DAFTAR ISI
PENGANTAR
4. CEPURI DI KOTAGEDE:
Bekas Inti Keraton Mataram yang Semakin Terlupakan
Sugeng Riyanto & M. Chawari ............................... 52
KETENTUAN TULISAN
i
REDAKSI JURNAL KALIJAGA ISSN: 2302-6758
ii
PENGANTAR
Budi Sulistiono
v
BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG TERBENTUKNYA
JARINGAN PERDAGANGAN ANTAR KESULTANAN DI
NUSANTARA
(Kajian Awal)
Abstract
Aceh Darussalam, Samudera Pasai, Demak, Cirebon, Makassar, Banten, Ternate,
Tidore, and so are the Maritime cities in Indonesia. Up to now in the cities that
we can still meet its material remains (archeology), among others, the Great
Mosque, the tomb complex imperial family, the castle ruins. In general, the cities, in
addition to its function as a center of commerce maintained, to become centers of
political power, this condition is formed at least supported among others by the
fabric of the relay in the form of shipping transportation, economy, and politics as
well as promote the image of the Sultanate- Islamic Sultanate.
Keywords: cities, sultanate, rapid commercialization.
Abstrak
Aceh Darussalam, Samudera Pasai, Demak, Cirebon, Makassar, Banten,
Ternate, Tidore, dan sebagainya adalah kota-kota Maritim di Indonesia.
Hingga kini di kota-kota itu masih dapat kita jumpai tinggalan materialnya
(arkeologi) antara lain masjid Agung, komplek makam keluarga kesultanan,
reruntuhan bangunan benteng. Pada umumnya, kota-kota itu, --di samping
fungsinya dipertahankan sebagai pusat perdagangan dan sentra-sentra
kekuatan politik--, kondisi ini terbentuk setidaknya didukung antara lain
oleh adanya jalinan secara estafet berupa perhubungan pelayaran,
perekonomian, dan politik sekaligus juga memperkembangkan citra
sebagai Kesultanan-Kesultanan Islam.
Kata kunci: kota, kesultanan, rapid commercialization
Corak Lokal
Hasil yang dapat kita tatap di seantero Nusantara
adalah corak dan istilah penamaan tulisan Arab yang telah
beradaptasi dengan variasi bahasa dan kegunaannya di daerah-
daerah, maka lahirlah aksara Arab dalam wilayah budaya
masyarakatnya, misalnya di wilayah budaya Melayu, dikenal
dengan aksara Jawi, di kalangan masyarakat Jawa dan Sunda
lahir istilah aksara Pegon, di kalangan masyarakat Aceh
dikenal dengan istilah Jawoe, dan sebagainya. Umumnya,
pendekatan untuk pengenalan huruf Arab dengan kaidah
Baghdadiyyah, secara estafet pengajaran dilanjutkan secara
5 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
langsung kepada bacaan Juz „Amma (dengan cara hafalan atau
cukup bacaan), kemudian berpindah ke surat-surat al-Qur'an
yang panjang, dimulai dari surah al-Baqarah hingga khatam
(selesai).
Untuk jenjang pengenalan ajaran Islam yang lebih
tinggi diberikan pengajaran dari berbagai kitab, pada masa itu
lebih berorientasi kepada keahlian yang dimiliki oleh para
guru atau kyai. Misalnya untuk kajian tentang hukum Islam
akan dipelajari melalui kitab, antara lain: Miftah al-Jannah,
Shirat, Sabilal al-Muhtadin, Bidayah, Kitab Delapan dan
Majmu'; Matan Taqrib, Fath al-Qarib, Fath al-Mu'in, Tahrir,
Iqna', Fath al-Wahhab, Mahally.
Adapun mengenai ilmu alat, akan diberikan pelajaran
tentang Sharaf (perubahan kata dalam bahasa Arab),
kemudian dilanjutkan dengan mempelajari kitab Ajrumiyyah,
dilanjutkan Mukhtashar, Mutammimah, dan terakhir dengan
Alfiyah bersama Syarahnya. Untuk di beberapa
wilayah/daerah, pelajaran Nahwu merupakan pokok dan
wajib dipelajari sebelum membuka/ mempelajari kitab-kitab
(fikih, tafsir al-Quran, hukum, tasawwuf, dan sebagainya).
Sebab seluruh kitab tersebut ditulis dengan bahasa dan huruf
Arab.
Selain diajarkan tafsir al-Quran dan Hadits, para santri
juga diberikan pelajaran Balaghah, yang mencakup di
dalamnya ilmu ma'ani, ilmu bayan, dan ilmu badi'; Majmu'
Khams al-Rasail, Jawahir al-Maknun. Tasawwuf, akan
diberikan pelajaran melalui kitab, antara lain Ihya Ulumiddin,
Tanbih al-Ghafiqin. Demikian pula pelajaran tentang logika
(ilm al-Manthiq), dengan cara mempelajari dari kitab a.l.
Matan al-Sullam, Idhahul Mubham. Untuk kalangan ahli di
bidang Tauhid, guru akan memberikan pelajarannya dengan
mempelajari kitab: Matan as-Sanusi, Kifayah al-Awam dan
Hudhudi, ad-Dasuqi. Perihal Ushul al-Fiqh, akan diperoleh
melalui kitab a.l. Jam'u al-Jawami', al-Waraqat, Lathaif Isyarah,
Ghayah al-Usul. Hasil nyata kiprah keislaman ini, semakin
Buku
Abdullah, Taufik, ed., Sejarah Ummat Islam Indonesia, (Jakarta:
Majelis Ulama Indonesia, 1991).
Alfian, Teuku Ibrahim, Mata Uang Emas Kesultanan-Kesultanan
Di Aceh, (1972)
Rais, Amien, Pendidikan Muhammadiyah dan Perubahan Sosial,
(Yogyakarta: Pusat Latihan dan Pengembangan
Masyarakat,1985).
Azra, Azyumardi, Renaissans Islam Asia Tenggara, (Bandung:
Rosydakarya), 1999.
Dasgupta, A.K., Acheh in Indonesian Trade and Politics: 1600-
1641, Cornel University,1962
Sedyawati, Edi, "Kebudayaan Banten Dalam Kaitannya Dengan
Wawasan Kebudayaan Nasional", dalam Hasan Mu'arif
Ambary, dkk (Editor), Kabupaten Serang Menyongsong
Masa Depan,1994, Pemda Tingkat II Kabupaten
Serang;
GP Rouffaer en J.W. Ijzerman, 1915, De Eerste Schipvaart der
Nederlands naar Oost-Indie onder Cornelis de Houtman
1595-1597, De Eerste Boek van Willem Lodewijks,
Martinus Nijhoof.
Hamka, Sejarah Ummat Islam, jilid IV (Jakarta : Bulan Bintang,
1981).
Rakhmat, Jalaluddin, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1986).
J.C.van Leur, Indonesian Trade and Society, (Den Haag:van
Hoeve, 1955).
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi,
(Bandung: Mizan, cet.ke-3, 1991).
Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the
Indonesian Archipelago between 1510-and about 1630,
The Hague, 1962.
Media Cetak
Harian Republika, 18 Februari 1997, Jakarta.
Abstract
The adventure and experience of European sailors in the Malay Archipelago in the
19th century narrated through the eyes of Orientalists had evocated the world of
postcolonial literature. Joseph Conrad, a seaman turned a writer had constructed
the identity of the native community in the Malay Archipelago region with
particular reference to people of Patusan, Borneo. Conrad wrote his ‘Lord Jim’ and
‘Almayer’s Folly’ by reading other writers’ works and a brief encounter with the
islands native communities at sea. His perspective about the natives that he read
about and saw had become the constructed reality in his works representing the
whole the native community. With the content analysis method through the
perspective of postcolonial and with the approach of in-depth reading, this paper
presents the views of Conrad of native Borneo society, especially the Malays, and
how their identity was built in ‘Lord Jim’ and ‘Almayer’s Folly’. Hero characters in
the stories had actually lost their integrity in the eyes of their own society.
Keywords: the Others, postcolonial, marginal, superior, identity
1
This paper has been presented for The 22nd International
Conference on Literature, Yogyakarta State University and HISKI,
in Yogjakarta State University, Yogjakarta, Indonesia on 7-9
November 2012.
15 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Introduction
This paper is to present about two Borneo-based
fictions entitled ―Almayer‘s Folly‖ (1895) and ―Lord Jim‖
(1899) by Joseph Conrad (born Józef Teodor Konrad
Korzeniowski ), a Polish-born English novelist who
fictionalised account of British side of Borneo through a
postcolonial discourse. Almayer‘s Folly was written before he
left Africa between the autumn 1889 and the end of winter
1894 after his stay in Congo. In this paper I will use LJ as
reference to Lord Jim and AF for Almayer‘s Folly.
His first novel, AF, had a sentimental touch to Conrad
as it was finally completed when his uncle who was also his
guardian, Tadeusz Brobowski, suddenly passed away. It
portrays Conrad‘s traumatic past experience with his family,
Poland, Russian colonialism and Belgian Congo.2 LJ was at
first published in serials in 1899-1900.3 It contains two parts
of Jim‘s exploration to the Eastern waters. First, it tells us
about Jim‘s life at sea. Second part is where Jim arrives in
Patusan and it is to a failed heroism with ends with Jim‘s
tragic death to redeem his honour.
Conrad used incidents from real life, hearsay and
readings to create the environment and reconstruct the
characters of his novels. He admitted it in his Notes on Life
and Letters:
―Fiction is history, human history, or it is nothing. But
it is also more than that; it stands on firmer ground,
being based on the reality of forms and the
observation of social phenomena, whereas history is
based on documents, and the reading of print and
handwriting — on second-hand impression. Thus
2
Allen, Jerry. 1965. The Sea Years of Joseph Conrad. Methen
& Co. Ltd. London: xix.
3
Lord Jim. http://www.conradfirst.net/view/periodical?id=35
retrived on 16.10.2012 at 10.00 pm.
16 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
fiction is nearer truth. But let that pass. A historian
may be an artist too, and a novelist is a historian, the
preserver, the keeper, the expounder, of human
experience.‖ (Conrad, 1921:17).
His writing was also influenced by other people‘s
works as noted in The Last Twelve Years of Joseph Conrad as
―... over and over again ... Wallace‘s Malay Archipelago was his
favourite bedside companion.‘ (Ridchard Curle, 1928: 120-
121). It was also said that Brookiana and James Brooke‘s
memoirs, journals and letters in his way of becoming the ruler
of a native state had been Conrad‘s references to write LJ and
AF. He constructed the setting and characters to suit the
expectation4 of the Victorian readers of his time of writing. He
also ‗feels no responsibility to remain systematic in a universe
itself.: two universes may exist in the same place in the same
time.‘5 Conrad shifted the reader‘s perspective from seeing the
image construction of the natives or the colonised to the
identification of the colonisers. It shows the conflict of
identity between being the colonised and the coloniser. He
wrote about Almayer, a Dutchman, who lived among the
natives whom he sees as less superior and less charismatic than
him. In AF, Conrad gave the readers the notion that it was
Almayer who was not ‗one of them‘ (the natives) rather than
‗one of us‘ point of view.
AF and LJ were written and shaped not only by
Conrad‘s psychological side but also his life as a seaman. His
contact to the natives was very limited even though his
observation was taken into account to the minimum as
‗Conrad‘s knowing of the East as a seaman posits a special
relationship between himself and the Eastern world which
4
Arendt, Hannah. 1973. The Origins of Totalitarianism
Harcourt, Brace, Jovanovich (New edition). Orlando, USA,
p.125.
5
In Garnet, Letters: 143: as cited in Bonney, W. Wesly. 1980.
Thorns &Arabesques Contexts for Conrad‟s Fiction. The
Johns Hopkins University Press. Baltimore, p. 5.
17 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
provided his source material‖ (Sherry, 1966: 6) in his Eastern
novels. This makes us ponder: Can Conrad‘s three visits to
the East and a few months stay in Eastern land experience
dictate the whole image of the natives represented in his novel
be regarded as the truth? So, in this paperwork we can see how
Conrad marginalised the natives in his narratives. The
exoticness and bewilderness of the Eastern inhabitants that he
built in his writings in ―words, groups of words, words
standing alone...‖ present the very thing you wish to hold up
before the mental vision of your readers. They are ‗as they are‘
exist in words would appeal to his audience imagination and
by orientalist writings like in LJ and AF.
AF and LJ show us how the representation of the
Malays in Borneo is portrayed in various points of view 6:
Marlow- the narrator, Jim and Almayer- the protagonists and
of Nina and Jewel- the females who have ‗the voices‘ in the
novels. The ambivalence feeling has successfully been created
upon the completion of reading both fictions. He ―did not
really know anything about the Malays.‖7 To Conrad, evil and
savageness are equally embedded in both the colonised and
the colonisers.8 Hybridity can be traced in Nina and Jewel but
the Others‘ traits in them win as opposed to the European
traits9 to be discussed in the next section of this paper.
10
Maaruf, Shaharuddin. 2002. Possibilities for Alternative
Discourses in Southeast Asia: Ideology and the Caricature of
Culture, Singapore: National University of Singapore, pp. 4-5.
11
Non-mahram means a legible partner to be married with.
19 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
is by no means an objectionable character12. In LJ and AF, the
Malays make up most of the characters, some Arabs and some
mentions of Chinese. He did not quite really give the Malays
and natives characters names as a symbol of respect. He would
just call them ‗half-castes‘ (AF, Chapter 1:7) (LJ, Chapter2:9),
‗savage‘ (AF, Chapter II:11) (LJ, 41:224), ‗savage-looking
Sumatrane‘ (AF, Chapter IV:25) or merely mentioned the
physical characteristic that he can see and relate it to the
persons. Everytime he sees and encounters a Malay, he will
describe the Malay‘s from the European‘s standard. He
describes and ridicules the person as a physically and mentally
immoral being as low as he could put into words. (AF,
Chapter 1:6) For example, Conrad through a European labels
the Malay pilgrims onboard Patna as ―cattle,' said the German
skipper to his new chief mate‖ (LJ, Chapter 1: 10) and also
when he speaks about the passengers in Patna, the pilgrims to
Mecca by relating them with "She was full of reptiles." (LJ,
Chapter 5: 30)
But in History of Sarawak (Baring, 1909), a different
view from the Ranee of Sarawak was cited about the
characteristic of the Malays of Sarawak as opposed to Conrad‘s
constructed image of the Malays.
12
Baring-Gould, S., & Bampfylde, C. A. 1909. A History of
Sarawak under its Two White Rajahs, 1839-1908. London: H.
Sotheran & Co., p. 28.
20 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Natives in Patusan, the setting of LJ did not know his
abandonment of responsibility in Patna and this had made it
rather easy for Jim to poise himself as a superior stranger in a
Malay village. They did not aware that his going there to a
rural and less known place by a river was an escapism from his
guilt and to mend his Eurocentric personality among the less
fortunate and troubled native settlement. The presence of
Dain Waris and Dain Marolla as brave and intelligent noble
Malay men was felt and the impact of losing Dain Waris paved
a memorable and tragic ending. The success of Dain Marolla
in his homeland satisfies all Almayer‘s jealousy‘ over his gun
power trade in his royal territory.
In AF, Tom Lingard, a European, living in Sambir,
Sarawak. After Lingard successfully ‗bribed‘ Almayer with
future wealth into marrying his adopted daughter of native
blood, Lingard left him to pursue more hidden treasures
elsewhere. At first, he was reluctant to marry her but after he
thought of the treasure that his father in-law promised him to
inherit, Almayer bitterly agreed with intention to divorce her
as soon as he got it. Lingard actually wanted to make an offer
to sell his adopted daughter to Almayer like a slave (AF,
Chapter 1:8). The daughter was not given a proper personal
name! He found her among the corpses if ‗pirates‘ after a
battle with them in the waters. Lingard assumed that it was his
responsibility to raise this savage child as her pirate‘s family
was killed by him. Unfortunately, the adopted child viewed
the act as a kidnap and imprisonment.
She was treated badly by Lingard (AF, Chapter 2:13).
Maybe to get rid of her for a certain mission of fortune in
another place, he discussed with Almayer and convinced him
to marry her. He promised Almayer his treasures will be
Almayer‘s if he agrees on the arranged marriage (AF, Chapter
1:8). AF and LJ show us how the representation of the
Malays in Borneo is portrayed in various points of view13:
13
S. Koon, Wong. op. cit., p. 31.
21 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Marlow- the narrator, Jim and Almayer- the protagonists and
of Nina and Jewel- the females who have ‗the voices‘ in the
novels. The ambivalence feeling has successfully been created
upon the completion of reading both fictions. He ―did not
really know anything about the Malays.‖14 To Conrad, evil and
savageness are equally embedded in both the colonised and
the colonisers.15 Hybridity can be traced in Nina and Jewel but
the Others‘ traits in them win as opposed to the European
traits.16
Spenser St John17 said the Malays are found on the
whole to be very truthful, faithful to their relatives and
devotedly attached to their children. Remarkably free from
crime and when they commit them it generally about jealousy,
Brave when they well led, they inspire confidence in their
commanders; highly sensetive to dishonour, and tenacious as
to the conduct of their countrymen towards them, remarkably
polite in their manners, they render agreeable all inter-course
with them. Malays are greatly accused of great idleness; in one
sense they deserve it; they do not like continous work, but
they do enough to support themselves and families in comfort,
and real poverty is unknown among them. No relative is
abandoned because he is poor, or because an injury or an
illness may have incapicitated him for work. I like the Malays,
although I must allow that I become weary of having only
them with whom to assosiate 18. In my opinion, the Europeans
sailing and expedition are viewed as exploration and holy
mission to civilise the Eastern inhabitants however if the
Malays do the same, venturing and exploring new routes or
14
Ibid., p. 31.
