Anda di halaman 1dari 79

No.

Reg :171030000008483

LAPORAN PENELITIAN
Kluster Penelitian Dasar Interdisipliner

ISLAMISASI MASYARAKAT SASAK:


DALAM JALUR PERDAGANGAN GLOBAL:
TELAAH TERHADAP NASKAH-NASKAH KUNO DAN SITUS-SITUS
ABAD KE 17

Ketua: Dr. H. Jamaluddin, MA


NIP: 197412312000031005

Anggota: Hj. Siti Nurul Khaerani, SE.MM


NIP: 197504122003122002

PUSAT PENELITIAN DAN PUBLIKASI ILMIAH


LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
TAHUN 2018

1
LAPORAN PENELITIAN
Kluster Penelitian Dasar Interdisipliner

ISLAMISASI MASYARAKAT SASAK:


DALAM JALUR PERDAGANGAN GLOBAL:
TELAAH TERHADAP NASKAH-NASKAH KUNO DAN SITUS-SITUS
ABAD KE 17

Ketua: Dr. H. Jamaluddin, MA


NIP: 197412312000031005

Anggota: Hj. Siti Nurul Khaerani, SE.MM


NIP: 197504122003122002

PUSAT PENELITIAN DAN PUBLIKASI ILMIAH


LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
TAHUN 2018

2
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan penelitian yang berjudul Islamisasi Masyarakat Sasak Dalam Jalur


Perdagangan Global: Telaah Terhadap Naskah Kuno dan Situs-Situs Abad Ke-
17, No. registrasi 171030000008483 dengan klasifikasi kluster Penelitian Dasar
Interdisipliner, yang disusun oleh :

1. Ketua
Nama : Dr. H. Jamaluddi, M.A.
NIP : 197412312000031005
No. ID Peneliti : 203112740413023
Bidang Keilmuan : Sejarah Peradaban Islam

2. Anggota
Nama : Hj. Siti Nurul Khaerani, SE.MM.
NIP : 197504122003122002
No. ID Peneliti :
Bidang Keilmuan : Ekonomi Manajemen

Yang pembiayaannya bersumber dari dana BOPTN DIPA UIN Mataram Tahun
2018 sebesar Rp. 50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah). Telah memenuhi
ketentuan teknis dan akademis sebagai laporan hasil penelitian, sesuai Petunjuk
Teknis Penelitian Dosen UIN Mataram.

Mataram, 2 Nopember 2018


Mengetahui,
Ketua LP2M UIN Mataram Kepala P3I LP2M UIN Mataram

Dr. H. Nazar Naamy, M.Si Dr. Winengan, M.Si


NIP. 197202012000031001 NIP. 197612312005011007

3
KATA PENGANTAR

‫ﺑﺴﻢ ﷲ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ‬


Alhamdulillah, karena dengan taufiq dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Islamisasi masyarakat Sasak dalam jalur
perdagangan global: telaah terhadap naskah kuno dan situs-situs abad ke-17”.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan
keluarga, beserta sahabat-sahabatnya.
Penelitian ini dapat terselesaikan karena keterlibatan dari berbagai pihak,
baik secara moril maupun materil. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini, penulis
menyampaikan penghargaan dan mengucapkan terima kasih kepada: pertama Pak
Karianom tokoh adat, tokoh masyarakat sekaligus mantan kepala desa Salut yang
membantu yang saya butuhkan untuk penelitian. Memberikan saya akses untuk
dapat melakukan penelitian secara leluasa, yang tidak banyak orang diperlakukan
semudah saya. Kepada kepala desa Bayan, kepala desa Sesait, kepala desa Bayan
dan para tokoh-tokoh adat yang sangat membantu saya, memberikan naskah-
naskahnya untuk saya akses selama penelitian ini berlangsung. Demikian juga
mengakses data-data arkeologis, semua mereka membantu dan memberikan
kemudahan. Namun disayangkan karena peristiwa gempa yang menimpa
masyarakat NTB, yang secara kontinu selama dua bulan (akhir Juli-September
2018), khususnya mereka yang berada di Lombok Utara, membuat komunikasi kami
menjadi agak sedikit sulit. Namun demikian saya menganggap merekalah orang-
orang yang sesungguhnya sangat berjasa dalam membantu saya untuk
menyelesaikan penelitian ini. Semoga mereka bisa sabar dan kuat menghadapi
musibah gempa, dan dapat pulih kembali. Sekali lagi saya mengucapakan terima
kasih.
Selanjutnya saya mengucapkan terimakasih juga kepada Kardi mahasiswa
pascasarjana yang kebetulan berasal dari Bayan, tentu ini juga sangat membantu
saya secara teknis ketika di lapangan. Begitu juga dengan saudara Fathul redaktur
Lombok Post yang selalu siap ketika saya ajak ke lapangan untuk melakukan

4
penelitian, bahkan setiap saya melakukan penelitian, ia mendokumentasikannya
dengan cukup baik bahkan setiap turun ke lapangan selalu dimuat di Koran Lombok
Post, untuk itu kepada dik Fathul saya ucapkan terima kasih.
Kepada temen-temen Kesbangpol Provinsi NTB yang selama ini mengajak
saya keliling ke kampung-kampung khususnya beberapa wilayah yang ada di
Lombok Utara, dan mempertemukan saya dengan tokoh-tokoh di kampung tersebut
dan dengan sukarela memberikan saya naskahnya untuk saya akses.
Selanjutnya kepada Rektor UIN Mataram, LP2M, Kepala Lemlit, yang telah
memfasilitasi penelitian ini, kepada mereka semua saya ucapkan terima kasih.
Selanjutnya Kepala Museum Negeri Nusa Tenggara Barat, wabil khusus Lalu
Nafsiah yang memberikan saya untuk mengakses naskah koleksi Museum, dan
kepala serta Stap perpustakaan yang juga tidak pernah bosan-bosannya melayani
saya ketika datang mencari buku-buku yang susah didapat yang merupakan koleksi
perpustakaan. Demikian Juga Kepala Perpustakaan Daerah Nusa Tenggara Barat
yang telah memberikan berbagai kemudahan bagi penulis selama mengakses data-
data yang berkaitan dengan kajian peneliti di Perpustakaan Daerah NTB. Juga
kepada kawan-kawan stap di lembaga penelitian UIN Mataram, yang tidak pernah
bosan-bosannya menghubungi saya, ditagih…agar segera menyerahkan hasil
penelitian, terkadang menjengkelkan juga karena selalu ditagih dimana saja ketemu,
terkadang ditelpon sambil didesak, ya saya hargai juga semua yang dilakukan,
terkadang saya tidak tidur juga dibuatnya, kepadanya saya ucapkan terimakasih,
semoga temen-temen tetap gigih dalam melaksanakan tugas dan sukses ke
depannya.
Untuk keluarga besarku, yang sangat perhatian, dan dengan sabar membantu
dan memberi dorongan kepada penulis, bahkan tidak jarang ikut juga ke lokasi
penelitian untuk menemani suami. Demikian juga anakku Muhammad Qusaiyi Al
Jamali, Yumna Annisa Al Jamali, Zafira Annisa Al Jamali, yang selalu
menjadi/memberi semangat kepada papa sehingga penelitian ini dapat tutas sesuai
dengan rencana. Terimakasih kepada semua pihak yang tidak mungkin dapat
disebutkan satu persatu di sini yang terlibat dalam penyelesaian penelitian ini.

5
Semoga Allah menjadikan semua ini menjadi amal sholeh. Akhirnya penulis
berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Mataram, 28 Nopember 2018 M
Peneliti

DR. H. Jamaluddin, MA.


Ketua TIM Peneliti
Hj. Siti Nurul Khaerani, SE.MM.
Anggota TIM Peneliti

6
RINGKASAN HASIL PENELITIAN

Lombok adalah bagian dari kepulauan Nusantara yang terlibat dalam


perdagangan global. Kepulauan Nusantara berada pada jalur perdagangan dunia,
sebagai kawasan perantara yang dilintasi oleh para pedagang dengan rute-rute
perdagangan yang menghubungkan Tiongkok dengan India, sehingga Nusantara ini
selalu mendapat pengaruh dari berbagai agama-agama besar dunia. Pengaruh-
pengaruh agama tersebut telah masuk di Nusantara seiring dengan dilewatinya jalur-
jalur perdagangan tersebut. Seperti agama Hindu dan Budha yang telah masuk
sekitar abad ke-5 dan abad ke-8 Masehi. Demikian juga dengan Lombok sebagai
bagian yang terlibat di dalamnya menjadi wilayah yang kuat dipengaruhi oleh dua
agama besar yang berkembang di Nusantara. Dari penelitian ini ditemukan, bahwa
baik Islam dari arah barat ataupun dari arah timur sesungguhnya yang masuk ke
Lombok adalah sama. Tidak terdapat perbedaan kecuali penguatan dari proses yang
lebih awal karena setiap proses islamisasi yang masuk belakangan akan menguatkan
islamisasi yang pertama. Islam di Lombok diperkirakan masuk sekitar abad ke-15,
karena pedagang-pedagang muslim ketika itu telah ada yang bermukim di pulau
Lombok. Namun secara tegas dapat dipastikan, berdasarkan sumber lokal dan
sumber luar, bahwa Islam masuk di Lombok pada abad ke-16 dibawa oleh Sunan
Prapen (Giri) mubalig asal Jawa. Sunan Prapen masuk di Salut, kemudian ke
kerajaan Lombok di timur, dan kemudian masuk ke kerajaan-kerajaan di wilayah
tengah, utara dan barat. Baru kemudian abad ke-17 diperkuat lagi oleh Datuk
Ribandang setelah melewati Makassar, Sumbawa kemudian masuk di Lombok. Hal
tersebut dibuktikan dari sumber-sumber manuskrip dan bukti-bukti arkeologis.

Kata kunci: perdagangan global, Islamisasi, Lombok, manuskrip dan arkeologis

7
DAFTAR ISI

Cover Luar ............................................................................................... i


Cover Dalam ............................................................................................. ii
Halaman Pengesahan ................................................................................ iii
Kata Pengantar .......................................................................................... v
Ringkasan Hasil Penelitian. .................................................................... vi
Daftar Isi ................................................................................................ vii
BABI PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah. ....................................................... 1
B. Rumusan Masalah4 ................................................................
C. Signifikansi dan Manfaat Penelitian ..................................... 5
BAB II LANDASAN PERSPEKTIF........................................................ 6
A. Kajian Penelitian Terdahulu................................................... 6
B. Kajian Teori ........................................................................... 8
BAB IIIMETODE PENELITIAN ............................................................ 24
A. Desain Penelitian.................................................................... 24
C. Metode Pengumpulan Data .................................................... 24
D. Analisis Data .......................................................................... 26
E. Keabsahan Data...................................................................... 27
BAB IVISLAMISASI MASYARAKAT SASAK DALAM
JALUR PERDAGANGAN GLOBAL................................... 28
A. Lombok Dalam Jalur Perdagangan International ................. 28
B. Islamisasi Masyarakat Sasak Lombok .................................. 36
BAB VPENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 66
B. Implikasi Teoritis ................................................................... 67
C. Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 68
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Dokumentasi Penelitian.
2. Biodata Peneliti

8
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lombok adalah pulau yang sangat strategis yang berada dalam jalur
perdagangan global. Lombok menjadi dikenal oleh banyak pedagang, pelancong,
atau para da’i yang melewati jalur perdagangan pesisir utara laut Jawa. Karena
Lombok berada pada jalur tersebut, maka ia menjadi salah satu wilayah yang selalu
terlibat atau selalu mengikuti perkembangan global, paling tidak di wilayah
nusantara. Memotret sejarah Lombok pada masa lalu tidak cukup hanya dengan
menjadikan Lombok sebagai sebuah latar. Seharusnya melihat Lombok dalam
bingkai perkembangan perdagangan global. Arus perdagangan yang demikian ramai
pada jalur tersebut, memberikan dampak yang tidak kecil dalam perubahan yang
terjadi pada masyarakat Sasak di Lombok, termasuk di dalamnya adalah perubahan
agama masyarakat Sasak. Masuknya orang-orang Sasak ke dalam agama Islam.
Diskursus Islam di Lombok hingga saat ini selalu menjadi isu yang
menarik dalam kajian para peneliti. Isu-isu yang menjadi tema penelitian selama ini
adalah seputaran Islam Wetu Telu vs Islam Waktu Lima, Islam sinkretis vs Islam
murni, Islam lokal vs Islam Global, Islam pinggiran vs Islam Perkotaan, Islam
Tengah vs Islam Pinggiran, dan seterusnya. Semuanya dengan pengelompokan
semacam itu seolah-olah memiliki sekat-sekat atau pembatas antara Islam yang satu
dengan yang lainnya, Islam yang ada di Lombok sepertinya memiliki varian yang
bermacam-macam.
Dikotomi-dikotomi semacam itu, yang paling santer di Lombok adalah
Islam Waktu Lima versus Islam Wetu Telu. Dikotomi tersebut muncul di abad dua
puluh.1 Pemikiran-pemikiran semacam ini tidak jarang dimunculkan oleh peneliti
baik disengaja ataupun tidak, telah menampilkan Islam di Lombok tidak berhasil

1
Beberapa kajian tentang hal ini, Tawalinudin Haris, Islam Wetu Telu sedikit Tentang
Sejarah dan Ajarannya (Jakarta: UI Press, 1978); Erni Budiwanti, Islam Sasak: Islam Wetu Telu
versus Islam Waktu Lima (Yogyakarta: LKiS, 2000); Muhammad Ahyar, Perubahan Masyarakat
Islam Wetu Telu Di Lombok Barat Nusa Tenggara Barat, tesis (Yogyakarta: Universitas Gajahmada,
1999); Tito Adonis, Suku Terasing Sasak di Bayan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat (Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional, 1989).

9
dalam hal dakwahnya. Mereka ingin menampilkan Islam “gagal” mengislamkan
umatnya secara sempurna. Bahkan yang sering dimunculkan Islam itu tidak lebih
hanya sekedar lapisan luar dari budaya lokal yang ada.2
Azra sebagai seorang sejarawan yang banyak mengkaji Islam Asia
Tenggara menjelaskan, Islam di Asia Tenggara sering dipandang banyak orientalis
sebagai Islam periferal, Islam pinggiran, Islam yang jauh dari bentuk asli, yang
terdapat dan berkembang di pusatnya di Timur Tengah. Dengan kata lain Islam di
Asia Tenggara bukanlah Islam yang sebenarnya, sebagaimana yang berkembang dan
ditemukan di Timur Tengah. Islam yang berkembang di Asia Tenggara adalah Islam
yang berkembang dengan sendirinya, bercampur baur dengan dan didominasi oleh
budaya dan sistem kepercayaan lokal, yang tak jarang dan tidak sesuai dengan
ajaran Islam.3
Kehadiran Islam yang disebut Islam Wetu Telu di Lombok terlalu dibesar-
besarkan, seolah-olah benturan antara Islam Wetu Telu dengan Islam Waktu Lima
telah terjadi sepanjang sejarah Islam di Lombok. Maka di sinilah pentingnya sejarah
untuk menggali akar historis dari Islam di Lombok. Pemilahan sosiologis atas
masyarakat muslim itu tidak jarang dimunculkan, dengan menampilkan varian-
varian yang umumnya dipandang bertentangan dan terlibat dalam pergumulan yang
intens, bukan hanya dalam lapangan keagamaan, tetapi juga dalam bidang lain
termasuk sosial, ekonomi, dan politik.
Penulisan tentang Islam di Lombok telah banyak dilakukan oleh beberapa
peneliti sebelumnya, namun dalam kasus islamisasi di Lombok, kebanyakan yang
menulis sejarah islamisasi bukanlah peneliti sejarah. Penulisan sejarah dilakukan
oleh pegiat budaya, sehingga tulisan-tulisannya lebih terlihat sebagai karya sejarah
yang gersang dengan data-data yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiyah.
Selain oleh budayawan, penulisan sejarah juga banyak dilakukan oleh para
antropolog, karena itu karya mereka lebih tepat dikatakan sebagai karya antropolog.

2
Pemikiran semacam ini pertama kali dimunculkan oleh London (1949), kemudian
didukung oleh van Leur (1955), termasuk juga disini Winstedt (1951), yang kemudian pendapat
mereka ini ditentang keras oleh Najib al-Attas (1969), Husain Alatas (1963), dan Niki Keddie (1987).
3
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2000), cet. ke-2, 5.

10
Masa lalu ditulis dengan menggunakan pendekatan antropologi, sehingga kajian-
kajiannya menggambarkan sejarah berdasarkan perspektif masa kini, bukan
berdasarkan fakta-fakta sejarah di masa lalu, ketika terjadinya Islamisasi.
Penulisan sejarah yang didasarkan pada asumsi masa kini, maka akan
melahirkan karya sejarah yang beragam. Semakin banyak sumber sejarah yang
diwawancarai, maka akan semakin banyak pula pandangan-pandangan yang
berbeda, lebih-lebih kalau sejarah yang dilihat dalam perpsektif banyak orang.
Menurut peneliti kajian-kajian sejarah islamisasi di Lombok, akan dapat
diungkap secara tepat, apabila sumber-sumber sejarah yang digunakan adalah
sumber yang pernah ditulis oleh orang-orang Sasak pada masa awal ketika Islam
masuk di Lombok atau masa yang dekat dengan peristiwa islamisasi. Karya-karya
mereka itu sekarang sudah menjadi manuskrip-manuskrip yang sudah berumur
ratusan tahun. Ada yang disimpan oleh lembaga pemerintah, seperti museum-
museum, perpustakaan-perpustakaan, atau yang disimpan oleh masyarakat sebagai
koleksi pribadi mereka. Naskah-naskah tersebut ada yang merupakan naskah
sejarah, naskah politik, naskah pemikiran/filsafat, atau naskah hukum, dan lain
sebagainya. Untuk mengetahui sejarah masa lalu, maka mengkaji naskah menjadi
sebuah keniscayaan.
Demikian juga halnya dengan tinggalan-tinggalan arkeologis, yang
menjadi bukti kehadiran dan keberadaan Islam pada eranya. Masih banyak
ditemukan tinggalan-tinggalan Islam hampir pada setiap wilayah di pulau Lombok.
Di Lombok utara tersebar di banyak desa, bangunan-bangunan masjid tua yang
masih tegak berdiri yang dibangun pada awal Islam masuk di Lombok. Menurut
arkeolog bahwa bangunan-bangunan tersebut sudah berumur sekitar 400 tahun dari
sejak berdirinya. Setidaknya tersebar di Sembilan desa yang ada di Kabupaten
Lombok Utara. Di Lombok Selatan (wilayah Lombok Tengah), terdapat setidaknya
ada 4 mesjid tua, dan beberapa makam tua yang diduga merupakan makam raja
Islam yang pernah berkuasa di Lombok Tengah. Di Lombok Timur ditemukan
beberapa tinggalan arkeologis, selain masjid tua, juga ditemukan makam-makam

11
raja, yang menurut informasi dari salah satu naskah kuno,4 tinggalan tersebut adalah
makam raja Selaparang, raja yang pertama kali diislamkan.
Karena penelitian ini adalah penelitian sejarah maka pendekatan yang akan
digunakan adalah pendekatan sejarah. Namun karena dalam mengungkap tentang
sejarah Islamisasi di Lombok tidak dapat dilepaskan dari dua sumber utama
penelitian ini, yaitu manuskrip kuno dan tinggalan arkeologi, maka dua pendekatan
tidak dapat dilepaskan dalam penelitian ini, yang berkaitan dengan manuskrip kuno
maka pendekatan filologi juga menjadi sebuah keniscayaan. Sementara yang
berkaitan dengan tinggalan-tinggalan Islam abad ke-17 menjadi wilayah kajian
arkeologi, untuk itu dalam penelitian ini juga akan melakukan survey arkeologis.
Jadi penelitian ini adalah penelitian sejarah, dan akan menggunakan pendekatan
filologi dan arkeologi sebagai ilmu bantu dalam penulisan sejarah.
Atas dasar latar belakang di atas, maka peneliti tertarik mengangkat
penelitian dengan judul, Islamisasi Masyarakat Sasak dalam Jalur Perdagangan
Global: Telaah Terhadap Naskah Kuno dan Situs-situs Abad ke-17.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan di atas, ada beberapa pertanyaan yang akan


dikemukakan sebagai rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana Islamisasi masyarakat Sasak dalam jalur perdagangan


global menurut sumber-sumber naskah kuno di Lombok ?

2. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan Islam menurut situs-


situs pada abad ke 17 di Lombok?

3. Bagaimana hubungan Islam di Lombok dengan daerah lainnya


berdasarkan temuan pada naskah-naskah kuno dan situs-situs di
daerah lain di Lombok dan Nusantara?

4
Naskah Babad Lombok, naskah ini merupakan salah satu naskah tua yang berisi tentang
peristiwa-peristiwa masa lalu yang pernah terjadi di Lombok, dari awal kehadiraan penduduk
Lombok yang disebut suku Sasak, sampai kehadiran Islam dan keberadaan kerajaan-kerajaan yang
pernah ada di Lombok.

12
C. Signifikansi dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan pada pertanyaan yang diajukan pada perumusan masalah di
atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui Islamisasi masyarakat Sasak dalam jalur


perdagangan global, berdasarkan sumber-sumber naskah kuno di
Lombok.

2. Untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan Islam menurut


situs-situs pada abad ke 17 di Lombok.

3. Untuk mengatahui hubungan Islam di Lombok dengan daerah lainnya di


nusantara berdasarkan temuan pada naskah-naskah kuno dan situs-situs
abad ke-17.

