tempat upacara kenegaraan, dan tempat
keramaian sekaten menjelang garebeg Mulud.
Masyarakat dalam melakukan protes atau
pengaduan kepada Sri Sultan, menggunakan pakaian
putih-putih dengan ikat kepala putih duduk berjemur
(pepe : bhs Jawa) di antara dua pohon beringin kurung
yang ada di tengah-tengah Alun-alun menghadap ke
keraton. Mereka melakukan pepe ini tentunya berharap
dilihat oleh Sultan yang sedang duduk di Sitihinggil.
Sesuai perkenan Sultan, mereka yang melakukan protes
atau pengaduan ini akan dipanggil untuk menjelaskan
maksud dan tujuan melakukan pepe (lihat Khairuddin,
1995:53).
34

Gambar 04. Alun-alun Lor (Dokumentasi Penulis)

Gambar 05. Alun-alun Lor pada saat sekatenan; terlihat masjid Besar
(Dokumentasi Penulis)
35

Di sekeliling Alun-alun Lor ditanami banyak pohon


beringin, ditambah 2 buah di tengah-tengah Alun-alun.
Kedua beringin tengah ini biasa disebut beringin kurung
sebab keduanya dipagari oleh dinding berbentuk bujur
sangkar. Beringin tengah yang sebelah Barat bernama
Kyai Dewadaru, konon bibitnya berasal dari Majapahit,
dan yang sebelah Timur bernama Kyai Wijayadaru, konon
bibitnya berasal dari Pajajaran. Setiap bulan Suro, pohon-
pohon beringin itu dipangkas untuk dirapikan. Menurut
Serat Salokapatra, pohon beringin ditanam di lingkungan
keraton atas kehendak raja untuk dijadikan tanaman
kerajaan. Pohon beringin merupakan lambang
perlindungan, pengayoman raja kepada rakyatnya. Oleh
karenanya pohon beringin yang ada di lingkungan keraton
sangat dipelihara supaya tetap lestari.
Di sekitar Alun-alun Lor terdapat banyak bangunan
bangsal pekapalan. Semua bangunan pekapalan yang
berjumlah 19 buah memiliki bentuk joglo, dan menghadap
ke arah Alun-alun; ia berfungsi untuk tempat para bupati
luar daerah menjalankan ‘tugur’ apabila di keraton sedang
diadakan suatu upacara kenegaraan, seperti misalnya
perkawinan putra putri raja, dan upacara malam
selikuran. Sekarang ini, bangunan-bangunan pekapalan
telah beralih fungsi; bangunan sebelah Timur yang paling
Utara untuk Yakindrata, sebagai tempat pameran barang-
barang hasil seni kerajinan tangan rakyat Yogyakarta;
sebelah sudut Timur Laut dipergunakan untuk gedung
bioskop Soboharsono; sebelah Utara sisi Timur, antara
lain untuk Koramil kecamatan Gondomanan, markas
panitia sekaten, Dinas Sosial, dan di antara pekapalan
36

satu dengan yang lainnya ditambahkan bangunan-


bangunan rumah makan; sebelah Utara sisi barat
dipergunakan untuk kantor-kantor Dinas Inspeksi
Pendidikan Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kultur, dan Departemen Kesehatan; sebelah Barat ujung
Utara dipergunakan untuk gedung Persaudaraan Jemaah
Haji Indonesia (PJHI); di sebelah Selatan PJHI
dipergunakan untuk Dinas Pertanian dan Perikanan, di
dekat pekapalan ini juga untuk keperluan kegiatan
pramuka Kwarcab; di dekat jalan menuju ke Masjid Besar
dipergunakan untuk Bidang Urusan Agama Islam; di
sudut Barat Daya, dulu pernah untuk terminal bis.
Kemudian didirikan sebuah bangunan untuk keperluan
Universitas Gajah Mada Fakultas Kedokteran Hewan pada
tahun 1951.
Terletak lurus di sebelah Barat Alun-alun Lor
adalah masjid Besar. Pintu gerbang masjid berbentuk
limasan samar tinandu. Bangunan masjid berbentuk tajug
lambang teplok berlapis tiga, dengan serambi depan
berbentuk limasan, serta dikelilingi parit (sekarang tidak
ada lagi). Sehingga untuk memasuki masjid termasuk
serambinya harus dengan menyeberangi parit. Untuk Sri
Sultan dibuatkan jembatan gantung yang hanya
digunakan apabila ada upacara. Di halaman masjid
terdapat bangunan balemangu yang terletak di samping
kanan dan kiri pintu gerbang, dan dua buah bangunan
pagongan di sebelah Utara dan Selatan untuk
menempatan gamelan sekaten. Sedang di belakang masjid
terdapat makam, antara lain makam Nyai Ahmad Dahlan,
istri pendiri Muhammadiyah. Dalam kegiatan tradisi
garebeg, pelataran depan serambi masjid dipergunakan
37

untuk memperdengarkan gamelan sekaten. Ambang pintu


depan serambi masjid dipergunakan untuk upacara
penerimaan sesajian selamatan negara yaitu berupa
sesajian gunungan oleh Kyai Pengulu. Tempat ini juga
dipergunakan untuk upacara penyambutan terhadap
Sultan setiap kali berkunjung ke masjid Besar. Serambi
masjid adalah tempat dimana Sultan melakukan upacara
religius pasowanan mulud dalam acara tradisi garebeg
Mulud dan garebeg Mulud Dal. Acara intinya adalah
mendengarkan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW yang
biasanya dibacakan oleh Kyai Pengulu dari kitab Berzanji,
yang sebelumnya diawali dengan dzikir dan shalawatan.

Gambar 06. Masjid Besar (Dokumentasi Penulis)


38

Gambar 07. Interior serambi masjid Besar (Dokumentasi Penulis)

Di sebelah sudut Tenggara Alun-alun Lor terdapat


bangunan kandang harimau. Harimau-harimau ini dahulu
digunakan pada permainan rampogan yang
diselenggarakan di Alun-alun Kidul. Kini bangunan
kandang harimau itu sudah tidak ada lagi.
Persis di sebelah Selatan Alun-alun Lor terdapat
keraton. Susunan bangunan pusat keraton menghadap ke
arah Timur. Pada masa dulu tidak ada rumah yang
menghadap ke arah Timur kecuali keraton. Walaupun
39

susunan bangunan pusat keraton itu menghadap ke arah


Timur, tetapi Dalem Prabayeksa sebagai bangunan inti
keraton ternyata menghadap ke arah Selatan, jadi sama
dengan perumahan masyarakat pada umumnya.
Sedangkan pintu-pintu gerbang keraton terletak di
sebelah Utara dan Selatan yang masing-masing memiliki
tiga buah pintu gerbang.

Halaman Sitihinggil Lor


Dari Alun-alun Lor, lurus ke arah Selatan kita
menjumpai pintu gerbang Pagelaran, yang disainnya
memadukan arsitektur Jawa dan Eropa. Melewati pintu
ini berarti kita telah memasuki halaman keraton yang
pertama, yaitu halaman Sitihinggil. Di sisi paling Utara
halaman ini terdapat bangunan yang berukuran besar,
berupa bangsal terbuka dan menghadap ke arah Utara
pula, yaitu Pagelaran. Bangunan ini dibangun oleh
Hamengkubuwono I, beratap anyaman bambu, tiang dari
batu bata merah berbentuk segi delapan. Pada masa
pemerintahan Hamengkubuwono VII, semua tiang diganti
dengan besi. Kemudian Hamengkubuwono VIII melakukan
perubahan dan perbaikan seperti yang tampak sekarang
ini. Di bagian atas depan terdapat hiasan berupa lambang
Kesultanan Yogyakarta berujud monogram huruf Jawa
bermahkota dan bersayap; di bawahnya terdapat hiasan
yang menunjukkan Sengkalan Memet, yaitu berupa lima
ekor lebah dan seekor biawak yang dapat dibaca Panca
Gana Salira Tunggal yang berarti tahun 1865 Jawa, yaitu
tahun pemugaran Tratag Pagelaran. Sesuai namanya,
bangunan ini difungsikan untuk mengadakan acara
40

pagelaran (pertunjukkan) yang sifatnya umum. Bentuk


bangunan Pagelaran dinamakan ‘limas klabang nyander’
karena memiliki tiang lebih dari enam buah. Bangsal yang
panjang ini (memanjang ke arah Timur – Barat) membelok
ke belakang (ke arah Selatan) pada samping kiri dan
kanannya.

Gambar 08. Tratag Pagelaran (Dokumentasi Penulis)

Gambar 09. Gerbang Tratag Pagelaran (Dokumentasi Penulis)


41

Gambar 10. Tratag Pagelaran dilihat dari arah Sitihinggil


(Dokumentasi Penulis)

Di sisi Selatan Pagelaran, pada bagian bangunan


yang tidak membelok ke belakang, terdapat sebuah
gerbang yang bentuknya sama persis dengan gerbang di
sisi Utara, hanya pada hiasan mahkotanya memiliki
variasi. Selain lambang Kesultanan Yogyakarta, terdapat
pula hiasan yang menunjukkan Sengkalan Memet tahun
Masehi berupa sekuntum bunga dan empat buah trisula
yang berbunyi : Catur Trisula Sekar Lelata, yang berarti
tahun 1934 Masehi, tahun pemugaran bangunan oleh
Hamengkubuwono VIII.
Di bagian depan (Utara), di samping kanan dan
kiri, terpisah dari Pagelaran terdapat bangsal
Pamendangan (pemandangan), yang berfungsi sebagai
tempat menyaksikan ‘watongan’ pada hari-hari tertentu.
Ia juga berfungsi untuk tempat ‘tuguran’ para pangeran.
Bangunannya sangat sederhana, berbentuk limas.
42

Pada sudut dalam sebelah Timur bagian belakang


bangsal Pagelaran didirikan bangunan bangsal yang
terkesan menempel pada bangsal induk (Pagelaran). Di
dalam bangsal ini terdapat dua buah bangsal kecil,
berjajar berdampingan, berbentuk ‘limasan apitan’. Kedua
bangsal kecil yang kaya akan hiasan ini bernama bangsal
Pangrawit. Sepintas kedua bangsal terlihat seperti pinang
dibelah dua, artinya kembar. Namun apabila dilihat
secara seksama, keduanya ternyata berbeda terutama
pada hiasan di bagian dalam atap. Yang satu di sebelah
Utara, mempunyai langit-langit dengan dua buah uleng
yang dihias lambang kesultanan di dalam bintang
delapan. Yang satu lagi di sebelah Selatan, langit-
langitnya terbuka, tampak sebuah ander di tengah dan
dua buah kala. Di dalam bangsal-bangsal Pengrawit itu
didapati dua buah ‘sela gilang’ berupa batu monolit
berbentuk kubus (sekarang tampak batu marmer). Di sini
digunakan untuk upacara penyumpahan dan penobatan
patih.
Agak ke belakang lagi, juga di samping kanan dan
kiri, menempel dengan Pagelaran terdapat dua buah
bangsal besar, yaitu bangsal Pengapit atau dinamakan
juga bangsal Pasewakan. Di sebelah Timur berbentuk
limas lambang gantung dan di sebelah Barat berbentuk
limas lambang teplok. Kedua bangsal ini difungsikan
untuk tempat para bupati caos (piket) apabila ada acara
upacara kerajaan.
Di sebelah Selatan Pagelaran, di samping kanan
dan kiri, sebelum menuju Sitihinggil, terdapat dua buah
bangsal kecil berbentuk limas, yaitu bangsal Pacikeran; ia
berfungsi sebagai tempat pecaosan (piket) abdidalem
43

martolutut dan abdidalem singanegara, kedua-duanya


bertugas melaksanakan hukuman mati : gantung atau
potong leher (Depdikbud, 1980:66). Kedua abdidalem
tersebut merupakan ‘algojo’ yang sewaktu-waktu dapat
menghukum atas perintah raja.

Gambar 11. Bangsal Pacikeran (Dokumentasi Penulis)

Dari bangsal Pagelaran, pandangan kita arahkan


ke Selatan, maka akan terlihat satu bangunan megah
terletak di tanah yang agak tinggi yang dinamakan Tratag
Sitihinggil. Setelah meninggalkan Pagelaran, dengan
menaiki trap tangga sebelas tingkat, sebelum memasuki
Tratag Sitihinggil akan dijumpai Tarub Agung, persis di
depan Tratag Sitihinggil. Bangunan Tarub Agung ini
mempunyai denah berbentuk empat persegi, ukuran 4 x 4
meter, dan atapnya berbentuk tajug dan berdiri di atas
empat tiang tinggi dari pilar besi. Tarub berarti bangunan
tambahan di bagian depan, dan Agung berarti besar.
44

Bangunan ini berfungsi sebagai tempat Sri Sultan


mempersiapkan diri apabila akan berjalan menuruni
tangga menuju ke Alun-alun Lor.

Gambar 12. Sitihinggil (Dokumentasi Penulis)

Gambar 13. Tarub Agung (Dokumentasi Penulis)


45

Kata Sitihinggil berarti tanah tinggi. Dan memang


halaman Sitihinggil letaknya lebih tinggi kurang lebih 1,75
meter dari tanah sekitarnya; luasnya kurang lebih satu
hektar. Bangunan utama yang terletak di halaman ini
adalah Tratag Sitihinggil, sebuah bangunan yang
berukuran besar menghadap ke arah Utara. Dahulu,
Tratag Sitihinggil beratapkan anyaman bambu. Pada masa
pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII atap Tratag
Sitihinggil dan semua tratag yang terdapat di dalam
kompleks keraton diganti dengan atap seng. Tiang-tiang
Tratag Sitihinggil yang semula berupa tiang-tiang bambu,
diganti dengan besi.
Tratag Sitihinggil adalah sebuah bangunan
berbentuk rumah kampung dara gepak, yaitu sebuah
bangunan yang mempunyai atap susun dua, atap bagian
atas berbentuk limasan. Bangunan ini mempunyai
emperan di kanan dan kirinya. Bangunan berdenah empat
persegi dengan luas sekitar 30 x 40 meter. Di bagian
depan tepat di tengah-tengah terdapat sebuah gapura
dengan hiasan suluran tumbuhan pada bidang bagian
atasnya. Pada bidang list gapura bagian atas terdapat
tulisan dalam huruf Jawa yang berbunyi : Sampeyan
Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono
Senapati Ing Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama
Kalifatullah Ingkang Kaping Sanga, yaitu nama lengkap Sri
Sultan Hamengkubuwono IX. Bangunan Tratag Sitihinggil
berfungsi sebagai tempat untuk menyelenggarakan
upacara pasewakan agung, yaitu upacara pertemuan
antara Sri Sultan dengan para pejabat, kerabat dan
46

bawahannya yang lain untuk membicarakan masalah-


masalah kenegaraan (Hendro, 2001:62-63).
Di dalam, di bawah atap Tratag Sitihinggi di bagian
tengah belakang terdapat bangsal kecil, dengan atap
berbentuk limas, yang dinamakan bangsal Manguntur
Tangkil. Menurut Soelarto, kata Manguntur dalam bahasa
Jawa berasal dari kata huntur yang berarti nyala, sedang
kata Tangkil dalam bahasa Jawa berarti menghadap
(audiensi) (Soelarto, 1993:51). Fungsi bangsal ini untuk
upacara-upacara besar dan sakral antara lain sebagai
tempat penobatan raja dan upacara garebeg. Pada saat
upacara berlangsung, Sri Sultan duduk di singgasana
pada bangsal Manguntur Tangkil. Di sini terdapat watu
gilang untuk duduk sinewaka di atas dampar kencana
(singgasana). Di bangsal ini pula biasanya diberikan gelar-
gelar kepada abdidalem dan pembesar-pembesar keraton
dengan Surat Keputusan dari Sultan yang ditanda tangani
oleh Parentah Hageng keraton.

Gambar 14. Bangsal Manguntur Tangkil (Dokumentasi Penulis)


47

Sekarang bangunan bangsal Manguntur Tangkil


ditutup dengan dinding kaca dan di dalamnya dipamerkan
contoh suasana pada suatu ‘pisowanan’, berupa patung-
patung para bawahan yang sedang duduk menghadap Sri
Sultan.
Tepat di sebelah Selatan bangsal Manguntur
Tangkil terdapat bangsal besar yang diberi nama bangsal
Witana, beratap tajug lambang gantung, yaitu bangunan
dengan atap tajug bersusun tiga, atap bagian bawah
digantungkan pada atap bagian atasnya dengan empat
buah kayu yang disebut tiang bentung. Bangunan ini
berhimpit dengan bangsal Tratag Sitihinggil di bagian
tengah belakang (Selatan). Kata Witana, menurut
Brongtodiningrat (1978), seperti dirujuk Soelarto, dalam
bahasa Kawi memiliki arti tempat duduk di surga
(Soelarto, 1993:51). Bangsal Witana berfungsi untuk
menempatkan pusaka-pusaka keraton bila Sri Sultan
sedang bertahta di bangsal Manguntur Tangkil, pada saat
upacara garebeg Mulud Dal yang terjadi setiap delapan
tahun sekali.
Bangunan bangsal Witana memiliki gaya arsitektur
yang benar-benar tertib menurut aturan-aturan seni
bangunan Jawa Klasik. Begitu pula seni hiasannya
ditaburkan ke seluruh bagian bangunan, kelihatan sekali
mewah dan agung serta semarak indah. Di pusat langit-
langit tampak empat buah uleng (pusat langit-langit
dengan tingkat-tingkat tumpang sari) dengan lambang
kesultanan. Semua hiasan yang bertaburan di seluruh
kerangka bangsal dikerjakan secara halus dan teliti. Pada
langit-langit atap terdapat hiasan sulur-suluran
48

tumbuhan, patran dan nanas an dengan warna kuning


emas di atas dasar merah tua. Pada tiang bangunan yang
berjumlah 36 buah, terdapat hiasan segi tiga tumpal yang
distilir dan hiasan yang disebut mirong. Sedangkan umpak
tiang (bagian bawah) dihias berbentuk bunga padma.

Gambar 15. Bangsal Witana (Dokumentasi Penulis)

Gambar 16. Interior Bangsal Witana (Dokumentasi Penulis)


49

Di depan bangunan Tratag Sitihinggil, tepatnya di


samping kanan dan kiri Tarub Agung, terdapat bangunan
kecil beratap bentuk limasan, yaitu di sebelah Barat Tarub
Agung dinamakan Pacaosan Jakso dan di sebelah Timur
Tarub Agung dinamakan Pacaosan Gandhek. Kedua
bangsal menghadap ke Selatan, bagian bawah bangunan
setinggi setengah meter bedinding tembok, kecuali yang
bagian Selatan tanpa dinding. Fungsi kedua bangsal ini
adalah sebagai tempat berkumpulnya abdidalem Gandhek
dan Jakso pada saat berlangsungnya upacara di Tratag
Sitihinggil. Sekarang di kedua bangsal ditempatkan
seperangkat gamelan.

Gambar 17. Bangsal Pacaosan Jakso (Dokumentasi Penulis)

Agak ke belakang, di sebelah Timur Tratag


Sitihinggil terdapat bangsal Bale Angun-angun menghadap
ke arah Barat, dan di sebelah Barat terdapat bangsal Bale
Bang yang menghadap ke arah Timur. Kedua bangunan
50

beratap bentuk limasan, bagian tubuh bangunan


berdinding tembok dengan sebuah pintu dan jendela di
kanan dan kirinya pada sisi bagian depan; jadi sifatnya
tertutup. Bangsal-bangsal ini berfungsi untuk
menempatkan gamelan (Kyai Keboganggang di sebelah
Barat dengan gending kodok ngorek nya dan Kyai Guntur
Laut di sebelah Timur dengan gending monggang nya)
yang dibunyikan untuk mengiringi Sri Sultan bila bertahta
di bangsal Manguntur Tangkil dan mengiringi acara
upacara Pasewakan Agung.
Di sebelah Selatan bangsal Witana terdapat sebuah
dinding melintang arah Barat – Timur setinggi kurang
lebih 1,6 meter, seolah-olah menghalangi suatu jalan
bertrap turun di samping kanan dan kiri serta depan
(sebelah Selatannya). Dinding ini dinamakan Renteng
Mentog Baturana atau dikenal Renteng saja atau Baturana
saja; ia menandai berakhirnya halaman Sitihinggil, untuk
kemudian menuju ke arah Selatan lagi melewati pintu
gerbang Brajanala untuk memasuki halaman kedua
kompleks keraton, yaitu halaman Kemandhungan Lor.

Halaman Kemandhungan Lor


Halaman Kemandhungan Lor luasnya sekitar lima
ribu meter persegi, di bagian Utara terdapat pintu gerbang
Brajanala yang menghubungkan dengan halaman
Sitihinggil Lor, di bagian Barat dan Timur dekat dengan
dinding pembatas antara halaman Kemandhungan Lor dan
Sitihinggil Lor, masing-masing terdapat gapura, dan di
bagian Selatan terdapat pintu gerbang Sri Manganti, yang
menghubungkan dengan halaman Sri Manganti.
51

Gambar 18. Gerbang Brajanala (Dokumentasi Penulis)

Di tengah halaman berdiri sebuah bangsal yang


tidak terlalu besar dengan gaya bangunan Tajug Lambang
Gantung, yaitu bangsal Pancaniti. Bangsal Pancaniti
merupakan bangunan terbuka tanpa dinding penutup
ruangan dan berdenah bujur sangkar berukuran 11 x 11
meter. Lantai bagian tengah menonjol ke atas dan di
atasnya terdapat batu marmer segi empat sebagai tempat
duduk Sri Sultan. Pada langit-langit bangsal terdapat
hiasan sulur-suluran tumbuhan, patran dan nanasan,
sedangkan tiang bangunan dihias dengan segi tiga
tumpal. Di puncak atap bangunan terdapat hiasan yang
disebut Mustaka. Bangunan bangsal Pancaniti mempunyai
serambi yang terletak di sisi depan dan kedua sisi
samping kanan dan kiri. Serambi ini merupakan
bangunan terbuka dengan atap limasan (lihat Hendro,
2001:73-74). Tiga bidang sisi dalam serambi diberi dinding
setengah terbuka bagian bawah, yang posisinya
menggantung pada kerangka atap limasan. Dinding ini
52

disebut tarub, dengan hiasan di sepanjang tepi bidang


dinding berupa hiasan ombak banyu (gelombang air).
Dahulu, fungsi tarub ini sebagai pelindung percikan air
hujan bagi teras serambi. Dengan adanya tarub, ruang di
bawah atap tajug bangsal Pancaniti hampir-hampir
tertutup, hanya bagian bawah saja yang terlihat, kecuali
apabila kita memaksakan diri untuk masuk ke bangsal,
padahal hiasan yang terdapat di bagian dalam atap tajug
sangat indah. Atap tajug disangga oleh empat buah
sakaguru, yang langit-langitnya terdiri atas empat uleng
dengan hiasan yang cukup indah, yang didominasi dengan
bentuk-bentuk geometris. Uleng yang berwarna
kemerahan ditopang oleh empat buah tiang sakaguru
dengan hiasan putri mirong.

Gambar 19. Bangsal Pancaniti (Dokumentasi Penulis)

Bangsal Pancaniti berfungsi sebagai tempat Sri


Sultan mengadili suatu perkara dan juga dipergunakan
untuk mewisuda para pejabat kerajaan yang berpangkat
53

bupati ke bawah. Sesuai dengan namanya, panca berarti


lima (indera manusia) dan niti berarti meneliti, maka
bangsal Pancaniti bisa juga diartikan sebagai tempat
untuk meneliti atau merenungkan diri sendiri,
mengheningkan cipta membersihkan diri sendiri sebelum
melakukan upacara di Sitihinggil Lor.
Tepat di sebelah Selatan bangsal Pancaniti terdapat
bangsal Bale Antiwahono, atapnya berbentuk limasan
dengan empat buah tiang yang menyangganya. Fungsi
Bale ini sebagai tempat pemberhentian kendaraan atau
kereta Sri Sultan. Bangsal ini dihubungkan oleh sebuah
‘kuncung’ (atap tambahan) dengan pintu gerbang Sri
Manganti. Di bawah ‘kuncung’ inilah sebenarnya
kendaraan atau kereta Sri Sultan berhenti.
Di sebelah kanan dan kiri bangunan ‘kuncung’
terdapat bangsal kecil dan pendek, keduanya sebagai
tempat pecaosan para prajurit, sesuai dengan namanya
yakni bangsal Pecaosan Prajurit.
Dari pintu gerbang atau regol Sri Manganti, ke arah
Selatan kita memasuki halaman Sri Manganti, yang
suasananya agak tertutup. Seperti bangunan regol
Brajanala, regol Sri Manganti juga berbentuk limasan
Semar Tinandu, atap berbentuk limasan ditopang oleh dua
buah tiang, yang juga berfungsi sebagai kusen (kerangka)
pintu.

