Anda di halaman 1dari 135

JURNAL KALIJAGA

Volume II Juli 2013

DAFTAR ISI
PENGANTAR

1. BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG TERBENTUKNYA


JARINGAN ANTAR KESULTANAN DI NUSANTARA
(Kajian Awal)
Prof. Dr. Budi Sulistiono, M.Hum ......................... 1

2. BORNEO IN THE EYES OF JOSEPH CONRAD


Suhana binti Sarkawi & Datu Sanib bin Said .... 15

3. PERPECAHAN KESULTANAN CIREBON


Budi Prasidi Jamil .................................................... 33

4. CEPURI DI KOTAGEDE:
Bekas Inti Keraton Mataram yang Semakin Terlupakan
Sugeng Riyanto & M. Chawari ............................... 52

5. PEMIKIRAN AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH


SYEKH MUHAMMAD AZHARI AL-FALIMBANI DALAM
NASKAH PALEMBANG 1842
Drs. H. Abd. Azim Amin, MA ................................... 78

6. SYAIKH ISMĀ’ĪL DAN TAREKAT NAQSHABANDIYAH


DI MINANGKABAU PERSPEKTIF NASKAH AL-MANHAL
Syofyan Hadi, MA...................................................... 91

7. PERAN ELIT MASYARAKAT: STUDI KEBERTAHANAN


ADAT ISTIADAT DI KAMPUNG ADAT URUG BOGOR
Asep Dewantara, S.Hum ......................................... 107

KETENTUAN TULISAN

i
REDAKSI JURNAL KALIJAGA ISSN: 2302-6758

PEMIMPIN UMUM PENYUNTING


Prof. Dr. Budi Sulistiono Tata Septayuda Purnama, M.Si
(UIN Jakarta) KOORDINATOR PENULIS
REDAKTUR AHLI Muaz Tandjung (IAIN Medan)
(MITRA BESTARI) Soedarman, M.Hum (IAIN Padang)
Dr. Halid alKaff (UIN Jakarta) Suprijatin Sarib (STAIN Manado)
Dr. Alaiddin Koto (UINPekanbaru)) Dr. Nur Said (STAIN Kudus)
Prof. Dr. M. Dien Madjid (UIN Syarif Dr. Tony Wanggai (Papua)
Hidayatullah, Jakarta) Neneng Habibah, M.Ag (Balitbang)
Prof. Dr. Ali Mufrodi (IAIN Surabaya) Muslihin Sultan, M.Ag (Watampone)
Drs. Didin Siradjuddin (UIN Jakarta) Dedeh Nur Hamidah, MA (STAIN
Bambang Budi Utomo (Arkenas) Cirebon)
PEMIMPIN REDAKSI Yusri Akhimuddin, MA (STAIN Prof Dr
Drs. Nur Hasan, M.Ag (UIN Jakarta) Mahmud Yunus, Padang)
DEWAN REDAKSI Mufliha Wijayati, MA (STAIN
Dr. Frans Sayogi, SH, MH (UIN Jakarta) Lampung)
Dr. Darsita S (UIN Jakarta) Lina Amelina (Palangkaraya, Kalteng)
Prof. Dr. Didin Saepuddin (UIN DESAIN
Jakarta) Aristhopan Firdaus
Masmedia Pinem, MA (Puslitbang Ervin Nazarli
Lektur Keagamaan, Jakarta) PENERBIT
EDITOR PELAKSANA Pustaka Sinar Darussalam Jakarta
Drs. Ikhwan Azizi, M.Ag (UIN Jakarta) ALAMAT REDAKSI
Aji Haryo Nugroho (STAIN Salatiga) Jl Tebet Timur Dalam XI/76 Jakarta
Alfan Firmanto, M.Hum (Puslitbang) 12820
Ibnu Salman (Balitbang) EMAIL
Johan Wahyudi, S.Hum (UIN Jakarta) buditebet@gmail.com

ii
PENGANTAR

Aceh Darussalam, Samudera Pasai, Demak, Cirebon,


Makassar, Banten, Ternate, Tidore, dan sebagainya adalah kota-kota
Maritim di Indonesia. Hingga kini di kota-kota itu masih dapat kita
jumpai tinggalan materialnya (arkeologi) antara lain masjid Agung,
komplek makam keluarga kesultanan, reruntuhan bangunan
benteng. Pada umumnya, kota-kota itu berfungsi sebagai pusat
perdagangan dan sentra-sentra kekuatan politik. Kondisi ini
didukung antara lain oleh adanya jalinan secara estafet berupa
perhubungan pelayaran, perekonomian, dan politik sekaligus juga
memperkembangkan citra sebagai Kesultanan-Kesultanan Islam.
Perwujudan kota-kota tersebut mengawali tulisan Budi Sulistiono
dalam Jurnal Kalijaga, Volume II, Juli 2013.
Keberadaan Borneo sudah banyak ditulis, baik oleh orang
Melayu juga oleh orang Asing misalnya penulis asal Polandia,
Joseph Conrad tahun 1899. Karya tulis ini diantar oleh Suhana dan
Datu Sanib menulis tentang membangun identitas dan karakter
Masyarakat Melayu Borneo yang berjudul “Borneo in the Eyes of Joseph
Conrad”. Keberadaan Borneo dan kota-kota Maritim di atas pernah
berjaya sebagai pusat-pusat Kesultanan Islam. Contoh “Kesultanan
Cirebon …”, menurut tulisan Budi Prasidi Jamil merupakan
Kesultanan Islam pertama di Jawa Barat. Kawasan itu secara
geografis, terletak di pesisir utara Jawa. Lokasinya yang strategis serta
memiliki sejumlah muara sungai menjadikan kawasan ini memiliki
peranan penting bagi pertumbuhan Cirebon menjadi kota
pelabuhan antara lain sebagai tempat untuk; menjalankan kegiatan
pelayaran; perdagangan yang bersifat regional dan internasional.
Sampai saat ini kota-kota yang dikenal sebagai kota maritim itu
masih dapat dijumpai berbagai peninggalan berupa peninggalan
material (arkeologi) antara lain: masjid Agung, komplek makam
keluarga kesultanan, reruntuhan bangunan benteng.
Kesultanan Islam, selain berada di kawasan kota, masih
ditemukan peninggalan kesultanan Islam yang berada di wilayah
pedalaman atau agraris. Misalnya Kesultanan Mataram, Kotagede,
Yogyakarta. Lacak keberadaannya diungkap oleh Sugeng Riyanto,
dalam tulisannya yang berjudul “Cepuri di Kotagede : Bekas Inti
iii
Keraton Mataram yang Semakin Terlupakan”. Menurutnya, Cepuri
adalah tempat raja berkediaman dan memerintah Mataram. Cepuri
merupakan inti keraton yang dibatasi dengan tembok keliling tebal
dan kokoh. Tembok keliling ini berbentuk empat persegi panjang
tetapi tidak simetris. Saat ini di tengah-tengah Cepuri terdapat
tinggalan masa lampau yang ditempatkan di dalam sebuah
bangunan cungkup. Di dalam bangunan ini terdapat: sebuah batu
gilang yang berfungsi sebagai “singgasana” sultan atau raja, tiga buah
batu gatheng sebagai alat permainan putera raja atau sultan, dan
sebuah tempayan yang berfungsi untuk wudhu para penasehat
sultan atau raja. Penyebutan kata “wudhu” adalah lekat dengan
pengamalan syari‟at Islam.
Sementara itu, peran aktif tokoh-tokoh dalam jejak
pengamalan syari‟at Islam Nusantara berlangsung dari masa ke
masa. Salah seorang tokoh yang dimaksud adalah Syekh
Muhammad Azhari Al-Falimbani (1811-1874). Menurut hasil
pengamatan Abd. Azim Amin dalam tulisannya “Pemikiran aqidah
ahlussunnah wal jama‟ah Syekh Muhammad Azhari AlFalimbani”,
mengarang kitab Aqidah Ahlussunnah wal Jama‟ah (1842) menurut
pemikiran al-Asy‟ary.
Jejak keislaman Nusantara dalam rangka pengamalan
syari‟at Islam juga diisi aktivitas tarekat. Tarekat yang tumbuh dan
berkembang itu di antaranya, adalah Tarekat Naqsyabandiyah.
Penelusuran jejak Tarekat Naqsyabandiyah di wilayah Minangkabau
ditulis oleh Syofyan Hadi dengan tema “Syaikh Ismā‟īl dan Tarekat
Naqshabandiyah di Minangkabau Perspektif Naskah al-Manhal”.
Naskah al-Manhal, dengan nama yang lebih lengkap yakni, al-
Manhal al-„adhb li-dhikr al-qalb, merupakan salah satu naskah yang
sangat penting. Naskah itu di samping berisi ajaran-ajaran pokok
tarekat Naqshabandiyah, juga mengandung banyak informasi yang
berharga, baik tentang Shaykh Ismā„īl al-Khālidī al-Minangkabawī
sebagai penyebar pertama ajaran tarekat Naqshabandiyah
Khalidiyah di Minangkabau maupun tentang ajaran dan dinamika
tarekat Naqshabandiyah al-Khālidīyiah pada fase awal
perkembangannya yang selama ini masih dianggap kabur dan samar.
Menurut catatan penulis, Naskah al-Manhal ini ditulis
menggunakan kertas Eropa dengan cap kertas (water mark)
bergambar singa.
iv
Keberadaan naskah-naskah tersebut mengisyaratkan adanya
suasana tumbuh dan berkembang. Naskah-naskah Nusantara itu
penting untuk dijadikan objek pengamatan, sebab sekarang adalah
saat yang tepat, dan penting untuk melacak naskah tersebut yang
cara melacak naskah itu mulai dari naskah yang terdapat di desa,
kota, pulau dan kepulauan Nusantara. Apa pun keberadaan dan
keadaannya baik sebelum dan/ atau semasa Kebangkitan
Kesultanan-Kesultanan Islam Nusantara, secara konkrit kehadiran
dan keberadaan naskah-naskah Nusantara didukung oleh faktor
"rapid commercialization", pada gilirannya membantu menciptakan
citra bahwa Islam itu kuat (powerful), baik secara spiritual,
ekonomi, politik, maupun militer.
Sukses-sukses besar masa kejayaan Kesultanan Islam
Nusantara tidak berarti telah menggusur apalagi penghancuran
terhadap tinggalan arkeologis hingga adat dan tradisi
masyarakatnya. Justru sebaliknya, pelestarian keberadaannya masih
dipertahankan. Kampung Adat Urug yang masuk dalam wilayah
pemerintahan Desa Kiarapandak Kecamatan Sukajaya Kabupaten
Bogor, misalnya hingga kini masih tetap eksis. Mereka tetap setia
kepada peran aktif para elite setempat yang konon secara aktif
mengajarkan rangkaian isi Naskah Sanghyang Siksakandang
Karesian. Naskah ini disebut juga dengan nama Talatah Sang Sadu
(amanat sang Budiman) berisi ajaran moral, etika dan keagamaan,
bagaimana cara bergaul dengan sesama, bersikap kepada Raja,
mencapai kesejahteraan hidup dan lain sebagainya. Menurut hasil
penelitian yang ditulis oleh Asep Dewantara, dengan tema “Peran
Elit Masyarakat:Studi Kebertahanan Adat Istiadat Di Kampung
Adat Urug Bogor”, Naskah Talatah Sang Sadu, selesai ditulis pada
tahun 1440 saka atau 1518 M. Jadi, naskah Sanghyang
Siksakandang Karesian ini lahir pada masa kejayaan Kerajaan Sunda
Pakuan Pajajaran, Bogor (1482-1521 M).

Budi Sulistiono

v
BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG TERBENTUKNYA
JARINGAN PERDAGANGAN ANTAR KESULTANAN DI
NUSANTARA
(Kajian Awal)

Prof. Dr. Budi Sulistiono, M.Hum


Guru Besar Ilmu Sejarah UIN Jakarta

Abstract
Aceh Darussalam, Samudera Pasai, Demak, Cirebon, Makassar, Banten, Ternate,
Tidore, and so are the Maritime cities in Indonesia. Up to now in the cities that
we can still meet its material remains (archeology), among others, the Great
Mosque, the tomb complex imperial family, the castle ruins. In general, the cities, in
addition to its function as a center of commerce maintained, to become centers of
political power, this condition is formed at least supported among others by the
fabric of the relay in the form of shipping transportation, economy, and politics as
well as promote the image of the Sultanate- Islamic Sultanate.
Keywords: cities, sultanate, rapid commercialization.

Abstrak
Aceh Darussalam, Samudera Pasai, Demak, Cirebon, Makassar, Banten,
Ternate, Tidore, dan sebagainya adalah kota-kota Maritim di Indonesia.
Hingga kini di kota-kota itu masih dapat kita jumpai tinggalan materialnya
(arkeologi) antara lain masjid Agung, komplek makam keluarga kesultanan,
reruntuhan bangunan benteng. Pada umumnya, kota-kota itu, --di samping
fungsinya dipertahankan sebagai pusat perdagangan dan sentra-sentra
kekuatan politik--, kondisi ini terbentuk setidaknya didukung antara lain
oleh adanya jalinan secara estafet berupa perhubungan pelayaran,
perekonomian, dan politik sekaligus juga memperkembangkan citra
sebagai Kesultanan-Kesultanan Islam.
Kata kunci: kota, kesultanan, rapid commercialization

1 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Pendahuluan
Siapa pun yang pernah mendengar nama Samudera
Pasai, Aceh, Demak, Cirebon, Banten, Ternate, Tidore, dan
sebagainya, sudah pasti benak dan fikirannya, sebutan nama
sejumlah kota itu adalah nama tempat bekas Kesultanan/
kesultanan Islam yang pernah berjaya. Hingga kini beberapa di
antaranya masih dapat kita jumpai tinggalan materialnya
(arkeologi) antara lain masjid Agung, komplek makam
keluarga kesultanan, reruntuhan bangunan benteng. Banten,
misalnya di sebelah barat bekas pasar kuno Karangantu, atau
timur laut kraton Surasowan, masih dapat ditemui nama
kampung Pakojan. Sebutan Pakojan yang diambil dari bahasa
Persia --konon tidak ditempati lagi, dikenal sebagai hunian
pedagang Muslim dari Cambay-- Gujarat, Mesir, Turki, Goa,
termasuk pula kampung Arab.
Juga dapat dijumpai nama perkampungan Pacinan,
dapat dibuktikan temuan sisa rumah kuno corak Cina dan
sejumlah orang Cina , keramik masa Dung (960-1280), Yuan
(1280-1368), Ming (1368-1643), Ching (1644-1912). Selain
perkampungan orang Cina, juga didapati perkampungan
orang India, Persia, Arab, Turki, Pegu (Burma).
Perkampungan para pedagang asal Nusantara, juga dapat
dijumpai: Melayu, Ternate, Banda, Banjar, Bugis, Makassar.
Keadaan ini sebagai bukti Banten dapat disebut pusat
perdagangan, ramai dikunjungi para pedagang domestik
maupun luar negeri. Dan bagi siapa saja yang pernah
berwisata atau berziarah ke kota-kota tersebut --benar-benar
“Kota Metropolitan”, Pusat Kekuasaan, Kota Maritim– karena
pusat kekuasaannya berada di kota pelabuhan. Bahkan tak
kurang penting disebut-sebut kota-kota tersebut sebagai centra-
centra dakwah Islamiyah. Kondisi ini dapat ditelusuri dari
suasana feedback limpahan peziarah dari hari ke hari yang
berdatangan dari berbagai daerah luar wilayah kota-kota
tersebut.
Karenanya, mudah-mudahan kita taklah berhati kecil
untuk bertanya-tanya menukik kepada intinya, "dengan cara
2 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
apa kota-kota itu secara estafet berhasil ditampilkan bahkan
diperankan di pentas internasional?". Pertanyaan tersebut
sekaligus mengisyaratkan bahwa kota-kota itu mungkin tak
berarti apa-apa jika tak ada yang berani mengusiknya. Ini
berarti ada individu atau sekelompok orang yang secara aktif
dan arif membinanya, di antara mereka Walisongo, Ustadz,
Syeikh, Guru agama, cendekiawan, dan sebagainya.
Pada umumnya, kota-kota itu, di samping fungsinya
dipertahankan sebagai pusat perdagangan, hingga menjadi
sentra-sentra kekuatan politik, kondisi ini terbentuk
setidaknya didukung antara lain oleh adanya jalinan secara
estafet berupa perhubungan pelayaran, perekonomian, dan
politik sekaligus juga memperkembangkan citra sebagai
Kesultanan-Kesultanan Islam:
Kesultanan Samudera Pasai di Aceh Utara (abad ke-13
hingga tahun 1524); Aceh didirikan pada tahun 1514 oleh
Sultan Ibrahim bergelar Sultan Ali Mughayyat Syah (1514-
1530); Demak; Banjarmasin (1550 M); Ternate akhir abad ke-
14 M; Cirebon, Kesultanan Islam pertama di Jawa Barat,
tahun 1479. Syarif Hidayat (Syarif Hidayatullah), dialah
pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan kemudian juga
Kesultanan Banten; Kesultanan Banten yang ibukotanya
dinamai Surasowan tumbuh menjadi pusat Kesultanan
Muslim sejak 1526 Masehi; Makassar (1605/9 M); kesultanan
Bima sejak 1620.
Perwujudan dan perkembangan kota-kota tersebut
sebagai pusat perdagangan hingga menjadi pusat
pemerintahan, mengisyaratkan bahwa masyarakat di sekitar
(saat itu) berkat kekayaan dan kekuatan-kekuatan sosial yang
diberdayakan, dapat memainkan peran-peran politik dalam
entitas politik. Ambil contoh, sejak Malaka jatuh ke tangan
kaum imperialis dan kolonialis Portugis pada tahun 1511
Masehi, banyak pedagang Islam yang datang ke Aceh. Aceh
kemudian mereka jadikan sebagai tempat berdagang juga
sebagai tempat menyebarkan agama Islam. Ketika Kesultanan
Aceh telah dapat menggantikan kedudukan Malaka, baik
3 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
sebagai pusat perdagangan maupun pusat penyebaran agama
Islam, Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan
persahabatan dengan Kesultanan Islam terkemuka di Timur
Tengah, yaitu Kesultanan Turki.
Sebagai wujud dukungan masyarakat Islam di luar
Kesultanan Aceh, banyak Ulama dan pujangga dari berbagai
negeri Islam yang datang ke Aceh. Para Ulama dan pujangga
di Aceh, mengajarkan Ilmu Agama Islam dan berbagai ilmu
pengetahuan, selain itu juga menulis bermacam-macam kitab,
khususnya ajaran agama Islam. Di antara Ulama dan pujangga
yang pernah datang di Aceh, menurut T Ibrahim Alfian,
adalah Muhammad Azhari yang mengajar Ilmu Metafisika;
Syeikh Abdul Khair ibn Syekh ibn Hajar ahli dalam bidang
mistik; Muhammad Yamani, ahli Ilmu Usul; Syeikh
Muhammad Jailani ibn Hasan ibn Muhammad Hamid dari
Gujarat mengajarkan Logika; Syeikh Bukhari al-Johari,
terkenal dengan karyanya Taj as-Salatin (Mahkota Segala raja).
Demikian pula terjadi di Demak mencapai
keberhasilan politik dengan cepat dan memainkan peranan
sebagai jembatan penyeberangan keagamaan paling penting,
tidak saja harus menghadapi masalah legitimasi politik, tetapi
juga panggilan kultural untuk kesinambungan (Schrieke,
1957:117), antara lain dapat diamati melalui sebaran wilayah
pengaruh Islam di sejumlah tempat untuk kemudian tumbuh
sebagai tempat-tempat pemukiman meningkat menjadi pusat-
pusat da‟wah Islamiyah pada abad ke-16 M.
Peran-peran aktif tersebut hingga periode-periode
berikut diimbangi juga oleh peran ulama dalam pentas antara
lain pendidikan melalui jalur pesantren. Pesantren
sebagaimana lembaga-lembaga Islam yang vital seperti 'dayah',
dan "meunasah" di Aceh, "surau" di Minangkabau dan
Semenanjung Malaya telah tumbuh menjadi institusi supra
desa, yang mengatasi kepemimpinan, kesukuan, sistem adat
tertentu, kedaerahan dan lainnya. Mereka tumbuh menjadi
lembaga Islam yang universal, yang menerima guru dan murid
tanpa memandang latar belakang suku, daerah, dan
4 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
semacamnya, sehingga mereka mampu membentuk jaringan
kepemimpinan intelektual dan praktik keagamaan dalam
berbagai tingkatan.
Seperti juga para penuntut ilmu di Timur Tengah
pada masa-masa awal, guru, terutama murid-murid lembaga-
lembaga pendidikan Islam di Asia Tenggara ini, adalah para
penuntut ilmu yang mengembara dari satu surau ke surau lain
atau dari pesantren satu ke pesantren lain guna meningkatkan
pengetahuan keislaman mereka. Kehadiran dayah, surau,
pesantren yang didukung oleh para tokoh kharismatis
ajengan, kyai, tuan guru, teungku, juga telah berhasil bukan
sekadar memperkenalkan bahkan menciptakan kondisi
berlasungnya tulisan Arab sebagai tradisi komunikasi di
berbagai wilayah multietnis.
Secara historis, tidak diketahui secara persis kapan
aksara (huruf) Arab kian gencar dipakai di berbagai bahasa
daerah di seantero Nusantara, terutama Melayu dan Jawa.
Sejumlah ahli, sementara itu hanya bisa mengatakan, hal itu
terjadi seiring dengan sosialisasi Islam di wilayah Nusantara.
Dan sejak kapan Islam terserap di varian wilayah Nusantara
ini, juga masih menjadi pembicaraan hangat, meski bisa
dipastikan antara abad ke-7 dengan berpedoman pada berita
aksara Arab yang terukir pada nisan makam Fatimah binti
Maimun, yang wafat tahun 1080 Masehi; sampai abad ke-13.

Corak Lokal
Hasil yang dapat kita tatap di seantero Nusantara
adalah corak dan istilah penamaan tulisan Arab yang telah
beradaptasi dengan variasi bahasa dan kegunaannya di daerah-
daerah, maka lahirlah aksara Arab dalam wilayah budaya
masyarakatnya, misalnya di wilayah budaya Melayu, dikenal
dengan aksara Jawi, di kalangan masyarakat Jawa dan Sunda
lahir istilah aksara Pegon, di kalangan masyarakat Aceh
dikenal dengan istilah Jawoe, dan sebagainya. Umumnya,
pendekatan untuk pengenalan huruf Arab dengan kaidah
Baghdadiyyah, secara estafet pengajaran dilanjutkan secara
5 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
langsung kepada bacaan Juz „Amma (dengan cara hafalan atau
cukup bacaan), kemudian berpindah ke surat-surat al-Qur'an
yang panjang, dimulai dari surah al-Baqarah hingga khatam
(selesai).
Untuk jenjang pengenalan ajaran Islam yang lebih
tinggi diberikan pengajaran dari berbagai kitab, pada masa itu
lebih berorientasi kepada keahlian yang dimiliki oleh para
guru atau kyai. Misalnya untuk kajian tentang hukum Islam
akan dipelajari melalui kitab, antara lain: Miftah al-Jannah,
Shirat, Sabilal al-Muhtadin, Bidayah, Kitab Delapan dan
Majmu'; Matan Taqrib, Fath al-Qarib, Fath al-Mu'in, Tahrir,
Iqna', Fath al-Wahhab, Mahally.
Adapun mengenai ilmu alat, akan diberikan pelajaran
tentang Sharaf (perubahan kata dalam bahasa Arab),
kemudian dilanjutkan dengan mempelajari kitab Ajrumiyyah,
dilanjutkan Mukhtashar, Mutammimah, dan terakhir dengan
Alfiyah bersama Syarahnya. Untuk di beberapa
wilayah/daerah, pelajaran Nahwu merupakan pokok dan
wajib dipelajari sebelum membuka/ mempelajari kitab-kitab
(fikih, tafsir al-Quran, hukum, tasawwuf, dan sebagainya).
Sebab seluruh kitab tersebut ditulis dengan bahasa dan huruf
Arab.
Selain diajarkan tafsir al-Quran dan Hadits, para santri
juga diberikan pelajaran Balaghah, yang mencakup di
dalamnya ilmu ma'ani, ilmu bayan, dan ilmu badi'; Majmu'
Khams al-Rasail, Jawahir al-Maknun. Tasawwuf, akan
diberikan pelajaran melalui kitab, antara lain Ihya Ulumiddin,
Tanbih al-Ghafiqin. Demikian pula pelajaran tentang logika
(ilm al-Manthiq), dengan cara mempelajari dari kitab a.l.
Matan al-Sullam, Idhahul Mubham. Untuk kalangan ahli di
bidang Tauhid, guru akan memberikan pelajarannya dengan
mempelajari kitab: Matan as-Sanusi, Kifayah al-Awam dan
Hudhudi, ad-Dasuqi. Perihal Ushul al-Fiqh, akan diperoleh
melalui kitab a.l. Jam'u al-Jawami', al-Waraqat, Lathaif Isyarah,
Ghayah al-Usul. Hasil nyata kiprah keislaman ini, semakin

6 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


mengakar dalam lingkaran ikatan emosional budaya
masyarakat menusantara.
Mengingat umurnya yang tua dan luasnya penyebaran
pesantren, dapat difahami bahwa pengaruh lembaga ini pada
masyarakat sekitarnya sangat besar. Banyak peristiwa sejarah
abad ke-19 yang menunjukkan betapa besar pengaruh
pesantren dalam mobilisasi masyarakat pedesaan untuk aksi-
aksi protes terhadap masuknya kekuasaan birokrasi kolonial
Eropa di pedesaan. Aksi-aksi protes mereka hingga melahirkan
pemberontakan dan meletuslah "Geger Cilegon" juga terkenal
dengan "Perang Wasid". Kenyataan ini sebagai wujud
komitmen sosial pesantren kepada masyarakat sudah terbukti,
bahkan dari abad ke abad.
Setidaknya dengan lahirnya sejumlah "pesantren',
dayah, 'pondok', 'surau', dan semisalnya menunjukkan bahwa
proses belajar mengenali dan memahami tentang Islam telah
diajarkan melalui pendidikan yang diajarkan dan di bawah
pengelolaan atau bimbingan seorang guru, ustadz, teungku,
ulama, ajengan, kyai, dan sebagainya. Tempat-tempat
pendidikan tersebut biasanya didirikan di dekat masjid atau
rumah guru, pelajaran yang diberikan di antaranya : baca-tulis
Arab.
Jalur pendidikan dayah, surau, pesantren sebagai aset
umat, menarik untuk disimak bukan hanya dari upaya
mengemban satu tujuan yang fundamental yaitu tujuan
"da'wah Islamiyah", melainkan dalam aspek proses hingga
terbentuknya satu jaringan yang luas di kalangan mereka.
Jaringan semacam ini berfungsi untuk pertukaran santri,
pelayanan keagamaan, informasi mengenai kecenderungan
sosial pemerintahan, serta untuk melindungi sikap ortodoksi
Islam. Pesantren selain memiliki "lingkungan, ia juga "milik"
lingkungannya. Bahkan hingga sekarang pesantren tak putus-
putusnya mempunyai hubungan fungsional dengan desa-desa
di sekitarnya, dalam pendidikan agama, kegiatan sosial, dan
kegiatan ekonomi.

7 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Bukankah sejarah Muslim di wilayah Nusantara
khususnya di berbagai kota pusat kekuasaan ini sejak masa
awal kehadirannya telah berhasil mengangkat peran-peran
para pedagang Nusantara yang justru mengutamakan dalam
arus timbal balik hasil-hasil produksi daerah masing-masing.
Hal itu memungkinkan adanya mobilitas horisontal di
kalangan pedagang, karena perpindahan dari satu kota ke kota
lain untuk mencari keuntungan. Nilai strategis dari dakwah
Islamiyah mereka adalah "keteladanan" hingga mendorong
terjadinya konvensi massal kepada Islam, muncul kemudian
aktivitas bukan hanya di sektor perdagangan, melainkan juga
dalam bidang politik, dan diplomatik.
Langkah-langkah ini kemudian melahirkan asumsi
bahwa keterlibatan mereka dalam varian bidang strategis itu
telah berhasil memperteguh kekuatan politik dalam bentuk
kesultanan/kerajaan, antara lain di berbagai wilayah pesisir,
sejak Jeumpa, Peureulak, Samudra Pasai, Malaka, Aceh,
Demak, Johor, Ternate, Goa, Banten, dan seterusnya.
Kebangkitan Kesultanan-Kesultanan ini, yang jelas didukung
oleh faktor "rapid commercialization" tadi, pada gilirannya
membantu menciptakan citra bahwa Islam itu kuat (powerful),
baik secara sipiritual, ekonomi, politik, maupun militer .
Bukan tidak mungkin jika program integrasi yang
islami itu berhasil dikemas dan dipentaskan di era globalisasi,
kota-kota pusat Kesultanan Islam akan menampilkan tokoh-
tokoh profesional yang handal, tangguh, dan bebas. Dengan
kata lain, kalau mengharapkan timbulnya kebangkitan Islam
sebagai suatu peradaban yang dinamis dan selalu berkembang
dalam konteks keuniversalan serta kekekalan nilainya, sudah
saatnya kita mengerahkan energi sepenuhnya, yang berarti
menjadikan diri kita sebagai orang kritis (terhadap diri sendiri
sekali pun) terhadap pembangunan dan perubahan yang
sedang berlangsung, memiliki integritas, loyal kepada hati
nurani dan kepentingan orang banyak serta kembali kepada
masyarakat --sebagai ciri intelektual kita. Mudah-mudahan,
upaya pemusatan perhatian dan energi kita untuk
8 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
memakmurkan masjid sebagai satu indikator utama dalam
menentukan keberhasilan amaliyah dari kebangkitan kembali
zaman keemasan Islam, mendatang.

Kesimpulan dan Saran


1. Munculnya Demak, Samudra Pasai, Banten, Cirebon,
Tidore di samping fungsinya dipertahankan sebagai
pusat perdagangan, hingga menjadi sentra-sentra
kekuatan politik, kondisi ini terbentuk sebagaimana
dicatat dalam lembran sejarah, didukung antara lain
oleh adanya jalinan secara estafet berupa perhubungan
pelayaran, perekonomian, dan politik sekaligus juga
memperkembangkan citra sebagai Kesultanan-
Kesultanan Islam.
2. kota-kota itu mungkin tak berarti apa-apa jika tak ada
yang berani mengusiknya. Ini berarti ada individu atau
sekelompok orang yang secara aktif dan arif
membinanya, di antara mereka Walisongo, Ustadz,
Syeikh, Guru agama, cendekiawan, dan sebagainya.
peran ulama dalam pentas antara lain pendidikan
melalui jalur pesantren. Pesantren sebagaimana
lembaga-lembaga Islam yang vital seperti 'dayah', dan
"meunasah" di Aceh, "surau" di Minangkabau dan
Semenanjung Malaya telah tumbuh menjadi institusi
supra desa, yang mengatasi kepemimpinan, kesukuan,
sistem adat tertentu, kedaerahan.
3. Bahkan, Ulama telah berhasil bukan sekedar
memperkenalkan bahkan menciptakan kondisi
berlasungnya tulisan Arab sebagai tradisi komunikasi
di berbagai wilayah multi-etnis Nusantara, abad ke-17
M.
4. Oleh sebab itu, dalam memandang dan mencermati
tokoh, dan pesantren, kini bukan saatnya untuk
berandai-andai untuk lebih mencermati peran-
perannya dalam aksi melawan kolonial Eropa,
9 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
misalnya, namun yang mendesak justru upaya-upaya
kita lebih mau mengerti tentang "bagaimana strategi
kyai/ulama tempo dulu melalui jalur pesantren
dengan potensi yang dimiliki berhasil menularkan
kreativitasnya kepada masyarakat pedesaan dan
lingkungan lainnya ".
5. Penelitian lebih jauh sudah saatnya dilakukan lebih
awal bahkan diperlukan untuk melacak akar genealogi
intelektual mereka di dalam mensistematisasi
pengetahuan menjadi ilmu melalui usaha klasifikasi
dan penciptaan metodologi empirik, kuantitaf dan
eksperimental.
Dengan kata lain, upaya penelitian ini diharapkan
dapat memahami:
a. Wujud kreativitas keulamaan mereka itu dapat
dicermati dalam berbagai kegiatan, misalnya
dakwah, wirausaha, organisasi, dan sebagainya
sehingga kita memperoleh gambaran yang
lebih utuh.
b. Informasi aktivitas keulamaan masyarakat di
kota-kota pusat Kesultanan tersebut akan bisa
pula dijadikan indikasi perkembangan Islam
dalam varian kelompok dari masa ke masa yang
sangat berpengaruh dalam berbagai wilayah di
luar wilayah kota-kota itu. Paling tidak,
penelitian itu hendak menegaskan kembali
peranan Islam dengan daya dukung masyarakat
setempat di dalam perkembangan sejarah ilmu
secara nasional maupun internasional,
bukanlah sesuatu yang mubadzir. Misalnya,
"keteladanan wong Banten" dapat dicermati
lebih lanjut antara lain Imam Muhammad
Nawawi Tanara dikenal dengan Imam Nawawi
al-Bantani, seorang ulama besar yang juga
banyak menulis kitab, pernah menjadi panutan
(guru) sejumlah ulama terkenal seperti KH
10 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Hasyim Asy'ari (Rais Akbar NU), Jombang;
KH. Khalil Bangkalan, Madura (guru KH
Syamsul Arifin -Mustasyar Am NU), KH.
Asnawi Caringin asal Labuan dan sejumlah
ulama lainnya.
c. Dengan mengambil tamstil tokoh ini
pengingatan kita ke arah pesantren untuk saat
ini tidaklah juga mubadzir, justru malah
strategis. Alasannya:
Pertama, pesantren sebagai lembaga sosial yang berada
di akar bawah mempunyai peranan strategis dalam
melaksanakan cita-cita pembangunan yang memerlukan peran
serta masyarakat dan perencanaan dari bawah. Nah, sebagai
upaya pelestarian peranan dan keberadaan pesantren, sebagai
langkah awal, sangat simpatik untuk memulai klasifikasi ke
arah pemetaan perkembangan lembaga-lembaga tersebut mana
yang benar-benar eksis baik di kota maupun di desa, untuk
kemudian dilakukan pemberdayaannya;
Kedua, pesantren masih sering mendapat sorotan yang
konon masih kurang memberikan pendidikan yang
bersangkutan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena
titik berat pendidikannya masih pada kitab kuning. Anggapan
itu boleh-boleh saja muncul, bahkan sudah terlalu sering
dikemukakan bahwa kajian Islam selama ini lebih
menekankan aspek ritual semata dan masih kurang
dikembangkan pemikiran Islam yang menyangkut kehidupan
sosial ummat, terutama masalah mendesak yang mereka
hadapi kini, yakni kemiskinan dan kebodohan. Karenanya,
yang mendesak adalah menampilkan fikiran alternatif Islam
untuk menjawab masalah dasar ummat Islam dewasa ini.
Dengan kata lain, saat yang berharga ini Islam sedang
memasuki fase baru, yakni masa pengisian kehidupan umat
yang sudah makin integratif. Dalam fase ini yang diperlukan
adalah memberi tafsiran terhadap ajaran dasar Islam untuk
tumbuh menjadi alternatif pemecahan masalah umat, yang
sudah tentu tetap dalam kerangka Persatuan dan Kesatuan;
11 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Ketiga, banyak anak-anak kaum santri tidak lagi
dimasukkan ke pesantren tapi ke sekolah-sekolah non-agama,
berbaur dengan anak-anak di luar komunitas mereka.
Singkatnya, kini telah tumbuh generasi baru yang muncul dari
perbauran subkultur santri dan abangan dengan basis agama
yang tak terlalu jauh berbeda, kalau tak dapat dikatakan sama;
Keempat, di negara berkembang, pada umumnya
pendidikan lebih dianggap sebagai sarana peningkatan
pengetahuan semata atau latihan untuk suatu profesi.
Universitas lebih dipandang sebagai tempat merebut gelar,
tapi didirikan tanpa semangat intelektual. Dengan kondisi
demikian, pendidikan di negara berkembang tidak
mempengaruhi restrukturisasi mental yang ada. Akibatnya,
ceruk-ceruk pemikiran tradisional tetap tak dapat diguncang.
Oleh al-Afghani, inilah disebut pendidikan tanpa semangat
menyelidiki. Tiadanya semangat intelektual atau tidak
berfungsinya kaum intelektual di negara berkembang akan
besar sekali pengaruhnya terhadap kepemimpinan yang
menentukan hidup matinya suatu bangsa.