Sebagai sebuah penelitian sejarah yang menjadikan naskah-naskah kuno dan


peninggalan-peninggalan arkeologis sebagai sumber utama kajian, penelitian ini
antara lain diharapkan dapat:
1. Memberikan kontribusi terhadap perkembangan kajian Sejarah dan
Peradaban Islam baik pada tataran lokal, nasional, bahkan
internasional, sehingga Lombok dapat ditempatkan pada meanstrem
global dalam kajian kesejarahan.
2. Memberikan sumbangan bagi khazanah intelektual dan bagi
pengembangan ilmu sejarah, khususnya sejarah lokal akan dapat
menambah dan melengkapi kekurangan referensi (sumber-sumber
sejarah lokal) baik pada sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi di
Nusa Tenggara Barat khusunya, dan Perguruan tinggi di Indonesia
secara umum.
3. Memberikan sumbangan bagi lembaga-lembaga peneliti baik
pemerintah maupun swasta akan sangat berguna bagi pengembangan
penelitian selanjutnya.

13
BAB II
LANDASAN PERSPEKTIF

A. Kajian Penelitian Terdahulu


Kajian-kajian yang mengkaji tentang sejarah Islamisasi di Lombok, masih
sangat kurang, apalagi kajian sejarah yang menggunakan manuskrip-manuskrip
kuno sebagai sumber penulisan sejarah dan situs-situs arkeologis yang masih ada
yang merupakan bukti sejarah yang pernah ada pada abad ke-16 atau ke-17.
Penulisan sejarah telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, namun
dalam kasus islamisasi di Lombok, kebanyakan yang menulis sejarah bukanlah
peneliti sejarah, sehingga tulisan-tulisannya lebih tepat dikatakan sebagai karya
antropolog, atau dapat dikatakan sebagai karya sejarah budaya. Masa lalu ditulis
dengan menggunakan pendekatan antropologi, sehingga kajian-kajiannya
menggambarkan sejarah berdasarkan perspektif masa kini, bukan berdasarkan fakta-
fakta sejarah. Maka kajian-kajian yang sama dengan penelitian ini dapat dikatakan
susah untuk didapatkan. Namun demikian untuk menjelaskan posisi penelitian ini
dalam kajian-kajian yang pernah dilakukan di tempat lain masih sangat mungkin
untuk diperoleh dan akan dijelaskan pada bagian ini.
Beberapa hasil penelitian yang dapat dikemukakan di sini adalah, hasil
penelitian Erni Budiwanti, Islam Sasak: Islam Wetu Telu versus Islam Waktu Lima
(Yogyakarta: LKiS, 2000). Tulisan ini mengkaji tentang Islam di Lombok dengan
lokasi penelitian di Bayan Lombok Utara, di dalamnya juga dibahas tentang
islamisasi di Lombok dengan pendekatan antropologis. Tulisan ini tidak
menggunakan naskah-naskah kuno sebagai sumber dalam penelitiannya, dan tidak
juga menggunakan tinggalan arkeologis sebagai sumber data.
Dapat juga dikemukakan karya Othman Mohd. Yatim, Batu Aceh: Early
Islamic Gravestones In Peninsular Malaysia.5 Karya ini akan sangat membantu
penulis dalam memahami beberapa situs-situs batu nisan yang ada di situs-situs
kerajaan Islam di Lombok, khususnya dalam melacak pengaruh atau hubungan

5
Othman Mohd. Yatim, Batu Aceh: Early Islamic Gravestones In Peninsular Malaysia.
(EFEO, 1999).

14
antara situs yang di Lombok dengan situs-situs yang ada di Nusantara. Penelitian
Mohd. Yatim, berbeda dengan penelitian yang akan peneliti lakukan, dimana Mohd.
Yatim, tidak pernah menyinggung dalam penelitiannya tentang situs-situs di
Lombok. Namun demikian tulisan tersebut akan menjadi sumber pendukung dalam
penelitian ini.
Selain itu juga, dapat disebutkan di sini adalah karya Uka Djandrasasmita,
Arkeologi Islam di Indonesia dari Masa ke Masa, yang kaya dengan temuan-temuan
arkeologi Islam di Indonesia. Karya ini adalah hasil penelitian arkeologi yang
pernah dilakukan oleh Cjandrasasmita di beberapa wilayah di Indonesia. Hanya saya
karya tersebut tidak menyinggung tentang Islamisasi dan situs-situs di Lombok.
Selain itu tidak dapat diabaikan juga karya Hasan Muarif Ambary, Menemukan
Peradaban; Melacak Jejak Arkeologi Islam di Nusantara, buku ini selain
menampilkan kajian arkeologis, juga melakukan elaborasi lebih luas terhadap
tinggalan-tinggalan arkeologi dengan analisis sosio-kultul, karena itu dalam
penelitian ini karya sarjana arkeologi Islam alumnus Ecole des Hautes Etude en
Science Sociales (EHESS) Paris ini, akan menjadi sangat penting untuk dijadikan
rujukan. Sama seperti penelitian sebelumnya, dalam karya Ambary, tidak
disinggung tentang islamisasi di Lombok, namun tulisan ini akan sangat membantu
model analisis menggunakan tinggalan arkeologis untuk merekonstruksi islamisasi
di Lombok. Untuk itu dapat dikatakan bahwa penelitian ini adalah penelitian yang
belum pernah dilakukan oleh peneliti lain, penelitian sejarah dengan menggunakan
ilmu bantu filologi dan arkeologi sejarah.
Khususnya karya-karya yang secara langsung berhubungan dengan situs-
situs di Lombok akan turut membantu paling tidak tentang perubahan-perubahan
karena adanya pemugaran yang pernah dilakukan oleh pihak pemerintah. Tentang
hal ini ditemukan dalam buku Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan di Nusa
Tenggara Barat, yang sengaja diterbitkan oleh Depdikbud NTB, namun demikian
buku ini lebih sifatnya informatif ketimbang analisis arkeologis.
Memperhatikan berbagai sumber di atas, kalaupun beberapa sarjana atau
lembaga yang telah melakukan kajian atau penelitian di Lombok, akan tetapi belum

15
ada penelitian yang mengarahkan kajiannya untuk mengungkap pertumbuhan dan
perkembangan Islam di Lombok. Untuk itu penelitian ini diharapkan dapat mengisi
ruang kosong yang belum terisi oleh kajian-kajian sebelumnya.

Alur Pikir/ Kerangka Berfikir


Untuk memperjelas penelitian maka penelitian ini akan dibangun dalam
kerangka berfikir berikut ini:
Masalah
penelitian
Teori
Data Manuskrip Ekonomi
Filologis

Rumusan
Masalah Data Arkeologis Analisis Historiogra
Politik
(survey)

Metode Sosial
Penelitian
Tujuan Sumber
Pendukung
(Buku/jurnal

Kesimpulan

B. Kajian Teoretik
Kajian teoretik dalam penelitian sejarah tidaklah sama dengan penelitian
kwalitatif pada umumnya. Penelitian kwalitatif terkadang untuk menguji teori, atau
membuktikan kebenaran sebuah teori. Sementara dalam penelitian sejarah, teori
yang ada tidak bisa digunakan untuk membuktikan suatu peristiwa pada tempat yang
berbera. Dalam penelitian ini akan melihat bagaimana islamisasi di masyarakat
Sasak Lombok berdasarkan data-data dalam naskah-naskah Sasak dan bukti-bukti
arkeologis ketika Islam datang ke Lombok. Tentu tidak bisa digunakan teori
Islamisasi yang di daerah lain di Nusantara. Karena penelitian ini akan menemukan
teori baru berdasarkan data-data yang ditemukan ketika pelaksanaan penelitian.
Namun demikian ada beberapa konsep penting perlu dijelaskan berikut ini;

16
1. Naskah-Naskah Kuno
Tentang naskah kuno ini perlu juga dijelaskan pada kajian teoritis ini.
Karya-karya intelektual klasik banyak ditemukan di Lombok Nusa Tenggara Barat,
ribuan naskah yang ditemukan mengindikasikan bahwa pada masa-masa klasik di
Lombok aktifitas tradisi tulis telah menunjukkan eksistensinya. Hubungan dagang
dan politik antara Lombok dengan daerah lainnya memberikan kontribusi yang tidak
kecil bagi perkembangan tradisi tulis dalam masyarakat Sasak. Hal ini dapat dilihat
pada kekayaan bahasa yang dimilikinya, beberapa bahasa yang pernah berkembang
dalam masyarakat Sasak dan digunakan dalam penulisan naskah antara lain: Sasak,
Sanskerta, Jawa, Bali, Melayu, dan Arab, bahkan ada berbahasa Bugis.6 Tradisi tulis
dalam masyarakat Sasak ini diperkirakan telah dimulai sejak masyarakat sasak
mengenal tulisan, dan telah berkembang ratusan tahun yang lalu, menghasilkan
ribuan naskah dalam berbagai bahasa, judul dan bentuknya.
Dengan berbagai macam bahasa yang digunakan, di Lombok ditemukan
naskah-naskah dalam jumlah yang cukup besar, yang di dalamnya mencakup
berbagai informasi penting, dan bermacam bidang kehidupan, seperti sastra, agama,
sejarah, hukum, politik, adat-istiadat, farmakologi, prophesies, dan lain sebagainya.
Naskah-naskah tersebut, dengan memperhatikan luasnya cakupan bidang yang
digarap, maka sangat mungkin, karena banyak faktor yang mendukung
perkembangannya. Naskah-naskah tersebut menjadi potret dari peradaban
masyarakat Sasak yang telah dicapai sejak era kerajaan Islam di Lombok yang
menghadirkankan gambaran realitas kehidupan masyarakat pada saat naskah
tersebut ditulis sampai pada era kontemporer.
Sangatlah keliru kalau ada yang beranggapan bahwa manuskrip atau
naskah yang ditulis pada masa lampau adalah naskah yang tidak atau kurang
bernilai. Ada beberapa kalangan yang secara langsung ataupun tidak langsung

6
Beberapa informasi penting tentang penggunaan bahasa-bahasa ini dapat dilihat pada
naskah-naskah yang dikoleksi oleh Museum NTB, lihat, Dick Van Der Meij, Koleksi Naskah
Museum Negeri Nusa Tenggara Barat Berdasarkan Daftar Spesifikasi Naskah Koleksi Museum NTB.
(1990), 1-24. Katalog yang lebih rinci untuk naskah-naskah dari Lombok adalah disusun oleh
Geoffrey E.Marrison, Catalogue of Javanese and Sasak Tekts (Leiden: Koninklijk Instituut Voor
Taal-,Land- En Volkenkunde, 1999).

17
menyatakan yang demikian, dengan tanpa ada penelitian yang lebih cermat. Islam
Nusantara “miskin” secara intelektual; para ulama, pemikir dan penulis naskah,
hanya menjadi “konsumen” dari pemikiran Islam di tempat lain, khususnya dari
Timur Tengah.7 Pandangan tersebut kemudian mendapat sanggahan dari Azyumardi
Azra. Azra mengatakan, pendapat tersebut selain simplistik, juga menyesatkan
(misleading), karena para ulama, pemikir dan penulis naskah-naskah Islam paling
tidak sejak abad ke-17, telah menghasilkan karya-karya yang menjadi tonggak-
tonggak intelektualisme yang sangat penting bagi Islam Nusantara.8 Kriktikan ini
dilakukan Azra berdasarkan temuannya ketika meneliti jaringan intelektual ulama
Timur Tengah dengan Asia Tenggara melalui naskah-naskah Nusantara.
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa naskah-naskah di Lombok tidak
hanya menggunakan bahasa asing seperti, Arab, Sansekerta, tetapi juga
menggunakan bahasa-bahasa lokal. Hal ini mengindikasikan terjadinya
vernakularisasi (pribumisasi) Islam sehingga memungkinkan bisa dipahami secara
lebih mudah oleh masyarakat-masyarakat tempat naskah itu ditulis. Banyaknya
manuskrif-manuskrif yang ditemukan di kalangan masyarakat Lombok, tentunya
memunculkan pertanyaan-pertanyaan, sejak kapan naskah-naskah atau manuskrif itu
mulai ditulis, dan mengapa naskah-naskah yang ditemukan di Lombok bukan hanya
menggunanakan bahasa Sasak tetapi menggunakan bermacam-macam bahasa, serta
bagaimana latar sosio kultur masyarakat ketika itu sehingga mereka mampu menulis
naskah yang demikian banyaknya. Tulisan ini akan mengungkapkan dan mengkaji
data-data sejarah dalam kaitannya dengan pernaskahan dan tradisi tulis masyarakat
Sasak.

2. Tinggalan Arkeologis
Arkeologi merupakan suatu studi yang sistimatik tentang benda-benda
kuno sebagai alat untuk merekonstruksi masa lampau. Menggali sisa peninggalan

7
Azyumardi Azra, Naskah dan Rekonstruksi Sejarah Sosial-Intelektual Nusantara,
Makalah disampaikan pada Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara VII dan Munas Manasa
III, Wisma Syahida Syarif Hidayatullah Jakarta, 26-28 Juli 2004, h. 2.
8
Azyumardi Azra, Dari Harvard hingga Makkah, (Jakarta, Penerbit Republika, 2005), h.
46.

18
manusia dimasa lampau. Itulah ciri dari sebuah kajian arkeologi. Sebagai ilmu
bantu sejarah, arkeologi bekerja terkonsentrasi pada horizon waktu dalam sejarah
umat manusia, dimana bukti-bukti tertulis belum ditemukan; suatu horizon waktu
yang kemudian dikenal sebagai “pra sejarah“ dimana perangkat analisa dan
metodelogi sejarah tidak memungkinkan untuk bekerja. Arkeologi bertugas
memberi perjelasan terhadap benda-benda peninggalan umat manusia yang sudah
terkubur, sehingga benda-benda tersebut kemudian bisa berfungsi sebagai sumber
sejarah. Oleh karena itu, arkeologi berhubungan dengan periode paling archaic
dalam sejarah umat manusia. Arkeologi mengarahkan kajian pada benda-benda
peninggalan umat manusia yang bersifat material, untuk dihadirkan kembali sebagai
“benda berbicara” yang mewakili dunia masa lampau yang gelap. Dalam kaitan
inilah arkeologi secara sederhana di pahami sebagai ilmu “untuk menulis sejarah
berdasarkan sumber-sumber material” atau sebagai “studi yang sistimatik terhadap
kepurbakalaan (antiquities); sebagai alat untuk merekonstruksi masa lampau”.9
Arkeologi dibedakan dari sejarah dengan bertumpu hanya pada tersedianya
data tertulis. Oleh karena itu dalam perkembangannya kemudian, perbedaan itu tidak
bisa dipertahankan. Arkeologi berkembang menjadi menjadi suatu disiplin ilmu
yang tidak hanya berurusan dengan masa pra-sejarah, tetapi juga masa sejarah.
Meskipun tentu saja, benda-benda material berupa artefak dan situs purbakala tetap
menjadi sasaran utama kajian arkeologi. Bahkan, pola kajian arkeologi terakhir ini
yang lebih berkembang dalam konteks sejarah Islam Indonesia. Arkeologi telah
memberi sumbangan yang sangat besar dalam kajian-kajian para sarjana tentang
sejarah Islam di Indonesia. Lebih dari itu, dengan perkembangan ini, arkeologi
sebagai ilmu bantu sejarah tampak semakin memperoleh rumusan yang jelas.
Demikianlah untuk masa awal-awal perkembangan Islam di Indonesia,
suatu periode sejarah kerap dinilai masih kabur, arkeologi jalas telah memberi
konstribusi sangat berarti. Kajian arkeologi dalam konteks ini sangat mendukung
berita-berita sejarah yang terdapat baik dalam tulisan lokal maupun asing, yang
menjadi sasaran perhatian para sarjana. Sehingga sumber-sumber tertulis tentang

9
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam
Indonesia, (Jakarta: Logos, 1987), ix.

19
proses islamisasi, yang memang bersifat pragmentaris, memperoleh dukungan
faktual dari hasil arkeologi. Kajian arkeologi telah memperkaya kajian Islam di
Indonesia.
Karena itu menghadirkan kembali tinggalan-tinggalan yang ada di
Lombok, dengan menggunakan pendekatan arkeologi, tentu memberikan informasi
yang akurat tentang bagaimana pertumbuhan dan perkembangan Islam di wilayah
ini pada masa lampau, yang tentunya di sini informasi dari manuskrif akan sangat
membantu dalam penelitian ini.
a. Pengertian
Arkeologi secara bahasa berasal dari kata Arke dan logos. Arke berarti
permulaan, titik mulai atau asal muasal suatu hal.10 Arke juga mengandung arti kuno
atau peninggalan zaman kuno.11 Logos ialah ilmu pengetahuan. Ilmu adalah
rangkaian kegiatan untuk menelaah dan mengkaji berbagai fenomena, melalui
metode tertentu untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai
segala sesuatu di dunia ini. Ilmu mempunyai tiga domain, yakni aktifitas, metode
dan pengetahuan.12 Arkeologi dalam kiprahnya juga mempunyai tiga domain
tersebut, yaitu aktifitas-aktitas yang mesti dilakukan untuk membangun struktur
ilmu tersebut.
Aktifitas tersebut meliputi penelitian, perumusan teori-teori yang
digunakan dalam penelitian, dan kritik data. Tataran metode yang digunakan juga
mempunyai standar-standar tertentu untuk menjaga obyektifitas. Arkeologi dalam
fungsi pengetahuan juga mempunyai kehasan-kehasan tertentu yang tidak dimiliki
oleh ilmu yang lain. Oleh karena itulah terkadang, bahkan sering-sering terjadi,
kesimpulan yang dihasilkan oleh Arkeologi berbeda dengan yang dihasilkan oleh
Sejarah,contoh, karena perbedaan pendekatan ataupun karena perbedaan data yang
dikaji.

10
. Loren Bagus, Kamus filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2000), 83.
11
. Magdi Wahba, A Dictionary of Literary Term English- French- Arabic, (Birut: Librairie
Du Liban, 1974), 29.
12
. Hasan Muarif Ambary, Arkeologi Islam, Makalah yang disampaikan tgl 23 Pebruari, di
IAIN Syarif Hidayatullah, Fak. Adab, 1994, 6.

20
Namun secara garis besar tahapan dan nalar yang digunakan oleh
Arkeologi, tidak berbeda jauh dengan tahapan dan nalar yang dilakukan oleh
Sejarah, bahkan boleh jadi sama persis dengan bidang Sejarah,karenanya ada
hubungan resiprokal antara keduanya.
Berdasarkan arti di atas maka Arkeologi dapat dirumuskan sebagai ilmu
pengetahuan yang berupaya untuk memahami kehidupan masa lalu manusia melalui
peninggalan- peninggalan kuno dari hasil karya umat manusia. Karena Ilmu dengan
ketiga domainnya memiliki banyak nilai, diantaranya memenuhi hasrat kognitif dan
nalar manusia. Manusia sebagai mahluk yang bernalar secara alami membutuhkan
aktifitas kognitif dan intelektualis untuk dapat menjelaskan sejarah masa lalu dan
jati dirinya yang terbentuk dari masa lalu.
Jelas, sangat berbeda data arkeologi dengan data ilmu sejarah. Ilmu sejarah
berasal dari data-data teks, maka data arkeologi merupakan benda-benda bukan
tulisan. Andaikan ada tulisan pada benda-benda arkeologis, jumlah dan subtasinya
sangat minimal. Sejarawan melacak data-data tektual dan oral sebanyak 99 %,
sementara Arkeolog melacak data 99 % tak tertulis, dan hanya 1 persen saja yang
tertulis.13
Arkeologi adalah disiplin ilmu untuk memperoleh kesimpulan-kesimpulan
historis dari obyek benda - benda yang dikaji, kendati obyek tersebut, sering-sering
merupakan data yang fragmentatif. Okyek kajiannya ialah peninggalan-peninggalan
aktifitas kehidupam masa lalu yang berupa benda, dan bukan teks tulisan. Seorang
Arkeolog memberi jalan pada sejarawan untuk melengkapi data-data tertulis,
sehingga mengkaji sumber data dengan kajian yang lebih menyeluruh dan lebih
beragam.14
Arkeolog adalah seorang sejarawan, tapi tidak mesti sebaliknya. Sejarawan
merekontruksi kehidupan masa lalu umat manusia, dengan melacak pada
peninggalan teks dan juga cerita oral (Lisan), Arkeolog merekontruksi masa lalu
melalui peninggalan benda-benda material kehidupan masa lalu.

13
Ibid.
14
Clement W. Meighan, Aerchaeologi An Introduction, (California: Chandler Publishing
Company, tt), 1.

21
Batu, mineral, dan fosil lainnya, bukanlah obyek penelitian studi Arkeolog,
tapi aktitas dan perkembangan kehidupan manusia masa lalu, serta hasil budaya
yang diartikulisikan melalui benda-benda tersebut di atas. Arkeolog seseorang yang
mempelajari perkembangan umat manusia masa lalu, sama dengan sejarawan, tetapi
terkadang kongklusi-kongklusi yang dihasilkan saling berbeda karena perbedaan
sumber data yang digunakan.15
Jadi arkeologi merekontruksi sejarah kehidupan dan perkembangan umat
manusia masa lalu melalui benda-benda peninggalan sejarah, seperti batu, Arca,
fosil, yang telah tersentuh oleh rekayasa tangan manusia. Inilah perbedaan antara
ilmu pertambangan dengan ilmu Arkeologi. Ilmu pertambangan mengekplor
bebatuan dan benda alam lainnya, sebagai material ekonomis yang tidak tersentuh
oleh hasil budaya manusia. Sementara arkeologi meneliti hasil budaya manusia yang
tergores pada bebatuan dan fosil-fosil lainnya. Secara khusus Arkeolog berusaha
merekontruksi evolusi dan perkembangan kemampuan umat manusia membuat
berbagai peralatan kehidupan dan perkembangan kemampuan sosio kultural
mereka.16
Arkeologi terbaru yang saat ini berkembang di Amerika, mempunyai
kecenderungan baru, bukan hanya merekontruksi sejarah prehistory, tapi juga
mencoba mempelajari dan merekontruksi proses-proses kultural yang terjadi pada
masyarakat masa lalu yang sudah dalam masa sejarah, dan mulai mengurangi
tensinya untuk mengungkap kultur Prehistoris.17
b. Hubungan Ilmu Sejarah dan Arkeologi.
Suatu disiplin ilmu tidak bisa berdiri sendiri secara otonom mutlak. Ilmu
yang satu selalu membutuhkan disiplin ilmu yang lain untuk mendukung seluruh
atau sebagian prosess ilmiyahnya. Disiplin ilmu yang membantu kegitan ilmiyah
ilmu lainnya, lazim disebut dengan ilmu bantu. Keterkaitan antar disiplin ilmu
diantaranya terjadi antara ilmu Arkeologi dan ilmu Sejarah. Keterkaitan antara
Arkeologi dan Sejarah bukan hanya bersifat resiprokal --masing-masing dapat
15
. Ibid, 2.
16
. Jasson W. Smith, Foundations of Archaeologi (London: Glencoe Press, 1976), 32.
8 Brian M. Fagan, Introductory Reading in Archaeology (Boston: Little Brown and
Company, 1970), 22.