15
Ibid., p. 38.
16
Ibid., p. 37.
17
St. John, Spenser. 1862. Life in the forests of the Far East.
Kuala Lumpur: Oxford University Press, as cited in G, Baring
& C. A. Bampfylde. 1909. History of Sarawak. London: Henry
Southen Co., p. 29.
18
St. John, Spenser, op. cit.
22 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
territories, they are viewed as ‗lanun‘ or ‗pirates‘. Jim, too,
become quite lofty in Patusan. He impresses the natives and
tries to do things ‗for the people‘s good‘ and gains himself a
‗Lordship‘ (LJ, Chapter 1: 4). Jim is trapped in his new world
in the process to cover his guilt over unwise decision on Patna.
He is there in the mercy of the native leader, Doramin. (LJ,
Chapter 23: 137)
After a visit to Santubong, Sarawak in 1885, Alfred
Russel Wallace agreed that ‗in the character, the Malay is
impassive. He exhibits a reserve, diffidence, and even
bashfulness, which some degree attractive and leads to think
that the ferocious and bloodthristy character imputed to the
race must be exaggerated19 (Chapter 40:442). Conrad
condemns Doramin, his ally in Patusan as well as his former
captor, Rajah Allang.
19
Wallace, Alfred Russell. 1862. The Malay Archipelago, Vol.
II. London, Macmillan and Co.
23 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
He detests the ways the natives bow and enslave themselves to
Doramin. If Doramin were an evil person, the Patusanis may
have rebelled and joined Rajah Allang side.
20
A ship carrying 800 Muslim Pilgrims to Mecca that Jim and
the crew abandoned out of fear it may sank. He went to a
public Inquiry for it and was discharged from all his seafaring
position before he went to Patusan.
24 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
as an act of being a gentleman to a person who knows his
secret. He regards Brown as one of his (kind) and this unwise
decision makes him lose his sidekick, Dain Waris in the hands
of Brown‘s band.
21
A gift to (usually) less fortunate as a token of charity or
goodwill, hoping to be blessed and may be receiving helps in
the future if they are bound to any shortcomings.
25 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
standards. In a way, I personally feel think the colonisers have
the oppurtunity to interfere with the Malays‘ world to ‗save‘
them from committing uncivilised act.
22
Milner looked at different communities where the term Malay
had been used to identify the communities, for example,
Malays of Patani (South Thailand), Malays in Eastern
Sumatra, Malays in Northeast Sumatra or Riau regions and
Malays on the Peninsula. Anthony Milner, 2008. The Malays.
Oxford: Wiley-Blackwell Publication.
23
Ibid., p. xi.
26 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Generally, it is assumed that Conrad felt guilty of his
betrayal to Poland and his writings in English Language.
Reading his writings can make us feel confused of in what
position actually Conrad was.24 He was seen as ambivalent
towards the subject of his writings – the Malays. The Malays
are stereotyped like the way the blacks are seen by the
Victorian society. His portrayal of the Malays as dependent
and indecisive thus they need to have a leader out from their
circle from a greater knowledge and civilisation to rule. As the
Malays are traditionally benevolent and loyal to their ruler,
they empower the new leader from the West as seen in Lord
Jim. In order to remain in the powerful alliance when chaos
struck their village, the Malays followed and respected the
‗white stranger‘ whom their leader befriended. To endorse
their acceptance of him, he was given a ‗Lordship‘ title ‗Tuan
Jim‘ or ‗Lord Jim‘. (LJ, Chapter 1:5)
In Lord Jim, Marlow25 reported to the Court of
Inquiry26 about his amazement regarding the attitude of the
two Malay helmsmen. He said that ―They were amongst the
natives of all sorts brought over from Aden to give evidence at
the inquiry. One of them... was very young, ... smooth...
yellow,... looked younger‖ (LJ, Chapter 9:58). The image of
youthfulness here suggests immaturity and inferior intelligence
of these witnesses. Marlow added that the only contribution of
the Malays witnesses of the Patna incident was by saying
―nothing‖ and ―thought of nothing‖ (LJ, Chapter 9:58).
24
Bignami, Marialuisa. 1987. “Joseph Conrad, The Malay
Archipelago, and the Decent Hero”, RES New Series. Vol
XXXVIII, No. 150, p. 199.
25
A narrator and a character in Lord Jim.
26
A public Inquiry was held to investigate the Patna Affair in
which the ship white officials including Jim had abandoned at
sea. This ship was in her passage to Mecca to send in about
800 Bugis Muslim pilgrims and commanded by a German.
They reported that the ship had sank in the ocean but it was
discovered later and towed safely, so an inquiry was initiated.
27 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Marlow met Jim at the Inquiry. He introduced him to
27
Stein and brought him to Patusan (LJ, Chapter 19:117).
Starting from here, we can see how Conrad described more on
the characteristics of the Malays or some time the natives of
Patusan and their surrondings. Jim described ―Doramin and
his little motherly witch of a wife, gazing together upon the
land and nursing secretly their dreams of parental ambition;
Tunku Allang, wizened and greatly perplexed; Dain Waris,
intelligent and brave, with his faith in Jim, with his firm
glance and his ironic friendliness; the girl, absorbed in her
frightened, suspicious adoration; Tamb' Itam, surly and
faithful; .. (LJ, Chapter 35:193 ) and ―Patusan establishment,
... four corner-posts of hardwood leaned sadly at different
angles: the principal storeroom... oblong hut, built of mud
and clay; it had at one end a wide door of stout planking,
which so far had not come off the hinges, and in one of the
side walls there was a square aperture, a sort of window, with
three wooden bars‖. (LJ, Chapter 31:174)
The Europeans‘ mission to the Patusan and Sambir
through Conrad‘s Malay Fictions affirms the white man‘s
burden28. It is the ‗burden‘ that they have to carry everywhere
the Europeans set their feet on as a symbol if responsiblity and
noblity. Almayer hopes that Sambir to be taken over by the
British, because to him, it shall be the Europeans ―who knew
how to develop a rich country.‖ (AF, Chapter V:28). The
philoshofical messege behind ‗The White Man Burden‘29 is
showed in:
27
A German adventurer and a businessman who helped Jim to
get a job in Patusan.
28
The supposed duty of the White race to bring education and
Western culture to the non-White inhabitants of their colonies.
Collins English Dictionary. 2003. HarperCollins Publishers.
29
A rhetorical argument to justify the needs of the white men to
colonise and rule the Others and their nation for the benefit of
those seen as „uncivilised‟ and „immoral‟ in their standard
even though, the colonisers do not need to possess the quality
28 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
―This bunch of miserable hovels was the fishing
village that boasted of the white lord's especial
protection, and the two men crossing over were the
old headman and his son-in-law. ...confidently. The
Rajah's people would not leave them alone; there had
been some trouble about a lot of turtles' eggs.‖ (Lord
Jim: Chapter 35)
Conclusion
As Bignami said that ‗Conrad never really stated his
attitude to the British Empire,‘ 32 the way he drew up the
images of natives and colonialists was different in both novels
and we can sense the duality in the novelist‘ psychological
mind. In Almayer‘s Folly, the European dies as an opium-
addict and a failed trader (AF, Chapter IV:24). He was unable
to keep up with the dynamic characters like the Arabs who
succeeded in their business; Dain Marolla, a charismatic
leader of a royal blood; Nina, his half-bred and Westernised
daughter who left him for a Malay; and betrayed by his
‗savage‘ wife (AF: Chapter XII: 53). AF, in a larger scale, a
certain extend sympathises the natives and gives the winning
to the Others.
In Lord Jim, the natives are portrayed to be more
idyllic and blindly obedient. The helmsmen of Patna, when
they were asked during the Inquiry trial just doing their work
as usual even though the ship was likely going to sink ‗they
thought of nothing‘. The same response was seen during the
Patna affair itself whereby the pilgrims did not rebel or yell at
the ship officials as they jumped off the ship and abandoned
them (LJ, Chapter 14: 94). They were indifferent and
remained calm in the ship without any attempt to run or
commit other foolish mistakes as the white officials expected
them to be. Throughout the selected fictions, we can see that
31
Joseph Conrad. http://www.nines.org/print_exhibit/385
retrieved on 11 October 2012, 6.50 pm.
32 Bignami, Marialuisa. 1987. op. cit., p. 199.
30 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
the Others‘ representation and the colonisers‘ eyes of
expectations to the native to understand and be orderly in
manners and ways to do business with outside world.
References:
Abstract
Cirebon Sultanate was the first Islamic sultanate in West Java. At least a mention
of the Sultanate of Syarif Hidayatullah rule began, around 1479 AD Although, in
many sources, ancient manuscripts, that time had not been dubbed princes sultan,
but still Panembahan or prince. In giving the title sultan to the kings or rulers do
when the new Cirebon Cirebon sultanate was divided into two, namely Kasepuhan
and Kanoman (circa 1677). The division of the two powers is also marks the
beginning of the collapse of the Sultanate of Cirebon. And in 1700, the empire into
four powers. Kasepuhan and Kanoman addition, there is also the Sultanate under
Prince Arya Kacirebonan Cirebon, and Kaprabonan (Panembahan) under Prince
Wangsakerta.
Keywords: Syarif Hidayatullah, VOC, Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan,
Kaprabonan
Abstraksi
Kesultanan Cirebon merupakan Kesultanan Islam pertama di Jawa Barat.
Penyebutan Kesultanan setidaknya dimulai sejak Syarif Hidayatullah
memerintah, sekitar 1479 M. Meski, dalam berbagai sumber naskah kuno,
waktu itu penguasa-penguasanya belum digelari sultan, tetapi masih
panembahan atau pangeran. Sementara pemberian gelar sultan kepada
raja-raja atau penguasa Cirebon baru dilakukan ketika Cirebon dibagi atas
dua kesultanan, yaitu Kasepuhan dan Kanoman (sekitar tahun 1677).
Pembagian dua kekuasaan tersebut sekaligus menandai awal keruntuhan
Kesultanan Cirebon. Dan pada tahun 1700, kesultanan menjadi empat
kekuasaan. Selain Kasepuhan dan Kanoman, terdapat juga Kesultanan
Kacirebonan di bawah Pangeran Arya Cirebon, dan Kaprabonan
(Panembahan) di bawah Pangeran Wangsakerta.
Kata kunci: Syarif Hidayatullah, VOC, Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan,
Kaprabonan
1
The Toyota Foundation dan Hj. Patimah, ENSIKLOPEDIA SUNDA
Alam, Manusia, dan Budaya TERMASUK BUDAYA CIREBON DAN BETAWI.
Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 2000. Hal, 166.
2
Lubis, Nina, dkk, Sejarah dan Perkembangan Kota-kota Lama di
Jawa Barat. Bandung: Alqaprint Jatinangor, Juli 2000. Hal, 29.
34 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Cirebon dan diberikan gelar oleh ayahnya yaitu Sri Mangana.
Lalu Pangeran Cakrabuana dan Nyai Lara Santang
melaksanakan ibadah haji ke Mekkah atas perintah gurunya,
Syaikh Nur Jati. Sepulang dari Mekkah, beliau memindahkan
pusat pemerintahannya ke Lemahwungkuk. Di sanalah
kemudian didirikan keraton baru yang dinamakan keraton
Pakungwati.3
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada
Kesultanan Cirebon dimulai ketika dipimpin oleh Sunan
Gunung Jati. Ia juga kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti
raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta
penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka,
Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Sunan
Gunung Jati memerintah Cirebon menggantikan Pangeran
Cakrabuana sejak tahun 1479 sampai dengan wafatanya pada
tahun 1568 M. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan
Gunung Jati ialah Pangeran Pasarean, namun Pangeran
Pasarean meninggal terlebih dahulu pada tahun 1552 M.
Selain Pangeran Pasarean, pengganti Sunan Gunung Jati
adalah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean,
cucu Sunan Gunung Jati. Namun,
Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada
tahun 1565. Fatahillah kemudian naik tahta, Fatahillah
menduduki tahta kesultanan Cirebon hanya berlangsung dua
tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun
setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan
berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung
Jinem Astana Gunung Sembung.Sepeninggal Fatahillah, oleh
karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, tahta
kerajaan jatuh kepada Pangeran Emas putra tertua Pangeran
Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas
kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah
Cirebon selama kurang lebih 79 tahun hingga tahun 1649.
3
Van Hoeve, PT. Ichtiar Baru, Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1994. Hal, 272-273.
35 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Terpecahnya kesultanan Cirebon menjadi empat
kesultanan, yaitu Kasepuhan, Kanoman, Kaprabonan, dan
Kacirebonan dimulai setelah wafatnya Pangeran Girilaya
(1662 M). Perpecahan pertama terjadi pada tahun 1678
Sultan Ageng Tirtayasa (Sultan Banten) setelah berhasil
membebaskan kedua putra Panembahan Girilaya melalui
Raden Trunojoyo, kemudian mengangkat Pangeran
Martawidjaya (Pangeran Samsudin) sebagai Sultan
Sepuh/Kasepuhan yang pertama, Pangeran Kertawidjaya
(Pangeran Badrudin/Komarudin) menjadi Sutlan
Anom/Kanoman yang pertama, sedangkan Pangeran
Wangsakerta menjadi Panembahan Cirebon.4
Keadaan ini bertambah parah ketika Cirebon berada
di bawah kekuasaan VOC, dimulai dengan perjanjian yang
terjadi pada 7 Januari 1681 yang menandakan bahwa Cirebon
bersahabat dengan VOC. Terjadi serangkain perjanjian antara
para penguasa Cirebon dengan VOC yang dimulai pada tahun
1681, 1685, 1688, dan 1699. Maka secara otomatis sejak
perjanjian pertama pada tahun 1681, secara politik dan
ekonomi Cirebon dikuasai oleh VOC.
Perpecahan kedua dimulai ketika Sultan Anom I
meninggal dunia pada tahun 1723, beliau mempunyai dua
orang putra. Putra pertamanya menjadi pengganti ayahnya
sebagai Sultan Anom II, yaitu Sultan Anom Muhammad
Chadiruddin. Putra keduanya yaitu Pangeran Raja Adipati
Kaprabonan mendirikan keraton Kaprabonan dengan gelar
Rama Guru Pangeran Raja Adipati Kaprabonan.5 Ketika
wafatanya Sultan Anom IV atau Sultan Muhammad
Khaerudin (1798-1803), putranya yaitu Pangeran Raja
Kanoman mendirikan keraton baru yaitu Kacirebonan.
Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh
4
Tim Penulis ISDN, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur
Sutera, Jakarta: Proyek ISDN Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat
Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1998. Hal, 38-40.
5
Sulendraningrat, P. S., Sejarah Cirebon, Jakarta: Balai Pustaka, 1985,
hal, 75.
36 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit
(Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia
Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi
Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan
bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar
sultan, cukup dengan gelar pangeran.6 Sedangkan tahta Sultan
Anom V dijabat oleh saudaranya yaitu Sultan Anom Abu
Soleh Imamuddin. Sejak saat itu di Kesultanan Cirebon
bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan,
pecahan dari Kesultanan Kanoman.
Pada tanggal 2 Februari 1809, Pemerintah Belanda
mengeluarkan kembali peraturan khusus mengenai jabatan
sultan-sultan Cirebon. Dalam peraturan yang dikeluarkan,
Daendels menghapus kekuasaaan politik kesultanan
Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan, serta ketiga sultan
dijadikan pegawai pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Ketika Inggris menggantika kedudukan Belanda di Nusantara,
Thomas Stamford Raffles yang menjadi Gubernur Jenderal
mengeluarkan peraturan pada tahun 1815 mengenai sultan-
sultan Cirebon, kekuasaan kesultanan Cirebon dihapus oleh
Raffles, dan semenjak itu sultan-sultan Cirebon hanya sebagai
pemangku adat.
6
Sunardjo, R. H. Unang, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah
Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809, Bandung: Tarsito, 1983, hal. 164.
37 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Mataram dan VOC.7 Di sini terlihat kelemahan politik dan
militer Cirebon. Secara politik, mereka tak mampu untuk
berdiplomasi kepada pihak Mataram untuk membebaskan
kedua pangeran Cirebon. Secara militer, mereka tak mampu
untuk membebaskan kedua putra dari Panembahan Girilaya
yang masih berada di Mataram. Oleh karena mereka tak
mampu, maka mereka meminta bantuan kepada pihak Banten
yang saat itu dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan
Ageng Tirtayasa sendiri memang sedang membantu Raden
Trunojoyo yang sedang memerangi Mataram, bantuan itu
diberikan dalam bentuk pasukan, kapal, dan meriam.
