net/publication/319442076
Keraton Jawa
CITATIONS READS
0 2,875
1 author:
Ashadi Ashadi
Universitas Muhammadiyah Jakarta
50 PUBLICATIONS 16 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Penataan Hunian di Sekitar Masjid Bersejarah Dalam Rangka Peningkatan Kawasan Wisata View project
All content following this page was uploaded by Ashadi Ashadi on 02 September 2017.
KERATON
JAWA
|arsitekturUMJpress|
|
Penulis: ASHADI
ISBN 978-602-74968-7-3
i
ii
iii
iv
DAFTAR ISI
HAL.
KATA PENGANTAR i
PENGANTAR PENERBIT iii
DAFTAR ISI v
BAB I
PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Perumusan Masalah 3
1.3. Tinjauan Pustaka 4
1.4. Tujuan Penelitian 9
1.5. Metode Penelitian 9
1.6. Kontribusi Penelitian 10
BAB II
JAWA DIBAGI DUA : KASUNANAN DAN
KASULTANAN 11
BAB III
KERATON KASULTANAN YOGYAKARTA 23
3.1. Keraton dan Kota Yogyakarta 23
3.2. Struktur Fisik Keraton 29
v
vi
BAB IV
KERATON KASUNANAN SURAKARTA 85
4.1. Keraton dan Kota Surakarta 85
4.2. Struktur Fisik Keraton 93
BAB V
MAKNA TATA LETAK DAN ORIENTASI,
BENTUK, DAN RAGAM HIAS BANGUNAN 135
5.1. Makna Tata Letak dan Orientasi Bangunan 135
5.2. Makna Bentuk Bangunan 151
5.3. Makna Ragam Hias Bangunan 160
BAB VI
KESIMPULAN 169
11
12
23
24
Alun-alun Lor
Alun-alun Lor (Utara) yang merupakan halaman
depan keraton memiliki luas sekitar 300 m x 300 m. Di
Alun-alun Lor denyut nadi kehidupan sosial dan budaya
masyarakat Yogyakarta lebih terasa. Di masa lalu, Alun-
alun Utara dipenuhi pasir halus, di sekelilingnya dipagari
oleh bangunan ‘pacak suji’. Kini bangunan itu tidak ada
lagi, diganti dengan pagar tembok keliling. Bila orang-
orang ingin masuk atau melewati Alun-alun tidak
diperkenankan berkendaraan, mengenakan sepatu atau
sandal, mengembangkan payung, dan bertongkat.
Menurut Tashadi (1980:42), mengapa Alun-alun tidak
ditanami rumput, karena bila berumput tidak baik untuk
duduk.
Alun-alun Utara, pada zaman kerajaan dahulu
digunakan sebagai tempat berkumpul rakyat untuk
menghadap raja, tempat upacara kenegaraan, dan tempat
keramaian sekaten menjelang garebeg Mulud.
Masyarakat dalam melakukan protes atau
pengaduan kepada Sri Sultan, menggunakan pakaian
putih-putih dengan ikat kepala putih duduk berjemur
(pepe : bhs Jawa) di antara dua pohon beringin kurung
yang ada di tengah-tengah Alun-alun menghadap ke
keraton. Mereka melakukan pepe ini tentunya berharap
dilihat oleh Sultan yang sedang duduk di Sitihinggil.
Sesuai perkenan Sultan, mereka yang melakukan protes
atau pengaduan ini akan dipanggil untuk menjelaskan
maksud dan tujuan melakukan pepe (lihat Khairuddin,
1995:53).
34
Gambar 05. Alun-alun Lor pada saat sekatenan; terlihat masjid Besar
(Dokumentasi Penulis)
35
dinaiki Sri Sultan apabila dia telah lanjut usia. Tandu ini
pernah digunakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono II,
sewaktu dia telah lanjut usia untuk keperluan memeriksa
barisan dan keliling bangunan pekapalan bila acara
upacara selikuran (Tashadi, 1980:55).