22
menjadi ilmu bantu bagi lainnya--, tetapi juga dasar dari sifat hubungan kedua
disiplin , terutama pada obyeknya, yakni masa lalu.18
Sejarah sebagai “kata” dan sejarah sebagai istilah mempunyai perbedaan
yang sangat mendasar. Kata sejarah bermakna kejadian dan peristiwa yang terjadi
pada masa lampau.19 Sementara istilah Sejarah bermakna rekontruksi peristiwa
sebagai babakan dan episode kehidupan umat manusia yang telah diakses oleh
tulisan atau budaya literasi. Bertolak dari pemahaman diatas maka istilah sejarah
berarti suatu disiplin ilmu yang mengerjakan bagian-bagian peristiwa masa lampau
umat manusia yang tercatat dalam teks.20
Uraian diatas memberi penjelasan bahwa kata sejarah meliputi segala
peristiwa yang telah terjadi sejak zaman entah berentah hingga kemarin bahkan
hingga detik yang baru berlalu. Tidak dibatasi oleh peristiwa dan keadaan tertentu.
Berbeda dengan istilah sejarah yang dibatasi oleh peristiwa atau kondisi tertentu,
yakni sejak manusia mengenal budaya tulisan.
Masa lampau umat manusia dimana mereka belum mengenal budaya tulisan,
dikenal dengan zaman prasejarah, dapat ditelusuri melalui ilmu Arkeologi. Tetapi
pernyataan diatas bukan mengandung arti bahwa disiplin Arkeologi hanya
berkenaan dengan masa prasejarah, tetapi juga disiplin Arkeologi menjangkau masa
lampau prasejarah juga masa sejarah. Setidaknya Arkeologi yang berkembang di
Indonesia.
Bahkan Arkeologi terbaru yang saat ini berkembang di Amerika, mempunyai
kecenderungan baru, bukan hanya merekonstruksi sejarah prehistory, tapi juga
mencoba mempelajari dan merekontruksi proses-proses kultural yang terjadi pada
masyarakat masa lalu yang sudah dalam masa sejarah, dan mulai mengurangi
tensinya untuk mengungkap kultur Prehistoris.21

18
Notosusanto, Hubungan Erat Antara Disiplin Arkeologi Dan Disiplin Sejarah, Majalah
Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, No: 1 April, 1963, 59-64.
19
. Adiwimarta, Sri Sukesi, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat pembinaan dan
pengembangan Bahasa, 1983), 1895.
20
. Notosusanto, Hubungan…, 60.
21
. Brian M. Fagan, Introductory Reading in Archaeology (Boston: Little Brown and
Company, 1970), 22.

23
Tinggalan masa lalu hasil rekayasa manusia yang berupa benda arkeologis
disebut dengan Artefak atau juga disebut dengan “ benda cagar Budaya” ( menurut
UU No.5, Th. 1992 ), merupakan media utama dalam arkeologi untuk menelusuri
masa lampau umat manusia.
Dimensi waktu yang sangat panjang bagi arkeologi merupakan problem
tersendiri. Untuk mempermudah maka dilakukan simplifikasi periodesasi masa
lampau, menjadi tiga babakan utama, yakni: masa prasejarah, masa klasik dan masa
Islam (Kolonial).22 Masa prasejarah diawali dari mulai hadirnya manusia di
Nusantara sampai datangnya budaya tulis baca. Masa klasik dimulai sejak terjadinya
pengaruh budaya India (Hindu, Budha ), hingga masuknya agama Islam dan juga
peradaban Barat Eropa (Kolonial). Sementara masa Islam dimulai sejak budaya
Islam masuk ke Indonesia dan Barat sampai kira-kira 50 tahun lalu.
Periode prasejarah dari timbangan arkeologi dapat diungkapkan dan
dijelaskan proses-proses evolusi manusia dan lingkungan dari era plestosen,
holosen, dan resen serta migrasi-migrasi besar beserta dampak budaya yang
ditimbulkan. Data-data arkeologi yang berkaitan dengan agroekonomi, teknologi
olah logam serta pertautannya dengan teknologi Asia Tenggara daratan, monumen-
monumen megalitik, termasuk tradisi pembuatan kubur batu, benda gerabah, senjata
dan berbagai peralatan lainnya, niscaya dapat dijelaskan.23
Arkeologi klasik mengungkapkan bahwa komunitas-komunitas Nusantara,
pada masa proto-sejarah berlangsung persentuhan dan amalgamasi dengan budaya
Asia Selatan melalui proses penyebaran budaya Hindu dan Budha. Tradisi besar dari
India memberi kontribusi yang besar terhadap perkembangan budaya Nusantara.
Interaksi dan amalgamasi budaya dapat dirunut melalui pembauran anasir-anasir
budaya seperti: (a). Aksara Phallava dan bahasa Sansekerta. (b). Pendirian
bangunan-bangunan besar (keagamaan, perbentengan dll). (c). Agama Hindu Budha.
(d). Konsep politik kerajaaan dan sistem kasta.24

22
. R.P. Soejono (ed), Sejarah nasional Indonesia I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), XXI;
dan Puslit Arkenas, (Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), 12—25.
23
. Puslit Arkenas, ibid, 12.
24
. Ibid, 19.

24
Era arkeologi Islam dapat difahami dan dimengerti tentang proses, alur dan
jalur sosialisasi Islam di berbagai kawasan Nusantara, termasuk wilayah-wilayah
yang sentuhan budaya Hindu dan Budha sangat tipis (seperti wilayah Sulawesi dan
Maluku).
Penelitian arkeologi Nasional telah mampu menjelaskan proses-proses
sosialisasi Islam Nusantara dan pengaruh tradisi besar Islam yang telah mereformasi
budaya lokal. Fase-fase tersebut meliputi: (1). Hubungan komunitas Nusantara
dengan para pedagang manca negara yang terdiri dari bangsa Arab, Persia, Gujarat,
dan cina.25(2). Sosialisasi Islam dan berkembangnya kelompok komunitas Muslim
yang berkoeksistensi secara damai dengan mayoritas masyarakat Hindu- Budha.
(3).Tumbuh dan berkembangnya pusat-pusat kekuatan politik Islam, seperti Gersik,
Cirebon, Banten Banjar dll.26 (4). Surutnya pusat-pusat kekuatan Islam secara politis
dan ekonomis akibat penetrasi kekuatan militer dan kolonialisasi Barat Eropa.27
Pada puncak-puncak kejayaan Islam Nusantara memberi kontribusi yang
besar terhadap proses perjalanan budaya Nusantara. Sidikitnya bisa dibuktikan
dalam ranah-ranah berikut, Yakni: Aksara, bahasa Arab dan peninggalan
Historiograpi tradisional yang kaya dan beragam. Arsitektur peribadatan yang
mengadaptasi berbagai hazanah lokal. Seni kaligrapi yang tinggi. Model budaya
pesisir yang kosmopolit yang berorientasi kepada dunia luar.
Periode ini juga diwarnai oleh kehadiran budaya Eropa yang modernis yang
memberi nafas baru bagi budaya Nusantara. Eropa menghadirkan budaya teknologi
moderen, tulis aksara latin dan bahasa Eropa, Arsitek bargarya Eropa dan juga
agama Kristiani dan juga memperkenalkan bentuk-bentuk tatanan politis yang baru.
c. Arkeologi Sebagai Ilmu.
Kerangka teoritis arkeologi dapat dirujuk kepada pendapat Lewis R.
Binford,”Arkeologi bukanlah ilmu sejarah, sekaligus bukan ilmu Antropologi.

25
J.V.Vaan Leur, Indonesian Trade and Society, (Bandung: Sumur Bandung, 1960),
Edisi: 2, h. 94. Juga lihat, Azyumrdi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, (Bandung: Rosda Karya,
1999), 5.
26
Untuk mengetahui saluran-saluran penyebaran Agama Islam di Nusantara, lihat Uka
Tjandrasasmita , Kota-kota Muslim , hal : 15-44 dan Sejarah Nasional Indonesia, III, hal: 188-195.
27
Ibid.

25
Sebagai sebuah disiplin yang berdiri sendiri, Ia memiliki seperangkat metode dan
teknik tersendiri untuk mengumpulkan dan menghasilkan informasi budaya”.28
Arkeologi minimal dapat dijelaskan sebagai studi atas hubungan timbal balik dari
dimensi bentuk, waktu, dan ruang dari artefak. Kata lain, ahli arkeologi senantiasa
menfokuskana diri pada hubungan timbak balik. Hubungan timbal balik inilah yag
menjadi kehasan ilmu arkeologi.29
Dengan demikian arkeologi adalah sebuah disiplin ilmu yang secara
sistimatis mempelajari dan mengembangkan perangkat metode dan teknik riset
dalam rangka penelusuran masyarakat beserta budaya dan peradabannya pada masa
lampau berdasarkan jejak- jejak yang ditinggalkan.
d. Paradigma.
Paradigma sebagai tradisi keilmiahan memberi arahan kepada pola pikir dan
nalar untuk mengasilkan, memandang dan menafsirkan data empiris. Konteks ilmu,
paradigma dapat diartikan sebagai ke-khas-an tujuan, persoalan dan pola pikir
dengan segala perangkat dan tata caranya untuk mencapai tujuan dan untuk
memecahkan berbagai persoalan. Di dalamnya terkandung dalil, teori, dan
metodologi. Paradigma memberi arah pada penelitian yang dilakukan dibawah
payung paradigma itu sendiri.30
Untuk mempermudah pemahaman terhadap arkeologi maka berikut ini
disampaikan paradigma dalam arkeologi. Paradigma arkeologi ini sebenarnya
dikemukakan oleh Binford, yaitu : (a). Rekontruksi cara hidup. (b). Rekontruksi
sejarah budaya. (c), Pengambaran proses perubahan budaya.31
Paradigma butir pertama mengandaikan fungsi dari artefak yang dihadirkan
oleh masyarakat masa lampau. Pendekatan utamanya mengacu kepada konsep
fungsionalisme, artinya artefak yang ditinggalkan mempunyai fungsi masing-masing

28
. Taylor, Walter W, A Study af Archaeology, Memoar No. 69, American Antrhopologist
50,(3) ( part 2), 1948, hal : 44.
29
. Spaulding, Albert C. Archaeological Dimention, dalam Essays in The Science of
Culture : In Honor of Leslie White, New York, 1960, hal : 439.
30
. Thomas, David Hurst, Archaeology, Chicago, Hoit Riverhart and Winston, 1989, hal :
662.
31
. Cholil Sodrie dan Sugeng Rianto, Arkeologi dan Sejarah Kebudayaan Islam, Dialektika
Budaya, Fakultas Adab IAIN Gunung Djati, Vol IX/ 2002, hal : 75.

26
dalam budaya dan peradaban masyarakat. Unsur-unsurnya bertautan satu sama
lainnya. Manakala fungsi artefak tersebut mempunyai peran sentral dalam budaya
masyarakat, menjadi wajar artefak tersebut menjadi pusat segala magnet perubahan
dan eksisitensi berkebudayaan.
Contohnya Masjid, perspektif kebudayaan Islam mendaulatnya sebagai
puncak-puncak artefak budaya Islam, karena keberadaan masjid menjadi mata air,
dimana seluruh kebudayaan Islam bersumber. Sistem ekonomi pasar yang
dijalankan oleh Islam, menghasilkan markas perdagangan dan berdampingan dengan
bangunan Masjid. Sistem politik yang dikembangkan oleh Islam juga bersumber
dari pengabdian kepada Allah (lambang Masjid), menghadirkan artefak keraton
yang juga berdampingan dengan masjid. Demikian juga upacara-upacara agama
yang diamalgamasikan dengan upacara politik juga melingkar di halaman Masjid.
Fokus utama paradigma kedua adalah bentuk artefak atau benda yang
diandaikan sebagai cermin masyarakat pendukungnya. Pendekatan yang digunakan
adalah konsep Normatif yang berujar bahwa pola dan prilaku masyarakat ditentukan
oleh pola kebudayaan masyarakat bersangkutan. Bentuk kebudayaan yang
diciptakan manusia untuk memformat prilaku dan inisiatif-inisiatif budaya baru
yang disosialisasikan, mempunyai hubungan timbal balik yang sangat rumit, untuk
merunut dan mencari mana yang terlebih dahulu hadir.
Paradigma poin ketiga memfokuskan pada proses-proses perubahan dan arah
jarum jam perubahan kebudayaan. Paradigma ini mengandaikan pendekatan
prosessual yang di antaranya bermakna proses perubahan yang terjadi pada
kebudayaan dihasilkan oleh faktor-faktor sebab musabab dan sifat perubahan itu
sendiri yang terjadi pada sistem budaya.
Paradigma arkeologi seperti tersebut di atas menghasilkan kebijakan
arkeologi Indonesia untuk menggutamakan penelitian pada thema-thema berikut:32
Pertama, proses dan aliran migrasi nenek moyang Bangsa Indonesia dan
keturunannya hingga menghasilkan puak-puak. Kedua proses persentuhan budaya
Nusantara denga tradisi-tradisi besar (Hindu-Budha, Islam, dan Eropa). Ketiga,

32
. Hasan Muarif Ambary, Kebijakan penelitian Arkeologi di Indonesia yangdilaksanakan
oleh Pusat Arkenas, Makalah lepas, Tidak terbit, hal : 11.

27
adaptasi dan tumbuhnya budaya genuin lokal yang diperkaya oleh masuknya anasir-
anasir luar. Keempat, proses terjadi dan berlangsungnya diversivikasi kultural.
Kelima, proses dan keberlangsungnya integrasi, amalgamasi budaya dalam lingkup
dan wawasan Nasional.
Problem yang dihadapi arkeologi diantaranya adalah kesulitan untuk
menentukan batasan-batasan secara tegas dan jelas terhadap data-data apa saja yang
termasuk dalam katagori arkeologi. Sebagai rambu-rambu, pengertian data arkeologi
adalah bahan dasar dalam kajian dan penelitian arkeologi.33
Dalam arti sempit data arkeologi mempunyai tiga domain, yaitu artefak,
fitur, dan ekofak. Artefak ialah semua benda yang telah direkayasa oleh tangan
manusia sebagian ataupun keseluruhan. Fitur merupakan gejala atau pertanda
adanya aktifitas manusia yang tidak bisa dipindahkan tanpa merusak matriknya
(materi yang membungkus benda atau media tempat dimana benda itu berada).
Sedangkan ekofak adalah semua benda yang bukan buatan manusia tapi terkait erat
dengan aktifitas manusia dan terletak di situs arkeologi. Contoh Artefak adalah
kapak, batu Arca keramik, contoh fitur ialah parit, candi, masjid dan contoh ekofak
misalnya serbuk sari, tulang binatang. Tapi umumnya semua data arkeologi tersebut
disebut dengan Artefak.
Dalam konteks Artefak sebagai data arkeologi maka Lewis Binford
membaginya sebayak tiga katagori34, yaitu: Ideofak yang berhubungan dengan
ideologi dan pemikiran budaya yang bersifat supranatural, seperti arca dewa dan
peralatan upacara. Sosiofak, artefak yang berkaitan dengan aktifitas sosial
kemasyarakatan, seperti prasasti, batu dakon dst. Teknofak, artefak yang
berhubungan dengan kehidupan sehari-hari seperti pisau, kail, perahu, dll.
e. Arkeologi Dan Kebudayaan Islam
Artefak yang berhubungan erat dengan agama Islam Nusantara, secara fisik
setidaknya ada tiga bangunan, yakni Masjid, Istana dan Kuburan. Fungsi dan

33
. Tanudirjo, Daud Aris, Retrospeksi Penelitian Arkeologi di Indonesia, Dalam PIA
V,Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta, 1993/1994, hal : 67—96.
34
. Hasan Muarif Ambary, Menemukan perdaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam
Indonesia, Logos, Jakarta, 1987, hal 26.

28
kegunaan tiga bangunan tersebut secara filosofis dapat dijelaskan dengan
pendekatan yang digunakan oleh Binford ketika membagi artefak dalam tiga
katagori, yakni, ideofak, sosiofak dan teknofak.
Artefak Islam dalam perspektif ideofak inilah yang hendak diuraikan dalam
pembahasan. Namun sebelum menguraikan tentang hal tersebut, terlebih dahulu
akan dijelaskan mengapa Masjid, Istana dan Kuburan merupakan artefak Islam
terpenting.
Masjid
Masjid merupakan sentral bagi Islam. Nabi Muhamad sesampainya ke Madinah
dalam perjalanan hijrah, pertama-tama dan yang utama adalah membangun Masjid.
Bahkan dimanapun komunitas Islam berada maka Masjid menjadi ciri utama.
Sentralitas Masjid bagi umat Islam bukan hanya dari dimensi ibadah tapi juga dari
segi sosial budaya.

Sering dijumpai dalam dunia Islam, bangunan masjid masih berdiri dengan
megah sementara bangunan lainnya, seperti Istana sudah sirna. Secara ideofak ini
menjelaskan pada arkeolog bahwa latar belakang pemikiran budaya pembangunan
masjid, memiliki intensitas yang agung dan adiluhung.
Bahkan menurut C.H. Dawson, “Kita tidak akan mengerti bentuk paling
dalam dari bangunan jiwa sosial tanpa kita mengetahui keyakinan agama yang ada
dibalik realita. Sepanjang zaman, kreatifitas utama pekerjaan budaya, berlangsung
karena inspirasi agama dan untuk dedikasi atas nama tujuan agama.”35
Pendapat Dowson di atas signifikansinya dapat dibuktikan dalam artefak-
artefak yang sekarang bertebaran di bumi Nusantara. Kreatifitas agung umat
manusia dapat dilacak pada Borobudur, Prambanan, masjid Demak, masjid Aceh,
masjid Palembang dll, yang kesemuanya diinspirasi oleh keyakinan agama yang
laten di Nusantara. Bahkan lebih monumental lagi, ketika bangunan religi tersebut di
atas masih berdiri dengan megah, sementara di sisi lainnya bangunan istananya

35
. Nurhadi Magetsari, Kemungkinan agama sebagai alat pendekatan dalam penelitian,
dalam Pertemuan Ilmiyah Arkeologi, Cibulan 21-25 Pebruari 1977, Pusat Penelitian Purbakala dan
Peeninggalan Nasional, PT Rora Karya, Jakarta, 1980, hal : 498.

29
sudah banyak yang hancur. Ini membuktikan bahwa inspirasi agama lebih agung dan
adiluhung dibanding inspirasi lainnya.
Perspektif budaya, ideofak masjid, menjadi pertanda paling menonjol, ketika
Islam telah hadir dan mengadakan penetrasi budaya di suatu komunitas. Masjid-
masjid kuno bertebaran di seantero Nusantara, dengan bentuk dan ciri khas masing-
masing dan tentunya juga membentuk budaya Islam yang beragam di setiap
kumunitas.36
Makam
Tata laku dan tata nilai yang melandasi bangunan pekuburan, diinspirasi oleh
gagasan atau idea, baik yang bersifat sosiologis ataupun bersifat religis, untuk
mensikapi dan mengartikulasi kehidupan dalam hidup dan kematian setelah hidup.
Sementara bentuk fisik pekuburan telah mendapatkan sentuhan teknologi manusia
dalam merekayasa rancang bangun. Berdasarkan klasisfiakasi artefak yang dikonsep
oleh Lewis Binford, maka bangunan makam pekuburan mempunyai tiga domain
fungsi, yakni pekuburan dalam dimensi idiofak, sosiofak dan teknofak.37 Dimensi
Ideofak menjelaskan bahwa pekuburan Islam dibangun atas landasan nilai-nilai
agama Islam mensikapi kehidupan dan kematian. Tuntunan tentang hidup dan mati
dalam Islam secara langsung banyak diajarkan dalam Al-Quran dan Hadist Nabi.
Artefak makam tertua di Nusantara yang ditunjukan oleh batu nisan Fatimah
binti Maimun, wafat pada tahun 475 H/ 1082 M, memberi petunjuk fase-fasi
38
kehadiran Islam dinusantara. Dari ketiga artefak utama Islam Nusantara dapat
dilacak berbagi budaya yang berlangsung di Nusantara, khususnya yang berkaitan
dengan budaya Islam. Artefak-artefak tersebut di atas bila dinalar dalam dimensi
ideofak, sosiofak dan teknofak akan menemukan berbagai penjelasan tentang
eksistensi Islam. Secara tersirat, dari artefak-artefak tersebut dapat dilacak: Proses
persentuhan budaya Nusantara dengan tradisi-tradisi besar (Hindu-Budha, Islam,

36
. Untuk mengetahui puspa ragam budaya yang hadir dalam artefak Masjid, lihat, I.G.N.
Anom dkk (Team), Masjid Kuno Indonesia, (Jakarta: Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1998/1999).
37
. Ibid, 3.
38
. Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam
Indonesia, (Jakarta: Logos, 1987), 56.