Raden Trunojoyo adalah orang Madura, ayahnya
adalah Raden Demang Malaya bergelar Pangeran Sampang
yang pernah memerintah daerah Madura. Raden Trunojoyo
merasa sakit hati atas kematian ayahnya yang dibunuh oleh
Susuhunan Amangkurat di Mataram pada tahun 1656, maka
ia mulai mengumpulkan kekuatan untuk membalas sakit
hatinya. Setelah bersekutu dengan Raden Kajoran
(mertuanya), Pangeran Dipati Anom (putra mahkota
Mataram). Kemudian ia bersekutu dengan orang-orang
Makassar yang dipimpin oleh Kraeng Galesong yang
bermukim di Jawa Timur. Selain itu, ia meminta bantuan
kepada Sultan Ageng Tirtayasa.
Tahun 1677, Raden Trunojoyo bekerja sama dengan
Sultan Agung Tirtayasa untuk menyerang Mataram. Kerja
sama itu diwujudkan dengan bantuan Sultan Ageng Tirtayasa
kepada Raden Trunojoyo dengan mengirimkan bantuan
perlengkapan perang.8 Akibat dari serangan itu, Raden
Trunojoyo berhasil menduduki keraton Mataram, dan juga
kedua putra Panembahan Girilaya yang ditahan akhirnya
dapat dibebaskan dan dibawa ke Kediri, dari Kediri keduanya
7
Lubis, Nina H.,, Banten Dalam Pergumulan Sejarah : Sultan, Ulama,
Jawara, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2003. Hal, 51.
8
Edi. S, Ekadjati & Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, Bandung: Kerjasama Pemerintah
Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat dan Fakultas Sastra Universitas UNPAD,
1992. Hal, 131.
38 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
dibawa ke Banten. Tahun 1678 kedua Pangeran Cirebon
kembali ke Cirebon untuk kemudian dinobatkan sebagai
penguasa Kesultanan Cirebon. Pangeran Martawijaya sebagai
Sultan Sepuh atau Kasepuhan yang pertama dengan gelar
Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin,
Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Anom atau Kanoman
yang pertama dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi
Muhammad Badrudin, dan Pangeran Wangsakerta diangkat
menjadi asisten dari Sultan Sepuh sebagai Panembahan
Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad
Nasarudin atau Panembahan Tohpati. 9
Maka sejak dinobatkannya Pangeran Martawijaya
sebagai Sultan Sepuh pertama dan Pangeran Kertawijaya
sebagai Sultan Anom pertama, Cirebon terpecah menjadi dua
kesultanan yaitu Kasepuhan dan Kanoman. Kesultanan
Kasepuhan dan Kanoman mempunyai keraton, adapun
Pangeran Wangsakerta jabatannya hanya sebagai Panembahan
saja atau pembantu dari sultan Sepuh. Keraton Kasepuhan
sendiri bertempat di keraton Pakungwati sedangkan keraton
Kanoman bertempat di bekas rumah Pangeran Cakrabuana
yang dibangun pada tahun 1675 M (daerah Lemah
Wungkuk), dan Panembahan Tohpati bertempat tinggal di
keraton Kasepuhan.10 Di sisi lain, sejak Pangeran Wangsakerta
diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan pimpinan di
Cirebon lalu dibebaskannya sampai diangkatnya Pangeran
Martawidjaya sebagai sultan Sepuh, Pangeran Kertawidjaya
sebagai sultan Anom, dan Pangeran Wangsakerta sebagai
Panembahan Tohpati maka kekuasaan Banten mulai masuk
ke Cirebon. Namun hal ini tidak berlangsung lama, hanya
berlangsung sampai tahun 1681 ketika Cirebon menjalin
hubungan dan kerja sama dengan VOC.
Beralihnya kekuasaan Banten di Cirebon kepada VOC
adalah hasil politik adu domba yang dilancarkan VOC kepada
9
Sulendraningrat, P.S., Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka,1985.
Hal, 73.
10
Sulendraningrat, P.S.,, Sejarah Cirebon, hal, 73.
39 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Sultan Haji, anak Sultan Ageng Tirtayasa. VOC mendekati
dan menghasut Sultan Haji, Sultan Haji termakan hasutan
VOC sehingga Sultan Haji khawatir jika tahta sultan akan
diserahkan ayahnya kepada saudaranya yaitu Pangeran Arya
Purbaya. Kekhawatiran Sultan Haji pada akhirnya meminta
bantuan kepada VOC untuk merebut tahta kesultanan
Banten dari tangan ayahnya. VOC bersedia membantu Sultan
Haji dengan empat syarat, yaitu : Pertama, Banten harus
menyerahkan Cirebon kepada VOC, kedua monopoli lada di
Banten dipegang VOC dan harus menyingkirkan Persia,
India, dan Cina. Ketiga, Banten harus membayar 600.000
ringgit apabila ingkar janji, keempat pasukan Banten yang
menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan segera
ditarik kembali.11 Syarat ini diterima oleh Sultan Haji, VOC
membantu dengan mengerahkan pasukan untuk memerangi
Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya hingga akhirnya
Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap pada tahun 1683 dan
dipenjara di Batavia sampai wafat pada tahun 1692 M.12
Sejak beralihnya kekuasaan Banten kepada VOC di
Cirebon, VOC mulai memainkan perannya untuk menguasai
Cirebon secara politik dan ekonomi. Secara politik, mereka
mendekati sultan-sultan Cirebon untuk memudahkan mereka
menguasai perdagangan dan jalannya perekonomian di
Cirebon. Sampai pada akhir abad ketujuh belas, terjadi
sampai empat kali pembuatan perjanjian dengan VOC, yaitu
tanggal 7 Januari 1681, 4 Desember 1685, 8 September 1688,
dan 4 Agustus 1699.13
11
Lubis, Nina H.,, Banten Dalam Pergumulan Sejarah : Sultan, Ulama,
Jawara, hal. 52.
12
Lubis, Nina H.,, Banten Dalam Pergumulan Sejarah : Sultan, Ulama,
Jawara, hal. 54.
13
Ekadjati, Edi S., & Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, hal. 74.
40 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Ketika Sultan Anom I meninggal dunia pada tahun
1723, beliau mempunyai dua orang putra. Putra pertamanya
menjadi pengganti ayahnya sebagai Sultan Anom II, yaitu
Sultan Anom Muhammad Chadiruddin. Putra keduanya yaitu
Pangeran Raja Adipati Kaprabonan mendirikan keraton
Kaprabonan dengan gelar Rama Guru Pangeran Raja Adipati
Kaprabonan.14 Keraton Kaprabonan ini tidak seperti
Kasepuhan dan Kanoman, keraton Kaprabonan adalah
tempat belajarnya para intelektual keraton, cita-cita beliau
mendirikan keraton Kaprabonan adalah mengembangkan
agama Islam sesuai perjuangan para Waliyullah terdahulu,
terutama karuhunnya Sunan Gunung Jati. dari keraton
Kaprabonan inilah berkembang tarekat Syattariyah di
lingkungan keraton Cirebon.
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya
berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan
Anom IV atau Sultan Muhammad Khaerudin (1798-1803).
Setelah Sultan Anom IV wafat, Putra Mahkota yaitu Pangeran
Raja Kanoman Anom Madenda yang seharusnya
menggantikan tahta diasingkan oleh Belanda ke Ambon
karena dianggap sebagai pembangkang dan membrontak.
Ketika kembali dari pengasingan, tahta kesultanan sudah
diduduki oleh Pangeran Abu Soleh Imamuddin. Kemudian
Pangeran Raja Kanoman ingin memisahkan diri membangun
kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.
Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh
pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit
(Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia
Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi
Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan
bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar
sultan, cukup dengan gelar pangeran.15 Sejak saat itu di
Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu
14
Sulendraningrat, P.S.,, Sejarah Cirebon, hal, 75.
15
Sunardjo, R.H. Unang,, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah
Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809, Bandung: Tarsito, 1983 hal. 164.
41 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman.
Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan
Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abu Soleh
Imamuddin, saudara Pangeran Raja Kanoman.16
Dengan terbaginya kesultanan Cirebon menjadi
kesultanan Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan, tentunya
juga terjadi perubahan dalam penentuan wilayah. Namun
tidak ada informasi yang jelas mengenai pembagian wilayah
antara tiga kesultanan tersebut. Melihat situasi saat itu,
pembagian wilayah secara definitif belum dilakukan. Jadi
wilayah kesultanan Cirebon yang ditinggalkan oleh
Panembahan Girilaya dilakukan secara bersama.
Ketika VOC mengalami kebangkrutan pada tahun
1799, pemerintah kerajaan Belanda segera mengambil alih
sehingga sejak tahun 1799 Nusantara di bawah kekuasaan
Pemerintah Kolonial Kerajaan Hindia Belanda, bukan lagi
sebuah kongsi dagang. Ketika Daendels menjadi Gubernur
Jenderal di Nusantara, tahun 1808 Daendels membagi pulau
Jawa menjadi tiga bagian. Yaitu :17
1. Batavia dan Jascatrasche Preanger-regentstschappen
(Tangerang, Karawang, Bogor, Cianjur, Sumedang,
Bandung, dan Parakanmuncung).
2. Kesultanan Cirebon dan Cheribonsche Preanger
Regentschappen (Limbangan, Sukapura, Galuh).
3. Pesisir Utara Pulau Jawa bagian Timur (Noord
Oostkust) dan wilayah ujung timur Pulau Jawa
(Oosthoek).
Dari ketiga pembagian tersebut, ada dua wilayah yang
dijadikan karesidenan, yaitu Batavia dan Kesultanan Cirebon.
Karesidenan dikepalai oleh seorang Residen bangsa Belanda,
dan memiliki pasukan pengaman sendiri di bawah komando
16
Sunardjo, R.H. Unang,, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah
Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809, hal. 164.
17
Tim Penulis ISDN, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur
Sutera, Jakarta: Proyek ISDN Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat
Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998, hal. 13-14.
42 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
residen. Pada tanggal 2 Februari 1809, Pemerintah Belanda
mengeluarkan kembali peraturan khusus mengenai pembagian
wilayah kekuasaan di Cirebon. Wilayah Cirebon dibagi
menjadi dua bagian, yaitu:
1. Bagian utara disebut wilayah kesultanan Cirebon
yang meliputi daerah Kuningan, Cirebon,
Indramayu, dan Gebang.
2. Bagian selatan yang disebut dengan Priangan
meliputi Limbangan, Sukapura, Galuh.
Sebulan kemudian (13 Maret 1809), diatur pembagian
wilayah kekuasaan. Bagian utara dipimpin oleh tiga orang
sultan yang sudah menjadi pegawai pemerintah kolonial
Belanda (Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan). Wilayah
Kasepuhan yaitu bagian selatan yang daerahnya meliputi
Kabupaten Kuningan, dan Cirebon. Bagian tengah menjadi
daerah Kanoman (sekarang Majalengka), dan Kacirebonan
wilayahnya adalah Indramayu. 18
Selain pembagian wilayah, Daendels juga mengatur
jabatan ketiga sultan Cirebon. Dalam peraturan yang
dikeluarkan, Daendels menghapus kekuasaaan politik
kesultanan Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan, serta
ketiga sultan dijadikan pegawai pemerintah Kolonial Hindia
Belanda. Fungsi sebagai kepala pemerintahan digantikan oleh
bupati yang diangkat oleh Gubernur Jenderal.19
Ketika Inggris menggantikan kedudukan Belanda pada
Oktober 1811, Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah
adalah Thomas Stamford Raffles. Ketika kekuasaan Inggris
hampir berakhir pada tahun 1815, Raffles memberikan ketiga
sultan Cirebon pensiun. Sejak saat itu sultan-sultan Cirebon
untuk selanjutnya hanya berstatus sosial sebagai “Pemangku
Adat”, pemerintah Belanda pun yang kembali menggantikan
Inggris tidak merubah keputusan yang telah dibuat dan
18
Tim Penulis ISDN, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur
Sutera, hal. 14.
19
Sunardjo, R.H. Unang,, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah
Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809, hal. 163.
43 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
ditetapkan oleh Raffles tentang jabatan sultan-sultan
Cirebon.20
Politik
Secara politik, goyahnya kedaulatan Cirebon sebagai
sebuah kesultanan yang berdiri tegak sudah terasa sejak
wafatnya Panembahan Ratu I. Ketika Panembahan Ratu I
menjadi sultan, secara ekonomi maupun politik Cirebon
masih stabil karena usaha Panembahan Ratu I yang selalu
menjaga kedamaian dan persahabatan dengan Banten dan
25
Ekadjati, Edi S., & Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, hal. 160.
26
Ekadjati, Edi S., & Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, hal. 161.
46 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Mataram serta VOC. Panembahan Ratu I pun berusaha
semaksimal mungkin menjadi pihak yang netral dan penengah
antara Banten dan Mataram, Panembahan Ratu I menyadari
jika terjadi peperangan antara Banten dan Mataram maka
Cirebon akan terkena dampak dari peperangan tersebut baik
secara ekonomi dan politik. Maka untuk mencegah hal itu
terjadi, beliau berusaha sekeras mungkin untuk menjaga
kestabilan roda pemerintah, dan ekonomi kesultanan
Cirebon.
Di sisi lain, Panembahan Ratu I mempunyai nilai
lebih di mata Sultan Agung Mataram. Nilai lebih itu adalah
Sultan Agung Mataram sangat menghormati Panembahan
Ratu I, beliau dianggap guru dan keramat oleh Sultan Agung
Mataram. Penghormatan Sultan Agung Mataram ini
dibuktikan ketika Sultan Agung Mataram masih menjadi
Senapati Mataram dengan membangun tembok di sekeliling
kota Cirebon pada tahun 1590 M, lalu diundangnya
Panembahan Ratu I sebagai bentuk penghormatan terhadap
guru dan karena Cirebon lebih sepuh ketika penobatan Raden
Mas Jolang sebagai Sultan Agung Mataram .27
Hal ini berubah ketika anak Raden Mas Jolang
menggantikan ayahnya menjadi penguasa Mataram dengan
gelar Susuhunan Amangkurat I tahun 1645, secara perlahan
Susuhunan Amangkurat mulai merasuki kekuasaan Cirebon.
Namun gelagat Susuhunan Amangkurat ingin menguasai
Cierbon belum terlalu terlihat, karena Panembahan Ratu I
saat itu masih hidup dan memimpin Cirebon. Ketika
Panembahan Ratu I wafat pada tahun 1649, Panembahan
Girilaya menggantikan menjadi sultan.
Saat Panembahan Girilaya menjadi sultan, Susuhunan
Amangkurat mulai melancarkan rencananya untuk menguasai
Cirebon. Berawal dari tipuan yang dilakukan Tumenggung
Singgaranu atas perintah Susuhunan Amangkurat,
27
Ekadjati, Edi S., & Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, hal, 107.
47 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Panembahan Girilaya dirayu agar mau menyerang Banten.
Sebelum Panembahan Ratu I wafat, beliau sudah berpesan
kepada Panembahan Girilaya agar tidak ikut campur apabila
Mataram ingin menyerang Banten. Namun pesan kakeknya
dilupakan oleh Panembahan Girilaya, beliau bersedia dan
menyanggupi permintaan Susuhunan Amangkurat untuk
menyerang Banten. Maka akibatnya terjadilah apa yang
disebut dengan Pagarage atau Pacarebonan, yaitu penyerangan
pasukan Cirebon ke Banten. Karena penyerangan ini gagal
maka ditahanlah Panembahan Girilaya dan kedua putranya di
Mataram selama 12 tahun sampai 1677 (Panembahan Girilaya
wafat 1662).
Maka sejak Panembahan Girilaya memegang pimpinan
Cirebon, Cirebon secara kedaulatan sudah jatuh meski
memang Cirebon tetap berdiri sebagi sebuah kesultanan
bukan sebagai daerah di bawah kekuasaan Mataram. Namun
secara politik, Cirebon sudah lumpuh dengan mudahnya
penguasa Cirebon dijadikan alat oleh Mataram untuk
menguasai Banten, serta lemahnya politik Cirebon ketika
Panembahan Girilaya ditahan oleh Mataram sampai akhir
hayatnya tanpa ada perlawanan. Walaupun ada Pangeran
Wangsakerta yang menjalankan roda pemerintahan di
Cirebon, namun beliau tidak dapat berbuat banyak dan
leluasa karena selalu diawasi dengan ketat oleh orang-orang
suruhan Susuhunan Amangkurat.28
Ketika Panembahan Girilaya wafat pada tahun 1662
M, Sultan Ageng Tirtayasa langsung menobatkan Pangeran
Wangsakerta sebagai pejabat sementara. Lalu dikirimlah
bantuan untuk Raden Trunojoyo membebaskan kedua
saudara Pangeran Wangsakerta di Mataram, setelah bebas
keduanya dinobatkan menjadi sultan dan Pangeran
Wangsakerta menjadi panembahan. Di sini pun terlihat
bahwa politik Cirebon bertambah lemah dengan mudahnya
28
Tim Penulis ISDN, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur
Sutera, Jakarta: Proyek ISDN Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat
Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998, hal. 37.