Halaman Sri Manganti


Bangunan-bangunan yang terdapat di halaman Sri
Manganti tersusun memanjang arah Barat – Timur yang
menempati areal seluas lebih dari setengah hektar. Di
54

bagian Timur terdapat bangsal Trajumas, atapnya


berbentuk limasan, sedangkan di bagian Barat terdapat
bangsal Sri Manganti, atapnya berbentuk joglo. Di sebelah
Utara dan Selatan dari masing-masing bangsal ini
terdapat bangsal kecil yang fungsinya sebagai tempat
pecaosan (piket) abdidalem (punggawa keraton), jadi
jumlahnya ada empat buah. Sekarang ini, keempat
bangsal digunakan untuk menyimpan alat pengangkut
barang, yakni joli (tandu berbentuk bundar) dan tandu.
Bangsal Trajumas, disebut demikian karena
bangunan ini berbentuk limasan trajumas lambang
gantung, dengan enam tiang sakaguru. Pada bangunan ini
tidak banyak dijumpai hiasan, beberapa hiasan yang ada
berupa motif bunga pada keempat sudut langit-langitnya;
dan umpak tiangnya berbentuk bunga padma. Konon,
dahulu bangsal Trajumas berfungsi antara lain sebagai
tempat ‘pasowanan’ pada malam ‘midodareni’ yaitu
upacara di malam hari menjelang dilangsungkannya
perkawinan putra raja keesokan harinya. Bangsal
Trajumas, juga dipergunakan untuk tempat
dibunyikannya gamelan sekaten yaitu Kyia Nagawilaga,
pada hari pertama perayaan sekaten. Sekarang, bangsal
ini difungsikan sebagai tempat menyimpan benda-benda
perlengkapan keraton antara lain jenpana (tandu yang
bagus) pengantin, yaitu titihan atau kendaraan pengantin
putrid raja pada waktu upacara perkawinan sampai
dengan masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII.
Sesudah itu, sebagai titihan pengantin digunakan mobil.
Di sini, disimpan pula alat pengangkut yang dinamakan
plangki (tandu segi empat), yaitu atau angkut yang
digunakan untuk membawa uang sumbangan.
55

Gambar 20. Bangsal Trajumas (Dokumentasi Penulis)

Bangsal Sri Manganti berbentuk joglo lambang


gantung; di dalamnya terdapat sela gilang untuk tempat
duduk raja apabila dia menemui tamu sekaligus sebagai
tempat suguhan tari-tarian, sampai dengan masa
pemerintahan Sultan Hamengkubuwono V. Pada masa
sesudahnya, tempat menerima tamu berpindah ke bangsal
Kencana. Selain untuk menerima tamu, bangsal Sri
Manganti digunakan juga untuk sowan para abdidalem
bupati serta para keluarga raja, apabila di keraton sedang
diselenggarakan acara upacara kenegaraan. Juga untuk
tempat membunyikan gamelan sekaten yakni Kyai
Gunturmadu pada hari pertama perayaan sekaten.
Pada dewasa ini, bangsal Sri Manganti digunakan
untuk tempat pameran benda-benda keraton, seperti :
gamelan Sekati yaitu Kyai Guntur madu (Kyai Sekati) dan
Kyai Nagawilaga (Nyai Sekati); gamelan Kyai Guntursari,
Kyai Keboganggang, Kodok Ngorek dan lain sebagainya.
Juga terdapat Kyai Tandulawak, ialah sebuah tandu yang
56

dinaiki Sri Sultan apabila dia telah lanjut usia. Tandu ini
pernah digunakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono II,
sewaktu dia telah lanjut usia untuk keperluan memeriksa
barisan dan keliling bangunan pekapalan bila acara
upacara selikuran (Tashadi, 1980:55).

Gambar 21. Bangsal Sri Manganti (Dokumentasi Penulis)

Tepat di tengah tembok pembatas halaman Sri


Manganti di bagian Selatan terdapat pintu gerbang atau
regol Danapratapa, yang menghubungkan halaman
Srimanganti dengan halaman Kedaton, halaman inti
keraton Yogyakarta. Pintu gerbang ini merupakan sebuah
bangunan berbentuk limasan Semar Tinandu, yaitu
bentuk bangunan limasan yang ditopang oleh dua buah
tiang. Di depan kanan dan kiri regol Danapratapa terdapat
sepasang patung raksasa yang terbuat dari batu monolit.
Yang di sebelah Timur dinamakan Cingkarabala dan yang
di sebelah Barat dinamakan Balaupata; keduanya
menggambarkan raksasa penjaga pintu dan berfungsi
sebagai penolak bala atau malapetaka, masing-masing
57

memegang sebuah gada dan seekor ular. Pintu gerbang


Danapratapa dibangun kembali oleh Sultan
Hamengkubuwono VIII pada tahun 1921 Masehi. Pada
regol Danapratapa terdapat angka tahun berbentuk
sengkalan memet yang berupa gambar daun kluwih,
kepala kemamang, sepasang ular naga (biawak ?) yang
masing-masing ekornya dalam genggaman tangan, dan
lambang keraton, yang berbunyi : Kaluwihaning Yaksa
Salira Aji, menunjukkan tahun Jawa 1853, yaitu tahun
dinobatkannya Sri Sultan Hamengkubuwono VIII menjadi
raja.

Gambar 22. Gerbang Danapratapa (Dokumentasi Penulis)

Halaman Kedaton
Halaman Kedaton merupakan halaman pusat yang
terletak di antara tiga buah halaman yang mengapitnya di
sebelah Utara dan Selatan. Halaman ini dan komposisi
bangunan-bangunan yang berada di dalamnya
58

membentuk gugusan yang membujur dari Barat ke Timur,


menempati areal kurang lebih lima hektar; ia dikelilingi
dinding penyekat (penyengker) setinggi kurang lebih lima
meter. Halaman Kedaton dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
halaman Kedaton bagian Tengah, bagian Barat, dan
bagian Timur. Halaman Kedaton bagian Barat dinamakan
Keputren, sedangkan halaman bagian Timur dinamakan
Kesatriyan.
Di halaman Kedaton bagian Tengah terdapat
sebuah bangunan besar dan sangat indah yang
mempresentasikan bangunan utama di seluruh kompleks
keraton, yaitu bangsal Kencana, berbentuk joglo
mangkurat. Suasana interior bangsal Kencana terkesan
agung dan berwibawa. Hampir di seluruh bagian
bangunan secara merata dijumpai hiasan-hiasan indah
dan rumit. Bangunan ini menghadap ke arah Timur dan
merupakan bangunan terbuka tanpa dinding penutup
ruangan, dengan luas kurang lebih 25 x 20 meter. Pada
sisi depan (Selatan) dan menyatu dengan bangsal ini
adalah sebuah tratag, sedangkan pada kedua sisi samping
kanan dan kiri adalah emperan. Di sebelah Barat,
menyatu dengan bangsal Kencana adalah tratag
Prabayeksa. Baik tratag maupun emperan bangsal
Kencana berbentuk limasan klabang nyander, yaitu
bangunan dengan atap limasan yang disangga oleh
beberapa tiang berderet. Di depan bangsal Kencana,
tepatnya pada sisi depan tratag dijumpai bangunan yang
dinamakan kuncung berbentuk limasan yang disangga
oleh empat tiang.
Bangsal Kencana pada mulanya bernama bangsal
Alus dan pernah dipugar pada tahun 1792 Masehi.
59

Bangsal ini berfungsi sebagai tempat menerima tamu


negara, tempat pelantikan pangeran, tempat upacara
persembahan putra-putri raja, dan tempat mengadakan
tarian Bedaya Srimpi. Apabila bertahta, Sri Sultan duduk
di singgasana di dalam bangsal Kencana agak ke belakang
(dibagian Barat) dan menghadap ke Timur. Sementara
tratag depan dan Kuncung dipergunakan sebagai tempat
mengadakan pertunjukan wayang orang dan wayang kulit
beserta gamelannya (lihat Hendro, 2001:84).

Gambar 23. Tampak Timur Bangsal Kencana (Dokumentasi Penulis)

Bangsal Kencana, berarti bangsal keemasan,


dibangun pada tahun Jawa 1719, ditandai dengan
Candrasengkala : Trus Satunggal Panditaning Rat. Sampai
saat ini, bangsal Kencana merupakan bangunan keraton
yang paling sering digunakan untuk kegiatan keraton,
baik acara biasa maupun acara spiritual. Pada tanggal 7
Oktober 1988, pada saat wafatnya Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, jenasahnya disemayamkan di
60

bangsal Kencana. Kemudian, pada saat Jumenengan Sri


Sultan Hamengkubuwono X, bangsal Kencana
dipergunakan untuk menerima ngabekten dari para
kerabat dan abdidalem keraton. Bangsal ini juga
digunakan untuk menerima sungkeman dan tempat
ngabekten para abdidalem pada hari-hari tertentu, seperti
Hari Raya Idul Fitri (Khairuddin, 1995:46).

Gambar 24. Bangsal Kencana (Dokumentasi Penulis)

Di sebelah Barat bangsal Kencana, dihubungkan


oleh sebuah tratag adalah bangsal Dalem Ageng
Prabayeksa yang merupakan bangunan, rumah, induk
dari keraton Yogyakarta. Bentuk bangunannya adalah
sinom klabang nyander lambang gantung. Ruang bangsal
Prabayeksa bersifat tertutup, dan selalu tertutup, dibuka
hanya sekali dalam seminggu atau pada hari-hari
istimewa. Daerah ini bersambung dengan bangsal
Kencana dengan sekat kaca lebar. Jadi dilihat dari
halaman depan yang agak jauh, bagian ini terkesan wingit
(angker).
61

Prabayeksa memiliki arti sinar yang sangat besar


atau cahaya agung ( praba=sinar, yeksa=raksasa ).
Bangsal ini berdiri ditandai dengan candrasengkala :
Warna Sanga Rasa Tunggal, yang menunjuk tahun Jawa
1694.
Di bagian dalam Dalem Ageng Prabayeksa terdapat
tiga ruang atau bilik, yang dikenal dengan Sentong, yaitu
Sentong Tengen, Tengah, dan Kiwo, lengkap dengan
perlengkapannya, yang berderet dari Barat ke Timur.
Sentong Tengen (kanan) yang terletak paling Timur
menghadap ke arah Timur, sementara Sentong Tengah
(tengah) dan Sentong Kiwo (kiri) (letaknya paling Barat)
menghadap ke arah Selatan.
Di dalam Sentong Tengah, menurut Hendro,
terdapat suatu tempat yang disebut pasarean tengah,
yaitu tempat bersemayamnya roh halus penjaga keraton.
Di dekat pasarean tengah ini terdapat bekas tempat tidur
Sri Sultan Hamengkubuwono I dan sebuah lampu
rombyong yang tidak pernah padam bernama Kyai Wiji. Di
depan Sentong Tengah terdapat sebuah rumah kecil yang
berdiri di atas tiang, yaitu berfungsi sebagai tempat
menyimpan pusaka-pusaka bertuah, di antaranya berupa
tombak Kyai Plered, keris Kyai Kopek dan lain-lain
(Hendro, 2001:85).
Jadi Dalem Ageng Prabayeksa memiliki dualisme
orientasi, yakni arah Timur di wujudkan dengan
keberadaan Sentong Tengen yang menghadap ke arah
Timur, tratag Prabayeksa, bangsal Kencana, tratag depan,
Kuncung, dan halaman atau pelataran. Sedangkan
orientasi arah Selatan diwujudkan dengan keberadaan
62

Sentong Kiwo dan Tengah yang menghadap ke arah


Selatan, ditambah lagi dengan adanya sebuah rumah-
rumahan kecil di depan (di sebelah Selatan) Sentong
Tengah yang berdiri di atas tiang-tiang. Adalah tradisi
Jawa bahwa rumah tinggal lazimnya menghadap ke arah
Selatan. Hanya raja yang boleh melanggar kelaziman ini,
yaitu menghadapkan rumahnya ke arah Timur, tetapi
sebenarnya bagian inti Dalem Ageng Prabayeksa, yaitu
Sentong Tengah dan bangunan rumah-rumahan tempat
penyimpanan pusaka-pusaka keraton yang berada di
depannya, berorienatsi ke arah Selatan. Dualisme
orientasi juga terjadi pada Dalem Ageng Prabasuyasa,
keraton Kasunanan Surakarta.

Gambar 25. Dalem Ageng Prabayeksa (Soeratno, 2002:33)

Di sebelah Utara bangsal Prabayeksa, terdapat


Gedong Kuning atau Gedong Jene, bangunan yang
sebagian besar pintu dan jendelanya berwarna serba
kuning gading, membujur dari Barat ke Timur dan
63

menghadap ke arah Timur, beratap bentuk limasan


dengan sebuah serambi di bagian depan. Bangunan ini
baru selesai direnovasi semasa pemerintahan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, dan hingga sekarang berfungsi
untuk tempat tinggal Sri Sultan. Di antara bangsal
Prabayeksa dan Gedong Jene terdapat Gedong Trajutrisna,
bangunan beratap limasan dan menghadap ke arah
Timur, berfungsi untuk tempat ‘penantun’ putri Sri Sultan
yang akan menikah.
Di sebelah Timur Gedong Jene dan di sebelah
Utara bangsal Kencana, terdapat bangunan yang dikenal
Gedong Purwaretna, bangunan berlantai dua dengan atap
limasan dan menghadap ke arah Selatan. Bangunan ini
berfungsi, lantai bawah untuk kegiatan kantor Sri Sultan
dan lantai atas sebagai tempat menyimpan arsip-arsip dan
sebagai perpustakaan keraton. Di depan Gedong
Purwaretna tumbuh sebuah pohon kanthil yang oleh
sebagian orang dipandang keramat.

Gambar 26. Gedong Jene (Dokumentasi Penulis)


64

Di depan bangsal Kencana, di sebelah kanan


(Utara) dan kiri (Selatan) terdapat sepasang bangsal
Kothak, masing-masing beratap limasan disangga oleh
delapan tiang. Kedua bangsal ini berfungsi sebagai tempat
wayang orang atau penari sebelum dan sesudah
melakukan adegan atau bagian cerita tertentu dari tarian
yang diselenggarakan di tratag bangsal Kencana.
Kemudian juga berfungsi untuk menempatkan gamelan
laras slendro dan laras patet pada saat diadakan upacara
kerajaan di bangsal Kencana.

Gambar 27. Bangsal Kothak (Dokumentasi Penulis)

Di sebelah Utara salah satu bangsal Kothak (Utara)


terdapat bangsal Mandalasana atau bangsal musik,
berdenah dan beratap segi delapan, berfungsi untuk
memainkan instrumen musik pada saat upacara-upacara
tertentu yang diselenggarakan di bangsal Kencana.
65

Gambar 28. Bangsal Mandalasana (Dokumentasi Penulis)

Di bagian Timur Laut halaman Kedaton bagian


Tengah, terdapat Tepas Parentah Ageng, sebuah bangunan
beratap limasan menghadap ke arah Selatan, berfungsi
untuk kantor tata pemerintahan keraton.
Di bagian Timur halaman Kedaton bagian Tengah
terdapat Regol Gapura, yaitu gerbang penghubung antara
halaman Kedaton bagian Tengah dengan bagian Timur
atau halaman Kesatriyan. Bentuk bangunan seluruhnya
tertutup dinding, pada bagian bawah berlorong dengan
dua buah ruangan di sebelah kanan dan kirinya. Di
sebelah Utara Regol Gapura adalah Gedong Gangsa Pelog,
menghadap ke arah Barat dan beratap limasan, berfungsi
untuk menyimpan perangkat gamelan pelog dan
dibunyikan pada saat dilangsungkannya upacara kerajaan
di bangsal Kencana. Di sebelah Selatan Regol Gapura
adalah Gedong Gangsa Slendro, juga menghadap ke arah
Barat dan beratap Limasan, berfungsi untuk menyimpan
66

perangkat gamelan slendro. Dan di sebelah Selatan


Gedong Gangsa Slendro adalah Gedong Sarangbaya,
beratap limasan dan menghadap ke arah Barat, berfungsi
sebagai tempat mempersiapkan minuman keras pada saat
ada tamu negara, terutama warga asing.
Di bagian Tenggara halaman Kedaton bagian
Tengah terdapat Tepas Rantam Arta, bangunan dengan
atap kampung susun dua dan menghadap ke arah Utara,
berfungsi sebagai kantor kas keraton. Di sebelah Barat
Tepas Rantam Arta adalah Gedong Patehan, bangunan
beratap limasan dan menghadap ke arah Utara, berfungsi
sebagai tempat membuat minuman teh, baik untuk
keperluan sehari-hari maupun untuk keperluan apabila
ada tamu negara.

Gambar 29. Gedong Patehan (Dokumentasi Penulis)

Di sebelah Barat Gedong Patehan adalah pintu


gerbang atau regol Kemagangan yang menghubungkan
halaman Kedaton dengan halaman Kemagangan di
67

sebelah Selatan. Di sebelah Barat pintu gerbang


Kemagangan, masih di dalam halaman Kedaton bagian
Tengah, adalah bangsal Sedahan, bangunan dengan atap
limasan dan menghadap ke arah Utara, berfungsi sebagai
tempat untuk menyimpan perlengkapan pesta dan benda-
benda perlengkapan wayang orang.
Tepat di sebelah Selatan bangsal Kencana terdapat
bangsal Manis, bangunan berbentuk limasan klabang
nyander, yaitu bangunan dengan atap limasan yang
disangga oleh beberapa buah tiang berderet, memanjang
arat Utara-Selatan. Sifat bangunan terbuka dikelilingi
pagar kayu setinggi satu setengah meter. Pada bagian
tengah bangunan terdapat bagian yang menonjol keluar di
bagian Barat dan Timur, masing-masing kurang lebih tiga
meter, keduanya beratap kampung dengan menggunakan
tutup keong dan disangga oleh dua buah tiang. Kedua
bagian bangunan tambahan ini dinamakan Kuncung.

Gambar 30. Bangsal Manis (Dokumentasi Penulis)


68

Bangsal Manis bersekat kaca dengan bangsal


Kencana dan berlantaikan marmer. Di bangsal Manis
sering diselenggarakan pesta kerajaan, apabila di keraton
ada tamu kenegaraan. Sewaktu di keraton
diselenggarakan pesta perkawinan putra-putra Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, tempat untuk menjamu para tamu
bertempat di bangsal Manis. Pada bidang tutup keong
bangunan Kuncung terdapat hiasan lambang keraton, dan
pada pagar kayu di bawahnya terdapat hiasan sengkalan
memet yang berupa : kepala raksasa atau kemamang,
seekor lintah pada rambut kemamang, dua ekor naga raja
di sebelah kanan dan kiri kemamang, yang semuanya
dapat dibaca : Wredu Yaksa Naga Raja, yang berarti tahun
Jawa 1853, yaitu tahun pemugaran bangsal Manis.
Di sebelah Selatan bangsal Prabayeksa agak ke
Timur terdapat bangsal Pengapit, bangunan dengan atap
limasan dan menghadap ke arah Timur, berfungsi sebagai
tempat menerima tamu ketika bangsal Kencana belum
selesai dibangun. Sekarang bangsal ini difungsikan
sebagai tempat ‘ penantun ‘ untuk para gadis calon
menantu Sri Sultan.
Halaman Kedaton bagian Barat atau dikenal
halaman Keputren ditempati bangunan-bangunan yang
khas bagi kegiatan-kegiatan perempuan. Dinding
pembatas antara halaman Keputren dan halaman Kedaton
bagian Tengah tidak begitu jelas, namun bangunan-
bangunan yang terdapat di kedua halaman itu dapat
dipisahkan dan dikelompokkan. Sekarang bangunan-
bangunan yang terdapat di halaman Keputren sebagian
besar masih berfungsi dengan baik, yaitu sebagai tempat
tinggal keluarga Sri Sultan Hamengkubuwono IX, oleh
69

karena itu tidak setiap orang dapat masuk ke dalam


halaman ini, hanya keluarga dan orang-orang tertentu
yang boleh masuk. Halaman Keputren mempunyai sebuah
pintu gerbang, yaitu letaknya di sebelah Selatan bangsal
Pengapit, di bagian Tenggara halaman Keputren; ia
bernama gerbang Manik Antaya dan berfungsi sebagai
pintu penghubung antara halaman Kedaton bagian
Tengah dan halaman Keputren (lihat pula Hendro,
2001:94-95).
Di sisi Timur halaman Keputren, berhimpit dengan
bangsal Prabayeksa terdapat tiga buah ruang yang
berderet dari arah Utara ke Selatan, yaitu secara
berurutan dari arah Utara ke Selatan, Gupit Mandragini,
Gedong Kepilih, dan Kedaton Kulon. Gupit Mandragini
letaknya seatap dengan bangsal Prabayeksa, berfungsi
untuk tempat tidur permaisuri Sri Sultan; Gedong Kepilih
letaknya di sebelah Selatan dan berhimpit dengan Gupit
Mandragini, seatap dengan bangsal Prabayeksa, berfungsi
untuk tempat para keparak terpilih yang bertugas bersaji
kepada pusaka-pusaka keraton; dan Kedaton Kulon
letaknya di sebelah Selatan dan berhimpit dengan Gedong
Kepilih, juga seatap dengan bangsal Prabayeksa tersekat
oleh dinding kayu, menghadap ke arah Selatan, berfungsi
untuk tempat tidur permaisuri Sri Sultan.
Agak jauh di sebelah Selatan bangsal Prabayeksa,
di sebelah Barat pintu gerbang Manik Antaya terdapat
Gedong Gandakusuma dan deretan empat buah Dalem
Klangenan (tempat tinggal para selir raja) membujur dari
arah Timur ke Barat, semuanya menghadap ke arah
Utara. Di depan (sebelah Utara) Dalem Klangenan yang
70

letaknya paling ujung (Barat) terdapat masjid Keputren,


berfungsi untuk tempat abdidalem Suranata dan
Punakawan Kaji menjalankan ibadah sembahyang lima
waktu dan juga untuk sembahyang terawih. Di sebelah
Timur masjid Keputren atau di depan (Utara) deretan
Dalem Klangenan yang letaknya kedua dari ujung (Barat)
adalah Gedong Maduretna. Di sebelah Utara masjid
Keputren terdapat dua buah Dalem Klangenan. Di sebelah
Utara kedua Dalem Klangenan tersebut terdapat sebuah
masjid yang bernama masjid Panepen, berfungsi sebagai
tempat dilangsungkannya upacara ijab untuk putra-putri
raja.
Di bagian paling Barat halaman Keputren, atau di
sebelah Barat masjid Keputren, dua buah Dalem
Klangenan berderet dan masjid Panepen terdapat Dalem
Keraton Kilen dengan halaman yang luas. Semasa Sri
Sultan Hamengkubuwono VI, Dalem Keraton Kilen
dipergunakan untuk tempat tinggal Kangjeng Ratu Ageng,
permaisuri Sri Sultan, kemudian pada waktu berikutnya
dipergunakan untuk tempat tinggal keluarga dekat Sri
Sultan.
Di bagian Timur Laut halaman Keputren, tepatnya
di sebelah Barat Gedong Jene terdapat dua buah
bangunan yang berdekatan, yaitu yang sebelah Selatan
bernama bangsal Abrit dan yang sebelah Utara bernama
Gedong Indrakila, yang keduanya membujur arah Timur-
Barat. Bangsal Abrit menghadap ke arah Selatan, pada
bagian dalamnya terdapat ruang khusus untuk upacara
sekali setahun, yakni berupa ‘siraman’ bagi pusaka
Kangjeng Kyai Ageng Plered yang dilakukan sendiri oleh
Sri Sultan (Tashadi, 1980:62). Sementara Gedong
71