30
dan Eropa). Adaptasi dan tumbuhnya budaya genuin lokal yang diperkaya oleh
masuknya anasir-anasir luar. Proses terjadi dan berlangsungnya diversifikasi
kultural. Proses dan keberlangsungan integrasi, amalgamasi budaya dalam lingkup
dan wawasan Nasional.
Dengan bantuan dari berbagai macam disiplin ilmu-ilmu sosial lainnya
artefak-artefak Islam dapat menjelaskan kehadiran Islam dan berbagai dinamikanya
di bumi Nusantara.

31
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian sejarah, yang menggunakan filologi dan
arkeologi sebagai ilmu bantu. Karena penelitian ini adalah penelitian sejarah maka
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian
sejarah. Dalam penelitian sejarah merupakan suatu keharusan untuk medeskripsikan
dan menganalisis peristiwa-peristiwa yang historis. Pada penelitian ini ada empat
langkah atau tahapan yang akan dilakukan, yaitu heuristik, kritik sumber,
interpretasi, dan historiografi.39 Karena penelitian ini banyak menggunakan naskah
sebagai sumber utama, maka ilmu filologi digunakan sebagai ilmu bantu dalam
penelitian ini, seperti dalam melakukan verifikasi pengarang, atau melihat informasi
yang berkaitan dengan data-data historis dalam naskah-naskah yang dijadikan
sumber.
B. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan sumber adalah langkah pertama yang dilakukan, yang
disebut dengan heuristik: merupakan suatu teknik mencari dan mengumpulkan
sumber-sumber sejarah, baik tulisan maupun lisan. Sumber-sumber sejarah terdiri
atas sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer dalam penelitian sejarah
ini adalah sumber yang berhubungan langsung dengan kurun waktu yang penulis
teliti. Karena masa yang ditulis adalah masa awal masuknya Islam di Lombok, maka
sumber-sumber yang dapat disebut sebagai sumber primer adalah semua sumber
yang ditulis pada rentang waktu yang akan diteliti menjadi sumber primer.
Sumber-sumber yang dapat disebutkan di sini sebagai sumber primer
adalah berupa naskah-naskah atau manuskrip. Menurut Tjandrasasmita,40
penggunaan naskah sebagai sumber sejarah dapat dilakukan dua cara, yaitu, pertama
peneliti sejarah dapat langsung mengakses naskah yang aslinya, kedua, dapat

39
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999),
54-71. Lihat juga Uka Tjandrasasmita, Kajian Naskah Klasik dan Penerapannya Bagi Kajian Sejarah
Islam di Indonesia (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan litbang dan Diklat Departemen
Agama RI, 2006), 32. Juga, Wacana, vol. 9 no. (2007), 55.
40
Tjandrasasmita, Kajian Naskah, 38.

32
mengakses naskah yang sudah dikaji oleh para filolog. Dalam penelitian ini peneliti
melakukan keduanya. Beberapa naskah yang sudah diterjemahkan adalah Babad
Lombok, Babad Selaparang, peneliti mengakses hasil terjemahan tersebut dan juga
peneliti akan menggunakan naskah aslinya sebagai bagian dari verifikasi sumber.
Sedangkan naskah-naskah yang belum diterjemahkan, baik yang ditulis ulang
maupun yang merupakan karya sendiri ulama yang berisi tentang pemahaman-
pemahaman keagamaan para tuan guru tersebut, belum ada yang pernah meneliti,
atau menulis edisi teksnya, karena itu peneliti langsung menggunakannya sebagai
sumber atau bukti sejarah. Beberapa di antaranya adalah, Kita>b al-Mi‘ra>j,
Furu>‘ al-Masa>il, Kita>b Mana>qi>b al-Shaykh Abd al-Qadi>r al-Jaila>ni>,
Kita>b Fall, Kita>b al-Barzanji>, Kita>b al-S{alawa>t, Kita>b al-Tas{awuf wa
al-Tauh{i>d, dan beberapa naskah lainnya yang ditulis oleh para ulama waktu itu.
Secara keseluruhan naskah yang akan dijadikan rujukan sudah terdata, sebagian
sudah didigitalkan dan itu disimpan oleh peneliti, dan beberapa diantaranya masih
disimpan di meseum dan masih menjadi koleksi pribadi, yang nantinya akan peneliti
digitalkan.
Sangat mungkin juga beberapa naskah-naskah telah disalin di era
belakangan, atau sudah ada edisi teksnya, yang sudah dikaji oleh filolog. Sumber
yang sudah dalam bentuk edisi teksnya tidak dapat disebut sebagai sumber primer,
namun di sini penulis akan memperlakukannya sebagai sumber primer, karena dari
sisi isi berita maka data-data yang terdapat dalam naskah, dapat diakui
otentisitasnya. Selain itu juga maka beberapa tulisan, penulis juga jadikan sebagai
sumber data, seperti, Monografi Daerah, yang di dalamnya banyak juga data-data
yang diambil dari sumber-sumber primer, dimana penulis sulit untuk mengakses ke
sumber primernya. Sumber-sumber lain dapat berupa dokumen misalnya, catatan,
arsip-arsip yang dapat penulis akses. Sedangkan dalam sumber lisan terdapat juga
sumber primer, khususnya mereka yang diwawancarai mengetahui atau paling tidak
mendengarkan tentang objek penelitan yang penulis teliti. Mereka yang
diwawancarai pada umumnya pernah mendengar dari saksi atau pelaku sejarah.
Teknik pengumpulan sumber lisan dilakukan dengan wawancara atau interview,

33
sedangkan sumber-sumber tulisan dikumpulkan dengan cara menyalin atau
menggandakannya. Selain itu peneliti juga melakukan survei lapangan khususnya
dengan melakukan survei di makam-makam tua, masjid-mesjid tua, yang tersebar di
empat kota/kabupaten dan lainnya. Terhadap data-data berupa situs-situs abad ke-17
tersebut akan dilakukan survey arkeologis.
C. Analisis Data
Pada penelitian ini ada empat langkah atau tahapan yang akan dilakukan,
yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi:
Heuristik: merupakan suatu teknik mencari dan mengumpulkan sumber-
sumber sejarah, baik tulisan maupun lisan. Sumber-sumber sejarah terdiri atas
sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer dalam penelitian sejarah ini
adalah sumber yang berhubungan langsung dengan kurun waktu yang penulis teliti.
Karena masa yang ditulis adalah masa awal masuknya Islam di Lombok, maka
sumber-sumber yang dapat disebut sebagai sumber primer adalah semua sumber
yang ditulis pada rentang waktu yang akan diteliti menjadi sumber primer.
Kritik Sumber yaitu menguji keabsahan tentang keaslian sumber
(otentisitas) yang dilakukan melalui kritik ekstern dan keabsahan tentang kesahihan
sumber (kredibilitas) yang ditelusuri melalui kritik intern. Pada tahap ini dilakukan
penilaian terhadap sumber-sumber yang dikumpulkan, baik tulisan maupun lisan.
Sebagaimana dimaklumi bahwa pemberitaan naskah-naskah tidak semuanya dapat
dijadikan sebagai data sejarah, dibutuhkan ketelitian untuk membedakan mana yang
dapat dijadikan data sejarah dan mana yang bukan data sejarah. Pada penelitian ini
naskah yang sudah terkumpul tidak semua naskah dapat digunakan sebagai sumber
karena beberapa di antaranya tidak ada kaitannya dengan penelitian ini.
Interpretasi atau penafsiran sejarah atau disebut juga analisis sejarah.
Analisis berarti menguraikan dan menjelaskan. Penelitian tentang islamisasi
masyarakat Sasak ini merupakan penelitian sejarah, maka dalam menganalisa
sejumlah fakta-fakta sejarah, penulis menggunakan analisis sejarah.

34
Historiografi, merupakan fase terakhir dalam metode sejarah, yang
meliputi cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang
telah dilakukan.

D. Keabsahan Data
Untuk menjaga keotentisitasan dan kredibilitasan data yang diperoleh
maka kritik sumber akan tetap dilakukan terhadap setiap sumber sejarah yang
terkumpul. Ini dilakukan untuk memperoleh keabsahan sumber. Dalam hal ini yang
diuji adalah keabsahan tentang keaslian sumber (otentisitas) yang dilakukan melalui
kritik ekstern dan keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas) yang ditelusuri
melalui kritik intern. Pada tahap ini dilakukan penilaian terhadap sumber-sumber
yang dikumpulkan, baik tulisan maupun lisan. Sebagaimana dimaklumi bahwa
pemberitaan naskah-naskah tidak semuanya dapat dijadikan sebagai data sejarah,
dibutuhkan ketelitian untuk membedakan mana yang dapat dijadikan data sejarah
dan mana yang bukan data sejarah. Pada penelitian ini naskah yang sudah terkumpul
tidak semua naskah dapat digunakan sebagai sumber karena beberapa di antaranya
tidak ada kaitannya dengan penelitian ini.

35
BAB IV
ISLAMISASI MASYARAKAT SASAK DALAM JALUR PERDAGANGAN
GLOBAL
A. Lombok Dalam Jalur Perdagangan International
Kepulauan Nusantara berada pada jalur perdagangan dunia, sebagai
kawasan perantara yang dilintasi oleh para pedagang sebagai rute-rute perdagangan
yang menghubungkan Tiongkok dengan India, sehingga Nusantara ini selalu
mendapat pengaruh dari berbagai agama-agama besar dunia. Pengaruh-pengaruh
agama tersebut telah masuk di Nusantara seiring dengan dilewatinya jalur-jalur
perdagangan tersebut. Setidaknya wilayah-wilayah kepulauan yang berada pada
jalur pantai laut Jawa pengaruh agama Hindu dan Budha telah masuk sekitar abad
ke-5 dan abad ke-8 Masehi. Kuatnya pengaruh agama tersebut memberikan
gambaran yang jelas dalam tradisi-tradisi yang berkembang di masyarakat.

Masuk dan perkembangan Islam di pulau Lombok, sebagaimana halnya


dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia secara umum terdapat
beberapa versi. Namun peneliti disini akan mencoba melihat dan meneliti sumber-
sumber awal dengan menggunakan pendekatan sejarah. Menurut beberapa sumber,
bahwa Islam masuk di Gumi Selaparang (Lombok), tidak lama setelah jatuhnya
kerajaan Majapahit, di mana ketika itu sudah ada para pedagang-pedagang muslim
yang bermukim dan berniaga di Lombok yang kemudian mengajarkan agama Islam
atau paling tidak mereka memperkenalkan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat
sekitarnya melalui praktik kesehariannya.

Islamisasi di Lombok tidak dapat dilepaskan dengan perdagangan yang


ada di kepulauan Nusantara. Karena itu penting diketahui tentang peta perdagangan
ketika awal proses islamisasi itu terjadi, atau laporan perjalanan dari para pelancong,
paling tidak perkembangan perdagangan antara daerah-daerah di sekitarnya dan
melihat keterlibatannya dalam perdagangan global.

Pertumbuhan kota-kota bandar perdagangan dan pelayaran di sepanjang


pantai kepulauan Nusantara yang membentang dari ujung barat sampai ujung timur
sangat dipengaruhi oleh proses komersialisasi yang terjadi di sepanjang kawasan

36
kepulauan. Kota-kota emporium mulai tumbuh menjadi pusat perdagangan, baik
yang bersifat internasional maupun regional di bawah hegemoni kerajaan Islam.

Hubungan-hubungan awal sebenarnya telah dimulai sebelum Islam lahir


di tanah Arab. Di mana pedagang-pedagang Arab telah mencapai negeri-negeri
timur belahan dunia. Khususnya dengan China pedagang-pedagang Arab telah telah
membangun hubungan dagang. Hubungan dagang tersebut berlanjut ketika era
Islam. Perkembangan-perkembangan awal Islam di tempat kelahirannya di Makkah
dan Madinah, sesungguhnya khabar-khabar keberadaannya telah sampai di China.
Beberapa sahabat Rasullullah telah menginjakkan kakinya di negeri yang sukunya
bermata sipit tersebut. Sahabat Nabi Muhammad SAW yang juga menjadi pedagang
yang sukses sampai di China adalah Saad bin Abi Waqqas. Ia bukan hanya dikenal
sebagai penyebar Islam, tetapi lebih dari itu dikenal sebagai orang yang membangun
mesjid pertama di China. Mesjid tersebut dibangun di Canton dengan nama Wa-
Shin-Zi (mesjid kenang-kenangan untuk Nabi SAW).41

Jadi sejak abad pertama, kawasan laut Asia Tenggra, khususnya selat
Malaka, sudah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kegiatan
pelayaran dan perdagangan global yang menghubungkan Asia Timur Jauh, Asia
Tenggara dan Asia Barat. Pertumbuhan dan perkembangan perdagangan global yang
membentang jauh dari teluk Persia sampai ke Cina, melalui perairan Indonesia,
dalam hal ini Malaka, memperlihatkan bahwa munculnya adikuasa-adikuasa yang
sedang membangun dan memperluas kekuasaannya, seperti di Timur Tengah secara
bergiliran Dinasti Umayyah (660-749 M), kemudian Dinasti Abbasiyah (750-1256),
di Cina Dinasti Tang (618-907 M), dan Kerajaan Sriwijaya (Abad ke-7-14) di
Sumatera (Indonesia).

Rute perdagangan sejak awal telah dilalui oleh saudagar-saudagar Islam,


beberapa bukti misalnya di Kwantung telah berdiri mesjid sejak abad ke-8, namun
negara-negara Islam baru muncul pada penghujung abad ke-13 M. seiring dengan
perjalanan waktu maka jumlah negara yang memeluk Islam semakin bertambah

41
Uka Tjandrasasmita, Kedatangan dan Penyebaran Islam dalam Ensiklopedi Tematik
Dunia Islam, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve,tt), 11.

37
selama abad ke-14, 15 dan 16 di sepanjang jaringan perdagangan global tersebut.42
Di kepulauan Nusantara setidaknya munculnya penguasa-penguasa muslim, itu
karena adanya salah satu dari dua hal, pertama bisa jadi mereka yang diislamkan
kemudian membentuk sistem pemerintahan Islam, sebagai sebuah negeri yang
berdaulat. Kedua, dan hal ini yang paling banyak terjadi di beberapa tempat di
Nusantara, yaitu kebanyakan terbentuknya pemerintahan Islam adalah karena proses
islamisasi itu terjadi pada pusat-pusat pemerintahan. Di mana para dai-dai penyebar
Islam yang diislamkan adalah mereka para raja, sehingga secara langsung penguasa-
penguasa tersebut menjadi penguasa muslim di pusat-pusat pemerintahan yang
sebelumya telah terbentuk. Secara politik ini sangat menguntungkan Islam.

Munculnya kota-kota emperium Islam di Nusantara telah membawa pada


ramainya para pedagang muslim ikut ambil bagian dalam pelayaran perdagangan
global. Dalam catatan sejarah, kota emperium Islam yang pertama kali muncul
adalah Samudera Pasai (diperkirakan akhir abad ke-13) di Sumatera bagian utara,
dua abad kemudian disusul kota emperium Islam lainnya seperti Malaka
(diperkirakan abad ke-15) di Semenanjung Malaka, hampir bersamaan juga dengan
kota bandar pulau Jawa (mulai awal abad ke-15), sementara di Indonesia bagian
timur juga muncul Kalimantan, Sulawesi, Maluku,43 dan Nusa Tenggara.44

Pulau Jawa dan kepulauan yang ada di sepanjang jalur perdagangan pantai
utara pulau Jawa, sangat dipengaruhi oleh budaya dan tradisi Jawa, tentu hal ini
tidak menjadi sesuatu yang aneh, karena kepulauan tersebut lama berada di bawah
pengaruh penguasa Jawa. Ketika Majapahit berkuasa maka semua jalur tersebut
berada di bawah kekuasaannya. Kalaupun Majapahit ini lebih dikenal sebagai

42
Claude Guillot dan Henri Chambert-Loir, Indonesia dalam Ziarah dan Wali di Dunia
Islam (Depok: Komunitas Bambu, 2010), 228.
43
Djoko Suryo, Ekonomi Masa Kesultanan dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Asia
Tenggara (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, tt), 274.
44
Nusa Tenggara dalam hal ini Lombok (pantai utara dan timur pulau Lombok) telah
menjadi bandar perdagangan sejak abad IX, yang kemudian pada abad ke-13 -14 berada di bawah
kekuasaan Majapahit. Lombok sebagai pengekspor kerbau dan beras ke berbagai daerah di
Nusantara. Sementara Lombok banyak mengimpor barang-barang tekstil seperti kain-kain, sarung,
dan kain sutra dari luar.

38
kerajaan agraris, namun ia juga memiliki dominasi yang kuat terhadap wilayah-
wilayah jalur pesisir pantai utara pulau Jawa.

Kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah timur pulau Jawa, seperti Lombok


misalnya terdapat beberapa kerajaan-kerajaan kecil yang sudah berdiri ketika itu,
seperti kerajaan Selaparang, Kerajaan Pejanggik, Kerajaan Bayan dan beberapa
kerajaan kecil lainnya. Hubungan dagang dengan daerah-daerah lain yang ada di
Nusantara diketahui dari informasi-informasi yang ada di manuskrip-manuskrip
yang ada di Lombok.

Hubungan dagang dengan pedagang-pedagang dari Jawa, Sumatera,


khususnya Palembang banyak dibicarakan. Tentu juga pedagang-pedagang dari luar
seperti Arab, Cina juga ditemukan jejaknya di Lombok. Bahkan mata uang yang
digunakan adalah mata uang Cina dan Arab. Hal ini diketahui dari beberapa mata
uang yang pernah beredar dan digunakan pada waktu itu. Mata uang yang digunakan
di pasar global di pusat-pusat kerajaan di berbagai tempat di kepulauan Nusantara,
juga digunakan di kerajaan-kerajaan di Lombok. Bahkan masyarakat Sasak juga
menggunakan mata uang tersebut sebagai alat transaksi yang sah dalam
bermuamalah antar mereka.

Dilihat dari sebaran mata uang dalam masyarakat, khusunya pada desa-desa
tua di Lombok, ditemukan uang-uang tersebut dalam jumlah besar. Bahkan sampai
sekarang Lombok termasuk di antara yang memiliki uang kuno terbanyak di
Lombok. Beberapa orang yang peneliti jumpai bahwa para pengumpul uang tersebut
banyak mendapatkan uang-uang kuno dari desa-desa yang dulunya adalah pusat-
pusat perdagangan pada masa lampau.

Gambar Uang Kuno yang digunakan pada masa kerajaan di Lombok

39
Beberapa desa yang masih menyimpan banyak uang-uang kuno, Seperti
Sembalun termasuk desa tua yang sampai sekarang masih banyak tersimpan uang-
uang kuno. Ke wilayah Selatan juga ada desa Swela, Sapit, dan banyak lagi desa-
desa yang lain disekitarnya yang masih menyimpan uang-uang kuno. Uang-uang
kuno tersebut menurut penjelasan dari salah seorang yang menjual uang kuno,
Bapak Seham, Ia membeli uang-uang tersebut dari masyarakat dengan harga tidak
terlalu mahal, kecuali beberapa uang kuno yang mengandung emas. Biasanya uang-
uang kuno yang seperti itu dibuat menjadi perhiasan buat keluarga mereka.

Gambar uang kuno yang mengandung emas.

Lebih lanjut ia menjelaskan sebenarnya masyarakat tidak ingin menjual


uang-uang tersebut karena mereka merasa, bahwa uang kuno itu adalah tinggalan
dari orang tua atau kakek-kakek mereka, yang menjadi harta waris. Namun karena
kondisi perekonomian dan tuntutan kebutuhan mereka menjual sebagian dari uang-
uang tersebut. Kemudian uang-uang tersebut yang dijualnya di Denpasar, untuk
kepentingan peribadatan.

Gambar uang kuno yang pernah digunakan pada masa awal-awal Islamisasi di
Lombok.

Apabila ditelusuri ke belakang beberapa sumber-sumber tua seperti prasasti,


misalnya prasasti Tralaya, diketahui bahwa pada abad ke-14, pada masa kejayaan
Majapahit, sejumlah besar orang-orang Islam telah menghuni daerah-daerah di
sekitar kerajaan Majapahit Dari informasi tersebut diperoleh gambaran tentang

40
peranan Islam dalam proses jatuhnya kerajaan itu, dapat dibayangkan berdasarkan
kisah yang menyatakan bahwa kerajaan Majapahit jatuh karena serangan gabungan
dari pasukan Islam dari Demak di bawah pimpinan Sunan Giri.45 Kekalahan
Majapahit terhadap kekuatan Islam yang berpusat di Jawa telah memuluskan jalan
bagi para pedagang Islam untuk lebih intens melakukan pelayaran dan perdagang ke
daerah-daerah yang ada di Indonesia Timur.

Baik di Jawa maupun di wilayah lainya di bagian timur, kaum muslimin


pertama-tama mengambil alih kekuasaan di pelabuhan-pelabuhan, kemudian masuk
ke wilayah-wilayah pedalaman. Kalaupun islamisasi telah terjadi pada pusat-pusat
pemerintahan namun kuatnya tradisi dan paham keagamaan yang ada seblumnya
membuat proses islamisasi menjadi lebih lamban. Dibanding dengan proses
islamisasi di wilayah Sumatera dengan wilayah kepulauan di sepanjang jalur pantai
utara pulau Jawa memang agak berbeda, kalau Badri Yatim membuat perumpamaan
Islamisasi itu, kalau islamisasi di Sumatera seperti kopi encer, ketika diberikan susu
maka akan segera terlihat susunya, sementara kalau di jalur yang dipengaruhi oleh
Jawa diibaratkan dengan kopi kental, kalaupun diberikan susu, maka warna kopinya
tetap terlihat. Kuatnya tradisi lokal sangat berpengaruh dalam kehidupan
masyarakat, bahkan tradisi-tradisi pra-Islam memberikan warna dalam praktik-
praktik keseharian masyarakat.