12 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Daftar Pustaka

Buku
Abdullah, Taufik, ed., Sejarah Ummat Islam Indonesia, (Jakarta:
Majelis Ulama Indonesia, 1991).
Alfian, Teuku Ibrahim, Mata Uang Emas Kesultanan-Kesultanan
Di Aceh, (1972)
Rais, Amien, Pendidikan Muhammadiyah dan Perubahan Sosial,
(Yogyakarta: Pusat Latihan dan Pengembangan
Masyarakat,1985).
Azra, Azyumardi, Renaissans Islam Asia Tenggara, (Bandung:
Rosydakarya), 1999.
Dasgupta, A.K., Acheh in Indonesian Trade and Politics: 1600-
1641, Cornel University,1962
Sedyawati, Edi, "Kebudayaan Banten Dalam Kaitannya Dengan
Wawasan Kebudayaan Nasional", dalam Hasan Mu'arif
Ambary, dkk (Editor), Kabupaten Serang Menyongsong
Masa Depan,1994, Pemda Tingkat II Kabupaten
Serang;
GP Rouffaer en J.W. Ijzerman, 1915, De Eerste Schipvaart der
Nederlands naar Oost-Indie onder Cornelis de Houtman
1595-1597, De Eerste Boek van Willem Lodewijks,
Martinus Nijhoof.
Hamka, Sejarah Ummat Islam, jilid IV (Jakarta : Bulan Bintang,
1981).
Rakhmat, Jalaluddin, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1986).
J.C.van Leur, Indonesian Trade and Society, (Den Haag:van
Hoeve, 1955).
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi,
(Bandung: Mizan, cet.ke-3, 1991).
Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the
Indonesian Archipelago between 1510-and about 1630,
The Hague, 1962.

13 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Mundardjito, Hasan Muarif Ambary, dan Hasan Djafar,
"Laporan Penelitian Arkeologi Banten", dalam Berita
Penelitian Arkeologi No.18, Jakarta, 1978.
Tjandrasasmita, Uka, Kota-Kota Muslim di Indonesia Dari Abad
XIII sampai XVIII Masehi, (Menara Kudus, Kudus,
2000).
Kartodirdjo, Sartono, "Berkunjung ke Banten Satu Abad Yang
Lalu (1879-1888)", makalah disampaikan dalam
Seminar Sejarah Perjuangan KH Wasyid dan Para
Pejuang Banten 1888, Serang 9-18 September 1988;
Syed Hussein al-Attas, Intelektual Masyarakat Berkembang,
(Jakarta : LP3ES, 1988).

Media Cetak
Harian Republika, 18 Februari 1997, Jakarta.

14 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


BORNEO IN THE EYES OF JOSEPH CONRAD1

Suhana binti Sarkawi & Datu Sanib bin Said


Universiti Malaysia Sarawak, Malaysia

Abstract
The adventure and experience of European sailors in the Malay Archipelago in the
19th century narrated through the eyes of Orientalists had evocated the world of
postcolonial literature. Joseph Conrad, a seaman turned a writer had constructed
the identity of the native community in the Malay Archipelago region with
particular reference to people of Patusan, Borneo. Conrad wrote his ‘Lord Jim’ and
‘Almayer’s Folly’ by reading other writers’ works and a brief encounter with the
islands native communities at sea. His perspective about the natives that he read
about and saw had become the constructed reality in his works representing the
whole the native community. With the content analysis method through the
perspective of postcolonial and with the approach of in-depth reading, this paper
presents the views of Conrad of native Borneo society, especially the Malays, and
how their identity was built in ‘Lord Jim’ and ‘Almayer’s Folly’. Hero characters in
the stories had actually lost their integrity in the eyes of their own society.
Keywords: the Others, postcolonial, marginal, superior, identity

1
This paper has been presented for The 22nd International
Conference on Literature, Yogyakarta State University and HISKI,
in Yogjakarta State University, Yogjakarta, Indonesia on 7-9
November 2012.
15 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Introduction
This paper is to present about two Borneo-based
fictions entitled ―Almayer‘s Folly‖ (1895) and ―Lord Jim‖
(1899) by Joseph Conrad (born Józef Teodor Konrad
Korzeniowski ), a Polish-born English novelist who
fictionalised account of British side of Borneo through a
postcolonial discourse. Almayer‘s Folly was written before he
left Africa between the autumn 1889 and the end of winter
1894 after his stay in Congo. In this paper I will use LJ as
reference to Lord Jim and AF for Almayer‘s Folly.
His first novel, AF, had a sentimental touch to Conrad
as it was finally completed when his uncle who was also his
guardian, Tadeusz Brobowski, suddenly passed away. It
portrays Conrad‘s traumatic past experience with his family,
Poland, Russian colonialism and Belgian Congo.2 LJ was at
first published in serials in 1899-1900.3 It contains two parts
of Jim‘s exploration to the Eastern waters. First, it tells us
about Jim‘s life at sea. Second part is where Jim arrives in
Patusan and it is to a failed heroism with ends with Jim‘s
tragic death to redeem his honour.
Conrad used incidents from real life, hearsay and
readings to create the environment and reconstruct the
characters of his novels. He admitted it in his Notes on Life
and Letters:
―Fiction is history, human history, or it is nothing. But
it is also more than that; it stands on firmer ground,
being based on the reality of forms and the
observation of social phenomena, whereas history is
based on documents, and the reading of print and
handwriting — on second-hand impression. Thus

2
Allen, Jerry. 1965. The Sea Years of Joseph Conrad. Methen
& Co. Ltd. London: xix.
3
Lord Jim. http://www.conradfirst.net/view/periodical?id=35
retrived on 16.10.2012 at 10.00 pm.
16 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
fiction is nearer truth. But let that pass. A historian
may be an artist too, and a novelist is a historian, the
preserver, the keeper, the expounder, of human
experience.‖ (Conrad, 1921:17).
His writing was also influenced by other people‘s
works as noted in The Last Twelve Years of Joseph Conrad as
―... over and over again ... Wallace‘s Malay Archipelago was his
favourite bedside companion.‘ (Ridchard Curle, 1928: 120-
121). It was also said that Brookiana and James Brooke‘s
memoirs, journals and letters in his way of becoming the ruler
of a native state had been Conrad‘s references to write LJ and
AF. He constructed the setting and characters to suit the
expectation4 of the Victorian readers of his time of writing. He
also ‗feels no responsibility to remain systematic in a universe
itself.: two universes may exist in the same place in the same
time.‘5 Conrad shifted the reader‘s perspective from seeing the
image construction of the natives or the colonised to the
identification of the colonisers. It shows the conflict of
identity between being the colonised and the coloniser. He
wrote about Almayer, a Dutchman, who lived among the
natives whom he sees as less superior and less charismatic than
him. In AF, Conrad gave the readers the notion that it was
Almayer who was not ‗one of them‘ (the natives) rather than
‗one of us‘ point of view.
AF and LJ were written and shaped not only by
Conrad‘s psychological side but also his life as a seaman. His
contact to the natives was very limited even though his
observation was taken into account to the minimum as
‗Conrad‘s knowing of the East as a seaman posits a special
relationship between himself and the Eastern world which
4
Arendt, Hannah. 1973. The Origins of Totalitarianism
Harcourt, Brace, Jovanovich (New edition). Orlando, USA,
p.125.
5
In Garnet, Letters: 143: as cited in Bonney, W. Wesly. 1980.
Thorns &Arabesques Contexts for Conrad‟s Fiction. The
Johns Hopkins University Press. Baltimore, p. 5.
17 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
provided his source material‖ (Sherry, 1966: 6) in his Eastern
novels. This makes us ponder: Can Conrad‘s three visits to
the East and a few months stay in Eastern land experience
dictate the whole image of the natives represented in his novel
be regarded as the truth? So, in this paperwork we can see how
Conrad marginalised the natives in his narratives. The
exoticness and bewilderness of the Eastern inhabitants that he
built in his writings in ―words, groups of words, words
standing alone...‖ present the very thing you wish to hold up
before the mental vision of your readers. They are ‗as they are‘
exist in words would appeal to his audience imagination and
by orientalist writings like in LJ and AF.
AF and LJ show us how the representation of the
Malays in Borneo is portrayed in various points of view 6:
Marlow- the narrator, Jim and Almayer- the protagonists and
of Nina and Jewel- the females who have ‗the voices‘ in the
novels. The ambivalence feeling has successfully been created
upon the completion of reading both fictions. He ―did not
really know anything about the Malays.‖7 To Conrad, evil and
savageness are equally embedded in both the colonised and
the colonisers.8 Hybridity can be traced in Nina and Jewel but
the Others‘ traits in them win as opposed to the European
traits9 to be discussed in the next section of this paper.

The Malays: a construction of identity


Who are the Malays as one of the Borneo natives
through Conrad‘s eyes? To enable us to see the construction
of the Malay identity in his fictions, comparison between what
had been written by cultural researchers and travellers to
Borneo and The Malay Archipelagoes in their books and
6
S. Koon, Wong. “Pertemuan Kolonial dan Strategi-Strategi
Naratif di dalam Karya-Karya Conrad dan Clifford”, Jurnal
Ilmu Kemanusiaan. Jld/Vol 1. Oktober 1994, p. 31.
7
Ibid., p. 31.
8
Ibid., p. 38.
9
Ibid., p. 37.
18 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
memoirs. The writings of Tom Pires, Baring-Gould, Brookes,
Spenser St John, Swettenham, Hugh Low, and many others
give us the insight of Malays and its society mirroring who and
how the Malays were during their times of observation and
travel. Their writings have generally been acknowledged as
pioneering and important contributors to Malay cultural and
historical studies. Shahruddin Maaruf (2002) noted that
―...colonial writings on the Malays. They had left us valuable
descriptions of culture and institutions of pre-colonial days to
be sure for contemporary researches. We would be poorer
academically or intellectually speaking without the records left
behind by the colonials. In all objectivity, we can even say that
they left us more records of the pre-colonial culture and
society than the indigenous elite themselves.‖10 Perhaps
referring to this statement, Conrad wanted to prove that what
the travelers had documented was true so Conrad imposed the
idea of women in being less respected and therefore silenced
(AF, Chapter VII:45) in his Eastern writings. In the general
views of the Malay-Muslims, women are highly respected and
their pride is protected from the evil men‘s intentions.
Limiting their contacts with the males and non-mahram11 is
the sign of honour and preservation of dignity.
Baring Gould states that [t]he Malay has been very
variously judged. The Malay Pangiran, or noble, was
rapacious, cruel, and often cowardly. But he had a grace of
manner, a courtesy, and hospitality that were pleasing as a
varnish. The evil repute that the Malay has acquired has been
due to his possession of power, and to his unscrupulous use of
it to oppress the aboriginal races. But the Malay out of power

10
Maaruf, Shaharuddin. 2002. Possibilities for Alternative
Discourses in Southeast Asia: Ideology and the Caricature of
Culture, Singapore: National University of Singapore, pp. 4-5.
11
Non-mahram means a legible partner to be married with.
19 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
is by no means an objectionable character12. In LJ and AF, the
Malays make up most of the characters, some Arabs and some
mentions of Chinese. He did not quite really give the Malays
and natives characters names as a symbol of respect. He would
just call them ‗half-castes‘ (AF, Chapter 1:7) (LJ, Chapter2:9),
‗savage‘ (AF, Chapter II:11) (LJ, 41:224), ‗savage-looking
Sumatrane‘ (AF, Chapter IV:25) or merely mentioned the
physical characteristic that he can see and relate it to the
persons. Everytime he sees and encounters a Malay, he will
describe the Malay‘s from the European‘s standard. He
describes and ridicules the person as a physically and mentally
immoral being as low as he could put into words. (AF,
Chapter 1:6) For example, Conrad through a European labels
the Malay pilgrims onboard Patna as ―cattle,' said the German
skipper to his new chief mate‖ (LJ, Chapter 1: 10) and also
when he speaks about the passengers in Patna, the pilgrims to
Mecca by relating them with "She was full of reptiles." (LJ,
Chapter 5: 30)
But in History of Sarawak (Baring, 1909), a different
view from the Ranee of Sarawak was cited about the
characteristic of the Malays of Sarawak as opposed to Conrad‘s
constructed image of the Malays.

Indeed her [Ranee of Sarawak] presence in Sarawak


has always been greatly valued by all, natives and
Europeans alike. … She was the moving spirit in the
promotion of the social and industrial welfare of the
women and children, and was always an honoured and
welcome guest at the social functions of the Malays,
(p.414)

12
Baring-Gould, S., & Bampfylde, C. A. 1909. A History of
Sarawak under its Two White Rajahs, 1839-1908. London: H.
Sotheran & Co., p. 28.
20 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Natives in Patusan, the setting of LJ did not know his
abandonment of responsibility in Patna and this had made it
rather easy for Jim to poise himself as a superior stranger in a
Malay village. They did not aware that his going there to a
rural and less known place by a river was an escapism from his
guilt and to mend his Eurocentric personality among the less
fortunate and troubled native settlement. The presence of
Dain Waris and Dain Marolla as brave and intelligent noble
Malay men was felt and the impact of losing Dain Waris paved
a memorable and tragic ending. The success of Dain Marolla
in his homeland satisfies all Almayer‘s jealousy‘ over his gun
power trade in his royal territory.
In AF, Tom Lingard, a European, living in Sambir,
Sarawak. After Lingard successfully ‗bribed‘ Almayer with
future wealth into marrying his adopted daughter of native
blood, Lingard left him to pursue more hidden treasures
elsewhere. At first, he was reluctant to marry her but after he
thought of the treasure that his father in-law promised him to
inherit, Almayer bitterly agreed with intention to divorce her
as soon as he got it. Lingard actually wanted to make an offer
to sell his adopted daughter to Almayer like a slave (AF,
Chapter 1:8). The daughter was not given a proper personal
name! He found her among the corpses if ‗pirates‘ after a
battle with them in the waters. Lingard assumed that it was his
responsibility to raise this savage child as her pirate‘s family
was killed by him. Unfortunately, the adopted child viewed
the act as a kidnap and imprisonment.
She was treated badly by Lingard (AF, Chapter 2:13).
Maybe to get rid of her for a certain mission of fortune in
another place, he discussed with Almayer and convinced him
to marry her. He promised Almayer his treasures will be
Almayer‘s if he agrees on the arranged marriage (AF, Chapter
1:8). AF and LJ show us how the representation of the
Malays in Borneo is portrayed in various points of view13:

13
S. Koon, Wong. op. cit., p. 31.
21 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Marlow- the narrator, Jim and Almayer- the protagonists and
of Nina and Jewel- the females who have ‗the voices‘ in the
novels. The ambivalence feeling has successfully been created
upon the completion of reading both fictions. He ―did not
really know anything about the Malays.‖14 To Conrad, evil and
savageness are equally embedded in both the colonised and
the colonisers.15 Hybridity can be traced in Nina and Jewel but
the Others‘ traits in them win as opposed to the European
traits.16
Spenser St John17 said the Malays are found on the
whole to be very truthful, faithful to their relatives and
devotedly attached to their children. Remarkably free from
crime and when they commit them it generally about jealousy,
Brave when they well led, they inspire confidence in their
commanders; highly sensetive to dishonour, and tenacious as
to the conduct of their countrymen towards them, remarkably
polite in their manners, they render agreeable all inter-course
with them. Malays are greatly accused of great idleness; in one
sense they deserve it; they do not like continous work, but
they do enough to support themselves and families in comfort,
and real poverty is unknown among them. No relative is
abandoned because he is poor, or because an injury or an
illness may have incapicitated him for work. I like the Malays,
although I must allow that I become weary of having only
them with whom to assosiate 18. In my opinion, the Europeans
sailing and expedition are viewed as exploration and holy
mission to civilise the Eastern inhabitants however if the
Malays do the same, venturing and exploring new routes or

14
Ibid., p. 31.
15
Ibid., p. 38.
16
Ibid., p. 37.
17
St. John, Spenser. 1862. Life in the forests of the Far East.
Kuala Lumpur: Oxford University Press, as cited in G, Baring
& C. A. Bampfylde. 1909. History of Sarawak. London: Henry
Southen Co., p. 29.
18
St. John, Spenser, op. cit.
22 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
territories, they are viewed as ‗lanun‘ or ‗pirates‘. Jim, too,
become quite lofty in Patusan. He impresses the natives and
tries to do things ‗for the people‘s good‘ and gains himself a
‗Lordship‘ (LJ, Chapter 1: 4). Jim is trapped in his new world
in the process to cover his guilt over unwise decision on Patna.
He is there in the mercy of the native leader, Doramin. (LJ,
Chapter 23: 137)
After a visit to Santubong, Sarawak in 1885, Alfred
Russel Wallace agreed that ‗in the character, the Malay is
impassive. He exhibits a reserve, diffidence, and even
bashfulness, which some degree attractive and leads to think
that the ferocious and bloodthristy character imputed to the
race must be exaggerated19 (Chapter 40:442). Conrad
condemns Doramin, his ally in Patusan as well as his former
captor, Rajah Allang.

This is where I was prisoner for three days," he


murmured to me (it was on the occasion of our visit to
the Rajah), while we were making our way slowly
through a kind of awestruck riot of dependants across
Tunku Allang's courtyard. "Filthy place, isn't it? And I
couldn't get anything to eat either, unless I made a row
about it, and then it was only a small plate of rice and
a fried fish not much bigger than a stickleback--
confound them! … .. Some poor villagers had been
waylaid and robbed while on their way to Doramin's
house with a few pieces of gum or beeswax which they
wished to exchange for rice. "It was Doramin who was
a thief," burst out the Rajah Allang. (LJ,
Chapter25:146)

19
Wallace, Alfred Russell. 1862. The Malay Archipelago, Vol.
II. London, Macmillan and Co.
23 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
He detests the ways the natives bow and enslave themselves to
Doramin. If Doramin were an evil person, the Patusanis may
have rebelled and joined Rajah Allang side.

He [Doramin] was the chief of the second power in


Patusan. … intelligent, enterprising, revengeful, but
with a more frank courage than the other Malays, and
restless under oppression. They formed the party
opposed to the Rajah. (LJ, Chapter 26 : 150)

Conrads portrays Jim as a hero through Marlow‘s


narration. The natives then acknowledged the wisdom and
guidance from this foreign man who is not ‗one of them‘ so
truthfully abide his advise not to charge the white pirates by
the name of Gentleman Brown who secretly makes a plot to
attack Dain Waris camp that causes his life and later Jim‘s.

I know that Brown hated Jim at first sight. Whatever


hopes he might have had vanished at once. This was
not the man he had expected to see. He hated him for
this-- … he cursed in his heart the other's youth and
assurance,… (LJ, Chapter 41: 222)

Conrad placed ‗Jim‘ as a pure and accessible. Marlow


and Jim narrate to ‗us‘ what are they doing, thinking and
feeling. This ‗Jim‘ must go through the dirt, stench, and mud-
stained natives to regain the honour after the Patna Affair20
(LJ: Chapter 13: 89). Dain Waris is the only son of Doramin,
the leader of Patusan (LF: Chapter 26:152). Jim is betrayed
not by natives but his fellow Europeans, namely Cornelius
and Gentleman Brown. He lets Brown passes through Patusan

20
A ship carrying 800 Muslim Pilgrims to Mecca that Jim and
the crew abandoned out of fear it may sank. He went to a
public Inquiry for it and was discharged from all his seafaring
position before he went to Patusan.
24 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
as an act of being a gentleman to a person who knows his
secret. He regards Brown as one of his (kind) and this unwise
decision makes him lose his sidekick, Dain Waris in the hands
of Brown‘s band.

Tamb' Itam, disordered, panting, with trembling lips


and wild eyes, stood for a time before her as if a
sudden spell had been laid on him. Then he broke out
very quickly: "They have killed Dain Waris and many
more. (LJ, Chapter 45: 23)

However, in order to show that he is an honourable


white man, he had to choose whether to run for his life as
asked by his mistress, a half-bred Jewel or to face the music (LJ,
Chapter 9:65 ). He had ‗jumped off Patna‘ once and had been
feeling so guilty about it so he decided to see Doramin and die
as a noble man

Eight hundred living people, and they were yelling


after the one dead man to come down and be saved.
'Jump, George! Jump! Oh, jump!' (LJ: Chapter 9: 64)

In my observations, ‗Where there are seas and rivers,


there will be Malays‘. They look for food just enough to be
consumed by their families and if there is extra, they will give
it away as sedekah21 to their neighbours or relatives and rarely
for them to sell it. They like to work by themselves and at their
own convenient time. By this, they are not under anybody‘s
order. This way of life did not agree to what the coloniser
wanted them to become. Working freely and not governed by
the rules of the coloniser had cause them to be seen as living
their lives as pirates – not complying to the Western

21
A gift to (usually) less fortunate as a token of charity or
goodwill, hoping to be blessed and may be receiving helps in
the future if they are bound to any shortcomings.
25 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
standards. In a way, I personally feel think the colonisers have
the oppurtunity to interfere with the Malays‘ world to ‗save‘
them from committing uncivilised act.

Anthony Milner (2011) says being Malay means


―...different things in different places, and at different
times,‖22 and that Malay identity has ―...entailed a fusion of
Western notion of ethnicity and older, local ‗Malay‘ concepts
of community.‖23 In other words, the formulation of Malay
identity is a construct that is based on the changing
circumstances surrounding the Malay communities, and that
there are differences in the meaning of Malay identity in the
different communities identified as Malay. Within this
tradition are also those studies which assert that Malay as a
group does not exist, and that Malay identity is not based on
the group‘s inherent cultural values and traditions, and that
Malay identity is a construct of the British colonialists. These
some how gave them the green light to civilise and modernise
the ‗savage‘ society. We can see in AF, Chapter II, 16: ―You
can‘t make her white. It‘s no use you swearing at me. You
can‘t. She is a good girl for all that.‖
MacIntyre (1967:71) states that the colonial reports
emphasise the inordinate influence of colonial ideologies and
the element of ‗racial superiority‘ that as a whole represents
how the Western generally perceived the indigenous world.
Jim came to Patusan when the village was in the middle of a
conflict with the aristocrats in powers. The village was caught
in the power struggle between Raja Allang and Doramin. Let
me show some contradicting notes describing the Malays.

22
Milner looked at different communities where the term Malay
had been used to identify the communities, for example,
Malays of Patani (South Thailand), Malays in Eastern
Sumatra, Malays in Northeast Sumatra or Riau regions and
Malays on the Peninsula. Anthony Milner, 2008. The Malays.
Oxford: Wiley-Blackwell Publication.
23
Ibid., p. xi.
26 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Generally, it is assumed that Conrad felt guilty of his
betrayal to Poland and his writings in English Language.
Reading his writings can make us feel confused of in what
position actually Conrad was.24 He was seen as ambivalent
towards the subject of his writings – the Malays. The Malays
are stereotyped like the way the blacks are seen by the
Victorian society. His portrayal of the Malays as dependent
and indecisive thus they need to have a leader out from their
circle from a greater knowledge and civilisation to rule. As the
Malays are traditionally benevolent and loyal to their ruler,
they empower the new leader from the West as seen in Lord
Jim. In order to remain in the powerful alliance when chaos
struck their village, the Malays followed and respected the
‗white stranger‘ whom their leader befriended. To endorse
their acceptance of him, he was given a ‗Lordship‘ title ‗Tuan
Jim‘ or ‗Lord Jim‘. (LJ, Chapter 1:5)
In Lord Jim, Marlow25 reported to the Court of
Inquiry26 about his amazement regarding the attitude of the
two Malay helmsmen. He said that ―They were amongst the
natives of all sorts brought over from Aden to give evidence at
the inquiry. One of them... was very young, ... smooth...
yellow,... looked younger‖ (LJ, Chapter 9:58). The image of
youthfulness here suggests immaturity and inferior intelligence
of these witnesses. Marlow added that the only contribution of
the Malays witnesses of the Patna incident was by saying
―nothing‖ and ―thought of nothing‖ (LJ, Chapter 9:58).

24
Bignami, Marialuisa. 1987. “Joseph Conrad, The Malay
Archipelago, and the Decent Hero”, RES New Series. Vol
XXXVIII, No. 150, p. 199.
25
A narrator and a character in Lord Jim.
26
A public Inquiry was held to investigate the Patna Affair in
which the ship white officials including Jim had abandoned at
sea. This ship was in her passage to Mecca to send in about
800 Bugis Muslim pilgrims and commanded by a German.
They reported that the ship had sank in the ocean but it was
discovered later and towed safely, so an inquiry was initiated.
27 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Marlow met Jim at the Inquiry. He introduced him to
27
Stein and brought him to Patusan (LJ, Chapter 19:117).
Starting from here, we can see how Conrad described more on
the characteristics of the Malays or some time the natives of
Patusan and their surrondings. Jim described ―Doramin and
his little motherly witch of a wife, gazing together upon the
land and nursing secretly their dreams of parental ambition;
Tunku Allang, wizened and greatly perplexed; Dain Waris,
intelligent and brave, with his faith in Jim, with his firm
glance and his ironic friendliness; the girl, absorbed in her
frightened, suspicious adoration; Tamb' Itam, surly and
faithful; .. (LJ, Chapter 35:193 ) and ―Patusan establishment,
... four corner-posts of hardwood leaned sadly at different
angles: the principal storeroom... oblong hut, built of mud
and clay; it had at one end a wide door of stout planking,
which so far had not come off the hinges, and in one of the
side walls there was a square aperture, a sort of window, with
three wooden bars‖. (LJ, Chapter 31:174)
The Europeans‘ mission to the Patusan and Sambir
through Conrad‘s Malay Fictions affirms the white man‘s
burden28. It is the ‗burden‘ that they have to carry everywhere
the Europeans set their feet on as a symbol if responsiblity and
noblity. Almayer hopes that Sambir to be taken over by the
British, because to him, it shall be the Europeans ―who knew
how to develop a rich country.‖ (AF, Chapter V:28). The
philoshofical messege behind ‗The White Man Burden‘29 is
showed in:

27
A German adventurer and a businessman who helped Jim to
get a job in Patusan.
28
The supposed duty of the White race to bring education and
Western culture to the non-White inhabitants of their colonies.
Collins English Dictionary. 2003. HarperCollins Publishers.
29
A rhetorical argument to justify the needs of the white men to
colonise and rule the Others and their nation for the benefit of
those seen as „uncivilised‟ and „immoral‟ in their standard
even though, the colonisers do not need to possess the quality
28 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
―This bunch of miserable hovels was the fishing
village that boasted of the white lord's especial
protection, and the two men crossing over were the
old headman and his son-in-law. ...confidently. The
Rajah's people would not leave them alone; there had
been some trouble about a lot of turtles' eggs.‖ (Lord
Jim: Chapter 35)

Conrad portrayed the natives as troublemakers out of


a small issue and these ‗savages‘ like to complain to their
superiors. He showed that these natives needed guidance and
continuous monitoring in order to do things within the law.
The descriptions on the Malay characters in Lord Jim are
juxtaposed. Conrad did not want to give much credit to the
positive image to his Malay characters. Phrases like ‗motherly
witch‘ and ‗ironic friendliness‘ show his recluctance to admit
the good traits possessed by the Others.
In Christopher30 explores the point of view of the
colonizer through the works of a few Victorian writers such as
Joseph Conrad and Rudyard Kipling. The portion reveals the
injustices of the colonizers that are the roots of the traumatic
experiences of the colonized (Jerry Ellen:238). Lane recalls the
questions of Joseph Conrad as to why the colonizers set off to
colonize in the first place. Most importantly, he recalls
Conrad‘s question as to what the colonizers desired from their
colonies, and ―why their unsuccessful search for internal safety
and redemption often turns this wanting into a rigid demand‖

that they want to commission unto the „savages‟ or „the


Others‟. It consists of Eurocentric racism and of Western
aspirations to dominate the eastern world.
30
Lane, C. ‘Almayer’s Defeat: The Trauma of Colonialism in
Conrad’s Early Work’, Novel: A Forum on Fiction 32, Vol. 3
(Summer 1999), pp. 401-28.
29 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
(p.404)31. The answers to these questions are somewhat
explored in the article. The unenviable experiences of the
colonized natives are thus depicted. Lingard and Almayer are
both cunning characters and we can obviously see that in the
novel.

Conclusion
As Bignami said that ‗Conrad never really stated his
attitude to the British Empire,‘ 32 the way he drew up the
images of natives and colonialists was different in both novels
and we can sense the duality in the novelist‘ psychological
mind. In Almayer‘s Folly, the European dies as an opium-
addict and a failed trader (AF, Chapter IV:24). He was unable
to keep up with the dynamic characters like the Arabs who
succeeded in their business; Dain Marolla, a charismatic
leader of a royal blood; Nina, his half-bred and Westernised
daughter who left him for a Malay; and betrayed by his
‗savage‘ wife (AF: Chapter XII: 53). AF, in a larger scale, a
certain extend sympathises the natives and gives the winning
to the Others.
In Lord Jim, the natives are portrayed to be more
idyllic and blindly obedient. The helmsmen of Patna, when
they were asked during the Inquiry trial just doing their work
as usual even though the ship was likely going to sink ‗they
thought of nothing‘. The same response was seen during the
Patna affair itself whereby the pilgrims did not rebel or yell at
the ship officials as they jumped off the ship and abandoned
them (LJ, Chapter 14: 94). They were indifferent and
remained calm in the ship without any attempt to run or
commit other foolish mistakes as the white officials expected
them to be. Throughout the selected fictions, we can see that

31
Joseph Conrad. http://www.nines.org/print_exhibit/385
retrieved on 11 October 2012, 6.50 pm.
32 Bignami, Marialuisa. 1987. op. cit., p. 199.
30 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
the Others‘ representation and the colonisers‘ eyes of
expectations to the native to understand and be orderly in
manners and ways to do business with outside world.

References:

Alatas, Syed. 1977. The Myth of the Lazy Native: A Study of


the Image of the Malays, Filipinos and Javanese from
the 16th to the 20th Century and Its Function in the
Ideology of Colonial Capitalism. London: Cass.
Andaya, Leonard .Y. 2011. Melayu: The Politics, Poetics and
Paradoxes. Singapore. NUS.
Ashcroft, Bill, Gareth Griffiths, & Helen Tiffin. 1989. The
Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-
Colonial Literatures. New York: Routledge.
Bignami, Marialuisa. 1987. ―Joseph Conrad, The Malay
Archipelago, and the Decent Hero‖, RES New Series.
Vol XXXVIII, No. 150, pp.199-210.
Brooke, J., & Mundy, R. 1848. Narrative of events in Borneo
and Celebes, down to the occupation of Labuan: From
the Journal of James Brooke, esq., Rajah of Sarawak
and Governor of Labuan, together with a narrative of
the operations of H.M.S. Iris (2nd ed.). London: John
Murray.
Clifford, Hugh. 1929. Bushwhacking and Other Asiatic Tales
and Memories. New York: Harper & Brothers
Clifford, Hugh. 1966. Stories by Sir Hugh Clifford, (Selected
and introduced by William R. Roff). Kuala Lumpur:
Oxford University Press
Conrad, J. 1895. Almayer‘s Folly. London: Penguin
Conrad, J. 1900. Lord Jim. London: J.M. Dent and Sons Ltd.
Joseph N.F.M. a Campo. 2003. ―Discourse without
Discussion: Representation of Piracy in colonial
‗Indonesia‘‖, Journal of South Asian Conrad Studies,
34 (2) pp.199-238.