Indrakila berfungsi untuk tempat tinggal bagi putra-putri


Sri Sultan yang belum menikah. Di sebelah Selatan agak
ke Barat dari bangsal Abrit adalah Gedong Inggil,
menghadap ke arah Timur dan berfungsi sebagai tempat
menyimpan pusaka-pusaka keraton, seperti Kangjeng Kyai
Slamet, Kangjeng Kyai Tunggulwulung, Kangjeng Kyai
Pangarab-arab, dan lain sebagainya. Di sebelah Barat
bangsal Abrit dan Gedong Indrakila terdapat bangunan
Gebayanan, berfungsi untuk tempat para abdidalem
keparak gebayan. Di sebelah Barat Gedong Inggil terdapat
bangsal Asrep. Di sebelah Utara agak ke Barat dari
Gebayanan terdapat bangsal Kemasan, berfungsi sebagai
tempat kerja para pengrajin emas. Di sebelah Barat agak
ke Selatan dari bangsal Kemasan terdapat masjid
Panepen.
Bagian paling Utara dari halaman Keputren adalah
halaman Tamanan, letaknya di sebelah Utara Gedong
Jene, bangsal Abrit dan Gedong Indrakila, dan di sebelah
Barat halaman Sri Manganti. Di dalam halaman Tamanan
terdapat bangsal Tamanan, berbentuk joglo lambang sari,
dengan pahatan serta pewarnaan yang sangat halus dan
indah (Tashadi, 1980:63).
Halaman Kedaton bagian Timur dinamakan
halaman Kesatriyan, berisi bangunan-bangunan tempat
tinggal pangeran, putra-putra Sri Sultan yang belum
menikah. Semula bernama Kadipaten, ialah tempat tinggal
putra mahkota. Sejak Sri Sultan Hamengkubuwono VI,
Dalem Kadipaten dipindahkan di luar keraton, yaitu di
sebelah Utara Taman Sari (Dalem Mangkubumen sekarang)
(Tashadi, 1980:65). Untuk memasuki halaman ini, kita
72

harus melewati Regol Gapura yang menghubungkan


halaman Kedaton bagian Tengah dengan bagian Timur
(halaman Kesatriyan). Setelah melewati Regol Gapura, kita
akan melihat sebuah halaman yang tidak begitu luas, di
sebelah Utara dan Selatan terdapat Gedogan (kandang
kuda), sedangkan di sebelah Timur terdapat sebuah pintu
gerbang. Melewati pintu gerbang ini kita akan menjumpai
bangsal Kesatriyan dengan halaman yang agak luas. Di
sebelah Utara Gedogan bagian Utara dijumpai Gedong
Kapa.
Gedong Kapa adalah bangunan dengan atap
berbentuk limasan kutuk manglung, yaitu atap limasan
dengan emperan pada salah satu sisinya, membujur arah
Barat-Timur, dan menghadap ke arah Selatan. Bangunan
ini, dahulu berfungsi sebagai tempat menyimpan pakaian
dan peralatan kuda Sri Sultan. Kini dipergunakan untuk
tempat pameran benda-benda keraton seperti barang-
barang keramik hadiah para tamu negara, benda-benda
upacara kerajaan, gambar-gambar, dan lain sebagainya.
Bangsal Kesatriyan adalah sebuah pendopo
berbentuk joglo kepuhan limolasan, menghadap ke arah
Selatan, ditambah dengan emperan di sebelah belakang
(Utara) dan depan (Selatan), masing-masing berbentuk
limasan klabang nyander. Secara keseluruhan bangunan
ini posisinya membujur arah Utara-Selatan. Bangunan ini
merupakan pendopo dari Dalem Kesatriyan yang
fungsinya sebagai tempat untuk latihan menari tiap hari
Minggu, untuk uyon-uyon Adi Luhung tiap malam Sabtu
Pahing, untuk tempat mengangin-anginkan wayang-
wayang keraton, dan lain sebagainya (lihat pula Tashadi,
1980:65-66).
73

Di sebelah Utara berhimpit dengan bangsal


Kesatriyan adalah Dalem Kesatriyan, bangunan dengan
atap limasan susun dua, membujur arah Barat-Timur,
menghadap ke arah Selatan, pada bagian depan bangunan
terdapat serambi terbuka yang atapnya bersambungan
dengan atap emperan pendopo bagian Utara. Dalem
Kesatriyan berfungsi sebagai tempat tinggal Pangeran Pati,
yaitu calon pengganti Sultan ketika belum menikah
(Hendro, 2001:103).
Di sebelah Utara Dalem Kesatriyan terdapat
Gedong Sri Katong, dan di sebelah Timur Gedong Sri
Katong terdapat Gedong Purwarukma, sementara di
sebelah Barat Gedong Sri Katong terdapat dua buah
Gedong Putra Dalem, keempat bangunan berfungsi sebagai
tempat tinggal putra-putra raja yang belum menikah,
termasuk juga putra mahkota. Sekarang keempat
bangunan difungsikan sebagai tempat pemain wayang
(laki-laki) berpakaian. Di sebelah Utara keempat
bangunan itu terdapat Gedong Keparak, berbentuk
memanjang arah Barat-Timur, menghadap ke arah
Selatan.
Di sebelah Timur bangsal Kesatriyan, disela oleh
sebuah lorong, terdapat Gedong Pringgondani, bangunan
dengan atap bentuk limasan susun dua, membujur arah
Utara-Selatan, menghadap ke arah Barat, pada bagian
depan ditambah serambi terbuka dengan atap tambahan
pula. Gedong Pringgondani berfungsi sebagai Tepas Krida
Mardawa, yaitu tempat untuk latihan menari. Sekarang
bangunan ini berfungsi sebagai tempat pameran lukisan
beberapa Sultan Yogyakarta (Hendro, 2001:104). Di
74

tempat ini terdapat pula gambar-gambar karya besar


pelukis kenamaan, Raden Saleh (Tashadi, 1980:66).
Di sebelah Selatan bangsal Kesatriyan, disela oleh
halaman terdapat tiga buah bangunan yang posisinya
berderet arah Barat-Timur, menghadap ke arah Utara.
Ketiga bangunan itu : Pacaosan, Gedong Gangsa, dan
Patehan. Di sebelah Selatan agak ke Timur dari ketiga
bangunan itu terdapat Dalem Kedaton Wetan dengan
halaman yang agak luas, bangunan dengan atap limasan
susun dua, membujur arah Barat-Timur, menghadap ke
arah Barat. Pada masa pemerintahan Sri Sultan
Hamengkubuwono VIII, bangunan ini dikenal dengan
nama Dalem Suryabrangtan. Dahulu, bangunan ini
berfungsi sebagai tempat tinggal salah satu kerabat
keraton dan sekarang digunakan sebagai Tepas Widya
Budaya, tempat menyimpan kitab-kitab keraton, yang
sebagian besar berhuruf Jawa tulisan tangan berbentuk
tembang (Hendro, 2001:105; Tashadi, 1980:66).
Di sebelah Barat Dalem Kedaton Wetan terdapat
Siliran, bangunan dengan atap limasan, membujur arah
Utara-Selatan, menghadap ke arah Barat, berfungsi
sebagai tempat menyimpan lampu-lampu yang
dipergunakan apabila di keraton mengadakan keramaian
di malam hari atau untuk keperluan yang lain. Agak jauh
di sebelah Utara agak ke Barat dari Siliran, tepatnya di
sebelah Selatan Gedogan bagian Selatan, terdapat
Pacaosan Siliran, sebagai tempat caos para abdidalem
yang mengurus lampu-lampu di dalam keraton.
Demikianlah gambaran halaman Kedaton beserta
bangunan dan kelengkapannya, untuk selanjutnya kita
melanjutkan paparan tentang kondisi fisik dan tata letak
75

bangunan-bangunan yang berada di dalam halaman yang


terletak di sebelah Selatan halaman Kedathon, yaitu
secara berurutan : halaman Kemagangan, Kemandhungan
Kidul, dan Sitihinggil Kidul.

Halaman Kemagangan
Halaman Kemagangan terletak di sebelah Selatan
halaman Kedaton, dipisahkan dengan dinding penyengker
setinggi kurang lebih lima meter dan dihubungkan dengan
pintu gerbang atau regol Kemagangan. Halaman
Kemagangan berbentuk hampir bujur sangkar dan di
sebelah Selatan dan menyatu atau menyambung halaman
Kemagangan adalah sebuah halaman yang memanjang ke
arah Selatan dan pada ujung halaman ini kita jumpai
pintu gerbang atau regol Gadung Mlati, yaitu pintu
gerbang yang menghubungkan halaman Kemagangan
dengan halaman Kemandhungan Kidul. Di tengah-tengah
halaman yang memanjang (seperti lorong) dahulu terdapat
jembatan gantung. Kali yang berada di bawahnya
menghubungkan segaran di sebelah Barat dengan segaran
di sebelah Timur. Di tengah-tengah segaran sebelah Timur
terdapat sebuah ‘pulau’ yang dinamakan Pulo Gedong.
Di sebelah kiri dan kanan regol Kemagangan
terdapat dua buah bangsal kecil tempat caos, sedangkan
di depan regol terdapat sebuah Tarub atau bangunan
tambahan yang dikenal dengan Balerata, yaitu tempat
pemberhentian kereta Sri Sultan. Di depan atau di sebelah
Selatan Balerata tumbuh pohon beringin, yang ditanam
pada tahun 1921 untuk memperingati penobatan Sri
76

Sultan Hamengkubuwono VIII sebagai Sultan


Ngayogyakarta Hadiningrat.
Di sebelah Barat pintu gerbang Kemagangan
terdapat bangunan untuk menempatkan lonceng yang
dibunyikan setiap setengah jam oleh para prajurit yang
bertugas jaga di pintu gerbang. Di sudut Tenggara dan
Barat Daya halaman Kemagangan terdapat dua bangsal
besar dan panjang ke arah Utara-Selatan, bentuknya
sangat sederhana, berfungsi sebagai tempat untuk
persiapan pembuatan gunungan, sehingga namanya pun
omah gunungan atau rumah gunungan. Gunungan
dipergunakan dalam upacara garebeg Mulud (12 Rabi’ul
Awal tahun Hijriyah), Poso (1 Syawal tahun Hijriyah) dan
Besar (10 Dzulhijjah tahun Hijriyah). Jadi rumah
gunungan dipergunakan tiga kali dalam setahun. Karena
itu pada hari-hari biasa bangunan ini pernah juga
difungsikan sebagai tempat parkir kendaraan.
Di sebelah Timur Laut halaman Kemagangan
terdapat bangunan terbuka yang berfungsi untuk tempat
menyembunyikan gendering, terompet dan seruling oleh
golongan prajurit yang sedang jaga di keraton. Di sebelah
Barat dan Timur halaman Kemagangan terdapat dua buah
jalan, yaitu Jalan Kemagangan Kulon dan Jalan
Kemagangan Wetan. Di sebelah Barat halaman
Kemaganagn dekat dengan Jalan Kemagangan Kulon
terdapat sebuah bangunan beratap limasan yang
difungsikan sebagai tempat jamban (kamar mandi dan
wc). Tepat di tengah halaman Kemagangan terdapat
bangsal Kemagangan.
Regol Kemagangan bentuknya sederhana saja,
pada dindingnya terdapat candrasengkala memet
77

berbentuk dua ekor naga besar berlilitan ekornya, yang


bisa terbaca : Dwi Naga Rasa Tunggal, berarti tahun Jawa
1682 atau Masehi 1756, menunjukkan tahun berdirinya
keraton Kasultanan Yogyakarta. Menurut Tashadi, bahwa
ular yang sebelah Barat berjenis betina, sedang yang
sebelah Timur berjenis jantan (Tashadi, 1980:67). Masih
di regol ini, kita juga bisa menjumpai dua ekor naga di
sebelah kanan dan kiri berwarna merah menjulur ke arah
Selatan, yang bisa terbaca : Dwi Naga Rasa Wani, berarti
tahun Jawa 1682.

Gambar 31. Gerbang atau Regol Kemagangan


(Dokumentasi Penulis)

Balerata dipergunakan oleh Sri Sultan untuk


memberhentikan kendaraan (kereta) nya apabila dia pergi
keluar untuk keperluan intern, seperti pesiar, upacara
gladi resik di Alun-alun Kidul, dan keperluan-keperluan
pribadi. Juga untuk masuknya kerabat keraton serta para
abdidalem. Termasuk apabila ada upacara kematian
78

keluarga raja atau raja sendiri, kendaraan atau kereta


jenasah akan berhenti di Balerata.
Bangsal Kemagangan, bangunan berbentuk joglo
lambang teplok, dengan sebuah selo gilang di bagian
tengahnya, yang digunakan untuk tempat duduk Sri
Sultan. Bangsal ini dipergunakan untuk tempat ‘tugur’
para prajurit bila di keraton ada upacara kenegaraan atau
bila ada keluarga keraton yang meninggal. Selain itu juga
untuk tempat wayangan bedhol songsong (penutupan)
yang dilakukan pada malam hari setelah garebeg Syawal.
Dewasa ini, bangsal Kemagangan dipergunakan pula
untuk upacara numplak gunungan, yang dilaksanakan
satu hari sebelum ada upacara garebeg (Tashadi,
1980:68).

Gambar 32. Bangsal Kemagangan (Dokumentasi Penulis)

Halaman Kemandhungan Kidul


Dengan melewati halaman panjang Kemagangan
menuju ke arah Selatan, kita akan menjumpai pintu
79

gerbang atau regol Gadung Mlati, yang menghubungkan


halaman Kemagangan dengan halaman Kemandhungan
Kidul, bangunan berbentuk limasan Semar Tinandu. Di
bagian depan regol terdapat serambi, seperti pada regol
Kemagangan, di kanan dan kirinya dijumpai dua buah
ekor ular yang sedang menjulur ke arah Selatan, yang
bisa terbaca : Dwi Naga Rasa Wani, yang menunjuk tahun
Jawa 1682. Sedangkan di belakang regol terdapat
baturana yang padanya terdapat hiasan dua ekor ular
naga yang ekornya saling berlilitan, yang bisa terbaca :
Dwi Naga Rasa Tunggal, menunjuk tahun Jawa 1682.
Dari sini kita memasuki halaman yang tidak
terlalu luas dengan sedikit bangunan yang berdiri di
atasnya. Pada kiri dan kanan pintu gerbang Gadung Mlati
di halaman Kemandhungan Kidul, terdapat bangunan
berbentuk limasan untuk jaga para prajurit atau untuk
caos para abdidalem. Di tengah halaman berdiri sebuah
bangunan yang terlihat tua dan kurang terawat, yaitu
bangsal Kemandhungan Kidul. Bangunan ini berbentuk
joglo lawakan, yaitu bangunan dengan atap joglo susun
dua. Dahulu dipergunakan sebagai tempat menyimpan
benda-benda upacara seperti tandu, jempana, joli, plangki,
dan lain sebagainya. Juga benda-benda yang
dipergunakan dalam pertunjukan wayang orang. Dan
pernah difungsikan pula sebagai gedung Sekolah Dasar.
Berdasarkan namanya, aslinya bangsal Kemandhungan
Kidul dipergunakan untuk sowan para abdidalem
Mandhung.
Bangsal Kemandhungan Kidul mempunyai nilai
sejarah sendiri yang cukup penting. Bangunan ini diambil
80

dari daerah Sukowaten dipindah ke Yogyakarta dan


termasuk paling tua didirikan dan dibangun di kompleks
keraton Kesultanana Yogyakarta; ia dibangun sebelum
seluruh bangunan keraton Kesultanan Yogyakarta ada.
Menurut riwayat, pada zaman perang Giyanti, bangunan
ini merupakan satu-satunya markas Hamengkubuwono I
yang tidak dibakar oleh musuh. Maka mendapat
kehormatan masuk keraton dan menjadi tonggak pertama
pembangunan keraton Kesultanan Yogyakarta (Tashadi,
1980:105).
Di sebelah Selatan bangsal Kemandhungan Kidul
terdapat baturana atau dinding penghalang atau sela kelir,
yang befungsi untuk menghalangi masuknya roh jahat. Di
sebelah Selatan baturana kita jumpai pintu gerbang atau
regol Kemandhungan Kidul, yang menghubungkan
halaman Kemandhungan Kidul dengan halaman Sitihinggil
Kidul. Regol Kemandhungan Kidul berbentuk limasan
Semar Tinandu, tanpa adanya serambi baik di bagian
depan maupun belakangnya.

Halaman Sitihinggil Kidul


Halaman Sitihinggil Kidul merupakan halaman
paling Selatan dalam komplek keraton Kesultanan
Yogyakarta. Sesuai dengan namanya, halaman ini berupa
tanah yang ditinggikan dan berdenah segi empat.
Di luar (sebelah Selatan) pintu gerbang atau regol
Kemandhungan Kidul, dahulu di kanan dan kirinya
terdapat bangsal kecil, beratap limasan, yang berfungsi
untuk tempat jaga prajurit. Kini kedua bangunan itu
sudah tidak ada lagi.
81

Pada halaman Sitihinggil Kidul sisi Utara, Barat


dan Timur terdapat lorong yang lebarnya kurang lebih
lima meter, mengelilingi halaman hingga tembus sampai
di Alun-alun Kidul. Jalan yang menyerupai lorong ini
dikenal dengan Supit Urang atau Pamengkang. Semua
yang lewat jalan ini, dahulu tidak diperkenankan
mengenakan payung, topi, caping, tongkat, sandal apalagi
menaiki kendaraan. Kini larangan itu sudah tidak ada
lagi. Dari Pamengkang (jalan di sisi Utara halaman
Sitihinggil Kidul) ada tangga naik ke halaman Sitihinggil,
dijumpai baturana, lalu halaman Sitihinggil. Di tengah-
tengah halaman terletak bangsal Sitihinggil Kidul,
bangunan berbentuk joglo lambang teplok. Bangunan ini
sekarang telah diganti bangunan baru Sasana Hinggil Dwi
Abad, sebuah bangunan monumen memperingati dua
abad usia keraton Kesultanan Yogyakarta. Dahulu
halaman Sitihinggil Kidul dipergunakan untuk para putri
keluarga raja ketika melihat keramaian rampogan harimau
yang diselenggarakan di Alun-alun Kidul. Dari halaman
Sitihinggil Kidul di sebelah Selatan terdapat tangga
menurun menuju ke Alun-alun Kidul pada sebuah tratag,
sehingga dikenal dengan tratag Rambat.

Alun-alun Kidul
Alun-alun Kidul atau Alun-alun Pengkeran yang
memiliki ukuran kurang lebih 165 m x 165 m, pada masa
dahulu dipenuhi pasir halus dan digunakan sebagai
tempat melatih prajurit-prajurit dalam ilmu kanuragan
dan juga ketangkasan berkuda untuk pasukan kavaleri.
Di tengah-tengah Alun-alun terdapat dua buah pohon
82

beringin kurung. Di sebelah Barat Alun-alun terdapat


bangunan kandang gajah, yang setiap keramaian garebeg
dibawa ke Alun-alun Utara. Pada masa itu, gajah-gajah itu
dihias. Di sebelah Utara, tepat di depan Sitihinggil terdapat
bangunan tratag dari bahan bambu dengan tiang-tiang
dari besi. Di tengah-tengah tratag ini terdapat sebuah sela
gilang yang digunakan oleh Sri Sultan apabila dia
berkenan untuk melihat keramaian rampogan harimau.
Juga dipergunakan apabila dia berkenan menghadiri
keramaian gladi resik prajurit keraton menjelang upacara
garebeg. Di sekeliling Alun-alun Pengkeran ditanami pohon
gayam, kweni dan pakel (lihat Tashadi, 1980:71-72).
Sekarang ini, Alun-alun Pengkeran tidak lagi
berpasir halus melainkan ditumbuhi rumput dan di
sekelilingnya telah diberi jalan beraspal; ia dipergunakan
untuk berbagai kegiatan olah raga di pagi hari dan untuk
bersantai di waktu malam hari. Masyarakat bersantai
dalam keburaman cahaya dari lampu-lampu di pinggir
Alun-alun sambil makan nasi liwet. Di situ pulalah,
hampir tiap malam beberapa orang melakukan apa yang
disebut masangin, yaitu melewati jalan di antara dua
buah pohon beringin kurung (jarak antara dua pohon
sekitar 12 meter) yang terletak di tengah-tengah Alun-alun
dengan mata tertutup. Bagi orang yang berhasil
melakukannya, konon bakal terkabul apa yang dicita-
citakan. Hingga sekarang, status Alun-alun, baik yang di
Utara maupun Selatan tetap milik kerajaan, sehingga
siapapun yang ingin menggunakannya berkewajiban
mendapatkan ijin dari kerajaan.
83

Gambar 33. Bangunan Sitihinggil Kidul (Dokumentasi Penulis)

Gambar 34. Alun-alun Kidul (Dokumentasi Penulis)


84

Gambar 35. Denah Kompleks Keraton Yogyakarta


(https://zuliadi.wordpress.com, akses 29 Juni 2017))
BAB IV
KERATON KASUNANAN
SURAKARTA

4.1. Keraton dan Kota Surakarta


Tidak lama setelah Pakubuwono II dikukuhkan kembali
menjadi raja Mataram oleh Kompeni Belanda pada tahun
1743, dia berketetapan untuk melupakan istananya yang
sudah porak-poranda dan telah kehilangan tuah, dan
membangun istana baru di tempat lain. Semula raja
condong memindahkan istananya ke desa Tingkir, akan
tetapi akhirnya ia memilih desa Sala, yang terletak di
sebelah Timur Pajang. Meskipun belum selesai
pembangunan keraton baru itu, raja tetap pindah dari
keraton lama ke keraton yang baru pada tahun 1745.
Setelah segala persiapan dirasa cukup, maka pada
hari yang telah ditetapkan, Sunan Pakubuwono II beserta
segenap keluarga dan kaum kerabat pindah tempat dari
istana Kartasura menuju istana Surakarta di desa Sala.
Baron van Hohendorff beserta pasukannya berada di
depan sejumlah lima kompi. Perpindahan itu
dilaksanakan pada pagi hari Rabu Pahing, 17 bulan Suro,
tahun Je 1670, yang ditunjukkan oleh sengkalan :
kombuling puja kapyarsa ing ratu (1670 Jawa = 1745

85
86

Masehi). Dalam Serat Kedaton, diceritakan perpindahan


Kangjeng Sunan (lihat Purwadi, 2003:20-21) :

Sigra jengkar saking Kartawani, Ngalih


kadhaton mring dhusun Solo
Kebut sawadya balane, Busekan sapraja
agung
Pinengetan hangkate huni, Hanuju hari
Buda henjing wancinipun
Wimbaning lek kaping Sapta Wlas, Sura He
Je kombuling Pudya Kapyarsi
Hing Nata kang Sangkala

Artinya :

Segera berangkat dari Kartasura, Pindah


kraton di dusun Solo
Bergerak semua bala prajurit, Sibuk
seluruh praja
Diperingati berangkatnya dulu, Bertepatan
pada hari Buda, di pagi hari
Rabu tanggal 17, bulan Sura tahun Je 1670

Menurut Darsiti Soeratman ada beberapa alasan


mengapa desa Sala dipilih Pakubuwono II sebagai tempai
istananya yang baru. Pertama, desa Sala terletak di dekat
tempuran, artinya tempat bertemunya dua sungai, Pepe
dan Bengawan Sala. Menurut mistik Jawa, tempuran
mempunyai arti magis dan tempat-tempat di sekitarnya
dianggap keramat. Kedua, letak desa Sala dekat dengan
Bengawan Sala, sungai terbesar di Jawa yang sejak zaman
87

kuno mempunyai arti penting sebagai penghubung Jawa


Tengah dengan Jawa Timur. Fungsi sebagai penghubung
ini dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan antara lain :
ekonomi, sosial, politik, dan militer. Ketiga, karena Sala
telah menjadi desa, sehingga untuk mendirikan keraton
tidak diperlukan tenaga pembabat hutan yang
didatangkan dari tempat lain. Keempat, berdasarkan
naskah kuno, nama Sala atau Cala (bahasa Sansekerta)
yang berarti ruangan atau bangsal besar dihubungkan
dengan bangunan suci. Kelima, berkaitan dengan
kepentingan Kompeni Belanda yang sangat menentukan
dalam mencari tempat untuk keraton baru. Van
Hohendorff, wakil Kompeni Belanda di Kartasura yang
memiliki hubungan sangat dekat dengan raja, pernah
menyarankan agar keraton baru didirikan di Sala, karena
dengan demikian sungai Bengawan Sala dapat dijadikan
beteng pertahanan alami untuk menghadapi serangan
musuh dari sebelah timur. Keenam, menggunakan
petangan. Pilihan desa Sala juga dikarenakan daerah-
daerah lain, yakni Kadipala dan Sanasewu, yang semula
juga dicalonkan sebagai tempat kedudukan keraton baru,
tidak memenuhi persyaratan petangan, hingga kedua
daerah itu tidak terpilih (Soeratman, 1989:92-110).
Babad mengisahkan, seperti dikutip Pemberton
(2003:50-51) :

Sesampainya Yang Mulia di Sala, Bangsal


Pangrawit ditegakkan
Para prajurit duduk teratur, menghadiri
Raja duduk di bangsal Pangrawit
88

Dengan para opsir dan komandan berdiri di


sisi kanan dari pagelaran
Para prajurit berbaris panjang, Belanda dan
Jawa, semuanya di alun-alun

Kemudian, pada saat upacara pasewakan agung


yang diadakan sesaat setelah raja sampai di istananya
yang baru, berkatalah Sunan Pakubuwono II kepada
segenap yang hadir (lihat Purwadi, 2003:26) :