Namun sebenarnya kalau kita ingin menelusuri paham keagamaan atau


mazhab keagamaan muslim di seluruh Nusantara dapat dikatakan sama. Kalaupun
dalam realitas masyarakat terjadi perbedaan-perbedaan pemahaman dan praktik-
praktik dalam masyareakat. Hal ini sebagai bagian dari pernakularisasi nilai-nilai
Islam dalam kehidupan masyarakat. Adanya interaksi antara Islam sebagai sebuah
norma atau aturan dengan praktik atau tradisi-tradisi yang pernah ada di masyarakat,
telah melahirkan Islam yang khas pada setiap tempat di Nusantara, demikian juga
halnya dengan di Lombok.

45
Buchari, Epigrafi dan Historiografi Indonesia, dalam Historiografi Indonesia Sebuah
Pengantar, (Jakarta: PT Gramedia Utama, 1995), h. 50. lihat Juga, Brandes, Pararaton, h. 183-185,
188-201.

41
Khusus untuk paham keagamaan masyarakat Sasak, sesungguhnya tidak
dapat dilepaskan dari perkembangan Islam yang ada di wilayah lainnya di
Nusantara. Tentu karena hubungan atau konektivitas antar pelabuhan Nusantara
memberikan dampak yang sama dalam hal perdagangan dan agama yang
berkembang pada setiap pusat-pusat kota pelabuhan.

Mengutip dari tulisan Muljana,46 khususnya tentang paham keagamaan, yang


mengatakan setelah Parameswara memeluk agama Islam Mazhab Syafi’i, berkat
bujukan putri dari Pasai dan bernama Megat Iskndar Syah, banyak di antara rakyat
Malaka yang ikut masuk agama Islam. Malaka menjadi kesultanan Islam, Negara
Islam pertama di Malaya. Saudagaar-saudagar Islam dari Arab, Persia, dan India,
yang semula berlayar menyisir pantai timur Sumatera, mengunjungi kota pelabuhan
Pasai mengunjungi kota pelabuhan Pasai, Aru dan Jambi, sejak tahun 1414 mulai
berlayar menyisir pantai barat Malaya singgah di kota pelabuhan Malaka. Dalam
waktu beberapa tahun saja pelabuhan Malaka ramai dikunjungi oleh para pedagang
dari tiga jalur, yaitu Tiongkok yang merupakan jalur utara, dari arah barat (Arab,
Persia, dan India) sedangkan dari arah timur (Pedagang dari kepulauan Nusantara).

Sebagai kota pelabuhan yang menguasai Selat Malaka, kota pelabuhan


Malaka menjadi pusat pertemuan pelayaran dari berbagai jurusan, para pedagang
bertemu di kota pelabuhan Malaka. Selain sebagai kota dagang Malaka telah
menjadi pusat perkembangan Islam mazhab Syafii di Nusantara. Ketika raja
Parameswara memeluk Islam, maka seluruh rakyat juga memeluk Islam. Pedagang-
pedagang yang datang ke Malaka juga tidak sedikit yang memeluk Islam. Bahkan
tidak sedikit juga para perwakilan dagang asing yang memeluk Islam, menurut
Mulyana,47 ada diantara mereka memeluk Islam karena mengharapkan adanya
kemudahan dan adanya fasilitas-fasilitas dagang dari para pembesar-pembesar atau
Sultan Malaka Sendiri. Dengan dimikian dapat dikatakan bahwa Malaka sukses
menjalankan ekspansi politik, ekspansi ekonomi dan ekspansi agama.

46
Slamet Muljana, Runtuhnys Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara
Islam di Nusantara (Yogyakarta: LKiS, 2005), 146.
47
Muljana, ibid, 155.

42
Pada saat bersamaan dengan kejayaan Malaka, sesungguhnya di wilayah
barat sedang berkuasa tiga kerajaan besar, Turki Usmani yang menjadi pusat Islam
Sunni, Persia (Iran) yang menjadi pusat Islam Siah, dan India di mana dinasti Islam
Mugal berkuasa. Karena itu dominasi dari wilayah Barat merupakan dominasi Islam.
Sehingga Malaka menjadi tempat bertemunya para pedagang dan sekaligus sebagai
tempat bertemunya paham-paham keagamaan. Hanya saja karena paham Islam
Sunni mazhab Syafii, menjadi mazhab resmi di kerajaan Malaka maka mazhab
Imam Syafi’i lebih berkembang ketimbang yang lainya.

Seiring dengan perkembangan Malaka sebagai bandar besar, maka di


wilayah-wilayah kepulauan Nusantara juga mengalami perkembangan. Distribusi
barang-barang dagangan yang merupakan komoditi yang dibutuhkan pelabuhan
Malaka banyak disuplai dari pelabuhan-pelabuhan yang ada di sepanjang pesisir
kepulauan Nusantara. Para pedagang-pedagang itu membeli barang-barang
dibutuhkan dari pedagang-pedagang yang datang dari pedalaman. Bahkan tidak
jarang pedagang-pedagang asing banyak yang lansung datang ke pelabuhan-
pelabuhan yang ada di kepulauan nusantara lainnya.

Semakin ramainya jalur perdagangan antara pantai utara pulau Jawa,


Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku, di mana para pedagang-
pedagang muslim telah ikut ambil bagian dalam pelayaran perdagangan di sepanjang
jalur tersebut. Memperhatikan kondisi semacam ini, maka sangat mungkin telah
terjadi kontak dagang antara penduduk setempat dengan para pedagang muslim
ketika itu.

Pelabuhan di pesisir pulau Jawa memberikan kemudahan bagi para pedagang


baik manca negara maupun pedagang-pedagang lokal. Pelabuhan-pelabuhan tersebut
menjadi pelabuhan penghubung dari satu pelabuhan ke pelabuhan yang lainnya.
Sehingga hampir di banyak tempat menjadi pelabuhan yang ramai, lebih-lebih
pelabuhan yang memang berada pada jalur perdagangan. Seperti di Lombok ada
Pelabuhan Carik di pesisir utara pulau Lombok bagian Barat. Di Selat Lombok juga
ada pelabuhan besar yang memainkan peran penting dalam menghubungkan
Lombok dengan wilayah lainnya. Pelabuhan ini menjadi pintu atau jendela bagi

43
pedagang-pedagang yang berasal dari berbagai tempat, begitu juga sebaliknya ini
menjadi jendela bagi orang Lombok untuk dapat melihat keadaan di dunia luar.
Karena itu yang menguasai sepenuhnya pelabuhan ini adalah kerajaan Lombok yang
sedang berkuasa di wilayah timur.

B. Islamisasi Masyarakat Sasak Lombok


Dengan memperhatikan ramainya perdagangan di pelabuhan yang ada di
Lombok, dimana para pedagang-pedagang muslim dari jalur barat mendominasi,
serta banyaknya raja-raja muslim yang menguasai pelabuhan-pelabuhan si sepanjang
kepulauan nusantara, maka kemungkinan besar sekitar abad ke-15 sudah ada para
pedagang-pedagang muslim yang bermukim di pulau Lombok, sehingga sejak itu
pula Islam sudah ada di Lombok-bahkan ada yang menduga abad ke-13 sudah
masuk Islam diLombok-. Kalau pun tidak ada bukti tentang keberadaan orang Islam
ketika itu, namun demikian tidak menutup kemungkinan orang-orang Islam sudah
ada yang yang bermukim di Lombok.

Sementara Menurut De Graaf, bahwa sebelum ada ekspedisi dari raja-raja


ulama dari Giri, mereka para pelaut dan pedagang dari Gresik telah
memperkenalkan nama pemimpin-pemimpin agama dari Giri sampai jauh di luar
Jawa.48 Tentang kehadiran tokoh-tokoh Islam ke wilayah timur, khususnya ke
Lombok tentu sumber-sumber lokal menjadi sangat penting dalam
menginformasikan dan menjelaskan keberadaan mereka. Oleh karena itu penjelasan-
penjelasan dari naskah-naskah lokal akan memberikan titik terang bagi proses
islamisasi di Lombok.

Sumber utama dari tulisan ini yang merupakan sumber-sumber lokal seperti
historiografi tradisional Lombok yang secara eksplisit menyebutkan pengislaman
pulau Lombok adalah Babad Lombok. Dalam babad tersebut dikatakan, bahwa kisah
orang Arab yang masyhur di negeri Makkah, telah diutus oleh Allah, Nabi
Muhammad SAW, Rasulullah al-Mustafa, nabi yang mulia, nabi akhir zaman

48
HJ. de Graaf dan Th.G.Th.Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian
Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16, terj. (Jakarta: Pustaka Grafitipers dan KITLV, 1986), Cet. ke-
2. Jilid .2, h.193.

44
penutup segala nabi. Sudah Masyhur Nabi Mursalin, diikuti bangsa Arab semua
segala yang dilakukan, agama nabi terdahulu sudah dibuang, kitab kepala tiga: injil,
taurat, zabur sudah ditinggalkan semua, lalu diganti dengan al-Qur’an yang
sempurna oleh Rasulullah SAW.49 Diangkatnya Muhammad sebagai Nabi dan Rasul
akhir zaman adalah pada saat Rasullullah berumur 40 tahun, sekitar 13 tahun
sebelum Hijrah, tepatnya tahun 609/610 M.

Lebih lanjut menurut Babad Lombok, semua wilayah yang disebut sebagai
Negeri Bawah Angin diislamkan atas perintah Rasulullah SAW. Ajaran yang
diajarkan adalah ajaran tauhid, bagaimana mengesakan Allah, ajaran bagaimana cara
mensejatikan Allah dari seluruh bangsa jin dan manusia. Sahabat nabi yang utama
disebar ke wilayah-wilayah tersebut. Saidina Umar ke wilayah Barat, Saidina
Usman di wilayah Selatan, sedangkan Saidina Ali di wilayah Masrik, semua sahabat
diharuskan untuk berdakwah kepada mereka orang-orang musrik atau kafir. Bagi
yang menolak masuk Islam diperangi dan dianggap menjadi musuh Rasulullah
SAW.50 Lebih lanjut dalam penjelasan naskah ini, bahwa keturunan-keturunan
Saidina Ali seluruhnya menjadi penyebar Islam, dan banyak sekali mengislamkan
orang-orang yang beragama Budha, bahkan beberapa naskah lain menginformasikan
keluarga-keluarga Saidina Ali diutus oleh raja Campa untuk melakukan perjalanan
jauh, selain untuk berdagang juga untuk menyebarkan Islam. Kapalnya penuh
dengan kitab-kitab, yang berangkat pada hari senin dengan menggunakan perahu
layar, di mana ketika itu pulau Jawa berpenduduk masih kafir. Penyebar Islam itu
adalah Haji Duta Samudera, ia adalah keturunan dari Ki Jati Swara. Dialah yang
mengislamkan orang Jawa. Ia mengajarkan orang Jawa ilmu-ilmu keislaman,
memerintahkan orang Jawa untuk berkhitan baik laki-laki maupun perempuan.
Mengajarkan mereka sholat, Puasa, membayar zakat dan naik haji.51

Selain itu naskah ini juga menjelaskan tentang kondisi masyarakat Jawa
setelah mereka memeluk Islam. Dikatannya bahwa mereka itu kemudian menjadi
muslim yang taat. Masyarakat Jawa sangat bersyukur dengan keislaman mereka,
49
Babad Lombok, pupuh, 542-544.
50
Ibid
51
Babad Lombok, Pupuh 548-549.

45
memohon keselamatan di dunia dan akhirat. Sangat gembira tenang perasaan dan
hati mereka. Selain ajaran-ajaran fiqh mereka diajarkan juga ajaran-ajaran tauhid,
Haji Duta Samudera mengajarkan hakikat manusia dan hakikat Allah. Semua alam
ini bahru, yang kekal hanyalah Allah. Kehidupan masyarakat Jawa makmur, pakaian
dan makanan cukup, seluruh jenis tanaman, sayuran dan lain sebagainya ada di
tanah Jawa.52

Dari pulau Jawa kemudian Islam mulai disebarkan ke wilayah timur


kepualauan Indonesia. Raja Giri memerintahkan seluruh pejabat-pejabat negera
untuk ambil bagian menyebarkan agama Islam. Keluarga-keluarga kerajaan yang
ada di Jawa bahkan yang di Palembang juga diperintahkan untuk ambil bagian
dalam islamisasi wilayah Indonesia timur. Agama Islam itu berkembang ke
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Ada beberapa nama besar yang
disebutkan yang akan memimpin Islamisasi ke wilayah timur, semuanya merupakan
keluarga dari Sunan Giri, Adipati Lembu Mangkurat mengislamkan orang-orang
Banjar, Datuk Bandar (ada yang menyebut Datuk Bandan atau Datuk Ribandan)
mengislamkan orang-orang Makasar. Penyebaran dilakukan oleh Lembu Mangkurat,
Dato’ Bandan,53 dan Pangeran Prapen atas perintah Sunan Ratu Giri. Di lombok
Pangeran Prapen pertama-tama mendarat di Salut54 Salut merupakan perkampungan
tua yang ada di wilayah pesisir pantai bagian timur. Jadi Salut yang ada di pesisir
timur ini memiliki peran yang sangat strategis terhadap keberhasilan dakwah Sunan
Prapen di Lombok.

52
Pupuh 150.
53
Dalam proses islamisasi Dato’ Bandan berdakwah menyebarkan Islam ke wilayah timur
pada abad ke-17, sedangkan pangeran Prapen pada abad ke-16. Menurut cerita sejarah di Kutai, Dato’
Ri Bandan disebut juga Tuan Di Bandang dan sama orangnya yang telah giat bekerja di Makasar,
berjuang juga di Kalimantan Timur untuk menyebarkan Islam. Ibid, h.191
54
Salut termasuk daerah yang pertama disebut-sebut yang didatangi oleh para dai yang
datang dari Jawa. Tentang hal ini lihat, Jamaluddin, Slut Gate for The Coming of Islam in Lombok:
Archeological Analysis of The Ancient Mosque In North Lombok dalam jurnal Heritage of
Nusantara Internasional Journal of Religiious Literature and Heritage Vol. 7 No. 1 Juni 2018, 47-78.

46
Gambar: Mesjid tua Salut yang merupakan bukti kedatangan Islam pada era-era Awal

Dari Salut kemudian meneruskan perjalanan ke Labuhan Lombok di


Menanga Baris, kedatangannya disambut oleh Prabu Rangke Sari beserta para patih,
punggawa dan manca menteri. Semula Pangeran Prapen ditolak oleh raja Lombok
yang bersiap hendak melawan, namun setelah Pangeran Prapen menjelaskan maksud
kedatangaannya yaitu untuk menunaikan misi suci yang hendak dilaksanakan
dengan damai tidak perlu dengan cara kekerasan maka beliau diterima dengan
baik.55 Menurut de Graaf, peristiwa itu berlangsung pada pemerintahan Sunan
Dalam56 yang memerintah pada tahun 1505-1545 M.

Penyebaran Islam ke pulau Lombok yang dilakukan oleh Sunan Prapen dari
Giri dalam masyarakat tidaklah menjadi sesuatu yang asing. Di mana ulama-ulama
Giri di hadapan masyarakat pesisir pantai timur Nusantara sudah dikenal luas, paling
tidak ketokohan wali tersebut telah sampai di telinga mereka lebih awal. Menurut de

55
Lalu Wacana, Babad Lombok, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1979), h. 17.
56
Sunan Dalem adalah putra dari Sunan Giri yang pertama, Sunan Dalem digantikan oleh
putranya Sunan Seda Margi, yang memerintah hanya sebentar, lalu diganti oleh adiknya Sunan
Prapen, menurut Waselius (Historisch), Sunan itu memerintah tahun 1553-1587. Lihat, HJ. de Graaf,
Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati,(Jakarta: Pustaka Grafitipers dan
KITLV, 1985), Cet. ke-1. Jilid .3, h.60. Jadi beliau diangkat menjadi raja sesudah kembali dari misi
dakwahnya.

47
Graaf,57 bahwa para pelaut dan para pedagang Gresik telah memperkenalkan Giri di
pantai-pantai bagian timur Nusantara. Sejak zaman Sunan Prapen kekuasaan para
pemimpin agama dari Giri ternyata mendominasi Gresik. Tidak ada pada paruh
ketiga abad ke-16 yang mengabarkan adanya kekuasaan duniawi yang merdeka di
kota pelabuhan, ini berarti bahwa pada waktu itu Islam telah mendominasi di
sepanjang pantai Jawa ke Timur.

Menurut de Graaf, Giri mempunyai kedudukan penting dalam masyarakat


Sasak, bahkan nama Pangeran Prapen, anak sesuhunan Ratu dari Giri, namanya
disebut dengan jelas. Dengan armadanya ia singgah lebih dulu di Salut dan Sugian.
Mereka memaksa raja Hindu di Teluk Lombok mengakui kekuasaan Islam.
Kemudian mereka memasuki tanah Sasak di barat daya. Setelah mengislamkan
Lombok mereka berlayar ke Sumbawa dan Bima. Dalam ekspedisi kedua, orang-
orang Jawa Islam menduduki kota kerajaan Lombok, Selaparang.58 Rencana mereka
merebut Bali Selatan dari sebelah timur, demi penyebaran kebudayaan dan ekonomi
Jawa dan untuk agama Islam, rupanya terpaksa dibatalkan karena mendapatkan
perlawanan berat dari Dewa Agung, raja Gelgel.59

Kembali kepada penjelasan babad di atas, dapat diketahui bahwa sebelum


Islam masuk di kerajaan Lombok, Sunan Prapen terlebih dahulu mengislamkan
masyarakat yang ada di pesisir pantai utara, yaitu Salut. Dalam babad tersebut
islamisasi di Salut ini tidak banyak dibicarakan, mungkin saja karena Babad Lombok

57
HJ. de Graaf dan Th.G.Th.Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian
Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16, h.190.
58
Ibid.
59
Mungkin raja itu adalah Dewa Agung Batu Renggong yang konon pada pertengahan
abad ke-16 melawan usaha-usaha mengislamkan dirinya. Bagian besar dari cerita tutur Bali yang
menyangkut kejadian-kejadian pada abad ke-16 dan ke-17, telah diuraikan oleh Berg, Traditie; Batu
Renggong secara tegas menolak utusan raja Makkah dengan bingkisan simbolis, berwujud gunting
dan alat cukur, ingin membuat Batu Renggong Bertaubat, karena Ulama dari Mekkah tersebut tidak
maEmpu memotong rambut Batu Renggong sehelaipun, maka dia menolak untuk masuk Islam,
(lih.h.140). Tidak mungkin kiranya orang Mekkah telah muncul di Bali pada pertengahan abad ke-16.
Tetapi mungkin cerita ini ada sangkut pautnya dengan dengan usaha Sunan Giri untuk mendekati
Raja kapir itu. Ini kiranya terdapat dalam sajak Bali yang ditulis oleh seorang keraton Bali, yang
bernama Den Ta’mung, sebagai jawaban atas ejekan dan hinaan yang dilancarkan oleh raja-raja
Pasuruan dan Mataram. Yang telah menyamakan Batu Renggong dengan jangkrik sabungan.
Disebutkannya Mataram dalam cerita tutur Bali ini mungkin menjadi Jelas apabila diketahui bahwa
cerita ini baru ditulis pada abad ke-17, waktu raja-raja Mataram mencapai kejayaannya.Lihat, HJ. de
Graaf dan Th.G.Th.Pigeaud, Ibid, h.190-191.

48
merupakan sejarah politik di Lombok sehingga desa Salut tidak mendapatkan
tempat. Sebenarnya apabila proses Islamisasi di Salut ini banyak diperoleh
informasinya, maka akan banyak teka-teki yang selama ini yang belum terjawab,
bisa terkuak.

Gambar: Komplek Makam Tua Salut

Bahkan kalau yang disebutkan oleh de Graaf di atas, Sunan Prapen masuk
juga di wilayah barat daya pulau Lombok, di daerah tersebut kemungkinan masuk
juga di kerajaan Sasak atau Blongas yang pada waktu itu sedang mengalami
kemunduran. Kalaupun tidak banyak disebut tapi dari berita tersebut menunjukkan
bahwa wilayah barat pulau Lombok juga telah masuk agama Islam. Jadi yang
pertama memeluk Islam di Lombok adalah bukan kerajaan Lombok, melainkan
mereka yang ada di barat daya dan Salut. Beberapa tinggalan arkeologis
membenarkan informasi tersebut, ada mesjid kuno, ada makam kuno.

49
Gambar: Makam Tuak Turun salah seorang generasi pertama yang mengislamkan
masyarakat di Lombok Utara.

Salut ini memiliki peran yang sangat strategis dalam proses Islamisasi di
wilayah Lombok. Dari Salut ini kemudian masuk ke kerajaan Lombok, kemudian
menyebar ke berbagai wilayah-wilayah lainnya di Lombok, ke utara masuk di
kerajaan Bayan, ke arah barat masuk di kerajaan Pejanggik, dan beberapa kerajaan
kecil sekitarnya, sedangkan ke arah selatan masuk di Rembitan, Pujut, dan daerah-
daerah yang ada di sekitarnya.

Mengenai Islamisasi di wilayah Lombok Selatan ditemukannya bukti-bukti


arkeologis, berupa bangunan-bangunan kuno dan makam-makam yang juga tidak
jauh beda dengan umur bangunan kuno tersebut. Dari beberapa bukti tersebut
menunjukkan bahwa kemungkinan besar bahwa di Rembitan dan Pujut merupakan
pusat pengajaran Islam di Lombok bagian selatan pada waktu itu.

50
Gambar: Mesjid Kuno Rembitan

Bukti arkeologis yang ditemukan di Rembitan adalah bangunan mesjid kuno


yang beratap tumpeng. Pada saat peneliti mengadakan penelitian di mesjid tersebut
masih ditemukan seperti beduk, mimbar tempat khatib membaca khutbah yang
masih asli (akan dibahas pada bagian akhir dari bab ini). Selain bangunan mesjid, di
Rembitan ditemukan bangunan lain yang umurnya sama dengan mesjid tersebut,
yaitu, bangunan semacam Surau, yang pada masa lampau kemungkinan sebagai
tempat pengajaran agama Islam yang dilakukan oleh para muballiqh yang
ditugaskan oleh Sunan Prapen.