31 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Leo Gurko. 1960. ―Under Western Eyes: Conrad and the
Question of ‗Where to?‘‖, College English. Vol. 21,
No. 8, pp. 445-450.
Low, Hugh. 1848. Sarawak, Its Inhabitants and Productions:
Being Notes during a Residency in That Country with
H.H. the Rajah Brooke. London: Richard Bentley.
Maaruf, Shaharuddin. 2002. Possibilities for Alternative
Discourses in Southeast Asia: Ideology and the
Caricature of Culture. Singapore: National University
of Singapore.
MacIntyre, W. D. 1967. The imperial frontier in the tropics,
1865-75. New York: St. Martin‘s Press.
Said, Edward W., 1978. Orientalism. Hammondsworth:
Penguin Books Ltd.
Said, Edward W., 2008. Culture and Inperialism. NY: Vintage
Books.
St. John, Spenser. 1862. Life in the forests of the Far East.
Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Stern, H.H. 1992. Issues and Options in Language Teaching.
Hong Kong: Oxford University Press.
Swettenham, Frank (1920). British Malaya: An Account of the
Origin and Progress of British Influence in Malaya.
Fourth Edition, London: John Lane.
Zawiah Yahya, 1994. Resisting Colonialist Discourse. Bangi:
Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.

32 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


PERPECAHAN KESULTANAN CIREBON

Budi Prasidi Jamil


Pemerhati Sejarah Kebudayaan Islam

Abstract
Cirebon Sultanate was the first Islamic sultanate in West Java. At least a mention
of the Sultanate of Syarif Hidayatullah rule began, around 1479 AD Although, in
many sources, ancient manuscripts, that time had not been dubbed princes sultan,
but still Panembahan or prince. In giving the title sultan to the kings or rulers do
when the new Cirebon Cirebon sultanate was divided into two, namely Kasepuhan
and Kanoman (circa 1677). The division of the two powers is also marks the
beginning of the collapse of the Sultanate of Cirebon. And in 1700, the empire into
four powers. Kasepuhan and Kanoman addition, there is also the Sultanate under
Prince Arya Kacirebonan Cirebon, and Kaprabonan (Panembahan) under Prince
Wangsakerta.
Keywords: Syarif Hidayatullah, VOC, Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan,
Kaprabonan

Abstraksi
Kesultanan Cirebon merupakan Kesultanan Islam pertama di Jawa Barat.
Penyebutan Kesultanan setidaknya dimulai sejak Syarif Hidayatullah
memerintah, sekitar 1479 M. Meski, dalam berbagai sumber naskah kuno,
waktu itu penguasa-penguasanya belum digelari sultan, tetapi masih
panembahan atau pangeran. Sementara pemberian gelar sultan kepada
raja-raja atau penguasa Cirebon baru dilakukan ketika Cirebon dibagi atas
dua kesultanan, yaitu Kasepuhan dan Kanoman (sekitar tahun 1677).
Pembagian dua kekuasaan tersebut sekaligus menandai awal keruntuhan
Kesultanan Cirebon. Dan pada tahun 1700, kesultanan menjadi empat
kekuasaan. Selain Kasepuhan dan Kanoman, terdapat juga Kesultanan
Kacirebonan di bawah Pangeran Arya Cirebon, dan Kaprabonan
(Panembahan) di bawah Pangeran Wangsakerta.
Kata kunci: Syarif Hidayatullah, VOC, Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan,
Kaprabonan

33 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Pertumbuhan Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam
ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan
merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan
pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa
yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa
Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan “jembatan”
antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu
kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak
didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Dilihat dari sudut etimologi istilah Cirebon berasal
dari dua kata, caruban dan ci+rebon. Caruban yang berubah
menjadi carbon, lalu cerbon, dan akhirnya menjadi cirebon
mengandung makna campuran; yaitu tempat yang didiami
oleh penduduk dari berbagai bangsa, agama, bahasa, aksara,
dan pekerjaan. Ci+rebon berasal dari cai dalam bahasa Sunda
berarti air dan rebon berarti udang berukuran kecil sebagai
bahan dasar pembuat terasi.1
Cirebon awalnya dikenal dengan sebutan Tegal Alang-
Alang atau Kebon Pesisir, kemudian berkembang menjadi
pedukuhan (desa). Lokasi ini mulai menjadi ibukota kerajaan
Islam pada perempat akhir abad 15. Kepala desa (kuwu)
pertama adalah Ki Gedeng Alang-Alang (paman dari Nyai
Indang Geulis). Setelah Ki Gedeng Alang-Alang meninggal, Ki
Samadullah diangkat menggantikan Ki Gedeng Alang-Alang
sebagai kuwu (kepala desa) dan bergelar Pangeran
Cakrabuana.2
Pada awal abad ke 15, Cirebon masih di bawah
kekuasaan Pakuan Pajajaran yang dipimpin oleh Prabu
Siliwangi. Pangeran Walangsungsang dijadikan Kuwu Cirebon
menggantikan Ki Gedeng Alang-Alang menjadi Kuwu

1
The Toyota Foundation dan Hj. Patimah, ENSIKLOPEDIA SUNDA
Alam, Manusia, dan Budaya TERMASUK BUDAYA CIREBON DAN BETAWI.
Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 2000. Hal, 166.
2
Lubis, Nina, dkk, Sejarah dan Perkembangan Kota-kota Lama di
Jawa Barat. Bandung: Alqaprint Jatinangor, Juli 2000. Hal, 29.
34 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Cirebon dan diberikan gelar oleh ayahnya yaitu Sri Mangana.
Lalu Pangeran Cakrabuana dan Nyai Lara Santang
melaksanakan ibadah haji ke Mekkah atas perintah gurunya,
Syaikh Nur Jati. Sepulang dari Mekkah, beliau memindahkan
pusat pemerintahannya ke Lemahwungkuk. Di sanalah
kemudian didirikan keraton baru yang dinamakan keraton
Pakungwati.3
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada
Kesultanan Cirebon dimulai ketika dipimpin oleh Sunan
Gunung Jati. Ia juga kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti
raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta
penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka,
Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Sunan
Gunung Jati memerintah Cirebon menggantikan Pangeran
Cakrabuana sejak tahun 1479 sampai dengan wafatanya pada
tahun 1568 M. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan
Gunung Jati ialah Pangeran Pasarean, namun Pangeran
Pasarean meninggal terlebih dahulu pada tahun 1552 M.
Selain Pangeran Pasarean, pengganti Sunan Gunung Jati
adalah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean,
cucu Sunan Gunung Jati. Namun,
Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada
tahun 1565. Fatahillah kemudian naik tahta, Fatahillah
menduduki tahta kesultanan Cirebon hanya berlangsung dua
tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun
setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan
berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung
Jinem Astana Gunung Sembung.Sepeninggal Fatahillah, oleh
karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, tahta
kerajaan jatuh kepada Pangeran Emas putra tertua Pangeran
Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas
kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah
Cirebon selama kurang lebih 79 tahun hingga tahun 1649.

3
Van Hoeve, PT. Ichtiar Baru, Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1994. Hal, 272-273.
35 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Terpecahnya kesultanan Cirebon menjadi empat
kesultanan, yaitu Kasepuhan, Kanoman, Kaprabonan, dan
Kacirebonan dimulai setelah wafatnya Pangeran Girilaya
(1662 M). Perpecahan pertama terjadi pada tahun 1678
Sultan Ageng Tirtayasa (Sultan Banten) setelah berhasil
membebaskan kedua putra Panembahan Girilaya melalui
Raden Trunojoyo, kemudian mengangkat Pangeran
Martawidjaya (Pangeran Samsudin) sebagai Sultan
Sepuh/Kasepuhan yang pertama, Pangeran Kertawidjaya
(Pangeran Badrudin/Komarudin) menjadi Sutlan
Anom/Kanoman yang pertama, sedangkan Pangeran
Wangsakerta menjadi Panembahan Cirebon.4
Keadaan ini bertambah parah ketika Cirebon berada
di bawah kekuasaan VOC, dimulai dengan perjanjian yang
terjadi pada 7 Januari 1681 yang menandakan bahwa Cirebon
bersahabat dengan VOC. Terjadi serangkain perjanjian antara
para penguasa Cirebon dengan VOC yang dimulai pada tahun
1681, 1685, 1688, dan 1699. Maka secara otomatis sejak
perjanjian pertama pada tahun 1681, secara politik dan
ekonomi Cirebon dikuasai oleh VOC.
Perpecahan kedua dimulai ketika Sultan Anom I
meninggal dunia pada tahun 1723, beliau mempunyai dua
orang putra. Putra pertamanya menjadi pengganti ayahnya
sebagai Sultan Anom II, yaitu Sultan Anom Muhammad
Chadiruddin. Putra keduanya yaitu Pangeran Raja Adipati
Kaprabonan mendirikan keraton Kaprabonan dengan gelar
Rama Guru Pangeran Raja Adipati Kaprabonan.5 Ketika
wafatanya Sultan Anom IV atau Sultan Muhammad
Khaerudin (1798-1803), putranya yaitu Pangeran Raja
Kanoman mendirikan keraton baru yaitu Kacirebonan.
Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh

4
Tim Penulis ISDN, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur
Sutera, Jakarta: Proyek ISDN Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat
Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1998. Hal, 38-40.
5
Sulendraningrat, P. S., Sejarah Cirebon, Jakarta: Balai Pustaka, 1985,
hal, 75.
36 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit
(Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia
Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi
Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan
bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar
sultan, cukup dengan gelar pangeran.6 Sedangkan tahta Sultan
Anom V dijabat oleh saudaranya yaitu Sultan Anom Abu
Soleh Imamuddin. Sejak saat itu di Kesultanan Cirebon
bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan,
pecahan dari Kesultanan Kanoman.
Pada tanggal 2 Februari 1809, Pemerintah Belanda
mengeluarkan kembali peraturan khusus mengenai jabatan
sultan-sultan Cirebon. Dalam peraturan yang dikeluarkan,
Daendels menghapus kekuasaaan politik kesultanan
Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan, serta ketiga sultan
dijadikan pegawai pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Ketika Inggris menggantika kedudukan Belanda di Nusantara,
Thomas Stamford Raffles yang menjadi Gubernur Jenderal
mengeluarkan peraturan pada tahun 1815 mengenai sultan-
sultan Cirebon, kekuasaan kesultanan Cirebon dihapus oleh
Raffles, dan semenjak itu sultan-sultan Cirebon hanya sebagai
pemangku adat.

Terpecahnya Kesultanan Cirebon


a. Perpecahan I (Kasepuhan dan Kanoman)
Dengan wafatnya Panembahan Girilaya tahun 1662
M, maka terjadi kekosongan penguasa. Sultan Ageng Tirtayasa
segera menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai pengganti
Panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten.
Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan pasukan dan
kapal perang untuk membantu Raden Trunojoyo, yang saat
itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram. Raden
Trunojoyo dan Banten mempunyai musuh yang sama, yaitu

6
Sunardjo, R. H. Unang, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah
Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809, Bandung: Tarsito, 1983, hal. 164.
37 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Mataram dan VOC.7 Di sini terlihat kelemahan politik dan
militer Cirebon. Secara politik, mereka tak mampu untuk
berdiplomasi kepada pihak Mataram untuk membebaskan
kedua pangeran Cirebon. Secara militer, mereka tak mampu
untuk membebaskan kedua putra dari Panembahan Girilaya
yang masih berada di Mataram. Oleh karena mereka tak
mampu, maka mereka meminta bantuan kepada pihak Banten
yang saat itu dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan
Ageng Tirtayasa sendiri memang sedang membantu Raden
Trunojoyo yang sedang memerangi Mataram, bantuan itu
diberikan dalam bentuk pasukan, kapal, dan meriam.
Raden Trunojoyo adalah orang Madura, ayahnya
adalah Raden Demang Malaya bergelar Pangeran Sampang
yang pernah memerintah daerah Madura. Raden Trunojoyo
merasa sakit hati atas kematian ayahnya yang dibunuh oleh
Susuhunan Amangkurat di Mataram pada tahun 1656, maka
ia mulai mengumpulkan kekuatan untuk membalas sakit
hatinya. Setelah bersekutu dengan Raden Kajoran
(mertuanya), Pangeran Dipati Anom (putra mahkota
Mataram). Kemudian ia bersekutu dengan orang-orang
Makassar yang dipimpin oleh Kraeng Galesong yang
bermukim di Jawa Timur. Selain itu, ia meminta bantuan
kepada Sultan Ageng Tirtayasa.
Tahun 1677, Raden Trunojoyo bekerja sama dengan
Sultan Agung Tirtayasa untuk menyerang Mataram. Kerja
sama itu diwujudkan dengan bantuan Sultan Ageng Tirtayasa
kepada Raden Trunojoyo dengan mengirimkan bantuan
perlengkapan perang.8 Akibat dari serangan itu, Raden
Trunojoyo berhasil menduduki keraton Mataram, dan juga
kedua putra Panembahan Girilaya yang ditahan akhirnya
dapat dibebaskan dan dibawa ke Kediri, dari Kediri keduanya
7
Lubis, Nina H.,, Banten Dalam Pergumulan Sejarah : Sultan, Ulama,
Jawara, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2003. Hal, 51.
8
Edi. S, Ekadjati & Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, Bandung: Kerjasama Pemerintah
Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat dan Fakultas Sastra Universitas UNPAD,
1992. Hal, 131.
38 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
dibawa ke Banten. Tahun 1678 kedua Pangeran Cirebon
kembali ke Cirebon untuk kemudian dinobatkan sebagai
penguasa Kesultanan Cirebon. Pangeran Martawijaya sebagai
Sultan Sepuh atau Kasepuhan yang pertama dengan gelar
Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin,
Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Anom atau Kanoman
yang pertama dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi
Muhammad Badrudin, dan Pangeran Wangsakerta diangkat
menjadi asisten dari Sultan Sepuh sebagai Panembahan
Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad
Nasarudin atau Panembahan Tohpati. 9
Maka sejak dinobatkannya Pangeran Martawijaya
sebagai Sultan Sepuh pertama dan Pangeran Kertawijaya
sebagai Sultan Anom pertama, Cirebon terpecah menjadi dua
kesultanan yaitu Kasepuhan dan Kanoman. Kesultanan
Kasepuhan dan Kanoman mempunyai keraton, adapun
Pangeran Wangsakerta jabatannya hanya sebagai Panembahan
saja atau pembantu dari sultan Sepuh. Keraton Kasepuhan
sendiri bertempat di keraton Pakungwati sedangkan keraton
Kanoman bertempat di bekas rumah Pangeran Cakrabuana
yang dibangun pada tahun 1675 M (daerah Lemah
Wungkuk), dan Panembahan Tohpati bertempat tinggal di
keraton Kasepuhan.10 Di sisi lain, sejak Pangeran Wangsakerta
diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan pimpinan di
Cirebon lalu dibebaskannya sampai diangkatnya Pangeran
Martawidjaya sebagai sultan Sepuh, Pangeran Kertawidjaya
sebagai sultan Anom, dan Pangeran Wangsakerta sebagai
Panembahan Tohpati maka kekuasaan Banten mulai masuk
ke Cirebon. Namun hal ini tidak berlangsung lama, hanya
berlangsung sampai tahun 1681 ketika Cirebon menjalin
hubungan dan kerja sama dengan VOC.
Beralihnya kekuasaan Banten di Cirebon kepada VOC
adalah hasil politik adu domba yang dilancarkan VOC kepada
9
Sulendraningrat, P.S., Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka,1985.
Hal, 73.
10
Sulendraningrat, P.S.,, Sejarah Cirebon, hal, 73.
39 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Sultan Haji, anak Sultan Ageng Tirtayasa. VOC mendekati
dan menghasut Sultan Haji, Sultan Haji termakan hasutan
VOC sehingga Sultan Haji khawatir jika tahta sultan akan
diserahkan ayahnya kepada saudaranya yaitu Pangeran Arya
Purbaya. Kekhawatiran Sultan Haji pada akhirnya meminta
bantuan kepada VOC untuk merebut tahta kesultanan
Banten dari tangan ayahnya. VOC bersedia membantu Sultan
Haji dengan empat syarat, yaitu : Pertama, Banten harus
menyerahkan Cirebon kepada VOC, kedua monopoli lada di
Banten dipegang VOC dan harus menyingkirkan Persia,
India, dan Cina. Ketiga, Banten harus membayar 600.000
ringgit apabila ingkar janji, keempat pasukan Banten yang
menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan segera
ditarik kembali.11 Syarat ini diterima oleh Sultan Haji, VOC
membantu dengan mengerahkan pasukan untuk memerangi
Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya hingga akhirnya
Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap pada tahun 1683 dan
dipenjara di Batavia sampai wafat pada tahun 1692 M.12
Sejak beralihnya kekuasaan Banten kepada VOC di
Cirebon, VOC mulai memainkan perannya untuk menguasai
Cirebon secara politik dan ekonomi. Secara politik, mereka
mendekati sultan-sultan Cirebon untuk memudahkan mereka
menguasai perdagangan dan jalannya perekonomian di
Cirebon. Sampai pada akhir abad ketujuh belas, terjadi
sampai empat kali pembuatan perjanjian dengan VOC, yaitu
tanggal 7 Januari 1681, 4 Desember 1685, 8 September 1688,
dan 4 Agustus 1699.13

b. Perpecahan II (Kacirebonan dan Kaprabonan)

11
Lubis, Nina H.,, Banten Dalam Pergumulan Sejarah : Sultan, Ulama,
Jawara, hal. 52.
12
Lubis, Nina H.,, Banten Dalam Pergumulan Sejarah : Sultan, Ulama,
Jawara, hal. 54.
13
Ekadjati, Edi S., & Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, hal. 74.
40 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Ketika Sultan Anom I meninggal dunia pada tahun
1723, beliau mempunyai dua orang putra. Putra pertamanya
menjadi pengganti ayahnya sebagai Sultan Anom II, yaitu
Sultan Anom Muhammad Chadiruddin. Putra keduanya yaitu
Pangeran Raja Adipati Kaprabonan mendirikan keraton
Kaprabonan dengan gelar Rama Guru Pangeran Raja Adipati
Kaprabonan.14 Keraton Kaprabonan ini tidak seperti
Kasepuhan dan Kanoman, keraton Kaprabonan adalah
tempat belajarnya para intelektual keraton, cita-cita beliau
mendirikan keraton Kaprabonan adalah mengembangkan
agama Islam sesuai perjuangan para Waliyullah terdahulu,
terutama karuhunnya Sunan Gunung Jati. dari keraton
Kaprabonan inilah berkembang tarekat Syattariyah di
lingkungan keraton Cirebon.
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya
berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan
Anom IV atau Sultan Muhammad Khaerudin (1798-1803).
Setelah Sultan Anom IV wafat, Putra Mahkota yaitu Pangeran
Raja Kanoman Anom Madenda yang seharusnya
menggantikan tahta diasingkan oleh Belanda ke Ambon
karena dianggap sebagai pembangkang dan membrontak.
Ketika kembali dari pengasingan, tahta kesultanan sudah
diduduki oleh Pangeran Abu Soleh Imamuddin. Kemudian
Pangeran Raja Kanoman ingin memisahkan diri membangun
kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.
Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh
pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit
(Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia
Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi
Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan
bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar
sultan, cukup dengan gelar pangeran.15 Sejak saat itu di
Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu
14
Sulendraningrat, P.S.,, Sejarah Cirebon, hal, 75.
15
Sunardjo, R.H. Unang,, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah
Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809, Bandung: Tarsito, 1983 hal. 164.
41 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman.
Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan
Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abu Soleh
Imamuddin, saudara Pangeran Raja Kanoman.16
Dengan terbaginya kesultanan Cirebon menjadi
kesultanan Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan, tentunya
juga terjadi perubahan dalam penentuan wilayah. Namun
tidak ada informasi yang jelas mengenai pembagian wilayah
antara tiga kesultanan tersebut. Melihat situasi saat itu,
pembagian wilayah secara definitif belum dilakukan. Jadi
wilayah kesultanan Cirebon yang ditinggalkan oleh
Panembahan Girilaya dilakukan secara bersama.
Ketika VOC mengalami kebangkrutan pada tahun
1799, pemerintah kerajaan Belanda segera mengambil alih
sehingga sejak tahun 1799 Nusantara di bawah kekuasaan
Pemerintah Kolonial Kerajaan Hindia Belanda, bukan lagi
sebuah kongsi dagang. Ketika Daendels menjadi Gubernur
Jenderal di Nusantara, tahun 1808 Daendels membagi pulau
Jawa menjadi tiga bagian. Yaitu :17
1. Batavia dan Jascatrasche Preanger-regentstschappen
(Tangerang, Karawang, Bogor, Cianjur, Sumedang,
Bandung, dan Parakanmuncung).
2. Kesultanan Cirebon dan Cheribonsche Preanger
Regentschappen (Limbangan, Sukapura, Galuh).
3. Pesisir Utara Pulau Jawa bagian Timur (Noord
Oostkust) dan wilayah ujung timur Pulau Jawa
(Oosthoek).
Dari ketiga pembagian tersebut, ada dua wilayah yang
dijadikan karesidenan, yaitu Batavia dan Kesultanan Cirebon.
Karesidenan dikepalai oleh seorang Residen bangsa Belanda,
dan memiliki pasukan pengaman sendiri di bawah komando

16
Sunardjo, R.H. Unang,, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah
Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809, hal. 164.
17
Tim Penulis ISDN, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur
Sutera, Jakarta: Proyek ISDN Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat
Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998, hal. 13-14.
42 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
residen. Pada tanggal 2 Februari 1809, Pemerintah Belanda
mengeluarkan kembali peraturan khusus mengenai pembagian
wilayah kekuasaan di Cirebon. Wilayah Cirebon dibagi
menjadi dua bagian, yaitu:
1. Bagian utara disebut wilayah kesultanan Cirebon
yang meliputi daerah Kuningan, Cirebon,
Indramayu, dan Gebang.
2. Bagian selatan yang disebut dengan Priangan
meliputi Limbangan, Sukapura, Galuh.
Sebulan kemudian (13 Maret 1809), diatur pembagian
wilayah kekuasaan. Bagian utara dipimpin oleh tiga orang
sultan yang sudah menjadi pegawai pemerintah kolonial
Belanda (Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan). Wilayah
Kasepuhan yaitu bagian selatan yang daerahnya meliputi
Kabupaten Kuningan, dan Cirebon. Bagian tengah menjadi
daerah Kanoman (sekarang Majalengka), dan Kacirebonan
wilayahnya adalah Indramayu. 18
Selain pembagian wilayah, Daendels juga mengatur
jabatan ketiga sultan Cirebon. Dalam peraturan yang
dikeluarkan, Daendels menghapus kekuasaaan politik
kesultanan Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan, serta
ketiga sultan dijadikan pegawai pemerintah Kolonial Hindia
Belanda. Fungsi sebagai kepala pemerintahan digantikan oleh
bupati yang diangkat oleh Gubernur Jenderal.19
Ketika Inggris menggantikan kedudukan Belanda pada
Oktober 1811, Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah
adalah Thomas Stamford Raffles. Ketika kekuasaan Inggris
hampir berakhir pada tahun 1815, Raffles memberikan ketiga
sultan Cirebon pensiun. Sejak saat itu sultan-sultan Cirebon
untuk selanjutnya hanya berstatus sosial sebagai “Pemangku
Adat”, pemerintah Belanda pun yang kembali menggantikan
Inggris tidak merubah keputusan yang telah dibuat dan

18
Tim Penulis ISDN, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur
Sutera, hal. 14.
19
Sunardjo, R.H. Unang,, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah
Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809, hal. 163.
43 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
ditetapkan oleh Raffles tentang jabatan sultan-sultan
Cirebon.20

Dampak Perpecahan Kesultanan Cirebon


Ekonomi
Dari letaknya, Cirebon mempunyai letak geografis
yang menguntungkan dalam hal perekonomian. Cirebon
terletak di pesisir utara pulau Jawa, juga merupakan mata
rantai dalam jalur perdagangan internasional di kepulauan
Nusantara dan perairan Asia. Pada awalnya Cirebon
mempunyai tiga pelabuhan, Muara Jati, Japura, dan
Singapura. Ketiganya berada dalam kekuasaan kerajaan Galuh
sebelum Cirebon berdiri sebagai sebuah kesultanan yang
berdaulat dan berdiri sendiri. 21
Berawal dari sebuah desa, Cirebon berkembang
menjadi ibukota kesultanan yang ekonominya ditopang
dengan perdagangan. Lambat laun situasi Cirebon menjadi
ramai akibat adanya migrasi penduduk dari luar Cirebon,
pada mulanya penduduk asli Cirebon adalah orang sunda
kemudian bercampur dengan orang Jawa, Melayu, Cina dan
Arab. Sebagian para pendatang yang membeli produksi
Cirebon (terasi, petis, garam, beras dan palawija) menetap di
Cirebon.
Kegiatan perdagangan dan perekonomian terus
berkembang termasuk pertanian. Para pedagang Cina Islam
dan Cina yang datang ke Cirebon, kegiatan perdagangannya
masih dalam tahap jual-beli dengan cara barter. Produksi
pertanian dari daerah pedalaman Cirebon, barang-barang
kerajinan dan barang dagangan yang lain ikut meramaikan
perdagangan. Sejak abad ke 15, Cirebon menjadi produsen
beras di Jawa. Selain beras, Cirebon juga menghasilkan lada,
20
Sunardjo, R.H. Unang,, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah
Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809, hal. 163.
21
Ekadjati, Edi S., & Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, Bandung: Kerjasama Pemerintah
Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat dan Fakultas Sastra Universitas UNPAD,
1992, hal. 44.
44 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
kayu atau papan, garam, ikan asin, terasi, dan palawija. 22 Abad
ke 17, perekonomian Cirebon terus berkembang dengan
bertambahnya aktivitas perdagangan terlebih setelah
dibukanya pelabuhan baru di samping pelabuhan Muara Jati.
Kondisi ini dikarenakan keamanan dalam negeri terjamin,
sehingga pembangunan sarana dan prasarana perekonomian
dapat dilaksanakan, antara lain pasar.23
Aktivitas perdagangan Cirebon pada tahun 1678
sampai 1681 sangat ramai. Barang-barang Cirebon yang
diekspor ke kota-kota pelabuhan lain (khususnya Batavia)
adalah beras, padi, lada, papan, gula hitam dan merah,
tembakau, minyak kelapa, kacang hitam, ikan, garam, bawang
merah dan putih, kelapa, buah pinang, kapuk/kapas, sapi,
kambing, kulit kerbau, kulit rusa, kendi, dan rotan.
Sedangkan barang-barang yang masuk ke Cirebon antara lain,
pakaian, candu, arak, laksa, gula putih, porselin, lilin,
tembaga, besi tua, perunggu Jepang, panic besi, dan akar
cina.24
Perekonomian Cirebon mulai goyah dan merosot
terjadi pada perempat akhir abad ketujuh belas, hal ini karena
peristiwa-peristiwa yang langsung mengganggu jalannya roda
pemerintahan terutama campur tangan VOC dalam
pemerintaha para sultan Cirebon. Peristiwa itu diawali dengan
perpecahan yang terjadi di kesultanan Cirebon, Cirebon
terpecah menjadi Kasepuhan, Kanoman, Kaprabonan, dan
Kacirebonan. Lalu masuknya pengaruh VOC ditandai dengan
perjanjian yang berlangsung antara para sultan Cirebon dan
VOC.
Perjanjian yang terjadi pada tanggal 7 Januari 1681
(copy dari asrip perjanjian ada di lampiran), memuat
persyaratan yang menguntungkan pihak VOC khususnya
22
Ekadjati, Edi S., & Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, hal. 152.
23
Ekadjati, Edi S., & Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, hal. 153.
24
Ekadjati, Edi S., & Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, hal. 155.
45 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
dalam hal perekonomian. Di antara isi dari perjanjian tersebut
yang menyangkut perekonomian adalah :25
a. Ditentukannya hubungan ekonomi antara VOC
dan Cirebon.
b. VOC mendapat hak monopoli eskpor beras, hak
monopoli atas impor candu, pakaian, dan kapas
serta gula, kayu, dan produk lain dari Cirebon.
c. VOC berhak membangun benteng di Cirebon.
d. Perdagangan orang-orang pribumi dibatasi dan
diawasi dengan ketat.
e. Para pedagang pribumi harus mendapat izin dari
VOC.
Perjanjian di atas adalah bentuk penerapan dan modus
dari strategi VOC politik VOC yang sebelumnya berhasil
melumpuhkan Mataram maka sasaran VOC selanjutnya
adalah Cirebon. Bagi Cirebon, perjanjian tersebut adalah awal
dari merosotnya kegiatan ekonomi Cirebon dan jatuhnya
kedaulatan Cirebon. Berarti sejak tahun 1681, bidang
perekonomian utama yaitu perdagangan, baik ekspor dan
impor jatuh ke tangan VOC. Di sisi lain, perekonomian
orang-orang pribumi dalam hal perdagangan mengalami
kemerosotan dibandingkan dengan sebelumnya.26 Dalam
setiap perjanjian, VOC bertindak sebagai saksi sekaligus
penengah dan peraih untung.

Politik
Secara politik, goyahnya kedaulatan Cirebon sebagai
sebuah kesultanan yang berdiri tegak sudah terasa sejak
wafatnya Panembahan Ratu I. Ketika Panembahan Ratu I
menjadi sultan, secara ekonomi maupun politik Cirebon
masih stabil karena usaha Panembahan Ratu I yang selalu
menjaga kedamaian dan persahabatan dengan Banten dan

25
Ekadjati, Edi S., & Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, hal. 160.
26
Ekadjati, Edi S., & Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, hal. 161.
46 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Mataram serta VOC. Panembahan Ratu I pun berusaha
semaksimal mungkin menjadi pihak yang netral dan penengah
antara Banten dan Mataram, Panembahan Ratu I menyadari
jika terjadi peperangan antara Banten dan Mataram maka
Cirebon akan terkena dampak dari peperangan tersebut baik
secara ekonomi dan politik. Maka untuk mencegah hal itu
terjadi, beliau berusaha sekeras mungkin untuk menjaga
kestabilan roda pemerintah, dan ekonomi kesultanan
Cirebon.
Di sisi lain, Panembahan Ratu I mempunyai nilai
lebih di mata Sultan Agung Mataram. Nilai lebih itu adalah
Sultan Agung Mataram sangat menghormati Panembahan
Ratu I, beliau dianggap guru dan keramat oleh Sultan Agung
Mataram. Penghormatan Sultan Agung Mataram ini
dibuktikan ketika Sultan Agung Mataram masih menjadi
Senapati Mataram dengan membangun tembok di sekeliling
kota Cirebon pada tahun 1590 M, lalu diundangnya
Panembahan Ratu I sebagai bentuk penghormatan terhadap
guru dan karena Cirebon lebih sepuh ketika penobatan Raden
Mas Jolang sebagai Sultan Agung Mataram .27
Hal ini berubah ketika anak Raden Mas Jolang
menggantikan ayahnya menjadi penguasa Mataram dengan
gelar Susuhunan Amangkurat I tahun 1645, secara perlahan
Susuhunan Amangkurat mulai merasuki kekuasaan Cirebon.
Namun gelagat Susuhunan Amangkurat ingin menguasai
Cierbon belum terlalu terlihat, karena Panembahan Ratu I
saat itu masih hidup dan memimpin Cirebon. Ketika
Panembahan Ratu I wafat pada tahun 1649, Panembahan
Girilaya menggantikan menjadi sultan.
Saat Panembahan Girilaya menjadi sultan, Susuhunan
Amangkurat mulai melancarkan rencananya untuk menguasai
Cirebon. Berawal dari tipuan yang dilakukan Tumenggung
Singgaranu atas perintah Susuhunan Amangkurat,

27
Ekadjati, Edi S., & Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, hal, 107.
47 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Panembahan Girilaya dirayu agar mau menyerang Banten.
Sebelum Panembahan Ratu I wafat, beliau sudah berpesan
kepada Panembahan Girilaya agar tidak ikut campur apabila
Mataram ingin menyerang Banten. Namun pesan kakeknya
dilupakan oleh Panembahan Girilaya, beliau bersedia dan
menyanggupi permintaan Susuhunan Amangkurat untuk
menyerang Banten. Maka akibatnya terjadilah apa yang
disebut dengan Pagarage atau Pacarebonan, yaitu penyerangan
pasukan Cirebon ke Banten. Karena penyerangan ini gagal
maka ditahanlah Panembahan Girilaya dan kedua putranya di
Mataram selama 12 tahun sampai 1677 (Panembahan Girilaya
wafat 1662).
Maka sejak Panembahan Girilaya memegang pimpinan
Cirebon, Cirebon secara kedaulatan sudah jatuh meski
memang Cirebon tetap berdiri sebagi sebuah kesultanan
bukan sebagai daerah di bawah kekuasaan Mataram. Namun
secara politik, Cirebon sudah lumpuh dengan mudahnya
penguasa Cirebon dijadikan alat oleh Mataram untuk
menguasai Banten, serta lemahnya politik Cirebon ketika
Panembahan Girilaya ditahan oleh Mataram sampai akhir
hayatnya tanpa ada perlawanan. Walaupun ada Pangeran
Wangsakerta yang menjalankan roda pemerintahan di
Cirebon, namun beliau tidak dapat berbuat banyak dan
leluasa karena selalu diawasi dengan ketat oleh orang-orang
suruhan Susuhunan Amangkurat.28
Ketika Panembahan Girilaya wafat pada tahun 1662
M, Sultan Ageng Tirtayasa langsung menobatkan Pangeran
Wangsakerta sebagai pejabat sementara. Lalu dikirimlah
bantuan untuk Raden Trunojoyo membebaskan kedua
saudara Pangeran Wangsakerta di Mataram, setelah bebas
keduanya dinobatkan menjadi sultan dan Pangeran
Wangsakerta menjadi panembahan. Di sini pun terlihat
bahwa politik Cirebon bertambah lemah dengan mudahnya
28
Tim Penulis ISDN, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur
Sutera, Jakarta: Proyek ISDN Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat
Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998, hal. 37.
48 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
dipecah menjadi empat kesultanan (Kasepuhan dan
Kanoman, Kaprabonan dan Kacirebonan setelah VOC). Jika
politik Cirebon kuat, maka ketiga putra Panembahan Girilaya
akan menolak dipecahnya kesultanan Cirebon menjadi dua
oleh Sultan Ageng Tirtayasa meski mereka sudah ditolong
oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Ageng Tirtayasa sangat
ingin menjadikan Cirebon sebagai bawahannya, di sisi lain
dengan memecah Cirebon menjadi Kasepuhan dan Kanoman
membuat Cirebon tidak bisa mengumpulkan kekuatan baik
secara moril, dan politik. Justru dengan dipecahnya
kesultanan Cirebon menjadi kesultanan Kasepuhan dan
Kanoman akan menimbulkan masalah-masalah baru, yaitu
perselisihan di antara tiga penguasa ini karena masing-masing
menganggap dirinya yang paling berhak menjadi pimpinan
tertinggi kesultanan Cirebon.