Halaman Kedaton
Halaman Kedaton merupakan halaman pusat yang
terletak di antara tiga buah halaman yang mengapitnya di
sebelah Utara dan Selatan. Halaman ini dan komposisi
bangunan-bangunan yang berada di dalamnya
58
Halaman Kemagangan
Halaman Kemagangan terletak di sebelah Selatan
halaman Kedaton, dipisahkan dengan dinding penyengker
setinggi kurang lebih lima meter dan dihubungkan dengan
pintu gerbang atau regol Kemagangan. Halaman
Kemagangan berbentuk hampir bujur sangkar dan di
sebelah Selatan dan menyatu atau menyambung halaman
Kemagangan adalah sebuah halaman yang memanjang ke
arah Selatan dan pada ujung halaman ini kita jumpai
pintu gerbang atau regol Gadung Mlati, yaitu pintu
gerbang yang menghubungkan halaman Kemagangan
dengan halaman Kemandhungan Kidul. Di tengah-tengah
halaman yang memanjang (seperti lorong) dahulu terdapat
jembatan gantung. Kali yang berada di bawahnya
menghubungkan segaran di sebelah Barat dengan segaran
di sebelah Timur. Di tengah-tengah segaran sebelah Timur
terdapat sebuah ‘pulau’ yang dinamakan Pulo Gedong.
Di sebelah kiri dan kanan regol Kemagangan
terdapat dua buah bangsal kecil tempat caos, sedangkan
di depan regol terdapat sebuah Tarub atau bangunan
tambahan yang dikenal dengan Balerata, yaitu tempat
pemberhentian kereta Sri Sultan. Di depan atau di sebelah
Selatan Balerata tumbuh pohon beringin, yang ditanam
pada tahun 1921 untuk memperingati penobatan Sri
76
Alun-alun Kidul
Alun-alun Kidul atau Alun-alun Pengkeran yang
memiliki ukuran kurang lebih 165 m x 165 m, pada masa
dahulu dipenuhi pasir halus dan digunakan sebagai
tempat melatih prajurit-prajurit dalam ilmu kanuragan
dan juga ketangkasan berkuda untuk pasukan kavaleri.
Di tengah-tengah Alun-alun terdapat dua buah pohon
82
85
86
Artinya :
Artinya :
Alun-alun Lor
Apabila kita memasuki kawasan keraton
Kasunanan Surakarta dari arah Utara, akan terlihat
Gapuro besar sebagai gerbang utama kompleks keraton; ia
dikenal dengan Gapuro Gladak. Di depan Gapuro Gladak,
di sebelah kanan dan kiri jalan masuk kawasan keraton,
terdapat dua buah arca kembar besar. Arca yang
berwujud raksasa ini dinamakan arca Pandhito Yakso,
yang dibuat di Pandansimping, Klaten. Menurut Suseno
(1990) dengan menggunakan keterangan KRMH
Yosodipuro, seperti dikutip Setiyawan, Gapuro Gladak
dibangun pertama kali oleh Pakubuwono III pada tahun
1750. Dirombak oleh Pakubuwono X pada tahun 1913,
meninggalkan bentuk lama menjadi bentuk baru. Pada
tahun 1930 dibangun kembali dan dihiasi dengan dua
patung raksasa. (Setiyawan, 1999:87). Gladak sendiri
dalam bahasa Jawa berarti menyeret. Dahulu, di tempat
95
Halaman Kedaton
Di sebelah Selatan halaman Sri manganti Lor,
adalah pelataran Kedaton, yang di dalamnya terdapat
bangunan-bangunan yang bermacam-macam bentuknya.
Zimmermann, seperti dirujuk Soeratman, memberi
gambaran seakan-akan Kedaton itu terdiri atas dua
bagian, yaitu bagian Timur terdapat bangunan-bangunan
119
raja yang lahir dari priyantun dalem, para putra raja yang
belum akil balik, para abdidalem estri, dan para abdi
wanita. Putra dan putri raja tersebut pada umumnya
tinggal bersama ‘bibi’ mereka masing-masing yang
menyelenggarakan dapur sendiri-sendiri. Untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari para penghuninya, di
dalam Keputren terdapat sebuah pasar atau warung yang
buka setiap hari, dimulai dari pagi sampai siang.
Penjualnya semua wanita dan mereka mengenakan
pakaian sesuai dengan peraturan yang berlaku di dalam
Kedaton (periksa Soeratman, 1989:141-147).