48 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
dipecah menjadi empat kesultanan (Kasepuhan dan
Kanoman, Kaprabonan dan Kacirebonan setelah VOC). Jika
politik Cirebon kuat, maka ketiga putra Panembahan Girilaya
akan menolak dipecahnya kesultanan Cirebon menjadi dua
oleh Sultan Ageng Tirtayasa meski mereka sudah ditolong
oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Ageng Tirtayasa sangat
ingin menjadikan Cirebon sebagai bawahannya, di sisi lain
dengan memecah Cirebon menjadi Kasepuhan dan Kanoman
membuat Cirebon tidak bisa mengumpulkan kekuatan baik
secara moril, dan politik. Justru dengan dipecahnya
kesultanan Cirebon menjadi kesultanan Kasepuhan dan
Kanoman akan menimbulkan masalah-masalah baru, yaitu
perselisihan di antara tiga penguasa ini karena masing-masing
menganggap dirinya yang paling berhak menjadi pimpinan
tertinggi kesultanan Cirebon.
Kesimpulan
Terpecahnya Kesultanan Cirebon menjadi Kesultanan
Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan mengawali mulai
merosotnya eksisitensi Kesultanan Cirebon yang pada masa
Sunan Gunung Jati mengalami masa kejayaannya. Hal ini
disebabkan karena kalangan kesultanan Cirebon tidak lagi
mempunyai tokoh kuat seperti Pangeran Cakrabuana, Sunan
Gunung Jati, Tubagus Pasai atau Fatahillah, dan Panembahan
Ratu I yang dalam pemerintahan dan politik mampu
mengatasi permasalahan dan kemelut yang sering terjadi di
lingkungan keraton Cirebon. Di sisi lain, kesultanan Cirebon
tidak memiliki angkatan militer yang kuat sehingga dengan
mudah dirongrong oleh kekuatan dari pihak luar (Banten,
Mataram, dan VOC).
Secara perlahan tapi pasti kekuasaan sultan-sultan
Cirebon mulai berkurang dan dibatasi. Sejak akhir abad
ketujuh belas, kekuasaan politik dan perekonomian Cirebon
jatuh ke tangan VOC yang sebelumnya Mataram dan Banten
terlebih dahulu menjadikan Cierbon sebagai bawahannya.
Pada akhirnya, awal abad ke 19 kekuasaan politik para sultan
49 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Cirebon berakhir. Kedudukan dan peranan mereka
digantikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, sejak saat itu
eksistensi jabatan sultan-sultan dan kesultanan Kasepuhan,
Kanoman, dan Kacirebonan berstatus sebagai sosial sebagai
“Pemangku Adat” dalam masyarakat dan budaya Cirebon.
Daftar Pustaka
AG, Muhaimin, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret Dari
Cirebon, Jakarta: Logos, 2002.
Alwi bin Thahir al-Haddad, Al Habib, Sejarah Masuknya Islam
Di Timur Jauh, Jakarta: Lentera, 2001.
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, Jakarta: Pustaka Al
Kautsar, 2010.
Dudung, Abdurrahman, Metode Penilitian Sejarah, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999.cet II.
Ekadjati, Edi. S & Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas
Sastra UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh
Belas, Bandung: Kerjasama Pemerintah Daerah
Tingkat I Propinsi Jawa Barat dan Fakultas
Sastra Universitas UNPAD, 1992.
Graaf, H. J. De, Puncak Kekuasaan Mataram, Jakarta: PT.
Pustaka Utama Grafiti, 1990.cet II.
____________, Runtuhnya Istana Mataram, Jakarta: PT.
Pustaka Utama Grafiti, 1987.
Hamdi, Mohammad, Dinamika Tarekat Syattariyah Di
Lingkungan Keraton Cirebon:Skripsi Program
Studi Sejarah Peradaban Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009.
Harapan, Anwarudin, Dimensi Mistis, Historis, Pakuan
Pajajaran, Jakarta: CV. Duta Kreasi Utama,
2007.
Hidayat, Rahayu (Penerjemah), Orang Arab di Nusantara,
Depok: Komunitas Bambu, 2010. Cet. I.
ISDN, Tim Penulis, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur
Sutera, Jakarta: Proyek ISDN Direktorat Sejarah
50 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal
Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1998.
Khoirul Anam, Faris, Manaqib Al-Imam Al-Muhajir Ahmad Bin
Isa Leluhur Walisongo dan Habaib di Indonesia,
Malang: Darkah Media, 2010.
Lubis, Nina. H, Banten Dalam Pergumulan Sejarah : Sultan,
Ulama, Jawara. Jakarta: Pustaka LP3ES
Indonesia, 2003.
Lubis dkk, Nina, Sejarah dan Perkembangan Kota-Kota Lama Di
Jawa Barat, Jatinangor Bandung: Alqaprint,
2000.
Sanggupri Bochari, M & Wiwi Kuswiah, Sejarah Kerajaan
Tradisional Cirebon. Jakarta: CV. Suko Rejo
Bersinar, 2001.
Sulendraniningrat, P. S, Babad Tanah Sunda Babad Cirebon,
1984.
________________, Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai
Pustaka,1985.
Sunyoto, Agus, Wali Songo Rekontruksi Sejarah Yang
Disingkirkan, Jakarta: Trans Pustaka, 2011.
Sutjiatiningsih, Sri, Banten Kota Pelabuhan Jalur Sutra. Jakarta:
CV. Dwi Jaya Karya, 1995.
Unang Sunardjo, R. H, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah
Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809,
Bandung: Tarsito, 1983.
Van Hoeve, PT. Ichtiar Baru, Ensiklopedia Islam, Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Zuhdi, Susanto (Penyunting), Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra
(Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah), Jakarta:
CV. Defit Prima Karya, 1996.
Abstract
Cepuri is now acknowledged as evidence of archaeological remains of the city
center of Kotagede Mataram rule. Once the capital of the Sultanate of Mataram
in Kotagedhe moved to Plered, various changes had influenced the site's presence in
the Cepuri, including sites Watu Gilang and the remnants of the fortress walls.
Field studies on Cepuri is done to track the things that are in the wall Cepuri, and
expressly so far still very "closed". This complicates the spatial reconstruction in the
scope Cepuri.
Keywords: Sultanate of Mataram, archaeological remains, palace
Abstrak
Saat ini Cepuri merupakan salahsatu bukti tinggalan arkeologis Kotagede
sebagai kota pusat pemerintahan Mataram. Setelah ibukota Kesultanan
Mataram di Kotagede pindah ke Plered, berbagai perubahan telah
mempengaruhi keberadaan situs yang terdapat di dalam Cepuri, termasuk
situs Watu Gilang dan sisa-sisa tembok benteng. Studi lapangan terhadap
Cepuri dilakukan untuk melacak apa saja yang berada di dalam tembok
Cepuri, dan nyatanya hingga saat ini masih sangat “tertutup”. Hal ini
menyulitkan dalam rekonstruksi ke ruangan dalam lingkup Cepuri.
Kata kunci: Kesultanan Mataram, tinggalan arkeologis, keraton
1) Kampung Dalem
Dalem adalah bagi golongan bangsawan dan elit politik.
Oleh karena itu letak dalem pada umumnya berdekatan
dengan kraton atau kedhaton (Tjandrasasmita, 1975). Di
Kampung Dalem terdapat sebidang tanah yang tidak
dikerjakan sama sekali oleh penduduk, sebab tempat ini
dipercaya sebagai bekas pusat Kraton Mataram Awal.
2) Kampung Kedhaton
Di kampung ini, di dalam sebuah bangunan kecil yang
terletak di tengah-tengah jalan kampung terdapat beberapa
benda:
a) Watu Gilang, menurut cerita adalah bekas singgasana
Panembahan Senopati. Benda ini dibuat dari batu
andesit dengan ukuran 140 x 119 x 12,5 cm.
55 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
b) Watu Gatheng jumlahnya ada tiga buah dan dibuat
dari batu kalsit berwarna kuning. Ketiga benda
tersebut berbentuk bulat, masing-masing dengan
diameter 31 cm, 27 cm, dan 15 cm. Ketiganya
diletakkan di atas semacam lapik arca.
c) Tempayan terbuat dari batu andesit dengan penampang
bulat telur, berukuran tinggi 50 cm dan diameter 57
cm (Inajati, 2000: 56 57).
3) Sementara itu menurut Babad Momana seperti dikutip
Inajati (2000: 44) di dalam Cepuri terdapat bangunan
Prabayaksa yang dibangun pada tahun 1525 Ç (1603 M).
Sekedar perbandingan, bangunan semacam ini juga
terdapat di Kraton Yogyakarta. Prabayaksa merupakan
bangunan inti kraton yang terdapat di dalam Cepuri.
Untuk memasuki bangunan ini harus melewati Bangsal
Kencana dan Tratag (semacam pintu gerbang) Prabayaksa.
Di belakang Prabayaksa terdapat Kraton Kilen setelah
melewati Masjid Panepen dan Keputren (Dwidjasaraja,
1935: 6 – 7).
4) Di dalam Cepuri Kraton Kotagede hanya terdapat dua
toponim yaitu Dalem dan Kedhaton. Sedang bagian-
bagian lain yang mengarah pada suatu kraton belum
terekam secara jelas seperti halnya Plered, yaitu: Sitinggil,
Nglawang, Suranatan, Kedhaton, Sri Manganti, Tratag
Rambat, dan Bale Kambang (Inajati, 2000: 151).
a. Sitinggil merupakan bangunan yang terletak di bagian
paling utara dan berada di luar tembok benteng.
b. Mandungan merupakan bangunan yang terletak di
sebelah selatan Sitinggil.
c. Sri Manganti merupakan bangunan yang terletak di
sebelah selatan Mandungan.
d. Kedhaton merupakan bangunan yang terletak di
sebelah selatan Sri Manganti.
e. Di sebelah selatan Masjid Panepen terdapat bangunan
Prabayaksa (e1), Bangsal Kencana (e2), Bangsal
Abstract
Syekh Muhammad Azhari al Falimbani (1811-1874) lived to witness how the
condition of his people who were confused and lost the distinctive identity of Malay
Palembang. One of the foundation to strengthen the identity of his people back, he
authored the book Aqeedah Ahlussunnah wal Jama'ah (1842) only by the thought
of al-Asy'ary.Based on the number years of activity Sheikh Muhammad Azhari, it is
a stretch of Indonesia, especially during the reign of Palembang that were the
Occupiers. This paper will try to reveal the character of the deceased Assyaikh
Muhammad Azhary bin Abdillah, a history of his life, and the thought of what he
had written
Kata kunci: ahlussunnah wal jama’ah, Malay language
Abstrak
Syekh Muhammad Azhari alFalimbani (1811-1874) menjadi saksi hidup
bagaimana kondisi kaumnya yang mengalami kebingungan dan kehilangan
identitas khas Melayu Palembang. Salah satu pondasi untuk menguatkan
identitas kaumnya kembali, ia mengarang kitab aqidah ahlussunnah wal
jama’ah (1842) hanya menurut pemikiran al-Asy‟ary. Berpijak dari angka
tahun masa aktivitas Syeikh Muhammad Azhari, adalah bentangan
Indonesia, khususnya Palembang adalah masa pemerintahan Penjajah,
maka tulisan ini, akan mencoba mengungkapkan karakter almarhum
Assyaikh Muhammad Azhary bin Abdillah, riwayat hidupnya, dan
pemikiran apa yang pernah ditulisnya.
Kata kunci: ahlussunnah wal jama’ah, bahasa Melayu
1
Ayahanda penulis; Ki.(Baba) H.M.Amin Azhari (Kiyai Cek Amin)
adalah salah seorang muridnya. Namanya dilestarikan sebagai nama salah satu
jalan di S.U I; kel. 3-4 Ulu Palembang.
79 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Dari pendahuluan ini, akan mencoba mengungkapkan; 1.
Siapakah almarhum Assyaikh Muhammad Azhary bin Abdillah; 2.
Bagaimana riwayat hidupnya; 3. Pemikiran apa yang pernah
ditulisnya.
Pembahasan
2
Muhammad Azhary al-Falimbany, khotthot al-Qur’an al-‘azhim,
cetakan Kampung Tiga Ulu Demang Jayalaksana Palembang, tahun 1263 H/1848
M.
3
Muhammad Azhary al-Falimbany, tuhfat al-muridin, jami’ sulahdar
1276 H.
80 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Al-Imam Syafi‟i; salah seorang ulama ahli hukum Islam
termasyhur, wafat tahun 820.M; sedangkan al-Imam Asy‟ari;
ahli aqidah Islam. Adapun al-Imam Junaidi al-Baghdadi;
adalah salah seorang ulama` Sufi; Hidup pada masa kholifah
Abbasiyah ke-15; yakni al- Mu‟tamid (256-279.h/ 870-892.m).
Wafat tahun 298 h/ 911.M, namanya adalah Abul Qosim al-
Junaidi. Wafat masa kholifah Bani Abbasiyah ke-18; al-
Muqtadir (295-329 h/ 908-932 M). Dalam sebuah pembelaan
terhadap salah seorang tokoh Sufi sebelumnya, mungkin Abu
Yazid Bustami wafat. 261 h/ 875.M, Pencetus aliran al-Hulul,
Ia mengatakan sbb:
“ Jika mulut kerap kali terdorong –dorong
(karena cintanya) , namun dasar pendiriannya tidaklah
berbeda dengan syari‟at dan tidaklah sekali-kali berniat
untuk melanggarnya. Jika karena cinta kasih pada
Kekasih, kadang-kadang membuat dirinya menjadi
mabuk sehingga tiada sadar apa yang telah dikatakan.
Patutkah orang yang mabuk cinta mesti dihukum?”
Kertorahardjo, Depag.RI, 1972: 94-95. Pembelaannya
ini didukung oleh al-Imam al-Ghozali wafat tahun
1111.M. ditulisnya dalam kitabnya”al-Munqid Mina d-
Dlolal.
Tarekat As-Samani, adalah jalan yang dilaluinya untuk
mencapai makrifat yang mampu menghilangkan dahaganya
dekat dengan Allah SWT. Selaku seorang Sufi (Alim,
Mujahid, dan Abid). Betapa tawaddu‟nya ulama‟ qudwatuna
kita ini. Sementara sahabat dan muridnya selama ia bermukim
di kota suci Mekkah, Madinah dan lainnya, seperti Daud bin
Isma‟il al-Fatany menganugerahinya dengan gelar “al-‘alim al-
‘allamah almarhum bi karam allah ta’ala al-syaikh muhammad
azhary bin ‘abdillah al-falimbany4....
Gelar Syaikh/Syekh yang dianugerahkan Syekh Daud
Ismail Alfatoni di kota Makkah kepadanya ini, menurut dosen
4
Muhammad Azhary al- Falimbany, 1, op, cit, halaman terakhir.
81 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) di Jakarta
bermakna sebagai seorang ulama yang sangat ahli dibidangnya/
profesional, yang dirahmati Allah Yang Maha Tinggi dengan segala
kemuliaan-Nya, seorang guru besar ahli dalam bidang syari’at Islam
(Nashir „Abry, M. A., Dosen LIPIA Jkt, 21-9-1997)
Adapun pekerjaan seorang Syekh itu, selain sebagai
guru besar ahli dalam bidang syari‟at Islam, juga melayani
calon jama‟ahnya, dan jama‟ah calon haji dan para jama‟ah
haji yang akan bermukim sementara/menahun atau pulang ke
asal negeri masing-masing, disini seorang syekh sangat
membantu kemabruran dan kelancaran ibadah haji/umrah
kaumnya (masyarakat sebahasanya), terutama ketika selama
berada di kedua kota suci. Satu sumber mengatakan sbb:
“ syekh di kota makkah menghimpun para jama‟ah
haji dan memeliharanya dengan mencarikan rumah
persewaan bersama-sama buat mereka yang menjadi
anak buahnya, menguruskan perjalanannya pergi
pulang ke Madinah (bersekedup/ naik onta maupun
bermobil/ truck), serta menyediakan rumah sewaan
disana untuk selama mereka di Madinah itu; demikian
juga perjalanan ke „arafah dan waktu kembalinya
singgah ke Mina, kemudian juga perjalanannya ke
Jeddah kembali, serta menyediakan rumah sewaan
disitu selama belum naik kapal” (Wahid Hasyim,
K.H.A. Menuju Perbaikan Perjalanan Haji, cet. Kita,
Djakarta, th,-, halaman 15-16)
Wilayah kepulauan Nusantara disebut oleh beberapa
Pujangga Muslim asal negeri Arab sebagai “Jawa/ Jawah”.
Sedangkan bangsanya dijuluki al-Jawy. Kata ini terungkap pada
sebaris bait syi‟ir (dari 18 baris) oleh penyair Sungai Nil terkenal;
Jenderal Hafizh Ibrahim (1872-1932) dalam diwannya menyambut
abad ke-13 Hijriyah (abad ke-20 M) berjudul AL’AM AL-HIJRY,
sebagai berikut.:
5
Terjemahan Prof.H. Husin Ahmad, Dosen penulis di Fak. Adab IAIN
Yogyakarta, 4-5-1980. Demikian juga terjemahan Martin Van Bruinessen dalam
bukunya, Kitab Kuning; Pesantren dan Tarekat, Mizan, Bandung, Cet. I,
1415/1995: 136. Senafas dengan makna dalam kamus al-Munjid oleh Lois
Ma’luf, cet. Beirut, XXI, 1973: 410-411.