Kesimpulan
Terpecahnya Kesultanan Cirebon menjadi Kesultanan
Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan mengawali mulai
merosotnya eksisitensi Kesultanan Cirebon yang pada masa
Sunan Gunung Jati mengalami masa kejayaannya. Hal ini
disebabkan karena kalangan kesultanan Cirebon tidak lagi
mempunyai tokoh kuat seperti Pangeran Cakrabuana, Sunan
Gunung Jati, Tubagus Pasai atau Fatahillah, dan Panembahan
Ratu I yang dalam pemerintahan dan politik mampu
mengatasi permasalahan dan kemelut yang sering terjadi di
lingkungan keraton Cirebon. Di sisi lain, kesultanan Cirebon
tidak memiliki angkatan militer yang kuat sehingga dengan
mudah dirongrong oleh kekuatan dari pihak luar (Banten,
Mataram, dan VOC).
Secara perlahan tapi pasti kekuasaan sultan-sultan
Cirebon mulai berkurang dan dibatasi. Sejak akhir abad
ketujuh belas, kekuasaan politik dan perekonomian Cirebon
jatuh ke tangan VOC yang sebelumnya Mataram dan Banten
terlebih dahulu menjadikan Cierbon sebagai bawahannya.
Pada akhirnya, awal abad ke 19 kekuasaan politik para sultan
49 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Cirebon berakhir. Kedudukan dan peranan mereka
digantikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, sejak saat itu
eksistensi jabatan sultan-sultan dan kesultanan Kasepuhan,
Kanoman, dan Kacirebonan berstatus sebagai sosial sebagai
“Pemangku Adat” dalam masyarakat dan budaya Cirebon.

Daftar Pustaka
AG, Muhaimin, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret Dari
Cirebon, Jakarta: Logos, 2002.
Alwi bin Thahir al-Haddad, Al Habib, Sejarah Masuknya Islam
Di Timur Jauh, Jakarta: Lentera, 2001.
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, Jakarta: Pustaka Al
Kautsar, 2010.
Dudung, Abdurrahman, Metode Penilitian Sejarah, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999.cet II.
Ekadjati, Edi. S & Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas
Sastra UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh
Belas, Bandung: Kerjasama Pemerintah Daerah
Tingkat I Propinsi Jawa Barat dan Fakultas
Sastra Universitas UNPAD, 1992.
Graaf, H. J. De, Puncak Kekuasaan Mataram, Jakarta: PT.
Pustaka Utama Grafiti, 1990.cet II.
____________, Runtuhnya Istana Mataram, Jakarta: PT.
Pustaka Utama Grafiti, 1987.
Hamdi, Mohammad, Dinamika Tarekat Syattariyah Di
Lingkungan Keraton Cirebon:Skripsi Program
Studi Sejarah Peradaban Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009.
Harapan, Anwarudin, Dimensi Mistis, Historis, Pakuan
Pajajaran, Jakarta: CV. Duta Kreasi Utama,
2007.
Hidayat, Rahayu (Penerjemah), Orang Arab di Nusantara,
Depok: Komunitas Bambu, 2010. Cet. I.
ISDN, Tim Penulis, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur
Sutera, Jakarta: Proyek ISDN Direktorat Sejarah
50 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal
Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1998.
Khoirul Anam, Faris, Manaqib Al-Imam Al-Muhajir Ahmad Bin
Isa Leluhur Walisongo dan Habaib di Indonesia,
Malang: Darkah Media, 2010.
Lubis, Nina. H, Banten Dalam Pergumulan Sejarah : Sultan,
Ulama, Jawara. Jakarta: Pustaka LP3ES
Indonesia, 2003.
Lubis dkk, Nina, Sejarah dan Perkembangan Kota-Kota Lama Di
Jawa Barat, Jatinangor Bandung: Alqaprint,
2000.
Sanggupri Bochari, M & Wiwi Kuswiah, Sejarah Kerajaan
Tradisional Cirebon. Jakarta: CV. Suko Rejo
Bersinar, 2001.
Sulendraniningrat, P. S, Babad Tanah Sunda Babad Cirebon,
1984.
________________, Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai
Pustaka,1985.
Sunyoto, Agus, Wali Songo Rekontruksi Sejarah Yang
Disingkirkan, Jakarta: Trans Pustaka, 2011.
Sutjiatiningsih, Sri, Banten Kota Pelabuhan Jalur Sutra. Jakarta:
CV. Dwi Jaya Karya, 1995.
Unang Sunardjo, R. H, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah
Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809,
Bandung: Tarsito, 1983.
Van Hoeve, PT. Ichtiar Baru, Ensiklopedia Islam, Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Zuhdi, Susanto (Penyunting), Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra
(Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah), Jakarta:
CV. Defit Prima Karya, 1996.

51 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


CEPURI DI KOTAGEDE
Bekas Inti Keraton Mataram yang Semakin Terlupakan

Sugeng Riyanto & M. Chawari


Balai Arkeologi Yogyakarta

Abstract
Cepuri is now acknowledged as evidence of archaeological remains of the city
center of Kotagede Mataram rule. Once the capital of the Sultanate of Mataram
in Kotagedhe moved to Plered, various changes had influenced the site's presence in
the Cepuri, including sites Watu Gilang and the remnants of the fortress walls.
Field studies on Cepuri is done to track the things that are in the wall Cepuri, and
expressly so far still very "closed". This complicates the spatial reconstruction in the
scope Cepuri.
Keywords: Sultanate of Mataram, archaeological remains, palace

Abstrak
Saat ini Cepuri merupakan salahsatu bukti tinggalan arkeologis Kotagede
sebagai kota pusat pemerintahan Mataram. Setelah ibukota Kesultanan
Mataram di Kotagede pindah ke Plered, berbagai perubahan telah
mempengaruhi keberadaan situs yang terdapat di dalam Cepuri, termasuk
situs Watu Gilang dan sisa-sisa tembok benteng. Studi lapangan terhadap
Cepuri dilakukan untuk melacak apa saja yang berada di dalam tembok
Cepuri, dan nyatanya hingga saat ini masih sangat “tertutup”. Hal ini
menyulitkan dalam rekonstruksi ke ruangan dalam lingkup Cepuri.
Kata kunci: Kesultanan Mataram, tinggalan arkeologis, keraton

52 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Kotagede menjadi pusat pemerintahan pada masa
Panembahan Senopati dan sebagian masa Sultan Agung. Pada
awalnya, wilayah Mataram merupakan perdikan di bawah
kekuasaan Kesultanan Pajang. Dalam perkembangannya, Ki
Ageng Pemanahan menyerahkan wilayah Mataram kepada
puteranya yang bernama Sutowijaya. Setelah ia menggantikan
ayahnya kemudian membangun tembok keliling untuk
memperkuat wilayah Mataram. Di dalam tembok keliling yang
berbentuk empat persegi panjang tetapi tidak simetris inilah
Cepuri - tempat raja berkediaman dan memerintah Mataram,
dibangun. Melalui studi ini diharapkan mendapatkan berbagai
makna yang terkandung di balik keberadaan Cepuri sebagai
inti kebudayaan Mataram.

1. Cepuri sebagai Inti Keraton di Pusat Kotagede


Pada awalnya, wilayah Mataram merupakan perdikan
di bawah kekuasaan Kerajaan Pajang. Dalam
perkembangannya, Ki Ageng Pemanahan menyerahkan
wilayah Mataram kepada puteranya yang bernama Sutowijaya
yang kemudian bergelar Raden Ngabehi Loring Pasar.
Sutawijaya setelah menggantikan ayahnya kemudian
membangun tembok keliling untuk memperkuat wilayah
Mataram. Setelah tembok keliling dibangun, Sutowijaya
kemudian menyerang Pajang dan berhasil mengalahkannya.
Selanjutnya Sutawijaya menjadi raja Mataram yang pertama
dan bergelar Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama.
Olehnya Kotagede ditetapkan sebagai pusat pemerintahannya.
Dalam masa pemerintahan Sutowijaya, kerajaan ini meluaskan
kekuasaannya di berbagai wilayah di Jawa (Atmosudiro, 2002:
143 – 144).
Kotagede menjadi pusat pemerintahan pada masa
Panembahan Senopati dan sebagian masa Sultan Agung.
Setelah wafat beliau dimakamkan di belakang Masjid Agung
53 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Kotagede. Kotagede menjadi pusat pemerintahan tidak lama
yaitu sekitar 58 tahun, dimulai sejak jatuhnya Pajang pada
tahun 1582 M (Brandes, 1894: 415) sampai dengan tahun
1640 M.
Dalam masa pemerintahan selama kurang lebih
setengah abad, Kotagede telah dapat menempatkan diri tampil
dalam panggung sejarah kebudayaan di Jawa. Berdasarkan
data-data sejarah, dalam masa yang pendek tersebut Kraton
Kotagede telah memiliki tata ruang dan komponen-komponen
kota seperti lazimnya kota-kota pusat pemerintahan kerajaan
Islam. Kotagede sebagai kota pusat pemerintahan dibuktikan
dengan adanya tinggalan arkeologis, yaitu: kraton atau
kedhaton, benteng, tembok keliling, jagang, Cepuri, masjid,
pasar, permukiman, dan pemakaman. Komponen-komponen
tersebut merupakan data yang dapat mencerminkan kondisi
sosial, ekonomi, budaya masyarakat pendukungnya
(Atmosudiro, 2002: 144), tentunya termasuk kondisi politik
yang ikut bermain di dalamnya.
Salah satu tinggalan arkeologis adalah Cepuri tempat
raja berkediaman dan memerintah Mataram. Cepuri
merupakan inti kraton yang dibatasi dengan tembok keliling
tebal dan kokoh. Tembok keliling ini berbentuk empat persegi
panjang tetapi tidak simetris. Saat ini di tengah-tengah Cepuri
terdapat tinggalan masa lampau yang ditempatkan di dalam
sebuah bangunan cungkup. Di dalam bangunan ini terdapat:
sebuah batu gilang yang berfungsi sebagai “singgasana” sultan
atau raja, tiga buah batu gatheng sebagai alat permainan putera
raja atau sultan, dan sebuah tempayan yang berfungsi untuk
wudhu para penasehat sultan atau raja.
Pusat Kerajaan Mataram awalnya memang berlokasi di
Kotagede. Kerajaan ini tentunya meniru kerajaan
pendahulunya yang sama-sama memakai label Islam sebagai
dasar negara. Meskipun demikian Kerajaan Mataram periode
Kotagede sebagai kelanjutan Demak dan Pajang, data-data
arkeologisnya terutama yang berada di dalam tembok Cepuri
hingga saat ini masih sangat “tertutup”. Hal ini menyulitkan
54 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
dalam rekonstruksi keruangan dalam lingkup Cepuri. Namun
dari berbagai sumber dan data arkeologi gambaran cepuri di
masa lalu dapat ditelusuri. Berikut ini dipaparkan hasil
penelusuran tersebut.

2. Periode Awal Cepuri Antara Tahun 1578 hingga


1640 M
Periode awal Cepuri berkisar antara Tahun 1578 M,
yaitu ketika didirikan (de Graaf, 1985: 53 dan Inajati, 2000:
40) hingga tahun 1640 M, yaitu ketika pusat kota Mataram
pindah ke Plered
(http://students.ukdw.ac.id/~22023053/Kotagede.htm).
Uraian lebih lengkap mengenai keruangan Cepuri awal adalah
sebabagai berikut.
Tembok Cepuri ini mempunyai denah tidak simetris. Pada
sudut tenggara jalur struktur tersebut melengkung, tidak
membentuk sudut yang tajam. Bagian ini oleh penduduk
setempat disebut dengan istilah bokong semar. Sementara ketiga
sudut yang lain membentuk sudut yang tajam. Luas areal di
dalam Cepuri sekitar 6,5 ha (Inajati, 2000: 51). Di dalam
Cepuri terdapat:

1) Kampung Dalem
Dalem adalah bagi golongan bangsawan dan elit politik.
Oleh karena itu letak dalem pada umumnya berdekatan
dengan kraton atau kedhaton (Tjandrasasmita, 1975). Di
Kampung Dalem terdapat sebidang tanah yang tidak
dikerjakan sama sekali oleh penduduk, sebab tempat ini
dipercaya sebagai bekas pusat Kraton Mataram Awal.
2) Kampung Kedhaton
Di kampung ini, di dalam sebuah bangunan kecil yang
terletak di tengah-tengah jalan kampung terdapat beberapa
benda:
a) Watu Gilang, menurut cerita adalah bekas singgasana
Panembahan Senopati. Benda ini dibuat dari batu
andesit dengan ukuran 140 x 119 x 12,5 cm.
55 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
b) Watu Gatheng jumlahnya ada tiga buah dan dibuat
dari batu kalsit berwarna kuning. Ketiga benda
tersebut berbentuk bulat, masing-masing dengan
diameter 31 cm, 27 cm, dan 15 cm. Ketiganya
diletakkan di atas semacam lapik arca.
c) Tempayan terbuat dari batu andesit dengan penampang
bulat telur, berukuran tinggi 50 cm dan diameter 57
cm (Inajati, 2000: 56 57).
3) Sementara itu menurut Babad Momana seperti dikutip
Inajati (2000: 44) di dalam Cepuri terdapat bangunan
Prabayaksa yang dibangun pada tahun 1525 Ç (1603 M).
Sekedar perbandingan, bangunan semacam ini juga
terdapat di Kraton Yogyakarta. Prabayaksa merupakan
bangunan inti kraton yang terdapat di dalam Cepuri.
Untuk memasuki bangunan ini harus melewati Bangsal
Kencana dan Tratag (semacam pintu gerbang) Prabayaksa.
Di belakang Prabayaksa terdapat Kraton Kilen setelah
melewati Masjid Panepen dan Keputren (Dwidjasaraja,
1935: 6 – 7).
4) Di dalam Cepuri Kraton Kotagede hanya terdapat dua
toponim yaitu Dalem dan Kedhaton. Sedang bagian-
bagian lain yang mengarah pada suatu kraton belum
terekam secara jelas seperti halnya Plered, yaitu: Sitinggil,
Nglawang, Suranatan, Kedhaton, Sri Manganti, Tratag
Rambat, dan Bale Kambang (Inajati, 2000: 151).
a. Sitinggil merupakan bangunan yang terletak di bagian
paling utara dan berada di luar tembok benteng.
b. Mandungan merupakan bangunan yang terletak di
sebelah selatan Sitinggil.
c. Sri Manganti merupakan bangunan yang terletak di
sebelah selatan Mandungan.
d. Kedhaton merupakan bangunan yang terletak di
sebelah selatan Sri Manganti.
e. Di sebelah selatan Masjid Panepen terdapat bangunan
Prabayaksa (e1), Bangsal Kencana (e2), Bangsal

56 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Kemuning (e3), Bangsal manis (e4), dan Gedong
Kuning (e5).
f. Tratag Rambat merupakan bangunan yang terletak di
sebelah timur Kedhaton.
g. Bale Kambang merupakan bangunan yang terletak di
sebelah selatan Tratag Rambat.
h. Keputren terletak di bagian barat dan di luar tembok
keliling (Inajati, 2000: 76).

Berdasarkan hal itu, maka tata ruang Cepuri


periode awal adalah sebagai berikut:

Rekonstruksi tata ruang Cepuri periode awal berdasarkan sumber


sekunder serta analogi pada toponim Plered

57 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


3. Periode 1640 hingga 1934 (Masa Hastorenggo)
Pembahasan ini dimulai dari tahun 1640 yaitu dari
pemindahan ibukota kerajaan dari Kotagede ke Plered dan
dibatasi sampai dengan tahun 1934 yang merupakan
pendirian kompleks makam Hastorenggo yang terletak di
dalam Cepuri. Berdasarkan survei yang telah dilakukan,
ditemukan beberapa perubahan ruang dari tahun 1640 hingga
1934. Meskipun rentang waktu yang panjang itu dapat
diuraikan secara detail karena keterbatasan data pustaka dan
data lapangan --misalnya data pada akhir abad XVII hingga
abad XVIII-- tapi data-data yang telah diperoleh ini dapat
digunakan untuk mengetahui kerangka keruangan yang
terdapat di dalam Cepuri.
Cepuri pada awalnya menjadi tempat bertahtanya
sultan dan merupakan wilayah yang sakral. Setelah ibukota
Kotagede pindah ke Plered pada tahun 1640, Cepuri tidak lagi
menjadi bagian inti dari kraton. Dengan demikian secara
perlahan-lahan nilai keruangan Cepuri mulai bergeser. Walau
demikian, masyarakat umum belum berani untuk mendirikan
bangunan di dalam Cepuri karena tempat ini masih
disakralkan. Hal ini berlangsung sampai dengan tahun 1950-
an, akan tetapi para abdi dalem telah membangun rumah
mereka sejak akhir abad XIX di dalam Cepuri.

58 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di kedua
kampung (Dalem dan Kedhaton) yang terletak di dalam
Cepuri ditemukan beberapa rumah kuno yang dibangun
sebelum akhir abad XIX sampai tahun 1920-an. Rumah-
rumah kuno ini merupakan rumah peninggalan milik buyut
mereka yang dulunya menjadi abdi dalem. Dari 11 rumah
kuno yang ditemukan, 6 bangunan berada di Kampung
Kedhaton dan 5 bangunan terdapat di Kampung Dalem.
Rumah-rumah ini sebagian menggunakan batu benteng pada
bagian tembok dan pondasinya, selain itu batu benteng
digunakan juga untuk pagar bumi (rumah Ibu Kartodiharjo).
Meskipun banyak rumah atau bangunan yang menggunakan
batu benteng tetapi tidak semua bangunan itu termasuk
bangunan kuno. Struktur benteng Cepuri masih terlihat jelas
walaupun batunya telah digunakan oleh sebagian masyarakat
yang memanfaatkannya untuk mendirikan bangunan-
bangunan lama dan juga bangunan baru.

59 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Posisi keruangan rumah-rumah kuno ini sebagian
terletak dekat atau bahkan berapit dengan dinding benteng.
Hal ini dapat dilihat pada rumah yang terdapat pada dinding
benteng bagian utara dan barat, selain itu ditemukan pula satu
rumah kuno pada dinding timur yang dibangun pada tahun
1920-an. Jarak antara satu rumah kuno dengan rumah kuno
lainnya ada yang saling berdekatan, tetapi ada pula yang
berjauhan dan berdiri sendiri. Meskipun demikian, ada juga
beberapa rumah kuno yang tersebar dalam Cepuri tetapi
letaknya agak berjauhan dari Watu Gilang.

salah satu rumah kuno di Dusun Kedhaton (milik Ibu Kartodiharjo)


yang dibangun pada akhir abad XIX

Selain bangunan-bangunan kuno tersebut, terdapat


pula tiga sisa bangunan kuno yang telah beralih fungsi.
Tempat-tempat berdirinya bangunan-bangunan ini sekarang
telah dimanfaatkan sebagai kebun dan pekarangan oleh
masyarakat setempat. Ketiga bangunan ini terletak secara
terpisah, dua bangunan berada di sebelah utara dan satu
bangunan terletak di tengah Cepuri dan berdekatan dengan
situs Watu Gilang.

60 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Menurut informasi penduduk setempat, sebelum siti
sangar (tanah angker) dibuka untuk kompleks pemakaman
Hastorenggo pada tahun 1934, orang-orang luar belum berani
masuk membangun rumah dalam Cepuri karena Cepuri
masih merupakan wilayah yang dianggap sakral. Tetapi
dengan dibukanya siti sangar untuk tanah pemakaman kerabat
Hamengku Buwono VIII, secara perlahan-lahan nilai
keruangan Cepuri bergeser. Pada tahun 1950-an, orang-orang
yang bermukim di luar Cepuri mulai memanfaatkan lahan ini
untuk membangun rumah di dalam Cepuri.
Berdasarkan data pustaka hanya diperoleh keterangan
mengenai pemindahan ibukota Mataram dari Kotagede ke
Plered pada tahun 1640, sedangkan data lapangan berupa
wawancara dapat diketahui bahwa bangunan-bangunan atau
rumah kuno dalam Cepuri dibangun pada akhir abad XIX s.d.
tahun 1920-an. Untuk data akhir abad XVII sampai dengan
abad XVIII baik studi pustaka maupun studi lapangan sama
sekali tidak diketahui pola keruangannya. Meskipun tinggalan-
tinggalan berupa struktur dari bata masih banyak yang
berserakan di dalam Cepuri tetapi tidak jelas apakah struktur
ini merupakan bagian dari benteng Cepuri atau bangunan
yang berdiri sendiri.
Dari data-data yang telah dikemukakan di atas,
perubahan ruang hanya dapat direkonstruksi mulai dari
pemindahan ibukota ke Plered (1640), langsung masuk ke
akhir abad XIX. Pemanfaatan ruang pada pasca tahun 1640
s.d pertengahan abad XIX sampai kini masih menjadi tanda
tanya besar karena data pustaka tidak menjelaskan, demikian
pula data lapangan tidak ditemukan.
Adanya berbagai tulisan dalam aneka bahasa pada
Watu Gilang menunjukkan bahwa setelah ibukota
dipindahkan dari Kotagede ke Plered, Watu Gilang bergeser
tingkat kesakralannya. Watu Gilang awalnya difungsikan
sebagai singgasana Panembahan Senopati. Pergeseran nilai ini
disebabkan karena Kotagede tidak lagi dijadikan sebagai pusat
kerajaan sehingga secara perlahan-lahan nilainya pun ikut
61 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
berubah. Pergeseran tingkat kesakralan dapat dilihat pada
banyaknya prasasti pendek dipermukaan Watu Gilang dalam
bahasa Latin, Perancis, Belanda, dan Italia, yakni :
 ITA MOVETUR MUNDUS (Bahasa Latin)
 AINSI VALE MONDE (Bahasa Perancis)
 ZOO GAAT DE WERELD (Bahasa Belanda)
 COSI VAN IL MONDO (Bahasa Itali)
Kalimat-kalimat tersebut disusun secara melingkar. Di
dalam lingkaran tersebut terdapat tulisan dalam Bahasa Latin
yang berbunyi: AD AETERNAM MEMORIAM SORTIS
INFELICIS artinya kurang lebih adalah: Untuk memperingati
nasib yang tidak baik. Selain itu, di dalam lingkaran terdapat
kalimat lain yang berbunyi: IN FORTUNA CONSORTES
DIGNI VALETE, QUID STUPEARIS AINSI, VIDETE
IGNARI ET RIDETE, CONTEMITE VOS CONSTEMTU
VERE DIGNI artinya kurang lebih adalah: Selamat jalan
kawan-kawanku. Mengapa kamu sekalian menjadi bingung dan
tercengang. Lihatlah wahai orang-orang yang bodoh dan tertawalah,
mengumpatlah, kamu yang pantas dicaci maki.
Sementara itu di dalam lingkaran yang lebih kecil
terdapat huruf IGM yang diduga singkatan dari IN
GLORIAM MAXIMAN, artinya: untuk keluhuran yang tertinggi.
Di dalam batu gilang tersebut juga terdapat gambar segi tiga,
pada sudut kanan terdapat tulisan QUID STUPEARIS yang
dilanjutkan dengan tulisan VID, LEG, INV, dan CUR.
Tulisan ini diduga mengandung arti :
 VID → VIDETE artinya Lihatlah
 LEG → LEGETE artinya Bacalah
 INV → INVENITE artinya Rasakanlah
 CUR → CURRITE artinya Berjalanlah
(mengelilingi Watu Gilang)
Mulai dari kata CONTEMNITE ke arah kiri terdapat tulisan
GI>, IC, LX, IX, I> (mungkin I>> atau D>). Di depan IX
terdapat tulisan seperti huruf M.

62 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Selain itu terdapat angka Romawi I>LXIX atau CI>I>>LXIX
berarti angka tahun 1569 atau 1669 (Soekiman, 1992/1993:
51 – 52).
Selain itu, berdasarkan keterangan yang diperoleh dari
warga setempat (Ibu Kartodiharjo), sebelum situs Watu Gilang
menggunakan cungkup seperti yang ada sekarang, dahulu
memakai gebyok (bangunan terbuka pada keempat sisinya).
Penggantian cungkup ini bersamaan waktunya dengan
pembangunan kompleks makam Hastorenggo yaitu pada
tahun 1934. Pembangunan makam Hastorenggo sendiri
dimulai pada tanggal 4 Agustus 1934 dan selesai pada tanggal
29 Desember 1934 di atas tanah luas ditumbuhi rerumputan
yang disebut Siti Sangar, yang kemudian dibeli oleh Sultan
Hamengkubuwono VIII (1921-1940) untuk makam
keturunannnya sebagai antisipasi jika Makam Imogiri penuh
(Tim Peneliti Lembaga Studi Jawa, 1997; 22-23). Adapun
maksud penggantian cungkup ini tidak diketahui namun
diperkirakan sebagai unsur pengamanan (wawancara dengan
Bapak Mulyosutrisno).

Goresan huruf-huruf Latin pada permukaan watu gilang dalam


empat bahasa: Latin, Prancis, Belanda, dan Italia

63 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Perkembangan tata ruang fase awal Cepuri dan fase ke-
dua (abad XIX hingga masa Hastorenggo tahun 1934) dapat
digambarkan dengan membuat tumpang susun sketsa kedua
fase tersebut, seperti di bawah ini.

Tumpang susun sketsa Cepuri awal dengan sketsa Cepuri antara


abad XIX hingga pertengahan abad XX

64 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Hasil overlay (tumpang susun) seperti yang terlihat
pada sketsa menunjukkan bahwa perubahan keruangan secara
signifikan terjadi dari Sri Manganti menjadi Situs Watu
Gilang, Mandungan menjadi bekas rumah lama yang kini
digunakan sebagai pekarangan dan terletak di Kampung
Dalem. Sementara Prabayaksa dan Bangsal Kencana menjadi
rumah atau bangunan lama yang terdapat di Kampung
Kedhaton.
Perubahan keruangan dari Sri Manganti menjadi Situs
Watu Gilang menunjukkan bahwa ketika Sri Manganti masih
digunakan sebagai tempat singgasana raja, lokasi ini sangat
disakralkan karena Sri Manganti berfungsi sebagai pertemuan
antara raja atau sultan dengan para abdi dalem (Dwidjasaraja,
1935: 6). Ketika ibukota Mataram Islam pindah ke Plered,
fungsi Sri Manganti ikut pula berubah.
Sementara dari hasil overlay tersebut diketahui pula
bahwa Kedhaton, Tratag Rambat, dan Bale Kambang pada
masa akhir abad XIX hingga awal abad XX dihindari oleh
penduduk untuk mendirikan bangunan tempat tinggal.
Demikian halnya dengan siti sangar, sampai lokasi ini
didirikan Kompleks Makam Hastorenggo. Sedangkan
Prabayaksa dan Bangsal Kencana pada sekitar akhir abad XIX
dimanfaatkan oleh penduduk untuk mendirikan bangunan
tempat tinggal. Berbeda dengan Bangsal Kemuning, Bangsal
Manis, dan Gedong Kuning yang terbebas dari pemanfaatan
oleh penduduk sebagai pemukiman.
Dengan demikian terlihat adanya kecenderungan
bahwa permukiman penduduk pada akhir abad XIX
menempati lokasi pada sisi Cepuri bagian barat, timur, dan
timur laut. Sedangkan di bagian tengah, selatan, dan tenggara
tidak dimanfaatkan untuk permukiman. Hal ini terkait
dengan persepsi masyarakat bahwa lokasi ini (terutama bagian
tengah Cepuri) masih dipandang sebagai sesuatu yang sakral.
Salah satu bangunan kuno yang terdapat di bagian timur laut
Cepuri merupakan milik salah seorang abdi dalem kraton
berpangkat demang yang bertugas menjaga Cepuri (wawancara
65 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
dengan Bapak Mulyosutrisno). Keberadaan bangunan-
bangunan yang sejaman dengan rumah milik demang terkait
dengan keberadaan demang itu sendiri.
Pada masa Cepuri awal hingga tahun 1934 telah
terjadi berbagai perubahan dalam pemanfaatan ruang,
meskipun Cepuri tetap disakralkan. Namun demikian,
aktifitas pemanfaatan ruang sebagai permukiman hanya
terbatas pada rumah milik demang dan sekitarnya serta
Cepuri bagian barat. Sedangkan pemanfaatan ruang untuk
berbagai aktifitas seperti ekonomi, pertukangan, kerajinan,
perdagangan, dan usaha-usaha sejenisnya tetap berada di luar
Cepuri.