Di sebelah Timur, berhimpitan dengan Dalem
Ageng Prabasuyasa adalah Sasana Parasdya, yaitu nama
bagi Pringgitan. Menerus ke Timur adalah Peningrat
Bedhayan. Baik Sasana Parasdya maupun Peningrat
Bedhayan merupakan ruang terbuka tempat raja duduk
di ruang Parasdya untuk menyaksikan pertunjukan
wayang kulit ataupun latihan tari bedhaya ketawang. Di
sebelah Timur Peningrat Bedhayan terdapat Sasana
Sewaka, sebutan bagi Pendopo. Sebenarnya Peningrat
merupakan teras atau emperan dari Sasana Sewaka,
sehingga ada Peningrat Lor, Wetan dan Kidul, yang
lantainya lebih rendah dari Pendopo. Sementara Peningrat
Kulon yang lebih luas dari ketiga Peningrat lainnya dikenal
dengan Peningrat Bedhayan. Sasana Sewaka berarti
tempat untuk sinewaka atau duduk raja di kursi tahta
dihadapan abdidalem berpangkat tinggi (pisowanan). Pada
masa Pakubuwono IX, pisowanan diselenggarakan setiap
hari Senin dan Kamis. Di sebelah Timur dan merupakan
124
Halaman Kemagangan
Di sebelah Selatan pelataran Kedaton, melewati
Kori Sri Manganti Kidul, kita menjumpai halaman
Kemagangan. Di tengah-tengah halaman terdapat bangsal
terbuka yang berfungsi untuk menyimpan berbagai
macam barang seperti made rengga, yaitu peralatan khitan
putra dan kerabat raja. Juga berfungsi untuk menyiapkan
barisan prajurit yang akan bertugas, untuk menyiapkan
segala sesuatu yang berhubungan dengan upacara religius
keraton seperti pembuatan gunungan dan upacara
Garebeg, dan tempat magang bagi calon prajurit keraton.
Alun-alun Kidul
Alun-alun Kidul pada umumnya dianggap sebagai
halaman belakang keraton. Hal ini bisa terlihat dari
bangunan yang jumlahnya lebih sedikit dan
penampilannya tampak lebih sederhana dibandingkan
dengan yang ada di Alun-alun Lor. Sepasang pohon
beringin di tengah Alun-alun Kidul yang konon di tanam
pada hari pertama ketika Pakubuwono II menempati
keraton Surakarta, tidak diberi nama khusus. Dahulu,
Alun-alun Kidul dipakai untuk latihan perang para
abdidalem prajurit yang dilangsungkan pada setiap hari
Selasa dan Minggu pagi dan disaksikan oleh raja yang
duduk di Sitihinggil. Keberadaan Sitihinggil yang
menghadap ke arah Selatan ini merupakan imbangan dari
Sitihinggil Lor, berfungsi sebagai tempat merayakan
peristiwa yang bersifat intern bagi keluarga raja.
Pada masa pemerintahan Pakubuwono X, di
Sitihinggil Kidul juga ada kawula yang seba, terutama
pada hari-hari besar. Misalnya pada hari Garebeg, orang-
orang yang seba di Sitihinggil ini adalah para penewu dan
mantri undhagi, tukang batu, pande serta bawahannya,
mantri pembubut dan pengukir serta bawahannya (lihat
Soeratman, 1989:170).
Di sebelah Barat Alun-alun Kidul terdapat rumah
Patih Jero (Onder Mayor), serta kandang-kandang gajah
dan warak. Pada masa lalu, gajah-gajah itu dipergunakan
untuk keperluan upacara di Alun-alun Lor (Utara). Kini
tempat bekas kandang gajah dan warak telah berubah
menjadi permukiman padat yang dikenal dengan
kampung Gajahan.
133
Keterangan :
1 Alun-alun Lor
2 Masjid Ageng
3 Halaman Sitihinggil Lor
4 Halaman Sri Manganti Lor
5 Pelataran Kedaton
6 Kedaton
7 Halaman Kemagangan
8 Halaman Sitihinggil Kidul
9 Alun-alun Kidul
135
136
Lung-lungan
Praba
Mirong
Praba
Praba
Praba
Padma pada
umpak
169
170
Jawa berasal dari satu bentuk saja, yaitu tipe tajug, satu
bentuk yang melambangkan kesakralan. Dari tipe ini
kemudian terjadi pemekaran yang didasarkan atas
pertambahnya luasan ruangan, menjadi bentuk joglo dan
kemudian limasan.
Pada bangunan-bangunan di kompleks keraton
Jawa banyak dijumpai hiasan-hiasan yang memiliki
makna-makna tertentu. Hiasan yang banyak ditemui pada
elemen-elemen kerangka atau pada bagian-bangian
bangunan yaitu yang berupa motif manusia/wayang :
kemamang dan arca penjaga pintu gerbang; motif
geometri: tlacapan, sorotan, saton, wajikan dan praba;
motif Flora : lung-lungan dan bunga padma; motif fauna :
peksi garuda dan ular atau naga; motif keagamaan: mirong
dan mustaka. Hiasan-hiasan ini merupakan
perkembangan dari motif-motif hiasan yang berasal dari
periode Hindu/Budha. Hiasan kemamang yang berbentuk
kepala raksasa merupakan perkembangan dari hiasan
kepala kala yang terdapat di atas pintu candi, demikian
halnya dengan fungsinya yakni sebagai penolak bala atau
kejahatan. Motif bunga padma yang pada umumnya
terdapat pada umpak saka bangunan tradisional Jawa,
merupakan perkembangan hiasan bunga padma yang
terdapat pada candi sebagai lapik stupa dan Sang
Sidharta Gautama, melambangkan kehidupan dan
keabadian.