83 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
berkobar semangat jihaad fie sabiel Allah guna mempertahankan
kedaulatan kerajaan dan berupaya keras mengusir kehadiran
imperialisme Barat dipimpin oleh para pejuang yang setia terhadap
Sultan Mahmud Badaruddin II, semula jihad ini berhasil, setelah
itu kaum kafir mulai menggunakan politik dividit et impera.
6
Ahmad Sugiri, Drs. Proses Islamisasi Dan Percaturan Politik Umat
Islam Di Indonesia, alqalam, IAIN, SGD, Serang, No.59/I/1996: 45.
85 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
2. Beberapa muridnya di Palembang
Dalam kondisi kemunduran tersebut, tentu ada
beberapa faktor, menurut penulis, memang ada faktor politik,
karena tanah Hijaz menjadi rebutan bangsa Inggris melawan
bangsa Turki. Kondisi ini telah mampu menghalangi
kemajuannya oleh beberapa kelompok aliran yang berbeda
dengan alasan mengajarkan bid‟ah dan lainnya. Mundur
dalam arti sejumlah madrasah di kota Makkah kurang
diperhatikan, karena besarnya pengaruh Masjid al-Maharam.
Guru-guru Shaulatiyah yang paling terkenal juga mengajar di
Masjid al-Haram. Dalam pelajaran kitab kuning isnad dianggap
begitu penting, maka para murid lebih cenderung merunjuk
nama gurunya dari pada nama lembaga dimana mereka
belajar7.
Anaknya bernama Kemas Abdullah bin Syekh
Muhammad Azhari al-Falimbani (Kiyai Pedatu`an) sendiri
menyebut nama ayahandanya sebagai sumber pengambilan
tarekat khusus tersebut tetapi dengan bai‟at dan ijazah sahabat
ayahandanya, yakni dari Sayyid Ahmad Dahlan, waktu itu
beliau sebagai Mufti Syafi‟i Makkah, ayahandanya mengambil
dari Syekh Sayyid Hasib, demikian juga Sayyid Ahmad
Dahlan.
Salah seorang sahabat karib beliau yang lain, dan
sebilik (satu zawiyyah) adalah al-„Allamah Abu Bakar yang
terkenal dengan sebutan al-Sayyid al-Bakry bin al-Sayyid
Muhammad Syatho al-Dimyathi. Seorang Komentator kitab
fiqh fath al-mu’in dengan nama kitabnya I’anat at-tholibin,
bermazhab Syafi-„ie. Sewaktu kitab tersebut ditulis, hampir
setiap saat terjadi diskusi antara beliau dengan Sayyid al-
Bakry8, maka sahabat beliau seangkatan yang lain di Makkah
diduga adalah al-„Allamah Syekh Muhammad Nawawi bin
Umar al-Jawy, al-Bantany, beliau ini dikenal sebagai Sayyid al-
7
Martin Van Bruinessen, op.,Cit.,hal. 27.
8
Wawancara dengan K.H.A. Husin Hamzah (buyut beliau).
86 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Ulama Hijaz (tokoh pemuka ulama Makkah), pengarang kitab
tafsir mirah labid li kasyfi ma’na qur’an majid-tafsir nawawy. Dan
lain-lain.9
Pada masa yang sama, saat berada di Palembang,
sahabat dan kerabatnya di masa kecil bernama Baba
Muhammmad Najib, lulusan Psantren Cirebon dan Betawi
telah berjuluk Kiyai Demang Jayalaksana yang diusulkan oleh
Perdana Menteri Keramojayo Abdul Azim selaku Kepala
Divisi di OKI sejak tanggal 6 Juni 1836. Selanjutnya menjadi
iparnya. Dalam masa Pemerintahan Bersama (Darul „Ahdi)
ini, Syekh Muhammad Azhari al-Falimbani mengajak iparnya
selain bertugas memelihara keamanan dan kesejahteraan
rakyat di OKI, juga turut memperjuangkan dan menegakkan
identitas kaumnya selaku Muslim Melayu yang bermazhab al-
Syafi‟ie (fiqh), al-Junaidy (tasawuf/ akhlak), al-Sammany
(tarekat/ zikir), al-Asy‟ary (aqidah/ tauhid).
Mengenai murid-murid beliau di Palembang masih
belum diketahui semuanya. Beliau mulai aktif mengajar
sekitar tahun 1268/1843, mereka yang tercatat dan terdengar
adalah sebagai berikut:
1. Haji (Baba) Balkia bin Demang Jayalaksana; (1837-
1910)
2. K. Haji Abu Yamin al-Hafizh bin Kgs. H. A. Malik;
3. (Baba) Haji Muhammad Najib bin Haji Balkia;
4. (Baba) Haji Muhammad Arif bin Haji Balkia.10
5. Dan dari lainnya, termasuk dari Bangka, Belitung,
Malaka, dls.
9
Lois Ma’luf, Op.,Cit., halaman 719.
10
Wawancara dengan Ki. H. M. Amin Azhari yang mendapat ijazah
dala`il al-khairat secara langsung dari Haji (Baba) Muhammad Arif, wanda
sekaligus sebagai gurunya sendiri di masa kecil.
87 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Ketiga muridnya (no.1,3,4) berangkat menunaikan
ibadah haji ke Makkah bersama beliau dan menahun di sana
selama dua kali puasa Ramadhan.11
C. Pemikiran Aqidah Ahlussunnah Waljama‟ahnya dalam
naskah 1842
Karya Tulis
1. Kitab ‘Athiyat al-Rahman, Makkah, 1259.H/1842.M.12
2. Kitab Al-Qur’an al-‘Azhiem , 3 ulu Palembang Kampung
Demang Jayalaksana, 1263.H/1848.M.13
3. Kitab Tuhfat al-Muridien, Jami‟ah Syulahdar
(Sahulatiyah, India?). 1276.H/1859.M.14
4. Hamisy Kitab Siroj al-Huda, Makkah, tanpa tahun.15
5. Brosur Fadloil Membaca Sholawat Nabi Muhammad
SAW. Cetakan 3 Ulu Palembang, tanpa tahun.16
6. Kitab Dala-il al-Kahirat, Cetakan 3 ulu Palembang,
tanpa tahun (kitab ukuran saku, dan halamannya
telah tidak utuh lagi)
11
Wawancara dengan B. A. Hamid Cek Nang, cucu Haji Muhammad
Arif.
12
Kitab salinan tangan asli tahun 1863 di Baturaja ada pada Kms. Andi
Syarifuddin, S. Ag. 19 Ilir. Cetakan Makkah, 1304.H/1886.M, pada Kms. Ahmad
Husin Hamzah, 3 ulu Jayalaksana.
13
Kitab yang masih utuh pada R.H.M. Husin Natadiraja, Depaten/29
Ilir. Yang agak rusak, pada Mgs. Jufri Azim, 7 ulu lr. Famili Setia.
14
Kitab ini ada pada Mgs. Jufri Azim 7 ulu Lr. Famili Setia.
15
Ada pada Kms. M. Yunus Badar, Karang Anyar, Pebem. Palembang.
16
Ada pada Kms. H.A. Husin Hamzah, 3 ulu Palembang.
88 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Dari 19 halaman, terdapat 4 (empat) halaman (15-18)
yang mengupas / mengkaji rukun iman keenam; qodlo` dan
qodar, karena bab inilah terdapat pemikiran aswajanya sbb:
“Maka ketahui olehmu hai saudaraku bahwasanya
segala yang berlaku di dalam alam ini dari pada segala perbuatan
dan perkataan hamba seperti gerak dan diam berdiri dan duduk
makan dan minum dan barang sebagainya dari pada amal
kebajikan seperti iman dan taat dan kejahatan seperti kufur dan
maksiat sekalian itu dengan ditaqdirkan Allah Ta‟ala di dalam
azal dijadikannya keabadian yang dicitakan serta
dikehendakinya dengan qudratnya dan iradatnya yang qodim
dan tiada dengan qodrat hamba yang baharu. Karena qudrat
hamba yang baharu itu skali-kali tiada memberi bekas pada
tiap-tiap suatu ada bagi hamba itu kasab artinya usaha dan ikhtiar
artinya milih antara berbuat suatu dan meninggalkan dia. Allah
Ta‟ala jua yang menjadikan segala perbuatan hamba itu dan
adalah hamba mengusahakan dia pada zahirnya dengan usaha
dan ikhtiar, disandarkan usaha dan ikhtiar itu bagi hamba
pada zahirnya jua dan pada usaha dan ikhtiar itulah tempat
ta‟luk hukum syara‟ pada hamba atas tiap-tiap akil baligh laki-
laki dan perempuan menuntut dan memilih antara baik dan
jahat pada hukum syara‟ pada hakekatnya sekali-kali tiada bagi
hamba itu empunya usaha dan ikhtiar hanya sekaliannya itu
dari pada Allah Ta‟ala jua jadilah hamba itu pada zahirnya
mukhtar dan pada batinnya majbur17
Penutup
17
Tertil “mujtahid dlm Naskah Palembang. Dan kurang beberapa
kalimat.
89 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
2. Salah satu pondasi untuk menguatkan identitas
kaumnya kembali, ia mengarang kitab aqidah
ahlussunnah wal jama‟ah (1842) hanya menurut
pemikiran al-Asy‟ary (tidak memasukkan pemikiran
al-Maturidi) dengan nama „Athiyyat al-Rahman fy
„Aqaid al-Iman dan menerbitkan 105 eksemplar al-
Qur‟an al-„Azhim di 3 ulu, kampung Demang
Jayalaksana tahun 1848.
3. Di antara tiga mazhab Aqidah yang berkembang di
Palembang, pertama mazhab ahlussunnah wa l-
jama’ah18 inilah yang wajib atasnya tiap-tiap mukallaf
mengi‟tikadkan dia dan kedua mazhab qodariah
dan ketiga mazhab jabbariah maka keduanya itu
batil lagi sesat tiada boleh dipegang sekali-kali.
Saran
Syekh Muhammad Azhary al-Falimbany adalah salah
seorang tokoh Islam pribumi asal Palembang. Namun lebih
dikenal oleh orang luar, dan masyarakat Melayu di luar
Nusantara. Jasanya dalam memelihara nilai-nilai Islam melalui
sejumlah karya tulis, baik dalam bahasa Melayu maupun
bahasa Arab baru diketahui sekarang, kini bangsa Indonesia
yang mayoritas memeluk agama Islam selayaknya bersyukur,
dengan memelihara dan meneruskan ajarannya ini.
Catatan editor:
Tulisan ini pernah disampaikan dalam seminar yang diselenggarakan
oleh MUI Provinsi Sumatera Selatan, bertempat di Aula Asrama
Haji Palembang, pada 14 Mei 2013.
18
Yang berpegang teguh kepada tradisi sebagai berikut:
1. Bidang hukum Islam, menganut salah satu mazhab/Syafi’ie.
2. Bidang Tasawwuf, menganut ajaran Imam Abu ‘Qosim al-Junaidy.
3. Bidang Tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ary
(Zamakhsyari Dhofir, Dr. Tradisi Pesantren, 1982: 1149..
Dan bidang minuman (tarekat) menganut metoda Syekh Muhammad
Samman. (Dokumen).
90 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
SYAIKH ISMĀ’ĪL DAN TAREKAT NAQSHABANDIYAH DI
MINANGKABAU PERSPEKTIF NASKAH AL-MANHAL
Syofyan Hadi, MA
Dosen Sastra Arab pada Fakultas Adab
IAIN Imam Bonjol Padang Sumatera Barat
Abstract
This article provides new evidence and very different studies and theories of previous
researchers about the process of entry and the dynamics of teaching congregations
Naqshabandiyah Khalidiyah in Minangkabau. In this article proved that tariqa of
Naqshabandiyah Khalidiyah entered and thrived in Minangkabau at the early of
19th century AD through the east coast region of West Sumatra on the influences
and the kindness of Shaykh Ismā‘īl al-Khālidī al-Minangkabawī. This article tries
to place Shaykh Ismā‘īl al-Khālidī al-Minangkabawī on a real portion of his
capacity as a central figure of tarekat Naqshabandiyah in Minangkabau.
Keywords: al-Manhal manuscript, tarekat Naqsyabaniyah
Abstrak
Artikel ini memberikan bukti baru dan sangat berbeda dengan kajian-
kajian dan teori-teori para peneliti sebelumnya tentang proses masuk dan
dinamika perkembangan ajaran tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah di
Minangkabau. Dalam artikel ini dibuktikan bahwa tarekat
Naqshabandiyah Khalidiyah masuk dan berkembang di Minangkabau pada
awal abad 19 M melalui kawasan pantai timur Sumatera Barat atas
pengaruh dan jasa Shaykh Ismā„īl al-Khālidī al-Minangkabawī. Artikel ini
ini berupaya menempatkan Shaykh Ismā„īl al-Khālidī al-Minangkabawī
dalam porsi yang sesungguhnya dalam kapasitasnya sebagai tokoh sentral
ajaran tarekat Naqshabandiyah di Minangkabau.
Kata kunci: Naskah al-Manhal, tarekat Naqsyabaniyah
1
Muhammad Shaghir Abdullah, Khazanah Karya Pusaka Asia
Tenggara Jilid I (Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1991), 143. Lihat juga
MartinVan Bruinessen, Tarekat Naqshabandiyah di Indonesia, Survei Historis,
Geografis dan Sosiologis (Bandung: Mizan, 1994), 98. Begitu juga M Sholihin,
Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005), 80.
92 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
dan penjelasan yang lebih rinci. Dugaan itu didasari kepada temuan
angka tahun penulisan naskah yang menyebutkan tahun 1245 H/
1819 M. Dengan demikian, naskah al-Manhal ini adalah naskah
tentang ajaran tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah tertua yang
ditemukan di Minangkabau.
Ketiga, penjelasan terhadap ajaran tarekat Naqshabandiyah
Khalidiyah dalam naskah inipun tergolong unik dan menarik, yaitu
dalam bentuk Naẓm atau bait-bait menyerupai syair lengkap dengan
wazan, baḥar dan qāfiyah-nya yang indah. Dalam penelusuran yang
pernah dilakukan oleh para filolog terhadap naskah-naskah ajaran
tarekat di Minangkabau, khususnya tarekat Naqshabandiyah belum
lagi ditemukan adanya naskah ajaran tarekat termasuk
Naqshabandiyah yang dituangkan oleh penulisnya dalam bentuk
bait-bait syair (naẓm) dalam konteks Minangkabau.
2
Di antara guru-guru tempat tokoh-tokoh ini belajar adalah Ibrāhīm al-
Ra’īs, Muhammad Murad, Muhammad al-Jauhari dan ‘Aṭā’illāh al-Miṣrī. Lihat
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII (Jakarta: Prenada Media, 2005),247.
96 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
tentang kehidupan pengarang. Pada halaman 54 naskah al-Manhal
ini ditemukan angka tahun penulisan naskah. Disebutkan,
“Sungguhnya telah sempurna menazamkan akan arjūzah ini
sanat 1245.”
Angka tahun ini menurut hasil konversi dengan tahun
Masehi sekitar tahun 1829 M. 3 Dan pada halaman 14 naskah al-
Manhal, ditemukan bait yang menginformasikan bahwa naskah ini
ditulis di rumah sulūk Riau. Petunjuk tahun ini sekaligus
membantah anggapan populer yang selama ini dikemukan oleh
sebagian peneliti seperti Martin van Bruinessen yang menyebutkan
bahwa Shaykh Ismā„īl setelah menjadi khalifah Tarekat
Naqshabandiyah di Makkah, kembali ke Riau sekitar tahun 1850-an
M.4 Bahwa Shaykh Ismā„īl al-Khālidī pernah tinggal di Riau serta
menjadi guru dan penasehat raja muda Riau yang Dipertuan Muda
Raja Ali, mungkin bisa diterima. Hal itu dikarenakan adanya
3
Angka tahun yang ditemukan dalam naskah MADQ ini sekaligus
menjadi bukti kuat kalau ajaran tarekat Naqshbandiyah, khususunya
Naqshabandiyah Khalidiyah masuk ke Minangkabau pada awal abad 19 M. Bukti
lain yang menguatkan pendapat ini adalah, bahwa semua tokoh penyebar dan
pengembang ajaran tarekat Naqshabandiyah di Minangkabau mengambil bai‘at
dan ijazah di Jabal Qubays, terutama kepada Shaykh Sulaymān al-Qirimī dan
khalifahnya Sulaymān al-Zuhdī. Sementara Jabal Qubays sebagai pusat ajaran
tarekat Naqshabandiyah baru terbentuk pada awal abad 19 M, setelah Shaykh
Ghulām ‘Alī mengangkat ‘Abd Allāh al-Makkī (w.1852 M) sebagai khalifahnya
di Makkah. Adapun anggapan yang mengatakan bahwa tarekat Naqshabandiyah
masuk ke Minangkabau pada awal abad 17 M adalah hal yang masih diragukan,
karena tidak ada bukti yang kuat menunjukan hal itu. Pendapat ini hanya
didasarkan pada temuan sebuah naskah yang berjudul Lubāb al-Kifāyah karya
seseorang bernama Jamāl al-Dīn. Satu-satunya salinan naskah ini yang masih ada
dibuat tahun 1859 M. Jamāl al-Dīn sendiri masih belum diketahui kapan masa
hidupnya. Van Ronkel kemudian menduga bahwa Jamāl al-Dīn ini Hidup pada
abad 17 M. Dugaan ini didasari analisa terhadap dua nama yang disebutkan dalam
teks tersebut; Aḥmad Khawajakani dan Hafith Kasyghari yang diduga guru Jamāl
al-Dīn Pasai dan hidup pada abad 17 M. Masa inilah yang kemudian dijadikan
alasan Van Ronkel untuk mengatakan bahwa tarekat Naqshabandiyah masuk ke
Minangkabau abad 17 M. Namun demikian, sekali lagi bahwa pendapat yang
dikemukan oleh Van Ronkel ini hanya merupakan dugaan semata, tanpa
didukung oleh bukti yang kuat. Berdasarkan penelusuran lebih jauh, seperti yang
diungkap Bruinessen ternyata kedua nama itu adalah Shaykh Naqshabandiyah
yang hidup pada masa khawajakan yaitu antara tahun 1400-1550 M, jauh sebelum
naskah itu sendiri ditulis. Dengan demikian, kedua nama yang disebutkan dalam
naskah tersebut dipastikan tidak pernah bertemu dengan Jamāl al-Dīn, sehingga
masa hidup Jamāl al-Dīn pun sampai sekarang masih belum diketahui.