4. Pertengahan Abad XX hingga Sekarang


Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan obyek
di lapangan, kondisi situs Watu Gilang dan Cepuri di
Kotagede Yogyakarta dan aspek ruangan dari medio abad-20
hingga sekarang dapat diuraikan sebagai berikut ini.
Situs Watu Gilang dan Watu Gatheng terletak di
Dusun Dalem, Desa Purbayan, Kecamatan Kotagede
Yogyakarta. Obyek atau benda yang terdapat di situs tersebut
terdiri dari tiga buah jenis benda purbakala (artefak), yaitu
Watu Gilang, tiga buah watu gatheng dan sebuah tempayan
batu yang terdapat di dalam sebuah bangunan cungkup yang
menghadap ke timur dengan ukuran 6,60 x 3,75 meter,
dengan bahan lepa (pasir dan semen). Berdasarkan informasi
dari nara sumber (warga setempat), bangunan cungkup
(pelindung Watu Gilang dan Watu Gatheng) tersebut dibuat
pada tahun 1934 M, hampir bersamaan dengan kompleks
makam Hastorenggo yang dibangun oleh Sultan
Hamengkubuwana VIII.
Keberadaan bangunan cungkup tersebut kini
menempati ruang seluas 32,5 x 24 meter, dan berada di
tengah jalan yang membujur dari arah utara ke selatan,
sehingga jika ada kendaraan yang mau lewat menuju ke arah
selatan harus lewat di sebelah timur bangunan cungkup
66 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
tersebut, demikian juga sebaliknya, kendaraan yang menuju ke
arah utara harus lewat di sebelah barat bangunan cungkup. Di
sebelah barat situs, berbatasan dengan Kompleks Makam
Hastorenggo, di sebelah utara berbatasan dengan tembok
rumah penduduk, di sebelah timur berbatasan dengan
pekarangan penduduk dan di sebelah selatan berbatasan
dengan rumah penduduk.
Di samping itu situs Watu Gilang dan Watu Gatheng
tersebut berada pada posisi hampir di tengah-tengah
bangunan tembok atau pagar keliling seluas 6,5 ha, yang
terbuat dari bahan batu putih yang diduga sebagai bangunan
Cepuri (batas bangunan inti kraton). Material bangunan
Cepuri yang terbuat dari bahan batu putih berbentuk balok,
kini tampak tidak utuh lagi, kemungkinan sebagai akibat dari
faktor alam dan faktor manusia. Hal tersebut tampak adanya
bagian-bagian bangunan Cepuri yang runtuh karena longsor
ataupun terangkat oleh akar dan tumbuh-tumbuhan yang
terdapat di sekitar bangunan Cepuri tersebut. Disamping itu,
terdapat beberapa bangunan rumah penduduk yang
memanfaatkan material dari bangunan Cepuri tersebut
sebagai pondasi ataupun sebagai dinding rumah dan sebagai
pagar bumi.
Di sekitar situs Watu Gilang dan Watu Gatheng sudah
tidak ada lagi bangunan-bangunan asli yang sejaman dengan
Watu Gilang dan Watu Gatheng, kecuali bangunan pagar
keliling yang diduga sebagai Cepuri (batas bangunan inti
kraton). Di dalam pagar keliling dengan bahan batu putih
(Cepuri) tersebut telah berkembang menjadi permukiman
baru, yaitu dengan adanya rumah-rumah penduduk, kebun /
pekarangan dan fasilitas-fasilitas umum antara lain; Balai
Dusun, tempat ibadah, lapangan olah raga, gardu kamling,
sekolahan dan makam. Ada beberapa bangunan rumah kuna
yang dibangun sebelum cungkup Watu Gilang dan Watu
Gatheng serta kompleks makam Hastorenggo, tetapi tidak
diketahui secara pasti kapan bangunan rumah tersebut
didirikan.
67 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Berdasarkan keterangan informan, yaitu Bapak
Mulyosutrisno usia 85 tahun, alias Abdul-Jabari (nama
pemberian dari Sultan HB IX sebagai abdi dalem yang pernah
bertugas sebagai pengurus Masjid Besar Kotagede), ia
menyebutkan bahwa keberadaan Watu Gilang dan Watu
Gatheng, sejak dulu hingga sekarang belum pernah
mengalami pergeseran tempat dan tidak ada yang berani
memindahkan. Kemudian mengenai bangunan cungkup
(penutup Watu Gilang dan Watu Gatheng) yang dibangun
pada tahun 1934, atas prakarsa Sultan Hamengkubuwana
VIII, dulunya dalam kondisi terbuka, terdiri dari empat buah
saka guru dengan dinding gebyog dan atap sirap. Adapun
maksud dibangunnya bangunan cungkup (penutup Watu
Gilang dan Watu Gatheng) adalah dalam rangka memuliakan
atau nguri-uri peninggalan leluhurnya (Panembahan Senopati).
Di sisi lain, dengan ditutupnya Watu Gilang dan Watu
Gatheng, aktivitas penziarahan di lokasi tersebut akan lebih
nyaman, lebih konsentrasi dan tidak terganggu oleh aktivitas
di luar bangunan Watu Gilang dan Watu Gatheng.
Mengenai keberadaan rumah kuna yang berada di
dalam bangunan Cepuri diawali dengan sebuah rumah milik
seorang demang yang pada saat sekarang rumah tersebut
menjadi milik salah seorang warga (Bu Hadi). Kemudian
pada perkembangan berikutnya banyak masyarakat dari
daerah lain (dari luar Cepuri) yang datang dan bermukim di
kompleks tersebut, sehingga berkembanglah suatu
permukiman baru yang berlangsung hingga sekarang.
Keberadaan permukiman baru tersebut kini telah merubah
status kepemilikan ruang di dalam kompleks Cepuri.
Berdasarkan keterangan dari informan, tanah, pekarangan,
kebun dan semua yang terdapat di dalam kompleks Cepuri
yang awalnya milik kraton, kini telah terbagi menjadi dua
kawasan otorita, yaitu:
1. Otorita tradisional yang dikuasai oleh pihak kraton,
meliputi bangunan dinding benteng Cepuri,

68 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Kompleks Makam Hastorenggo, dan lapangan Watu
Gilang serta Watu Gatheng.
2. Otorita yang dikuasai oleh pihak pemerintah dalam
hal ini Badan Pertanahan Negara, meliputi seluruh
pekarangan, kebun, dan permukiman menjadi hak
milik masyarakat atau seluruh lahan di Cepuri kecuali
yang dikuasai pihak kraton. Dalam hal ini perintah
telah memberi aset kepada masyarakat seluas-luasnya
untuk dapat memanfaatkan ruang tersebut, asalkan
tidak mengganggu kelestarian daripada semua
komponen yang telah dikuasai oleh pihak kraton.

Tata ruang Cepuri pada masa sekarang; obyek peninggalan masa


awal Mataram, rumah kuno, dan permukiman baru berbaur

69 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Desa Purbayan sebagai desa wisata di antaranya
didasarkan pada potensi yang ada di desa tersebut, yaitu
adanya situs Watu Gilang, kompleks makam Hastorenggo,
industri kerajinan perak dan industri Emping mlinjo.
Kerajinan perak di sekitar Watu Gilang berlangsung secara
turun temurun, tetapi belum diketahui secara pasti tentang
keberadaannya, apakah telah ada sejak abad-20 atau
sebelumnya. Sementara itu di bidang industri emping mlinjo,
keberadaannya kini semakin berkurang, hal tersebut
diperkirakan karena semakin berkurangnya pohon mlinjo
sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk dan berkurangnya
lahan pertanian untuk menanam pohon mlinjo. Selain sebagai
sentra industri, Desa Purbayan juga berpotensi di bidang
kesenian yang terdiri dari musik keroncong, Shalawatan, dan
teater.
Di bidang pariwisata, situs Watu Gilang merupakan
suatu obyek yang sering dikunjungi, baik oleh wisatawan
domestik maupun wisatawan mancanegara. Dalam kegiatan
wisata tersebut, obyek Watu Gilang kini merupakan satu
rangkaian kunjungan dengan kompleks makam Raja-Raja
Mataram Kotagede dan Hastorenggo (wisata ziarah). Wisata
ziarah adalah satu istilah yang terdiri dari dua kata tetapi
memiliki satu makna yang sama, yaitu kunjungan. Secara
umum dapat diartikan sebagai kunjungan ke makam (ziarah
kubur), ke masjid, ke tanah suci (ziarah haji) dan lain
sebagainya (Suhadi dan Halina Hambali, 199: 28).
Dalam kegiatan wisata ziarah di Kotagede, umumnya
dilakukan oleh para pengunjung atau wisatawan domestik
yang datang dari berbagai daerah dengan maksud-maksud
tertentu; (nenepi atau bertapa untuk memperoleh wangsit atau
petunjuk; ngalap berkah, yaitu agar diberikan keberkahan atas
rizki yang mereka peroleh; ngirim leluhur) dengan upacara
ritual yang umumnya dipandu oleh juru kunci. Akan tetapi
dalam kegiatan upacara-upacara ritual yang berlangsung, segala
permohonan ditujukan Allah SWT dengan wasilah (perantara)
Panembahan Senopati yang makamnya terletak di luar
70 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
bangunan Cepuri yaitu di kompleks Makam Raja-raja
Mataram di belakang Mesjid Agung Kotagede.
Kemudian dalam hal pengelolaan obyek (Watu Gilang,
Watu Gatheng, dan tempayan batu), kini telah dikelola
bersama-sama oleh kedua pihak kraton, Kasultanan
Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, dengan menugaskan
abdi dalemnya masing 2 (dua) orang untuk menjaga dan
merawat obyek tersebut secara bergantian. Sementara itu
untuk bangunan Cepuri kini telah dikelola oleh pihak Balai
Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Daerah Istimewa
Yogyakarta.

Rumah-rumah baru yang menjamur terutama setelah


pertengahan abad XX; tampak di latar belakang sebagian
tembok cepuri

71 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Deretan perumahan baru turut mengubah wajah Cepuri di masa
sekarang. Pertumbuhan pemukiman yang tiada henti menambah
kepadatan Cepuri

Perkembangan dan perubahan tata ruang Cepuri dari


fase pertama hingga fase terakhir (ketiga) dapat dilihat pada
sketsa di bawah. Dari sketsa ini terlihat jelas adanya
perubahan orientasi pada pertumbuhan permukiman fase
ketiga yaitu pertengahan abad 20 sampai sekarang.
Keberadaan pemukiman sekarang terdapat beberapa
kecenderungan yang tampak antara lain:
 Mengikuti jalan utama sebagai poros yang membujur
utara -selatan dan sekaligus membagi Cepuri menjadi
dua kampung yaitu Kampung Kedhaton dan
Kampung Dalem. Perkembangan permukiman juga
diikuti dengan perkembangan jalan yang membujur
dari arah barat ke timur dan membentuk pola
pemukiman yang mengikuti jalan sehingga
membentuk pola persegi.
 Mengikuti pinggiran benteng Cepuri khususnya
bagian barat dan utara.
 Bangunan-bangunan yang dihindari untuk
permukiman pada fase kedua seperti Kedhaton, Tratag
Rambat, dan Bale Kambang, mulai digunakan sebagai
tempat bermukim pada fase sekarang. Hal ini
disebabkan karena adanya perubahan otorita yang
awalnya dikuasai sepenuhnya oleh pihak kraton. Pada
72 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
masa sekarang pengelolaan tata guna lahan terbagi
dengan pihak pemerintah, sedangkan pihak kraton
hanya sebatas menguasai dan mengelola dinding
benteng Cepuri, kompleks makam Hastorenggo, dan
Watu Gilang.
 Pada bagian sudut tenggara benteng Cepuri yang
dikenal dengan istilah “Bokong Semar” hanya terdapat
beberapa bangunan dan merupakan bagian paling
sedikit penghuninya.

Tumpang susuna sketsa tata ruang Cepuri fase awal,


fase ke-dua, dan fase terakhir

73 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


6. Menggali Makna Cepuri
Sekarang, secara administratif lokasi Cepuri terletak di
Dusun Dalem dan Dusun Kedhaton, Kelurahan Purbayan,
Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta, D.I. Yogyakarta.
Lokasi ini terletak sekitar 6 km di arah tenggara kota
Yogyakarta sekarang. Berdasarkan uraian di atas, tergambar
bahwa telah terjadi perubahan ruang mulai masa Cepuri awal
sampai dengan masa sekarang. Perubahan keruangan ini
menunjukkan pasang surut Cepuri dalam perjalanan
sejarahnya. Setelah ibukota kerajaan Mataram di Kotagede
pindah ke Plered, berbagai perubahan telah mempengaruhi
keberadaan situs yang terdapat di dalam Cepuri, termasuk
situs Watu Gilang dan sisa-sisa tembok benteng beserta
jagangnya.
Kerajaan Mataram Islam (selanjutnya cukup disebut
dengan Mataram saja) merupakan salah satu Kerajaan Islam di
Indonesia, khususnya di Jawa. Keberadaan kerajaan ini tidak
dapat dilepaskan dari kerajaan-kerajaan pendahulunya yaitu
Demak dan Pajang. Kerajaan Demak diketahui dengan jelas,
utamanya berdasarkan sumber sejarah. Sedangkan dari data
arkeologis hanya diketahui dengan tinggalan yang berupa
Masjid Agung Demak dan alun-alun, serta data toponim,
antara lain Setinggil dan Pecinan. Namun demikian
berdasarkan data-data tersebut, tata letak berdasarkan
keruangannya jelas terlihat di lapangan. Sedangkan Kerajaan
Pajang data-data yang dapat mengungkapkan eksistensinya
hingga saat ini masih dipertanyakan.
Demikian pula dengan Kerajaan Mataram awal yang
berlokasi di Kotagede. Kerajaan ini tentunya akan meniru
kerajaan pendahulunya yang sama-sama memakai label Islam
sebagai dasar negara. Meskipun demikian Kerajaan Mataram
periode Kotagede sebagai kelanjutan Demak dan Pajang data-
data arkeologisnya, utamanya yang berada di dalam tembok
Cepuri, hingga saat ini masih sangat “tertutup”. Hal ini
menyulitkan dalam rekonstruksi keruangan dalam lingkup
Cepuri.
74 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Sementara itu sampai saat ini bangsa asing tidak
diperkenankan tinggal di Kotagede. Hal ini sangat menarik,
justru di daerah ini banyak didapati bangunan-bangunan
bergaya Eropa. Menurut dugaan sementara, adanya bangunan
bergaya Eropa itu karena para saudagar kaya di Kotagede
menginginkan pola-pola atau gaya hidup yang berbeda dengan
sekelilingnya. Walaupun kaya, mereka tidak mungkin
membuat bangunan sebesar atau semegah bangunan
tradisional seperti kraton atau rumah-rumah para bangsawan
karena terhalang oleh peraturan yang berlaku. Satu-satunya
jalan ialah para pedagang dan hartawan tersebut mengambil
gaya hidup yang meniru orang asing (Eropa) khususnya dalam
membuat bangunan rumah yang disesuaikan dengan keadaan
bangunan sekelilingnya. Gaya campuran ini ada yang
menyebut gaya “saudagaran”, untuk membedakan dengan
gaya tradisional atau gaya Eropa tulen (Tim Peneliti Lembaga
Studi Jawa, 1997: 58).
Jika Kotagede telah menjadi salah satu pusat
peradaban di Jawa dan Cepuri menjadi intinya, maka
dipastikan bahwa banyak nilai-nilai luhur yang dapat digali di
balik keberadaannya. Dari sana akan pula dapat ditemukan
berbagai benang merah yang menyentuh sejarah peradaban
dan kebudayaan di tempat lain, baik di Nusantara atau
bahkan yang lebih luas. Kemerosotan kualitas dan kuantitas
data arkeologi di Kotagede dan Cepuri khususnya tentu tidak
boleh menjadi aral guna mendapatkan berbagai makna yang
terkandung di balik keberadaanya. Justru hal itu menjadi
pemicu untuk mengembangkan metode, teknik, dan sumber
data seluas-luasnya guna meraih gambaran lebih jelas apa yang
disebut dengan Cepuri sebagai inti kebudayaan Mataram.

75 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Lokasi administratif Kotagede

76 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Daftar Pustaka

Adrisijanti, Inajati. 2000. Arkeologi Perkotaan Mataram Islam.


Yogyakarta: Penerbit Jendela.
Atmosudiro, Sumijati. 2002. “Tata Ruang Permukiman Kota
Gede Kuna dan Orang Kalang: Dalam Perspektif
Profesionalisme Pekerjaan”, dalam Jurnal Kebudayaan
Kabanaran. Yogyakarta: Retno Aji Mataram Press –
Percetakan Adi Cita.
Brandes, JLA. 1894. “Yogyakarta”, TBG. No. XXXVII.
Dwidjasaraja, A.S. 1935. Ngajogjakarta Hadiningrat I.
Yogyakarta: Percetakan Mardi-Moelja.
Graaf, H.J. de. 1985. Awal Kebangkitan Mataram Masa
Pemerintahan Senapati. Jakarta: Pustaka Graffiti Press.
http://students.ukdw.ac.id/~22023053/Kotagede.htm
Mook, H.J. Van. Kuta Gede. Djakarta: Penerbit Bhratara.
Soekiman, Djoko. 1992/1993. Kotagede. Jakarta: Penerbit
Proyek Pengembangan Media Kebudayaan.
Tim Peneliti Lembaga Studi Jawa. 1997. Kotagede, Pesona dan
Dinamika sejarahnya. Yogyakarta: Penerbit Lembaga
Studi Jawa.
Tjandrasasmita, Uka. 1975. Sejarah Nasional Indonesia III:
Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan
Islam di Indonesia. Jakarta: Depdikbud.

77 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


PEMIKIRAN AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
SYEKH MUHAMMAD AZHARI AL-FALIMBANI DALAM
NASKAH PALEMBANG 1842

Drs. H. Abd. Azim Amin, MA


Dosen Fakultas Adab dan Humaniora
IAIN Raden Fatah Palembang

Abstract
Syekh Muhammad Azhari al Falimbani (1811-1874) lived to witness how the
condition of his people who were confused and lost the distinctive identity of Malay
Palembang. One of the foundation to strengthen the identity of his people back, he
authored the book Aqeedah Ahlussunnah wal Jama'ah (1842) only by the thought
of al-Asy'ary.Based on the number years of activity Sheikh Muhammad Azhari, it is
a stretch of Indonesia, especially during the reign of Palembang that were the
Occupiers. This paper will try to reveal the character of the deceased Assyaikh
Muhammad Azhary bin Abdillah, a history of his life, and the thought of what he
had written
Kata kunci: ahlussunnah wal jama’ah, Malay language

Abstrak
Syekh Muhammad Azhari alFalimbani (1811-1874) menjadi saksi hidup
bagaimana kondisi kaumnya yang mengalami kebingungan dan kehilangan
identitas khas Melayu Palembang. Salah satu pondasi untuk menguatkan
identitas kaumnya kembali, ia mengarang kitab aqidah ahlussunnah wal
jama’ah (1842) hanya menurut pemikiran al-Asy‟ary. Berpijak dari angka
tahun masa aktivitas Syeikh Muhammad Azhari, adalah bentangan
Indonesia, khususnya Palembang adalah masa pemerintahan Penjajah,
maka tulisan ini, akan mencoba mengungkapkan karakter almarhum
Assyaikh Muhammad Azhary bin Abdillah, riwayat hidupnya, dan
pemikiran apa yang pernah ditulisnya.
Kata kunci: ahlussunnah wal jama’ah, bahasa Melayu

78 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Pendahuluan

Taufiq Abdullah (MUI, No.111,1986: 38-39), mengatakan,


ada tiga pangkal tolak berfikirnya ulama Indonesia; pertama,
bertolak dari keprihatinan teologis: yakni bertolak dari ajaran; yang
terpenting adalah kejernihan menurut kitab, karena itu mereka
sering digolongkan sebagai kaum tradisional; kedua, dari keprihatinan
structural: yakni bertolak dari realitas umat Islam yang seringkali
berbeda dengan idealita yang terkandung dalam ajaran Islam,
kondisi ini cendrung membuat mereka lebih aktivis, sekaligus
dengan mendalami dan mengamalkan ajaran Islam. Golongan ini
kemudian berpendapat, bahwa untuk memecahkan masalah
(solusinya, pen) tersebut adalah sangat penting mendirikan lembaga-
lembaga pendidikan dan amal usaha; ketiga, dari kepenasaran
intelektual yang berawal dari kegiatan intelektual mereka, seperti
membaca pembahasan-pembahasan karya orientalis atau muslim
tentang Islam. Pada umumnya mereka bukan ahli kitab. Mereka
lebih menekankan perlunya prestasi yang hebat sambil menggugah
segala macam kerutinan.

Salah satu wilayah di Nusantara yang memiliki para


Ulama`, terutama pada pertengahan abad ke-18 dan ke-19 M,
adalah Palembang. Di antaranya seperti disebut oleh Ki.H.M. Asyik1
dalam sebuah naskahnya sbb;

“… kami telah mendapat kabar yang mutawatir, adalah


pada zaman dahulu-dahulu di negeri Palembang ini Pangeran
penghulu punya aturan apabila berkehendak memutuskan sesuatu
hukum yang belum tahqiq maka mereka itu menyuruh khotib
penghulunya minta fatwa pada ulama yang semasa dengan
mereka itu seperti almarhum qudwatuna alhaj muhammad ‘akib
ibnu hasanuddin dan almarhum assyaikh Muhammad
Azhary bin Abdillah maka apabila telah dapat nash dan
fatwa dari ulama yang tersebut itu barulah mereka itu
memutuskan hukum itu dengan fatwa ulama …“ (muhammad
asyik bin amir,”tanbieh ....” 1340/ 1921:02, dok);

1
Ayahanda penulis; Ki.(Baba) H.M.Amin Azhari (Kiyai Cek Amin)
adalah salah seorang muridnya. Namanya dilestarikan sebagai nama salah satu
jalan di S.U I; kel. 3-4 Ulu Palembang.
79 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Dari pendahuluan ini, akan mencoba mengungkapkan; 1.
Siapakah almarhum Assyaikh Muhammad Azhary bin Abdillah; 2.
Bagaimana riwayat hidupnya; 3. Pemikiran apa yang pernah
ditulisnya.

Pembahasan

A. Siapa Nian Almarhum Assyaikh Muhammad Azhari bin


Abdillah;
1. Nama, Julukan, dan Gelarnya
Ulama` qudwatuna sendiri menuliskan nama dan identitas
lengkapnya sebagaimana tercantum dalam sejumlah dokumen
tertulisnya sebagai berikut:

a. „abd al-faqier al-fany muhammad azhary ibnu „abd


allah al-falimbany (naskah “athiyaturrahman”,
Makkah 1259/ 1842: 01)
b. faqier ila l-llah ta‟ala al-haj muhammad azhary ibnu
kemas al-haj „abd-allah Palembang nama negerinya,
syafi‟ie mazhabnya, asy‟ary I‟tikadnya, junaidy
ikutannya, samany minumannya2
c. al-faqier al-haqier al-mu‟arrif bi al-zanb wa al-
taqshier muhammad azhary laqban, al-jawy
nisbatan, al-makky wathonan, al-syafi‟ie mazhaban
3
.
Salah seorang buyutnya mengatakan bahwa, julukan
Azhary di belakang namanya itu diperolehnya dari Universitas
Al-Azhar Mesir, karena pernah mendalami sejumlah disiplin
ilmu yang berkaitan dengan aqidah, syari‟ah dan
akhlaq/tasawwuf. (Kms. Ibrahim Zahri, piyut. Wwcr, Februari
1998 di 2 Ulu).

2
Muhammad Azhary al-Falimbany, khotthot al-Qur’an al-‘azhim,
cetakan Kampung Tiga Ulu Demang Jayalaksana Palembang, tahun 1263 H/1848
M.
3
Muhammad Azhary al-Falimbany, tuhfat al-muridin, jami’ sulahdar
1276 H.
80 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Al-Imam Syafi‟i; salah seorang ulama ahli hukum Islam
termasyhur, wafat tahun 820.M; sedangkan al-Imam Asy‟ari;
ahli aqidah Islam. Adapun al-Imam Junaidi al-Baghdadi;
adalah salah seorang ulama` Sufi; Hidup pada masa kholifah
Abbasiyah ke-15; yakni al- Mu‟tamid (256-279.h/ 870-892.m).
Wafat tahun 298 h/ 911.M, namanya adalah Abul Qosim al-
Junaidi. Wafat masa kholifah Bani Abbasiyah ke-18; al-
Muqtadir (295-329 h/ 908-932 M). Dalam sebuah pembelaan
terhadap salah seorang tokoh Sufi sebelumnya, mungkin Abu
Yazid Bustami wafat. 261 h/ 875.M, Pencetus aliran al-Hulul,
Ia mengatakan sbb:
“ Jika mulut kerap kali terdorong –dorong
(karena cintanya) , namun dasar pendiriannya tidaklah
berbeda dengan syari‟at dan tidaklah sekali-kali berniat
untuk melanggarnya. Jika karena cinta kasih pada
Kekasih, kadang-kadang membuat dirinya menjadi
mabuk sehingga tiada sadar apa yang telah dikatakan.
Patutkah orang yang mabuk cinta mesti dihukum?”
Kertorahardjo, Depag.RI, 1972: 94-95. Pembelaannya
ini didukung oleh al-Imam al-Ghozali wafat tahun
1111.M. ditulisnya dalam kitabnya”al-Munqid Mina d-
Dlolal.
Tarekat As-Samani, adalah jalan yang dilaluinya untuk
mencapai makrifat yang mampu menghilangkan dahaganya
dekat dengan Allah SWT. Selaku seorang Sufi (Alim,
Mujahid, dan Abid). Betapa tawaddu‟nya ulama‟ qudwatuna
kita ini. Sementara sahabat dan muridnya selama ia bermukim
di kota suci Mekkah, Madinah dan lainnya, seperti Daud bin
Isma‟il al-Fatany menganugerahinya dengan gelar “al-‘alim al-
‘allamah almarhum bi karam allah ta’ala al-syaikh muhammad
azhary bin ‘abdillah al-falimbany4....
Gelar Syaikh/Syekh yang dianugerahkan Syekh Daud
Ismail Alfatoni di kota Makkah kepadanya ini, menurut dosen
4
Muhammad Azhary al- Falimbany, 1, op, cit, halaman terakhir.
81 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) di Jakarta
bermakna sebagai seorang ulama yang sangat ahli dibidangnya/
profesional, yang dirahmati Allah Yang Maha Tinggi dengan segala
kemuliaan-Nya, seorang guru besar ahli dalam bidang syari’at Islam
(Nashir „Abry, M. A., Dosen LIPIA Jkt, 21-9-1997)
Adapun pekerjaan seorang Syekh itu, selain sebagai
guru besar ahli dalam bidang syari‟at Islam, juga melayani
calon jama‟ahnya, dan jama‟ah calon haji dan para jama‟ah
haji yang akan bermukim sementara/menahun atau pulang ke
asal negeri masing-masing, disini seorang syekh sangat
membantu kemabruran dan kelancaran ibadah haji/umrah
kaumnya (masyarakat sebahasanya), terutama ketika selama
berada di kedua kota suci. Satu sumber mengatakan sbb:
“ syekh di kota makkah menghimpun para jama‟ah
haji dan memeliharanya dengan mencarikan rumah
persewaan bersama-sama buat mereka yang menjadi
anak buahnya, menguruskan perjalanannya pergi
pulang ke Madinah (bersekedup/ naik onta maupun
bermobil/ truck), serta menyediakan rumah sewaan
disana untuk selama mereka di Madinah itu; demikian
juga perjalanan ke „arafah dan waktu kembalinya
singgah ke Mina, kemudian juga perjalanannya ke
Jeddah kembali, serta menyediakan rumah sewaan
disitu selama belum naik kapal” (Wahid Hasyim,
K.H.A. Menuju Perbaikan Perjalanan Haji, cet. Kita,
Djakarta, th,-, halaman 15-16)
Wilayah kepulauan Nusantara disebut oleh beberapa
Pujangga Muslim asal negeri Arab sebagai “Jawa/ Jawah”.
Sedangkan bangsanya dijuluki al-Jawy. Kata ini terungkap pada
sebaris bait syi‟ir (dari 18 baris) oleh penyair Sungai Nil terkenal;
Jenderal Hafizh Ibrahim (1872-1932) dalam diwannya menyambut
abad ke-13 Hijriyah (abad ke-20 M) berjudul AL’AM AL-HIJRY,
sebagai berikut.:

82 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


“…..[‫ أأضاءت ألجلها امسبيل فبكروا‬،‫ و فيه بدت يف أأفق جاوة ملعة‬...]
Wa fiehi badat fy ufuqi Jaawah lam’atun adloat li ajlieha s-sabiel fa
bakkaru

Pada abad ke-13 H/ 20 M ini, cahaya Islam yang terang


benderang itu akan muncul dari ufuk Nusantara yang telah
menyinari perjalanan bangsanya, maka segeralah menyongsongnya. 5

2. Riwayat Hidup Ringkas dan Wafatnya


Syekh Muhammad Azhary al-Falimbany adalah putera ke
delapan, dilahirkan ibunya Nyimas Rabibah binti Kemas
Hasanuddin bin Kemas Sinda pada malam Jum‟at, pukul satu,
tanggal 27 Kumadil akhir, sanah 1226 H/1811 di kampung
Pedatu‟an; kampung 12 Ulu; Palembang. Sedangkan Kemas Sinda
adalah suami dari Nyimas Buntal binti Kiyai Mas Haji Abdullah bin
Mas Nuruddin bin Mas Syahid.

Suasana ketenteraman di ibu kota kala itu telah hilang,


terganggu oleh adanya intervensi bangsa asing asal benua Eropa
bahkan telah menyebabkan banyaknya penduduk Palembang yang
gugur sebagai Syuhada` akhirat; Sementara Sultan Mahmud
Badaruddin II yang alim lagi bijaksana beserta keluarganya diusir ke
negeri jauh (Ternate). Ayahandanya bernama Kemas Haji Abdullah
(1190-1265/1755-1848), adalah seorang ulama dan salah seorang
pemuka masyarakat berusia sekitar 56 tahunan.

Ibunya wafat saat melahirkan adiknya, ia diasuh dan


dibesarkan oleh kedua bibinya; Nys. Jamilah binti Kemas
Hasanuddin (dulur ibunya) yang kemudian menjadi ibu kualonnya,
dan oleh Nys. Hajah „Aisyah binti Kemas Haji Ahmad (dulur
ayahnya) dalam lingkungan keluarga yang taat dan kuat
menjalankan agama. Di masa kecilnya, suasana kota sedang

5
Terjemahan Prof.H. Husin Ahmad, Dosen penulis di Fak. Adab IAIN
Yogyakarta, 4-5-1980. Demikian juga terjemahan Martin Van Bruinessen dalam
bukunya, Kitab Kuning; Pesantren dan Tarekat, Mizan, Bandung, Cet. I,
1415/1995: 136. Senafas dengan makna dalam kamus al-Munjid oleh Lois
Ma’luf, cet. Beirut, XXI, 1973: 410-411.
83 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
berkobar semangat jihaad fie sabiel Allah guna mempertahankan
kedaulatan kerajaan dan berupaya keras mengusir kehadiran
imperialisme Barat dipimpin oleh para pejuang yang setia terhadap
Sultan Mahmud Badaruddin II, semula jihad ini berhasil, setelah
itu kaum kafir mulai menggunakan politik dividit et impera.

Bukan mustahil, pihak kaum Kafir harbi ini memanfaatkan


adanya paham aliran yang berbeda dalam Islam; seperti paham
rasional (syi‟ah/ Qodaariyah, atau lainnya) dengan aliran tradisional
(ahlussunnah/ Jabbariyah, atau lainnya). Akibatnya timbul saling
membunuh diantara sesama kaum pribumi.

Kemudian kaum kafir harbi ini melakukan serangan


kembali pada bulan puasa 1236.H/ 1821 yang dipimpin oleh
Mayjen. H. M. de Kock dengan dukungan kapal dan prajurit yang
berlipat ganda, termasuk prajurit bayaran asal Mentol, Siak, Jawa
dan Ambon yang akhirnya membumihanguskan pusat kota
kesultanan itu sehingga menjadi runtuh, kecuali bangunan masjid
Agung. Palembang dapat diduduki oleh Belanda pada bulan Juni
1821. Kondisi ini telah mampu melumpuhkan kekuatan Sultan
Mahmud Badaruddin II.

Dalam suasana tersebut, keluarga besar Ulama Palembang


dan kerabatnya ini hijrah ke dusun Tanjung Lubuk (OKI) dan
daerah sekitarnya selama beberapa tahun. Ia bersama keluarga besar
dan yang seusia dengannya dididik oleh ayahandanya bertafaqquh
fiddin, mengaji al-Qur‟an dan latihan beribadah serta belajar sastra
Melayu, dari tingkat rendah (tamhidy/persiapan) sampai pada
tingkat dasar/ ibtidaiyyah.

Mereka yang telah menguasai ilmu pengetahuan dan bahasa


Islam (Arab/ Melayu) disiapkan pula menjadi Ulama` di masa
depan. Pada masa itu, para pemuda dan orang dewasa banyak yang
gugur dan mati syahid, maka yang mengantarkan calon Ulama‟
yang berusia beli ini adalah bibindanya bernama Nyimkas Hajah
„Aisyah binti Kemas Haji Ahmad. Mereka meninggalkan pelabuhan
negeri Palembang pada tanggal 6 Rabi‟ul Awwal 1242.H/ 1826.
Menumpang kapal layar mengarungi samudra Hindia menuju
negeri Hijaz selama enam bulan dalam perjalanannya, dan tiba di
pelabuhan Jeddah dan kota Makkah pada tanggal 20 Ramadhan
84 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
tahun 1242. H/1826. untuk menyelesaikan pendidikannya ke
tingkat lanjutan. Sementara anggota keluarga yang lain merantau ke
tanah Jawa; Cirebon. Ketika itu berangkat ke luar negeri amatlah
sulit jika tanpa maksud dan tujuan yang jelas. Dengan banyak
rintangan dan menghadapi bermacam kesulitan, akhirnya Ia dapat
melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi dan dalam
ke negeri Hijaz.

Selama bermukim dan berhasil menyelesaikan tugasnya di


negeri Hijaz, Ia berhasil sehingga dijuluki al-Falimbany sebagai
salah satu ulama` daeru kawasan Asia Tenggara, dan mendapat
gelar Syaikh dari para senior dan muridnya. Beberapa kali Ia pulang
ke Palembang, bahkan sempat aktif memberikan fatwa kepada
kaum muslimin, dan menyelenggarakan aktivitas pendidikan serta
penyiaran ajaran agama Islam bersama Kiyai Demang Jayalaksana
Baba Muhammad Najib. Yang kemudian menjadi iparnya. Ulama`
qudwatuna ini wafat pada tanggal 18 Rabi‟ul Akhir sanah 1291
H/1874 M. Dimakamkan di perkuburan al-Ma‟la dekat kota
Mekkah (Dok. Kms. Mansur Azhary, 12 ulu Pedatu‟an Laut,
Palembang/ selaku salah seorang piyutnya).

B. Latar Belakang Pendidikannya


1. Pendidikan Tingkat Lanjutan
Sebelum berangkat ke tanah Hijaz, diduga bahwa
meteri pendidikan di Nusantara pada umumnya sebatas
mendalami ilmu tasawuf (al-Ihsan) melalui latihan-latihan,
guna menguatkan identitasnya sebagai pusat pendalaman
ilmu-ilmu agama. Hal tersebut karena langkahnya literatur ke-
Islam-an karya para ulama terkemuka 6, juga karena tarekat
memainkan peranannya dalam perlawanan penduduk di
negeri Palembang terhadap kaum penjajah Belanda kafir
harbi.