Heh kawulaningsun, kabeh padha ana


miyarsakna pangandikaningsun
Ingsun karsa ing mengko wiwit dino iki,
desa Solo ingsun pundhut jenenge
Ingsun tetepake dadi negaraningsun
Ingsun paringi jeneng Negara Surakarta
Hadiningrat
Sira padha angertekna sakawulaningsun
satalatah ing Nusa Jawa kabeh

Artinya :

Hai rakyatku, dengarkan semua ucapanku


Aku sejak hari ini, desa Sala aku ambil
Aku tetapkan menjadi negaraku
Aku beri nama Negara Surakarta
Hadiningrat
Kalian syiarkanlah ke seluruh rakyat di
seluruh wilayah tanah Jawa
89

Mengapa tempat kediaman Sunan Pakubuwono II


yang baru itu diberi nama Surakarta Hadiningrat ?
Menurut J. Brandes, seorang ahli filologi Belanda, nama
Surakarta ternyata merupakan nama varian atau nama
alias dari Jakarta yang pada masa lalu juga disebut
Jayakarta. Surakarta berasal dari gabungan kata Sura
yang berarti berani, dan kata karta yang berarti sejahtera.
Nama Surakarta yang dipakai untuk nama keraton yang
baru dimaksudkan sebagai retisi atau imbangan dari
nama Jakarta atau Jayakarta. Sebab Sunan Pakubuwono
II mendambakan pusat kerajaan nantinya setara dengan
Jakarta (Batavia) yang dapat berkembang pesat sebagai
pusat pemerintahan (lihat Depdikbud, 1999:7-8).
Kota Surakarta memiliki morfologi sebagai bekas
kota keraton Surakarta, dimana kompleks istana raja
menjadi pusat kotanya. Sementara Alun-alun Utara dan
Alun-alun Selatan merupakan ruang terbuka kota yang
keberadaannya menjadi satu dengan keraton.
Pada awal abad ke-XX luas kota Surakarta tercatat
24 km2 dengan ukuran panjang 6 km membentang dari
arah Barat ke Timur dan 4 km dari arah Utara ke Selatan.
Bagian tengah yang merupakan kota lama didiami oleh
beberapa etnik, yaitu Jawa, keturunan Cina, keturunan
Arab dan orang-orang Eropa, masing-masing menempati
daerah tertentu secara terpisah. Di sebelah Utara keraton
terletak Kepatihan, tempat kediaman pepatih dalem
sekaligus berfungsi sebagai pusat administrasi
pemerintahan. Istana Mangkunegaran terletak di sebelah
Selatan sungai Pepe, demikian pula perkampungan orang-
orang Eropa yang meliputi rumah residen, kantor-kantor,
90

gereja, gedung pertunjukan, gedung sekolah, toko-toko


dan beteng Vastenburg. Perkampungan orang-orang Eropa
di sekitar beteng itu disebut Loji Wetan. Perkampungan
orang-orang keturunan Cina atau pecinan terletak di
sekitar Pasar Gedhe, di urus oleh seorang kepala yang
diambil dari etnik yang sama, dan diberi pangkat mayor
(dikenal dengan babah mayor). Dan perkampungan orang-
orang keturunan Arab terletak di sekitar Pasar Kliwon,
diurus oleh seorang kepala dari etnik yang sama dengan
pangkat kapten. Sementara perkampungan untuk
penduduk bumiputra terpencar di seluruh kota. Beberapa
di antaranya disebut menurut nama pangeran yang
mendiami tempat itu, antara lain : Adiwijayan,
Mangkubumen, Jayakusuman, Suryabatan, Kusumabratan,
Sumadiningratan, dan Cakranegaran. Di samping itu
terdapat pula kampung-kampung yang disebut menurut
nama abdidalem yang pangkatnya lebih rendah, antara
lain Secayudan, Derpayudan, Nonongan, Mangkuyudan,
Selakerten, dan Jamsaren. Khusus untuk para abdidalem
yang mengurusi masjid Ageng diberi tempat tinggal di
sekitar masjid itu; ia dikenal dengan nama Kauman.
Abdidalem karya mendapat tempat tertentu dan mereka
berdiam secara berkelompok menurut jenis pekerjaannya,
sehingga terdapatlah kampung-kampung Sayangan,
Gemblengan, Gapyukan, Serengan, Slembaran, Kundhen,
Telukan, Undagen, dan Kepunton. Ada juga kampung-
kampung yang disebut menurut jabatan orang yang
mendiami tempat itu, seperti Carikan, Jagalan,
Gandhekan Kiwo, Gandhekan Tengen, Sraten, Kalangan,
Punggawan, Pondhokan, dan Gadhingan (lihat Soeratman,
1989:117-120).
91

Di bawah kekuasaan kolonial Belanda, Surakarta


merupakan daerah Swapraja yang terbagi menjadi dua
bagian : Swapraja Kasunanan dan Swapraja
Mangkunegaran. Seorang gubernur pemerintahan Hindia
Belanda ditugasi untuk mengawasi dan menguasai kedua
daerah kerajaan tersebut. Disamping adanya pasukan
legiun Mangkunegaran dan pasukan pengawal
Kasunanan, terdapat pula dua kompi tentara infantri dan
satu peleton kavaleri KNIL dalam komando PMC
(Plaatselyk Militair Comando) (Sidharta, 1989:26). Pada
tahun 1900 kekuasaan Sunan meliputi enam kabupaten,
yaitu Surakarta, Kartasura, Klaten, Boyolali, Ampel, dan
Sragen. Sementara Kadipaten Mangkunegaran meliputi
tiga kawedanan, yaitu Wonogiri, Karanganyar, dan Kota.
Di atas keduanya ada kekuasaan Belanda yang membagi
Surakarta menjadi lima afdeling, yaitu Surakarta, Klaten,
Boyolali, Sragen, dan Wonogiri (Kuntowijoyo, 2004:2).
Periode pemerintahan kota Surakarta dimulai pada
tahun 1947, saat diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 16 tahun 1947 tentang pembentukan Haminte kota
Surakarta. Kata ‘Haminte’ berasal dari kata bahasa
Belanda ‘Stadsgemeente’ (Stads = kota, Gemeente dibaca
menjadi Haminte). Pada permulaan Haminte kota
Surakarta mengambil alih dinas-dinas Kasunanan dan
Mangkunegaran yang berada di wilayahnya. Berpedoman
pada Stadsgemeente Ordonantie, maka walikota,
disamping sebagai alat Pemerintahan Pusat juga
merupakan alat Pemerintahan Daerah. Pada tahun 1957
dimulailah periode Kotapraja Surakarta. Perubahan status
Surakarta ini membawa juga perubahan-perubahan dalam
92

bentuk, susunan kekuasaan, tugas dan kewajiban


Pemerintah Daerah Kotapraja Surakarta. Berdasarkan
hasil Pemilihan Umum 1955, maka di Kotapraja Surakarta
dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peralihan.
Dan sejak tahun 1965 hingga sekarang, Surakarta
merupakan sebuah Kotamadya, yaitu dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (Sidharta,
1989:28-29).
Keraton Kasunanan Surakarta dalam lingkup
kawasan kota terletak di ujung Selatan Jalan Jenderal
Sudirman, salah satu jalan protokol kota Sala. Apabila
kita menelusuri jalan utama ini, sesampainya di ujung
jalan, kita akan menjumpai sebuah kawasan yang
suasananya berbeda dengan kawasan lainnya yang sudah
terjamah modernisasi, yaitu sebuah kawasan yang
rindang, dan masih tradisional, sebuah jalan menembus
di bagian tengahnya, dan ‘gapuro bentar’ mengapitnya
tepat di ujung jalan masuk kawasan ini, yang dikenal
dengan Gapuro Gladak, yang memberi ciri khas kota Sala.
Dari sinilah kita memasuki sebuah kompleks keraton
peninggalan kerajaan Surakarta Hadiningrat yang
arealnya membentang dari Utara, masuk melewati Gapuro
Gladak di sebelah Utara Alun-alun Lor (Utara), menuju ke
arah Selatan hingga Gapuro Gading di sebelah Selatan
Alun-alun Kidul (Selatan). Rangkaian kawasan tersebut
membentuk konfigurasi tata letak yang dominan
membujur Utara-Selatan, melalui susunan gerbang-
gerbang sempit, halaman-halaman, dan bangunan-
bangunan.
93

Gambar 36. Kompleks keraton Kasunanan Surakarta (Soewito, tt)

4.2. Struktur Fisik Keraton


Bangunan-bangunan dalam kompleks keraton Kasunanan
Surakarta rupanya tidak didirikan secara sekaligus,
artinya dalam kurun waktu yang sama, melainkan tiap-
94

tiap raja yang berkuasa pada tiap masanya menambahkan


dengan bangunan baru yang timbul karena keperluan.
Struktur fisik bangunan keraton Kasunanan Surakarta
berdasarkan tata letaknya tidak jauh berbeda dengan
kompleks keraton Kasultanan Yogyakarta, yang terdiri
atas dua lapangan dan tujuh halaman, yaitu : Alun-alun
Lor – halaman Sitihinggil Lor – Kemandhungan Lor – Sri
Manganti – Kedaton – Kemagangan – Kemandhungan Kidul
– Sitihinggil Kidul – dan Alun-alun Kidul. Perbedaannya,
pada keratin Kasunan Surakarta, bangunan dan halaman
di antara kedua alun-alun dikelilingi tembok tinggi (beteng)
yang dikenal dengan Baluwarti.

Alun-alun Lor
Apabila kita memasuki kawasan keraton
Kasunanan Surakarta dari arah Utara, akan terlihat
Gapuro besar sebagai gerbang utama kompleks keraton; ia
dikenal dengan Gapuro Gladak. Di depan Gapuro Gladak,
di sebelah kanan dan kiri jalan masuk kawasan keraton,
terdapat dua buah arca kembar besar. Arca yang
berwujud raksasa ini dinamakan arca Pandhito Yakso,
yang dibuat di Pandansimping, Klaten. Menurut Suseno
(1990) dengan menggunakan keterangan KRMH
Yosodipuro, seperti dikutip Setiyawan, Gapuro Gladak
dibangun pertama kali oleh Pakubuwono III pada tahun
1750. Dirombak oleh Pakubuwono X pada tahun 1913,
meninggalkan bentuk lama menjadi bentuk baru. Pada
tahun 1930 dibangun kembali dan dihiasi dengan dua
patung raksasa. (Setiyawan, 1999:87). Gladak sendiri
dalam bahasa Jawa berarti menyeret. Dahulu, di tempat
95

inilah hewan-hewan hasil buruan digladak (diseret)


sebelum disembelih.
Menuju ke arah Selatan, kurang dari 100 meter
dari Gapuro Gladak terdapat Gapuro Pamurakan.
Pamurakan berasal dari kata purak yang berarti disebar
atau dibagi. Dahulu, di tempat ini, binatang hasil buruan
raja disembelih dan kemudian dagingnya diberikan atau
dibagikan kepada kawula. Jalan masuk utama dari arah
Utara, dari Gapuro Gladak hingga Gapuro Pamurakan
dinamakan Jalan Paku Buwono, di kanan dan kirinya
ditumbuhi beberapa pohon beringin sebagai peneduh bagi
para pedagang kaki lima yang berjejer di pinggir jalan.
Yang di sebelah kiri diberi nama Weringin Wok, artinya
perempuan, sedangkan yang di sebelah kanan diberi
nama Weringin Jenggot, artinya laki-laki. Menurut riwayat,
kedua pohon beringin ini dibawa dari keraton Kartasura
pada waktu pindahan.

Gambar 37. Gapuro Gladak (Dokumentasi Penulis)


96

Gambar 38. Gapuro Pamurakan (Dokumentasi Penulis)

Dari Gapuro Pamurakan, ke arah Selatan, kita


langsung bisa melihat hamparan tanah lapang berumput,
yaitu Alun-alun Lor keraton, yang seolah-olah dibelah
menjadi dua oleh Jalan Paku Buwono di tengahnya,
memanjang arah Utara – Selatan. Di bagian tengah Alun-
alun Lor ditanami sepasang pohon beringin, yang
keduanya memiliki nama, yaitu Kiai Jayandaru (artinya
kemenangan), pohon beringin yang berada di tepi Timur
Jalan Paku Buwono dan Kiai Dewandaru (artinya
keluhuran), pohon beringin yang berada di tepi Barat
Jalan Paku Buwono. Menurut riwayat, kedua pohon
beringin itu dibawa dari keraton lama Kartasura; ia
melambangkan loroning tunggal, dua unsur yang berjarak
tetapi merupakan persatuan yang sulit dipisahkan.
97

Gambar 39. Alun-alun Lor (Dokumentasi Penulis)

Dahulu Alun-alun Lor dipenuhi dengan pasir, yang


bisa digunakan untuk ‘pencuci kaki’ bagi orang-orang
yang ingin sowan kepada raja atau bagi orang-orang yang
melakukan pepe, berjemur diri di bawah terik matahari, di
tempat antara dua pohon beringin kurung dengan
berpakaian atau berkerudung putih. Selain untuk pepe,
Alun-alun Lor, juga digunakan sebagai tempat
melangsungkan upacara-upacara kenegaraan, seperti
Garebeg dan peringatan ulang tahun naik tahta raja, dan
tempat untuk mengumpulkan prajurit, latihan perang
prajurit, memberangkatkan prajurit untuk perang dan
tempat hiburan formal rampogan, yaitu perburuan
harimau : ratusan orang bersenjata lembing mengambil
tempat di sekeliling Alun-alun dan di tengah-tengah Alun-
alun dilepaskan harimau yang akan dibunuh. Fungsi awal
yang masih terpelihara hingga sekarang, adalah perayaan
98

Garebeg dan peringatan ulang tahun naik tahta raja.


Perayaan Garebeg meliputi Garebeg Mulud, memperingati
hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, pada tanggal 12
Rabi’ul Awwal tahun Hijriyah (disebut pula dengan
Sekatenan); Garebeg Syawal, menyambut hari raya Fitri
bagi umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal tahun
Hijriyah; dan Garebeg Besar, menyambut hari raya Besar
umat Islam (Idul Adha) yang jatuh pada tanggal 10
Dzulhijjah tahun Hijriyah.
Di sisi Barat Alun-alun Lor terdapat bangunan
penting, yaitu masjid Ageng. Masjid ini dibangun pada
masa pemerintahan Sunan Pakubuwono III, saka guru nya
dipancangkan untuk pertama kali pada tahun 1764 dan
bangunan selesai tahun 1777, kemudian disempurnakan
oleh Sunan Pakubuwono IV, yaitu dengan menyelesaikan
puncak atap bangunan utama bagian dalam (Sidharta,
1989:63; Setiadi, 2000:267). Di depan bangunan masjid
terdapat dua buah bangsal Pagongan, terletak saling
berhadapan di sisi Utara dan Selatan, yaitu tempat
gamelan yang dibunyikan pada waktu perayaan Garebeg.
Pada perayaan Garebeg, arakan ‘gunungan’ yang terdiri
atas sayur mayur dan beberapa makanan khas kota Sala
yang di puncaknya dipasangi bendera Merah Putih,
dibawa secara ditandu oleh para abdidalem keraton
berjalan perlahan-lahan menuju halaman Masjid Ageng,
dengan diiringi bunyi gamelan untuk didoakan 1.

1 Setiap bulan Mulud, dalam perayaan Garebeg Mulud, Sunan


Pakubuwono X, yang dianggap sebagai simbol tradisi Islam dan
Jawa, memberikan hadiah pada orang Arab, Benggal, Koja,
Banjar, dan para haji yang berdzikir di masjid, tiap-tiap orang
mendapat dua gulden. Para haji itu datang dari daerah-daerah
99

Gambar 40. Masjid Ageng (Dokumentasi Penulis)

Gambar 41. Interior serambi masjid Ageng (Dokumentasi Penulis)

Surakarta, Yogyakarta, Madiun, Semarang, Priangan, dan


Besuki. Pada hari itu juga diberikan beras kepada orang-orang
yang dinyatakan miskin (Kuntowijoyo, 2004:33).
100

Gambar 42. Menara masjid Ageng, dibangun 1928


(Dokumentasi Penulis)
101

Di tepi Alun-alun Lor sebelah Utara dan Timur


terdapat deretan bangsal yang fungsinya mengikuti
perkembangan kerajaan. Bangsal di kanan dan kiri
Gapuro Pamurakan dinamakan bangsal Pamurakan,
tempat membagi surat tugas oleh abdidalem yang jaga.
Dahulu, pada waktu hujan, tempat itu seringkali penuh
dengan kereta yang pemiliknya sedang menghadap di
keraton. Di bagian Timur Alun-alun terdapat Gapuro
Bathangan yang bentuknya mengambil gaya Eropa.
Menurut Setiyawan, Gapuro ini merupakan ‘pintu’
samping atau ‘butulan’ kompleks keraton. Diduga
merupakan akses samping bagi rakyat jelata sekitar
masuk ke Alun-alun tanpa mengganggu prosesi resmi dari
arah Gladak dan Pamurakan. Hal ini juga berlaku pada
Alun-alun Kidul (Setiyawan, 1999:114-117).
Di bagian Tenggara Alun-alun Lor terdapat bangsal
Patalon, tempat untuk membunyikan gamelan setiap hari
Sabtu pada jam 16.00 – 17.00 WIB, untuk mengiringi
latihan sodoran atau watangan, yaitu latihan perang
dengan naik kuda bersenjatakan tombak. Pada tahun
1830 latihan sodoran ini dihapus. Di sebelah Selatan
bangsal Patalon terdapat kandang macan, tempat
harimau-harimau yang akan diadu (lihat Soeratman,
1989:167-168). Sekarang ini bangunan-bangunan bangsal
yang terdapat di sekeliling Alun-alun Lor itu tidak dapat
dilihat lagi oleh karena rapatnya bangunan-bangunan
baru yang didirikan kemudian, misalnya di sebelah Timur,
di depan deretan bangunan bangsal dipenuhi dengan kios-
kios kaki lima yang berjualan kaca mata dan benda-benda
pusaka.
102

Halaman Sitihinggil Lor


Di tepi Alun-alun Lor sebelah Selatan terdapat
Pagelaran Sasana Sumewa. Bangunan ini dahulu
merupakan sebuah bangsal yang besar, beratap anyaman
bambu (gedhek), bertiang bambu, dan berlantaikan pasir.
Tempat ini dinamakan Tratag Rambat. Pada tahun 1913,
Sunan Pakubuwono X, membangun kembali Tratag
Rambat dan diberi nama baru Pagelaran atau Sasana
Sumewa, sebagai tempat (sasana) patih, abdidalem
bupati, dan abdidalem yang lain menghadap raja (sumewa
atau seba). Pagelaran ini setelah dibangun beratapkan
seng, tiang pilar berjumlah 48 sebagai peringatan bahwa
ketika dibangun bertepatan dengan usia Sunan yang ke
48 tahun (Depdikbud, 1999:22-23).

Gambar 43. Pagelaran Sasana Sumewa ; pada tahun 2015-2017


digunakan untuk menampung kios-kios pedagang pasar Klewer
yang terbakar pada akhir tahun 2014 (Dokumentasi Penulis)
103

Gambar 44. Pintu masuk Sasana Sumewa (saat masih digunakan


tempat menampung kios-kios pedagang pasar Klewer)
(Dokumentasi Penulis)

Di seputar Pagelaran Sasana Sumewa terdapat


beberapa bangsal, yaitu : di sebelah Barat dan Timur agak
kedepan dari Pagelaran disebut bangsal Pamandhangan
yang setiap hari besar agama Islam digunakan untuk
kandang kuda kenaikan raja. Di dekatnya terdapat
bangsal Paretan, yaitu tempat parkir kereta raja atau
tamu agung. Sekarang bangsal ini telah dibongkar, sebab
terkena pelebaran jalan. Di sebelah Timur bangsal Paretan
terdapat bangsal Patalon, tempat memukul gamelan tiap
hari Sabtu. Di sebelah Timur Pagelaran, terdapat bangsal
Pacekotan, tempat para abdidalem akan menerima hadiah
dari raja. Sebagai imbangan, di sebelah Barat Pagelaran
terdapat bangsal Pacikeran, tempat pemberhentian
abdidalem yang akan menerima hukuman dari raja. Di
sebelah Tenggara Pagelaran terdapat bangsal Martalulut,
104

tempat abdidalem Martalulut yang bertugas mengadili


perkara. Dan di sebelah Barat Daya Pagelaran terdapat
bangsal Singanegara, tempat abdidalem Singanegara yang
bertugas memutuskan perkara. Di tengah-tengah
Pagelaran terdapat bangsal Pangrawit. Di dalamnya
terdapat dampar yaitu tempat duduk raja apabila ingin
memberi hadiah dan memutuskan perkara (Depdikbud,
1999:23-24). Bangsal Pangrawit digunakan oleh Sinuhun
kalau ada upacara yang dilakukan di bangsal ini, seperti
upacara wisudawan para sentana-dalem dan pegawai-
pegawai tinggi berpangkat bupati ke atas. Di bangsal
Pangrawit terdapat sebuah batu yang namanya selo-
gilang, yang dipakai Sinuhun untuk bancik kaki (Karno, tt,
hal.62). Ketika Sunan Pakubuwono II memasuki
keratonnya yang baru, proklamasi nama baru untuk desa
Sala oleh raja dilakukan di bangsal Pangrawit yang
terletak di Tratag Rambat. Baru kemudian bangsal Witana
di Sitihinggil didirikan dan penobatan Pakubuwono III
sebagai pengganti Pakubuwono II di lakukan di bangsal
itu (Soeratman, 1989:159-160). Di depan Pagelaran
Sasana Sumewa terdapat tiga buah meriam yang masih
berfungsi untuk keperluan seremoni.
Ke arah Selatan dari Pagelaran Sasana Sumewa,
dengan beberapa tanjakan naik tangga terdapat Sitihinggil.
Pagelaran dan Sitihinggil menjadi satu sebagai paseban.
Paseban adalah tempat untuk seba atau menghadap raja.
Sesuai dengan namanya, Sitihinggil berkedudukan lebih
tinggi dari pada Pagelaran. Keduanya dipisahkan oleh
delapan tangga dan sepasang pintu, yaitu pertama Kori
Wijil I, yang disebut pula Kori Pancaksuji kayu, terletak di
halaman Pagelaran sebelah Selatan, dekat tangga
105

terendah yang menuju ke Sitihinggil, dan kedua Kori Wijil


II, yang terbuat dari besi, terletak di pelataran Sitihinggil,
di atas tangga tertinggi. Di Sitihinggil ini, pada perayaan
Garebeg Sunan menampakan diri pada rakyatnya yang
berada di Alun-alun Lor untuk menyaksikan rajanya dan
kegiatan perayaan yang sedang berlangsung. Kata Wijil,
menurut Setiyawan dengan merujuk Sayid (1984), sama
artinya dengan kata ‘lahir’, ‘keluar’, atau ‘berubah’. Arti
tersebut dapat dikaitkan dengan saat pertemuan Sunan
dengan abdidalem atau rakyat di Tratag Rambat atau
Pagelaran sebagai ruang luar dari keraton, yaitu
duduknya Sunan di Sasana Sumewa (Setiyawan,
1999:94).

Gambar 45. Bangsal Sewayana di Sitihinggil (Dokumentasi Penulis)

Di seputar Sitihinggil terdapat beberapa bangsal,


yaitu : bangsal Sewayana, dibangun oleh Sunan
Pakubuwono X pada tahun 1913. Letaknya di tengah-
106

tengah halaman Sitihinggil, fungsinya sebagai tempat bagi


para tamu undangan, para bangsawan, dan kerabat dalem
serta abdidalem lebet yang hendak menghadap raja. Di
bagian tengah bangsal Sewayana terdapat bangsal
Manguntur Tangkil, yaitu tempat duduk raja pada hari-
hari besar agama Islam, seperti hari Garebeg. Sedangkan
untuk keperluan lain, raja duduk di bangsal Pangrawit di
Pagelaran.

Gambar 46. Bangsal Manguntur Tangkil; terlihat para penari


sedang melakukan latihan (Dokumentasi Penulis)

Di belakang (sebelah Selatan) bangsal Sewayana


terdapat bangsal Witana, yaitu tempat para abdidalem
pembawa benda-benda upacara pada waktu perayaan
Garebeg. Di dalam bangsal Witana terdapat bangsal
Manguneng, tempat menaruh meriam Nyai Setomi. Di sisi
Tenggara bangsal Sewayana terdapat bangsal Ngangun-
107

angun, yaitu tempat memukul gamelan setiap hari-hari


besar agama Islam. Di sisi Timur Laut bangsal Sewayana
terdapat bangsal Gandhek Tengen, yaitu tempat memukul
gamelan dengan gendhing kodhok ngorek pada hari-hari
besar agama Islam. Di sisi Barat Daya bangsal Sewayana
terdapat bangsal Balebang, yaitu tempat menyimpan
gamelan. Dan di sisi Barat Laut bangsal Sewayana
terdapat bangsal Gandhek Kiwo, yaitu tempat untuk
menyediakan hidangan pada hari raya Islam (lihat
Depdikbud, 1999:24-25). Di tepi halaman depan dari
Sitihinggil terdapat delapan buah meriam. Selanjutnya
antara Sitihinggil dan kompleks istana (kompleks
bangunan di dalam Baluwarti) dipisahkan oleh Kori
Renteng atau Kori Mangu, dan dibatasi oleh Jala Supit
Urang.