4
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah,148.
97 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
informasi dalam naskah yang menyebutkan tempat penulisan
naskah di rumah sulūk Riau.
Sementara itu, pada hal 175 naskah Kinali karangan
Shaykh Muhammad al-Amīn al-Khālidī ditemukan angka tahun
wafatnya Shaykh Ismā„īl al-Khālidī.5 Disebutkan bahwa;
“Shaykh Ismā„īl Khālidi wafat pada hari isnain 23 bulan Zul
Hijjah pada tahun 1275 H”.
Informasi ini juga mematahkan anggapan dan perkiraan
para peneliti selama ini yang mengatakan bahwa Shaykh Ismā„īl al-
Khālidī hidup antara tahun 1125- 1260 H atau sekitar tahun 1694-
1825 M,6 ataupun pendapat yang mengatakan Shaykh Ismā„īl hidup
tahun 1276-1334H/1816-1916 M.7 Walaupun dari naskah al-
Manhal ini ditemukan angka tahun kembalinya ke tanah air dan
pada naskah Kinali ditemukan tahun wafatnya, namun tahun
kelahirannya masih belum bisa diketahui secara pasti.
Kedua, naskah al-Manhal ini juga memberikan petunjuk
bahwa ajaran tarekat Naqshbandiyah Khalidiyah yang dikembangan
oleh Shaykh Ismā„īl al-Khālidī sangat mementingkan penguasaan
dan pengamalan ilmu syari‟at kepada para pengikutnya. Praktek
amaliyah pengikut ajaran tarekat Naqshabandiyah di Minangkabau
dalam beberapa hal dekat dengan praktek amalan pengikut ajaran
tarekat Rifa‟iyyah, Sammaniyah dan Qaḍiriyah.
Dugaan itu muncul dari ungkapan yang dikemukan oleh
Shaykh Ismā„īl al-Minangkabawī di dalam naskah ini yang
mendorong pengikutnya untuk sungguh-sungguh membaca dan
memahami serta mengamalkan ajaran yang terdapat dalam kitab-
kitab yang dikarang oleh Shaykh Nūr al-Dīn al-Raniri, Shaykh „Abd
al-Ṣamad al-Palimbani, Shaykh Muhammad Arshad al-Banjari.
Seperti yang diketahui, bahwa Shaykh Nūr al-Dīn al-Raniri adalah
penganut dan pengembang ajaran tarekat Rifa‟iyah. 8 Sementara
Shaykh „Abd al-Ṣamad al-Palimbani dikenal sebagai penganut dan
5
Informasi yang sama juga diperoleh dari naskah Nahjat al-Sālikīn wa-
Bahjat al-Maslakīn karangan Shaykh Muḥammad Ḥusayn ibn ‘Abd al-Ṣamad al-
Khālidī yang tersimpan di surau Muḥammad al-Amīn Kinali Pasaman.
6
M. Solohin, Melacak Pemikiran, 76
7
Ismawati, Continuity and Chenge; Tradisi Pemikiran Islam di Jawa
Tengah Abad IX-XX (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Depag RI, 2006),11.
8
Wan Jamaluddin, Pemikiran Neo-Sufisme Abd al-Shamad al-
Palimbani (Jakarta: Pustaka Irfani, 2005), 138.
98 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
pengembang ajaran tarekat Sammaniyah. 9 Dan Shaykh Muhammad
Arshad al-Banjari dikenal sebagai penganut dan pengembang ajaran
tarekat Qaḍiriyah.10. Berikut kutipan ungkapan Shaykh Ismā„īl al-
Khālidī dalam naskah al-Manhal ini halaman 5.
maka barangsiapa hendak yakin akan amalnya dan
ibadatnya ṣaḥīḥ maka janganlah berhenti-henti daripada
belajar dan jangan putus-putus daripada berlajar barang
dimana tempat kita berhenti maka hendaklah dihabiskan
umur kita itu di dalam berlajarkan ilmu syara‟ meski kitab
bahasa melayu seperti kitab Sabīl al-muhtadīn karangan
shaikh Muhammad Rashid Banjar dan kitab Ṣirāt al-
mustaqīm karangan Shaykh Nūr al-Dīn Aceh dan kita Sayr al-
sālikīn karangan Shaykh „Abd al-Ṣamad Palembang dan
kitab Bidāyat al-hidāyah karangan Shaykh Nūr al-Dīn Aceh
juga maka barangsiapa yang manuntut ilmu syara‟ yang
tiada tahu bahasa Arab maka wajiblah atasnya belajar akan
salah satu daripada segala kitab bahasa melayu yang terbuat
itu dangan dibeli atau dapat dangan diupah dan hendaklah
berkekalan metala„ah kitab-kitab akan dia selama-lamanya
jangan kita berbuat ibadat di dalam jahil niscaya sia-sia saja
amal kita dan ibadat kita itu wa-Allāhu a’lam.
Banyak asumsi yang bisa dikemukakan terkait latar
belakang kenapa Shaykh Ismā„īl al-Khālidī mendorong pengikutnya
sedemikian rupa untuk mempelajari kitab-kitab karangan tiga ulama
tersebut. Di antaranya mungkin disebabkan kedekatan yang terjalin
secara emosional antara Shaykh Ismā„īl al-Khālidī dengan tokoh-
tokoh tersebut, terutama dua tokoh yang terakhir yaitu Shaykh „Abd
al-Ṣamad al-Palimbani dan Shaykh Muhammad Arshad al-Banjari
yang dianggap satu perguruan dengan Shaykh Ismā„īl al-Khālidī
selama belajar di Tanah Suci11.
Agaknya ketiga kitab tersebut juga memiliki pengaruh yang
cukup besar bagi para pengikut ajaran tarekat Naqshabandiyah
Khalidiyah di Minangkabau. Terutama pengaruh pemikiran Shaykh
Nūr al-Dīn al-Ranirī yang terbukti dengan munculnya pertentangan
dan rivalitas yang sangat hebat antara pengikut ajaran tarekat
9
M. Solihin, Melacak Pemikiran, 108.
10
M. Solihin, Melacak Pemikiran, 298.
11
Wan Jamaluddin, Pemikiran Neo-Sufisme,94.
99 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Naqshabandiyah Khalidiyiah yang berkembang di kawasan
pedalaman Minangkabau dan sangat berorienatasi syari‟at dengan
pengikut ajaran tarekat Shattariyah yang berkembang di kawasan
pesisir Minangkabau dan identik dengan paham waḥdat al-
wujūdnya.12 Bahkan, pertarungan ini saking hebatnya seakan
menjadikan kedua kubu saling menganggap sesat dan membuat
Islam di Minangkabau seperti terbelah menjadi dua; Shattariyah di
kawasan Pesisir dan Naqshabandiyah di wilayah Pedalaman.
Ketiga, pada halaman 14 naskah ditemukan satu bait yang
berbunyi;
َب َب ْو ِم َب ُل ْو ٍث َأ ْو َب ُل اْو َب ْو ِم ِم ْو ِم َب ْو * ِم َببي ِمْوت ُلس ُل ْو ٍثك ن ْوَبظ ُلمهَبا قَب ْو تَب َبَكَّ َبال
Bi-yawmi thalūthin aṭyabu al-‘īdi fī riau * bi-bayti sulūkin
naẓmuhā qad takammalā
Pada hari Selasa sebaik-baik hari ia fitrah di dalam negeri
Riau * di dalam rumah sulūk nazamnya sungguhnya telah
sempurna ia
Penulisan naskah ini di Riau menunjukan bahwa Shaykh
Ismā„īl al-Khālidī mengembangkan ajaran tarekat Naqshabandiyah
al-Khālidīyiah di wilayah Kerajaan Riau. Pernyataan ini sekaligus
mengokohkan pendapat para peneliti yang mengatakan bahwa
Shaykh Ismā„īl al-Khālidī tinggal dan menetap di Riau serta menjadi
penasehat Raja Ali bin Yamtuan Muda Raja Ja‟far. Seperti yang
dikatakan banyak peneliti bahwa para tokoh penyebar tarekat
Naqshabandiyah Khalidiyiah memiliki kedekatan dengan para
penguasa. Menarik untuk dijelaskan lebih jauh bagaimanakah
kedekatan Shaykh Ismā„īl al-Khālidī dengan kehidupan istana
mempengaruhi ajaran tarekat Naqshabandiyah al-Khālidīyiah di
Minangkabau.
Dalam catatan sejarah, Shaykh Ismā„īl al-Khālidī setelah
kembali dari tanah suci ke Tanah Air menetap dan
mengembangkan ajaran tarekat Naqshabandiyah tidak di kampung
halamannya yaitu Simabur-Batusangkar. Akan tetapi, Shaykh Ismā„īl
12
Sekalipun untuk kasus Minangkabau tarekat Syattariyah dalam
perkembangannya telah melucuti ajaran waḥdat al-wujūd sebagai bagian dari inti
ajaran tarekat Syattariyah yang selama ini berkembang di dunia Islam. Pelucutan
ajaran waḥdat al-wujūd tersebut sebagai bentuk akomodatif dan sikap prefentif
dari gejolak sosial yang akan ditimbulkannya di tengah masyarakat
Minangkabau.Oman Fathurahman, Tarekat Shattariyah di Minangkabau
(Jakarta: Prenada Media Group, 2008), 125.
100 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
al-Khālidī lebih memilih Riau sebagai tempat berdomisili sekaligus
tempat mengembangkan ajaran tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah.
Shaykh Ismā„īl adalah orang yang sangat dekat dengan kalangan
istana Riau, karena Shaykh Ismā„īl al-Khālidī diangkat menjadi
penasehat Raja Ali bin Yamtuan Muda Raja Ja„far.13
Kenyataan ini sekaligus membuktikan dan mengokohkan
anggapan para ahli selama ini yang berkesimpulan bahwa tarekat
Naqshabandiyah memiliki kemampuan untuk berkembang dengan
baik, mendapat tempat dan pengikut yang banyak serta mampu
menjaga eksistensinya dalam waktu yang lama adalah karena
kemampuannya mendekati dan mengambil hati penguasa
setempat.14 Para tokoh penyebar tarekat Naqshabandiyah semenjak
masa-masa awal berdirinya dikenal sebagai sosok yang mampu
menjalin hubungan yang harmonis denga para penguasa.15 Tentu
saja hal yang menarik untuk dikaji terkait informasi awal naskah ini,
tentang latar belakang yang membuat Shaykh Ismā„īl al-Khālidī
lebih memilih mendekati kalangan penguasa dan berda‟wah di
kalangan istana daripada berda‟wah di kampung halamannya dan
dengan rakyat jelata, berikut dampak kedekatan tersebut dengan
perkembangan tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah di
Minangkabau. Karena menurut sebagian peneliti, kedekatannya
dengan penguasa inilah yang kemudian membuat Shaykh Ismā„īl
mendapatkan kritikan yang tajam dari para ulama zamannya, seperti
Sālim bin Sāmir al-Haḍramiy,16 yang pada akhirnya membut Shaykh
Ismā„īl harus meninggalkan istana dan kembali ke tanah suci untuk
13
Martin van Bruinessen, tarekat Naqsyabandiyah, 99.
14
Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara (Jakarta: Kencana, 2005), 89.
15
Dalam catatan sejarah ditemukan bukti bahwa hampir semua tokoh
tarekat Naqsyabandiyah di kawasan Persia dan Asia kecil adalah orang-orang
yang sangat dekat dan menjadi penyokong kekuasaan. Khawaja Ubayd Allāh
Aḥrār misalnya salah satu Quṭb, wali, dan pemimpin spritual tarekat
Naqsybandiyah di Asia pada akhir abad 15 M tercatat sebagi tokoh yang paling
harmonis hubungannya dengan raja-raja dan bangsawan di Turkistan,
Transoxiana, Irak dan Azarbaijan, bahkan para penguasa zamannya adalah
pengikut ajaran tarekat Naqsyabandiyah. Dalam kitabnya Majālis Ubayd Allāh
Aḥrār, dengan tegas Syaikh Ubayd Allāh mengemukakan pandangannya tentang
kekuasaan. Pertama, Menjadi Sultan adalah derajat mulia, bahkan setara dengan
nabi. Kedua, peran sufi adalah melindungi umat Islam, menasehati sultan,
mencegah penindasan, dan mengingatkan raja akan tugasnya. Ketiga, bahwa
melakukan itu bahkan terjun ke kancah politik penguasa adalah kewajiban para
syaikh tarekat. Lebih lanjut lihat (Nasr, dkk, 2003: 286)
16
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsuabandiyah, 100.
101 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
selamanya hingga maut menjemputnya di perantauan. Sehingga,
pemikiran-pemikiran Shaykh Ismā„īl al-Khālidī kemudian hanya bisa
di akses oleh murid-muridnya asal Minangkabau bagi yang datang
sebagai jemaah haji ke tanah suci.
Menetapnya Shaykh Ismā„īl al-Khālidī al-Minangkabawī di
Riau, mungkin juga bisa memberikan jawaban kenapa ajaran tarekat
Naqshabandiyah Khalidiyiah penyebarannya lebih mendominasi
wilayah pedalaman Minangkabau. Berbeda dengan tarekat
Shattariyah yang perkembangannya semenjak awal kedatangan di
Minangkabau lebih mendominasi wilyah pesisir Minangkabau.
Sebab, Riau secara geografis dekat dengan kawasan pedalaman
Minangkabau, bahkan dalam tambo adat Minangkabau disebutkan
bahwa Riau adalah termasuk wilayah Minangkabau yang dikenal
dengan istilah daerah Rantau Luhak Limo Puluh Koto.17
Martin Van Bruinessen menyebutkan bahwa pada
penghujung abad sembilan belas, di Makkah tidak hanya ada
Shaykh-Shaykh Naqshabandiyah Khalidiyah yang satu sama lainnya
berkali-kali terlibat pertarungan sengit, melainkan juga ada Shaykh-
Shaykh yang lebih gigih dari keluarga al-Zawawī yang notabene
pengembang ajaran tarekat Naqshabandiyah al-Muzhariyah.
Keluarga al-Zawawī ini di Nusanatara memiliki hubungan yang
sangat erat dengan keluarga kerajaan Pontianak dan Kerajaan Riau
tempat dimana Shaykh Isma‟il al-Khālidī lebih dahulu
mengembangkan tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah. Dan orang
yang paling berjasa dalam rangka membawa dan menyebarkan
ajaran tarekat Naqshbandiyah Muzhariyah ke Nusantara, termasuk
ke Riau dan Pontianak adalah Abd al-„Aẓīm Mandur.18 Raja
Muhammad Yusuf yang menggantikan kedudukan Yang Dipertuan
Raja Ali (1858-1899), kemudian diangkat menjadi khalifah dan
pucuk pimpinan tertinggi tarekat Naqshabandiyah Muzhariyah di
Riau adalah salah satu bukti keberhasilan Shaykh Abd al-„Aẓīm
Mandura menyebarkan tarekat Naqshabandiyah Muzhariyah di
Nusanatara.19
17
Terkait dengan uraian tentang wilayah Minangkabau lihat lebih jauh
(Jamal, 1985, Mansur, 1970: 4, dan Hakimi, 1980). Dan penegasan bahwa Riau
adalah bagian dari wilayah Minangkabau masa lalu bisa dilihat (Pemda Sumatera
Barat, tt: dan Lestari, 2008)
18
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabaniyah, 176.
19
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsybandiyah, 177.
102 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Kesimpulan
Naskah al-Manhal setidaknya sampai penelitian ini
dilakukan merupakan naskah yang boleh dianggap yang paling
otoritatif dalam konteks sejarah dan dinamika perkembangan ajaran
tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau bahkan Nusantara.