DAFTAR PUSTAKA
Ashadi
2003 ‘Alun-Alun : Menelusuri Konsep Ruang Terbuka
Kota dalam Tata Ruang Kota Kuno di Jawa’,
Laporan Akhir Penelitian, LPP Universitas
Muhammadiyah Jakarta.
Astuti, Renggo
1995 Makna Simbolik Tumbuh-Tumbuhan dan Bangunan
Kraton Suatu Kajian Terhadap Serat Selokapatra,
Jakarta : Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-
Nilai Budaya Pusat, Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, Ditjen Kebudayaan, Dep. Pendidikan
dan Kebudayaan.
Depdikbud
1980 Struktur Bangunan Kraton Yogyakarta, Proyek
Sasana Budaya Ditjen Kebudayaan.
1999 Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Ditjen
Kebudayaan.
173
174
Eliade, Mircea
2002 Sakral dan Profan, Yogyakarta : Fajar Pustaka
baru.
Gill, Ronald
1997 ‘The Morphology of Indonesia Cities’ dalam
Preservation and Conservation of Cultural Heritage
in Indonesia, Eko Budihardjo (Ed), Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Graaf, H.J. de
1986 Puncak Kekuasaan Mataram, Jakarta : Pustaka
Utama Grafiti.
Karno, R.M.
Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinoehoen Sri
Soesoehoenan Pakoeboewono Ke-X 1893-1939
Khairuddin H.
1995 Filsafati Kota Yogyakarta, Yogyakarta : Liberty.
Kuntowijoyo
2004 Raja Priyayi dan Kawula : Surakarta 1900-1915,
Yogyakarta : Ombak.
175
Larson, George D.
1990 Masa Menjelang Revolusi, Keraton dan Kehidupan
Politik di Surakarta 1912-1942, Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Lombard, Denys
1996 Nusa Jawa : Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu
: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris, Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.
Pemberton
2003 Jawa, Yogyakarta : Mata Bangsa.
Poerwokoesoemo, Soedarisman
1985 Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Purwadi
2003 Sosiologi Mistik R.Ng. Ronggowarsito, Yogyakarta :
Persada.
2004 Nyai Roro Kidul dan Legitimasi Politik Jawa,
Yogyakarta : Media Abadi.
Remmelink, Willem
2001 Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa 1725-
1743, Yogyakarta : Jendela.
176
Ricklefs, M.C.
1991 Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press.
2002 Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-
1792, Yogyakarta : Matabangsa.
Setiyawan, Hadi
1999 ‘Kori dan Gapura Di Kawasan Kraton Kasunanan
Surakarta’, Laporan Tesis, UGM.
Soediamhadi
1990 ‘Studi Pelaksanaan Konsep Perhitungan Panjang
Blandar dan Pangeret Pada Ruang Pendapa di
Surakarta’, Laporan Penelitian Mandiri, Jurusan
Arsitektur, Universitas Sebelas Maret.
Soelarto, B.
1993 Garebeg, Yogyakarta : Kanisius.
Soeratman, Darsiti
1989 ‘Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939’,
Laporan Disertasi, UGM.
177
Soewito
Rekayasa Perancangan Pembangunan Kembali
Keraton Surakarta
Surjomihardjo, Abdurrachman
2000 Sejarah Perkembangan Sosial Kota Yogyakarta,
Yogyakarta : Yayasan Untuk Indonesia.
Tashadi (Ed)
1980 Seri Peninggalan Sejarah : Balai Penelitian Sejarah
dan Budaya Yogyakarta, Pusat Penelitian Sejarah
dan Budaya, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Tjandrasasmita, Uka
2000 Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim
di Indonesia dari Abad XII Sampai XVIII Masehi,
Kudus : Menara Kudus.
Wijaya, Ari
‘Perubahan Makna, Fungsi dan Bentuk Rumah
Tradisional Jawa’, Tesis, Program Pasca Sarjana
Antropologi, Universitas Indonesia.
Internet
https ://wikimapia.org, akses 24 Juni 2017.
https ://zuliadi.wordpress.com, akses 29 Juni 2017.
178