Gambar: Gedeng sebagai tempat dan pusat pengajaran agama Islam di Rembitan

51
Dari beberapa informan dan beberapa sumber menyebutkan bahwa yang
menyebarkan Islam di wilayah selatan dan dimakamkan di makam kuno Rambitan
adalah Wali Nyato, yang menurut penulis wali Nyatok ini bukan nama yang
sebenarnya melainkan hanya laqab (gelar) saja. Tawalinuddin Haris menyebutkan
bahwa nama lain dari Wali Nyatok adalah Sayid Ali atau Sayid Abdurrahman,60
dengan tanpa menjelaskan dari mana nama ini diperoleh.

Gambar: Makam wali Nyatok di Rembitan, Ia adalah penyebar Islam di wilayah Selatan

Untuk wilayah Lombok selatan ini masih ada juga bangunan kuno yang lain
seperti yang ditemukan di Pujut, yaitu bangunan mesjid kuno, sekitar 2 km ke utara
dari desa Rembitan. Melihat bangunan-bangunan yang ada di wilayah Lombok
selatan ini maka pada abad-abad ke 16 Islam telah berkembang dengan pesatnya,
bahkan menjadi sentral bagi kajian keislaman ketika itu.

Setelah Salut dan sekitarnya terislamkan, Sunan Prapen melanjutkan


perjalanannya ke Labuhan Lombok masuk ke Menanga Baris. Lombok merupakan
pusat kerajaan di Lombok, karenanya menjadi sangat penting untuk mengislamkan
mereka lebih awal, dalam rangka untuk memuluskan gerak dakwah ke berbagai

60
Tawalinuddin Haris, Masuk dan Berkembangnya Islam di Lombok Kajian Data
Arkeologis dan Sejarah, dalam Kajian : Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi Daerah NTB,
(LombokTimur: Yayasan Lentera Utama, 2002), cet. 1, h. 18.

52
tempat di Lombok, khususnya di kerajaan-kerajaan yang berada di bawah kekuasaan
Selaparang.

Dalam Babad Lombok dijelaskan, bahwa raja Lombok dapat menerima


kehadiran agama Islam yang dibawa oleh muballiqh Jawa, setelah melalui berbagai
negosiasi. Namun dalam perkembangannya, karena hasutan dari rakyatnya raja
Lombok berbalik haluan memungkiri janji. Raja Lombok mempersiapkan bala
tentara hendak mengusir prajurit Islam dari Labuhan Lombok. Pangeran Prapen
sudah siap untuk menghadapi segala situasi segera menurunkan tentaranya
menghadapi prajurit Lombok. Perangpun tak dapat dihindarkan lagi, raja dan rakyat
melarikan diri ke gunung dan hutan. Tatapi beliau dapat dikejar tertangkap oleh
Jayalengkara kemudian dibawa menghadap Pangeran Prapen. Beliau diaEmpuni
kemudian mengucapkan dua kalimah syahadat dan dihitan. Baginda diajarkan
berbagai pengetahuan agama. Simbol-simbol keagamaan seperti masjid61 segera
didirikan, bangunan-bangunan pura, meru, babi dimusnahkan. Rakyat yang pria
dihitan, sementara yang perempuan atas permintaan syahbandar Lombok, untuk
ditunda. 62

Gambar: Makam Selaparang sebagai komplek makam raja

61
Mesjid ini adalah salah satu dari mesjid tertua di Lombok, namun mesjid ini tidak
ditemukan sekarang, bahkan bekas-bekasnya pun tidak ditemukan, mungkin karena sesudah
pengislaman rakyat Lombok, beberapa tahun kemudian pusat kerajaan ini dipindah ke
Selaparang,sehingga bangunan-bangunan yang ada di lombok rusak, yang kemudian oleh masyarakat
belakangan menjadikannya sebagai perKampungan baru, sehingga sisa bangunannya pun tidak
ditemukan.
62
Lalu Wacana, Babad Lombok, op.cit, hal, 18.

53
Misi dakwah ke wilayah Indonesia Timur dilakukan tidak sendirian oleh
Sunan Prapen. Ternyata pembagian wilayah sudah direncanakan lebih awal sebelum
keberangkatannya, namun perlu diingat di sini bahwa mereka para juru dakwah
tersebut berangkat secara bersamaan sehingga kalau ada informasi bahwa beberapa
diantara mereka kemudian masuk ke wilayah yang telah dimasuki oleh para da’i
sebelumnya itu bukan berarti bahwa, penduduknya baru terislamkan kemudian.

Sunan Prapen dalam melakukan misi dakwahnya selain dengan prajurit,


beliau dibantu oleh beberapa orang patih, antara lain: Patih Mataram, Arya
Kertasura, Jaya Lengkara,63 Adipati Semarang, Tumenggung Surabaya,
Tumenggung Sedayu, Tumenggung Anom Sandi, Ratu Madura dan Ratu
Sumenep.64

Setelah Prapen berhasil meng-islam-kan kerajaan Lombok, maka agama


Islam pun mulai disebarkan ke daerah-daerah sekitar kerajaan, yang merupakan
kedatuan-kedatuan yang berada di bawah kerajaan Lombok. Maka Sunan Prapen
mengadakan pembagian tugas, masing-masing para prajurit yang berasal dari
Surabaya di bawah pimpinan Jayalengkara bertugas mengislamkan Pejanggik dan
Langko. Prajurit Tuban dan Gresik di bawah pimpinan Arya Majalengka bertugas
mengislamkan Parwa dan Suradadi. Sementara pangeran Prapen sendiri dan orang-
orang dari Giri dan Besuki bertugas mengislamkan orang-orang kerajaan Lombok
yang melarikan diri ke hutan dan gunung-gunung. Selebihnya bertugas
mengislamkan kedatuan Sokong, Bayan dan kedatuan Sasak.65
Para dai tersebut ternyata dalam proses islamisasi di beberapa tempat tidak
dapat berjalan dengan mulus, kalaupun mereka (kedatuan) secara struktural berada

63
Dalam Sadjarah Dalem terdapat nama Panembahan Ratu Jayalengkara dari Surabaya
sebagai nama ayah dari Pangeran Pekik ( yang sesudah tahun 1625 menjadi ipar Sultan Agung. Jadi
mungkin Panembahan itulah yang pada tahun 1589 menjadi lawan Senapati Mataram. Permaisurinya
adalah seorang putri dari Kediri (dari perkawinan tersebut lahir Pangeran Pekik) dan Ia masih
keluarga dekat raja di Madiun yang asal-usulnya adalah kerajaan Demak. HJ. de Graaf dan
Th.G.Th.Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-15
dan ke-16. Cet. ke-2. Jilid .2, op.cit. h 205-206.
64
Op.cit.
65
Lalu Wacana, Babad Lombok, ibid, h. 18

54
di bawah hegemoni raja Lombok, tapi dalam hal-hal yang sifatnya pribadi seperti
agama atau kepercayaan tidak harus mengikuti kalangan Istana. Kalaupun para da’i
tersebut telah menginformasikan bahwa kalangan istana semuanya memeluk Islam,
tetap diantara mereka ada yang menolak. Hal ini menunjukkan bahwa kedatuan-
kedatuan tersebut memiliki otonomi, dalam beberapa hal yang memang diakui
bukan urusan negara, mereka berhak untuk menolak atau memiliki kebijakan sendiri
yang berbeda dengan pusat kerajaan.
Pada beberapa penyebar Islam bahkan mendapat perlawanan sengit seperti
di Perigi dan Suradadi. Rakyat Suradadi di bawah pimpinan seorang patih
pemberani yaitu Patih Biku’ Mangkurat mencoba menghalau prajurit Islam, namun
Patih Biku’ Mangkurat tewas dalam perteEmpuran tersebut dan rakyat Suradadi
menyatakan diri masuk Islam. Seluruh desa dan kedatuan memeluk Islam kecuali
beberapa tempat seperti Pengantap, Pejarakan,66 untuk bagian barat, dan sebagian di
Tanjung, Gangga dan Pekanggo, dan Sokong. Beberapa rakyat yang tidak mau
masuk Islam melarikan diri ke gunung-gunung.67
Tak lama sesudah itu maka Islam pun tersebar di pulau Lombok Pangeran
Prapen meninggalkan Lombok dan melanjutkan perjalanannya ke pulau Sumbawa
untuk berdakwah. Seluruh pulau Sumbawa dapat di Islamkan antara lain; Sumbawa,
Seran, Taliwang, Utan Re, Dompu, Pekat, Tambora, dan seluruh Bima.
Ketika Sunan Prapen meninggalkan Lombok, para pemuka kerajaan merasa
khawatir karena para kaum wanita menolak untuk memeluk Islam. Prabu
Rangkesari memindahkan ibukota kerajaan Lombok ke Selaparang, bekas pusat
kerajaan Selaparang Hindu. Pemindahan ibu kota ini berdasarkan saran Patih Banda
Yuda dan Patih Singa Yuda yang didasarkan pertimbangan bahwa letak Selaparang
lebih strategis dan tidak mudah diserang oleh musuh. Pada masa pemerintahan
Rangkesari tersebut perkembangan Islam semakin pesat. Beliau telah berhasil
membawa kerajaan Selaparang kepada jaman keemasannya, setelah berhasil

66
Ibid.
67
Jamaluddin, Islam Sasak: Sejarah Sosial Keagamaan di Lombok (abad XVI-XIX) dalam
jurnal Indo-Islamika, Volume 1, Nomor 1, 2011/1432. h.70.

55
menaklukkan hampir seluruh kerajaan yang berada di pulau Lombok tersebut.
Sementara itu, Selaparang telah dijadikan sebagai pusat penyebaran agama Islam.68

Babad Lombok menyebutkan bahwa kerajaan Selaparang sebelumnya


bernama kerajaan Mumbul yang berlokasi di Labuhan Lombok, jadi kerajaan
tersebut yang diislamkan oleh Sunan Prapen dengan rajanya Prabu Rangkesari.
Menurut de Graaf, peristiwa itu berlangsung pada pemerintahan Sunan Dalam69
yang memerintah pada tahun 1505-1545 M. Pendapat de Graaf, nampaknya banyak
didukung oleh bukti-bukti arkeologis, terutama dari nisan-nisan yang ada di
komplek makam Selaparang.

Dalam komplek makam raja-raja Selaparang, terdapat sejumlah batu nisan


yang secara tipologis diperkirakan berasal dari antara tahun 1600 sampai 1800.
Asumsi tersebut didasarkan atas keberadaan batu nisan tipe kepala kerbau bersayap
dan tipe silendrik. Selain itu dari segi bentuk dan motif hiasannya, batu nisan di
makam keramat raja memiliki persamaan dengan beberapa nisan yang terdapat di
Aceh, Banten, dan Madura, yang di perkirakan berasal dari kurun waktu atau waktu
yang bersamaan.70

68
Lalu Wacana, Sejarah Daerah NTB, h. 43-44.
69
Sunan Dalem adalah putra dari Sunan Giri yang pertama, Sunan Dalem digantikan oleh
putranya Sunan Seda Margi, yang memerintah hanya sebentar, lalu diganti oleh adiknya Sunan
Prapen, menurut Waselius (Historisch), Sunan itu memerintah tahun 1553-1587. lihat, HJ. de Graaf,
Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati,(Jakarta: Pustaka Grafitipers dan
KITLV, 1985), Cet. ke-1. Jilid .3, h.60. Jadi beliau diagkat menjadi raja sesudah kembali dari misi
dakwahnya.
70
Tawalinuddin Haris, Masuk…h. 16.

56
Gambar: Batu nisan Aceh di komplek makam raja-raja Selaparang
Dari model dan tipologi batu nisan yang ada di komplek makam
Selaparang, diketahui bahwa Lombok ini memiliki hubungan yang sangat luas
dengan banyak kerajaan-kerajaan di Nusantara. Selain Jawa, Sumatera juga terlihat
jelas dari tiologi nisan yang ada. Tentu hal ini memperlihatkan bahwa Lombok
memiliki hubungan yang bukan hanya pada hubungan dagang saja, melainkan
hubungan politik, budaya, agama dan lain sebagainya. Maka sangat mungkin saling
mempengaruhi antar keduanya menjadi suatu keniscayaan. Bukti-bukti arkeologis
telah memperlihatkan hubungan tersebut telah terjadi dengan intensnya. Maka wajar
kemudian kalau masyarakat Sasak Lombok banyak memiliki kesamaan dengan
daerah-daerah lainnya khususnya dengan kerajaan Aceh dipenghujung utara pulau
Sumatera. Paham keagamanan yang berkembang adalah paham-paham Islam
ahlussunna wal jamaah ala Mazhab Imam Syafi’i.
Maka ketika kembali dari Sumbawa Sunan Prapen mendarat di Sugian
untuk memerangi mereka yang murtad. Dalam serangan ini penduduk Lombok
terbagi menjadi dua, yang pertama mereka yang memang menganut Islam dengan
sepenuh hati, kedua mereka yang memeluk agama Islam karena terpaksa, mereka ini
yang kemudian menjadi Islam tidak taat.
Perlu dipahami di sini bahwa tidak pernah terjadi sebuah penyerangan
terhadap penduduk di pulau Lombok untuk memaksakan penduduknya memeluk
Islam, melainkan upaya persuasif telah dikedepankan oleh Sunan Prapen, seperti
islamisasi di kerajaan Lombok, Sunan Prapen menjelaskan tujuan kehadiran mereka

57
di Lombok untuk misi dakwah bukan untuk melakukan penjajahan atau untuk
hegemoni kekuasaan, sehingga mereka diterima dan rakyatnya terislamkan.
Kemudian sesudah Lombok ditinggalkan untuk melanjutkan dakwahnya ke pulau
Sumbawa, ternyata umat Islam di Lombok banyak yang murtad, dan menolak Islam,
khususnya mereka yang perempuan. Sekembalinya Sunan Prapen dari Sumbawa
mereka yang melakukan riddah itu diperangi. Kejadian semacam ini pernah terjadi
ketika Rasulullah wafat, di mana di beberapa daerah yang penduduknya telah
memeluk Islam, murtad dan tidak mau membayar zakat. Khalifah pertama Abu
Bakar yang menggantikan Rasul sebagai kepala negara merasa bertanggung jawab
terhadap seluruh wilayah-wilayah yang merupakan bagian dari negara muslim
waktu itu, angkat senjata untuk memerangi mereka yang telah murtad dan menolak
membayar zakat.
Perlawanan dari kalangan yang merasa diusik dengan kehadiran Islam
muncul di beberapa tempat. Mereka yang sebelumnya menempati posisi penting di
sebuah kerajaan atau kedemungan dan memiliki pengaruh di masyarakat merasakan
dengan kehadiran Islam posisinya merasa terancam. Perlu diingat bahwa sebelum
datangnya Islam di kalangan masyarakat terdapat penggolongan-penggolongan atau
klas-klas sosial antara mereka yang menjadi raja atau pejabat istana dengan rakyat
biasa. Ketika Islam datang yang mendengungkan kesamaan hak dan kewajiban bagi
setiap orang Islam laki maupun perempuan, maka dengan sendirinya kalangan-
kalangan yang berkepentingan akan tetap menolak kehadiran para da’i Islam
tersebut. Hal yang sama pernah terjadi pada masa Rasulullah, ketika beliau
menyebarkan Islam kepada penduduk Mekkah. Penduduk Mekkah dikenal sebagai
masyarakat yang tetap mempertahankan tribalis, kedudukan seseorang sangat
ditentukan oleh atau dari kalangan mana mereka dilahirkan, dari golongan mana
seseorang itu datang. Ketika Rasulullah datang menawarkan ajaran Islam, maka
antara lain upaya yang dilakukan adalah melakukan destribalis. Karena itu wajar
kalau kemudian pada waktu beliau masih di Mekkah pengikut beliau adalah
kebanyakan dari kalangan yang selama ini terpinggirkan oleh masyarakat Mekkah.

58
Memperhatikan proses islamisasi di pulau Lombok yang pada sebagian
kecil daerah di kedemungan-kedemungan terjadi insiden-insiden yang terkesan
memeluk agama dipaksakan, tentu ini memiliki bias efek dalam pengamalan ritual
keagamaan. Tetapi yang menarik di sini adalah pada perkembangannya kemudian di
pusat-pusat kota atau di beberapa kedemungan dibentuknya sentral kajian-kajian
Islam, yang akan menjadi kendaraan agama dalam proses islamisasi. Sunan Prapen
sukses sebagai peletak dasar bagi terbentuknya konstruksi bangunan Islam di
Lombok untuk dikemudian. Para ulama Jawa telah berhasil menghaluskan jalan bagi
para muballigh-muballigh Islam belakangan.
Menurut Van der Kraan,71 penduduk yang melarikan diri ke Gunung dan
masuk hutan kemudian dikenal sebagai orang Boda, penduduk yang takluk dan
memeluk agama Islam kemudian dikenal sebagai penganut Islam Waktu Lima,
sedangkan penduduk yang takluk saja dikenal sebagai Islam Wetu Telu.72
Mencermati pendapat Kraan tersebut, menurut penulis mungkin terlalu
tergesa-gesa menyimpulkan demikian tentang dikotomi yang dibuatnya, menjadi
Boda, Islam Waktu Lima, dan Islam Wetu Telu. Pada awal-awal masuknya Islam di
Lombok Istilah Islam Wetu Telu ataupun Islam Waktu Lima belum dikenal. Peneliti
di sini lebih sepakat untuk menyebut kelompok yang pertama sebagai Islam yang
taat, yang mungkin juga mereka ini belum dapat melaksanakan ajaran Islam secara
sempurna, tetapi karena keinginan dan keihlasan mereka untuk menerima Islam
sebagai agamanya. Dan kelompok kedua, mereka yang tidak taat mungkin saja
mereka ini hanya melapaskan kalimat Syahadat sebagai pernyataan masuk Islam,
namun hati mereka menolak untuk masuk Islam, tetapi secara legalitas formal
mereka ini adalah Islam. Jadi penggunaan Islam Wetu Telu untuk yang terakhir ini
kurang tepat.73
Ada beberapa alasan kenapa penulis tidak sependapat dengan teori-teori
yang membenarkan dikotomi Islam Wetu Telu dan Islam Waktu Lima pada awal-

71
Alfons van der Kraan, Lombok, Conquest, Colonisation and Underdevelopment, 1870-1940
(Singapore: Heinemann Educational Books (Asia) Ltd. For the Asian Studies Association of
Australia, 1980).
72
Jamaluddin, Islam Sasak…, 72.
73
Lihat Jamaluddin, Islam Sasak..h. 72

59
awal kedatangan Islam, bahkan ini sampai abad XIX. Mereka yang taat maupun
yang tidak taat pada awal kedatangan Islam, belum begitu banyak ajaran-ajaran
syariat yang diketahuinya, tidak banyak ayat-ayat al-Qur’an maupun al-Hadits yang
diketahui selain karena target dari para penyebar Islam waktu itu adalah yang
penting terislamkan, bukan bagaimana mereka melaksanakan syariat dengan secara
sempurna, karena butuh waktu yang cukup untuk itu, tidak dapat dilakukan dengan
cara instan, butuh waktu yang cukup untuk penyempurnaan ajaran. Untuk
penyempurnaan dapat dilakukan kemudian oleh para ulama belakangan. Namun
demikian ajaran-ajaran dasar Islam tentu menjadi prioritas para penyebar Islam
ketika itu. Sebagaiman yang disebutkan dalam Babad Lombok, bahwa penyebar
Islam mengajarkan orang–orang ilmu keislaman, memerintahkan orang-orang untuk
berkhitan baik laki-laki maupun perempuan. Mengajarkan mereka sholat, Puasa,
membayar zakat dan naik haji.74 Karena mereka baru memeluk Islam yang
sebelumnya mereka memeluk agama Budha atau Hindu. Sehingga tradisi-tradisi
menjadi sesuatu yang sulit dipisah ajaran agama.

Baik mereka yang tidak taat maupun yang taat masih mempraktikkan
tradisi-tradisi pra-Islam. Seperti, praktik “bekal kubur”. “Bekal kubur” bahkan
sampai sekarang masih ada yang mempraktikkan di beberapa tempat di Lombok,
Islam tidak pernah mengajarkan bekal kubur atau sesajen yang diberikan kepada
mereka yang telah meninggal dunia. Aktifitas semacam ini telah lama dipraktikkan,
dan kemungkinan pada awal Islam datang tidak pernah ada pengajian-pengajian
hadist yang terkait dengan ajaran-ajaran semacam itu, sehingga baik mereka yang
taat maupun yang tidak taat masih mempraktikkan tradisi pra-Islam.
Ada pendapat yang mengatakan, bahwa Islam masuk di pulau Lombok
melalui seorang muballigh bernama Syaikh Nurur Rasyid, yang datang dari Jazirah
Arabia. Bersama rombongannya Nurur Rasyid bermaksud berlayar ke Australia
guna meneruskan dakwahnya. Namun karena satu dan lain hal, mereka singgah di
pulau Lombok dan selanjutnya menetap di Bayan, Lombok Barat bagian Utara.
Karena dikenal sebagai zâhid, masyarakat setempat memanggil Gaus Abdur Razzaq.