Gambar 47. Bangsal Witana; di bagian dalam tengahnya terdapat


bangsal Manguneng (Dokumentasi Penulis)
108

Gambar 48. Bangsal Manguneng (Dokumentasi Penulis)

Halaman Kemandhungan Lor


Kompleks ini merupakan kawasan keraton bagian
tengah yang dikelilingi beteng tembok tebal dan tinggi
untuk memisahkan dengan perkampungan luar. Di
sinilah dulu para pangeran dan sebagian besar abdidalem
tinggal. Sekarang Baluwarti cenderung telah berubah
menjadi permukiman umum. Kalaupun tidak,
penghuninya sudah merupakan keturunan jauh dari
abdidalem yang kebanyakan tak lagi mengabdi di keraton
(Setiadi, 2000:271). Di bagian tengah Baluwarti masih
terdapat pagar tembok berkeliling. Di dalam tembok inilah
terletak inti keraton yang sering pula disebut Cepuri atau
Kedaton. Wilayah yang disebut Baluwarti terletak di luar
tembok Kedaton, berada di antara kompleks Alun-alun Lor
(Utara) dan Alun-alun Kidul (Selatan).
109

Kompleks Baluwarti mempunyai dua pintu, yaitu


Kori Brajanala Lor dan Kori Brajanala Kidul. Di bagian atas
Kori Brajanala Lor terdapat candrasengkala : ‘Walulang
Sapi Siji’ yang menunjuk angka tahun Jawa 1708 atau
Masehi 1782 sebagai tahun pembuatannya. Sekarang
kompleks ini dikelilingi oleh jalan umum. Sayid (1984)
seperti dikutip Setiyawan, mengungkapkan Brajanala
berasal dari kata ‘braja’ yang berarti senjata tajam dan
kata ‘nala’ yang berarti hati, sehingga ‘brajanala’ memiliki
arti ‘ketajaman hati’ atau ‘kewaspadaan hati’ (Setiyawan,
1999:97). Keberadaan Kori Brajanala tersebut memberikan
peringatan kepada siapa saja yang melaluinya agar
menggunakan ‘tajamnya hati’ atau ‘kewaspadaan hati’.

Gambar 49. Kori Brajanala Lor, dilihat dari halaman


Kemandhungan Lor (Dokumentasi Penulis)
110

Baluwarti yang didirikan oleh Sunan Pakubuwono


III, diperluas oleh Sunan Pakubuwono X, pada awal abad
ke-XX, dimulai dari sebelah Timur Pagelaran ke Timur,
kemudian membelok ke Selatan, melewati sebelah Timur
perkampungan Tamtaman dan Carangan. Di sebelah
Barat, perluasan dimulai dari sebelah Utara Dalem
Ngabean ke arah Barat, kemudian membelok ke Selatan
sampai sebelah Timur Dalem Adiwijayan. Pakubuwono X
juga menambah dua buah kori butulan yang terletak di
Baluwarti sebelah Barat Daya dan di sebelah Tenggara
(Soeratman, 1989:148).
Pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono X,
kalangan elit yang mendiami Baluwarti adalah kelompok
putra dan kerabat raja (bangsawan), bupati nayaka dan
beberapa bupati lainnya (priyayi), golongan prajurit, dan
para abdidalem. Golongan bangsawan dan priyayi yang
berdiam di Baluwarti jumlahnya tidak banyak,
diantaranya Dalem Mlayakusuman untuk Pangeran
Mlayakusuma, Dalem Sindusenan untuk Pangeran
Sindusena, Dalem Mangkuyudan untuk arsitek keraton
Mangkuyudo yang juga menantu Sunan Pakubuwono X,
Dalem Purwodiningratan untuk bupati nayaka
Purwodiningrat, dan Dalem Suryaningratan untuk bupati
gedhong tengen Suryaningrat.
Golongan prajurit dan para abdidalem biasanya
berkumpul dalam satu kelompok hingga membentuk
sebuah perkampungan yang ada di dalam Baluwarti, yaitu
antara lain : kampung Wirengan letaknya di sebelah Barat
Daya Kedaton. Wirengan berasal dari kata wiring yaitu
penari wayang orang. Dahulu Wirengan merupakan
tempat tinggal para abdidalem dan sentana dalem yang
111

mengurusi soal tari menari wayang orang dan hiburan


lainnya. Sejak pemerintahan Sunan Pakubuwono X,
abdidalem Wirengan diberi tugas untuk menjaga
keselamatan raja dan istana. Kecuali itu mereka
mempunyai tugas khusus yaitu mengamankan jalannya
‘gunungan’ pada setiap perayaan Garebeg yang dibawa
dari Kedaton ke Masjid Ageng.
Di sebelah Timur Kedaton terdapat Lumbung
tempat menyimpan bahan makanan milik istana. Di
sebelah Utara Lumbung, terletak kampung Carangan,
merupakan tempat tinggal abdidalem prajurit Carangan
yang terdiri dari beberapa pasukan. Tugas mereka adalah
menjaga keselamatan raja dan Kedaton dari serangan
musuh. Di sebelah Utara Carangan, terletak kampung
Tamtaman, merupakan tempat tinggal abdidalem
Tamtama, yaitu prajurit pengawal raja. Di sebelah Barat
Laut Tamtaman, terletak kampung Ksatriyan, yaitu tempat
tinggal sentana dalem yang menjadi abdidalem prajurit.
Tempat berkumpulnya para putra sentana dalem dan
abdidalem untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu.
Di sebelah Barat Laut Kedaton terletak kampung
Gambuhan tempat abdidalem niyaga istana dan ahli
gendhing (lihat Depdikbud, 1999:19-21).
Tidak semua bangunan yang terdapat di dalam
Baluwarti merupakan tempat tinggal, beberapa bangunan
adalah pelengkap dan untuk kepentingan keraton,
diantaranya : tepat di kanan dan kiri Kori Brajanala
terdapat bangsal Brajanala yang dibangun oleh Sunan
Pakubuwono III pada tahun 1782, bersama-sama dengan
pembangunan Baluwarti.
112

Di sebelah Barat Kori Brajanala, terdapat rumah


penjagaan yang di kalangan penduduk dikenal dengan
Dragunder, di sebelah Baratnya lagi terdapat masjid
Suranatan dan tempat kereta raja. Masjid Suranata
diambil dari nama korps ulama Suranata. Masjid ini juga
disebut rumah jenasah, sebab jika di dalam Kedaton, ada
priyantun dalem atau bedhaya meninggal, maka
jenasahnya segera dibawa ke masjid ini untuk dimandikan
dan seterusnya, kemudian diberangkatkan ke makam
yang ditunjuk. Di sebelah Barat bangunan masjid ini
terdapat Gedong Kreta, yaitu tempat menyimpan kereta
kerajaan.
Di sebelah Barat Gedong Kreta terdapat Sasana
Mulya, yang dahulu menjadi tempat berkumpulnya para
putra raja beserta bawahannya untuk mengadakan
upacara bersama-sama dengan raja. Sasana Mulya juga
pernah dipakai sebagai Kantor Pusat Kesenian Jawa
Tengah (PKJT) dan Akademi Seni Karawitan Indonesia
(ASKI). Di sebelah Barat Sasana Mulya terdapat rumah-
rumah tempat tinggal para pangeran, antara lain Dalem
Suryahamijayan (tempat tinggal Pangeran Suryahamijaya),
dan Dalem Purwadiningratan (tempat tinggal Pangeran
Purwadiningrat).
Di sebelah Timur Kori Brajanala, terdapat paseban
Kadipaten, rumah penjagaan prajurit, di sebelah Timurnya
lagi terdapat sekolah Ksatriyan. Di sebelah Selatan
sekolah Ksatriyan terdapat Sidikara, yaitu bangunan
tempat rapat yang sekaligus difungsikan sebagai tempat
pemeriksaan perkara perdata.
Di sebelah Selatan Kori Brajanala terdapat Kori
Kemandhungan, dengan dua pintu masuk ukuran besar
113

ke dalam istana. Kemandhungan berasal dari kata


‘mandhung’ yang berarti berhenti. Maknanya, seseorang
sebelum masuk istana terlebih dahulu berhenti sejenak
untuk melakukan koreksi diri.
Kori Kemandhungan dibangun oleh Sunan
Pakubuwono V pada tahun 1819. Di bagian depan tempat
ini raja naik dan turun dari kereta, oleh karenanya bagian
depan Kori Kemandhungan disebut pula Balerata atau
Maderata. Kemandhungan sebenarnya merupakan sebuah
teras yang luas. Di samping kanan dan kiri
Kemandhungan terdapat tempat-tempat kereta raja. Salah
satunya (di sebelah Timur), sekarang difungsikan sebagai
ruang penerima dan tempat pembelian karcis masuk bagi
orang-orang yang ingin mengunjungi keraton.

Gambar 50. Kori Kemandhungan Lor; pada bagian depan


terlihat Balerata dan pada latar belakang terlihat Panggung
Sanggabuwana (Dokumentasi Penulis)
114

Gambar 51. Pintu Kori Kemandhungan Lor (Dokumentasi Penulis)

Halaman Kemandhungan Lor pada bagian


tengahnya berupa ruang terbuka, yang juga merupakan
jalan yang biasa dilalui masyarakat umum. Bangunan
yang terdapat dalam kompleks ini hanya di bagian tepi
halaman. Di masing-masing sisi Timur dan Barat halaman
115

Kemandhungan Lor terdapat dua gerbang untuk menuju


ke kawasan dalam Baluwarti, masing-masing adalah Kori
Gapit Wetan dan Kori Gapit Kulon.

Gambar 52. Kori Gapit Kulon (Dokumentasi Penulis)

Melewati Kori Gapit Kulon terdapat Kori Talang


Paten, sebuah gerbang sekunder untuk masuk ke dalam
kompleks keraton Kilen (areal tertutup di sebelah barat
kompleks Kedaton), dan Panggung Indra, yang merupakan
menara pengawas.
116

Gambar 53. Kori Talang Paten (Dokumentasi Penulis)

Gambar 54. Panggung Indra (Dokumentasi Penulis)

Dari halaman Kemandhungan Lor, ke arah Selatan,


melewati Kori Sri Manganti Lor, sampailah di halaman Sri
Manganti Lor, yang tidak begitu luas, namun di dalamnya
terdapat bangunan-bangunan penting keraton.
117

Halaman Sri Manganti Lor


Kori Sri Manganti Lor (Utara) merupakan ‘pintu’
terakhir sebelum kita memasuki wilayah inti keraton
(Kedaton). Halaman Sri Manganti Lor bersama halaman
Magangan di bagian Selatan mengapit halaman Kedaton di
bagian Tengah sebagai pusatnya. Sri Manganti berasal dari
kata ‘sri’ yang berarti raja dan kata ‘manganti’ yang berarti
menunggu, jadi Sri manganti mengandung arti menunggu
perintah raja. Kori Sri manganti dibangun pada tahun
1792 (lihat Depdikbud, 1999:14).
Halaman Sri Manganti memiliki dua buah bangsal
yang saling berhadapan, yaitu bangsal Marakata di
sebelah Barat dan bangsal Marcukunda di sebelah Timur.
Bangsal Marakata berfungsi sebagai tempat seba para
abdidalem di luar golongan prajurit, sementara bangsal
Marcukunda untuk abdidalem golongan prajurit. Bangsal
Marakata berfungsi sebagai tempat para Abdidalem Bupati
Lebet yang akan menghadap Sri Sunan, dan juga sebagai
tempat untuk pemberian hadiah atau penghargaan bagi
Para Abdidalem Lebet, serta untuk mewisuda para
Abdidalem Panewu Mantri. Bangsal Marcukunda adalah
tempat para opsir prajurit dalem saat menghadap Sri
Sunan. Sekarang tempat ini berfungsi untuk menyimpan
Krobongan Madirengga, sebuah tempat untuk upacara
sunat/khitan para putra Sri Sunan.
Di dekat Kori Sri Manganti Lor terdapat sebuah
menara bersegi delapan yang disebut dengan Panggung
Sanggabuwana. Menara yang memiliki tinggi sekitar tiga
puluhan meter ini sebenarnya terletak di dua halaman
sekaligus, halaman Sri Manganti Lor dan halaman
118

Kedaton. Namun demikian pintu utamanya terletak di


halaman Kedaton.

Gambar 55. Panggung Sanggabuwana, dilihat dari halaman Sri


Manganti Lor; di sebelah Kanan gambar adalah Kori Sri
Manganti Lor dan di sebelah Kiri gambar adalah bangsal
Marcukunda (Heins, 2004:160)

Halaman Kedaton
Di sebelah Selatan halaman Sri manganti Lor,
adalah pelataran Kedaton, yang di dalamnya terdapat
bangunan-bangunan yang bermacam-macam bentuknya.
Zimmermann, seperti dirujuk Soeratman, memberi
gambaran seakan-akan Kedaton itu terdiri atas dua
bagian, yaitu bagian Timur terdapat bangunan-bangunan
119

yang resmi, sementara bagian Barat terdapat bangunan-


bangunan dan kamar-kamar untuk kepentingan yang
lebih intim. Lebih lanjut Soeratman menjelaskan, di dalam
keraton terdapat raja yang sedang memerintah dan calon
raja atau putra mahkota. Yang disebut pertama
berkedudukan di sebelah Barat, mendiami rumah yang
terdiri atas Pendopo sebagai Omah Ngarep dan Dalem
sebagai Omah Mburi, ditambah dengan kompleks
bangunan yang dikenal dengan Keputren dan bangunan
lain di sekitarnya. Pendopo yang menghadap ke Timur dan
Dalem yang menghadap ke Selatan itu dihubungkan oleh
rumah berbentuk kampung; berhubung fungsinya untuk
tempat pertunjukan wayang atau ringgit, maka ruang itu
disebut Pringgitan, yang menjadi bagian dari rumah
depan. Yang disebut kedua, yaitu putra mahkota,
berkedudukan di sebelah Timur, menempati rumah yang
dikenal dengan nama Kadipaten dan keadaannya jauh
lebih sederhana dibandingkan dengan tempat kediaman
raja. Hal ini sesuai dengan struktur sosial, yang mana
Sunan merupakan orang pertama dalam keraton, sedang
Pangeran Adipati Anom atau putra mahkota sebagai orang
kedua (Soeratman, 1989:129-130).
Pembangunan keraton yang dilakukan secara
tergesa-gesa oleh Pakubuwono II dianggap kurang
memadai, oleh sebab itu raja berikutnya, Pakubuwono III,
perlu membongkar Dalem Ageng, kemudian membangun
yang baru dan diberi nama Prabasuyasa. Raja ini juga
membangun Pendopo baru, sedangkan yang lama
diberikan kepada Mangkunegara I. Di sebelah Timur Laut
Pendopo, Sunan Pakubuwono III juga mendirikan sebuah
120

menara dengan ukuran tinggi sekitar 30 meter pada tahun


1782, bangunan ini dikenal dengan Panggung
Sanggabuwana. Bentuk panggung segi delapan bertingkat
empat. Pada ruang tingkat tiga terdapat lonceng besar.
Dari tingkat teratas orang dapat melihat pemandangan
kota dan juga dapat melihat apakah kereta residen yang
menuju ke keraton sudah nampak. Panggung juga dipakai
sebagai tempat bermeditasi, sesaji, dan bertemu dengan
roh halus, terutama Nyi Ratu Kidul (periksa Soeratman,
1989:131).
Bangunan-bangunan lain yang terdapat di
kompleks istana atau Kedaton, di antaranya : Dalem
Ageng Prabasuyasa, menghadap ke Selatan. Di bagian
tengahnya terdapat Krobongan berupa rumah limasan
kecil berpagar kaca keliling dan berpintu, yang juga
menghadap ke Selatan. Bagian atas rumah kecil ini diberi
hiasan naga. Di dalamnya diberi perlengkapan tempat
tidur disertai hiasan dan dekorasi yang sangat bagus. Di
dekatnya diletakkan dian (penerang) yang selalu dalam
keadaan menyala. Tepat di belakang Krobongan terdapat
deretan kamar yang berjumlah empat buah. Kamar yang
berada di ujung paling Barat dinamakan Sasana
Mutyaradikusuma2, untuk menyimpan pakaian kebesaran
permaisuri raja dan benda-benda lain yang penting dan
berharga. Tiga kamar berikutnya di sebelah kiri Sasana

2 Pada masa pemerintahan Pakubuwono IX kamar diujung Barat,


yang semula dikenal dengan nama Prabasana, diganti namanya
menjadi Sasana Mutyaradikusuma. Kamar ini pernah dipakai
oleh ibunda Sunan, yaitu Kangjeng Ratu Ageng, janda
Pakubuwono VI. Pada pemerintahan raja berikutnya, kamar itu
tidak pernah dijadikan tempat tinggal secara terus menerus
(Soeratman, 1989:133 dan 136).
121

Mutyaradikusuma dinamakan kamar Pusaka, kamar


Ageng dan kamar Gadhing.

Gambar 56. Denah Kedaton (PT. PP, L.5)


122

Di sebelah Barat dan Utara Prabasuyasa didirikan


banyak bangunan sesuai dengan keperluan rumah tangga
keraton. Di sebelah Selatan Prabasuyasa terdapat Sasana
Dayinta, dibangun oleh Pakubuwono IX sebagai tempat
tinggal resmi. Semasa Pakubuwono X bangunan ini
dijadikan kediaman permaisurinya, Gusti Kangjeng Ratu
Hemas, sehingga disebut pula Gedung Kemasan. Nama ini
berubah lagi menjadi Pakubuwanan, karena dipakai
sebagai tempat tinggal Gusti Kangjeng Ratu Pakubuwono,
permaisuri Sinuhun Pakubuwono XI (lihat Setiadi,
2000:278-279). Tepat di sebelah Utara Prabasuyasa
terdapat Sanggar Palanggatan, tempat untuk bermeditasi.
Dekat Dalem Ageng Prabasuyasa, di sebelah Barat Daya,
terdapat Argapura, bangunan yang berdiri di Argasoka,
taman dalam keraton, berfungsi sebagai tempat
pemujaan. Argapura dianggap sebagai pengejawantahan
Krendhawahana, salah satu di antara pusat
‘pedhanyangan’ (kerajaan makhluk halus). Agak jauh ke
arah Barat Laut dari Argapura terdapat masjid
Bandengan, sebuah bangunan di atas air (kolam), tempat
shalat raja. Lebih jauh lagi ke arah Barat Laut dari masjid
Bandengan terdapat masjid Pujasana. Di masjid ini
jenasah raja dan permaisuri yang mangkat disucikan
sebelum dimakamkan.
Satu bagian Kedaton yang cukup luas arealnya
adalah Keputren, dimulai dari sebelah Selatan Sasana
Dayinta, meluas sampai batas tembok Selatan, kemudian
membelok ke arah Barat, dan juga mencakup beberapa
bangunan di sebelah Barat Argapura. Sesuai dengan
namanya, sebagian besar penghuni Keputren adalah kaum
wanita, yaitu para priyantun dalem (selir raja), para putri
123

raja yang lahir dari priyantun dalem, para putra raja yang
belum akil balik, para abdidalem estri, dan para abdi
wanita. Putra dan putri raja tersebut pada umumnya
tinggal bersama ‘bibi’ mereka masing-masing yang
menyelenggarakan dapur sendiri-sendiri. Untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari para penghuninya, di
dalam Keputren terdapat sebuah pasar atau warung yang
buka setiap hari, dimulai dari pagi sampai siang.
Penjualnya semua wanita dan mereka mengenakan
pakaian sesuai dengan peraturan yang berlaku di dalam
Kedaton (periksa Soeratman, 1989:141-147).
Di sebelah Timur, berhimpitan dengan Dalem
Ageng Prabasuyasa adalah Sasana Parasdya, yaitu nama
bagi Pringgitan. Menerus ke Timur adalah Peningrat
Bedhayan. Baik Sasana Parasdya maupun Peningrat
Bedhayan merupakan ruang terbuka tempat raja duduk
di ruang Parasdya untuk menyaksikan pertunjukan
wayang kulit ataupun latihan tari bedhaya ketawang. Di
sebelah Timur Peningrat Bedhayan terdapat Sasana
Sewaka, sebutan bagi Pendopo. Sebenarnya Peningrat
merupakan teras atau emperan dari Sasana Sewaka,
sehingga ada Peningrat Lor, Wetan dan Kidul, yang
lantainya lebih rendah dari Pendopo. Sementara Peningrat
Kulon yang lebih luas dari ketiga Peningrat lainnya dikenal
dengan Peningrat Bedhayan. Sasana Sewaka berarti
tempat untuk sinewaka atau duduk raja di kursi tahta
dihadapan abdidalem berpangkat tinggi (pisowanan). Pada
masa Pakubuwono IX, pisowanan diselenggarakan setiap
hari Senin dan Kamis. Di sebelah Timur dan merupakan
124

bagian terdepan dari Pendopo Sasana Sewaka adalah


Maligi, tempat untuk khitanan putra raja3.
Di sebelah Selatan Sasana Sewaka terdapat
Sasana Handrawina, yaitu tempat untuk perjamuan resmi
saat keraton menerima kunjungan tamu-tamu terhormat.
Bangunan ini didirikan pada masa pemerintahan
Pakubuwono V sekitar tahun 1823. Penyempurnaan
dilakukan oleh Pakubuwono X.
Di belakang atau di sebelah Barat Sasana
Handrawina terdapat sebuah pintu khusus untuk dapat
mencapai Keputren yang disebut wiwarakenya. Sejajar
dengan pintu ini, di sebelah Utara, terdapat wiwarapria,
sebuah pintu untuk dapat memasuki bagian Kedaton yang
dihuni oleh kaum pria. Rupanya bangunan di belakang
Pendopo Sasana Sewaka yang digunakan sebagai tempat
tinggal itu terbagi dua, bagian Utara untuk kaum pria,
dan bagian Selatan untuk kaum wanita.
Di depan Sasana Sewaka (termasuk Maligi) dan
Sasana Handrawina adalah pelataran Kedaton yang
berpasir putih dan ditanami pohon sawo kecik. Di sebelah
Timur pelataran ini terdapat tiga bangsal yang letaknya
berderet arah Selatan - Utara, yaitu pertama bangsal
Bujana terletak dibagian Selatan, tempat untuk menjamu
para pengiring tamu kerajaan; kedua, bangsal Pradangga
Kidul, terletak di sebelah Utara Bujana, tempat gamelan

3 Dalam prosesi pemakaman Raja Pakubuwono XII, dilakukan


tradisi brobosan yang bertempat di Maligi. Peti jenasah yang
dipanggul oleh delapan prajurit TNI kemudian diangkat agak
tinggi untuk memberikan kesempatan kepada sentana dalem
dan keluarga Raja melakukan brobosan, melewati bagian bawah
peti mati sebanyak tiga putaran.
125

yang dibunyikan sewaktu keraton mempunyai keperluan;


dan ketiga, bangsal Pradangga Lor, terletak di sebelah
Utara Pradangga Kidul, tempat alat-alat musik/orkestra.

Gambar 57. Bangsal Maligi (Dokumentasi Penulis)

Gambar 58. Bangsal Pradangga Kidul (Dokumentasi Penulis)


126

Gambar 59. Interior Pendopo Sasana Sewaka (Heins, 2004:165)

Gambar 60. Interior Sasana Parasdya (Pringgitan) (Heins, 2004:173)


127

Gambar 61. Krobongan di Dalem Ageng Prabasuyasa (Heins, 2004:175)

Gambar 62. Interior Dalem Pakubuwanan (Heins, 2004:177)


128

Halaman Kemagangan
Di sebelah Selatan pelataran Kedaton, melewati
Kori Sri Manganti Kidul, kita menjumpai halaman
Kemagangan. Di tengah-tengah halaman terdapat bangsal
terbuka yang berfungsi untuk menyimpan berbagai
macam barang seperti made rengga, yaitu peralatan khitan
putra dan kerabat raja. Juga berfungsi untuk menyiapkan
barisan prajurit yang akan bertugas, untuk menyiapkan
segala sesuatu yang berhubungan dengan upacara religius
keraton seperti pembuatan gunungan dan upacara
Garebeg, dan tempat magang bagi calon prajurit keraton.