6
Ahmad Sugiri, Drs. Proses Islamisasi Dan Percaturan Politik Umat
Islam Di Indonesia, alqalam, IAIN, SGD, Serang, No.59/I/1996: 45.
85 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
2. Beberapa muridnya di Palembang
Dalam kondisi kemunduran tersebut, tentu ada
beberapa faktor, menurut penulis, memang ada faktor politik,
karena tanah Hijaz menjadi rebutan bangsa Inggris melawan
bangsa Turki. Kondisi ini telah mampu menghalangi
kemajuannya oleh beberapa kelompok aliran yang berbeda
dengan alasan mengajarkan bid‟ah dan lainnya. Mundur
dalam arti sejumlah madrasah di kota Makkah kurang
diperhatikan, karena besarnya pengaruh Masjid al-Maharam.
Guru-guru Shaulatiyah yang paling terkenal juga mengajar di
Masjid al-Haram. Dalam pelajaran kitab kuning isnad dianggap
begitu penting, maka para murid lebih cenderung merunjuk
nama gurunya dari pada nama lembaga dimana mereka
belajar7.
Anaknya bernama Kemas Abdullah bin Syekh
Muhammad Azhari al-Falimbani (Kiyai Pedatu`an) sendiri
menyebut nama ayahandanya sebagai sumber pengambilan
tarekat khusus tersebut tetapi dengan bai‟at dan ijazah sahabat
ayahandanya, yakni dari Sayyid Ahmad Dahlan, waktu itu
beliau sebagai Mufti Syafi‟i Makkah, ayahandanya mengambil
dari Syekh Sayyid Hasib, demikian juga Sayyid Ahmad
Dahlan.
Salah seorang sahabat karib beliau yang lain, dan
sebilik (satu zawiyyah) adalah al-„Allamah Abu Bakar yang
terkenal dengan sebutan al-Sayyid al-Bakry bin al-Sayyid
Muhammad Syatho al-Dimyathi. Seorang Komentator kitab
fiqh fath al-mu’in dengan nama kitabnya I’anat at-tholibin,
bermazhab Syafi-„ie. Sewaktu kitab tersebut ditulis, hampir
setiap saat terjadi diskusi antara beliau dengan Sayyid al-
Bakry8, maka sahabat beliau seangkatan yang lain di Makkah
diduga adalah al-„Allamah Syekh Muhammad Nawawi bin
Umar al-Jawy, al-Bantany, beliau ini dikenal sebagai Sayyid al-

7
Martin Van Bruinessen, op.,Cit.,hal. 27.
8
Wawancara dengan K.H.A. Husin Hamzah (buyut beliau).
86 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Ulama Hijaz (tokoh pemuka ulama Makkah), pengarang kitab
tafsir mirah labid li kasyfi ma’na qur’an majid-tafsir nawawy. Dan
lain-lain.9
Pada masa yang sama, saat berada di Palembang,
sahabat dan kerabatnya di masa kecil bernama Baba
Muhammmad Najib, lulusan Psantren Cirebon dan Betawi
telah berjuluk Kiyai Demang Jayalaksana yang diusulkan oleh
Perdana Menteri Keramojayo Abdul Azim selaku Kepala
Divisi di OKI sejak tanggal 6 Juni 1836. Selanjutnya menjadi
iparnya. Dalam masa Pemerintahan Bersama (Darul „Ahdi)
ini, Syekh Muhammad Azhari al-Falimbani mengajak iparnya
selain bertugas memelihara keamanan dan kesejahteraan
rakyat di OKI, juga turut memperjuangkan dan menegakkan
identitas kaumnya selaku Muslim Melayu yang bermazhab al-
Syafi‟ie (fiqh), al-Junaidy (tasawuf/ akhlak), al-Sammany
(tarekat/ zikir), al-Asy‟ary (aqidah/ tauhid).
Mengenai murid-murid beliau di Palembang masih
belum diketahui semuanya. Beliau mulai aktif mengajar
sekitar tahun 1268/1843, mereka yang tercatat dan terdengar
adalah sebagai berikut:
1. Haji (Baba) Balkia bin Demang Jayalaksana; (1837-
1910)
2. K. Haji Abu Yamin al-Hafizh bin Kgs. H. A. Malik;
3. (Baba) Haji Muhammad Najib bin Haji Balkia;
4. (Baba) Haji Muhammad Arif bin Haji Balkia.10
5. Dan dari lainnya, termasuk dari Bangka, Belitung,
Malaka, dls.

9
Lois Ma’luf, Op.,Cit., halaman 719.
10
Wawancara dengan Ki. H. M. Amin Azhari yang mendapat ijazah
dala`il al-khairat secara langsung dari Haji (Baba) Muhammad Arif, wanda
sekaligus sebagai gurunya sendiri di masa kecil.
87 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Ketiga muridnya (no.1,3,4) berangkat menunaikan
ibadah haji ke Makkah bersama beliau dan menahun di sana
selama dua kali puasa Ramadhan.11
C. Pemikiran Aqidah Ahlussunnah Waljama‟ahnya dalam
naskah 1842
Karya Tulis
1. Kitab ‘Athiyat al-Rahman, Makkah, 1259.H/1842.M.12
2. Kitab Al-Qur’an al-‘Azhiem , 3 ulu Palembang Kampung
Demang Jayalaksana, 1263.H/1848.M.13
3. Kitab Tuhfat al-Muridien, Jami‟ah Syulahdar
(Sahulatiyah, India?). 1276.H/1859.M.14
4. Hamisy Kitab Siroj al-Huda, Makkah, tanpa tahun.15
5. Brosur Fadloil Membaca Sholawat Nabi Muhammad
SAW. Cetakan 3 Ulu Palembang, tanpa tahun.16
6. Kitab Dala-il al-Kahirat, Cetakan 3 ulu Palembang,
tanpa tahun (kitab ukuran saku, dan halamannya
telah tidak utuh lagi)

Naskah kitab aqo`idul iman Palembang yang berjudul


“Athiyaturrahman” terdapat dua jenis. Pertama naskah
cetakan Makkah tahun 1304.H./ 1887 M ?. yang digunakan
untuk memaparkan makalah ini. Kedua naskah tulisan tangan
sekitar tahun 1862 di Baturaja, milik Kems.H. Andi
Syarifuddin Ibrahim, S.Ag. yang digunakan untyuk mewarnai
tinta merah. Sesuai pula dengan kode () yang terdapat dalam
naskah Makkah.

11
Wawancara dengan B. A. Hamid Cek Nang, cucu Haji Muhammad
Arif.
12
Kitab salinan tangan asli tahun 1863 di Baturaja ada pada Kms. Andi
Syarifuddin, S. Ag. 19 Ilir. Cetakan Makkah, 1304.H/1886.M, pada Kms. Ahmad
Husin Hamzah, 3 ulu Jayalaksana.
13
Kitab yang masih utuh pada R.H.M. Husin Natadiraja, Depaten/29
Ilir. Yang agak rusak, pada Mgs. Jufri Azim, 7 ulu lr. Famili Setia.
14
Kitab ini ada pada Mgs. Jufri Azim 7 ulu Lr. Famili Setia.
15
Ada pada Kms. M. Yunus Badar, Karang Anyar, Pebem. Palembang.
16
Ada pada Kms. H.A. Husin Hamzah, 3 ulu Palembang.
88 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Dari 19 halaman, terdapat 4 (empat) halaman (15-18)
yang mengupas / mengkaji rukun iman keenam; qodlo` dan
qodar, karena bab inilah terdapat pemikiran aswajanya sbb:
“Maka ketahui olehmu hai saudaraku bahwasanya
segala yang berlaku di dalam alam ini dari pada segala perbuatan
dan perkataan hamba seperti gerak dan diam berdiri dan duduk
makan dan minum dan barang sebagainya dari pada amal
kebajikan seperti iman dan taat dan kejahatan seperti kufur dan
maksiat sekalian itu dengan ditaqdirkan Allah Ta‟ala di dalam
azal dijadikannya keabadian yang dicitakan serta
dikehendakinya dengan qudratnya dan iradatnya yang qodim
dan tiada dengan qodrat hamba yang baharu. Karena qudrat
hamba yang baharu itu skali-kali tiada memberi bekas pada
tiap-tiap suatu ada bagi hamba itu kasab artinya usaha dan ikhtiar
artinya milih antara berbuat suatu dan meninggalkan dia. Allah
Ta‟ala jua yang menjadikan segala perbuatan hamba itu dan
adalah hamba mengusahakan dia pada zahirnya dengan usaha
dan ikhtiar, disandarkan usaha dan ikhtiar itu bagi hamba
pada zahirnya jua dan pada usaha dan ikhtiar itulah tempat
ta‟luk hukum syara‟ pada hamba atas tiap-tiap akil baligh laki-
laki dan perempuan menuntut dan memilih antara baik dan
jahat pada hukum syara‟ pada hakekatnya sekali-kali tiada bagi
hamba itu empunya usaha dan ikhtiar hanya sekaliannya itu
dari pada Allah Ta‟ala jua jadilah hamba itu pada zahirnya
mukhtar dan pada batinnya majbur17

Penutup

1. Syekh Muhammad Azhari Al-Falimbani (1811-1874)


menjadi saksi hidup bagaimana kondisi kaumnya
yang mengalami kebingungan dan kehilangan
identitas khas Melayu Palembang.

17
Tertil “mujtahid dlm Naskah Palembang. Dan kurang beberapa
kalimat.
89 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
2. Salah satu pondasi untuk menguatkan identitas
kaumnya kembali, ia mengarang kitab aqidah
ahlussunnah wal jama‟ah (1842) hanya menurut
pemikiran al-Asy‟ary (tidak memasukkan pemikiran
al-Maturidi) dengan nama „Athiyyat al-Rahman fy
„Aqaid al-Iman dan menerbitkan 105 eksemplar al-
Qur‟an al-„Azhim di 3 ulu, kampung Demang
Jayalaksana tahun 1848.
3. Di antara tiga mazhab Aqidah yang berkembang di
Palembang, pertama mazhab ahlussunnah wa l-
jama’ah18 inilah yang wajib atasnya tiap-tiap mukallaf
mengi‟tikadkan dia dan kedua mazhab qodariah
dan ketiga mazhab jabbariah maka keduanya itu
batil lagi sesat tiada boleh dipegang sekali-kali.
Saran
Syekh Muhammad Azhary al-Falimbany adalah salah
seorang tokoh Islam pribumi asal Palembang. Namun lebih
dikenal oleh orang luar, dan masyarakat Melayu di luar
Nusantara. Jasanya dalam memelihara nilai-nilai Islam melalui
sejumlah karya tulis, baik dalam bahasa Melayu maupun
bahasa Arab baru diketahui sekarang, kini bangsa Indonesia
yang mayoritas memeluk agama Islam selayaknya bersyukur,
dengan memelihara dan meneruskan ajarannya ini.

Catatan editor:
Tulisan ini pernah disampaikan dalam seminar yang diselenggarakan
oleh MUI Provinsi Sumatera Selatan, bertempat di Aula Asrama
Haji Palembang, pada 14 Mei 2013.

18
Yang berpegang teguh kepada tradisi sebagai berikut:
1. Bidang hukum Islam, menganut salah satu mazhab/Syafi’ie.
2. Bidang Tasawwuf, menganut ajaran Imam Abu ‘Qosim al-Junaidy.
3. Bidang Tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ary
(Zamakhsyari Dhofir, Dr. Tradisi Pesantren, 1982: 1149..
Dan bidang minuman (tarekat) menganut metoda Syekh Muhammad
Samman. (Dokumen).
90 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
SYAIKH ISMĀ’ĪL DAN TAREKAT NAQSHABANDIYAH DI
MINANGKABAU PERSPEKTIF NASKAH AL-MANHAL

Syofyan Hadi, MA
Dosen Sastra Arab pada Fakultas Adab
IAIN Imam Bonjol Padang Sumatera Barat

Abstract
This article provides new evidence and very different studies and theories of previous
researchers about the process of entry and the dynamics of teaching congregations
Naqshabandiyah Khalidiyah in Minangkabau. In this article proved that tariqa of
Naqshabandiyah Khalidiyah entered and thrived in Minangkabau at the early of
19th century AD through the east coast region of West Sumatra on the influences
and the kindness of Shaykh Ismā‘īl al-Khālidī al-Minangkabawī. This article tries
to place Shaykh Ismā‘īl al-Khālidī al-Minangkabawī on a real portion of his
capacity as a central figure of tarekat Naqshabandiyah in Minangkabau.
Keywords: al-Manhal manuscript, tarekat Naqsyabaniyah

Abstrak
Artikel ini memberikan bukti baru dan sangat berbeda dengan kajian-
kajian dan teori-teori para peneliti sebelumnya tentang proses masuk dan
dinamika perkembangan ajaran tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah di
Minangkabau. Dalam artikel ini dibuktikan bahwa tarekat
Naqshabandiyah Khalidiyah masuk dan berkembang di Minangkabau pada
awal abad 19 M melalui kawasan pantai timur Sumatera Barat atas
pengaruh dan jasa Shaykh Ismā„īl al-Khālidī al-Minangkabawī. Artikel ini
ini berupaya menempatkan Shaykh Ismā„īl al-Khālidī al-Minangkabawī
dalam porsi yang sesungguhnya dalam kapasitasnya sebagai tokoh sentral
ajaran tarekat Naqshabandiyah di Minangkabau.
Kata kunci: Naskah al-Manhal, tarekat Naqsyabaniyah

91 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Pendahuluan
Naskah al-Manhal al-‘adhb li-dhikr al-qalb (selanjutnya
disingkat al-Manhal) adalah naskah yang sangat penting dalam
konteks historis dan dinamika penyebaran tarekat Naqshabandiyah
Khālidīyiah di Minangkabau. Setidaknya ada tiga alasan untuk
menyebut bahwa naskah al-Manhal ini penting dikaji. Yaitu;
Pertama, bahwa naskah ini adalah karangan Shaykh Ismā„īl
al-Khālidī al-Minangkabawī tokoh pembawa dan penyebar ajaran
tarekat Naqshabandiyah al-Khālidīyiah di Minangkabau. Sampai
sejauh ini, para peneliti baru menemukan dua buah saja karya
Shaykh Ismā„īl al-Khālidī al-Minangkabawī . Yakni Kifāyat al-ghulām
fī bayān arkān al-islām wa-shurūṭih (kecukupan bagi anak dalam
penjelasan tentang rukun Islam dan syarat-syaratnya) serta Risālah
muqāranah urfiah wa-tauziah wa-kamāliah (risalah tentang niat shalat).
Kitab pertama berisi penjelasan tentang rukun Islam, rukun iman,
sifat Tuhan dan penjelasan tentang kewajiban Muslim dalam
kehidupan sehari-hari. Kitab kedua merupakan buku kecil yang
membicarakan keterpaduan antara niat dan lafal takbīrat al-iḥrām
pada permulaan pelaksanaan shalat.1
Maka penemuan sekaligus kajian terhadap naskah ini
menjadi amat penting, bukan hanya untuk menunjukan bahwa
masih ada kitab lain karangan Shaykh Ismā„īl al-Khālidī al-
Minangkabawī yang baru ditemukan, namun lebih jauh menjadi
bukti kuat yang menunjukan eksisitensinya sebagai tokoh
pengembang ajaran tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah di
Minangkabau. Sebab, naskah inilah yang dengan jelas
menggambarkan ajaran tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah yang
dikembangkannya.
Kedua, bahwa dengan memperhatikan fisik naskah dan sisi
penulis atau pengarang dari naskah ini, patut diduga bahwa naskah
ini adalah induk dari naskah-naskah tentang ajaran tarekat
Naqshabandiyah Khalidiyah yang ditulis kemudian oleh Shaykh-
Shaykh tarekat Naqshabandiyah Minangkabau dalam bentuk uraian

1
Muhammad Shaghir Abdullah, Khazanah Karya Pusaka Asia
Tenggara Jilid I (Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1991), 143. Lihat juga
MartinVan Bruinessen, Tarekat Naqshabandiyah di Indonesia, Survei Historis,
Geografis dan Sosiologis (Bandung: Mizan, 1994), 98. Begitu juga M Sholihin,
Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005), 80.
92 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
dan penjelasan yang lebih rinci. Dugaan itu didasari kepada temuan
angka tahun penulisan naskah yang menyebutkan tahun 1245 H/
1819 M. Dengan demikian, naskah al-Manhal ini adalah naskah
tentang ajaran tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah tertua yang
ditemukan di Minangkabau.
Ketiga, penjelasan terhadap ajaran tarekat Naqshabandiyah
Khalidiyah dalam naskah inipun tergolong unik dan menarik, yaitu
dalam bentuk Naẓm atau bait-bait menyerupai syair lengkap dengan
wazan, baḥar dan qāfiyah-nya yang indah. Dalam penelusuran yang
pernah dilakukan oleh para filolog terhadap naskah-naskah ajaran
tarekat di Minangkabau, khususnya tarekat Naqshabandiyah belum
lagi ditemukan adanya naskah ajaran tarekat termasuk
Naqshabandiyah yang dituangkan oleh penulisnya dalam bentuk
bait-bait syair (naẓm) dalam konteks Minangkabau.

Tentang Naskah al-Manhal al-‘adhb li-dhikr al-qalb


Naskah al-Manhal ini adalah koleksi Surau Lamo Tuanku
Mudiek Tampang Rao Pasaman. Sebuah surau pusat tarekat
Naqshabandiyah di kawasan Pasaman perbatasan Sumatera Barat
dan Sumatera Utara. Naskah al-Manhal merupakan salah satu dari
32 naskah yang tersimpan di surau tersebut. Naskah-naskah yang
berada di surau ini merupakan milik keluarga dan tidak bisa diakses
oleh selain pihak keluarga. Bahkan, pihak keluargapun hampir
tidak pernah menyentuh naskah-naskah ini, karena dianggap
sebagai benda yang sakral. Hal inilah yang menjadikan naskah
koleksi di surau ini tidak mendapatkan sentuhan apalagi perobahan
wujud dalam bentuk perbaikan fisik, termasuk untuk memberikan
nomor halaman dan kode naskah sekalipun.
Informasi tentang pengarang ditemukan pada halaman 5
dan 6 naskah.
“Inilah wasiat saya faqīrun ilá Allāhi ta‘ālá mawlāhu al-ghanī
Shaykh Ismā„īl pada sekalian jemaah saya yang pergi naik
haji di Makkah al-musharrafah tiap-tiap tahun. Maka
hendaklah di amal wasiat saya ini. Demikianlah wasiat saya
itu. wasiat saya ini saya terima daripada guru saya Shaykh
Muḥammad Ṣāliḥ ibn Ibrāhīm al-Ra‟īs mufti al-shāfi„ī di
Makkah al-maḥmiyyah al-majdiyyah dan guru saya Shaykh
„Abd Allāh Affandi al-Khālidī al-Naqsyabandī.

93 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Sekalipun Naskah al-Manhal dikarang oleh Shaykh Ismā„īl
al-Khālidī, namun berat dugaan naskah ini tidak tulis langsung oleh
Shaykh Ismā„īl al-Khālidī. Naskah ini diduga merupakan naskah
salinan yang disalin oleh muridnya atau pihak lain. Dugaan itu
didasari kepada bentuk tulisan yang sedikit “sembraut” dan terdapat
banyak sekali kesalahan baik dari segi kaidah penulisan maupun
gramtaikalnya. Asumsinya adalah tidak mungkin seorang ulama
sekaliber Shaykh Ismā„īl al-Khālidī yang belajar di Makkah dan
Madinah selama lebih dari 35 tahun serta berlajar kepada ulama-
ulama Timur Tengah terkemuka pada masanya, sepertinya tidak
mengerti tata bahasa atau gramatikal bahasa Arab. Kesalahan
garamatikal yang terdapat dalam teks merupakan kesalahan yang
sangat fatal dan tidak bisa ditolerir bagi seorang yang pernah belajar
lama di Timur Tengah. Namun demikian, sayang sekali informasi
tentang penyalin tidak ditemukan dalam naskah ini.
Mengenai angka tahun penulisan naskah seperti yang telah
disinggung sebelumnya bisa ditemukan pada halaman 54 naskah al-
Manhal ini, yaitu tahun 1245 H atau sekitar tahun 1829 M. Pada di
halaman 14 ditemukan bahwa naskah ini ditulis di rumah sulūk
Riau. Angka tahun dan tempat yang disebutkan dalam naskah ini
adalah angka tahun dan tempat penulisan naskah, karena sekali lagi
andai kata dugaan bahwa naskah ini salinan maka angka tahun dan
tempat penyalinanya tidak ditemukan dalam naskah.
Naskah al-Manhal ditulis menggunakan bahasa Arab dan
Melayu dengan menggunakan Aksara Arab dan aksara Jawi (Arab-
Melayu). Pada beberapa bagian ditemukan kata-kata dengan bahasa
khas Minangkabau seperti kata “dukuh” pada halaman 17 yang
berarti “kalung”, kata “dipataruhkan” pada halaman 49 yang berarti
“dititipkan” dan sebagaiya.
Adapun bentuk teks dari naskah al-Manhal adalah
gabungan dari prosa dan puisi. Pada bagian pertama, yaitu halaman
1 sampai halaman 11 teks berbentuk prosa yang berisi uraian
tentang beberapa ajaran Naqshabandiyah yang bersifa deskriptif.
Sementara dari halaman 11 sampai halaman 57 teks berbentuk
naẓm (puisi) dengan pola tarjamahan perkata dan perbaris pada
setiap bait dari puisi tersebut.
Naskah ditulis menggunakan kertas Eropa dengan cap
kertas (water mark) bergambar singa dan cap bandingan bertuliskan
94 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
GESC I II IV T. Namun, setelah dilacak pada buku petunjuk cap
kertas yang disusun oleh W.A Churchill dan Edward Heawood
tidak ditemukan cap kertas dengan cap tandingan seperti yang
terdapat dalam alas naskah al-Manhal. Oleh karena itu, tidak bisa
diketahui kapan tahun pembuatan kertas ini. Bila diterawang, kertas
ini mempunyai 7 chain line (garis tebal) dengan alur horizontal dan
laid line (garis tipis) berjarak 1 cm dengan alur vertikal. Jarak antara
chain line sebesar 2,7 cm.
Naskah al-Manhal terdiri dari 57 halaman yang masih utuh.
Beberapa halaman depan dan belakang sudah hilang serta beberapa
halaman di tengah. Naskah al-Manhal merupakan salah satu naskah
yang sudah sangat memprihatinkan, karena naskah tidak lagi
mempunyai cover/sampul dan pada halaman paling belakang sudah
ada sebagiannya yang robek dan rusak karena dimakan rayap.
Jilidannya sudah sangat rapuh serta kondisi teks yang sebagian
sudah rusak dan sebagian kabur akibat dimakan usia ditambah lagi
perawatan yang tidak semestinya dari pemilik.
Ukuran naskah 21 cm x 17 cm dengan vias atas 2 cm, vias
bawah 3 cm, vias kanan 1,2 cm, vias kiri 4 cm. Naskah MADQ
secara umum dalam keadaan bagus dan masih bisa dibaca kecuali
pada beberapa bagian saja yang kabur. Naskah tanpa penomoran
halaman.
Teks berukuran 16 cm x 12 cm dengan jumlah baris dalam
setiap halaman rata-rata 7 baris pada teks yang berbentuk puisi dan
rata-rata 17 baris untuk teks yang berbentuk prosa. Kecuali pada
halaman 15 yang hanya terdapat 5 bait, karena di bagian tengah teks
terdapat narasi 3 baris yang menjelaskan judul pembahasan teks.
Pada halaman 42 juga terdapat satu bait puisi yang ditulis pada
bagian pinggir kanan teks.
Pada setiap baris yang berbentuk puisi diiringi dengan
terjemahan perkata dengan bahasa melayu dan sebagian ada juga
dengan bahasa Minangkabau. Kecuali ada beberapa bait dari pusi
yang tidak ditemukan adanya tarjamahan seperti satu bait pada
halaman 35. Begitu juga, pada halaman 45 pada bait ketiga, hanya
separoh bait (hashwu)nya saja yang ditarjamahkan. Naskah
menggunakan alihan, yaitu satu atau lebih kata yang terdapat di
bagian bawah halaman recto, dan merujuk pada halaman
berikutnya.

95 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Teks ditulis dengan tinta hitam dengan jenis khat “naskhi
lokal”. Artinya bahwa jenis tulisan secara umum cendrung kepada
bentuk naskhi, namun tidak terlalu persis seperti khat naskhi yang
berlaku dalam aturan kaligrafi Arab. Pada setiap kalimat yang
berbahasa Arab diberi harkat oleh penyalin, sekalipun banyak
penempatan harkat yang salah menurut kaidah gramatika bahasa
Arab. Tidak ditemukannya rubrikasi, ilustrasi ataupun iluminasi
dalam naskah.

Shaykh Ismā‘īl dan Dinamika Perkembangan Ajaran


Tarekat Naqshabandiyah di Minangkabau
Di samping berisi ajaran-ajaran pokok tarekat
Naqshabandiyah, naskah al-Manhal ini mengandung banyak
informasi yang berharga, baik tentang Shaykh Ismā„īl al-Khālidī al-
Minangkabawī sebagai penyebar pertama ajaran tarekat
Naqshabandiyah Khalidiyah di Minangkabau maupun tentang
ajaran dan dinamika tarekat Naqshabandiyah al-Khālidīyiah pada
fase awal perkembangannya yang selama ini masih dianggap kabur
dan samar. Berikut akan dipaparkan hal-hal penting terkait dengan
informasi naskah al-Manhal ini.
Pertama, Shaykh Ismā„īl al-Khālidī al-Minangkabawī
dianggap sebagai seorang tokoh pertama pembawa dan penyebar
ajaran tarekat Naqshabandiyah di Minangkabau. Namun, sampai
sejauh ini belum satupun peneliti yang bisa mengungkapkan secara
pasti kapan masa tokoh ini hidup, walaupun ada kesepakatan
sementara peneliti yang menyebutkan bahwa Shaykh Ismā„īl pernah
belajar pada masa, tempat, dan guru yang sama dengan „Abd al-
Ṣamad al-Palimbani dan Muhammad Arshad al-Banjari.2
Semua penjelasan tentang kehidupan pengarang masih
bersifat asumsi dan perkiraan dan belum didasari data, fakta dan
informasi yang akurat. Namun demikian, naskah al-Manhal ini dan
satu naskah lain tentang ajaran tarekat Naqshabandiyah yang juga
ditemukan di daerah Pasaman tepatnya surau Shaykh Muhammad
al-Amīn Kinali, sedikit bisa memberikan informasi yang valid

2
Di antara guru-guru tempat tokoh-tokoh ini belajar adalah Ibrāhīm al-
Ra’īs, Muhammad Murad, Muhammad al-Jauhari dan ‘Aṭā’illāh al-Miṣrī. Lihat
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII (Jakarta: Prenada Media, 2005),247.
96 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
tentang kehidupan pengarang. Pada halaman 54 naskah al-Manhal
ini ditemukan angka tahun penulisan naskah. Disebutkan,
“Sungguhnya telah sempurna menazamkan akan arjūzah ini
sanat 1245.”
Angka tahun ini menurut hasil konversi dengan tahun
Masehi sekitar tahun 1829 M. 3 Dan pada halaman 14 naskah al-
Manhal, ditemukan bait yang menginformasikan bahwa naskah ini
ditulis di rumah sulūk Riau. Petunjuk tahun ini sekaligus
membantah anggapan populer yang selama ini dikemukan oleh
sebagian peneliti seperti Martin van Bruinessen yang menyebutkan
bahwa Shaykh Ismā„īl setelah menjadi khalifah Tarekat
Naqshabandiyah di Makkah, kembali ke Riau sekitar tahun 1850-an
M.4 Bahwa Shaykh Ismā„īl al-Khālidī pernah tinggal di Riau serta
menjadi guru dan penasehat raja muda Riau yang Dipertuan Muda
Raja Ali, mungkin bisa diterima. Hal itu dikarenakan adanya

3
Angka tahun yang ditemukan dalam naskah MADQ ini sekaligus
menjadi bukti kuat kalau ajaran tarekat Naqshbandiyah, khususunya
Naqshabandiyah Khalidiyah masuk ke Minangkabau pada awal abad 19 M. Bukti
lain yang menguatkan pendapat ini adalah, bahwa semua tokoh penyebar dan
pengembang ajaran tarekat Naqshabandiyah di Minangkabau mengambil bai‘at
dan ijazah di Jabal Qubays, terutama kepada Shaykh Sulaymān al-Qirimī dan
khalifahnya Sulaymān al-Zuhdī. Sementara Jabal Qubays sebagai pusat ajaran
tarekat Naqshabandiyah baru terbentuk pada awal abad 19 M, setelah Shaykh
Ghulām ‘Alī mengangkat ‘Abd Allāh al-Makkī (w.1852 M) sebagai khalifahnya
di Makkah. Adapun anggapan yang mengatakan bahwa tarekat Naqshabandiyah
masuk ke Minangkabau pada awal abad 17 M adalah hal yang masih diragukan,
karena tidak ada bukti yang kuat menunjukan hal itu. Pendapat ini hanya
didasarkan pada temuan sebuah naskah yang berjudul Lubāb al-Kifāyah karya
seseorang bernama Jamāl al-Dīn. Satu-satunya salinan naskah ini yang masih ada
dibuat tahun 1859 M. Jamāl al-Dīn sendiri masih belum diketahui kapan masa
hidupnya. Van Ronkel kemudian menduga bahwa Jamāl al-Dīn ini Hidup pada
abad 17 M. Dugaan ini didasari analisa terhadap dua nama yang disebutkan dalam
teks tersebut; Aḥmad Khawajakani dan Hafith Kasyghari yang diduga guru Jamāl
al-Dīn Pasai dan hidup pada abad 17 M. Masa inilah yang kemudian dijadikan
alasan Van Ronkel untuk mengatakan bahwa tarekat Naqshabandiyah masuk ke
Minangkabau abad 17 M. Namun demikian, sekali lagi bahwa pendapat yang
dikemukan oleh Van Ronkel ini hanya merupakan dugaan semata, tanpa
didukung oleh bukti yang kuat. Berdasarkan penelusuran lebih jauh, seperti yang
diungkap Bruinessen ternyata kedua nama itu adalah Shaykh Naqshabandiyah
yang hidup pada masa khawajakan yaitu antara tahun 1400-1550 M, jauh sebelum
naskah itu sendiri ditulis. Dengan demikian, kedua nama yang disebutkan dalam
naskah tersebut dipastikan tidak pernah bertemu dengan Jamāl al-Dīn, sehingga
masa hidup Jamāl al-Dīn pun sampai sekarang masih belum diketahui.
4
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah,148.
97 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
informasi dalam naskah yang menyebutkan tempat penulisan
naskah di rumah sulūk Riau.
Sementara itu, pada hal 175 naskah Kinali karangan
Shaykh Muhammad al-Amīn al-Khālidī ditemukan angka tahun
wafatnya Shaykh Ismā„īl al-Khālidī.5 Disebutkan bahwa;
“Shaykh Ismā„īl Khālidi wafat pada hari isnain 23 bulan Zul
Hijjah pada tahun 1275 H”.
Informasi ini juga mematahkan anggapan dan perkiraan
para peneliti selama ini yang mengatakan bahwa Shaykh Ismā„īl al-
Khālidī hidup antara tahun 1125- 1260 H atau sekitar tahun 1694-
1825 M,6 ataupun pendapat yang mengatakan Shaykh Ismā„īl hidup
tahun 1276-1334H/1816-1916 M.7 Walaupun dari naskah al-
Manhal ini ditemukan angka tahun kembalinya ke tanah air dan
pada naskah Kinali ditemukan tahun wafatnya, namun tahun
kelahirannya masih belum bisa diketahui secara pasti.
Kedua, naskah al-Manhal ini juga memberikan petunjuk
bahwa ajaran tarekat Naqshbandiyah Khalidiyah yang dikembangan
oleh Shaykh Ismā„īl al-Khālidī sangat mementingkan penguasaan
dan pengamalan ilmu syari‟at kepada para pengikutnya. Praktek
amaliyah pengikut ajaran tarekat Naqshabandiyah di Minangkabau
dalam beberapa hal dekat dengan praktek amalan pengikut ajaran
tarekat Rifa‟iyyah, Sammaniyah dan Qaḍiriyah.
Dugaan itu muncul dari ungkapan yang dikemukan oleh
Shaykh Ismā„īl al-Minangkabawī di dalam naskah ini yang
mendorong pengikutnya untuk sungguh-sungguh membaca dan
memahami serta mengamalkan ajaran yang terdapat dalam kitab-
kitab yang dikarang oleh Shaykh Nūr al-Dīn al-Raniri, Shaykh „Abd
al-Ṣamad al-Palimbani, Shaykh Muhammad Arshad al-Banjari.
Seperti yang diketahui, bahwa Shaykh Nūr al-Dīn al-Raniri adalah
penganut dan pengembang ajaran tarekat Rifa‟iyah. 8 Sementara
Shaykh „Abd al-Ṣamad al-Palimbani dikenal sebagai penganut dan