74
Babad Lombok, Pupuh 548-549.

60
Dari perkawinannya dengan Denda Bulan, lahir seorang putra yang diberi nama
Zulkarnain. Ia menjadi cikal bakal raja Selaparang yang menikah dengan Denda
Islamiyah. Dari pernikahan ini lahirlah seorang putri diberi nama Denda Qamariyah
yang populer dengan sebutan Dewi Anjani.75
Data tersebut di atas agak sedikit rancu, apabila dikaitkan antara
kedatangan Gaus Abdurrazak, dengan berdirinya kerajaan Selaparang. Menurut
Informasi di atas, yang menjadi raja Selaparang adalah anaknya Gaus Abdurrazak
yang bernama Zulkarnain, di mana pada saat datangnya ulama Arab tersebut
Selaparang belum berdiri. Ini bertentangan dengan sumber yang dapat dipercaya,
yang menjelaskan bahwa raja yang di Islamkan adalah Rangke Sari yang menjadi
raja Lombok (Mumbul), sebelumnya beragama Weratsari (singkritis Hindu-Budha).
Yang kemudian karena alasan tertentu pusat kerajaannya dipindah ke Selaparang
(eks kerajaan Selaparang Hindu ).
Pertanyaan lain yang dapat diajukan adalah apakah benar bahwa Gaus
Abdurrazak itu berasal dari Arab, belum ada bukti kuat yang membenarkan asalnya.
Ada beberapa makam yang ada di Lombok, yaitu di Bayan dan di Tanjung Karang
(makam Loang Balok) diklaim sebagai makam Gaus Abdurrazak. Kalau memang
benar bahwa Gaus Abdurrazak ini yang datang ke Lombok, yang kemudian
menyebarkan Islam di Bayan, maka kemungkinan Gaus Abdurrazak adalah orang
kedua yang datang menyebarkan Islam di daerah Bayan sesudah Sunan Prapen.76
Masyarakat Bayan, percaya bahwa pembawa Islam ke pulau Lombok
adalah Pangeran Sangupati,77 yang berasal dari pulau Jawa.78 Sumber lain
menyebutkan bahwa Pangeran Sangupati adalah putera Selaparang, ia dianggap

75
Tito Adonis, Suku Terasing Sasak di Bayan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat,
(Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 1989), h. 11-12: lihat juga Jamaluddin, Islam Sasak, 73.
76
Jamaluddin, Islam Sasak, 73-74.
77
Pangeran Sangupati adalah murid Wali Songo yang diakui sebagai peletak dasar agama
Islam di Pulau Jawa. Sangepati berasal dari dua suku kata, Sange (sembilan) dan Pati (empat).
Maksudnya bahwa Islam masuk ke pulau Lombok pada tahun 904 H atau 1636 M. Sangepati adalah
bukan nama sebenarnya. Saat dalam perjalanan pulang dari Lombok ke Jawa, ia memakai nama
Pande Wan Rauh, dan setelah sampai di Jawa memakai nama Haji Duta. Lihat, Henri Chambert dan
Siti Maryam R. Salahuddin, Bo’ Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2000), Cet-1, h. 577-580.
78
Tito Adonis, Suku Terasing, h. 89.

61
waliyullah.79 Sementara Anak Agung menyebutkan Pangeran Sangupati adalah
Danghyang Nirarta (salah seorang pedanda Bali yang ditugaskan untuk
menyebarkan agama Hindu dan sekaligus untuk menghalangi perkembangan agama
Islam)80. Dari kedua sumber di atas penulis lebih cendrung kepada pendapat kedua
yang mengatakan bahwa Pangeran Sangupati adalah memang asli orang Lombok
(Selaparang). Nama Pangeran Sangupati hanya dikenal di Lombok, sumber-sumber
Jawa tidak ada yang menyebutkan Pangeran Sangupati, sehingga agak sulit untuk
dapat diterima kebenarannya. Ada pendapat, bahwa Pangeran Sangupati adalah
murid Wali Songo yang diakui sebagai peletak dasar agama Islam di Pulau Jawa.
Apabila benar informasi tersebut maka orang sepenting Pangeran Sangupati tentu
akan dikenal dalam sumber-sumber Jawa. Dengan demikian pangeran Sangupati ini
memang orang pribumi, dilahirkan dari kalangan kraton. Kehadiran Pangeran
Sangupati di Bayan adalah sesudah terjadi pengislaman yang dilakukan oleh Sunan
Prapen dan kemungkinan besar Pangeran Sangupati tersebut termasuk diantara
mereka yang ditugaskan oleh Sunan Prapen atau murid dari muridnya Sunan Prapen
untuk melanjutkan proses islamisasi di Bayan. Karena dalam Babad Lombok tidak
disebutkan siapa-siapa saja yang berangkat mengislamkan orang-orang Bayan.81

Gambar Makam penyebar Islam di Lombok, Pangeran Sangupati di Kubur Blek di desa
Sesait

79
Tim Penyusun Monografi Daerah NTB, Monografi daerah Nusa Tenggara Barat,
(Jakarta; Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1977), Jilid 1, h.15.
80
Anak Agung Ketut Agung, Kupu-kupu Kuning Yang Terbang di Selat Lombok,
(Denpasar: PT Upada Sastra, 1991), cet. ke-1, h.79.
81
Jamaluddin, Islam Sasak..h, 75

62
Pendapat yang terakhir yang mengatakan bahwa Pangeran Sangupati
adalah Danghyang Nirarta yaitu salah seorang pedanda Bali yang ditugaskan untuk
menyebarkan agama Hindu dan sekaligus untuk menghalangi perkembangan agama
Islam. Pendapat ini sangat tidak masuk akal, ada kemungkinan penulis buku “Kupu-
Kupu Kuning Yang Terbang di Selat Lombok” ini terobsesi dengan misi yang
dilakukan oleh seorang Islamolog yang sekaligus orientalis Belanda Snouck
Hurgronje, yang menampilkan dirinya sebagai seorang ulama ditugaskan oleh
pemerintahan Belanda mempelajari budaya Aceh dan sekaligus ingin memasukkan
pengaruh Belanda ke Aceh pada akhir abad ke-19.82 Pangeran Sangupati adalah
seorang ulama yang banyak berjasa dalam melanjutkan dakwah Islam di Lombok,
bukan hanya di Bayan. Bagaimana mungkin seorang pedanda Bali dapat
mengajarkan Islam kepada masyarakat Sasak. Kalau mengajak orang-orang Islam
yang masih lemah imannya untuk melakukan ritual-ritual agama Hindu, boleh jadi,
ya. Tetapi kalau mengajarkan Islam sebagaimana seorang ulama, atau menjadikan
dirinya sebagai sosok ulama, sangat tidak masuk akal. Ataukah Nirarta ini sebelum
ke Lombok lebih dahulu pergi ke Makkah untuk belajar Islam, lebi h tidak mungkin
lagi, tidak ada data yang mendukung pendapat ini.83 Dari temuan arkeologis
membuktikan bahwa Sangupati merupakan tokoh ulama, yang makamnya di Kubur
Blek desa Sesait Lombok Utara. Oleh karena itu tidak mungkin Sangupati itu
Nirarta, dalam Islam orang yang meninggal wajib dimakamkan, sementara dalam
ajaran Hindu, bukan dengan cara dimakamkan, orang yang meninggal harus
dingabenin.
Nama Pangeran Sangupati, selain di Bayan juga nama-nama ini disebut-
sebut juga sebagai raja di Parwa. Parwa merupakan kerajaan kecil, dan antara Parwa
dengan Selaparang masih ada pertalian darah. Pendapat ini tidak bertentangan,
keduannya saling melengkapi. Karirnya terakhir pangeran ini adalah menjadi raja di
Parwa, sebelumnya beliau ini banyak bergelut di dunia ilmu, yaitu dengan menulis
beberapa babad yang berisi ajaran-ajaran fiqh, tasawuf, dan sebagainya. Beliau
adalah seorang ulama yang sangat aktif dalam misi dakwah mengajarkan Islam.

82
Jamaluddin, Islam Sasak…

63
Karena kemaEmpuannya dalam memimpin serta pengetahuannya yang mendalam
beliau diangkat menjadi raja untuk menggantikan raja di Parwa setelah raja Parwa
meninggal dunia.84 Jadi dengan demikian kemungkinan besar bahwa pangeran
Sangupati ini adalah putra Selaparang. Selain itu juga pada saat kondisi negara
sedang kacau beliau meminta bantuan ke Selaparang, yang kalaupun pada akhirnya
Selaparang tidak dapat memenuhi permintaan tersebut karena waktu itu Selaparang
sedang bersiap menghadapi ancaman dari luar.
Tito Adonis,85 menyebutkan, Pangeran Sangupati dikabarkan meEmpunyai
dua orang putra, yaitu Nurcahya yang menyebarkan ajaran Islam Waktu Lima atau
ajaran yang berlaku di kalangan masyarakat Islam pada umumnya. Sedangkan putra
kedua Nursada menyebarkan Islam Wetu Telu, yang banyak dianut oleh masyarakat
Bayan, Sembalun.
Lebih lanjut dikatakan, sejalan dengan berkembangnya kedua faham
tersebut dan banyaknya jumlah pengikut masing-masing, penganut Islam Waktu
Lima sering tertimpa musibah dan penyakit, sedang penganut Islam Wetu Telu,
justru sebaliknya, mereka hidup dalam alam yang subur dan menikmati hasil panen
yang melimpah ruah, penuh kecukupan, serta berada dalam keadaan sehat. Melihat
kondisi ini, Nurcahya mendatangi adiknya agar bersedia menolong para pengikutnya
yang mendapat musibah dan mereka bersedia menganut Islam Wetu Telu. Hal ini
telah menyebabkan semakin berkembangnya faham tersebut di Bayan dan dianggap
sebagai faham yang paling benar oleh para pengikutnya sejak dahulu.86
Informasi tentang Nurcahye yang mengajarkan Islam Waktu Lima dan
Nursade mengajarkan Islam Wetu Telu, sangat tidak masuk akal. Dikotomi Islam
Waktu Lima versus Islam Wetu Telu, muncul di abad dua puluh, sementara kedua
orang tersebut lahir kurang lebih empat abad yang lalu, atau memang keduanya
tokoh-tokoh yang sengaja diadakan untuk membenarkan klaim.

Pemikiran-pemikiran semacam ini tidak jarang dimunculkan oleh mereka


para orientalis yang ingin menampilkan bahwa Islam di Lombok atau bahkan di

84
Tim Penyusun Monografi Daerah NTB, op.cit., h.18.
85
Tito Adonis, op.cit. h. 89.
86
Ibid.

64
Asia tenggara tidak berhasil dalam hal dakwahnya. Mereka ingin menampilkan
Islam gagal mengislamkan umatnya secara sempurna. Bahkan yang sering
dimunculkan Islam itu tidak lebih hanya sekedar lapisan luar dari budaya lokal yang
ada.87
Sebagai seorang sejarawan yang banyak mengkaji Islam Asia Tenggara,
Azyumardi menjelaskan, Islam di Asia Tenggara sering dipandang banyak orientalis
sebagai Islam periperal, Islam pinggiran, Islam yang jauh dari bentuk asli, yang
terdapat dan berkembang di pusatnya di Timur Tengah. Dengan kata lain Islam di
Asia Tenggara bukanlah Islam yang sebenarnya, sebagaimana yang berkembang dan
ditemukan di Timur Tengah. Islam yang berkembang di Asia Tenggara adalah Islam
yang berkembang dengan sendirinya, bercampur baur dengan dan didominasi oleh
budaya dan sistem kepercayaan lokal, yang tak jarang dan tidak sesuai dengan
ajaran Islam.88
Di Lombok kehadiran Islam yang disebut Islam Wetu Telu di Lombok
terlalu dibesar-besarkan, seolah-olah perdebatan antara Islam Wetu Telu dengan
Islam Waktu Lima telah terjadi sepanjang sejarah Islam di Lombok. Maka di sinilah
pentingnya s ejarah untuk menggali akar historis dari Islam di Lombok.
Sering kadang-kadang pemilahan-pemilahan sosiologis atas masyarakat
muslim itu dimunculkan, dengan menampilkan varian-varian yang umumnya
dipandang bertentangan dan terlibat dalam pergumulan yang intens, bukan hanya
dalam lapangan keagamaan, tetapi juga dalam bidang lain termasuk sosial, ekonomi,
dan politik.
Dalam masyarakat Lombok kepercayaan pra-Islam telah mengakar dalam
kehidupan masyarakat, sebab Islam yang didakwahkan dan diajarkan pada saat itu
tidak banyak muatan-muatan yang menentang tradisi-tradisi pra-Islam. Karena
memang tujuan dakwahnya adalah mengislamkan mereka yang masih jahiliyah,
maka wajar kalau dalam banyak hal masih membutuhkan pembenahan. Pengislaman

87
Pemikiran semacam ini pertama kali dimunculkan oleh London (1949), kemudian
didukung oleh Van Leur (1955), termasuk juga disini Winstedt (1951), yang kemudian pendapat
mereka ini ditentang keras oleh Najib al-Attas (1969), Husain Alatas (1963), dan Niki Keddie (1987).
88
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya,
2000), cet. ke-2, h.5.

65
merupakan awal dari proses islamisasi, bukan sudah final, generasi di belakangnya
yang akan meneruskan dakwah tersebut. Proses islamisasi akan terus berjalan sesuai
dengan perkembangan tingkat pemikiran dan pemahaman pada setiap tingkatan
generasi.
Selanjutnya untuk membina pertumbuhan dan perkembangan agama Islam,
ketika Sunan Prapen hendak meninggalkan pulau Lombok menugaskan beberapa
orang kyai. Mereka masing-masing dibekali al-Qur’an dan al-Hadits. Metode yang
dipergunakan oleh para Kyai dalam usaha pengembangan dan peningkatan agama
Islam sesuai dengan petunjuk Sunan Prapen ialah metode enam mata rantai.
Maksudnya setiap kyai diwajibkan mendirikan santren (sebuah rumah tempat
beribadah), dan membina minimal enam orang santri yang ada di dalamnya. Apabila
seorang santri telah matang maka santri tersebut dilantik menjadi kyai, kyai yang
telah dilantik ditugaskan untuk membina enam orang santri dan seterusnya.
Sesudah seluruh Lombok terislamkan maka muncul para tokoh-tokoh,
pemuka-pemuka agama, baik itu dari kalangan pribumi maupun dari luar, pada
umumnya mereka ini kalau tidak melanjutkan maka yang dilakukan adalah upaya-
upaya penyempurnaan ajaran Islam dikalangan masyarakat Sasak. Ada beberapa
nama yang dapat disebutkan di sini, Raden Mas Pakel mempunyai tiga orang putra
yang kemudian menjadi ulama kharismatik di Lombok. Di antara anak-anaknya itu
adalah Guru Jepun, Guru Deriah, dan Guru Mas Mirah. Selain ketiga ulama tersebut,
juga dikenal nama Sunan Guru Makassar dari Sulawesi Selatan, Jati Swara, Kiai
Serimbang, dan Enam Beret,89 ketiganya dari Sumatra. Semua ulama tersebut pada
pertengahan abad ke-16 pernah mengembara ke pulau Lombok untuk mengajarkan
agama Islam kepada masyarakat Lombok Propinsi Nusa Tenggara Barat yang
pemahaman keagamaannya masih sangat minim.
Seiring dengan meluasnya wilayah kekuasaan kerajaan Goa terutama
setelah dikuasainya Bone (1606 M), Bima (1616,1618, dan 1623 M), Sumbawa
(1618 dan 1626 M), dan pulau Buton (1626 M) meluas pula agama Islam di
kalangan wilayah-wilayah kekuasaan kerajaan Goa tersebut. Dan kemudian dengan

89
Solihin Salam (Ed), Deskripsi Aliran Kepercayaan Wetu telu di Pulau Lombok, (Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Depag. RI. 1979). h. 33-23.

66
semangat yang tinggi pula para penguasa daerah di setiap pulau yang ditaklukkan
kerajaan tersebut melakukan dakwah islamiyah sampai ke selat Alas dan memasuki
pulau Lombok.
Datangnya kekuatan Islam dari arah timur yang bersamaan dengan upaya
penyempurnaan ajaran-ajaran Islam di Lombok, memberi dampak yang tidak kecil
bagi perkembangan Islam kemudian khususnya ortodoksi Sunni. Masuknya
pengaruh kerajaan Islam dari arah timur langsung masuk ke Istana Selaparang dan
Pejanggik telah membuat sebuah penampakan Islam lebih jelas di kalangan
masyarakat Sasak. Dari sinilah yang nantinya akan muncul tokoh-tokoh yang intens
untuk mendakwahkan Islam bahkan sampai pada tingkat pemurnian ajaran Islam.
Sekitar dua abad Islam berkembang dengan pesatnya di Lombok namun
pada beberapa dekade kemudian mengalami kemunduran. Perkembangannya sangat
dihambat oleh perkembangan politik dan nilai-nilai sosial yang mempengaruhinya.
Melemahnya kerajaan-kerajaan Islam pada akhir abad ke-17 yang menjadi pusat
penyebaran dan pengembangan Islam, lebih-lebih setelah runtuhnya kerajaan
Selaparang pada tahun 1740 M, turut juga menjadi faktor utama bagi rendupnya
dakwah Islam di Lombok, dan itulah masa suram bagi perkembangan Islam di
Lombok.
Pada masa kejayaan kerajaan Islam di Lombok agama merupakan urusan
negara. Berbagai atribut-atribut keagamaan menjadi tanggung jawab negara, guru-
guru agama ditentukan oleh Raja, bangunan-bangunan keagamaan juga merupakan
tanggung jawab negara, guru digaji oleh raja, karenanya kebanyakan mereka adalah
keturunan atau keluarga raja. Sehingga wajarlah kalau kemudian runtuhnya kerajaan
sering ditenggarai sebagai salah satu penyebab dari kegagalan dakwah Islam di
pulau Lombok. Namun sebenarnya yang menarik di sini adalah bahwa runtuhnya
kerajaan Islam tidak dengan sendirinya juga telah menghentikan misi dakwah Islam
di Lombok.
Memang secara politis runtuhnya Istana telah mengakibatkan tidak akan
dapat berjalannya dakwak Islam secara baik, karena tidak adanya jaminan keamanan
bagi mereka yang melakukan dakwah. Pusat kerajaan selain sebagai pusat

67
pemerintahan juga sebagai pusat dakwah dan pusat pengajaran agama. Runtuhnya
kekuasaan Islam Selaparang dan juga Pejanggik, yang merupakan pusat
pemerintahan sekaligus sebagai pusat dakwah. Maka dengan sendirinya juga pusat-
pusat dakwah yang ada di istana juga ikut merasakan akibatnya. Namun demikian
bukan berarti bahwa misi islamisasi harus terhenti, akan tetap berjalan mengikuti
perkembangan yang ada, di mana ia berada di dalamnya.
Kalau pada masa kejayaan Islam, Istana menjadi pusat dakwah, maka
setelah keruntuhan kerajaan Islam maka pusat-pusat dakwah tidak lagi berada di
pusat kerajaan, melainkan berada di tengah-tengah masyarakat di mana para kyai
tersebut tinggal. Mereka yang sebelumnya menjadi tokoh-tokoh agama di istana,
kini menjadi tokoh-tokoh yang mengajarkan agama kepada masyarakat di desa-desa
atau di dusun-dusun. Dibangunnya surau-surau sebagai tempat pengajaran agama di
sekitar komplek tempat tinggal para kyai. Atau ada juga yang menjadikan rumahnya
sebagai tempat pengajaran agama.
Dengan runtuhnya kekuasaan Islam maka ada dua kalangan yang
berpengaruh di masyarakat: pertama mereka yang merupakan keturunan dari para
raja keturunan ningrat. Mereka ini kemudian menjadi pimpinan adat dalam
masyarakat, atau dalam kaitannya dengan berbagai kegiatan di masyarakat yang
bukan untuk ritual keagamaan, kebanyakan menjadi kewenangan kalangan ningrat.
Kedua, kalangan kyai, biasanya mereka ini hanya mengurus berbagai persoalan yang
berhubungan dengan ritual keagamaan. Terkadang ada juga yang memegang kedua
peran tersebut, yaitu mereka dari kalangan ningrat yang memiliki kemampuan
agama yang memadai, jadi selain mereka sebagai tokoh adat juga berperan sebagai
kyai.
Kalaupun tokoh-tokoh tersebut memiliki wilayah atau demarkasi peran
yang jelas dalam masyarakat, tetapi tidak jarang kedua tokoh tersebut saling
berbenturan dan selalu bersaing untuk memperebutkan pengaruh dan simpati
masyarakat. Tokoh adat akan tetap mempertahankan dirinya sebagai orang memiliki
kewenangan mengatur tata laku perjalanan adat di masyarakat, bahkan menentukan
segala sesuatunya berdasarkan kebijakannya sendiri. Sementara kyai sebagai orang

68
yang diakui berkompeten dan memiliki otoritas dalam menetapkan aturan-aturan
agama berusaha untuk menggeser aturan-aturan adat yang dinilai bertentangan
dengan agama. Benturan tersebut berlanjut, keduanya tidak berusaha untuk
menemukan satu solusi bagi pertemuan antara adat dengan agama. Inilah kemudian
muncul kepermukaan, adat dihadapkan dengan agama. Karenanya bentukan warna
masyarakat sangat ditentukan oleh siapa yang lebih berperan di dalamnya.
Penyebaran guru-guru agama (kyai) di Lombok biasanya didasarkan pada
bentukan awal dari sebuah jaringan. Jaringan tersebut terbentuk sejak adanya para
kyai (ulama), kyai mentransformasikan pengetahuannya kepada para muridnya. Jadi
penyebarannya di sini kalau bukan karena daerah kelahirannya, itu merupakan
tempat yang sebelumnya merupakan wilayah dakwahnya. Sudah barang tentu di
daerah tersebut banyak diantara meraka adalah murid-muridnya. Murid-murid
tersebut yang kemudian menyebar ke beberapa wilayah di Lombok sebagai wakil
dari guru tersebut.
Para kyai tersebut memiliki wilayah pengajaran sendiri-sendiri, artinya
sebuah desa atau Kampung memiliki guru sendiri-sendiri, dan terkadang mereka
menolak kehadiran guru lain masuk ke tempatnya. Perlu menjadi catatan di sini
bahwa di antara para kyai atau guru tersebut memiliki tingkat pengetahuan yang
berbeda-beda. Sehingga di beberapa tempat di pulau Lombok ajaran Islam yang
berkembang sering berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lainnya.
Beberapa contoh yang dapat dikemukakan di sini khususnya dalam hal
menjalankan ibadah seperti shalat ataupun puasa, mereka berbeda. Hal ini
merupakan akibat dari banyaknya guru atau kyai yang secara keilmuan belum tepat
untuk disebut sebagai kyai. Dalam hal shalat dan puasa, mereka tidak memiliki
acuan yang jelas, yang menjadi kitab mereka adalah kyai itu sendiri. Seperti
penganut Islam di Bayan, Tanjung, dan daerah sekitarnya para kyai hanya
melakukan shalat dzuhur pada hari jum’at, shalat jenazah, dan shalat idul fithri.
Islam di Sembalun dan sekitarnya hanya mengenal shalat ashar pada sore kamis,
shalat zuhur pada hari jum’at, shalat jenazah dan shalat idul fithri. Di Sapit dan
Rembitan hanya mengenal shalat magrib dan isya’ selama bulan ramadhan, shalat