Naskah ini ditulis langsung oleh syaikh Isma‟il al-Khalidi al-
Minangkabawi pembawa dan pengembang ajaran tarekat
Naqsyabandiyah Khalidiyah di Nusantara. Naskah ini sekaligus
memberikan petunjuk bahwa syaikh Isma‟il al-Khalidi al-
Minangkabawi sebagai tokoh sentral pengembang ajaran tarekat
Naqsyabandiyah Khalidiyah di Nusantara tidak pernah kembali ke
tanah kelahirannya di Minangkabau dan lebih memilih berkarir dan
mengembangkan ajaran tarekat Naqsyabandiyah di Singapura dan
kemudian di Kerajaan Riau Lingga Pulau Penyengat. Alasan politik
dan sosio-kultural Minangkabau saat itu menjadi penyebab utama
syaikh Isma‟il al-Khalidi lebih memilih tinggal dan berda‟wah di
kalangan Istana Kerajaan Riau daripada pulang ke kampung
halamannya di Simabur.
Namun, kontak, transmisi dan komunikasi keilmuaan
antara syaikh Isma‟il al-Khalidi al-Minangkabawi dengan para murid
dan calon pengikut ajaran tarekat Naqsyabandiyah yang berasal dari
Minangkabau tetap berlangsung di Pulau Penyengat ini. Syaikh
Isma‟il pula yang memiliki andil besar dalam mengarahkan jema‟ah
haji dan para penuntut ilmu hakikat asal Minangkabau untuk
mengambil ijazah tarekat Naqsyabandiyah ke Jabal Qubais Makkah.
Sehingga, dalam konteks Minangkabau Syaikh Isma‟il lebih tepat
disebut mediator yang menghubungkan antara Minangkabau dan
Jabal Qubis Makkah daripa syaikh yang langsung memerikan ijazah
tarekat kepada murid-muridnya. Karena terbukti semua tokoh
tarekat Naqsyabandiyah Minangkabau ijazahnya berasal dari Jabal
Qubais di Makkah dari Syaikh Sulaiman al-Qirmi sahabat Syaikh
Isma‟il al-Khalidi dan khalifahnya syaikh Sulaiman al-Zuhdi.
Abstract
The Fieldwork with the title, The Role of Elite Society: Studies of Custom
Viability in Kampung Adat Urug in Bogor, aims first to test the theory of Ajip
Rosidi on Socio-Cultural Change through field data or empirically. Second to
express cultural values in customs or local knowledge in Kampung Adat Urug and
explain their traditional role as Chairman of elite society in maintaining the
continuity of the tradition.
Keywords: Elite Society, Custom Viability, Kampung Adat Urug
Abstrak
Penelitian lapangan dengan judul Peran Elit Masyarakat: Studi Kebertahanan
Adat Istiadat di Kampung Adat Urug Bogor ini bertujuan pertama, menguji
teori Ajip Rosidi mengenai Perubahan Sosial Budaya melalui data
lapangan atau secara empiris. Kedua untuk mengungkapkan nilai-nilai
budaya dalam adat istiadat atau kearifan lokal di Kampung Adat Urug dan
menjelaskan peran Ketua Adatnya sebagai elit masyarakat dalam menjaga
keberlangsungan adat istiadat tersebut.
Kata kunci: elit masyarakat, kebertahanan, adat-istiadat, kampung adat
urug.
6
Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (Ketua Adat Urug Lebak),
Bogor, 22 April 2012.
7
Adimihardja, Kusnaka, Kasepuhan yang Tumbuh di atas yang Luruh,
h. 15.
8
Daerah Panyaungan, Parung Sapi, Cipatat dan Urug masih di
kabupaten Bogor, sementara daerah Sajra, Seuni dan Lebak Binong sudah masuk
ke Provinsi Banten sekarang.
9
Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (ketua Adat Urug Lebak),
Bogor, 22 April 2012.
10
Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (ketua Adat Urug Lebak),
Bogor, 28 April 2012.
109 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Kehidupan Masyarakat
Jumalah penduduk Kampung Adat Urug tercatat
5.125 jiwa dengan penduduk laki-laki berjumlah 2.875 jiwa
dan penduduk perempuannya 2.250 jiwa. Sama seperti
masyarakat sunda lainnya, warga Kampung Adat Urug juga
mengenal pemerintahan formal. Ketua Adat di sini hanya
pemimpin adat atau informal. Warga Urug terbagi ke dalam 4
RW dan 15 RT. Untuk masalah pendidikan formal bisa
dikatakan, tingkat pendidikan warga Urug masuk dalam
kategori rendah. Sampai bulan Maret-Juni 2012 tercatat hanya
384 murid Sekolah Dasar, tingkat SLTP 235 orang, tingkat
SLTA 30 orang dan dua orang untuk tingkat perguruan
tinggi.11
Dari segi politik sedikit sekali yang bisa dicatat, dalam
PEMILU misalnya, seperti penuturan Abah Ukat “Sudah
menjadi adat di sini dalam masalah pemilu misalnya mengenai
Partai Politik itu PDI (Partai Demokrasi Indonesia), karena
dari dulu dari leluhur kami juga PDI, Abah sempat bertanya
masalah ini kepada warga yang sudah mempunyai hak pilih,
apakah mau diteruskan atau dimusnahkan? (maksud
dimusnahkan di sini mereka sama sekali tidak akan ambil
bagian dalam PEMILU atau GOLPUT). Jawaban mereka,
diteruskan, karena sudah menjadi adat dari dahulunya”.12
Seperti masyarakat Kasepuahan lainnya, masyarakat
Kampung Adat Urug mayoritas sebagai petani dalam
mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Tercatat 4.320
orang13 bekerja sebagai petani, kepemilikan lahan pertanian di
Kampung Adat Urug adalah perorangan atau milik masing-
masing, penulis kutip di sini beberapa petikan wawancara
11
Monografi Kampung Adat Urug, Desa Kiarapandak, Kecamatan
Sukajaya, kabupaten Bogor, Maret 2012 dan daftar siswa SDN Kiarapandak 02
tahun ajaran 2011/2012 pertanggal April 2012.
12
Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (Ketua Adat Urug Lebak),
Bogor, 28 April 2012.
13
Monografi Kampung Adat Urug, Desa Kiarapandak, Kecamatan
Sukajaya kabupaten Bogor, Maret 2012.
110 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
dengan para ketua adat mengenai pertanian yang menjadi
mayoritas kegiatan warganya, termasuk sejarah dan latar
belakangnya.
14
Adimihardja, Kusnaka, Kasepuhan yang Tumbuh di Atas yang Luruh:
Pengelolaan Lingkungan Secara Tradisional di Kawasa Gunung Halimun Jawa
Barat (Bandung: Tarsito, 1992), h. 37. Lihat pula Arthur S Nalan, Sanghyang
Raja Uyeg: Dari Sakral Ke Profan (Bandung: Humaniora Utama Press, 2000), h.
15-16.
15
Adimihardja, Kusnaka, Kasepuhan yang Tumbuh di Atas yang Luruh,
h. 37. Arthur S Nalan, Sanghyang Raja Uyeg: Dari Sakral Ke Profan, h. 15-16.
111 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Di Kampung Adat Urug, ngaji diri ini disebut pula Tapa
Manusa16, memahami siapa sebenarnya jati diri manusia,
hakekat manusia. Seperti penuturan Abah Ukat, Manusia
diwajibkan untuk ngaji diri agar mengetahui dirinya sendiri,
manusia yang sudah mengenal dirinya sendiri akan dekat
dengan Gustinya (Tuhan), maka hidupnya tidak akan
sombong dan angkuh, “samèmèh nyiwit batur, nyiwit heula diri
sorangan (sebelum mencubit orang lain, mencubit dulu diri
sendiri)”, jika tidak ingin disakiti maka jangan menyakiti
orang lain, ingin dihormati, maka dia akan menghormati
orang lain terlebih dahulu. Kemudian untuk apa dia
diciptakan, tiada lain untuk patuh pada peraturan, taat pada
perintah, dan melaksanakan apa yang dikehendaki-Nya.
Konsep tapa manusa atau ngaji diri juga mengharuskan
manusia untuk bersikap adil, tergambar dalam ungkapan ulah
nyiwit ka nu hideung ulah montèng ka nu konèng, ulah ngadèngdèk
topi (jangan mencubit yang hitam, jangan berpaling ke yang
kuning, jangan miring tutup kepala) artinya, harus adil dan
bijak, tidak berat sebelah, tidak membedakan perlakuan
terhadap orang-orang kelas menengah-atas dan kalangan
bawah. misalnya dalam menerima tamu harus disamakan
ketika menerima tamu antara cacah dan mènak (masyarakat
biasa dan pejabat misalnya). Sebenarnya sama dengan sifat
Rahman-Rahim, adil untuk semua mahluk.
Pada Masyarakat Kampung Adat Urug, ajaran ngaji diri atau
tapa manusa tersebut diuraikan lagi sehingga melahirkan
beberapa larangan atau anjuran yang disebut talèk (aturan
hidup) baik untuk pribadinya sendiri maupun untuk hidup
bermasyarakat. Di bawah ini, penulis jelaskan adat istiadat
atau nilai-nilai budaya yang menjadi kearifan lokal di
Kampung Adat Urug dalam kehidupan sosial masyarakatnya.
1. Larangan Untuk Mengambil Yang Bukan Haknya
16
Wawancara Pribadi dengan Mang Ujang (warga dan kerabat Ketua
Adat Kampung Urug), Bogor, 16 April 2012.
112 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Larangan untuk mengambil yang bukan haknya ini
tergambar dalam ungkapan Mipit kudu amit, Ngala kudu
mènta17 artinya mengambil atau memetik itu harus meminta
izin kepada yang mempuyainya, dengan kata lain jangan
mencuri. Para ketua Adat di Kampung Urug dan warga
umumnya juga mengatakan hal yang sama, bahkan ada istilah
jika kita melewati kebun seseorang, tangan itu harus
dikepalkan18 artinya jangan memetik buah-buahan di kebun
orang, jika kita memang mau, ya harus meminta izin kepada si
Pemilik kebun. Di lingkungan Kampung Adat atau
Kasepuhan, hal semacam inilah yang disebut pamali,
sebenarnya sama dengan apa yang dikatakan haram dalam
agama Islam19, maksud dan tujuannya sama hanya berbeda
istilah saja.
Pada Masrakat Kampung Adat Urug, ungkapan Mipit
kudu amit ngala kudu mènta tidak hanya berarti secara harfiah
saja, yaitu larangan jangan mencuri. Dibalik arti itu terdapat
makna yang dalam menganai rasa syukur mereka terhadap
Yang Maha Kuasa. Pada hakekatnya bumi beserta seluruh
isinya ini adalah milik Tuhan yang dianugrahkan kepada
segenap mahluknya, tanaman padi yang menjadi bahan pokok
mereka dan tanaman lainnya, tumbuh di atas bumi-Nya atas
izin-Nya pula, maka ketika akan mengambil atau memanen
hasil dari tanaman itu, harus memohon izin dulu kepada
Pemilik bumi.
20
Wawancara Pribadi dengan Abah Amat (Ketua Adat Urug Tengah)
dan Abah Kayod (Ketua Adat Urug Tonggoh), Bogor, 19 April 2012.
114 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
“Ada peribahasa, Indung kudu dipunjung, bapa kudu
dipuja, munjung ulah sok ka gunung, muja ulah sok ka sagara
(jangan menyembah pada gunung dan lautan tapi
“sembahlah” ibu bapa/kedua orang tua), karena indung tunggul
rahayu bapa tangkal darajat, Kalau kita ingin punya kerahayuan,
keselamatan hidup dunia dan aherat, mintalah do’a kepada
ibu, jangan ke mana-mana dan benar-benar ibu kita itu harus
dihormat. Apabila ingin punya derajat kehidupan, jangan
pergi ke mana-mana tapi datangi yang jadi bapa, mintalah
do’anya, benar-benar hormati bapa apabila kita ingin punya
derajat kehidupan, karena kuncinya ada pada orang tua, sebab
ridhonya Allah SWT ada pada orang tua kita”.21
21
Wawancara Pribadi dengan Bapak Ade Eka Komara (SEKDES
Kiarapandak), Bogor, 21 April 2012.
22
Wawancara pribadi dengan Bapak Ade Eka (Sekretaris Desa
Kiarapandak), Bogor, 21 April 2012.
115 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
nyatu tamba ponyo, ulah urang kajon(ng)jonan. Yatnakeun maring
ku hanteu. (Hendaklah kita tidur sekedar penghilang kantuk,
minum sekedar penghilang haus, makan sekedar penghilang
lapar, janganlah kita berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat
kita tidak memiliki apa-apa.23Pada masyarakat Kasepuhan
hidup berkecukupan ini, tidak berlebihan dan tidak
kekurangan, disebut Siger tengah (ditengah-tengah),
diungkapkan dengan kalimat ulah hareup teuing bisi tijongklok,
ulah tukang teuing bisi tijengkang (jangan terlalu depan, nanti
tersungkur, jangan terlalu belakang, nanti terlentang).24
23
Danasasmita, Saleh, dkk., Sewaka Darma, Sanghyang Siksa Kandang
Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan, h. 82 dan 105.
24
Adimihardja, Kusnaka, Kasepuhan yang Tumbuh di Atas yang Luruh:
Pengelolaan Lingkungan Secara Tradisional di Kawasa Gunung Halimun Jawa
Barat, h. 41
25
Wawancara Pribadi dengan Abah Amat (Ketua Adat Urug Tengah),
Bogor, 19 April 2012.
116 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Mengenai pengendalian alat Tubuh ini ditambahkan
pula oleh Mang Ujang, warga Kampung Adat Urug. “amanat
dari orang tua mewanti-wanti kita agar berhati-hati
menggunakan alat-alat tubuh Tangan jangan dipakai
sembarangan apalagi menyakiti orag lain, jangankan memukul
manusia, memukul hewan dan tumbuhan pun tidak
dibenarkan Pokoknya Perbuatan kita jangan sampai
merugikan orang lain”.26
Begitu pun Bapak Ade Eka Komara menambahkan,
“mata ulah dipake ngadeuleu lamun lain deuleunnana, ceuli
ulah dipake ngadèngè lamun lain dèngèunnana, yang artinya kita
harus bisa menjaga, memelihara semua indera yang ada pada
tubuh kita jangan sampai digunakan pada hal-hal yang negatif
karena memang bukan tempatnya, harus hati-hati dalam
ucapan dan perbuatan, hidung jangan dipake sembarangan”27
Sementara itu dalam Naskah Sanghyang Siksakandang
juga terdapat keterangan mengenai pengendalian alat tubuh
ini, diantaranya tertulis mata ulah barang deuleu mo ma nu sieup
dideuleu kenana dora bancana, sangkan urang nemu mala nu lunas
papa naraka, hengan lamun kapahayu ma sinengguh utama ning
deuleu (Mata jangan sembarang melihat yang tidak layak
dipandang karena menjadi pintu bencana penyebab kita
mendapat celaka di dasar kenistaan neraka, namun jika mata
terpelihara kita akan mendapat keutamaan dalam
penglihatan). Begitupun seterusnya dituliskan mengenai alat
tubuh yang lain termasuk alat kelamin.28
26
Wawancara Pribadi dengan Mang Ujang (warga kampung Adat
Urug), Bogor, 16 April 2012.
27
Wawancara Pribadi dengan Bapa Ade Eka Komara (Sekretaris Dsesa
Kiarapandak), Bogor, 21 April 2012.
28
Danasasmita, Saleh, dkk., Sewaka Darma, Sanghyang Siksa Kandang
Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan, h. 94-96 dan 73 -
74.
117 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Dalam kamus umum Basa Sunda, Sesepuh berasal dari
kata Sepuh yang artinya kolot (tua) mengacu pada umur
seseorang. Sesepuh berarti orang yang dituakan dan diajènan
(dihormati).29 Pada setiap Kampung Adat di Indonesia,
Sesepuh hanya memiliki wewenang dalam urusan adat
(kepemimpinan informal) karena bagaimana pun juga
Kampung Adat atau kasepuhan itu masuk dalam ruang
lingkup pemerintahan Desa, kecamatan, kabupaten atau kota,
provinsi dan tentu saja Negara Kesatuan Republik Indonesia,
jadi selain hukum adat juga harus mengikuti hukum negara.
Sesuai dengan pernyataan Abah Ukat (Ketua Adat Urug
Lebak), bahwa beliau sangat mengakui dan menghormati
pemerintahan NKRI dengan kalimat buhun disuhun sara dibawa
(aturan-aturan adat, negara dan agama harus berjalan
beriringan).
Warga kasepuhan atau ada juga yang menyebutnya
kesatuan dalam bahasa Indonesia menunjukkan suatu
kelompok sosial yang memiliki keseragaman dalam pola
perilaku kehidupan sosio-budayanya. Hal ini tampak antara
lain dalam setiap kelompok pemukiman terdapat Sesepuh
yang disebut juga Kokolot sebagai tali pengikat kesatuan.
Para sesepuh atau kokolot inilah yang memimpin
berbagai upacara adat yang berlaku di kalangan warga
kasepuhan selain itu mereka juga berfungsi sebagai tempat
meminta nasehat dan petunjuk serta tempat pananggeuhan
(bernaung) di kalangan warga kasepuhan yang bermukim di
sekitar kampung itu. istilah kasepuhan berasal dari kata sepuh
yang berawalan ka- dan berakhiran -an. Sepuh adalah sinonim
dari kata kolot (bahasa Sunda) yang berarti tua dalam bahasa
Indonesia. Sebutan kasepuhan menunjukkan sebuah sistem
kepemimpinan dari suatu komunitas atau kelompok sosial di
mana semua aktifitas semua anggotanya berasaskan pada adat
kebiasaan orang tua (sepuh atau kolot). Kasepuahan berarti
29
Panitia Kamus Lembaga Basa dan Sastra Sunda, Kamus Umum Basa
Sunda (Bandung: Tarate Bandung, 1975), h. 470.