5
Informasi yang sama juga diperoleh dari naskah Nahjat al-Sālikīn wa-
Bahjat al-Maslakīn karangan Shaykh Muḥammad Ḥusayn ibn ‘Abd al-Ṣamad al-
Khālidī yang tersimpan di surau Muḥammad al-Amīn Kinali Pasaman.
6
M. Solohin, Melacak Pemikiran, 76
7
Ismawati, Continuity and Chenge; Tradisi Pemikiran Islam di Jawa
Tengah Abad IX-XX (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Depag RI, 2006),11.
8
Wan Jamaluddin, Pemikiran Neo-Sufisme Abd al-Shamad al-
Palimbani (Jakarta: Pustaka Irfani, 2005), 138.
98 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
pengembang ajaran tarekat Sammaniyah. 9 Dan Shaykh Muhammad
Arshad al-Banjari dikenal sebagai penganut dan pengembang ajaran
tarekat Qaḍiriyah.10. Berikut kutipan ungkapan Shaykh Ismā„īl al-
Khālidī dalam naskah al-Manhal ini halaman 5.
maka barangsiapa hendak yakin akan amalnya dan
ibadatnya ṣaḥīḥ maka janganlah berhenti-henti daripada
belajar dan jangan putus-putus daripada berlajar barang
dimana tempat kita berhenti maka hendaklah dihabiskan
umur kita itu di dalam berlajarkan ilmu syara‟ meski kitab
bahasa melayu seperti kitab Sabīl al-muhtadīn karangan
shaikh Muhammad Rashid Banjar dan kitab Ṣirāt al-
mustaqīm karangan Shaykh Nūr al-Dīn Aceh dan kita Sayr al-
sālikīn karangan Shaykh „Abd al-Ṣamad Palembang dan
kitab Bidāyat al-hidāyah karangan Shaykh Nūr al-Dīn Aceh
juga maka barangsiapa yang manuntut ilmu syara‟ yang
tiada tahu bahasa Arab maka wajiblah atasnya belajar akan
salah satu daripada segala kitab bahasa melayu yang terbuat
itu dangan dibeli atau dapat dangan diupah dan hendaklah
berkekalan metala„ah kitab-kitab akan dia selama-lamanya
jangan kita berbuat ibadat di dalam jahil niscaya sia-sia saja
amal kita dan ibadat kita itu wa-Allāhu a’lam.
Banyak asumsi yang bisa dikemukakan terkait latar
belakang kenapa Shaykh Ismā„īl al-Khālidī mendorong pengikutnya
sedemikian rupa untuk mempelajari kitab-kitab karangan tiga ulama
tersebut. Di antaranya mungkin disebabkan kedekatan yang terjalin
secara emosional antara Shaykh Ismā„īl al-Khālidī dengan tokoh-
tokoh tersebut, terutama dua tokoh yang terakhir yaitu Shaykh „Abd
al-Ṣamad al-Palimbani dan Shaykh Muhammad Arshad al-Banjari
yang dianggap satu perguruan dengan Shaykh Ismā„īl al-Khālidī
selama belajar di Tanah Suci11.
Agaknya ketiga kitab tersebut juga memiliki pengaruh yang
cukup besar bagi para pengikut ajaran tarekat Naqshabandiyah
Khalidiyah di Minangkabau. Terutama pengaruh pemikiran Shaykh
Nūr al-Dīn al-Ranirī yang terbukti dengan munculnya pertentangan
dan rivalitas yang sangat hebat antara pengikut ajaran tarekat

9
M. Solihin, Melacak Pemikiran, 108.
10
M. Solihin, Melacak Pemikiran, 298.
11
Wan Jamaluddin, Pemikiran Neo-Sufisme,94.
99 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Naqshabandiyah Khalidiyiah yang berkembang di kawasan
pedalaman Minangkabau dan sangat berorienatasi syari‟at dengan
pengikut ajaran tarekat Shattariyah yang berkembang di kawasan
pesisir Minangkabau dan identik dengan paham waḥdat al-
wujūdnya.12 Bahkan, pertarungan ini saking hebatnya seakan
menjadikan kedua kubu saling menganggap sesat dan membuat
Islam di Minangkabau seperti terbelah menjadi dua; Shattariyah di
kawasan Pesisir dan Naqshabandiyah di wilayah Pedalaman.
Ketiga, pada halaman 14 naskah ditemukan satu bait yang
berbunyi;
‫َب َب ْو ِم َب ُل ْو ٍث َأ ْو َب ُل اْو َب ْو ِم ِم ْو ِم َب ْو * ِم َببي ِمْوت ُلس ُل ْو ٍثك ن ْوَبظ ُلمهَبا قَب ْو تَب َبَكَّ َبال‬
Bi-yawmi thalūthin aṭyabu al-‘īdi fī riau * bi-bayti sulūkin
naẓmuhā qad takammalā
Pada hari Selasa sebaik-baik hari ia fitrah di dalam negeri
Riau * di dalam rumah sulūk nazamnya sungguhnya telah
sempurna ia
Penulisan naskah ini di Riau menunjukan bahwa Shaykh
Ismā„īl al-Khālidī mengembangkan ajaran tarekat Naqshabandiyah
al-Khālidīyiah di wilayah Kerajaan Riau. Pernyataan ini sekaligus
mengokohkan pendapat para peneliti yang mengatakan bahwa
Shaykh Ismā„īl al-Khālidī tinggal dan menetap di Riau serta menjadi
penasehat Raja Ali bin Yamtuan Muda Raja Ja‟far. Seperti yang
dikatakan banyak peneliti bahwa para tokoh penyebar tarekat
Naqshabandiyah Khalidiyiah memiliki kedekatan dengan para
penguasa. Menarik untuk dijelaskan lebih jauh bagaimanakah
kedekatan Shaykh Ismā„īl al-Khālidī dengan kehidupan istana
mempengaruhi ajaran tarekat Naqshabandiyah al-Khālidīyiah di
Minangkabau.
Dalam catatan sejarah, Shaykh Ismā„īl al-Khālidī setelah
kembali dari tanah suci ke Tanah Air menetap dan
mengembangkan ajaran tarekat Naqshabandiyah tidak di kampung
halamannya yaitu Simabur-Batusangkar. Akan tetapi, Shaykh Ismā„īl
12
Sekalipun untuk kasus Minangkabau tarekat Syattariyah dalam
perkembangannya telah melucuti ajaran waḥdat al-wujūd sebagai bagian dari inti
ajaran tarekat Syattariyah yang selama ini berkembang di dunia Islam. Pelucutan
ajaran waḥdat al-wujūd tersebut sebagai bentuk akomodatif dan sikap prefentif
dari gejolak sosial yang akan ditimbulkannya di tengah masyarakat
Minangkabau.Oman Fathurahman, Tarekat Shattariyah di Minangkabau
(Jakarta: Prenada Media Group, 2008), 125.
100 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
al-Khālidī lebih memilih Riau sebagai tempat berdomisili sekaligus
tempat mengembangkan ajaran tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah.
Shaykh Ismā„īl adalah orang yang sangat dekat dengan kalangan
istana Riau, karena Shaykh Ismā„īl al-Khālidī diangkat menjadi
penasehat Raja Ali bin Yamtuan Muda Raja Ja„far.13
Kenyataan ini sekaligus membuktikan dan mengokohkan
anggapan para ahli selama ini yang berkesimpulan bahwa tarekat
Naqshabandiyah memiliki kemampuan untuk berkembang dengan
baik, mendapat tempat dan pengikut yang banyak serta mampu
menjaga eksistensinya dalam waktu yang lama adalah karena
kemampuannya mendekati dan mengambil hati penguasa
setempat.14 Para tokoh penyebar tarekat Naqshabandiyah semenjak
masa-masa awal berdirinya dikenal sebagai sosok yang mampu
menjalin hubungan yang harmonis denga para penguasa.15 Tentu
saja hal yang menarik untuk dikaji terkait informasi awal naskah ini,
tentang latar belakang yang membuat Shaykh Ismā„īl al-Khālidī
lebih memilih mendekati kalangan penguasa dan berda‟wah di
kalangan istana daripada berda‟wah di kampung halamannya dan
dengan rakyat jelata, berikut dampak kedekatan tersebut dengan
perkembangan tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah di
Minangkabau. Karena menurut sebagian peneliti, kedekatannya
dengan penguasa inilah yang kemudian membuat Shaykh Ismā„īl
mendapatkan kritikan yang tajam dari para ulama zamannya, seperti
Sālim bin Sāmir al-Haḍramiy,16 yang pada akhirnya membut Shaykh
Ismā„īl harus meninggalkan istana dan kembali ke tanah suci untuk
13
Martin van Bruinessen, tarekat Naqsyabandiyah, 99.
14
Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara (Jakarta: Kencana, 2005), 89.
15
Dalam catatan sejarah ditemukan bukti bahwa hampir semua tokoh
tarekat Naqsyabandiyah di kawasan Persia dan Asia kecil adalah orang-orang
yang sangat dekat dan menjadi penyokong kekuasaan. Khawaja Ubayd Allāh
Aḥrār misalnya salah satu Quṭb, wali, dan pemimpin spritual tarekat
Naqsybandiyah di Asia pada akhir abad 15 M tercatat sebagi tokoh yang paling
harmonis hubungannya dengan raja-raja dan bangsawan di Turkistan,
Transoxiana, Irak dan Azarbaijan, bahkan para penguasa zamannya adalah
pengikut ajaran tarekat Naqsyabandiyah. Dalam kitabnya Majālis Ubayd Allāh
Aḥrār, dengan tegas Syaikh Ubayd Allāh mengemukakan pandangannya tentang
kekuasaan. Pertama, Menjadi Sultan adalah derajat mulia, bahkan setara dengan
nabi. Kedua, peran sufi adalah melindungi umat Islam, menasehati sultan,
mencegah penindasan, dan mengingatkan raja akan tugasnya. Ketiga, bahwa
melakukan itu bahkan terjun ke kancah politik penguasa adalah kewajiban para
syaikh tarekat. Lebih lanjut lihat (Nasr, dkk, 2003: 286)
16
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsuabandiyah, 100.
101 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
selamanya hingga maut menjemputnya di perantauan. Sehingga,
pemikiran-pemikiran Shaykh Ismā„īl al-Khālidī kemudian hanya bisa
di akses oleh murid-muridnya asal Minangkabau bagi yang datang
sebagai jemaah haji ke tanah suci.
Menetapnya Shaykh Ismā„īl al-Khālidī al-Minangkabawī di
Riau, mungkin juga bisa memberikan jawaban kenapa ajaran tarekat
Naqshabandiyah Khalidiyiah penyebarannya lebih mendominasi
wilayah pedalaman Minangkabau. Berbeda dengan tarekat
Shattariyah yang perkembangannya semenjak awal kedatangan di
Minangkabau lebih mendominasi wilyah pesisir Minangkabau.
Sebab, Riau secara geografis dekat dengan kawasan pedalaman
Minangkabau, bahkan dalam tambo adat Minangkabau disebutkan
bahwa Riau adalah termasuk wilayah Minangkabau yang dikenal
dengan istilah daerah Rantau Luhak Limo Puluh Koto.17
Martin Van Bruinessen menyebutkan bahwa pada
penghujung abad sembilan belas, di Makkah tidak hanya ada
Shaykh-Shaykh Naqshabandiyah Khalidiyah yang satu sama lainnya
berkali-kali terlibat pertarungan sengit, melainkan juga ada Shaykh-
Shaykh yang lebih gigih dari keluarga al-Zawawī yang notabene
pengembang ajaran tarekat Naqshabandiyah al-Muzhariyah.
Keluarga al-Zawawī ini di Nusanatara memiliki hubungan yang
sangat erat dengan keluarga kerajaan Pontianak dan Kerajaan Riau
tempat dimana Shaykh Isma‟il al-Khālidī lebih dahulu
mengembangkan tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah. Dan orang
yang paling berjasa dalam rangka membawa dan menyebarkan
ajaran tarekat Naqshbandiyah Muzhariyah ke Nusantara, termasuk
ke Riau dan Pontianak adalah Abd al-„Aẓīm Mandur.18 Raja
Muhammad Yusuf yang menggantikan kedudukan Yang Dipertuan
Raja Ali (1858-1899), kemudian diangkat menjadi khalifah dan
pucuk pimpinan tertinggi tarekat Naqshabandiyah Muzhariyah di
Riau adalah salah satu bukti keberhasilan Shaykh Abd al-„Aẓīm
Mandura menyebarkan tarekat Naqshabandiyah Muzhariyah di
Nusanatara.19
17
Terkait dengan uraian tentang wilayah Minangkabau lihat lebih jauh
(Jamal, 1985, Mansur, 1970: 4, dan Hakimi, 1980). Dan penegasan bahwa Riau
adalah bagian dari wilayah Minangkabau masa lalu bisa dilihat (Pemda Sumatera
Barat, tt: dan Lestari, 2008)
18
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabaniyah, 176.
19
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsybandiyah, 177.
102 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Kesimpulan
Naskah al-Manhal setidaknya sampai penelitian ini
dilakukan merupakan naskah yang boleh dianggap yang paling
otoritatif dalam konteks sejarah dan dinamika perkembangan ajaran
tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau bahkan Nusantara.
Naskah ini ditulis langsung oleh syaikh Isma‟il al-Khalidi al-
Minangkabawi pembawa dan pengembang ajaran tarekat
Naqsyabandiyah Khalidiyah di Nusantara. Naskah ini sekaligus
memberikan petunjuk bahwa syaikh Isma‟il al-Khalidi al-
Minangkabawi sebagai tokoh sentral pengembang ajaran tarekat
Naqsyabandiyah Khalidiyah di Nusantara tidak pernah kembali ke
tanah kelahirannya di Minangkabau dan lebih memilih berkarir dan
mengembangkan ajaran tarekat Naqsyabandiyah di Singapura dan
kemudian di Kerajaan Riau Lingga Pulau Penyengat. Alasan politik
dan sosio-kultural Minangkabau saat itu menjadi penyebab utama
syaikh Isma‟il al-Khalidi lebih memilih tinggal dan berda‟wah di
kalangan Istana Kerajaan Riau daripada pulang ke kampung
halamannya di Simabur.
Namun, kontak, transmisi dan komunikasi keilmuaan
antara syaikh Isma‟il al-Khalidi al-Minangkabawi dengan para murid
dan calon pengikut ajaran tarekat Naqsyabandiyah yang berasal dari
Minangkabau tetap berlangsung di Pulau Penyengat ini. Syaikh
Isma‟il pula yang memiliki andil besar dalam mengarahkan jema‟ah
haji dan para penuntut ilmu hakikat asal Minangkabau untuk
mengambil ijazah tarekat Naqsyabandiyah ke Jabal Qubais Makkah.
Sehingga, dalam konteks Minangkabau Syaikh Isma‟il lebih tepat
disebut mediator yang menghubungkan antara Minangkabau dan
Jabal Qubis Makkah daripa syaikh yang langsung memerikan ijazah
tarekat kepada murid-muridnya. Karena terbukti semua tokoh
tarekat Naqsyabandiyah Minangkabau ijazahnya berasal dari Jabal
Qubais di Makkah dari Syaikh Sulaiman al-Qirmi sahabat Syaikh
Isma‟il al-Khalidi dan khalifahnya syaikh Sulaiman al-Zuhdi.

103 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Daftar Pustaka

al-Khālidī, Muḥammad al-Amīn. “Naskah Ajaran Tarekat al-


Naqshabandiyyah Khalidiyah.” Koleksi surau Muḥammad
al-Amīn Kinali-Pasaman.
al-Khālidī, Muḥammad Ḥusayn ibn „Abd al-Ṣamad. “Naskah Nahjat
al-Sālikīn wa-Bahjat al-Maslakīn.” Koleksi surau
Muḥammad al-Amīn Kinali Pasaman.
al-Khālidī, Shaykh Ismā„īl. “al-Manhal al-„adhb li-dhikr al-qalb”.
Koleksi surau Mudiek Tampang Rao- Pasaman.
............................................ “Mawāhib rabb al-falaq sharh binti al-
milaq.” Koleksi Apria Putera Payakumbuh.
Abdullah, „Abdurrahman Haji. Pemikiran Islam di Malaysia
sejrah dan aliran. Jakarta: Gema Insani Press, tt
Abdullah, Muhammad Shaghir. Khazanah Karya Pusaka Asia
Tenggara Jilid I. Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah,
1991
................................................. Syeikh Ismā‘īl al-Minangkabawi
Penyiar Thariqat Naqshabandiyah Khalidiyah. Solo:
Ramadhani, tt
al-Kurdī, Muhammad Amin. Tanwīr al-Qulūb fī Mu‘āmalat
‘Allām al-Ghuyūb. Jeddah: al-Haramain, tt
Amin, Syamsul Munir. Karomah Para Kiyai. Yogyakarta: LkiS,
2008.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Prenada
Media, 2005
.................................. Islam Nusantara, Jaringan Global dan
Lokal. Bandung: Mizan, 2002
Baṣrī, „Abbās Ḥusain. al-Mużakkirah al-Żahabiyyah fī al-Ṭarīqah
al-Naqshabandiyah. „Idpo: Awlad al-Ghanimi, 1996
Bruinessen,Martin Van. Tarekat Naqshabandiyah di Indonesia,
Survei Historis, Geografis dan Sosiologis. Bandung:
Mizan, 1994
Fathurahman, Oman. Tarekat Shattariyah di Minangkabau.
Jakarta: Prenada Media Group, 2008
104 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Ismawati. Continuity and Chenge; Tradisi Pemikiran Islam di Jawa
Tengah Abad IX-XX. Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Depag RI, 2006
Jalāl al-Dīn. Rahasia Mutiara al-ṭarīqah al-Naqshabandiyah.
Bukittinggi: Partai Politik UmAat Islam (PPTI), 1950
Jamal, Mid. Menyigi Tambo Alam Mingkabau; Studi Perbandingan
Sejarah. Bukittinggi: CV.Tropic,1985
Jamaluddin, Wan. Pemikiran Neo-Sufisme Abd al-Shamad al-
Palimbani. Jakarta: Pustaka Irfani, 2005
Lestari, Adek. Surau Masa Lalu Pada Masa Kini Luhak Agam,
dalam Budi Santoso, S.J (Ed), Gemerlap Nasionalitas
Postkolonial. Yogyakarta: Kanisius, 2008
Mansur, M.D. et.al. Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bharata,
1970
Mulyati, Sri. Tasawuf Nusantara. Jakarta: Kencana, 2005.
Nasr, Seyyed Hossein. dkk, (Ed), Warisan Sufi Volume II;
Warisan Sufisme Persia Abad Pertengahan (1150-1500).
Depok: Pustaka Sufi, 2003
Pangulu, Idrus Hakimi Dt. Rajo. Mustika Adat Basandi Syarak.
Bandung: Redha, 1980
Sa‟id, Fuad. Hakikat Tarikat Naqshabandiyah. Jakarta: al-Husna
Zikra, 1999
Sajorah, Wiwi Siti Siti. Tarekat Naqshabandiyah; Menjalin
Harmonis dengan Kalangan Penguasa, dalam Sri
Mulyati, (et.al), Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2005
Sholihin, M. Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005
Shayikh Abdul Azhim al-Manduri mursyid Tarekat
Naqsyabandiyah,
http://www.blogger.com/utusan/cetak.asp?y=2009&
dt=0119&pub=Utusan_Malaysia&sec=Bicara_Agam
a&pg=ba_01.htm. Diakses 8 agustus 2010
Wan Mohd. Shaghir Abdullah, Manaqib Hijrah:Syeikh
Nawawi Al-Bantani,
105 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
http://mohdshahrulnaim.blogspot.com/2009/12/m
anaqib-hijrahsyeikh-nawawi-al-bantani.html. Diakses
8 Agustus 2010

106 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


PERAN ELIT MASYARAKAT:
STUDI KEBERTAHANAN ADAT ISTIADAT
DI KAMPUNG ADAT URUG BOGOR

Asep Dewantara, S.Hum


Pemerhati Sejarah dan Budaya Lokal

Abstract
The Fieldwork with the title, The Role of Elite Society: Studies of Custom
Viability in Kampung Adat Urug in Bogor, aims first to test the theory of Ajip
Rosidi on Socio-Cultural Change through field data or empirically. Second to
express cultural values in customs or local knowledge in Kampung Adat Urug and
explain their traditional role as Chairman of elite society in maintaining the
continuity of the tradition.
Keywords: Elite Society, Custom Viability, Kampung Adat Urug

Abstrak
Penelitian lapangan dengan judul Peran Elit Masyarakat: Studi Kebertahanan
Adat Istiadat di Kampung Adat Urug Bogor ini bertujuan pertama, menguji
teori Ajip Rosidi mengenai Perubahan Sosial Budaya melalui data
lapangan atau secara empiris. Kedua untuk mengungkapkan nilai-nilai
budaya dalam adat istiadat atau kearifan lokal di Kampung Adat Urug dan
menjelaskan peran Ketua Adatnya sebagai elit masyarakat dalam menjaga
keberlangsungan adat istiadat tersebut.
Kata kunci: elit masyarakat, kebertahanan, adat-istiadat, kampung adat
urug.

107 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Sejarah dan Letak Geografis
Secara administratif, kampung Adat Urug masuk
dalam wilayah pemerintahan Desa Kiarapandak Kecamatan
Sukajaya Kabupaten Bogor. Jarak tempuh Kampung Adat
Urug dari Ibukota provinsi Jawa Barat sekitar 165 Km ke arah
Barat, sementara dari Ibukota Kabupaten Bogor kurang lebih
48 Km. Jika dari kecamatan Sukajaya, hanya berjarak 6 Km,
sedangkan dari kantor Desa Kiarapandak lebih dekat lagi,
hanya 1,2 Km1.
Kampung Adat Urug yang berada di wilayah desa
Kiarapandak ini dalam bahasa setempat sering disebut Lembur
Urug (Kampung Urug), terletak pada kordinat 6° 34' 42"
Lintang Selatan, dan 106° 29' 28" Bujur Timur, 2 dengan luas
wilayah 10 Ha.3 Kampung Adat Urug berbatasan dengan Desa
Nanggung kecamatan Nanggung di sebelah Timur dengan
Sungai Cidurian sebagai pembatas langsung. Di sebelah Barat,
Kampung Adat Urug berbatasan dengan Desa Cisarua dan
Desa Pasir Madang kecamatan Sukajaya. Sementara di sebelah
Selatan, Kampung Adat Urug berbatasan dengan Desa
Kiarasari kecamatan Sukajaya dan Desa Curug Bitung
Kecamatan Nanggung. Sedangkan di sebelah Utara, Kampung
Adat Urug berbatasan dengan Desa Sukajaya dan Desa
Harkatjaya kecamatan Sukajaya.4
Mengenai sejarah atau asal-usul keberadaan kampung
adat di Jawa Barat, tidak akan pernah lepas dari Kerajaan
Sunda Pakuan Pajajaran (1482-1579) di Bogor.5 dari hasil
penelitian penulis di kampung Adat Urug, penulis
mendapatkan keterangan yang bisa digolongkan ke dalam
1
Dinas kebudayaan dan pariwisata Kabupaten Bogor
(www.disparbudjabarprov.go.id), akses 8 Oktober 2012.
2
Dinas kebudayaan dan pariwisata Kabupaten Bogor
(www.disparbudjabarprov.go.id), akses 8 Oktober 2012.
3
Monografi Kampung Addat Urug Desa Kiarapandak Kecamatan
Sukajaya, Bogor (Kantor Desa Kiarapandak).
4
Peta lokasi Kampung Adat Urug Desa Kiarapandak kecamatan
Sukajaya Kabupaten Bogor (Kantor Desa Kiarapandak).
5
Adimihardja, Kusnaka, Kasepuhan yang Tumbuh di atas yang Luruh,
h. 15-23.
108 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
sejarah lisan atau oral history bahwa Kampung Adat Urug
memang memiliki hubugan yang erat dangan kerajaan Sunda
Pakuan Pajajaran.6 Sebagian keterangan ada yang sesuai
dengan buku-buku akademis atau karya-karya ilmiah di
seputar sejarah Jawa barat yang disusun oleh para ahli sejarah,
sebagian keterangan lagi penulis sebut sebagai legenda warga
kasepuhan7 yang mungkin oleh sebagian orang diartikan
sebagai mitos.
Menurut Abah Ukat, sejarah Kampung Adat Urug itu
bisa dimulai di awal atau di akhir. Jika dari awal, yaitu awal
berdirinya Pajajaran Bogor, jika di akhir, tilemna, ngahyang
(menghilangnya) Prabu Siliwangi di Bogor sampai muncul di
Kampung Adat Urug yang memang sudah direncanakan oleh
Prabu Siliwangi sebagai tempat terakhirnya. Sebelum muncul
di Kampung Adat Urug, Prabu Siliwangi menghilang dan
muncul di beberapa daerah. Berikut ini adalah urutan daerah
di mana Prabu Siliwangi menghilang dan muncul mulai dari
Pajajaran Bogor---Panyaungan (jalan cagak (bercabang) yang
ke arah Pongkor dan Cigudeg)---Parung Sapi (arah Jasinga)---
Sajra (Kabupaten Lebak, Banten)--Seuni (kabupaten
Pandeglang, Banten)---Lebak Binong (Cibaliung, Banten
Kidul)---Cipatat---Kampung Urug.8 jadi Kampung Adat Urug
adalah tempat pulang Prabu Siliwangi, “tidak akan ada tempat
ini jika yang di Bogor masih ada.9 Meghilangnya Prabu
Siliwangi mulai dari Pajajaran sampai terakhir di Kampung
Adat Urug karena tidak mau masuk agama Islam yang pada
saat itu dibawa oleh Raden Kian Santang, anaknya sendiri”.10

6
Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (Ketua Adat Urug Lebak),
Bogor, 22 April 2012.
7
Adimihardja, Kusnaka, Kasepuhan yang Tumbuh di atas yang Luruh,
h. 15.
8
Daerah Panyaungan, Parung Sapi, Cipatat dan Urug masih di
kabupaten Bogor, sementara daerah Sajra, Seuni dan Lebak Binong sudah masuk
ke Provinsi Banten sekarang.
9
Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (ketua Adat Urug Lebak),
Bogor, 22 April 2012.
10
Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (ketua Adat Urug Lebak),
Bogor, 28 April 2012.
109 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Kehidupan Masyarakat
Jumalah penduduk Kampung Adat Urug tercatat
5.125 jiwa dengan penduduk laki-laki berjumlah 2.875 jiwa
dan penduduk perempuannya 2.250 jiwa. Sama seperti
masyarakat sunda lainnya, warga Kampung Adat Urug juga
mengenal pemerintahan formal. Ketua Adat di sini hanya
pemimpin adat atau informal. Warga Urug terbagi ke dalam 4
RW dan 15 RT. Untuk masalah pendidikan formal bisa
dikatakan, tingkat pendidikan warga Urug masuk dalam
kategori rendah. Sampai bulan Maret-Juni 2012 tercatat hanya
384 murid Sekolah Dasar, tingkat SLTP 235 orang, tingkat
SLTA 30 orang dan dua orang untuk tingkat perguruan
tinggi.11
Dari segi politik sedikit sekali yang bisa dicatat, dalam
PEMILU misalnya, seperti penuturan Abah Ukat “Sudah
menjadi adat di sini dalam masalah pemilu misalnya mengenai
Partai Politik itu PDI (Partai Demokrasi Indonesia), karena
dari dulu dari leluhur kami juga PDI, Abah sempat bertanya
masalah ini kepada warga yang sudah mempunyai hak pilih,
apakah mau diteruskan atau dimusnahkan? (maksud
dimusnahkan di sini mereka sama sekali tidak akan ambil
bagian dalam PEMILU atau GOLPUT). Jawaban mereka,
diteruskan, karena sudah menjadi adat dari dahulunya”.12
Seperti masyarakat Kasepuahan lainnya, masyarakat
Kampung Adat Urug mayoritas sebagai petani dalam
mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Tercatat 4.320
orang13 bekerja sebagai petani, kepemilikan lahan pertanian di
Kampung Adat Urug adalah perorangan atau milik masing-
masing, penulis kutip di sini beberapa petikan wawancara

11
Monografi Kampung Adat Urug, Desa Kiarapandak, Kecamatan
Sukajaya, kabupaten Bogor, Maret 2012 dan daftar siswa SDN Kiarapandak 02
tahun ajaran 2011/2012 pertanggal April 2012.
12
Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (Ketua Adat Urug Lebak),
Bogor, 28 April 2012.
13
Monografi Kampung Adat Urug, Desa Kiarapandak, Kecamatan
Sukajaya kabupaten Bogor, Maret 2012.
110 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
dengan para ketua adat mengenai pertanian yang menjadi
mayoritas kegiatan warganya, termasuk sejarah dan latar
belakangnya.

KEARIFAN LOKAL KAMPUNG ADAT URUG


Konsep Ngaji Diri
Ngaji diri (memahami diri sendiri atau mawas diri)
adalah suatu ajaran dasar pembinaan moral yang di dalamnya
tercermin pula pengertian koreksi diri. Ajaran tersebut
dikembangkan di kalangan warga Kasepuhan sebagai upaya
melawan sifat buruk dalam diri manusia, seperti iri dengki.
Selain itu ajaran ini bertujuan untuk mencapai kondisi yang
tertib, selaras, aman dan tentram dalam diri manusia pada
kehidupan sosial di dunia sebagai bekal untuk kehidupan di
akherat nanti.14
Untuk mencapai keselarasan tersebut, manusia harus
mengetahui apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang
dalam kehidupan sehari-hari, maka ucapan dan tindakan
harus seirama. Hal ini tercermin dalam ungkapan warga
kasepuhan, “mipit kudu amit ngala kudu mènta, nganjuk kudu
nawur nginjem kudu mulangkeun, leungit kudu daèk ngaganti,
sontakna kudu daèk nambal (mengambil dan memetik harus
izin, mempunyai hutang harus dibayar, meminjam harus
dikembalikan, hilang harus mengganti, rusak harus
memperbaiki)” atau dalam ungkapan “nganggo kudu suci, dahar
kudu halal kalawan ucap kudu sabenerna, mupakat kudu sarèrèa,
ngahulu ka hukum, nyanghunjar ka nagara (berpakaian harus
bersih, makan harus yang halal, mufakat harus bersama-sama,
patuh pada hukum dan berlindung pada negara)”.15

14
Adimihardja, Kusnaka, Kasepuhan yang Tumbuh di Atas yang Luruh:
Pengelolaan Lingkungan Secara Tradisional di Kawasa Gunung Halimun Jawa
Barat (Bandung: Tarsito, 1992), h. 37. Lihat pula Arthur S Nalan, Sanghyang
Raja Uyeg: Dari Sakral Ke Profan (Bandung: Humaniora Utama Press, 2000), h.
15-16.
15
Adimihardja, Kusnaka, Kasepuhan yang Tumbuh di Atas yang Luruh,
h. 37. Arthur S Nalan, Sanghyang Raja Uyeg: Dari Sakral Ke Profan, h. 15-16.
111 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Di Kampung Adat Urug, ngaji diri ini disebut pula Tapa
Manusa16, memahami siapa sebenarnya jati diri manusia,
hakekat manusia. Seperti penuturan Abah Ukat, Manusia
diwajibkan untuk ngaji diri agar mengetahui dirinya sendiri,
manusia yang sudah mengenal dirinya sendiri akan dekat
dengan Gustinya (Tuhan), maka hidupnya tidak akan
sombong dan angkuh, “samèmèh nyiwit batur, nyiwit heula diri
sorangan (sebelum mencubit orang lain, mencubit dulu diri
sendiri)”, jika tidak ingin disakiti maka jangan menyakiti
orang lain, ingin dihormati, maka dia akan menghormati
orang lain terlebih dahulu. Kemudian untuk apa dia
diciptakan, tiada lain untuk patuh pada peraturan, taat pada
perintah, dan melaksanakan apa yang dikehendaki-Nya.
Konsep tapa manusa atau ngaji diri juga mengharuskan
manusia untuk bersikap adil, tergambar dalam ungkapan ulah
nyiwit ka nu hideung ulah montèng ka nu konèng, ulah ngadèngdèk
topi (jangan mencubit yang hitam, jangan berpaling ke yang
kuning, jangan miring tutup kepala) artinya, harus adil dan
bijak, tidak berat sebelah, tidak membedakan perlakuan
terhadap orang-orang kelas menengah-atas dan kalangan
bawah. misalnya dalam menerima tamu harus disamakan
ketika menerima tamu antara cacah dan mènak (masyarakat
biasa dan pejabat misalnya). Sebenarnya sama dengan sifat
Rahman-Rahim, adil untuk semua mahluk.
Pada Masyarakat Kampung Adat Urug, ajaran ngaji diri atau
tapa manusa tersebut diuraikan lagi sehingga melahirkan
beberapa larangan atau anjuran yang disebut talèk (aturan
hidup) baik untuk pribadinya sendiri maupun untuk hidup
bermasyarakat. Di bawah ini, penulis jelaskan adat istiadat
atau nilai-nilai budaya yang menjadi kearifan lokal di
Kampung Adat Urug dalam kehidupan sosial masyarakatnya.
1. Larangan Untuk Mengambil Yang Bukan Haknya

16
Wawancara Pribadi dengan Mang Ujang (warga dan kerabat Ketua
Adat Kampung Urug), Bogor, 16 April 2012.
112 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Larangan untuk mengambil yang bukan haknya ini
tergambar dalam ungkapan Mipit kudu amit, Ngala kudu
mènta17 artinya mengambil atau memetik itu harus meminta
izin kepada yang mempuyainya, dengan kata lain jangan
mencuri. Para ketua Adat di Kampung Urug dan warga
umumnya juga mengatakan hal yang sama, bahkan ada istilah
jika kita melewati kebun seseorang, tangan itu harus
dikepalkan18 artinya jangan memetik buah-buahan di kebun
orang, jika kita memang mau, ya harus meminta izin kepada si
Pemilik kebun. Di lingkungan Kampung Adat atau
Kasepuhan, hal semacam inilah yang disebut pamali,
sebenarnya sama dengan apa yang dikatakan haram dalam
agama Islam19, maksud dan tujuannya sama hanya berbeda
istilah saja.
Pada Masrakat Kampung Adat Urug, ungkapan Mipit
kudu amit ngala kudu mènta tidak hanya berarti secara harfiah
saja, yaitu larangan jangan mencuri. Dibalik arti itu terdapat
makna yang dalam menganai rasa syukur mereka terhadap
Yang Maha Kuasa. Pada hakekatnya bumi beserta seluruh
isinya ini adalah milik Tuhan yang dianugrahkan kepada
segenap mahluknya, tanaman padi yang menjadi bahan pokok
mereka dan tanaman lainnya, tumbuh di atas bumi-Nya atas
izin-Nya pula, maka ketika akan mengambil atau memanen
hasil dari tanaman itu, harus memohon izin dulu kepada
Pemilik bumi.