Gambar 63. Kori Sri Manganti Kidul; terkesan kurang terawat


(Dokumentasi Penulis)

Di sisi Barat dan Timur halaman Kemagangan juga


terdapat deretan bilik sebagai tempat menyimpan
perlengkapan prajurit, di antaranya ada yang disebut
129

kamar bedhil. Di sisi Selatan, terdapat Kori Gadung Mlati,


sebagai batas Selatan halaman Kemagangan.

Gambar 64. Bangsal Kemagangan (Heins, 2004:185)

Di sebelah Selatan lagi terdapat Kori


Kemandhungan Kidul, dan di antara dua kori ini, yang
berupa halaman, di bagian Barat dan Timur terdapat
lumbung padi yang diberi nama Keniten Jawi. (lihat pula
Depdikbud, 1999:15; Soeratman, 1989:128-129).

Halaman Kemandhungan Kidul


Halaman Kemandhungan Kidul berupa ruang
terbuka yang sekarang ini, seperti pada halaman
Kemandhungan Lor, menjadi jalan umum untuk menuju
Alun-alun Kidul.
130

Gambar 65. Kori Kemandhungan Kidul (Dokumentasi Penulis)

Gambar 66. Kori Brajanala Kidul (Dokumentasi Penulis)

Halaman Sitihinggil Kidul


Di sebelah Selatan Kemandhungan Kidul terdapat
Kori Brajanala Kidul yang membentuk jalan bercabang ke
arah Selatan (Supit Urang Kidul) yang seolah-olah
‘menyupit’ bangunan Sitihinggil Kidul yang berada di
131

sebelah Selatannya. Kedua jalur jalan itu kemudian


mengarah ke tengah, berbelok ke arah Selatan lagi
membelah Alun-alun Kidul menjadi dua bagian Barat dan
Timur, menuju ke Kori Gadhing. Kori Gadhing merupakan
pintu akhir kompleks keraton di sebelah Selatan.

Gambar 67. Bangunan Sitihinggil Kidul (Dokumentasi Penulis)

Gambar 68. Kori Gadhing (Dokumentasi Penulis)


132

Alun-alun Kidul
Alun-alun Kidul pada umumnya dianggap sebagai
halaman belakang keraton. Hal ini bisa terlihat dari
bangunan yang jumlahnya lebih sedikit dan
penampilannya tampak lebih sederhana dibandingkan
dengan yang ada di Alun-alun Lor. Sepasang pohon
beringin di tengah Alun-alun Kidul yang konon di tanam
pada hari pertama ketika Pakubuwono II menempati
keraton Surakarta, tidak diberi nama khusus. Dahulu,
Alun-alun Kidul dipakai untuk latihan perang para
abdidalem prajurit yang dilangsungkan pada setiap hari
Selasa dan Minggu pagi dan disaksikan oleh raja yang
duduk di Sitihinggil. Keberadaan Sitihinggil yang
menghadap ke arah Selatan ini merupakan imbangan dari
Sitihinggil Lor, berfungsi sebagai tempat merayakan
peristiwa yang bersifat intern bagi keluarga raja.
Pada masa pemerintahan Pakubuwono X, di
Sitihinggil Kidul juga ada kawula yang seba, terutama
pada hari-hari besar. Misalnya pada hari Garebeg, orang-
orang yang seba di Sitihinggil ini adalah para penewu dan
mantri undhagi, tukang batu, pande serta bawahannya,
mantri pembubut dan pengukir serta bawahannya (lihat
Soeratman, 1989:170).
Di sebelah Barat Alun-alun Kidul terdapat rumah
Patih Jero (Onder Mayor), serta kandang-kandang gajah
dan warak. Pada masa lalu, gajah-gajah itu dipergunakan
untuk keperluan upacara di Alun-alun Lor (Utara). Kini
tempat bekas kandang gajah dan warak telah berubah
menjadi permukiman padat yang dikenal dengan
kampung Gajahan.
133

Gambar 69. Alun-alun Kidul (Dokumentasi Penulis)

Gambar 70. Sitihinggil Kidul dilihat dari arah Alun-alun Kidul


(Dokumentasi Penulis)
134

Keterangan :
1 Alun-alun Lor
2 Masjid Ageng
3 Halaman Sitihinggil Lor
4 Halaman Sri Manganti Lor
5 Pelataran Kedaton
6 Kedaton
7 Halaman Kemagangan
8 Halaman Sitihinggil Kidul
9 Alun-alun Kidul

Gambar 71. Denah Kompleks Keraton Surakarta (Heins, 2004:89)


BAB V
MAKNA TATA LETAK DAN
ORIENTASI, BENTUK, DAN
RAGAM HIAS BANGUNAN

5.1. Makna Tata Letak dan Orientasi Bangunan


Secara garis besar keraton Kasultanan Yogyakarta dan
Kasunanan Surakarta terbentuk oleh serangkaian
pelataran dan gugusan bangunan-bangunan yang
tersusun sepanjang sumbu Utara-Selatan, dimulai dari
ujung-ujungnya yang paling luar, Alun-alun Lor dan Alun-
alun Kidul, hingga ke inti pusat keraton, yakni Kedaton,
tempat tinggal raja beserta keluarganya; ia sebagai puncak
konstelasi. Adanya posisi simetris pelataran di kedua sisi
(Utara dan Selatan) dengan kedua Alun-alun di bagian
paling luar dan bagian pusatnya adalah Kedaton, seakan-
akan keduanya menyelubungi ruang pusatnya. T.E.
Behren, seperti dirujuk Lombard, dengan jeli
membandingkan struktur tersebut dengan lingkaran-
lingkaran konsentris dari kosmologi Hindu-Jawa; keraton
merupakan suatu imago mundi (citra dunia), yaitu suatu
mikrokosmos (lihat Lombard, 1996:113).
Alun-alun yang letaknya paling luar di dalam
rangkaian pelataran keraton, merupakan halaman depan

135
136

dan belakang kediaman seorang raja Jawa; ia


memperlihatkan kekuatan politik dan magi yang melekat
pada diri raja kepada rakyatnya. Kerajaan sebagai jagad
hanya mungkin bisa menunjukkan dirinya pada peristiwa
yang terjadi di Alun-alun. Raja menggunakan Alun-alun
sebagai tempat untuk memperlihatkan kekuasannya
kepada pejabat keraton, penguasa-penguasa di daerah-
daerah yang berada di bawahnya, dan rakyatnya, yaitu
pada saat berlangsungnya upacara atau pertunjukkan di
Alun-alun. Sebagai pusat kekuasaan, keraton
mengkonsentrasikan kegiatan seremonialnya di Kedaton,
Sitihinggil Lor dan Alun-alun Lor. Di ketiga tempat itu
diselenggarakan rangkaian upacara kerajaan sebagai
manifestasi kedaulatan raja.
Sebagai hunian, keraton memusatkan kegiatan
domestiknya di Kedaton, khususnya Sultan di Dalem
Ageng Prabayeksa dan Sunan di Dalem Ageng
Prabasuyasa dan di Keputren. Tidak seperti rangkaian
pelataran di keraton yang berorientasi Utara-Selatan,
Kedaton menghadap ke Timur, arah matahari terbit,
sumber kekuatan energi. Orientasi ini diperkuat dengan
adanya Pendopo, bangsal Kencana Sultan dan Sasana
Sewaka Sunan, yang berupa bangunan terbuka, di
sebelah Timurnya. Dalem Ageng Prabayeksa di Yogyakarta
dan Dalem Ageng Prabasuyasa di Surakarta sendiri
menghadap ke Selatan, seperti lazimnya rumah-rumah
Jawa lainnya. Pendopo tersebut adalah penanda orientasi
Kedaton; ia adalah balai persidangan utama keraton,
tempat duduk Raja di atas dhampar, di hadapan para
punggawanya yang merupakan perwujudan simbolis
pemerintahan dan penataan wilayahnya. Dia
137

menyelenggarakan persidangan ini secara rutin untuk


menjaga kedudukannya di puncak tatanan.
Rangkaian pelataran dan gugusan bangunan yang
membentuk keraton diatur sesuai dengan dua poros, yaitu
pertama, poros Utara-Selatan, yang menentukan ruang-
ruang umum, resmi dan tempat upacara; dan kedua,
poros Timur-Barat, yang nampak pada kompleks Kedaton,
yang menentukan ruang-ruang pribadi, akrab dan
keramat. Poros pertamalah yang paling nyata karena
menghubungkan Alun-alun Lor dengan Alun-alun Kidul
melalui tujuh pelataran berturut-turut yang saling
berhubungan lewat pintu gerbang atau Kori. Poros kedua
tercipta karena kedudukan Dalem Ageng Prabayeksa di
Yogyakarta dan Dalem Ageng Prabasuyasa di Surakarta
yang menyandang beban ganda, di satu sisi sebagai Omah
(Mburi) yang lebih bersifat privat dan tertutup, namun di
sisi lain, ia sebagai Omah (Ngarep) harus bersifat publik
dan terbuka. Sebagai Omah Ngarep, di sisi Timurnya
ditambahkan Pendopo yang bersifat terbuka. Ditambah
lagi dengan pelataran di depan (di sisi Timur) Pendopo
semakin memperkuat posisi hadap Dalem Ageng
Prabayeksa dan Dalem Ageng Prabasuyasa ke arah Timur.
Mengapa penempatan Pendopo di sebelah Timur
Dalem Ageng Prabayeksa di Yogyakarta dan Dalem Ageng
Prabasuyasa di Surakarta ? Pertimbangan pertama adalah
arah Timur merupakan arah munculnya kekuatan energi
yang dilekatkan pada simbol matahari terbit. Dan alasan
kedua adalah pertimbangan filosofis, yaitu tidak
mengganggu poros sejati Utara-Selatan yang merupakan
sumbu imajiner : Gunung Merapi – Keraton – Laut Kidul.
138

Penempatan Pendopo beserta pelatarannya, sebagai bagian


dari Omah Ngarep, di sisi Selatan Dalem Ageng
Prabayeksa dan Dalem Ageng Prabasuyasa misalnya,
akan memaksa area Keputren yang cukup luas, yang
penghuninya merupakan tulang pugung urusan-urusan
Omah Mburi menjadi berada di sisi Utara, sehingga bisa
mengganggu poros sejati Utara-Selatan. Begitu pula
sebaliknya, bila Pendopo beserta pelatarannya
ditempatkan di sisi Utara.
Poros Utara-Selatan merupakan sumbu spiritual
atau sumbu kelanggengan dinasti Mataram, poros yang
merupakan proses kehidupan manusia menuju
keabadian. Hal ini dipersonifikasikan oleh persetubuhan
dua mahkluk halus berlain jenis, yaitu Kyai Sapujagad,
penguasa Gunung Merapi dan Ratu Kidul, penguasa Laut
Selatan, yang buah dari perkawinan itu adalah benih raja-
raja Mataram. Sebagian masyarakat Jawa di daerah
pedalaman Selatan Jawa Tengah, mempercayai
kekeramatan Gunung Merapi, sebagai keraton mahkluk
halus yang mempunyai hubungan dengan keraton
Mataram (Surakarta dan Yogyakarta). Mereka juga
mempercayai kekeramatan Laut Selatan, sebagai keraton
mahkluk halus yang juga memiliki hubungan dengan
keraton Mataram. Hubungan kekeluargaan antara ketiga
keraton tersebut dikarenakan adanya hubungan
perkawinan.
Namun, dilihat dari perilaku dan sikap masyarakat
Jawa tradisional dalam kaitannya dengan rumah
tinggalnya, ternyata mereka lebih takut kepada Ratu
Kidul, mahkluk halus penguasa Laut Selatan, ketimbang
mahkluk halus penjaga Gunung Merapi. Hal ini
139

ditunjukkan dengan arah hadap rumah-rumah mereka,


terutama yang berdiam di pesisir pantai Laut Selatan,
yaitu ke arah Selatan. Mereka takut akan teror-teror alam
yang digerakkan oleh Dewi Laut Selatan itu. Ketakutan ini
juga dialami oleh raja Jawa, oleh karenanya, meskipun
orientasi rumah tinggalnya ke arah Timur, namun Omah
Mburi, ranah perempuan yang sakral, tetap menghadap ke
arah Selatan sebagaimana rumah-rumah penduduk Jawa
kebanyakan, dengan bilik-biliknya di bagian dalam rumah
sebagai tempat menyimpan pusaka.
Kemenduaan Dalem Ageng Prabayeksa di
Yogyakarta dan Dalem Ageng Prabasuyasa di Surakarta
dalam kedudukannya sebagai tempat kediaman seorang
raja, yaitu satu bagian mempresentasikan Omah Ngarep,
bagian Omah yang didominasi laki-laki, dan bagian yang
lain mempresentasikan Omah Mburi, bagian Omah yang
didominasi perempuan, memperlihatkan adanya dualistis
ruang domestik : ruang laki-laki dan ruang perempuan.
Ruang gender domestik ini rupanya dibatasi oleh elemen-
elemen fisik yang tegas dan jelas, berupa dinding kayu
dan tembok dengan pintu masuk di sana-sini,
memisahkan ruang-ruang perempuan yang tertutup
dengan ruang-ruang laki-laki yang lebih terbuka.
Ketegasan pemisah ruang itu sengaja diciptakan untuk
menghindari kejahatan atau gangguan dari kaum laki-laki
hidung belang. Bisa jadi peristiwa perselingkuhan seorang
putri raja Pajang, Sultan Hadiwijaya, dengan seorang laki-
laki hidung belang di dalam Keputren beberapa abad yang
lalu masih tersimpan apik di dalam ingatan raja-raja
Mataram.
140

Bahkan Zimmermann menanggapi keberadaan


Keputren di dalam kompleks keraton Kasunanan
Surakarta, seperti dikutip Soeratman, bahwa Keputren itu
merupakan ‘negara dalam negara’. Pendopot ini
berdasarkan alasan, bahwa di dalam Keputren itu terdapat
seorang patih perempuan yang bergelar R. Ayu Adipati
dengan nama Sedhamirah (Soeratman, 1989:143). Artinya
siapapun yang akan masuk ke dalam Keputren harus
sepengetahuan atau mendapat izin dari R. Ayu Adipati
Sedhamirah sebagai penguasa Keputren.
Kegiatan sehari-hari di Dalem Ageng Prabasuyasa
dan Keputren lebih didominasi oleh kaum perempuan;
selain raja sendiri, mereka adalah permaisuri, para
priyantun dalem, para putri raja baik dari permaisuri
maupun priyantun dalem, para putra raja yang belum akil
balik (kebanyakan dari priyantun dalem), para abdidalem
perempuan, dan para bedhaya. Para putra dan putri raja
tersebut pada umumnya tinggal bersama ‘bibi’ mereka
masing-masing yang menyelenggarakan dapur sendiri-
sendiri. Setelah mencapai usia akil balik, putra raja yang
berstatus putra mahkota berdiam di Kadipaten, yang
letaknya di sebelah Timur tempat tinggal raja (masih di
dalam pelataran Kedaton), dan yang berstatus bukan
putra mahkota beberapa berdiam di ‘perkampungan’
Dalem Pangeran di Baluwarti, dan sebagian lagi di luar
keraton. Di dalam area yang termasuk teritori Omah Mburi
juga terdapat kediaman para abdidalem palawija, yaitu
abdidalem pria yang cacat badan, misalnya tuna rungu,
tuna netra, cebol, bongkok, bule, dan sebagainya.
Abdidalem palawija dianggap dapat menambah magi bagi
raja, oleh sebab itu raja menghendaki agar mereka selalu
141

berada di dekatnya, maka sewaktu-waktu apabila Sunan


menghendaki, mereka dapat segera menghadap.
Kekuasaan yang mengatur segala sesuatu di dalam
Keputren tidak dipegang oleh permaisuri atau putri raja,
melainkan oleh seorang abdidalem yang berkedudukan
sebagai patih Kedaton, dibantu oleh sejumlah besar
abdidalem perempuan yang menjadi bawahannya. Pada
masa pemerintahan Sunan Pakubuwono X, jabatan patih
Kedaton diduduki oleh R. Ayu Sedhamirah, seorang
priyantun dalem Pakubuwono IX, yang semula bernama R.
Mayangsari (Soeratman, 1989:144).
Tempat tinggal para priyantun dalem dan
abdidalem perempuan disebut tenggan. Dibandingkan
dengan tempat tinggal para ratu, yaitu Pakubuwanan dan
Sasana Dayinta, tenggan para priyantun dalem dan
abdidalem perempuan itu jauh lebih kecil ukurannya dan
lebih sederhana bentuk dan perlengkapannya. Tenggan
yang letaknya dekat dengan Madusuka, tempat kediaman
Pakubuwono X, menunjukkan bahwa penghuninya
mendapat perhatian besar dan sangat dikasihi oleh raja.
Di dalam Keputren nama-nama priyantun dalem,
abdidalem perempuan dan sebutan atau gelar priyantun
dalem dipakai untuk menyebut tenggan. Sebagai contoh,
misalnya Kiranan untuk tempat R. Ayu Kiranarukmi,
Kesitan untuk Sitarukmi, Asmaran untuk Asmararukmi,
Pradaban untuk Pradaparukmi, Sudamarukmen untuk
Sudamarukmi, Purnamarukmen untuk Purnamarukmi,
Susilan untuk Susilarukmi, dan Suwandan untuk
Suwandarukmi. Selanjutnya terdapat bangunan yang
disebut Karadenayon, tempat para raden ayu, dan
142

kompleks bangunan Sedhamirahan, yaitu tenggan R. Ayu


Adipati Sedhamirah bersama bawahannya (Soeratman,
1989:145-146).
Kegiatan sehari-hari raja dan permaisuri di
Kedaton sangat terikat dengan adat keraton, seperti yang
dipotret oleh Darsiti Soeratman tentang Sunan
Pakubuwono X. Jika di dalam keraton tidak ada upacara
atau kegiatan lainnya, Sunan secara rutin bangun pukul
08.00. Sebelum raja bangun, abdidalem pria palawija
telah siap menghadap di halaman sebelah Selatan
Bandengan, sedang para priyantun dalem yang bertugas
juga telah siap di emper Dalem Madusuka. Pada waktu
mandi dan berbusana, Sunan dilayani oleh beberapa
abdidalem dan priyantun dalem. Makan pagi dilakukan di
Madusuka seorang diri. Jika pagi itu para putra raja yang
masih kecil diantar oleh para emban nya datang di
Madusuka, mereka masing-masing diberi roti atau uang.
Para putra itu kemudian pergi ke Pakubuwanan dan
berikutnya ke Kemasan untuk mendapatkan sesuatu dari
kedua permaisuri, yang mereka sebut ‘Ibu Ratu’. Sekitar
pukul 10.00, setelah selesai makan pagi, diiringi oleh para
petugas pembawa benda-benda upacara dan ampilan,
Sunan menuju ke kantornya di Parasdya. Pada setiap hari
Rabu dan Sabtu kantor itu tidak dibuka, karena hari-hari
itu dipakai untuk latihan menari bagi para bedhaya.
Latihan yang diselenggarakan di Pendopo Sasana Sewaka
itu baru dimulai apabila Sunan sudah duduk di Parasdya.
Di tempat lain di Kemasan, yang juga dinamakan Sasana
Dayinta, Ratu Mas melakukan kegiatan sama dengan yang
terjadi di Madusuka, tetapi sesudah makan pagi
permaisuri itu duduk di Pendopo Sasana Dayinta. Para
143

putri Kemasan dan beberapa bedhaya duduk menghadap


permaisuri. Mereka sebenarnya tidak bertugas, akan
tetapi ikut datang menghadap, mendapat makan siang
dari Kemasan. Pada pukul 13.00 Ratu Mas diiringi oleh
beberapa bedhaya menuju Parasdya. Di depan Sunan,
Ratu Mas duduk di lantai, sesudah menyembah lalu
duduk di dekat Sunan, akan tetapi tetap di lantai.
Sesudah Ratu Pembayun menginjak dewasa, Ratu Mas
selalu ditemani oleh putrinya itu, apabila menghadap
Sunan pada siang hari. Tidak berapa lama datang bupati
estri dan seorang pengiringnya menghadap Sunan. Bupati
itu memberi laporan dengan cara ngombang
(menyampaikan laporan dengan cara dilagukan), bahwa
makan siang telah siap. Sunan mulai meninggalkan
Parasdya diikuti oleh rombongan dan iringan gamelan.
Pembawa benda-benda upacara dan ampilan berjalan
tidak jauh dari raja. Seorang penongsong (yang
memayungi) bertugas di belakang raja. Jika tidak berada
di dalam ruangan rumah, raja harus dipayungi. Demikian
pula dengan permaisuri dan putri-putri raja. Tempat yang
dituju adalah ruang makan untuk siang hari, yaitu
Panepen. Di tempat itu beberapa bedhaya dan priyantun
dalem telah duduk menunggu di lantai, siap
melaksanakan tugas. Sebagian bertugas melayani,
sebagian lain duduk menghadap di lantai. Sepuluh orang
gadis, putri raja, itu makan bersama Sunan dan
permaisuri. Masing-masing mengambil tempat duduk di
kursi sesuai dengan kedudukannya. Meja yang terletak di
tengah, selain untuk tempat makanan juga dipakai untuk
membuat jarak antara raja dan putri-putrinya. Raja
144

duduk di kursi menghadap ke Timur, tempatnya di tengah


diapit oleh dua orang permaisuri, yaitu Ratu Mas dan
Ratu Pakubuwono. Namun sesudah Ratu Pakubuwono
mangkat, dan R. Ayu Sekar Kedaton sudah menginjak
masa dewasa, putri ini menggantikan kedudukan Ratu
Pakubuwono (permaisuri raja ini tidak memiliki
keturunan). Sepuluh putri yang lain, yang beribukan
priyantun dalem duduk tidak sederet dengan raja,
melainkan menghadap ke Barat. Sunan biasa makan
dengan menggunakan tangan. Sebelum makan nasi
diakhiri, telah menjadi kebiasaan Sunan untuk memberi
satu sendok nasi dari piringnya kepada permaisuri.
Setelah acara makan siang selesai, masing-masing
menuju ke tempat kediamannya sendiri, artinya Sunan ke
Madusuka, Ratu Mas ke Kemasan, dan Ratu Pakubowono
ke Pakubuwanan. Sunan mengaso sampai sekitar pukul
20.00. Upacara makan malam dilakukan pada dini hari
berikutnya, yakni pukul 01.00, bertempat di Sonadi. Yang
ikut makan bersama adalah saudara atau putri raja yang
berstatus janda. Sebelum jam makan itu, antara pukul
22.00 – 01.00, Sunan berada di Argapura. Di tempat ini
Sunan menghendaki suasana yang santai, sebab itu yang
selalu ikut adalah para abdidalem palawija, terutama para
tuna netra, yang di dalam keraton dikenal dengan
picakan. Banyak permainan yang dilakukan oleh orang-
orang itu yang kadang kala mengundang tawa. Untuk
menghilangkan sayah, pukul 23.00 dua orang bedhaya
selalu sudah siap dengan tugasnya, yaitu memijit-mijit
kaki Sunan. Beberapa abdidalem perempuan berpangkat
tinggi seperti R. Ayu Adipati Sedhamirah ikut pula
menghadap. Patih Kedaton ini bermain kartu dengan
145

bawahannya, sedang Ratu Mas yang ikut hadir,


menyaksikannya. Pada pukul 23.00 ratu bersama
pengiringnya kembali ke Sasana Dayinta dan pada pukul
01.00 jika Sunan dan rombongannya turun dari Argapura
untuk bersantap malam, Ratu dan pengiringnya
menggabung pada rombongan itu (Soeratman, 1989:488-
495,506-507). Kegiatan-kegiatan yang terjadi di Omah
Mburi dan bagian-bagian lain di area Keputren
mempresentasikan dominasi kaum perempuan. Dan hal
ini akan sangat kontras dengan yang terjadi di Omah
Ngarep atau di Pendopo Sasana Sewaka yang lebih
mempresentasikan dominasi kaum laki-laki. Di tempat ini,
sebagian besar ‘episode’ upacara-upacara keraton
dilangsungkan.
Secara garis besar upacara yang dilangsungkan di
dalam keraton dapat dikategorikan menjadi dua
kelompok. Pertama, kelompok upacara yang bersifat
intern, dan kedua, kelompok upacara yang dihadiri oleh
wakil Pemerintah Hindia Belanda di Surakarta. Yang
termasuk kelompok upacara intern di antaranya adalah
upacara makan siang dan malam bagi raja dan
keluarganya, menghadap raja pada hari Senin dan Kamis,
ulang tahun raja, ulang tahun pawukon1 raja, ulang tahun
permaisuri raja, selamatan maesalawung, ngabekten, dan
pemujaan terhadap kekuatan alam. Di antara upacara