118 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
adat kebiasaan tua atau adat kebiasaan nenek moyang. hal ini
tampak dalam tatacara kehidupan mereka yang masih secara
ketat menjalankan apa yang mereka sebut tatali paranti
karuhun.30
Sesepuh mempunyai kekuasaan dalam menentukan
adat istiadat warga masyarakatnya. Ia dituakan oleh
masyarakatnya karena ia keturunan pendiri desa sekaligus
dianggap memiliki wibawa magis yang selalu memelihara
warga masyarakatnya dengan ketentuan-ketentuan adat
istiadat yang berasal dari nenek moyang mereka. Seorang
sesepuh besar peranannya dalam partisipasi masyarakat bagi
usaha-usaha pembangunan desa, gotong royong, upacara-
pacara pertanian, siklus hidup, membantu melancarkan roda
pemerintahan desa. Meskipun kepemimpinan tradisional di
daerah ini hanya dalam hal adat istiadat, rupanya sebelum
pengaruh Islam, meliputi pula semua aspek kehidupan,
termasuk religi.31
Di Kampung Adat Urug, elit Masyarakat yang
dimaksud dalam kajian ini adalah Ketua adat yang berjumlah
tiga orang; Urug Lebak (Bawah) sebagai pusat dipimpin oleh
Abah Ukat, Urug Tengah (Tengah) dipimpin oleh Abah Amat
dan Urug Tonggoh (atas) dipimpin oleh Abah Kayod.32 Ketiga
ketua adat ini mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat,
dari hasil pengamatan penulis, pembagian kepemimpinan ini
hanya untuk mempermudah jalannya adat di sana, contoh
dalam acara Seren Taun, karena Kampung Adat Urug yang
begitu luas dan warganya yang begitu banyak tidak akan
tertampung semua di satu rumah adat, misalnya pada saat
prosesi ngariung (berkumpul),33 dan juga tidak hanya warga
30
Adimiharja, Kusnaka Adimiharja, Kasepuhan: yang Tumbuh Di atas
yang Luruh (Bandung: Tarsito, 1992), h. 4.
31
Ekadjati, Edi Suhardi, ed., Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya
(Jakarta: P T Girimukti Pasaka, 1984), h. 45.
32
Pengamatan penulis selama di lokasi penelitian pada tanggal 15-29
April 2012.
33
Ngariung artinya berkumpul. Dalam salah satu upacara adat misalnya
Seren Taun, (syukuran pesta panen) ngariung menjadi salah satu manual acara di
119 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Urug yang datang pada saat acara adat ini. Penggunaan nama
Lebak, Tengah dan Tonggoh hanya mengacu pada lokasi rumah
ketua adat. jika dilihat dari bentang alam Kampung Adat
Urug yang berada di lembah, rumah adat Lebak yang
ditempati oleh Abah Ukat berada di bawah sebagai pusat di
mana rumah warga yang saling berdekatan “berkiblat” pada
rumah adat tersebut.
Regenerasi atau pergantian ketua adat di Kampung
Adat Urug khususnya di Urug Lebak sebagai Pancer (Pusat)
berdasarkan wangsit34 atau amanat yang akan diterima oleh
ketua adat yang sedang menjabat, yang dipercaya berasal dari
leluhur mereka untuk menentukan siapa yang akan menjadi
Ketua Adat berikutnya.35 Para ketua adat ini biasa disebut
Abah Kolot, Abah saja atau kokolot. Abah adalah salah satu
sebutan atau panggilan kepada ayah, Di samping sebutan
kepada ayah, Abah digunakan pula sebagai sebutan khas oleh
masyarakat Sunda kepada orang-orang tertentu yang seakan-
akan berhak atau pantas memakainya.36 Sebutan Abah juga
biasanya ditujukan kepada orang yang berkarisma atau
berwibawa meskipun usianya belum begitu tua, misalnya
dalam hal ini ketua adat Urug Lebak, Abah Ukat.
mana warga semua berkumpul di rumah adat untuk berdo’a bermunajat pada
Yang Maha Kuasa dan bersyukur atas hasil panen tahun itu dan semoga panen
tahun-tahun berikutnya juga memuaskan. Setelah pembacaan do’a selesai maka
makanan yang sudah disiapkan sebelumnya yang juga sekaligus dido’akn akan
dibagikan kepada warga yang hadir baik dari kampung Adat Urug sendiri maupun
dari luar. Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (Ketua Adat Urug Lebak),
Bogor, 28 April 2012.
34
Wangsit adalah petunjuk gaib yang diperoleh atau diterima pada saat
tafakur, nyepi atau meditasi. Lihat Adimiharja, Kusnaka, Kasepuhan yang
Tumbuh Di atas yang Luruh: pengelolaan Lingkunagan secara Tradisional di
kawasan gunung Halimun Jawa Barat, h. 197.
35
Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (ketua adat Urug Lebak),
Bogor, 15 April 2012.
36
Rosidi, Ajip, dkk., Ensiklopedi Sunda: Manusia dan Budaya termasuk
Cirebon dan Betawi (Jakarta: Pustaka Jaya, 2000), h. 3.
120 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Di bawah ini adalah uraian dari lima upacara adat
yang dilaksanakan dalam satu tahun dan dijadikan media atau
sarana oleh Ketua adat dalam menyampaikan amanat dari
leluhur mereka dalam rangka tetap menjaga kebertahanan
adat istiadat. Dalam kegiatan seperti inilah diantaranya Ketua
Adat bekerja sama dengan pemerintah Daerah untuk
keberlangsungan acara tersebut seperti bantuan biaya dan lain
sebagainya. Menurut Abah Ukat, lima acara tersebut
dilaksanakan tidak sebatas kegiatan saja, tapi mengandung
hikmah yang harus dijalankan oleh Warga Urug karena ada
pokok atau sebab-sebab penting kenapa upacara tersebut harus
dilaksanakan.37
Muludan
Upacara pertama memperingati kelahiran Nabi
Muhammad SAW tanggal 12 Mulud (Rabi’ul Awal) yang biasa
disebut Muludan. Dalam acara ini Ketua Adat bersama warga
khusus mengrim do’a untuk Nabi Muhammad karena Sudah
berjasa membawa agama Islam. Biasanya dalam acara tersebut
dihidangkan makanan-makanan khas daerah dan olahan lauk
pauk yang akan dibagikan kepada warga setelah dido’akan.
Alasan diadakannya acara ini menurut Abah Ukat,
Nabi Muhammad pada saat berusia 25 tahun dipanggil oleh
Yang Maha Kuasa, akan diberi Kitab Rasul dan Tasauf
kemudian harus mengajarkan rukun Islam yang lima perkara
di Negara Mekah. Nabi Muhammad patuh, taat dan
melaksanakan Kehendak Yang Maha Kuasa, maka selama
mengajarkan rukun Islam di negara Mekah tersebut dan
seterusnya, Nabi Muhammad akan selalu dikirim “bekal” oleh
Yang Maha Kuasa, hakekatnya berupa do’a-do’a dari setiap
umat Islam yang melaksanakan acara Muludan tersebut, karena
itulah Abah Ukat bersama warga Kampung Adat Urug
37
Wawancara Pribadi Dengan Abah Ukat (Ketua Adat Urug Lebak),
Bogor, 28 April 2012.
121 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
melaksanakannya sebagai wujud bakti kepada Nabi
Muhammad.38
Seren Taun
Upacara kedua disebut Seren Taun (Syukuran hasil
panen), dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur dari para
petani di sini yang dipimpin Ketua Adat. Ungkapan rasa
syukur, karena ada istilah mipit kudu amit ngala kudu mènta
(memetik dan mengambil harus minta izin kepada yang
punya), rasa syukur ini ditujukan kepada yang pertama kali
telah memberikan bibit pokok dalam masalah pangan kepada
manusia, yaitu Yang Maha Kuasa, karen pada hakekatnya
bumi tempat tumbuh berbagai macam tanaman yang
bermanfaat bagi manusia adalah milik Yang Maha Kuasa,
maka ketika akan mengambilnya harus meminta izin kepada
yang punya
Rincian kegiatan atau manual acaranya seperti yang
dituturkan Abah Ukat berikut “Kegiatan ini dilaksanakan
setelah semua warga selesai panen. tahun 2012 yang akan
datang ini, acara Seren Taun sudah ditetapkan oleh abah pada
tanggal 6 Juni. Acara dimulai dari tanggal 5 Juni, minimal jam
11 Abah meyembelih kerbau. Setelah semua prosesi
penyembelihan kerbau sampai dimasak selesai sekitar jam
empat sore, Abah mengadakan selametan39, ya harus itu untuk
kerbau yang dipotong dan untuk yang memotongnya.
Dipanjatkan do’a agar pertanian dan petaninya di sini selamat
ada dalam keberkahan begitu juga umumnya dengan negara
kita semoga subur makmur tidak terkena musibah, pada
akhirnya itu umum untuk semua warga dan bangsa.”
Sedekah Rowah
38
Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (Ketua adat Urug Lebak),
Bogor, 28 April 2012.
39
Acara selametan ini disebut juga ngariung (berkumpul), semua warga
berkumpul di rumah adat untuk berdo’a bersama, tentu lengkap dengan hidangan
makanan yang sudah disiapkan.
122 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Upacara yang ketiga disebut Sedekah Rowah,
dilaksanakan pada bulan Rowah (Sya’ban), tanggal 12. Pagi
hari masyarakat membawa ayam minimal satu keluarga satu
ekor, disembelih di halaman rumah adat, setelah selesai
dimasak, dibawa lagi ke rumah adat, selamatannya
dilaksanakan ba’da Dhuhur. Acara ini dan do’a yang dikirim
sebagai wujud bakti kepada Nabi Adam Alaihi Salam karena
menjadi induk semua umat manusia. Manusia awalnya di
akherat, di dunia itu hanya diumbarakeun (dikembarakan) akan
kembali ke akherat yang dibawa hanya amal perbuatan baik
ataupun buruk yang akan diterima oleh Nu Kagungan (Yang
Maha Memiliki). Nabi Adam sebagai induk seluruh umat
manusia awalnya di akherat dahulu, karena suatu hal ia
diturunkan ke bumi.40
Sedekah Bumi
Upacara yang ke empat dinamakan Sedekah Bumi,
lewat beberapa bulan setelah selesai bulan Rowah (Sya’ban),
Puasa (Ramadhan), Syawal. Acara ini diadakan sebelum
menanam padi. Semua warga makan bersama di halaman
rumah adat, tapi tidak hanya sebatas foya-foya saja, yang
dipanjatkan do’anya sebelum makan bersama tersebut, agar
semua warga ketika selama menanam padi mulus rahayu berkah
salamet (selamat dan ancar tanpa kendala). Maknanya, Kita
Manusia duduk-berdiri dan hidup di Bumi, semua yang kita
makan berasal dari Bumi, manusia harus bersyukur kepada
Yang memiliki kekuasaan terhadap Bumi. Acara syukuran
Sedekah Bumi ini dalam rangka akan menanam padi, sekali
lagi, mipit kudu amit, ngala kudu menta (mengambil dan
memetik harus meminta izin kepada yang punya) 41. “Manusia
kebanyakkan hanya ingin enaknya saja, ketika menanam padi
ingin subur, bagus padinya sedangkan syukuran kepada yang
40
Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (Ketua Adat Urug Lebak),
Bogor, 28 April 2012.
41
Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (Ketua Adat Urug Lebak),
Bogor, 28 April 2012.
123 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
memiliki Bumi tempat di mana padi itu ditanam tidak.”
Begitu penuturan Abah Ukat.
Seren Pataunan
Upacara yang kelima dan terakhir yang disebut dengan
Seren Pataunan, di bawah ini penulis kutip petikkan wawancara
dengan Abah Ukat “Seren Pataunan dilaksanakan dalam
rangka menutup tahun (1432 Hijriah) menyambut tahun
(1433 Hijriah), semoga yang dilakukan pada tahun baru itu
semuanya semoga diselamatkan dijaga dan diraksa
(dihindarkan dari bahaya). Warga membawa nasi kuning
dengan laukpauknya (daging kerbau) setelah dido;akan
(selametan) baru dibagikan kembali. keramaiannya lebih dari
Seren Taun, minimal ba’da magrib, sudah ramai, karena
bukan abah yang mengundang tapi masyarakat yang datang
sendiri”.
Seperti dalam Seren Taun, pada upacara Seren
Pataunan banyak kelompok hiburan seperti Jaipongan,
wayang Golek bahkan OrgenTunggal ingin “manggung” di
Kampung Adat Urug, datang sendiri tanpa dibayar. tapi itu
tergantung Abah Ukat, tidak semua kelompok hiburan itu
bisa diterima karena halaman rumah adat sudah dirapihkan
dengan semen dan batu jadi tidak diboleh dibongkar untuk
mendirikan panggung hiburan. Masyarakat yang datang dari
mana-mana itu tidak sebatas hanya ingin silaturahmi, ikut
syukuran mendapatkan berkat makanan atau menyaksikan
hiburan, tapi punya tujuan masing-masing yang dilisankan
biasanya ingin diselamatkan di tahun baru ini. Pada
kesempatan itu Abah Ukat mewejang.42 “Abah di sini biasanya
meminta waktu 15 menit untuk membuka kembali sejarah
dan memberikan wejangan-wejangan kepada warga
umumnya”.
42
Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (Ketua Adat Urug Lebak),
Bogor, 28 April 2008.
124 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Kesimpulan
Adat istiadat di kampung adat Urug masih banyak
yang dipertahankan, tidak hanya sebatas pada upacara adat
yang sudah menjadi tradisi seperti Seren Taun dan Sedekah
Bumi, tetapi juga kearifan lokal yang disebut talèk atau aturan
berupa larangan dan cegahan yang menjadi rambu-rambu
warga Urug dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Hal
ini tergambar dalam beberapa ungkapan seperti mipit kudu
amit nagala kudu mènta (memetik dan mengambil harus izin
kepada yang punya), ungkapan ini juga sebagai rasa syukur
warga kepada Pemilik bumi beserta isinya.
Seperti kampung adat lainnya di Jawa Barat, di
Kampung Adat Urug terdapat ajaran pembinaan moral untuk
melawan sifat buruk dari manusia dalam rangka harmonisasi
kehidupan mereka dengan alam yang disebut dengan ngaji diri
atau tapa manusa. Nilai-nilai budaya yang terdapat di Kampung
Adat Urug ini memiliki kesamaan dengan nilai-nilai moral
dan etika yang terdapat dalam naskah Sunda lama, Sanghyang
Siksakandang Karesian (1518 M), seperti larangan mengambil
yang bukan haknya, memelihara alat tubuh, penghormatan
kepada orang tua dan adab sopan santun serta nilai-nilai
moral dan etika lainnya dalam bermasyarakat.
Indikator masih dipakainya talèk ini sebagai aturan
hidup adalah kepatuhan warga kepada adat itu sendiri dan
ketua adatnya yang berwibawa, hal ini telihat dari keseharian
mereka, terlihat pada keramahan warga dalam menjamu tamu,
segala hidangan yang ada disuguhkan, karena mereka
mematuhi aturan yang mengharuskan mereka bersikap ramah
kepada siapa saja tidak hanya tamu (Murah bacot murah
congcot).
Adat istiadat atau kearifan lokal ini masih bertahan
karena peran yang signifikan dari Ketua Adatnya sebagai elit
masyarakat. dalam rangka melestarikan adat istiadat ini, Ketua
adat selalu memberikan nasehat atau wejangan kepada warga
baik secara pribadi atau umum pada saat Upacara adat seperti
Seren pataunan. Upacara-upacara adat seperti Seren
125 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Pataunan, Seren Taun, Sedekah Bumi, Sedekah Rowah dan
Muludan menjadi media, sarana atau alat untuk melestarikan
adat istiadat tersebut.
Selain itu Ketua adat juga menjalin kerjasama dengan
pemerintah daerah melalui Dinas Kebudayaan dan pariwisata
dalam rangka keberlangsungan adat istiadat dan tradisi itu,
yang memang sebenarnya sudah menjadi kewajiban bagi
pemerintah baik pusat maupun daerah untuk ikut serta atau
berperan aktif dalam pelestarian budaya-budaya daerah. Sejak
tahun 2010, Kampung Adat Urug ditetapkan sebagai Cagar
Budaya oleh Pemerintah Kabupaten Bogor.
Bahan Pustaka
Buku
Adimihardja, Kusnaka. Kasepuhan yang Tumbuh di Atas yang
Luruh: Penelolaan Lingkungan Secara Tradisional di
Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat. Bandung:
Tarsito, 1992.
Chambert Loir, Henri. “kolofon Melayu.” Indonesia and the
Malay World, vol.34, no. 100, (November 2006): hal.
1-3.
Danasasmita, Saleh. dkk. Sewaka Darma, Sanghyang
Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi
dan Terjemahan. Bandung: Proyek Penelitian dan
Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), 1987.