69
subuh pada pagi hari raya idul fithri, dan sembahyang zohor pada hari jum’at. Di
Pujut hanya para kyai yang mengerjakan ibadah shalat lima waktu (subuh, zuhur,
ashar, magrib, dan isya’), shalat jum’at, tarawih di bulan ramadhan, dan melakukan
shalat jenazah. Kalau yang di Pengadang, para kyainya mengerjakan shalat lima
waktu sehari semalam selama dia bertugas menjadi takmir mesjid (pengurus
masjid), lamanya satu minggu. Bila tidak bertugas sebagai takmir, dia hanya
melakukan shalat zuhur pada hari jum,at, mereka juga mengenal shalat sunat
tarawih, dan sholat jenazah pada waktu ia bertugas menguburkan jenazah.90
Memperhatikan praktik-praktik keagamaan di atas, menunjukkan besarnya
peran kyai dalam pelaksanaan ritualitas keagamaan tersebut, hampir semuanya
merupakan ibadah kalektif yang dilakukan dalam jumlah besar (banyak orang).
misalnya shalat zohor yang dikerjakan pada hari jum’at, hari raya i’d, shalat subuh
pada hari raya i’d, shalat magrib dan isya’ pada bulan ramadhan, shalat tarawih di
bulan ramadhan, dan shalat jenazah. Jadi posisi kyai disini sangat strategis, pada
setiap ritual keagamaan mereka pasti dilibatkan, bahkan mereka para kyai yang
membebankan dirinya untuk melakukan ibadah, seperti yang terjadi di Pujut. Pada
umumnya mereka para kyai hanya berusaha untuk mengetahui ibadah-ibadah yang
sifatnya ibadah kolektif. Karena itu kemungkinan besar mereka para kyai yang
diberikan zakat oleh masyarakat di sekitarnya, jadi zakat tidak diberikan kepada
mereka yang pakir atau miskin dan sebagainya, melainkan kyai, karena para kyai ini
menjadi solusi terhadap berbagai persoalan spiritual yang dihadapinya, selain itu
juga mereka sangat tergantung pada kyai, dalam berbagai hal.
Legitimasi bagi seorang kyai atau guru di masyarakat Lombok hanya dapat
diberikan oleh gurunya kyai itu sendiri, terkadang yang menjadi kyai yang akan
melanjutkan dakwah Islam adalah keturunan langsung (anak) dari kyai. Terlepas
apakah yang bersangkutan adalah orang yang mampu ataukah tidak, bukanlah
menjadi persoalan. Hal ini sering dipaksakan artinya kalau seorang kyai meninggal,

90
Lalu Wacana, et.al., Upacara Tradisional Daerah Nusa Tenggara Barat; Upacara
Kematian, (Mataram: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Kebudayaan Daerah Nusa Tenggara Barat, 1984/1986), h.12.

70
maka masyarakat menobatkan anaknya (kyai) sebagai kyai yang akan melanjutkan
dakwah orang tuanya.
Sistem semacam ini telah mendistorsikan nilai-nilai dan ajaran Islam, di
mana proses transformasi keilmuan tidak terjadi, inilah kemudian yang
menyebabkan kurang berhasilnya dakwah Islam dan semakin banyaknya praktik-
praktik dalam masyarakat Islam yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.
Akibatnya kebanyakan orang Sasak yang mengaku beragama Islam, tetapi
tidak melaksanakan ibadah secara baik dan benar. Kebanyakan dari mereka,
terutama wanita-wanita masih percaya kepada dewa-dewi, dan makhluk
supranatural lainnya. Mereka masih percaya kepada kekuatan roh-roh, terutama roh-
roh nenek moyang yang dipercayai setiap saat selalu dapat menolong mereka.
Karena itulah maka hubungan antara mereka dengan roh nenek moyang selalu
dipelihara dengan berbagai upacara.
Contoh kongkrit yang dapat dikemukakan di sini adalah pelaksanaan
upacara kematian menurut pandangan suku Sasak, kematian merupakan salah satu
dari tiga saat yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Ketiga hal yang
dimaksud adalah waktu kelahiran, waktu pernikahan, dan waktu kematian.91
Sebenarnya dalam ketiga peristiwa tersebut terdapat upacara-upacara tersendiri,
namun di sini penulis mengambil satu dari tiga peristiwa tersebut, yaitu masalah
kematian, karena penulis ingin melihat bagaimana proses upacara tersebut yang di
dalamnya sangat diwarnai oleh praktik pra-Islam.
Apabila anak adam meninggal dunia, maka segera dipanggilkan kyai untuk
mentakbirkan dan diberikan air pemaran, takbir dan air pemaran berfungsi untuk
mensyahkan kematian seseorang. Setelah selesai dimandikan dan dikapankan,
kemudian di dekat mayat, diletakkan api perdupaan yang kemenyannya terbuat dari
gula merah dan menir. Selain itu di dekat perdupaan tersebut juga diletakkan
makanan satu porsi, terdiri dari nasi, lauk-pauk, dan sayur-mayur. Nasi tersebut
diganti setiap waktu, sesuai dengan jadwal makan, bahkan pada saat hari matinya
diganti setiap saat. Menurut masyarakat Sasak bahwa roh seseorang yang telah mati

91
Lalu Wacana, et.al., Upacara Tradisional Daerah Nusa Tenggara Barat; Upacara
Kematian, ibid, h. 14.

71
tidak langsung meninggalkan rumah sampai hari kesembilan, karenanya mereka
membutuhkan makan. Matinya api perdupaan menandakan bahwa roh yang
meninggal dunia sudah selesai makan.92 Memotong sapi dan ayam bagi mereka yang
meninggal dalam tradisi masyarakat Sasak merupakan suatu kewajiban bagi
keluarga yang masih hidup atau karena ada wasiat, biasanya ini dilakukan oleh
mereka yang memiliki kemampuan untuk melakukan korban. Menurut keyakinan
mereka hewan korban sapi atau kerbau akan menjadi tunggangannya nanti di
akhirat, dan ayam akan menjadi payungnya terutama di Padang Mahsyar. 93
Pada waktu pembuatan keranda, pihak keluarga membuat andang-andang,
yaitu semacam sesajen yaitu berupa lintingan sirih yang digulung dengan kapur di
bagian dalamnya, rokok, dan uang kepeng masing-masing sembilan keping. Hal ini
dimaksudkan agar kerandanya tidak rabun.94
Praktik penguburan yang diajarkan oleh Islam, juga dilaksanakan seperti
memandikan, mengapankan, menshalatkan dan menguburkan. Namun di sini ada
beberapa praktik-praktik yang agak bertentangan dengan ajaran Islam. Seperti bekal
kubur, misalnya, di beberapa daerah di Lombok beberapa tahun yang lalu pemberian
bekal kubur masih dilakukan. Seperti di Pujut misalnya, tradisi ini telah dilakukan
sekitar 1600 tahun yang lalu yaitu terbukti dari hasil akskavasi di Gunung Piring-
Pujut. Sampai beberapa tahun terakhir masih dipraktikkan.95 Selain di Pujut di
beberapa daerah lain seperti di Pringgabaya, mereka yang anaknya meninggal dunia
pada saat pemakamannya di dekat kuburannya diletakkan kepeng, maksudnya untuk
dijadikan bekal almarhum dalam perjalanan. Menurut kepercayaan mereka bahwa di
Padang Mahsyar terdapat tempat roh berbelanja sewaktu dalam perjalanan menuju
tempat terakhir menghadap Allah SWT.96
Setelah proses penguburan, juga terdapat tradisi-tradisi, seperti mendoakan
mereka yang telah meninggal, biasanya ini dilakukan pada malam hari sejak yang

92
Lalu Wacana, et.al., Upacara Tradisional Daerah Nusa Tenggara Barat; Upacara
Kematian, ibid, h. 16.
93
Ibid, h. 19.
94
Ibid, h. 20.
95
Ibid, h. 31.
96
Ibid, h. 32

72
meninggal itu dikubur. Ada istilah-istilah penamaan yang digunakan seperti, nelung
(tiga hari), mituk (tujuh hari), nyiwak (Sembilan hari), metang dasa (empat puluh
hari), nyatus (seratus Hari), dan di beberapa tempat ada juga yang meneruskannya
sampai nanun (ke lima ratus), nyanga (kesembilan ratus), dan nyiu (hari keseribu).97
Tradisi semacam ini sebelumnya dalam masyarakat Sasak tidak dikenal,
maka kemungkinan peringatan hari-hari tersebut datang bersamaan dengan datang
Islam di Lombok. Karena di beberapa tempat di belahan dunia, tradisi semacam ini
masih tetap dipertahankan, seperti di Yaman, Mesir, dan mungkin banyak lagi di
daerah Islam lainnya. Ada kemungkinan tradisi ini dibawa oleh mereka para Syarif
yang datang ke Nusantara, masuk di Jawa yang kemudian diteruskan ke Lombok
oleh pembawa Islam awal.
Keadaan demikian berlangsung terus sampai akhir abad ke-19. banyak
orang yang pergi haji, dan sepulangnya membangun pusat-pusat pengajian seperti di
Kediri, Pagutan, Kopang, Pancor dan Kelayu telah membangkitkan kesadaran
mereka dari kekeliruan hampir selama kurang lebih satu setengah abad.
Tetapi perubahan ke arah penyempurnaan tidak berjalan lancar, tersendat-
sendat karena dari golongan adat secara tidak langsung telah ikut menghambat.
Mereka lebih senang dengan keadaan lama yang masih menghargai klas-klas
masyarakat dengan hak prioritas pada mereka yang di kelas atas. Demikian pula
para pemimpin agama yang lama merasa segan memasuki masa penyempurnaan
karena dapat menghilangkan hak prioritas yang selama turun menurun mereka
nikmati.

97
Ibid, h. 37-49.

73
BAB V

A. Kesimpulan
Lombok adalah bagian dari kepulauan Nusantara yang terlibat dalam
perdagangan global. Kepulauan Nusantara berada pada jalur perdagangan dunia,
sebagai kawasan perantara yang dilintasi oleh para pedagang sebagai rute-rute
perdagangan yang menghubungkan Tiongkok dengan India, sehingga Nusantara ini
selalu mendapat pengaruh dari berbagai agama-agama besar dunia. Pengaruh-
pengaruh agama tersebut telah masuk di Nusantara seiring dengan dilewatinya jalur-
jalur perdagangan tersebut. Setidaknya wilayah-wilayah kepulauan yang berada
pada jalur pantai laut Jawa pengaruh agama Hindu dan Budha telah masuk sekitar
abad ke-5 dan abad ke-8 Masehi. Kuatnya pengaruh agama tersebut memberikan
gambaran yang jelas dalam tradisi-tradisi yang berkembang di masyarakat. Lombok
sebagai bagian yang terlibat di dalamnya menjadi wilayah yang kuat dipengaruhi
oleh dua agama besar yang berkembang di Nusantara.

Dari penelitian ini ditemukan, bahwa baik Islam dari arah barat ataupun
dari arah timur sesungguhnya yang masuk ke Lombok adalah sama. Tidak terdapat
perbedaan kecuali penguatan dari proses yang lebih awal karena setiap proses
islamisasi yang masuk belakangan akan menguatkan islamisasi yang pertama. Islam
yang dibawa dari Jawa oleh da’i Jawa berasal dari Giri yang dikenal sebagai pusat
misionaris Islam yang paling gigih pada abad ke-16 yang mendakwahkan Islam ke
wilayah timur (Indonesia Timur, termasuk Lombok, Sumbawa, Bima, Sulawesi,
Makassar, dan sekitarnya). Oleh karena itu menjadi aneh apabila wujud Islam yang
dibawa oleh da’i Jawa yang datang dari barat, berbeda dengan da’i yang dari timur
yang sebelumnya belajar di Jawa dalam hal ini Giri. Datok Ribandan oleh sebagian
peneliti disebut-sebut sebagai pembawa Islam di Lombok dari arah timur pada abad
ke-17 M. Datok ini sebelum masuk di Lombok dia lebih dahulu mengislamkan
Makassar, Sulawesi, Bima, dan Sumbawa lebih dahulu. Dalam sejarah hidupnya
ternyata Datok Ribandan adalah salah seorang santri di Giri, dan kemungkinan saat
dia nyantri di Giri, Sunan Prapen sedang berkuasa di Giri.

74
Jadi Islam yang masuk di Lombok baik yang dari arah timur maupun dari
arah barat adalah ”sama”. Islam di Lombok diperkirakan masuk sekitar abad ke-15,
karena pedagang-pedagang muslim ketika itu telah ada yang bermukim di pulau
Lombok. Namun secara tegas dapat dipastikan, berdasarkan sumber lokal dan
sumber luar, bahwa Islam masuk di Lombok pada abad ke-16 dibawa oleh Sunan
Prapen (Giri) mubalig asal Jawa. Sunan Prapen masuk di Salut, kemudian ke
kerajaan Lombok di timur, dan kemudian masuk ke kerajaan-kerajaan di wilayah
tengah, utara dan barat. Baru kemudian abad ke-17 diperkuat lagi oleh Datuk
Ribandang setelah melewati Makassar, Sumbawa kemudian masuk di Lombok. Hal
tersebut dibuktikan dari sumber-sumber manuskrip dan bukti-bukti arkeologis.

B. Implikasi Teoritis
Penggunaan metode penelitian ilmu-ilmu sosial dalam penelitian sejarah
seperti arkeologi sejarah, ilmu filologi akan memperkuat dan memperkaya fakta-
fakta sejarah dan kajiannya lebih komperhensif dalam mengkaji sumber-sumber
sejarah.
Temuan-temuan arkeologis memperkuat fakta-fakta sejarah dan memberikan
legitimasi terhadap informasi-informasi yang terdapat pada manuskrif tentang
Islamisasi masyarakat pada Sasak.

C. Rekomendasi
Pertama, bagi para pengajar dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai
salah satu referensi dalam mengajarkan muatan lokal di lingkungan lembaga
pendidikan khususnya yang ada di Nusa Tenggara Barat.
Kedua, bagi pemerintah sebaiknya menjadikan hasil penelitian ini, sebagai
salah satu bahan ajar dalam mengajarkan sejarah lokal di Nusa Tenggara Barat.
Ketiga, bagi para peneliti dapat menjadikan penelitian ini sebagai salah satu
pintu masuk dalam mengkaji Islam di Lombok dan dapat mengembangkan
penelitian ini menjadi penelitian yang lebih luas.

75
DAFTAR PUSTAKA
Adiwimarta, Sri Sukesi, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat pembinaan dan
pengembangan Bahasa, 1983).
Anak Agung Ketut Agung, Kupu-kupu Kuning Yang Terbang di Selat Lombok,
(Denpasar: PT Upada Sastra, 1991), cet. ke-1. 9.
Azyumardi Azra, Dari Harvard hingga Makkah, (Jakarta, Penerbit Republika,
2005).
Azyumardi Azra, Naskah dan Rekonstruksi Sejarah Sosial-Intelektual Nusantara,
Makalah disampaikan pada Simposium Internasional Pernaskahan
Nusantara VII dan Munas Manasa III, Wisma Syahida Syarif Hidayatullah
Jakarta, 26-28 Juli 2004.
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2000), cet. ke-2.
Azyumrdi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, (Bandung: Rosda Karya, 1999).
Berg, Traditie;
Brandes, Pararaton, 188-201.
Brian M. Fagan, Introductory Reading in Archaeology (Boston: Little Brown and
Company, 1970).
Brian M. Fagan, Introductory Reading in Archaeology (Boston: Little Brown and
Company, 1970).
Buchari, Epigrafi dan Historiografi Indonesia, dalam Historiografi Indonesia
Sebuah Pengantar, (Jakarta: PT Gramedia Utama, 1995).
Cholil Sodrie dan Sugeng Rianto, Arkeologi dan Sejarah Kebudayaan Islam,
Dialektika Budaya, Fakultas Adab IAIN Gunung Djati, Vol IX/ 2002.
Claude Guillot dan Henri Chambert-Loir, Indonesia dalam Ziarah dan Wali di Dunia
Islam (Depok: Komunitas Bambu, 2010).
Clement W. Meighan, Aerchaeologi An Introduction, (California: Chandler
Publishing Company, tt).

76
Dick van Der Meij, Koleksi Naskah Museum Negeri Nusa Tenggara Barat
Berdasarkan Daftar Spesifikasi Naskah Koleksi Museum NTB. (1990), 1-
24.
Djoko Suryo, Ekonomi Masa Kesultanan dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam:
Asia Tenggara (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, tt).
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999).
Erni Budiwanti, Islam Sasak: Islam Wetu Telu versus Islam Waktu Lima
(Yogyakarta: LKiS, 2000).
Geoffrey E.Marrison, Catalogue of Javanese and Sasak Tekts (Leiden: Koninklijk
Instituut Voor Taal-,Land- En Volkenkunde, 1999).
Hasan Muarif Ambary, Arkeologi Islam, Makalah yang disampaikan tgl 23 Pebruari,
di IAIN Syarif Hidayatullah, Fak. Adab, 1994.
Hasan Muarif Ambary, Kebijakan penelitian Arkeologi di Indonesia
yangdilaksanakan oleh Pusat Arkenas, Makalah lepas, Tidak terbit.
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis
Islam Indonesia, (Jakarta: Logos, 1987).
Henri Chambert dan Siti Maryam R. Salahuddin, Bo’ Sangaji Kai: Catatan
Kerajaan Bima, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000).
HJ. de Graaf dan Th.G.Th.Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa:
Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16, terj. (Jakarta: Pustaka
Grafitipers dan KITLV, 1986), Cet. ke-2. Jilid .2.
HJ. de Graaf, Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati,(Jakarta:
Pustaka Grafitipers dan KITLV, 1985), Cet. ke-1. Jilid .3.
I.G.N. Anom dkk (Team), Masjid Kuno Indonesia, (Jakarta: Dirjen Kebudayaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998/1999).
J.V.Vaan Leur, Indonesian Trade and Society, (Bandung: Sumur Bandung, 1960),
Edisi: 2.
Jasson W. Smith, Foundations of Archaeologi (London: Glencoe Press, 1976).

77
Lalu Wacana, Babad Lombok, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1979).
Lalu Wacana, et.al., Upacara Tradisional Daerah Nusa Tenggara Barat; Upacara
Kematian, (Mataram: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Nusa Tenggara Barat,
1984/1986).
Lalu Wacana, Sejarah Daerah NTB.
Loren Bagus, Kamus filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2000).
Magdi Wahba, A Dictionary of Literary Term English- French- Arabic, (Birut:
Librairie Du Liban, 1974).
Muhammad Ahyar, Perubahan Masyarakat Islam Wetu Telu Di Lombok Barat
Nusa Tenggara Barat, tesis (Yogyakarta: Universitas Gajahmada, 1999).
Notosusanto, Hubungan Erat Antara Disiplin Arkeologi Dan Disiplin Sejarah,
Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, No: 1 April, 1963.
Nurhadi Magetsari, Kemungkinan agama sebagai alat pendekatan dalam
penelitian, dalam Pertemuan Ilmiyah Arkeologi, Cibulan 21-25 Pebruari
1977, Pusat Penelitian Purbakala dan Peeninggalan Nasional, PT Rora
Karya, Jakarta, 1980.
Othman Mohd. Yatim, Batu Aceh: Early Islamic Gravestones In Peninsular
Malaysia. (EFEO, 1999).
R.P. Soejono (ed), Sejarah nasional Indonesia I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993),
XXI; dan Puslit Arkenas, (Jakarta: Depertemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1996).
Solihin Salam (Ed), Deskripsi Aliran Kepercayaan Wetu telu di Pulau Lombok,
(Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Depag. RI. 1979).
Spaulding, Albert C. Archaeological Dimention, dalam Essays in The Science of
Culture : In Honor of Leslie White, New York, 1960.
Tanudirjo, Daud Aris, Retrospeksi Penelitian Arkeologi di Indonesia, Dalam PIA
V,Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta, 1993/1994, hal : 67-96.

78
Tawalinuddin Haris, Masuk dan Berkembangnya Islam di Lombok Kajian Data
Arkeologis dan Sejarah, dalam Kajian : Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi
Daerah NTB, (LombokTimur: Yayasan Lentera Utama, 2002).
Tawalinudin Haris, Islam Wetu Telu sedikit Tentang Sejarah dan Ajarannya
(Jakarta: UI Press, 1978).
Taylor, Walter W, A Study af Archaeology, Memoar No. 69, American
Antrhopologist 50,(3) ( part 2), 1948.
Thomas, David Hurst, Archaeology, Chicago, Hoit Riverhart and Winston, 1989.
Tim Penyusun Monografi Daerah NTB, Monografi daerah Nusa Tenggara Barat,
(Jakarta; Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Direktorat Jenderal
Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1977), Jilid 1.
Tito Adonis, Suku Terasing Sasak di Bayan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat,
(Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 1989).
Uka Tjandrasasmita , Kota-kota Muslim (Menara Qudus)
Uka Tjandrasasmita dalam Sejarah Nasional Indonesia, III. (Jakarta: Balai Pustaka,
1988).
Uka Tjandrasasmita, Kajian Naskah Klasik dan Penerapannya Bagi Kajian Sejarah
Islam di Indonesia (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan litbang
dan Diklat Departemen Agama RI, 2006).
Wacana, vol. 9 no. (2007).

79

Anda mungkin juga menyukai