1 Pawukon berasal dari kata wuku; satu wuku lamanya tujuh


hari, dan seluruh wuku setahun berjumlah tiga puluh; ulang
tahun pawukon seseorang jatuh pada tanggal dan wuku orang
itu dilahirkan.
146

yang termasuk kelompok kedua adalah Garebeg,


penobatan raja, ulang tahun penobatan raja, menanggapi
peristiwa-peristiwa penting sepanjang daur hidup yang
menyangkut diri raja serta keluarganya, dan rampogan
harimau (Soeratman, 1989:175-176).
Berikut ini adalah gambaran kegiatan salah satu
upacara yang bersifat intern, yaitu upacara menghadap
Sunan pada hari Senin dan Kamis yang termasuk
pasamuwan alit2, seperti diceritakan oleh Darsiti
Soeratman. Upacara seba pada hari Senin dan Kamis
pada masa pemerintahan Pakubowono X dilangsungkan di
Pendopo Sasana Sewaka. Beberapa waktu sebelum
pasamuwan dimulai, Sunan berbusana di kamar Ageng
dilayani oleh priyantun dalem tua dan muda. Pada waktu
itu para putri dan abdidalem perempuan telah duduk di
Dalem Ageng Prabasuyasa dan apabila Sunan keluar dari
kamar Ageng mereka telah siap memberi hormat. Setelah
selesai berbusana, Sunan keluar dari kamar Ageng, tetapi
tidak langsung menuju ke Pendopo. Sunan berhenti
sebentar, duduk di dekat permaisuri, di tepi lantai yang
telah diberi tempat duduk khusus. Tempat duduk bagi
perempuan pada waktu upacara itu dilangsungkan

2 Pasamuwan adalah pertemuan yang semuwa artinya semarak


seperti pesta. Di kalangan masyarakat keraton dikenal istilah
pasamuwan ageng, tengahan, dan alit. Istilah ini memudahkan
para peserta upacara untuk menentukan macam kostum yang
harus dipakai jika mereka akan mengikuti upacara itu. Yang
termasuk pasamuwan ageng adalah upacara penobatan raja,
ulang tahun penobatan raja, garebeg, kelahiran calon putra
mahkota, perkawinan raja serta keluarganya, dan pemakaman
jenazah raja. Pasamuwan tengahan antara lain adalah ulang
tahun pawukon raja, sedang upacara rutin tiap hari Senin dan
Kamis termasuk pasamuwan alit.
147

terpisah dari kaum laki-laki; kaum wanita di Dalem Ageng


Prabasuyasa, sementara laki-laki di Pendopo Sasana
Sewaka. Adapun sekelompok perempuan yang terdiri atas
abdidalem perempuan, bedhaya, dan dua orang priyantun
dalem yang nampak berada di Pendopo, duduk di
belakang raja adalah mereka yang sedang bertugas
membawa benda-benda upacara dan ampilan dalem.
Setelah beristirahat sejenak, Sunan akan segera
memasuki ruang pasamuwan. Sekelompok bedhaya
pembawa benda-benda upacara dan ampilan yang
merupakan barisan pelopor mulai bergerak. Setelah
mereka duduk di Paningrat, Sunan mulai meninggalkan
Dalem Ageng Prabasuyasa. Segera gamelan Kyai
Kadukmanis dengan gendhing Srikaton dan Kyai
Manisrangga dengan gendhing Gonjangganjing dibunyikan,
kemudian dibarengi oleh musik dengan lagu Wilhelmus.
Di sebelah kanan Sunan agak di belakangnya, seorang
priyantun dalem yang masih muda mengikutinya dengan
membawa kecohan (tempat kecoh atau ludah). Di
belakangnya serombongan abdidalem perempuan
pembawa pusaka dan seorang priyantun dalem
mengiringkan Sunan. Suara gamelan dan musik berhenti
sesudah Sunan duduk di dampar. Ketika Sunan berjalan
menuju ke dampar, semua yang hadir di halaman Kedaton
memberi hormat dengan cara berjongkok dan
ngapurancang. Sesudah Sunan duduk di dampar, mereka
kembali pada posisi semula, duduk bersila di halaman
yang berpasir, sedang para pangeran dan riya nginggil
(cucu raja yang telah diwisuda menjadi Arya dan masuk
golongan bangsawan tingkat tinggi) berjalan secara
148

berurutan satu per satu menuju Pendopo. Setelah sampai


di dekat Paningrat, mereka mulai andhadhap (berjalan
dengan lutut agak ditekuk), kemudian berjongkok dan
menyembah, naik ke Paningrat dan berjalan jongkok lagi
menuju ke tempatnya masing-masing. Putra mahkota
atau wakilnya dan para pangeran yang usianya lebih tua
daripada Sunan duduk di kursi, sedang para pangeran
lainnya duduk di lantai di hadapan Sunan. Para riya
nginggil duduk di lantai Maligi. Jika raja yang berada di
Pendopo Sasana Sewaka duduk di tengah, di atas dampar,
di tempat yang paling terhormat di antara mereka yang
hadir pada upacara intern, maka permaisuri
menempatkan dirinya di Dalem Ageng Prabasuyasa,
duduk di tengah deretan putri-putri raja menghadap ke
Timur, ke arah tengah Pendopo (Soeratman,1989:177-
189).
Omah Mburi yang merupakan bagian dalam dari
Dalem Ageng Prabasuyasa diasosiasikan dengan
perempuan. Di tempat ini kaum perempuan secara rutin
melakukan tugas-tugas domestik mereka. Di samping
melakukan kegiatan sehari-hari melayani raja sebagai
kepala rumah tangga, mereka juga melakukan upacara-
upacara domestik, khususnya yang berkaitan dengan
keselamatan dan kesejahteraan raja beserta keluarganya,
seperti memberi ‘makan’ kepada pusaka-pusaka keramat
di Dalem Ageng Prabasuyasa, dan kepada mahkluk-
mahkluk halus yang berdiam di pojok-pojok Kedaton.
Jadi, kaum perempuan mengemban kapasitas untuk
menjaga keselamatan dan kesejahteraan di dalam
Kedaton.
149

Jika Dalem Ageng Prabasuyasa adalah tempat


untuk mengakumulasikan kekuatan dan didominasi oleh
perempuan, maka Pendopo Sasana Sewaka dan pelataran
Kedaton adalah tempat untuk mengekspresikan kekuatan
dan didominasi oleh laki-laki. Di sini terekspresikan
akumulasi dualistis. Paro sebelah Barat, Omah Mburi,
yang menghadap ke Selatan, arah yang dikeramatkan
adalah bagian dari tempat suci keluarga yang berkuasa,
yang banyak melibatkan penghuni Keputren, sedangkan
separo yang lain, Omah Ngarep, yang menghadap ke arah
Timur, arah matahari terbit dan kekuatan menjadi bagian
dari urusan upacara-upacara yang melibatkan publik
kerajaan.
Omah Ngarep merupakan wilayah yang berorientasi
keluar, tempat prestise domestik dan keteraturan sosial
ditampilkan, sebagaimana diperlihatkan oleh cara dan
penempatan posisi para pangeran dan abdidalem laki-laki
dan perempuan saat pasamuwan di Pendopo Sasana
Sewaka. Sebagai figur teladan tidak hanya bagi keluarga
Kedaton tapi juga bagi rakyatnya, Sunan wajib
memelihara prestisenya. Sehingga, berkaitan dengan
kekuasaan, sesuatu yang secara sosial berkesesuaian
dengan status, sudah selayaknya jika bagian depan
rumah tinggal raja dipamerkan secara mencolok kepada
publik kerajaan. Dibanding dengan Omah Mburi, yang
terkesan hening dan sepi, bangunan-bangunannya juga
miskin hiasan dan ornamen, Omah Ngarep yang berpusat
di tengah-tengah Pendopo Sasana Sewaka tempat Sunan
duduk di dampar, di banyak bagian bangunan Pendopo
dapat dilihat hiasan dan ornamen yang sangat indah,
150

berukir keemasan. Secara spasial, Omah Mburi, yang suci


dan tertutup sebagai tempat melakukan ritus harian dan
didominasi perempuan, dan Omah Ngarep, yang lebih
profan dan terbuka sebagai tempat berkumpul publik dan
didominasi laki-laki, dua-duanya secara bersama-sama
telah mempresentasikan ruang gender domestik dalam
Kedaton.
Untuk rumah tinggal Jawa umumnya, pembatas
ruang gender tersebut tidak selamanya tegas dan masif,
tapi sering berupa pembatas-pembatas yang sifatnya non
fisik, yaitu dalam bentuk norma-norma atau aturan-
aturan, baik yang mempersilahkan ataupun melarang
orang memasuki ruang tertentu dalam rumah tinggal
mereka. Saya sependapat dengan Santosa (2000:42),
bahwa dalam banyak hal, mekanisme kontrol berupa
‘aturan masuk’ ke dalam ruang ini berlaku secara berbeda
terhadap orang yang berbeda. Pada ranah domestik
dengan kategori penghuni yang beragam dan tumpang
tindih – umpamanya dalam soal gender, kekerabatan, usia
ataupun status – tak ada pembagian tegas yang dapat
sepenuhnya memisahkan para pengguna. Namun
menurut hemat saya, dalam hal ruang gender domestik
ini, keraton atau Kedaton sedikit berbeda dengan rumah
tinggal orang-orang kebanyakan. Sebuah Omah yang
sepenuhnya dikendalikan oleh penguasa kerajaan yang
menjadi tauladan bagi rakyatnya, termasuk dalam hal
berumah tangga, menjadi pelopor dalam ketegasan
pembagian ruang yang memisahkan para pengguna.
Sementara rumah tinggal penduduk kebanyakan sangat
beragam, yang akan sangat sulit mengikuti begitu saja
dengan apa-apa yang dilakukan oleh rajanya terhadap
151

penataan ruang rumah tinggalnya. Di dalam lingkungan


keraton, kategori penghuni dalam soal-soal yang
disebutkan di atas, relatif cukup seragam dan tidak terjadi
tumpang tindih.

5.2. Makna Bentuk Bangunan


Bentuk bangunan dapat dilihat dari bentuk atapnya.
Sebagian besar bangunan-bangunan yang terdapat di
dalam kompleks keraton Yogyakarta dan Surakarta
menggunakan atap berbentuk joglo, limasan, kampung
dan tajug, dengan berbagai variasiya. Sebenarnya, bentuk
bangunan tradisional Jawa mengenal pula bentuk
panggang pe, namun bangunan yang menggunakan atap
tipe ini tidak dijumpai di dalam kompleks keraton
Yogyakarta. Dan di dalam naskah-naskah Jawa juga tidak
disebut. Padahal, dalam relief-relief percandian baik Jawa
Tengah maupun Jawa Timur dapat ditemukan bangunan
dengan atap berbentuk panggang pe. Di dalam kompleks
keraton Surakarta terdapat sebuah bangunan yang
berbentuk panggang pe, yakni bangunan Jonggring
Saloko.
Menurut Kawruh Kambeng yang ditulis oleh M. Ng.
Soetasoekarja (tahun Be 1864) seperti dirujuk Prijotomo
dalam Petungan : Sistem Ukuran dalam Arsitektur Jawa,
bahwa yang menjadi akar dasar bentuk bangunan Jawa
adalah bentuk tajug. Bermula dari tipe tajug itulah lalu
dilakukan pemencaran tipe sehingga menjadi dua, tiga
dan bahkan lebih dari tiga tipe. Pemencaran yang pertama
menghasilkan tipe yang dinamakan joglo. Nama yang
benar bagi joglo itu seharusnya jugloro (juloro) yang
152

berasal dari kata tajug-loro (dua tajug). Jug loro adalah


nama yang sebenarnya diberikan karena tipe ini
mengambil dasar ukurannya dari dua buah tajug yang
digabungkan menjadi satu, berganti rupa dengan
menghilangkan mustaka dan diganti dengan kerangka
kayu yang bernama molo (Prijotomo, 1995:11).
Bentuk joglo merupakan bentuk bangunan
tradisional Jawa yang paling sempurna, bergengsi dan
mahal. Oleh karena itu bangunan joglo hanya dimiliki oleh
orang-orang tertentu, yaitu kalangan orang-orang kaya
dan kaum bangsawan. Dikatakan paling sempurna,
bangunan joglo memiliki elemen-elemen pembentuknya
paling lengkap diantara bentuk-bentuk bangunan
tradisional Jawa lainnya, yaitu memiliki : (a) molo atau
suwunan (wuwungan), dalam konstruksi modern dapat
disamakan dengan nook; (b) ander, dalam konstruksi
modern dapat disamakan dengan makelar; (c) dada peksi,
sepotong balok sebagai tumpuan ander; (d) batang-batang
usuk, dudur dan kecer; (e) susunan balok tumpang sari,
jumlahnya selalu ganjil; (f) Balok blandar dan pengeret.
Semua elemen tersebut membentuk sebuah brunjung,
bagian atap yang kelihatan menjulang tinggidi. Brunjung
ini secara konstruksional didukung secara penuh oleh
empat buah tiyang utama bangunan, yaitu sakaguru.
Bangunan joglo dikatakan bergengsi karena hanya dimiliki
oleh orang-orang tertentu.
Dahulu, bangunan joglo dimiliki oleh kaum
bangsawan, dibangun di lingkungan ibu kota keraton dan
kota-kota kabupaten di Jawa. Kemudian golongan orang-
orang kaya di kota-kota Jawa (contoh: kaum sodagar di
Kudus dan kaum kalang di Kotagede) oleh karena usaha
153

dagangnya yang maju pesat, untuk menaikkan gengsi,


mereka membangun rumahnya berbentuk joglo. Orang
yang membangun rumahnya berbentuk joglo hampir dapat
dipastikan bahwa dia memiliki banyak uang, sebab harga
yang harus dibayar untuk bangunan joglo sangat mahal.
Di samping jumlah elemen konstruksi bangunan yang
lebih banyak, hampir di seluruh bagian dari elemen-
elemen tersebut penuh dengan hiasan ukiran yang sangat
rumit. Dibutuhkan dana besar untuk perawatan bagian-
bagian bangunan, terutama yang dipenuhi ragam hias
ukiran. Hal ini pulalah yang menyebabkan banyak rumah
adat berbentuk joglo di kota Kudus dijual ke pihak lain.
Dan di dalam kompleks keraton Yogyakarta dan terlebih
lagi Surakarta, tidak sedikit bangunan yang karena
keterbatasan dana, tidak dilakukan perawatan secara baik
dan rutin sehingga kelihatan usang.
Ruang tiga dimensional, di antara empat sakaguru
dan di bawah pamidhangan pada bangunan joglo
dinamakan rong-rongan, yang merupakan ruang mistis.
Rong-rongan adalah tempat dimana orang Jawa
melakukan ritual seperti membakar kemenyan dan
meletakkan sesaji setiap 35 hari sekali (selapan) selama
rumah itu dihuni, meletakkan tempat duduk sepasang
pengantin, bahkan meletakkan jenasah penghuni rumah
yang meninggal dunia sebelum ia dikuburkan. Ruang
dalam Brunjung yang tepat terletak di atas rong-rongan
diyakini orang Jawa sebagai tempat bersemayamnya roh
nenek moyang yang menjaga keselamatan dan
kesejahteraan rumah beserta penghuninya. Peralihan
antara rong-rongan sebagai ruang manusia dengan ruang
154

brunjung sebagai ruang roh nenek moyang, secara


konstruktif dipisahkan oleh balok-balok horizontal
blandar-pangeret, dan secara mistis dipisahkan oleh kain
cindhe. Kain chinde berupa kain batik bercorak khusus
dengan delapan warna, berwarna dasar merah
ditempatkan tepat di bawah blandar, dan berlobang di
tengahnya karena untuk tembusan purus pathok saka
guru (lihat pula Wijaya, tt: IV14-15).
Bangsal Kencana keraton Yogyakarta yang
merupakan bangunan besar dan paling indah di antara
bangunan-bangunan yang terletak di halaman Kedaton,
berbentuk joglo mangkurat. Di sinilah, dahulu secara rutin
dua kali dalam seminggu diadakan persidangan. Pada saat
itu tatanan sosial yang didasarkan pada hubungan
asimetris dikukuhkan dengan para kerabat dekat dan
pejabat istana menghaturkan sembah, memohon berkah
dan maaf pada Baginda (lihat Santosa, 2000:cat.kaki, hal.
95). Apabila bertahta, Baginda selalu duduk di singgasana
di dalam bangsal bagian Barat dan menghadap ke Timur.
Bangsal Kencana bisa menggambarkan Manunggaling
Kawula Gusti, dalam arti bersatunya raja dengan
kawulanya, maupun dalam arti bersatunya raja dengan
Tuhannya. Jasad Sultan Hamengkubuwono IX, sebelum
dimakamkan di perkuburan Imogiri, terlebih dahulu
disemayamkan di bangsal Kencana untuk memberikan
kesempatan kepada masyarakat yang akan berkumpul
dengan Rajanya.
Bangunan-bangunan keraton Yogyakarta, selain
bangsal Kencana, yang menggunakan atap berbentuk
joglo, yaitu antara lain : bangsal Sri Manganti, bangsal
Kemagangan, dan bangsal Kemandhungan. Sementara di
155

keraton Surakarta, bangunan yang beratap joglo


diantaranya Sasana Sewaka, Prabasana, Pendopo
Werkudaran dan sebagainya. Bangunan-bangunan ini ada
yang memiliki atap joglo tumpang (bersusun) dua atau
tiga, bersifat terbuka tanpa dinding penutup ruangan dan
atapnya di sangga oleh beberapa tiang, empat di
antaranya merupakan saka guru (tiang utama). Bangsal-
bangsal itu berfungsi sebagai bangsal pertemuan. Ciri
khas yang langsung dapat dikenali bahwa bangunan itu
beratap joglo adalah bangunan itu berdenah segi empat
dan di bagian tengahnya terdapat empat buah saka guru
yang menyangga atap brunjung, bagian atap yang
menjulang tinggi.
Jumlah terbesar bangunan di dalam kompleks
keraton Yogyakarta dan Surakarta adalah bangunan
berbentuk limasan dengan berbagai variasinya, yaitu
diantaranya, di keraton Yogyakarta terdiri atas bangsal
Trajumas, Tratag dan emperan bangsal Kencana, Dalem
Ageng Prabayeksa, bangsal Manis, gedong Purwaretna,
dan gerbang Brajanala; dan di keraton Surakarta terdiri
atas Dalem Ageng Prabasuyasa, Sasana Prabu,
Pracimasana, kamar Dahar, Paningrat Bedayan dan
Argopeni. Sepintas, bentuk bangunan limasan mirip
dengan bangunan joglo, hanya wuwungan (molo)
bangunan limasan lebih panjang daripada joglo, tapi
secara keseluruhan atap limasan lebih rendah dari pada
joglo. Rumah limasan memiliki denah segi empat panjang,
dengan dua atap kejen atau cocor (atap segi tiga sama
kaki) pada sisi lebarnya dan dua atap berbentuk
trapezium pada sisi panjangnya. Pada bangunan bentuk
156

limasan, juga terdapat tumpang sari, susunan balok kayu


di atas blandar dan pangeret yang disusun saling
menumpang membentuk piramida terbalik di sisi luar
saka guru, dan membentuk piramida ke arah sisi dalam
saka guru. Susunan ini sering disebut uleng. Semakin
kaya seseorang, akan semakin banyak jumlah balok kayu
tumpang sarinya, dan biasanya jumlahnya ganjil antara 3
– 11 susun.
Kata ‘limasan’ belum diketahui artinya, apakah
dalam bahasa Indonesia berarti bentuk geometri limas ?
atau memiliki arti lain dalam bahasa Jawa ? Menurut
Kawruh Kambeng karangan M.Ng. Soetasoekarja, seperti
dirujuk Prijotomo, bangunan limasan berasal dari bentuk
dasar bangunan tajug. Dua buah bangunan tajug yang
disatukan menjadi bangunan joglo, selanjutnya bangunan
joglo tersebut dapat dipencarkan atau ditangkarkan lagi
tipenya, misalnya dengan cara menggandakan panjang
blandar atau penggandaan panjangnya pangeret, yakni
dari empat bangunan berbentuk joglo dijadikan satu
bangun saja. Bangun yang selesai digubah itu dinamakan
limasan. Nama limasan itu sebenarnya adalah liman sap,
artinya gajah (kerangka bangunan dibagian tengah
bangunan joglo) rangkap atau gajah sap (Prijotomo,
1995:11-13). Menurut Dakung, seperti dirujuk
Sudiamhadi, kata limasan diambil dari kata ‘limo-lasan’
(lima belasan), yakni perhitungan sederhana penggunaan
ukuran-ukuran molo 3 meter dan blandar 5 meter, dan
apabila molo 10 meter maka blandar harus memakai
ukuran 15 meter (Sudiamhadi, 1992:6). Bangunan bentuk
kampung tidak banyak terdapat di dalam kompleks
keraton Jawa, di Yogyakarta, saya hanya melihat tratag
157

sitihinggil dan bangsal tepas rantam arta. Di keraton


Surakarta, bangunan paningrat yang terdapat di ketiga
sisi Pendopo Sasana Sewaka juga beratap kampung. Kata
‘kampung’ dalam bahasa Jawa bisa berarti desa.
Pemberian nama kampung untuk sebuah bentuk rumah
bisa jadi karena pada umumnya rumah orang Jawa di
pedesaan berbentuk kampung. Mereka menggunakan
bentuk ini, selain bahannya irit, juga luwes dalam
perkembangannya maupun penggunaan bagi suatu
keluarga. Masyarakat Jawa, dahulu beranggapan bahwa
rumah bentuk kampung adalah rumah yang dimiliki
orang-orang yang tidak mampu, sementara rumah bentuk
limasan dan joglo adalah milik orang-orang yang mampu
dan kalangan bangsawan.
Menurut Kawruh Kambeng tulisan M.Ng.
Soetasoekarja, seperti dirujuk Prijotomo, kata yang
sebenarnya dari kampung adalah ‘kapung’, dimana
pembuatannya dilakukan dengan mencari jalan yang
termudah yakni mempertemukan dua empyak (empyak
katepung), tanpa mendapatkan banyak tambahan bangun
atau perabot (Prijotomo, 1995:13). Atap berbentuk
kampung atau sering juga dinamakan atap pelana,
merupakan atap yang terdiri dari dua buah empyak
miring yang bertemu pada puncak atap yang berupa satu
balok mendatar, yaitu balok bubungan yang oleh orang
Jawa disebut molo atau wuwungan. Molo ini ditopang oleh
dua atau lebih tiyang tegak di atas blandar dan pangeret
yang disebut ander. Pada atap bagian samping kanan dan
kiri, pada bagian pendeknya, terdapat penutup bidang
atap berbentuk segitiga sama kaki yang posisinya vertical
158

yang disebut tutup keong atau gunungan. Perbedaan


dengan atap limasan, pada bagian ini terdapat bidang
atap berbentuk segitiga sama kaki yang posisinya miring,
tidak vertikal, yang disebut kejen atau cocor. Konstruksi
atap kampung tidak memiliki dudur, sementara atap joglo
dan limasan memilikinya. Bangunan bentuk kampung
tidak memiliki tumpang sari, sehingga sederhana sekali.
Rumah bentuk tajug pada umumnya dijumpai
pada bangunan-bangunan sakral, seperti bangunan
masjid-masjid tradisional dan cungkup makam orang-
orang suci atau sering dikenal dengan wali di daerah
pesisir Utara Jawa. Rumah bentuk tajug memiliki denah
bujur sangkar, 4 buah tiyang dan memiliki 4 bidang atap
yang bertemu di satu titik, di puncak. Dan di atas puncak
inilah biasanya ditambahkan mustaka. Dalam kompleks
keraton Yogyakarta dan Surakarta hanya beberapa
bangunan yang menggunakan atap berbentuk tajug, yakni
antara lain : masjid di lingkungan keraton, bangsal Witana
dan bangsal Pancaniti.
Yang menarik adalah bangsal Witana dan bangsal
Pancaniti dalam lingkungan keraton Yogyakarta dan
Surakarta menggunakan atap berbentuk tajug, mengingat
kedua bangunan itu bukanlah tempat peribadatan, seperti
masjid misalnya. Sultan atau Sunan tentu sudah
mempertimbangkan penggunaan bentuk atap untuk
kedua bangsal tersebut. Bangsal Witana adalah tempat
menyimpan benda-benda pusaka pada upacara-upacara
kebesaran keraton, seperti saat Sultan bertahta pada
suatu upacara Garebeg Maulud tahun Dal, di bangsal
Manguntur tangkil yang letaknya tepat di depannya
(sebelah Utara). Kata ‘witana’ bisa diartikan sebagai
159

tempat duduk di surga. Dalam bahasa Jawa, kata ‘witana’


berarti ‘memulai’. Menurut Serat Salokapatra, seperti
dibahas oleh Astuti, makna bangsal Witana
menggambarkan raja dalam memulai segala sesuatu
dengan pikiran jernih, supaya dapat mencapai
keselamatan raja dan rakyatnya (Astuti, 1995:258).
Menurut Khairuddin, bangsal Witana mengandung arti
untuk memulai semedi dan mengajak manusia untuk
menyembah Tuhan (Khairuddin, 1995:51). Sementara
bangsal Pancaniti adalah tempat untuk duduk Sultan
apabila dia memberi keputusan pengadilan kepada para
narapidana.
Dibanding dengan bangunan-bangunan lain yang
berbentuk joglo maupun limasan, maka bangunan tajug
yang diwakili bangsal Witana dan Pancaniti, tidak lebih
sakral, misalnya dibandingkan dengan bangsal Manguntur
tangkil dan Prabayeksa yang mewakili bangunan limasan,
dan bangsal Kencana yang mewakili bangunan joglo.
Bahkan bangsal Manguntur tangkil memiliki keistimewaan
sebagai tempat untuk penyelenggaraan upacara-upacara
besar dan sakral. Dan ketika Sultan atau Sunan bertahta,
dia bersemedi dengan bersinewaka di bawah brunjung
atap limasan bangsal Manguntur tangkil.
Tuhan sebagai penguasa tunggal jagad raya ini,
yang merupakan tujuan dari aktifitas semua manusia
yang hidup beserta nilai-nilai kesakralannya
dilambangkan dengan sesuatu yang menuju kepada
ketunggalan dan berada di tempat yang tinggi. Sehingga
dari ketiga tipe bangunan tersebut, tipe tajug merupakan
bangunan yang paling sakral karena secara sempurna
160

bisa menghadirkan nilai-nilai kesakralan di dalamnya,


bentuk bangunannya tinggi dan memiliki puncak di
bagian atasnya. Kemudian secara gradasi, bangunan joglo
menempati tempat kedua, mengandung nilai-nilai
kesakralan di dalamnya, walaupun dalam beberapa kasus,
bangunannya lebih tinggi dibandingkan tajug, namun
tetap tidak sempurna, karena ia tidak memiliki puncak
dan mustoko di bagian atas bangunannya. Bentuk
bangunan limasan yang pada umumnya lebih panjang dan
kurang tinggi dibandingkan dengan joglo, juga
mengandung nilai-nilai kesakralan; secara gradasi ia di
bawah bangunan tajug dan joglo.