2. Murah Bacot Murah Congcot


Murah Bacot artinya senang menyapa orang lain
dengan ramah dan sopan santun, sedangkan murah congcot,
baik hati suka memberi atau berbagi makanan, congcot atau
17
Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (Ketua Adat Urug Lebak),
Bogor, 15 April 2012.
18
Wawancara Pribadi dengan Mang Ujang (warga dan kerabat Ketua
Adat Urug), Bogor, 16 April 2012.
19
Wawancara Pribadi dengan Mang Misnan (warga Kampung Adat
Urug), Bogor, 18 April 2012. Wawancara Pribadi dengan Abah Amat (Ketua
Adat Urug Tengah), Bogor, 17 April 2012.
113 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
aseupan adalah alat tradisional untuk menanak nasi berbentuk
kerucut yang terbuat dari anyaman berbahan baku bambu,
terkadang digunakan sebagai alat mengukus. Congcot di sini
melambangkan makanan.
Murah bacot murah congcot secara harfiah adalah sikap
ramah tamah yang harus ditunjukkan seorang pribumi kepada
tamu. Murah congcot berarti si pribumi harus menjamu tamu
dengan hidangan yang ada, jika hidangan sudah disuguhkan
maka harus murah bacot, si pribumi harus menawari tamu
untuk mencicipinya, karena jika tidak ditawari, kemungkinan
si tamu agak sungkan padahal sebenarnya mau. Dan perlu
diingat satu hal, murah bacot murah congcot ini harus dilakukan
dengan ikhlas, jangan mengeluh jika makanan yang sudah
disuguhkan itu habis oleh tamu, karena hal semacam itu
merusak amal ibadah kita. 20 Anjuran ini sepertinya lahir
karena Kampung Adat Urug sering dikunjungi tamu baik
pada hari-hari biasa maupun pada upacara adat, dan untuk
bahan panganan sebagai hidangan sang tamu, warga Kampung
Adat Urug selalu tersedia, karena mereka belum pernah
kekurangan bahan pokok makanan terutama beras.

3. Guru Ratu Wong Atuo Karo


Guru Ratu Wong Atua karo, wajib menghormati guru,
ratu (pemerintah) dan kedua orang tua, terutama kedua orang
tua, “itu adalah pakem sepuh. Jadi Orang tua itu merupakan
Guru dan sekaligus Ratu, kenapa kedua orang tua ditulis di
belakang, bukan berati kedua orang tua menjadi yang terakhir
dihormat diantara ketiganya, justru harus paling pertama dan
utama dihormat, karena tadi, kedua orang tua itu berperan
atau mempunyai fungsi sebagai Guru dan Ratu”. Begitulah
penuturan dari Bapak Ade Eka komara yang tidak jauh
berbeda maknanya dengan yang disampaikan oleh ketiga
orang ketua adat mengenai penghormatan kepada orang tua.

20
Wawancara Pribadi dengan Abah Amat (Ketua Adat Urug Tengah)
dan Abah Kayod (Ketua Adat Urug Tonggoh), Bogor, 19 April 2012.
114 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
“Ada peribahasa, Indung kudu dipunjung, bapa kudu
dipuja, munjung ulah sok ka gunung, muja ulah sok ka sagara
(jangan menyembah pada gunung dan lautan tapi
“sembahlah” ibu bapa/kedua orang tua), karena indung tunggul
rahayu bapa tangkal darajat, Kalau kita ingin punya kerahayuan,
keselamatan hidup dunia dan aherat, mintalah do’a kepada
ibu, jangan ke mana-mana dan benar-benar ibu kita itu harus
dihormat. Apabila ingin punya derajat kehidupan, jangan
pergi ke mana-mana tapi datangi yang jadi bapa, mintalah
do’anya, benar-benar hormati bapa apabila kita ingin punya
derajat kehidupan, karena kuncinya ada pada orang tua, sebab
ridhonya Allah SWT ada pada orang tua kita”.21

4. Hidup Sederhana dan Mandiri


Hidup sederhana di sini maksudnya jangan berlebihan
dalam segala sesuatu. Misalnya makan hanya sekedar
penghilang lapar, minum sekedar menghilangkan haus dan
tidur hanya untuk menghilangkan kantuk, jangan berlebihan,
dan jangan pula kekuarangan asal berkecukupan.
makan hanya penghilang lapar tujuannya untuk
menghindari sifat rakus, ketika manusia sudah memiliki sifat
rakus, tamak dan serakah, ngarawu ku siku (mengambil seusatu
bukan lagi dengan ukuran kepalan tangan tapi dengan siku)
yang pada akhirnya hak orang lain terambil. Kemudian tidur
hanya penghilang kantuk, manusia itu hidup punya kewajiban
baik masalah dunia maupun aherat, jangan siang dan malam
tidur, siang untuk bekerja mencari nafkah untuk keluarga,
malam untuk istirahat, segala seuatu juga harus pada waktu
dan tempatnya. Juga bisa menimbulkan penyakit jika tidur
dan makan berlebihan.22
Dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian,
tertulis Jaga rang hèès tamba tun(n)duh, nginum tamba hanaang,

21
Wawancara Pribadi dengan Bapak Ade Eka Komara (SEKDES
Kiarapandak), Bogor, 21 April 2012.
22
Wawancara pribadi dengan Bapak Ade Eka (Sekretaris Desa
Kiarapandak), Bogor, 21 April 2012.
115 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
nyatu tamba ponyo, ulah urang kajon(ng)jonan. Yatnakeun maring
ku hanteu. (Hendaklah kita tidur sekedar penghilang kantuk,
minum sekedar penghilang haus, makan sekedar penghilang
lapar, janganlah kita berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat
kita tidak memiliki apa-apa.23Pada masyarakat Kasepuhan
hidup berkecukupan ini, tidak berlebihan dan tidak
kekurangan, disebut Siger tengah (ditengah-tengah),
diungkapkan dengan kalimat ulah hareup teuing bisi tijongklok,
ulah tukang teuing bisi tijengkang (jangan terlalu depan, nanti
tersungkur, jangan terlalu belakang, nanti terlentang).24

5. Pengendalian Alat Tubuh


Salah satu jalur pamali di kampung Adat Urug yaitu
mengendalikan alat tubuh. Alat tubuh atau indera kita jangan
sampai disalahgunakan untuk hal-hal yang tidak baik. Indra
kitapun sudah tau haknya masing-masing Sekarang misalnya
hidung hanya bisa mencium, sukanya wewangian, telinga
hanya bisa mendengar, mata hanya bisa melihat, makan
syariatnya hanya dilakukan oleh mulut, lidah yang merasakan,
tapi mata, telinga dan hidung tidak pernah protes ingin
merasakan makanan yang di makan oleh mulut, karena
mereka sadar akan haknya masing-masing. Begitupun manusia
harus konsisten dengan tugasnya masing-masing. Jadi pamali
itu banyak jalurnya bila kita melanggar pasti badan yang
merasakan akibatnya ada pribahasa nafsu kasasarnya lampah
badan anu katempuhan (bila kita terbawa nafsu, maka badan
yang menanggung akibatnya). Bicara jangan sembarangan,
melangkah jangan salah. Kata orang tua jaman dulu, lebok mah
ulah ditincak (jalan berlubang jangan dilewati), nanti celaka.25

23
Danasasmita, Saleh, dkk., Sewaka Darma, Sanghyang Siksa Kandang
Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan, h. 82 dan 105.
24
Adimihardja, Kusnaka, Kasepuhan yang Tumbuh di Atas yang Luruh:
Pengelolaan Lingkungan Secara Tradisional di Kawasa Gunung Halimun Jawa
Barat, h. 41
25
Wawancara Pribadi dengan Abah Amat (Ketua Adat Urug Tengah),
Bogor, 19 April 2012.
116 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Mengenai pengendalian alat Tubuh ini ditambahkan
pula oleh Mang Ujang, warga Kampung Adat Urug. “amanat
dari orang tua mewanti-wanti kita agar berhati-hati
menggunakan alat-alat tubuh Tangan jangan dipakai
sembarangan apalagi menyakiti orag lain, jangankan memukul
manusia, memukul hewan dan tumbuhan pun tidak
dibenarkan Pokoknya Perbuatan kita jangan sampai
merugikan orang lain”.26
Begitu pun Bapak Ade Eka Komara menambahkan,
“mata ulah dipake ngadeuleu lamun lain deuleunnana, ceuli
ulah dipake ngadèngè lamun lain dèngèunnana, yang artinya kita
harus bisa menjaga, memelihara semua indera yang ada pada
tubuh kita jangan sampai digunakan pada hal-hal yang negatif
karena memang bukan tempatnya, harus hati-hati dalam
ucapan dan perbuatan, hidung jangan dipake sembarangan”27
Sementara itu dalam Naskah Sanghyang Siksakandang
juga terdapat keterangan mengenai pengendalian alat tubuh
ini, diantaranya tertulis mata ulah barang deuleu mo ma nu sieup
dideuleu kenana dora bancana, sangkan urang nemu mala nu lunas
papa naraka, hengan lamun kapahayu ma sinengguh utama ning
deuleu (Mata jangan sembarang melihat yang tidak layak
dipandang karena menjadi pintu bencana penyebab kita
mendapat celaka di dasar kenistaan neraka, namun jika mata
terpelihara kita akan mendapat keutamaan dalam
penglihatan). Begitupun seterusnya dituliskan mengenai alat
tubuh yang lain termasuk alat kelamin.28

PRANATA SOSIAL KAMPUNG ADAT URUG


Sesepuh sebagai Elit Masyarakat

26
Wawancara Pribadi dengan Mang Ujang (warga kampung Adat
Urug), Bogor, 16 April 2012.
27
Wawancara Pribadi dengan Bapa Ade Eka Komara (Sekretaris Dsesa
Kiarapandak), Bogor, 21 April 2012.
28
Danasasmita, Saleh, dkk., Sewaka Darma, Sanghyang Siksa Kandang
Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan, h. 94-96 dan 73 -
74.
117 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Dalam kamus umum Basa Sunda, Sesepuh berasal dari
kata Sepuh yang artinya kolot (tua) mengacu pada umur
seseorang. Sesepuh berarti orang yang dituakan dan diajènan
(dihormati).29 Pada setiap Kampung Adat di Indonesia,
Sesepuh hanya memiliki wewenang dalam urusan adat
(kepemimpinan informal) karena bagaimana pun juga
Kampung Adat atau kasepuhan itu masuk dalam ruang
lingkup pemerintahan Desa, kecamatan, kabupaten atau kota,
provinsi dan tentu saja Negara Kesatuan Republik Indonesia,
jadi selain hukum adat juga harus mengikuti hukum negara.
Sesuai dengan pernyataan Abah Ukat (Ketua Adat Urug
Lebak), bahwa beliau sangat mengakui dan menghormati
pemerintahan NKRI dengan kalimat buhun disuhun sara dibawa
(aturan-aturan adat, negara dan agama harus berjalan
beriringan).
Warga kasepuhan atau ada juga yang menyebutnya
kesatuan dalam bahasa Indonesia menunjukkan suatu
kelompok sosial yang memiliki keseragaman dalam pola
perilaku kehidupan sosio-budayanya. Hal ini tampak antara
lain dalam setiap kelompok pemukiman terdapat Sesepuh
yang disebut juga Kokolot sebagai tali pengikat kesatuan.
Para sesepuh atau kokolot inilah yang memimpin
berbagai upacara adat yang berlaku di kalangan warga
kasepuhan selain itu mereka juga berfungsi sebagai tempat
meminta nasehat dan petunjuk serta tempat pananggeuhan
(bernaung) di kalangan warga kasepuhan yang bermukim di
sekitar kampung itu. istilah kasepuhan berasal dari kata sepuh
yang berawalan ka- dan berakhiran -an. Sepuh adalah sinonim
dari kata kolot (bahasa Sunda) yang berarti tua dalam bahasa
Indonesia. Sebutan kasepuhan menunjukkan sebuah sistem
kepemimpinan dari suatu komunitas atau kelompok sosial di
mana semua aktifitas semua anggotanya berasaskan pada adat
kebiasaan orang tua (sepuh atau kolot). Kasepuahan berarti

29
Panitia Kamus Lembaga Basa dan Sastra Sunda, Kamus Umum Basa
Sunda (Bandung: Tarate Bandung, 1975), h. 470.
118 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
adat kebiasaan tua atau adat kebiasaan nenek moyang. hal ini
tampak dalam tatacara kehidupan mereka yang masih secara
ketat menjalankan apa yang mereka sebut tatali paranti
karuhun.30
Sesepuh mempunyai kekuasaan dalam menentukan
adat istiadat warga masyarakatnya. Ia dituakan oleh
masyarakatnya karena ia keturunan pendiri desa sekaligus
dianggap memiliki wibawa magis yang selalu memelihara
warga masyarakatnya dengan ketentuan-ketentuan adat
istiadat yang berasal dari nenek moyang mereka. Seorang
sesepuh besar peranannya dalam partisipasi masyarakat bagi
usaha-usaha pembangunan desa, gotong royong, upacara-
pacara pertanian, siklus hidup, membantu melancarkan roda
pemerintahan desa. Meskipun kepemimpinan tradisional di
daerah ini hanya dalam hal adat istiadat, rupanya sebelum
pengaruh Islam, meliputi pula semua aspek kehidupan,
termasuk religi.31
Di Kampung Adat Urug, elit Masyarakat yang
dimaksud dalam kajian ini adalah Ketua adat yang berjumlah
tiga orang; Urug Lebak (Bawah) sebagai pusat dipimpin oleh
Abah Ukat, Urug Tengah (Tengah) dipimpin oleh Abah Amat
dan Urug Tonggoh (atas) dipimpin oleh Abah Kayod.32 Ketiga
ketua adat ini mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat,
dari hasil pengamatan penulis, pembagian kepemimpinan ini
hanya untuk mempermudah jalannya adat di sana, contoh
dalam acara Seren Taun, karena Kampung Adat Urug yang
begitu luas dan warganya yang begitu banyak tidak akan
tertampung semua di satu rumah adat, misalnya pada saat
prosesi ngariung (berkumpul),33 dan juga tidak hanya warga

30
Adimiharja, Kusnaka Adimiharja, Kasepuhan: yang Tumbuh Di atas
yang Luruh (Bandung: Tarsito, 1992), h. 4.
31
Ekadjati, Edi Suhardi, ed., Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya
(Jakarta: P T Girimukti Pasaka, 1984), h. 45.
32
Pengamatan penulis selama di lokasi penelitian pada tanggal 15-29
April 2012.
33
Ngariung artinya berkumpul. Dalam salah satu upacara adat misalnya
Seren Taun, (syukuran pesta panen) ngariung menjadi salah satu manual acara di
119 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Urug yang datang pada saat acara adat ini. Penggunaan nama
Lebak, Tengah dan Tonggoh hanya mengacu pada lokasi rumah
ketua adat. jika dilihat dari bentang alam Kampung Adat
Urug yang berada di lembah, rumah adat Lebak yang
ditempati oleh Abah Ukat berada di bawah sebagai pusat di
mana rumah warga yang saling berdekatan “berkiblat” pada
rumah adat tersebut.
Regenerasi atau pergantian ketua adat di Kampung
Adat Urug khususnya di Urug Lebak sebagai Pancer (Pusat)
berdasarkan wangsit34 atau amanat yang akan diterima oleh
ketua adat yang sedang menjabat, yang dipercaya berasal dari
leluhur mereka untuk menentukan siapa yang akan menjadi
Ketua Adat berikutnya.35 Para ketua adat ini biasa disebut
Abah Kolot, Abah saja atau kokolot. Abah adalah salah satu
sebutan atau panggilan kepada ayah, Di samping sebutan
kepada ayah, Abah digunakan pula sebagai sebutan khas oleh
masyarakat Sunda kepada orang-orang tertentu yang seakan-
akan berhak atau pantas memakainya.36 Sebutan Abah juga
biasanya ditujukan kepada orang yang berkarisma atau
berwibawa meskipun usianya belum begitu tua, misalnya
dalam hal ini ketua adat Urug Lebak, Abah Ukat.

Upaya Sesepuh Dalam Menjaga Adat Istiadat

mana warga semua berkumpul di rumah adat untuk berdo’a bermunajat pada
Yang Maha Kuasa dan bersyukur atas hasil panen tahun itu dan semoga panen
tahun-tahun berikutnya juga memuaskan. Setelah pembacaan do’a selesai maka
makanan yang sudah disiapkan sebelumnya yang juga sekaligus dido’akn akan
dibagikan kepada warga yang hadir baik dari kampung Adat Urug sendiri maupun
dari luar. Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (Ketua Adat Urug Lebak),
Bogor, 28 April 2012.
34
Wangsit adalah petunjuk gaib yang diperoleh atau diterima pada saat
tafakur, nyepi atau meditasi. Lihat Adimiharja, Kusnaka, Kasepuhan yang
Tumbuh Di atas yang Luruh: pengelolaan Lingkunagan secara Tradisional di
kawasan gunung Halimun Jawa Barat, h. 197.
35
Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (ketua adat Urug Lebak),
Bogor, 15 April 2012.
36
Rosidi, Ajip, dkk., Ensiklopedi Sunda: Manusia dan Budaya termasuk
Cirebon dan Betawi (Jakarta: Pustaka Jaya, 2000), h. 3.
120 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Di bawah ini adalah uraian dari lima upacara adat
yang dilaksanakan dalam satu tahun dan dijadikan media atau
sarana oleh Ketua adat dalam menyampaikan amanat dari
leluhur mereka dalam rangka tetap menjaga kebertahanan
adat istiadat. Dalam kegiatan seperti inilah diantaranya Ketua
Adat bekerja sama dengan pemerintah Daerah untuk
keberlangsungan acara tersebut seperti bantuan biaya dan lain
sebagainya. Menurut Abah Ukat, lima acara tersebut
dilaksanakan tidak sebatas kegiatan saja, tapi mengandung
hikmah yang harus dijalankan oleh Warga Urug karena ada
pokok atau sebab-sebab penting kenapa upacara tersebut harus
dilaksanakan.37

Muludan
Upacara pertama memperingati kelahiran Nabi
Muhammad SAW tanggal 12 Mulud (Rabi’ul Awal) yang biasa
disebut Muludan. Dalam acara ini Ketua Adat bersama warga
khusus mengrim do’a untuk Nabi Muhammad karena Sudah
berjasa membawa agama Islam. Biasanya dalam acara tersebut
dihidangkan makanan-makanan khas daerah dan olahan lauk
pauk yang akan dibagikan kepada warga setelah dido’akan.
Alasan diadakannya acara ini menurut Abah Ukat,
Nabi Muhammad pada saat berusia 25 tahun dipanggil oleh
Yang Maha Kuasa, akan diberi Kitab Rasul dan Tasauf
kemudian harus mengajarkan rukun Islam yang lima perkara
di Negara Mekah. Nabi Muhammad patuh, taat dan
melaksanakan Kehendak Yang Maha Kuasa, maka selama
mengajarkan rukun Islam di negara Mekah tersebut dan
seterusnya, Nabi Muhammad akan selalu dikirim “bekal” oleh
Yang Maha Kuasa, hakekatnya berupa do’a-do’a dari setiap
umat Islam yang melaksanakan acara Muludan tersebut, karena
itulah Abah Ukat bersama warga Kampung Adat Urug

37
Wawancara Pribadi Dengan Abah Ukat (Ketua Adat Urug Lebak),
Bogor, 28 April 2012.
121 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
melaksanakannya sebagai wujud bakti kepada Nabi
Muhammad.38

Seren Taun
Upacara kedua disebut Seren Taun (Syukuran hasil
panen), dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur dari para
petani di sini yang dipimpin Ketua Adat. Ungkapan rasa
syukur, karena ada istilah mipit kudu amit ngala kudu mènta
(memetik dan mengambil harus minta izin kepada yang
punya), rasa syukur ini ditujukan kepada yang pertama kali
telah memberikan bibit pokok dalam masalah pangan kepada
manusia, yaitu Yang Maha Kuasa, karen pada hakekatnya
bumi tempat tumbuh berbagai macam tanaman yang
bermanfaat bagi manusia adalah milik Yang Maha Kuasa,
maka ketika akan mengambilnya harus meminta izin kepada
yang punya
Rincian kegiatan atau manual acaranya seperti yang
dituturkan Abah Ukat berikut “Kegiatan ini dilaksanakan
setelah semua warga selesai panen. tahun 2012 yang akan
datang ini, acara Seren Taun sudah ditetapkan oleh abah pada
tanggal 6 Juni. Acara dimulai dari tanggal 5 Juni, minimal jam
11 Abah meyembelih kerbau. Setelah semua prosesi
penyembelihan kerbau sampai dimasak selesai sekitar jam
empat sore, Abah mengadakan selametan39, ya harus itu untuk
kerbau yang dipotong dan untuk yang memotongnya.
Dipanjatkan do’a agar pertanian dan petaninya di sini selamat
ada dalam keberkahan begitu juga umumnya dengan negara
kita semoga subur makmur tidak terkena musibah, pada
akhirnya itu umum untuk semua warga dan bangsa.”
Sedekah Rowah

38
Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (Ketua adat Urug Lebak),
Bogor, 28 April 2012.
39
Acara selametan ini disebut juga ngariung (berkumpul), semua warga
berkumpul di rumah adat untuk berdo’a bersama, tentu lengkap dengan hidangan
makanan yang sudah disiapkan.
122 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Upacara yang ketiga disebut Sedekah Rowah,
dilaksanakan pada bulan Rowah (Sya’ban), tanggal 12. Pagi
hari masyarakat membawa ayam minimal satu keluarga satu
ekor, disembelih di halaman rumah adat, setelah selesai
dimasak, dibawa lagi ke rumah adat, selamatannya
dilaksanakan ba’da Dhuhur. Acara ini dan do’a yang dikirim
sebagai wujud bakti kepada Nabi Adam Alaihi Salam karena
menjadi induk semua umat manusia. Manusia awalnya di
akherat, di dunia itu hanya diumbarakeun (dikembarakan) akan
kembali ke akherat yang dibawa hanya amal perbuatan baik
ataupun buruk yang akan diterima oleh Nu Kagungan (Yang
Maha Memiliki). Nabi Adam sebagai induk seluruh umat
manusia awalnya di akherat dahulu, karena suatu hal ia
diturunkan ke bumi.40

Sedekah Bumi
Upacara yang ke empat dinamakan Sedekah Bumi,
lewat beberapa bulan setelah selesai bulan Rowah (Sya’ban),
Puasa (Ramadhan), Syawal. Acara ini diadakan sebelum
menanam padi. Semua warga makan bersama di halaman
rumah adat, tapi tidak hanya sebatas foya-foya saja, yang
dipanjatkan do’anya sebelum makan bersama tersebut, agar
semua warga ketika selama menanam padi mulus rahayu berkah
salamet (selamat dan ancar tanpa kendala). Maknanya, Kita
Manusia duduk-berdiri dan hidup di Bumi, semua yang kita
makan berasal dari Bumi, manusia harus bersyukur kepada
Yang memiliki kekuasaan terhadap Bumi. Acara syukuran
Sedekah Bumi ini dalam rangka akan menanam padi, sekali
lagi, mipit kudu amit, ngala kudu menta (mengambil dan
memetik harus meminta izin kepada yang punya) 41. “Manusia
kebanyakkan hanya ingin enaknya saja, ketika menanam padi
ingin subur, bagus padinya sedangkan syukuran kepada yang
40
Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (Ketua Adat Urug Lebak),
Bogor, 28 April 2012.
41
Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (Ketua Adat Urug Lebak),
Bogor, 28 April 2012.
123 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
memiliki Bumi tempat di mana padi itu ditanam tidak.”
Begitu penuturan Abah Ukat.

Seren Pataunan
Upacara yang kelima dan terakhir yang disebut dengan
Seren Pataunan, di bawah ini penulis kutip petikkan wawancara
dengan Abah Ukat “Seren Pataunan dilaksanakan dalam
rangka menutup tahun (1432 Hijriah) menyambut tahun
(1433 Hijriah), semoga yang dilakukan pada tahun baru itu
semuanya semoga diselamatkan dijaga dan diraksa
(dihindarkan dari bahaya). Warga membawa nasi kuning
dengan laukpauknya (daging kerbau) setelah dido;akan
(selametan) baru dibagikan kembali. keramaiannya lebih dari
Seren Taun, minimal ba’da magrib, sudah ramai, karena
bukan abah yang mengundang tapi masyarakat yang datang
sendiri”.
Seperti dalam Seren Taun, pada upacara Seren
Pataunan banyak kelompok hiburan seperti Jaipongan,
wayang Golek bahkan OrgenTunggal ingin “manggung” di
Kampung Adat Urug, datang sendiri tanpa dibayar. tapi itu
tergantung Abah Ukat, tidak semua kelompok hiburan itu
bisa diterima karena halaman rumah adat sudah dirapihkan
dengan semen dan batu jadi tidak diboleh dibongkar untuk
mendirikan panggung hiburan. Masyarakat yang datang dari
mana-mana itu tidak sebatas hanya ingin silaturahmi, ikut
syukuran mendapatkan berkat makanan atau menyaksikan
hiburan, tapi punya tujuan masing-masing yang dilisankan
biasanya ingin diselamatkan di tahun baru ini. Pada
kesempatan itu Abah Ukat mewejang.42 “Abah di sini biasanya
meminta waktu 15 menit untuk membuka kembali sejarah
dan memberikan wejangan-wejangan kepada warga
umumnya”.

42
Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (Ketua Adat Urug Lebak),
Bogor, 28 April 2008.
124 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Kesimpulan
Adat istiadat di kampung adat Urug masih banyak
yang dipertahankan, tidak hanya sebatas pada upacara adat
yang sudah menjadi tradisi seperti Seren Taun dan Sedekah
Bumi, tetapi juga kearifan lokal yang disebut talèk atau aturan
berupa larangan dan cegahan yang menjadi rambu-rambu
warga Urug dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Hal
ini tergambar dalam beberapa ungkapan seperti mipit kudu
amit nagala kudu mènta (memetik dan mengambil harus izin
kepada yang punya), ungkapan ini juga sebagai rasa syukur
warga kepada Pemilik bumi beserta isinya.
Seperti kampung adat lainnya di Jawa Barat, di
Kampung Adat Urug terdapat ajaran pembinaan moral untuk
melawan sifat buruk dari manusia dalam rangka harmonisasi
kehidupan mereka dengan alam yang disebut dengan ngaji diri
atau tapa manusa. Nilai-nilai budaya yang terdapat di Kampung
Adat Urug ini memiliki kesamaan dengan nilai-nilai moral
dan etika yang terdapat dalam naskah Sunda lama, Sanghyang
Siksakandang Karesian (1518 M), seperti larangan mengambil
yang bukan haknya, memelihara alat tubuh, penghormatan
kepada orang tua dan adab sopan santun serta nilai-nilai
moral dan etika lainnya dalam bermasyarakat.
Indikator masih dipakainya talèk ini sebagai aturan
hidup adalah kepatuhan warga kepada adat itu sendiri dan
ketua adatnya yang berwibawa, hal ini telihat dari keseharian
mereka, terlihat pada keramahan warga dalam menjamu tamu,
segala hidangan yang ada disuguhkan, karena mereka
mematuhi aturan yang mengharuskan mereka bersikap ramah
kepada siapa saja tidak hanya tamu (Murah bacot murah
congcot).
Adat istiadat atau kearifan lokal ini masih bertahan
karena peran yang signifikan dari Ketua Adatnya sebagai elit
masyarakat. dalam rangka melestarikan adat istiadat ini, Ketua
adat selalu memberikan nasehat atau wejangan kepada warga
baik secara pribadi atau umum pada saat Upacara adat seperti
Seren pataunan. Upacara-upacara adat seperti Seren
125 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013
Pataunan, Seren Taun, Sedekah Bumi, Sedekah Rowah dan
Muludan menjadi media, sarana atau alat untuk melestarikan
adat istiadat tersebut.
Selain itu Ketua adat juga menjalin kerjasama dengan
pemerintah daerah melalui Dinas Kebudayaan dan pariwisata
dalam rangka keberlangsungan adat istiadat dan tradisi itu,
yang memang sebenarnya sudah menjadi kewajiban bagi
pemerintah baik pusat maupun daerah untuk ikut serta atau
berperan aktif dalam pelestarian budaya-budaya daerah. Sejak
tahun 2010, Kampung Adat Urug ditetapkan sebagai Cagar
Budaya oleh Pemerintah Kabupaten Bogor.

Bahan Pustaka

Buku
Adimihardja, Kusnaka. Kasepuhan yang Tumbuh di Atas yang
Luruh: Penelolaan Lingkungan Secara Tradisional di
Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat. Bandung:
Tarsito, 1992.
Chambert Loir, Henri. “kolofon Melayu.” Indonesia and the
Malay World, vol.34, no. 100, (November 2006): hal.
1-3.
Danasasmita, Saleh. dkk. Sewaka Darma, Sanghyang
Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi
dan Terjemahan. Bandung: Proyek Penelitian dan
Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), 1987.

Dudung, Abdurahman. Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta:


Ar-Ruzz Media, 2007.
Ekadjati, Edi Suhardi, ed. Masyarakat Sunda dan
Kebudayaannya. Jakarta: P.T Girimukti Pasaka, 1984.
_______Kebudayaan Sunda Jilid 1. Jakarta: Pustaka Jaya, 1995.
Hariyono. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Yogyakarta:
Pustaka Jaya, 1995.

126 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Kartodirjo, Sartono, ed. Elite Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta:
LP3ES, 1981.
Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1974.
_____________. Manusia dan kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan, 1971.
_____________. ed. Metode-Metode Penelitian Masyarakat.
Jakarta: Gramedia, 1979.
Noer, Deliar. Bunga Rampai Dari Negeri Kanguru: Kumpulan
Karangan. Jakarta: Panji Masyarakat, 1981.
Panitia Kamus Lembaga Basa dan Sastra Sunda. Kamus Umum
Basa Sunda. Bandung: Tarate Bandung, 1975.
Rosidi, Ajip. dkk. Ensiklopedi Sunda: Manusia dan Budaya
termasuk Cirebon dan Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya,
2000.
_________. Manusia Sunda,. Jakarta: Inti Idayu Press, 1984.
_________. Mencari Sosok Manusia Sunda: Sekumpulan
Gagasan dan Pikiran. Jakarta: Pustaka Jaya, 2010.
Sanafiah, Faisal, ed. Metodologi Penelitian Kualitatif, Surabaya:
Usaha Nasional, 1987.
Sulyana WH, H. dkk., Siliwangi Adalah Rakyat Jawa Barat,
Rakyat Jawa Barat Adalah Siliwangi. Bandung: Badan
Pembina Citra (BPC) Siliwangi, 2006.
Supardan Nalan, Arthur. Sanghyang Raja Uyeg: dari Sakral ke
Profan.Bandung: Humaniora Utama Press, 2000.
Warnaen, Suwarsih. dkk. Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti
Tercermin Dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda:
Konsistensi dan Dinamika. Bandung: Proyek Penelitian
dan Pengkajian Kebudayaan Sunda Departemen
Pendidikan dan Kebudayaa, 1987.

127 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


Wawancara
Wawancara Pribadi dengan Abah Ukat (Ketua adat Kampung
Urug Lebak). Bogor, 15, 22 dan 28 April 2012.
Wawancara Pribadi dengan Abah Amat (Ketua adat Kampung
Urug Tengah). Bogor, 16, 17, 19 dan 25 April 2012.
Wawancara Pribadi dengan Abah Kayod (ketua adat Kampung
Urug Tonggoh). Bogor, 16 dan 19 April 2012.
Wawancara Pribadi dengan Mang Misnan (Warga dan kerabat
Ketua Adat Kampung Urug). Bogor, 18 April 2012.
Wawancara Pribadi dengan Mang Ujang (Warga dan kerabat
Ketua Adat Kampung Urug). Bogor, 16 April 2012.
Wawancara Pribadi dengan Bapa Ade Eka Komara (Sekretsris
Desa Kiarapandak). Bogor, 21 dan 22 April 2012.

128 Jurnal KALIJAGA volume II Juli 2013


JURNAL KALIJAGA terbit dua kali setahun.
Redaksi menerima tulisan mengenai sejarah, khazanah budaya
dan keagamaan.

Ketentuan Pengiriman Tulisan:


1. Tulisan dapat berupa ringkasan hasil penelitian, artikel
setara hasil penelitian, kajian tokoh (obituari) maupun
telaah kitab atau tinjauan buku.
2. Panjang tulisan antara 15-25 halaman kuarto 1,5 spasi,
font Times New Roman 12, dan diserahkan dalam bentuk
print out dan file dalam format Microsoft Word.
3. Tulisan wajib memperhatikan kaidah-kaidah penulisan
Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang berlaku serta menggunakan
bahasa Indonesia yang baik dan benar berdasarkan Ejaan
Yang Disempurnakan (EYD).
4. Sumber rujukan menggunakan footnote (catatan kaki)
yang ditulis seperti contoh berikut: Deliar Noer, Gerakan
Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES,
1980), h. 109;
dan Daftar Pustaka ditulis: Noer, Deliar. 1980. Gerakan
Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
5. Penulis harap menyertakan abstrak dalam bahasa
Indonesia dan Inggris, kata kunci, biodata singkat dalam
bentuk esai, dan alamat lengkap.
6. Redaksi berhak menyunting naskah tanpa mengurangi
maksud tulisan. Dan, tulisan yang dimuat tidak selalu
mencerminkan pandangan Redaksi.

Tulisan dapat dikirimkan melalui e-mail:


buditebet@gmail.com
Atau melalui pos ke alamat:
Redaksi Jurnal KALIJAGA
Jl Tebet Timur Dalam XI/76 Jakarta 12820

Anda mungkin juga menyukai