5.3. Makna Ragam Hias Bangunan


Pada umumnya bangunan-bangunan yang ada di
kompleks keraton Yogyakarta dan Surakarta, pada
bagian-bagian tertentu dari bangunan itu dihias dengan
bermacam-macam hiasan, baik dalam bentuk pahatan,
ukiran, sunggingan, maupun lukisan. Dan hiasan-hiasan
itu bisa berupa hiasan pengisi bidang, berupa sengkalan
memet, maupun hiasan-hiasan yang berdiri sendiri yang
memiliki arti simbolik berkaitan dengan bangunan-
bangunan tertentu di lingkungan keraton. Hiasan-hiasan
itu pada umumnya mengambil motif manusia / wayang,
geometri / ilmu ukur, flora, fauna, alam dan keagamaan,
dan kebanyakan terdapat pada bagian-bagian dari
bangunan seperti umpak, tiyang (saka), blandar, pangeret,
tumpang sari, dan pada bidang-bidang dari bangunan
seperti tutup keong atap bangunan, gapura, baturana dan
lain-lain. Ada pula yang keberadaannya terpisah dengan
bagian bangunan, seperti misalnya patung atau arca.
161

Di lingkungan dalam keraton Yogyakarta kita


temukan hiasan dengan motif manusia/wayang, yaitu
kemamang berupa kepala raksasa dengan mata melotot,
lidah menjulur keluar, bergigi besar, taringnya keluar, dan
berambut gimbal. Hiasan ini terdapat pada pintu masuk
bagian atas, seperti ambang gapura atau pintu gerbang.
Secara simbolis, hiasan ini berfungsi sebagai penolak bala
atau pencegah roh jahat yang akan masuk ke dalam
halaman atau bangunan; ia akan menelan segala sesuatu
yang bersifat jahat yang hendak masuk.
Dalam perwujudannya, hiasan kemamang tidak
jauh berbeda dengan hiasan kepala kala yang terdapat
pada candi-candi di Jawa Timur. Agama Hindu
memperkenalkan motif kala yang biasanya digabungkan
dengan motif makara. Motif kala sering dianggap sebagai
gambaran muka banaspati, makhluk imajinatif yang jahat
dan kejam, berfungsi sebagai penolak bala, biasanya ia
ditempatkan pada ambang pintu atau relung candi. Dalam
seni Hindu pada percandian di Jawa Tengah, motif kedok
itu biasanya digambarkan tidak memakai rahang bawah.
Motif makara biasanya menghiasi bagian kedua samping
atau sisi pintu atau relung candi, berupa gambaran
binatang mitos yang bentuknya merupakan campuran
antara gajah dan ikan.
Hiasan motif geometri termasuk hasil kesenian
yang paling tua, sejak zaman sebelum Hindu (zaman
peradaban Animisme dan Dinamisme). Pada mulanya,
motif ini berupa unsur titik, garis sejajar, garis lengkung
(terkadang membentuk huruf ‘S’), garis potong dan
pertemuan garis. Motif yang disebutkan terakhir ini,
162

kemudian berkembang ke arah bentuk-bentuk dasar


seperti segitiga, segiempat, dan lingkaran. Motif garis-garis
lengkung yang terkadang membentuk huruf ‘S’ dikenal
dengan motif ikal atau pilin, atau ada yang menyebutnya
gelung. Apabila dilukiskan secara berulang-ulang disebut
pilin berganda atau ikal rangkap. Motif yang berbentuk
segitiga biasanya disebut motif tumpal atau pigura, sering
juga dinamakan untu walang (=gigi belalang). Ada juga
yang berpendopot motif segitiga ini merupakan gambaran
dari rebung (=tunas bambu). Seperti diketahui tunas
bambu memiliki daya tumbuh yang luar biasa cepatnya.
Oleh karena itu, motif tumpal dianggap sebagai lambang
kesuburan.

Gambar 72. Kemamang pada Regol Danapratapa keraton


Yogyakarta (kiri) dan Kala pada candi Sawentar Blitar (kanan)
(Dokumentasi Penulis)

Motif flora tlacapan dan patran atau banyu tetes


(air menetes) yang banyak dijumpai pada hasil kesenian
keraton Jawa adalah hasil perkembangan dari motif
segitiga. Bentuk hiasan tlacapan biasanya lebih runcing
(sudutnya lancip) dibandingkan bentuk patran. Hiasan
163

tlacapan dinamakan pula sorotan (sinaran), karena ia


dianggap menggambarkan sinar matahari yang
berkilauan. Di lingkungan keraton dikenal hiasan praba,
yang bentuknya seperti tumpal. Bentuk hiasan praba
melengkung, tinggi dan tengahnya atau puncaknya lancip,
yang menggambarkan sinar atau cahaya. Motif yang
berbentuk segiempat dalam kesenian keraton Jawa
banyak dijumpai dalam bentuk saton, berbentuk bujur
sangkar dengan hiasan flora. Dengan bentuk yang sedikit
berbeda, kita jumpai pula bentuk wajikan. Bentuk saton
digambarkan secara geometris bisa berbentuk bujur
sangkar (keempat sudutnya siku-siku), dan biasanya
disusun secara miring (diputar 45 derajat), sementara
wajikan berbentuk belah ketupat dengan keempat
rusuknya sama panjang, dan keempat sudutnya tidak
siku-siku (dua sudut lancip dan dua sudut tumpul). Bisa
dikatakan bentuk geometri wajikan adalah gabungan dari
dua buah bentuk segitiga sama kaki dengan sudut
runcing yang disatukan alas (rusuk pendek) nya.
Hiasan tumpal, tlacapan, patran, saton dan wajikan
kebanyakan dijumpai pada bagian-bagian atau elemen-
elemen kerangka bangunan, seperti saka, blandar,
pangeret, dudur, sunduk, kili-kili, usuk, ander, santen dan
juga tumpang sari dan tebeng. Hiasan-hiasan ini banyak
ditemukan pada bangunan-bangunan di dalam kompleks
keraton, baik di Yogyakarta maupun di Surakarta.
Kreatifitas para seniman keraton, terutama dalam
memadukan unsur-unsur geometri garis lurus dan
lengkung telah menciptakan salah satu hiasan bangunan
di lingkungan keraton yang memiliki kedalaman nilai
164

religius, yaitu hiasan mirong. Ada yang menghubungkan


hiasan ini dengan tokoh legenda Ratu Kidul, ada pula yang
menganggap bahwa hiasan ini sebenarnya merupakan
rangkaian huruf Arab Alif-Lam-Ra’. Yang menarik adalah
bahwa hiasan ini hanya terdapat pada tiyang-tiyang
bangunan, yaitu saka guru, saka penanggap dan saka
penitih, kadang-kadang juga dipasang pada saka santen.
Hiasan mirong, menurut legenda, merupakan perwujudan
Kanjeng Ratu Kidul (Ratu penguasa Laut Selatan) yang
datang di keraton khusus untuk menyaksikan
pertunjukan tari bedaya. Dia tidak menampakkan diri
tetapi bersembunyi di belakang tiyang. Terlepas adanya
cerita yang menghubungkan hiasan mirong dengan
Kanjeng Ratu Kidul, yang jelas tiyang-tiyang yang diberi
hiasan mirong nampak langsing.
Hiasan motif flora adalah hiasan yang unsur-
unsurnya diambilkan dari tanaman, terutama bagian
batang, daun, bunga, buah dan pucuk-pucuk pohonnya.
Flora yang tersebar pada bangunan rumah tradisional
Jawa pada umumnya bermakna suci, indah, ukirannya
halus dan simetris, dan mengandung daya estetika. Motif
flora ini banyak menghiasi bidang-bidang geometri seperti
segitiga, segiempat, belahketupat, sehingga menghasilkan
hiasan-hiasan dengan nama tlacapan, patran, saton,
wajikan dan praba, yang banyak dijumpai pada elemen-
elemen bangunan tradisional Jawa di lingkungan keraton
Yogyakarta dan Surakarta.
Di samping hiasan-hiasan dengan motif flora di
atas, masih ada bentuk hiasan lung-lungan dan bunga
padma. Lung-lungan berasal dari kata ‘lung’ yang berarti
batang tumbuhan menjalar yang masih muda, yang
165

bentuknya melengkung. Ragam hias lung-lungan cukup


banyak mengisi bagian-bagian bangunan rumah, seperti :
saka, blandar, pangeret, sunduk, kili-kili, dudur, usuk,
dadapeksi, ander, molo, tumpang sari, takir, kerbil, gimbal,
bidang pamidhangan, tebeng, patang aring, dan lain-lain.
Bagian pamidhangan rumah joglo yang ada di kompleks
keraton Yogyakarta dan Surakarta sering penuh dengan
hiasan lung-lungan. Hiasan ini biasanya memberikan
kesan keindahan dan sakral, bahkan kadang kala nampak
angker atau wingit (lihat pula Ismunandar, 1990:62).

Lung-lungan

Praba

Mirong

Praba

Gambar 73. Ragam hias pada saka bangsal Witana


keraton Yogyakarta (Dokumentasi Penulis)

Hiasan motif bunga padma pada umumnya


terdapat pada umpak tiyang bangunan, saka guru, saka
penanggap, saka penitih, dan biasanya umpaknya terbagi
dua bagian, umpak bagian atas, agak mengecil ke atas,
dihiasi motif yang menggambarkan daun dan bunga yang
membuka ke atas, sementara umpak bagian bawah, agak
166

membesar ke bawah, adalah kebalikannya, daun dan


bunganya membuka ke bawah.

Praba

Praba

Padma pada
umpak

Gambar 74. Ragam hias pada saka bangsal Kencana


keraton Yogyakarta (Dokumentasi Penulis)

Gambar 75. Ragam hias mustaka pada atap bangsal Witana


keraton Surakarta (kiri) dan Yogyakarta (kanan)
(Dokumentasi Penulis)

Bentuk hiasan motif bunga padma, ada yang


dibuat secara natural, ada pula yang distilir. Bentuk
167

bunga padma mengingatkan kita pada tempat duduk atau


singgasana Sang Budha Gautama. Dan juga stupa-stupa
di candi Borobudur, tumpuan atau landasannya
berbentuk bunga padma. Hiasan motif bunga padma,
menurut konsep Hindu melambangkan kesucian atau
keabadian.

Gambar 76. Stupa candi Borobudur; tumpuannya berbentuk


bunga padma (Dokumentasi Penulis)
168
BAB VI
KESIMPULAN

Alun-alun yang letaknya paling luar di dalam rangkaian


pelataran keraton, merupakan halaman depan dan
belakang kediaman seorang raja Jawa; ia memperlihatkan
kekuatan politik dan magi yang melekat pada diri raja
kepada rakyatnya. Kerajaan sebagai jagad hanya mungkin
bisa menunjukkan dirinya pada peristiwa yang terjadi di
Alun-alun. Raja menggunakan Alun-alun sebagai tempat
untuk memperlihatkan kekuasannya kepada pejabat
keraton, penguasa-penguasa di daerah-daerah yang
berada di bawahnya, dan rakyatnya, yaitu pada saat
berlangsungnya upacara atau pertunjukkan di Alun-alun.
Sebagai pusat kekuasaan, keraton
mengkonsentrasikan kegiatan seremonialnya di Kedaton,
Sitihinggil Lor dan Alun-alun Lor. Di ketiga tempat itu
diselenggarakan rangkaian upacara kerajaan sebagai
manifestasi kedaulatan raja. Sebagai hunian, keraton
memusatkan kegiatan domestiknya di Kedaton,
khususnya di Dalem Ageng dan Keputren. Tidak seperti
rangkaian pelataran di keraton yang berorientasi Utara-
Selatan, Kedaton menghadap ke Timur, arah matahari
terbit, sumber kekuatan energi. Orientasi ini diperkuat
dengan adanya Pendapa di depan Dalem Ageng, yang

169
170

bersifat terbuka. Dalem Ageng sendiri menghadap ke


Selatan, seperti lazimnya rumah-rumah Jawa lainnya.
Pendapa adalah penanda orientasi Kedaton; ia
adalah balai persidangan utama keraton, tempat duduk
Sultan atau Sunan di atas dhampar, di hadapan para
punggawanya yang merupakan perwujudan simbolis
pemerintahan dan penataan wilayahnya. Dia
menyelenggarakan persidangan ini secara rutin untuk
menjaga kedudukannya di puncak tatanan.
Rangkaian pelataran dan gugusan bangunan yang
membentuk keraton Surakarta dan Yogyakarta diatur
sesuai dengan dua poros, yaitu pertama, poros Utara-
Selatan, yang menentukan ruang-ruang umum, resmi dan
tempat upacara; dan kedua, poros Timur-Barat, yang
nampak pada kompleks Kedaton, yang menentukan
ruang-ruang pribadi, akrab dan keramat. Poros
pertamalah yang paling nyata karena menghubungkan
Alun-alun Lor dengan Alun-alun Kidul melalui tujuh
pelataran berturut-turut yang saling berhubungan lewat
pintu kori. Poros kedua tercipta karena kedudukan Dalem
Ageng yang menyandang beban ganda, di satu sisi sebagai
Omah Mburi yang lebih bersifat privat dan tertutup,
namun di sisi lain, ia sebagai Omah Ngarep yang harus
bersifat publik dan terbuka. Sebagai Omah Ngarep, di sisi
Timur Dalem Ageng ditambahkan Pendopo yang bersifat
terbuka. Ditambah lagi dengan pelataran di depan (di sisi
Timur) Pendopo semakin memperkuat posisi hadap Dalem
Ageng ke arah Timur.
Penempatan Pendopo di sebelah Timur Dalem
Ageng memiliki dua alasan. Alasan pertama adalah arah
Timur merupakan arah munculnya kekuatan energi yang
171

dilekatkan pada simbol matahari terbit. Dan alasan kedua


adalah pertimbangan filosofis, yaitu tidak mengganggu
poros sejati Utara-Selatan yang merupakan sumbu
imajiner : Gunung Merapi – Keraton – Laut Kidul.
Penempatan Pendopo beserta pelatarannya, sebagai bagian
dari Omah Ngarep, di sisi Selatan Dalem Ageng misalnya,
akan memaksa area Keputren yang cukup luas, yang
penghuninya merupakan tulang pugung urusan-urusan
Omah Mburi menjadi berada di sisi Utara, sehingga bisa
mengganggu poros sejati Utara-Selatan. Begitu pula
sebaliknya, bila Pendopo beserta pelatarannya
ditempatkan di sisi Utara Dalem Ageng.
Kemenduaan Dalem Ageng dalam kedudukannya
sebagai tempat kediaman seorang raja, yaitu satu bagian
mempresentasikan Omah Ngarep, bagian Omah yang
didominasi laki-laki, dan bagian yang lain
mempresentasikan Omah Mburi, bagian Omah yang
didominasi perempuan, memperlihatkan adanya dualistis
ruang domestik : ruang laki-laki dan ruang perempuan.
Pada umumnya bangunan-bangunan yang
terdapat di kompleks keraton Jawa menggambarkan
bentuk rumah tradisional Jawa dan sebagian
menggunakan konstruksi kayu, yaitu berbentuk limasan,
joglo, kampung dan tajug atau masjid. Satu bentuk lagi
yang menurut tradisi Jawa dimasukkan ke dalam salah
satu tipe bangunan tradisional Jawa, yakni panggang pe
tidak dijumpai pada bangunan-bangunan keraton
Yogyakarta. Di kompleks keraton Kasunanan Surakarta,
dapat ditemui satu bangunan yang berbentuk panggang
pe. Pada dasarnya tipe-tipe bentuk bangunan tradisional
172

Jawa berasal dari satu bentuk saja, yaitu tipe tajug, satu
bentuk yang melambangkan kesakralan. Dari tipe ini
kemudian terjadi pemekaran yang didasarkan atas
pertambahnya luasan ruangan, menjadi bentuk joglo dan
kemudian limasan.
Pada bangunan-bangunan di kompleks keraton
Jawa banyak dijumpai hiasan-hiasan yang memiliki
makna-makna tertentu. Hiasan yang banyak ditemui pada
elemen-elemen kerangka atau pada bagian-bangian
bangunan yaitu yang berupa motif manusia/wayang :
kemamang dan arca penjaga pintu gerbang; motif
geometri: tlacapan, sorotan, saton, wajikan dan praba;
motif Flora : lung-lungan dan bunga padma; motif fauna :
peksi garuda dan ular atau naga; motif keagamaan: mirong
dan mustaka. Hiasan-hiasan ini merupakan
perkembangan dari motif-motif hiasan yang berasal dari
periode Hindu/Budha. Hiasan kemamang yang berbentuk
kepala raksasa merupakan perkembangan dari hiasan
kepala kala yang terdapat di atas pintu candi, demikian
halnya dengan fungsinya yakni sebagai penolak bala atau
kejahatan. Motif bunga padma yang pada umumnya
terdapat pada umpak saka bangunan tradisional Jawa,
merupakan perkembangan hiasan bunga padma yang
terdapat pada candi sebagai lapik stupa dan Sang
Sidharta Gautama, melambangkan kehidupan dan
keabadian.
DAFTAR PUSTAKA

Artha, Arwan Tuti


Yogyakarta Tempo Doeloe, Yogyakarta : Bigraf
Publishing.

Ashadi
2003 ‘Alun-Alun : Menelusuri Konsep Ruang Terbuka
Kota dalam Tata Ruang Kota Kuno di Jawa’,
Laporan Akhir Penelitian, LPP Universitas
Muhammadiyah Jakarta.

Astuti, Renggo
1995 Makna Simbolik Tumbuh-Tumbuhan dan Bangunan
Kraton Suatu Kajian Terhadap Serat Selokapatra,
Jakarta : Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-
Nilai Budaya Pusat, Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, Ditjen Kebudayaan, Dep. Pendidikan
dan Kebudayaan.

Darban, Ahmad Adaby


2000 Sejarah Kauman, Yogyakarta : Tarawang.

Depdikbud
1980 Struktur Bangunan Kraton Yogyakarta, Proyek
Sasana Budaya Ditjen Kebudayaan.
1999 Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Ditjen
Kebudayaan.

173
174

Eliade, Mircea
2002 Sakral dan Profan, Yogyakarta : Fajar Pustaka
baru.

Gill, Ronald
1997 ‘The Morphology of Indonesia Cities’ dalam
Preservation and Conservation of Cultural Heritage
in Indonesia, Eko Budihardjo (Ed), Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.

Graaf, H.J. de
1986 Puncak Kekuasaan Mataram, Jakarta : Pustaka
Utama Grafiti.

Heins, Marleen (Ed.)


2004 Karaton Surakarta, Jakarta : Yayasan Pawiyatan
Kabudayaan Karaton Surakarta.

Hendro, Eko Punto


2001 Kraton Yogyakarta Dalam Balutan Hindu,
Semarang : Bendera.

Houben, Vincent, J.H.


2002 Keraton dan Kompeni, Yogyakarta : Bentang
Budaya.

Karno, R.M.
Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinoehoen Sri
Soesoehoenan Pakoeboewono Ke-X 1893-1939

Khairuddin H.
1995 Filsafati Kota Yogyakarta, Yogyakarta : Liberty.

Kuntowijoyo
2004 Raja Priyayi dan Kawula : Surakarta 1900-1915,
Yogyakarta : Ombak.
175

Larson, George D.
1990 Masa Menjelang Revolusi, Keraton dan Kehidupan
Politik di Surakarta 1912-1942, Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.

Lombard, Denys
1996 Nusa Jawa : Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu
: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris, Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.

Pemberton
2003 Jawa, Yogyakarta : Mata Bangsa.

Poerwokoesoemo, Soedarisman
1985 Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.

Prijotomo, Josef dan Rachmawati, Murni


1995 Petungan : Sistem Ukuran dalam Arsitektur Jawa,
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

PT. Pembangunan Perumahan (PP)


Pembangunan Kembali Karaton Surakarta

Purwadi
2003 Sosiologi Mistik R.Ng. Ronggowarsito, Yogyakarta :
Persada.
2004 Nyai Roro Kidul dan Legitimasi Politik Jawa,
Yogyakarta : Media Abadi.

Remmelink, Willem
2001 Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa 1725-
1743, Yogyakarta : Jendela.
176

Ricklefs, M.C.
1991 Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press.
2002 Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-
1792, Yogyakarta : Matabangsa.

Santosa, Revianto Budi


2000 Omah, Membaca Makna Rumah Jawa, Yogyakarta :
Bentang.

Setiadi, Bram, dkk.


2000 Raja di Dalam Republik, Keraton Kasunanan
Surakarta dan Pakubuwono XII, Jakarta : Bina
Rena Pariwara.

Setiyawan, Hadi
1999 ‘Kori dan Gapura Di Kawasan Kraton Kasunanan
Surakarta’, Laporan Tesis, UGM.

Sidharta dan Budihardjo, Eko


1989 Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno
Bersejarah di Surakarta, Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.

Soediamhadi
1990 ‘Studi Pelaksanaan Konsep Perhitungan Panjang
Blandar dan Pangeret Pada Ruang Pendapa di
Surakarta’, Laporan Penelitian Mandiri, Jurusan
Arsitektur, Universitas Sebelas Maret.

Soelarto, B.
1993 Garebeg, Yogyakarta : Kanisius.

Soeratman, Darsiti
1989 ‘Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939’,
Laporan Disertasi, UGM.
177

Soeratno, Chamamah (Ed.)


2002 Kraton Jogja, Jakarta : Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat and Indonesia Marketing Association.

Soewito
Rekayasa Perancangan Pembangunan Kembali
Keraton Surakarta

Surjomihardjo, Abdurrachman
2000 Sejarah Perkembangan Sosial Kota Yogyakarta,
Yogyakarta : Yayasan Untuk Indonesia.

Tashadi (Ed)
1980 Seri Peninggalan Sejarah : Balai Penelitian Sejarah
dan Budaya Yogyakarta, Pusat Penelitian Sejarah
dan Budaya, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Tjandrasasmita, Uka
2000 Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim
di Indonesia dari Abad XII Sampai XVIII Masehi,
Kudus : Menara Kudus.

Wijaya, Ari
‘Perubahan Makna, Fungsi dan Bentuk Rumah
Tradisional Jawa’, Tesis, Program Pasca Sarjana
Antropologi, Universitas Indonesia.

Internet
https ://wikimapia.org, akses 24 Juni 2017.
https ://zuliadi.wordpress.com, akses 29 Juni 2017.
178

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai